Modul
Literasi Baca-Tulis
di Sekolah
Billy Antoro, S.Pd.
MODUL
Disusun oleh
ii
Kata Pengantar
Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra
iv
Prakata
vi
Bab V Literasi Menulis di Sekolah ................................................. 39
A. Materi............................................................................... 39
1. Strategi Literasi Menulis di Sekolah ........................... 39
2. Rangkaian Kegiatan Literasi Menulis ......................... 42
3. Mengembangkan Kolaborasi Literasi Baca-Tulis di
Sekolah dengan Berbagai Pihak .................................. 45
B. Evaluasi............................................................................ 48
C. Refleksi ............................................................................ 48
vii
Bab I
Pendahuluan
1
B. Peta Konsep
2
3. Refleksi adalah harapan kepada pembaca untuk memahami garis
besar konten bacaan.
4. Temukan kata kunci tiap bab agar cepat memahami konten dan
memahami kaitannya dengan bab lain.
5. Tips dalam modul akan lebih mudah dipahami dan dikuasai jika
dipraktikkan.
3
Bab II
Gerakan Literasi Sekolah
A. Materi
1. Latar Belakang Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
Sejak awal tahun 2000, literasi menjadi pertimbangan berbagai negara
maju dalam memajukan pendidikan dan meningkatkan indeks
pembangunan manusia. Hal itu tampak dari munculnya berbagai survei
internasional yang mengukur tingkat literasi suatu negara. Hasil survei
dan rekomendasi programme for international student assessment
(PISA), progress in international reading literacy study (PIRLS), dan
trends in international mathematics and science study (TIMSS) selalu
menjadi pertimbangan penting dalam menentukan kebijakan terkait
pendidikan dan pengembangan SDM.
Pada waktu bersamaan, Indonesia sebenarnya juga memberi
perhatian yang sama pada literasi tetapi dengan fokus yang berbeda.
Indonesia memaknai literasi sebagai melek aksara dan berfokus pada
pengentasan buta aksara rakyat Indonesia yang angkanya masih tinggi.
Pada 2002, angka melek aksara rakyat Indonesia baru mencapai
89,51%. Angka itu ditargetkan naik hingga 95% pada 2015.
Namun target itu terlewati pada 2015 dengan angka melek aksara
rakyat Indonesia mencapai 96,44%. Artinya penduduk Indonesia yang
masih buta aksara sebanyak 3,56% atau 5,7 juta. Kondisi ini
mendorong pemerintah melakukan perubahan pada fokus
pemberantasan buta aksara (Antoro, 2017: 15).
Di sisi lain, perubahan fokus terjadi karena memuncaknya
kegelisahan rakyat dan pemerintah pada tingkat literasi siswa Indonesia
serta rendahnya minat baca masyarakat Indonesia terhadap buku.
4
Survei PISA, PIRLS, dan TIMSS selalu mendudukkan peringkat
literasi siswa Indonesia pada posisi terendah dibandingkan negara yang
disurvei. Uji literasi membaca dalam PISA 2009 mengungkap peserta
didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 402 (skor
rata-rata OECD 493) danmengantarkan negeri Zamrud Khatulistiwa di
peringkat ke-64 dari 65 negara peserta. Posisi ini tidak jauh beda dalam
studi PIRLS dan TIMSS tahun 2011. Indonesia berada di posisi ke-42
dari 45 negara peserta. Survei PISA pada 2012 juga belum
mendongkrak peringkat negeri ini (peringkat ke-64 dari 65 negara
peserta).
Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti menandai perubahan
fokus Indonesia dari melek aksara kepada literasi. Permendikbud ini
memberi landasan bagi lahirnya gerakan Indonesia membaca (GIM)
dan gerakan literasi sekolah (GLS). Gerakan Indonesia membaca
dihelat oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan
Pendidikan Masyarakat sementara GLS digalang oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kendati masih dibayangi peringkat literasi yang kurang
menguntungkan ketika PISA 2015 yang diumumkan pada awal
Desember 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-64 dari 72
negara peserta, survei asesmen kompetensi siswa Indonesia (AKSI)
2016 (diselenggarakan oleh Balitbang Kemendikbud) mengungkap
literasi membaca siswa kelas IV mencapai 46,83% pada kategori
kurang. Sementara itu literasi matematika mencapai 47,11% pada
kategori cukup dan literasi sains hanya 6,06% dalam kategori baik.
Survei Central Connecticut State University tahun 2016 menempatkan
tingkat literasi penduduk Indonesia pada posisi ke-60 dari 61 negara
5
disurvei. GLS perlahan terus melangkah melalui pembuatan panduan
dan sosialisasi terstruktur yang intens serta penggalangan jaringan
internal dan eksternal Kemendikbud yang kuat.
2. Konsep GLS
Pintu masuk GLS berasal dari satu butir dalam lampiran Permendikbud
tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang berbunyi, “Menggunakan 15
menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku
mata pelajaran (setiap hari).” Butir ini dikembangkan menjadi Desain
Induk GLS yang menjelaskan secara garis besar konsep, strategi, dan
pelaksanaan gerakan literasi di sekolah serta peran para pemangku
kepentingan yang mendukung GLS. Fokus pelaksanaan GLS di
berbagai jenjang pendidikan dijelaskan dalam Panduan GLS di SD,
SMP, SMA, SMK, dan SLB.
Penjelasan teknis mengenai GLS dimulai dari program 15 menit
membaca. Pada program ini kegiatan membaca tidak sekadar membaca
mandiri. Ada tiga cara membaca lain yang dapat dilakukan, yaitu
membaca nyaring (read aloud), membaca bersama (shared reading),
dan membaca terpandu (guided reading) (Antoro, 2017: 39).
Pada membaca nyaring, guru membacakan buku dengan suara
lantang di hadapan siswa. Ia bisa mengajak siswa berdiskusi tentang isi
buku di tengah kegiatan membaca. Ia juga dapat mengajukan
pertanyaan usai kegiatan membaca. Melalui kegiatan membaca
nyaring, guru dapat memodelkan cara membaca buku yang baik
sembari membangun kedekatan dengan siswa lewat diskusi langsung
mengenai konten buku.
