Anda di halaman 1dari 2

Dari pembahasan sebelumnya, dapat dilihat bahwa fokus utama pembahasan adalah penentuan

wanprestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli dengan adanya keterlambatan pembayaran
oleh Tergugat pada tahap ketiga pembayaran. Wanprestasi ditetapkan ketika si berutang tidak
memenuhi kewajiban prestasi dalam batas waktu yang ditentukan. Pasal 1238 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata mengatur bahwa si berutang dianggap lalai jika telah dinyatakan lalai
dalam surat perintah atau akta serupa, atau jika perjanjian tersebut menetapkan bahwa si
berutang dianggap lalai setelah lewatnya waktu yang ditentukan.

Selain itu, untuk menetapkan wanprestasi dalam perjanjian, seperti Perjanjian Pengikatan Jual
Beli secara angsuran, dapat merujuk pada putusan-putusan pengadilan sebelumnya. Contohnya,
terdapat Putusan Pengadilan Negeri Palopo Nomor 10/Pdt.G.S/2018/PN Plp yang melibatkan
Penggugat Muhammad Naufal Thoriqi melawan Tergugat Zulkifli Hr, Nasrullah Susanto, dan
Idar. Dalam kasus ini, Tergugat tidak membayar angsuran pinjaman yang telah jatuh tempo,
sehingga Penggugat menggugat Tergugat karena wanprestasi. Majelis Hakim dalam persidangan
tersebut menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi.

Kasus serupa juga terjadi dalam Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor
164/PDT/2015/PT.PBR antara Penggugat PT BII Finance Center dan Tergugat Muhammad
Sahrin. Dalam kasus ini, Tergugat tidak membayar angsuran pembiayaan kendaraan sesuai
dengan perjanjian, dan Penggugat mengajukan gugatan karena wanprestasi. Hakim memutuskan
bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi.

Namun, terdapat perbedaan pendapat dalam penentuan wanprestasi dalam perjanjian. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 884 PK/Pdt/2018 terlihat salah dalam memberikan pertimbangan,
karena tidak menetapkan Tergugat sebagai pihak yang melakukan wanprestasi. Putusan tersebut
dibatalkan dan perlu mempertimbangkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar. Pada putusan
tingkat pertama, hakim berpendapat bahwa Tergugat belum melakukan wanprestasi karena batas
waktu pembayaran masih berlaku. Namun, menurut penjelasan sebelumnya, debitur dapat
dinyatakan melakukan wanprestasi jika tidak membayar angsuran yang telah diperjanjikan,
bahkan jika perjanjian tersebut belum jatuh tempo. Oleh karena itu, pertimbangan hakim dalam
penentuan wanprestasi telah salah dan seharusnya perjanjian tersebut dinyatakan wanprestasi.

Selain itu, hakim juga keliru dalam mempertimbangkan somasi atau peringatan sebagai acuan
untuk penentuan wanprestasi. Dalam beberapa kasus, somasi tidak diperlukan untuk menyatakan
bahwa debitur melakukan wanprestasi, terutama jika perjanjian sudah memiliki batas waktu
(fatal termijn) atau jika debitur mengakui bahwa dia melakukan wanprestasi. Namun, dalam
pertimbangannya, hakim menggunakan somasi sebagai acuan. Hal ini juga merupakan kesalahan
hakim dalam pertimbangannya.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 884 PK/PDT, hakim seharusnya tidak mencabut
putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 2371 K/PDT/2016. Putusan
tersebut menyatakan bahwa karena terjadi wanprestasi oleh Tergugat, maka perjanjian tersebut
menjadi batal demi hukum. Hal ini dikarenakan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
wanprestasi dapat membatalkan sebuah perjanjian. Akta notaris dalam kasus tersebut juga
melanggar syarat objektif sehingga seharusnya batal demi hukum. Selain itu, perjanjian antara
Penggugat dan Tergugat tidak mempengaruhi pembebanan Hak Guna Bangunan di atas tanah
Hak Milik yang dimiliki oleh Penggugat. Hak Guna Bangunan tersebut masih berlaku sesuai
dengan Akta Pembebanan Hak Guna Bangunan.

Anda mungkin juga menyukai