Kegiatan membaca bersama diawali oleh guru membacakan kata
atau kalimat dengan suara nyaring kemudian ia dan siswa membaca
6
bersama-sama kata atau kalimat tadi. Dengan metode ini, guru
mencontohkan cara membaca buku secara baik dan menyenangkan
melalui pengaturan tempo dan irama suara yang terpola. Pengaturan
tempo dan ritme memudahkan siswa melafalkan kata/kalimat sekaligus
memahami maknanya.
Membaca terpandu diperuntukkan bagi siswa kelas rendah yang
baru belajar membaca. Guru menunjuk dan membacakan kata
kemudian murid-murid mengikutinya. Tentu kata yang ditunjuk disertai
dengan gambar atau simbol yang mewakili kata tersebut. Setelah fasih
membaca kata, guru dapat merangkainya menjadi satu kalimat pendek,
dan begitu seterusnya. Yang perlu diperhatikan, kata dan kalimat yang
dibaca harus familier dalam kehidupan siswa, yaitu dapat dilihat dan
dirasakan oleh mereka. Dengan begitu, pembelajaran menjadi
bermakna.
Rangkaian kegiatan membaca cerita dimulai dari membaca cerita
dalam situasi yang dipandu guru, membaca bersama rekan sesama
siswa, kemudian membaca cerita secara perorangan. Rangkaian
kegiatan tersebut akan menimbulkan kesan dalam diri siswa bahwa
membaca adalah kegiatan yang menyenangkan. Siswa juga diberi
kesempatan untuk merayakan kemampian membaca dengan membaca
dengan suara keras di hadapan rekan membacanya, di depan kelas, dan
di depan keluarganya di rumah. (Slavin, dkk., 2014: 170).
Buku yang dibaca dalam program 15 menit membaca adalah
buku nonteks pelajaran, terutama buku yang disukai oleh siswa. Boleh
buku fiksi ataupun nonfiksi. Sekolah dapat memilihkan buku
perpustakaan untuk dibaca siswa dengan pertimbangan harus sesuai
dengan usia dan kemampuan membacanya. Sebaiknya, sekolah
memiliki koleksi buku yang disesuaikan dengan sistem perjenjangan
7
buku yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Kemendikbud.
Kendati sekolah telah memenuhi kewajiban mengadakan program
15 menit membaca sebelum jam pelajaran pertama dimulai setiap hari,
kegiatan ini tidak serta-merta memberi legitimasi bahwa sekolah
tersebut telah menjalankan program literasi. Program 15 menit
membaca bukanlah kegiatan literasi itu sendiri, melainkan pintu masuk
bagi gerakan literasi yang lebih luas.
Secara konseptual, gerakan literasi sekolah dimaknai sebagai
suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan
warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga
kependidikan, pengawas sekolah, komite Sekolah, dan orang tua/wali
murid), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh
masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha,
dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Ditjen
Dikdasmen (Satgas GLS Kemendikbud, 2018: 10). Ia juga dimaknai
sebagai gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen
untuk mewujudkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang
warganya literat sepanjang hayat melalui pembiasaan membaca siswa.
Salah satu kondisi yang hendak diciptakan GLS adalah hadirnya
budaya literasi di sekolah.
Ada tiga ranah yang hendak di sasar GLS terkait dengan strategi
mencapai budaya literasi di sekolah. Strategi ini mengacu pada Beers
dkk. dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction, yaitu (1)
mengondisikan lingkungan fisik ramah literasi; (2) mengupayakan
lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi
yang literat; dan (3) mengupayakan sekolah sebagai lingkungan
8
akademis yang literat. Pelibatan semua warga sekolah dalam gerakan
ini bertujuan untuk mewujudkan ekosistem sekolah yang literat.
A Lingkungan Fisik
9
Terdapat budaya kolaborasi antarguru dan staf dengan mengakui
4
kepakaran masing-masing.
C Lingkungan Akademis
10
terkait (perguruan tinggi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan,
atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).
11
Karya siswa dipajang memenuhi ruangan kelas. Selain itu, kutipan
kata-kata menarik dan motivatif dapat pula ditempel di dinding atau
digantung di plafon kelas.
d. Membuat Pojok Literasi
Rak buku ini diletakkan di lingkungan sekolah yang menjadi lokasi
nyaman siswa untuk berkumpul seperti di koridor, saung, dan
pendopo.
e. Membangun Lingkungan Kaya Literasi
Karya siswa dipajang di koridor dan tempat yang mudah diakses
umum. Tanaman diberi hiasan kata seperti nama, habitat, dan
khasiatnya. Kantin juga perlu dihiasi poster anjuran menjaga
kesehatan, komposisi menu, dan manfaat makanan.
f. Mengelola Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan didesain senyaman mungkin agar siswa betah berlama-
lama di dalamnya. Koleksi buku nonteks pelajaran harus
diperbanyak, terutama buku yang sesuai dengan jenjang dan usia
siswa. Sekolah sebaiknya menjadwalkan kunjungan wajib kelas
minimal satu kali seminggu. Perpustakaan juga diisi dengan kegiatan
seperti peluncuran dan bedah buku.
g. Mengadakan Festival Literasi
Literasi harus dirayakan berupa kegiatan festival dalam rangka
peringatan hari besar nasional dan keagamaan, misalnya dengan
pembacaan puisi, pementasan drama, pemutaran film, atau
perlombaan menulis karangan.
h. Memberi Penghargaan Literasi
Penghargaan tidak sekadar diberikan kepada siswa yang berprestasi
di bidang sains, seni, dan olahraga. Siswa yang berprestasi di bidang
12
literasi juga harus diberi penghargaan sebagai bentuk apresiasi
sekolah.
i. Penerapan Strategi Literasi dalam Pembelajaran
Literasi terintegrasi dengan semua mata pelajaran dan menjiwai
keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Guru dapat menggunakan
pengatur grafis dan media pembelajaran yang memudahkan siswa
memahami mata pelajaran. Metode pembelajaran digunakan dengan
melibatkan partisipasi siswa sehingga pembelajaran lebih bermakna.
4. Pelibatan Pemangku Literasi
Sebagai gerakan sosial, GLS melibatkan berbagai pemangku literasi
baik di dalam maupun di luar sekolah. Pelibatan pihak di luar sekolah
bertujuan agar pelaksanaan GLS cepat tercapai. Pihak luar itu antara
lain lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP), dinas pendidikan
provinsi dan kabupaten/kota, dan masyarakat.
Sebagai lembaga yang dinaungi Ditjen Dikdasmen di tingkat
provinsi, LPMP diharapkan melakukan pemetaan literasi di daerahnya
masing-masing, merencanakan dan melaksanakan pendampingan
kepada satuan pendidikan, melakukan supervisi, dan melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan GLS yang kemudian
dilaporkan kepada Ditjen Dikdasmen. Dinas pendidikan provinsi dan
kabupaten/kota diharapkan mendorong pemerintah daerah
menganggarkan alokasi GLS dalam APBD, menginisiasi terbitnya
peraturan daerah tentang literasi, dan melakukan analisis kebutuhan
serta mengkaji isu-isu strategis terkait literasi.
Masyarakat terdiri dari beragam unsur, antara lain tokoh
masyarakat, penggiat literasi, akademisi, lembaga swadaya masyarakat,
dan dunia usaha. Selain terlibat sesuai dengan kapasitasnya, mereka
juga diharapkan melakukan pendampingan kepada sekolah di
13
daerahnya yang memungkinkan literasi di sekolah dampingan berjalan
masif dan komprehensif.
B. Evaluasi
Studi kasus:
Pemangku literasi dilibatkan dalam pelaksanaan GLS. Jika Anda
seorang guru, kegiatan apa saja yang akan dilakukan untuk menarik
partisipasi mereka agar dapat mendukung pelaksanaan GLS? Sebutkan
minimal tiga kegiatan!
C. Refleksi
Uraian di atas memandu Anda untuk memahami latar belakang dan
konsep GLS. Secara konseptual, GLS merupakan gerakan sosial yang
melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk berpartisipasi
mendukung GLS. Sekolah diharapkan mengimplementasikan GLS
sesuai dengan panduan yang dibuat oleh Kemendikbud dengan
mempertimbangkan kondisi dan potensi sekolah.
Anda juga dapat memahami bahwa implementasi GLS
diupayakan melibatkan seluruh warga sekolah. Upaya ini akan terasa
lebih cepat tercapai jika melibatkan pemangku literasi di luar sekolah.
14
Bab III
Literasi Baca-Tulis di Sekolah
A. Materi
1. Konsep Literasi Baca-Tulis
Pada 2015, Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum)
menerbitkan dokumen bertajuk New Vision for Education. Dokumen
ini menyebutkan, untuk menghadapi abad XXI, siswa harus memiliki
16 kecakapan hidup. Kecakapan itu mencakup tiga ranah yaitu literasi
dasar, karakter, dan kompetensi. Literasi dasar terdiri dari literasi baca-
tulis, numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan
literasi budaya dan kewargaan.
Dalam buku Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional yang
diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, literasi baca-tulis
didefinisikan sebagai pengetahuan dan kecakapan untuk membaca,
menulis, mencari, menelusuri, mengolah, dan memahami informasi
untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk
mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk
berpartisipasi di lingkungan sosial (Kemendikbud, 2017: 7). Pengertian
tersebut menempatkan aktivitas membaca dan menulis tidak sekadar
upaya menjalin interaksi seseorang dengan teks di hadapannya. Lebih
dari itu, proses sebelum dan sesudah kegiatan membaca dan menulis
mendapat porsi besar dalam kerangka pelibatan individu dengan
kehidupan di sekitarnya.
Dalam konteks gerakan literasi sekolah (GLS), literasi dimaknai
sebagai kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan
informasi secara cerdas. Pengertian ini jauh dari definisi umum yang
15
mengatakan literasi sekadar kegiatan membaca dan menulis. Berkaitan
dengan literasi baca-tulis, kegiatan mengakses, memahami, dan
menggunakan informasi dilakukan dalam kerangka memberi
kemampuan kepada siswa untuk menjadi pembelajar aktif dan kreatif
agar dapat memecahkan berbagai persoalan hidup dan berperan dalam
kehidupan masyarakat. Kegiatan baca-tulis di sekolah diarahkan sesuai
dengan keilmuan yang tengah didalami dan kompetensi yang hendak
dikuasai.
16
Tabel 3.1. Tabel Penerapan Pembelajaran Literasi Baca-Tulis di Kelas Awal
18
No. Komponen Praktik di Kelas Manfaat
e. Menulis dengan 1. Guru 1. Mengembangkan
Pemodelan mendemonstrasikan konsep tentang
cara menulis yang teks cetak
baik. 2. Mengembangkan
2. Guru membahas strategi menulis
tulisan, kosakata dan 3. Mendukung
fitur-fitur bahasa yang kegiatan
belum diketahui siswa. membaca
3. Guru mengenalkan 4. Memberikan
siswa kepada berbagai model untuk
genre. berbagai jenis dan
gaya tulisan
5. Menghasilkan
teks yang dapat
dibaca sendiri
oleh siswa
f. Menulis Bersama 1. Guru memodelkan 1. Memberikan
strategi menulis. kesempatan untuk
2. Guru mengajarkan merencanakan
strategi menulis secara dan menyusun
eksplisit. tulisan/teks
3. Guru mengembangkan 2. Meningkatkan
pemahaman proses pengetahuan dan
menulis. penerapan ejaan
4. Guru menulis. 3. Menghasilkan
5. Guru dan siswa bahasa tulis yang
memilih topik. memadai untuk
6. Guru dan siswa digunakan di
menulis bersama. kelas
7. Guru memotivasi
siswa untuk menulis.
g. Membaca Terpandu 1. Guru menekankan 1. Memberikan
keterampilan menulis. model cara
2. Guru melibatkan siswa mencari/mengum
dalam percakapan pulkan ide
untuk mengaktifkan 2. Memberikan
pengetahuan bimbingan selama
sebelumnya, proses menulis
19
No. Komponen Praktik di Kelas Manfaat
menyempurnakan 3. Menyediakan
bahasa, dan “pembaca” untuk
menyampaikan ide. model curah
3. Guru bertindak pendapat
sebagai pemandu
dengan jalan
“scaffolding”.
4. Siswa menulis.
5. Siswa mempraktikkan
strategi menulis.
6. Siswa
mengembangkan
kemandirian menulis.
h. Menulis Mandiri 1. Siswa memilih topik. 1. Fungsi:
2. Siswa berlatih sesuai Memperkuat alur
dengan tingkat teks
kemampuan masing- 2. Mengembangkan
masing. pemahaman
berbagai
penggunaan teks
tulis
3. Mengembangkan
strategi menulis
4. Mendukung
keterampilan
membaca
20
a. Membuat Jurnal
Kegiatan ini dilakukan setelah siswa membaca buku. Mereka diminta
mengisi buku jurnal berupa kolom berisi profil buku (nama penulis,
penerbit, tahun terbit), jumlah halaman yang dibaca, dan resume buku.
Untuk kolom resume, semakin tinggi jenjang pendidikan siswa, semakin
panjang resume yang harus dibuat.
b. Membuat Resensi
Siswa ditugaskan membuat resensi sebuah buku yang disukainya. Siswa
perlu juga diarahkan untuk membuat resensi buku pengayaan dan referensi
yang masih terkait dengan mata pelajaran atau bidang kelimuan tertentu.
Resensi dapat dipajang di mading kelas atau mading perpustakaan. Ada
penghargaan yang diberikan kepada siswa yang membuat banyak resensi
dalam periode tertentu. Guru perlu mendorong siswa mengunggah resensi
ke blog pribadi atau mengirimkannya ke media massa. Sebelum itu, guru
perlu menyediakan waktu untuk memeriksa dan memberi masukan pada
resensi yang akan dikirim.
21
Siswa juga dapat mengadakan kegiatan keliling untuk meluncurkan dan
membedah buku di sekolah lain. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui
kerja sama dengan pengurus OSIS. Upayakan acara ini diselingi dengan
bentuk kegiatan lain, misalnya membaca puisi atau cerpen dari antologi
puisi atau cerpen yang diluncurkan.
22
Jenjang Ada Tidak Ada Jumlah
SLB 1.084 1.153 2.237
Total 149.385 69.557 218.942
(Sumber: Dapodik Per Maret 2019)
23
Pembuatan dan pengaturan area sudut baca ada baiknya diserahkan
kepada siswa. Mereka dibebaskan mendekor area tersebut sebebas dan
senyaman mungkin. Guru hanya memberi arahan dan mengawasi. Hal ini
dilakukan agar siswa memiliki rasa memiliki terhadap kelas.
Di sejumlah sekolah, pendirian sudut baca dilakukan melalui kompetisi.
Sekolah memberikan apresiasi kepada kelas yang memiliki sudut baca
terunik, ternyaman, dan terindah. Di sekolah lain, sudut baca didirikan sebagai
bagian dari kerja kolaborasi antara siswa, orang tua, dan guru.
Pojok literasi berada di luar kelas. Rak buku diletakkan di lokasi yang
nyaman bagi siswa untuk berkumpul, seperti koridor, saung, atau pendopo.
Pojok literasi dapat pula dibangun di lokasi strategis di tengah area sekolah.
Siswa bisa berdiskusi tanpa khawatir dilarang bersuara keras. Dapat
dipertimbangkan pula saat berdiskusi tentang buku, boleh ada camilan
(makanan dan minuman ringan) asal siswa menjaga kebersihan.
Yang penting diperhatikan adalah pelibatan siswa dalam pembuatan
dan pengelolaan sudut baca dan pojok literasi. Mereka diberikan tanggung
jawab menjalankan fungsi manajemen, penataan dan rotasi buku, serta
pemeliharaan sarana dan prasarana literasi. Kepala sekolah dan guru berlaku
sebagai pengarah dan pengawas. Dengan aturan seperti itu, sekolah telah
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengorganisasi sebuah kegiatan
besar.
Contoh sekolah yang melibatkan siswa dalam pengelolaan sudut baca
dan pojok literasi adalah SMA Negeri 4 Pekanbaru, Riau. Di sekolah ini,
program literasi melibatkan duta baca dan duta literasi—sekelompok siswa
yang terpilih berdasarkan prestasi literasi tertentu. Duta baca dan duta literasi
terlibat dalam pengelolaan sudut baca dan pojok literasi, program 15 menit
membaca, festival literasi, dan program literasi lainnya yang diadakan
sekolah.
24
4. Perpustakaan Sekolah
Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 10 Tahun 2017 tentang
Standar Nasional Perpustakaan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah serta
peraturan yang sama di jenjang SMP/Madrasah Tsanawiyah (Nomor 11
Tahun 2017) dan SMA/Madrasah Aliyah (Nomor 12 Tahun 2017)
mendefiniskan perpustakaan sebagai institusi pengelola koleksi karya tulis,
karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang
baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian,
informasi, dan rekreasi bagi pemustaka. Dengan pengertian yang hampir
sama, perpustakaan sekolah didefinisikan sebagai perpustakaan yang berada
pada satuan pendidikan formal di lingkungan pendidikan dasar dan menengah
yang merupakan bagian integral dari kegiatan sekolah yang bersangkutan, dan
merupakan pusat sumber belajar untuk mendukung tercapainya tujuan
pendidikan sekolah yang bersangkutan.
Pengertian tersebut mengandung dua gagasan inti yaitu perpustakaan
sebagai sumber belajar dan perpustakaan sebagai pendukung tercapainya
tujuan pendidikan. Lebih lanjut standar nasional perpustakaan itu juga
mengatur secara detail tentang lokasi, tujuan, fungsi, jenis koleksi, hingga
integrasi dengan kurikulum. Sekolah cukup mengikuti standar tersebut untuk
mendapatkan manfaat besar dari perpustakaan.
Namun di lapangan belum semua sekolah mengadopsi SNP tersebut.
Banyak masalah yang membuat sekolah tidak menerapkan standar itu, antara
lain ketidaktahuan mengenai SNP yang berakibat panjang pada kegagapan
dalam mengelola perpustakaan. Hal lain yang menjadi penghambat primer
adalah ketiadaan paradigma yang meletakkan perpustakaan sebagai
penyangga utama kegiatan pembelajaran di kelas.
Dalam konteks literasi baca-tulis, perpustakaan adalah mitra guru
dalam pengembangan kegiatan pembelajaran di kelas. Isinya lebih banyak
buku pengayaan dan referensi yang tidak termuat dalam buku paket pelajaran.
Terkait pengembangan strategi literasi dalam pembelajaran, perpustakaan
25
merupakan salah satu sumber belajar pokok yang mendukung area
pendalaman pengetahuan dan bidang keilmuan tertentu. Guru bekerja sama
dengan pustakawan/tenaga perpustakaan dalam hal penyediaan buku atau
ensiklopedi pengetahuan lanjutan dari materi yang diberikan di kelas. Guru,
misalnya, memberikan referensi judul buku/ensikopedi tertentu yang ada di
perpustakaan kepada siswa untuk menjawab suatu pertanyaan.
Untuk memastikan terjadinya integrasi fungsi perpustakaan dengan
kurikulum, kepala sekolah perlu mengadakan rapat yang mempertemukan
guru dan pustakawan/tenaga perpustakaan. Kepala sekolah, guru, dan
pustakawan/tenaga perpustakaan membedah kompetensi dasar dan
kompetensi inti tiap topik pelajaran dan membuat indikator pembelajaran
yang sumbernya bisa didapat di perpustakaan. Hasil akhirnya berupa
rancangan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang terintegrasi dengan
perpustakaan.
Hal penting lain yang juga termuat dalam SNP adalah pengalokasian
waktu kunjungan wajib ke perpustakaan oleh siswa. Aturan ini sama
pentingnya dengan pengalokasian waktu membaca melalui program 15 menit
membaca buku nonteks pelajaran. Alokasi waktu minimal 1 jam pelajaran
(JP) per minggu untuk mengunjungi perpustakaan penting dilakukan
mengingat padatnya pelajaran sekolah dapat membuat siswa enggan
mengunjungi perpustakaan.
Perpustakaan juga wajib menarik minat siswa untuk datang dengan
mengadakan kegiatan yang menyenangkan, antara lain menghadirkan penulis
terkenal untuk meluncurkan dan membedah bukunya; menyelenggarakan
lomba menulis resensi dan sinopsis; atau menggelar acara nonton bersama
(nobar) film edukatif yang diangkat dari buku kemudian didiskusikan.
Perpustakaan tidak lagi menghadirkan atmosfer sepi dan menakutkan yang
tata pencahayaan dan penataan ruangannya tidak jauh beda dengan suasana
kuburan yang tidak menghadirkan ketertarikan dan kegairahan untuk berlama-
lama di sana.
26
Agar perpustakaan selalu ramai dan padat aktivitas, guru dan kepala
sekolah sebaiknya menjadi teladan terlebih dahulu. Mereka selalu
meluangkan waktu untuk membaca buku di perpustakaan dan menggelar
diskusi ringan tentang buku yang baru dibaca. Guru dan kepala sekolah juga
meminjam buku untuk dibawa pulang. Teladan seperti ini akan memicu kesan
dalam diri siswa bahwa perpustakaan adalah sahabat asyik untuk belajar dan
bermain.
Pustakawan atau tenaga perpustakaan juga melakukan fungsi lain selain
menjalankan tugas administratif—melayani peminjaman dan pengembalian
buku. Mereka tidak hanya mendorong siswa untuk tidak sekadar membaca,
tetapi juga berbagi hasil bacaan kepada teman-temannya. Mereka dapat
menginisiasi kelompok kecil untuk berbagi peran, yaitu satu siswa berbagi
bacaan sementara siswa lain menyimak dan melontarkan pertanyaan.
Pustakawan memperhatikan dan memberikan referensi cara membawakan
bahan presentasi serta tips menggunakan alat bantu (papan tulis, proyektor,
dan komputer). Jika buku yang dibahas adalah buku pengayaan dan referensi
yang terkait dengan materi pelajaran di kelas, langkah-langkah
pustakawan/tenaga perpustakaan tersebut sangat membantu guru dalam
membantu siswa mendalami pengetahuan.
Di era teknologi informasi yang kini memasuki revolusi industri 4.0,
perpustakaan sekolah juga harus mentransformasi diri menjadi sumber belajar
yang ramah dengan keseharian siswa. Perpustakaan tidak lagi membanggakan
diri dengan koleksi audio-visualnya yang eksklusif dan hanya bisa dijangkau
oleh orang-orang yang mengunjunginya. Perpustakaan harus mengembangkan
diri sebagai sumber belajar yang terhubung secara mudah, kapan pun dan di
mana pun, dengan siswa melalui dunia maya dan jejaring sosial.
Perpustakaan digital iJakarta yang dikelola Pemda DKI Jakarta menjadi
contoh baik mengenai bagaimana perpustakaan di era digital ini
dikembangkan. Melalui aplikasi yang bisa dijangkau melalui telepon seluler,
iJakarta menawarkan peminjaman buku elektronik (e-book) dengan sangat
27
mudah. Tidak sebatas itu, peminjam dapat mengunggah komentar atas buku
yang sudah dibacanya dan orang lain dapat menanggapi komentar tersebut.
Aktivitas ini dapat membentuk diskusi di ruang maya sebagaimana aktivitas
sebagian besar generasi milenial. Perpustakaan digital menciptakan ruang
baru tak terbatas di mana buku bisa diakses kapan pun dan di mana pun
sekaligus memberi kebebasan kepada orang-orang untuk mendiskusikannya.
B. Evaluasi
Studi kasus:
Anda seorang guru yang ingin menumbuhkan budaya literasi baca-tulis di
sekolah dengan melibatkan sudut baca kelas, pojok literasi, dan perpustakaan
sekolah. Sebutkan minimal tiga kegiatan yang dapat dilakukan dengan
mengolaborasikan ketiga area baca itu!
C. Refleksi
Bab ini memandu Anda untuk memahami konsep literasi baca-tulis di
sekolah. Pelaksanaan literasi baca-tulis tidak lepas dari kegiatan di tiga
area baca, yaitu kelas, lingkungan sekolah, dan perpustakaan. Semua
kegiatan di tiga area itu hakikatnya diarahkan secara integratif untuk
mendukung pembelajaran guru dan siswa.
Anda juga diharapkan memahami bahwa kebijakan sekolah
sangat penting dalam mendukung pelaksanaan GLS. Kepala sekolah,
guru, tenaga kependidikan, dan siswa diharapkan berkolaborasi
menciptakan lingkungan sekolah yang kaya literasi dan nyaman dalam
menjalankan kegiatan dan program literasi. Sampai di sini Anda tahu
bahwa manfaat literasi baca-tulis dapat dirasakan jika semua warga
sekolah bekerja sama.
28
Bab IV
Literasi Membaca di Sekolah
A. Materi
1. Strategi Literasi Membaca di Sekolah
Dalam konsep literasi, membaca ditafsirkan sebagai usaha memahami,
menggunakan, merefleksi, dan melibatkan diri dalam berbagai jenis
teks untuk mencapai suatu tujuan (Abidin, Mulyati, Yunansah, 2017:
165). Pembelajaran membaca bertujuan untuk mengembangkan
pengetahuan dan potensi seseorang, serta untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Kegiatan membaca terkait dengan upaya membangun
makna, memanfaatkan informasi dari bacaan secara langsung dalam
kehidupan, dan menghubungkan informasi dari teks dengan
pengalaman membaca.
Di sekolah, hal pertama dan utama yang perlu dilakukan guru
adalah membuat siswa memiliki pandangan bahwa membaca adalah
aktivitas yang menyenangkan, sebagai tugas belajar yang membuat
mereka menjadi tumbuh dewasa dan mengantarkan mereka menjadi
pribadi yang dicita-citakan (Slavin, dkk., 2014: 170). Menurut Slavin,
pandangan itu bisa diwujudkan dengan menggunakan metode
pembelajaran yang efektif yang dapat membawa setiap siswa
mengalami betapa ajaibnya aktivitas membaca dan menjadi seorang
pembaca yang percaya diri, gembira, dan strategis di akhir masa
pendidikan mereka. Mereka perlu dibawa dalam aktivitas membaca
dengan konteks yang bermakna.
Setelah terbangun pandangan menyenangkan terhadap kegiatan
membaca, guru kemudian membawa siswa pada aktivitas membaca
29
yang dapat dinikmati dan menyenangkan. Sekolah dapat memulainya
dengan menumbuhkan motivasi intrinsik siswa untuk membaca melalui
sejumlah kegiatan (Dewayani, 2018: 4—6) sebagai berikut.
a. Menyediakan dan Memanfaatkan Bahan Bacaan Anak, Baik Fiksi
maupun Nonfiksi, di Sekolah
Bahan bacaan ini dapat digunakan sebagai pintu masuk pembahasan
materi dalam pelajaran nonbahasa. Guru memilih bahan bacaan yang
relevan dengan materi pelajaran yang akan dibawakan dan
menghubungkannya dengan realitas keseharian anak. Pengondisian
yang dilakukan berulang-ulang ini akan menumbuhkan pandangan
dalam diri siswa bahwa kegiatan membaca memudahkannya dalam
memahami setiap materi pelajaran.
30
perjenjangan buku yang menghadirkan teks sesuai dengan
kemampuan membaca siswa. Sumber bacaan yang diupayakan
berupa bahan cetak, digital, dan audio.
32
dkk., 2014: 170). Secara perlahan pembelajaran membaca diarahkan
untuk membangun pemahaman dan keterampilan berpikir, kefasihan
kosakata, dan kenikmatan dalam membaca.
Di kelas lebih lanjut, pelajaran membaca lebih banyak diarahkan
pada kegiatan diskusi yang memberi siswa ruang lebih luas untuk
berekspresi dan menyampaikan pikirannya. Selain menjadi model
membaca, guru memberi siswa kesempatan mengeksplorasi dan
mengembangkan kemampuan berekspresi dengan melibatkan gerakan
jasmani (bermain peran, deklamasi, dll.).
34
Kolom INGIN berisi informasi yang hendak diketahui siswa dari
topik bahasan yang akan dibaca. Agar informasi yang ingin diketahui
relevan, guru dapat meminta siswa membaca bahan bacaan dengan
cepat (judul, tulisan di sampul belakang, pengantar, daftar isi, topik
menarik yang didapat usai membaca daftar isi). Dengan membaca cepat
bahan bacaan, akan muncul banyak pertanyaan dalam pikiran siswa.
Kegiatan membaca lebih bermakna jika dibarengi dengan upaya
mencari jawaban atas pertanyaan yang sudah ada di dalam kepala
siswa.
Kolom PELAJARI berisi informasi mengenai pengetahuan yang
didapat siswa setelah membaca. Kolom ini membantu siswa untuk
kembali mengidentifikasi tujuan membaca dan mengaitkannya dengan
proses yang telah dilalui. Mereka dapat meringkas informasi penting
pada teks yang sudah dibaca untuk ditulis di kolom ini. Mereka juga
dapat melakukan refleksi mengenai proses mereka membaca.
Sebelum membaca, guru meminta siswa untuk membuat tabel T-
I-P. Setelah itu, siswa didorong untuk memulai aktivitas membaca,
yaitu rangkaian kegiatan prabaca, membaca, dan pascabaca.
a. Aktivitas Prabaca
Tahap ini merupakan aktivitas sebelum membaca. Tahap ini bertujuan
untuk menyiapkan siswa agar siap mental dan pikiran. Guru
mengarahkan perhatian dan fokus siswa pada upaya menjembatani
pertemuan antara pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa
(skemata) dengan teks yang akan dibaca. Upaya ini mengantarkan
siswa pada kegiatan membaca yang lebih bermakna.
Aktivitas yang bisa dilakukan di tahapan prabaca adalah (a)
melakukan curah pendapat mengenai pengetahuan dan pengalaman
35
siswa terkait dengan topik bahasan; (b) meminta siswa mengungkapkan
keingintahuan; dan (c) mendorong siswa membuat prediksi.
Usai memberi pengantar mengenai teks yang akan dibaca, guru
meminta siswa mengisi kolom TAHU (T) pada tabel T-I-P. Siswa dapat
menuliskan satu per satu pengetahuan apa yang ingin dimilikinya dari
bahan bacaan yang akan dibacanya.
b. Aktivitas Membaca
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam atas teks yang dibaca,
aktivitas membaca lebih banyak berkenaan dengan upaya menganalisis,
membandingkan, dan mengkritisi teks, baik pada tataran struktur dan
organisasi teks, diksi dan bahasa teks, makna teks, tujuan penulis,
maupun bukti-bukti yang diajukan untuk memperkuat argumen
pengarang yang disajikan dalam teks (Abidin, Mulyati, Yunansah,
2017: 186).
Pada tahap ini, aktivitas yang dilakukan di antaranya adalah (a)
menemukan inti gagasan/kata kunci; (b) mengevaluasi ide penjelas
teks; (c) mengutip bacaan dan menganalisis tujuan penulis; (d)
menganalisis struktur, bahasa, gaya, dan makna teks;(e) merespon dan
mengkritisi isi bacaan; dan (f) membuat peta konsep bacaan untuk
menjaring data penting.
Siswa dapat memeriksa tabel T-I-P pada kolom INGIN (I) untuk
mengonfirmasi pertanyaan yang telah dibuatnya atas teks yang
dibacanya. Ia dapat memberi tanda pada tiap pertanyaan yang telah
mendapatkan jawaban.
Pada kegiatan membaca, siswa juga dapat berbagi ide dan
berdiskusi dengan rekan lain untuk menguji prediksi, membuat
inferensi, dan menyusun simpulan isi bacaan. Ia juga dapat menguji
36
fakta, opini, dan bukti lain dengan mendengarkan pendapat rekannya.
Dari kegiatan membaca ini, siswa diharapkan benar-benar memahami
teks secara mendalam.
c. Aktivitas Pascabaca
Tahap ini bertujuan menguji pemahaman siswa terhadap teks yang
telah dibacanya. Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan adalah (a)
menulis rangkuman/ringkasan bacaan; (b) menceritakan kembali,
merespon, dan mengkritisi teks; (c) menjawab pertanyaan dan menulis
ide yang terdapat dalam bacaan menjadi wacana; dan (d) membuat peta
cerita, sinopsis, atau resensi.
Siswa dapat memeriksa tabel T-I-P pada kolom PELAJARI (P)
dengan menuliskan informasi atau pengetahuan yang didapatnya dari
bahan bacaan. Ia pun dapat sekaligus mengevaluasi dan merefleksikan
dua kolom sebelumnya (kolom TAHU dan INGIN) sehingga mampu
menyimpulkan apakah kegiatan membacanya sudah memenuhi tujuan
atau belum.
Guru dapat menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang
variatif untuk menciptakan suasana kelas yang dinamis. Variasi ini
membutuhkan kreativitas dan inovasi guru karena hanya gurulah yang
tahu kondisi dan psikologi siswa.
B. Evaluasi
Studi kasus:
Bacalah buku yang menarik perhatian Anda. Buatlah tabel T-I-P untuk
membantu Anda memahami konten buku!
37
C. Refleksi
Setelah membaca uraian di atas, Anda diharapkan paham bahwa
kegiatan membaca dilakukan melalui rangkaian kegiatan membaca
yaitu prabaca, membaca, dan pascabaca. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman yang baik dan mendalam terhadap konten
bacaan. Agar cinta membaca, siswa perlu dikondisikan pada kegiatan
membaca yang menyenangkan.
Untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap konten
bacaan, Anda juga dapat menggunakan pengatur grafis seperti tabel T-
I-P. Tabel T-I-P ini gunakan dalam menjalani rangkaian kegiatan
membaca (prabaca, membaca, dan pascabaca).
38
Bab V
Literasi Menulis di Sekolah
A. Materi
1. Strategi Literasi Menulis di Sekolah
Dalam konsep literasi, menulis merupakan proses berulang yang
dilakukan penulis untuk merevisi ide-idenya, mengulangi tahapan-
tahapan menulis, hingga mampu mencurahkan ide dan gagasan tersebut
dalam sebuah bentuk tulisan yang sesuai dengan gagasan atau ide yang
dikembangkannya (Abidin, Mulyati, Yunansah, 2017: 206). Untuk
mendapatkan tulisan yang baik, penulis harus mengetahui lebih dulu
tujuan penulisan, sasaran pembaca, dan konteks. Yang perlu
diperhatikan guru adalah teks yang ditulis harus terkait dengan bidang
ilmu tertentu.
Setidaknya ada tiga tujuan pembelajaran literasi menulis di
sekolah (Abidin, Mulyati, Yunansah, 2017: 211—212). Tujuan
pertama adalah sebagai sarana bagi siswa untuk memahami teks atau
konsep keilmuan tertentu. Kegiatan menulis harus terkait dengan
bidang keilmuan yang sedang dipelajari siswa. Tema tulisan harus
berkaitan dengan mata pelajaran yang sedang dijalaninya. Tujuan
kedua adalah untuk mengkritisi informasi ataupun konsep tertentu yang
sedang dipelajari siswa. Kegiatan menulis diarahkan untuk mengasah
keterampilan berpikir kritis, berorientasi pemecahan masalah, dan
meningkatkan kreativitas siswa. Tujuan ketiga adalah untuk
menghasilkan berbagai jenis tulisan sesuai dengan konteks keilmuan,
jenis tulisan, tujuan penulisan, dan sasaran pembacanya. Menulis
39
diarahkan untuk memproduksi tulisan dengan mempertimbangkan
berbagai kepentingan, sasaran, dan konteks sosial budaya.
Menurut Brannan (2010: 3), penulis harus mengetahui lebih dulu
alasan menulis agar dirinya lebih fokus saat menulis. Menulis, katanya,
tidak sekadar untuk menghibur, menginformasikan, atau mengajak
pembaca melakukan sesuatu. Ada alasan lain yang lebih kuat dari itu,
yaitu mengeksplorasi ide, merekam ingatan, dan mengusir frustasi.
Dalam pembelajaran menulis di kelas awal, peluang untuk
menulis disebar-ratakan di setiap pelajaran, mulai dari “mengeja bunyi”
untuk menulis kata-kata dalam pelajaran fonik, menulis kata-kata dan
kalimat-kalimat untuk menjawab pertanyaan dalam cerita menjadi
fokus pelajaran, hingga menulis kreatif setelah siswa membaca cerita
dalam sastra anak-anak (Slavin, 2014: 173). Menulis bukanlah
pelajaran yang terpisah dari aktivitas membaca, menyimak, dan
mendengarkan.
Kegiatan menulis akan lebih bermakna jika dipadukan dengan
kegiatan membaca dan diskusi. Sebelum menulis, siswa diminta untuk
menyimak rekannya yang membaca. Guru merangsang siswa untuk
mengungkapkan pikiran dan pemahamannya atas bacaan tersebut
melalui pertanyaan-pertanyaan mengenai unsur intrinsik cerita.
Penyimpulan hasil diskusi lalu dituliskan dalam beragam bentuk
tulisan. Siswa kemudian berbagi tulisan untuk dikomentari oleh
rekannya atau dinilai oleh guru.
Dalam pembelajaran menulis di tingkat lanjut, aktivitas menulis
dikondisikan sebagai kegiatan petualangan berpikir. Guru menentukan
teks yang hendak dibahas. Siswa kemudian mencerap ide-ide dari teks
yang dibacanya, didiskusikan dengan melibatkan berbagai konteks
(sosial, budaya, bidang keilmuan tertentu), kemudian ditulis dalam
40
beragam bentuk genre. Teks dirancang untuk memperluas pemikiran
siswa mengenai konsep dan keterampilan tertentu (Slavin, 2014: 282).
Sama halnya dengan membaca, kegiatan menulis di kelas harus
dibuat menyenangkan. Guru dapat melakukan beberapa tips berikut
untuk membuat kegiatan menulis menjadi menyenangkan (Dewayani,
2018: 2).
41
Selain itu, siswa juga diminta mengubah kalimat atau menyelesaikan
kalimat agar menarik. Tahap berikutnya, siswa menggambarkan
cerita dengan menambah perincian atau dialog yang tidak terdapat
dalam cerita. Dalam mendiskusikan teks, siswa dibebaskan untuk
membongkar teks sesuai dengan kadar pemahamannya.
42
a. Pramenulis
Pada tahap ini, ada empat kegiatan yang dilakukan. Pertama berupa
bimbingan pramenulis. Guru memberikan bimbingan kepada siswa
mengenai tujuan penulisan, sasaran penulisan, dan genre yang dapat
digunakan untuk menulis topik. Kegiatan kedua berupa membuat peta
konsep. Pada tahap ini siswa membuat peta konsep mengenai hal yang
akan ditulisnya. Peta konsep berfungsi mendaftar hal yang akan
dibahas dan sumber data yang dapat memenuhinya. Peta konsep dapat
dikembangkan menjadi kerangka tulisan (outline) yang menjadi
pedoman penulisan. Kegiatan ketiga berupa membuat daftar
pertanyaan. Siswa membuat daftar pertanyaan mengenai topik yang
akan ditulis. Kegiatan keempat adalah riset. Siswa melakukan riset
untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan, terutama yang berasal dari
daftar pertanyaan yang telah dibuat. Riset dapat berupa membaca
pustaka, melakukan wawancara, bahkan melakukan penelitian.
b. Membuat Draf
Pada tahap membuat draf, beberapa kegiatan dapat dilakukan sebagai
berikut. Tahap pertama adalah menyusun lembar informasi. Data dan
informasi hasil riset dikelompokkan berdasarkan kategori tertentu
sesuai dengan outline. Hasil riset berupa kutipan dari buku dan
responden (wawancara) perlu dipisahkan tersendiri. Tahap kedua
adalah menulis dan mengulang ide. Siswa mulai menulis dan secara
berulang meninjau lembar informasi untuk mengisi konten outline. Jika
tulisan dirasa kurang data, penulis dapat melakukan kegiatan
pramenulis yaitu riset. Tahap ketiga adalah menuliskan kutipan. Untuk
memperkaya tulisan, kutipan dari narasumber penting perlu
dimasukkan untuk memperkuat kebenaran isi tulisan. Tahap keempat
43
adalah melakukan verifikasi. Siswa perlu mengecek kembali kebenaran
konten tulisan baik dari segi isi, gaya penulisan, maupun bahasa.
c. Revisi
Siswa mengecek kembali kebenaran konten tulisan termasuk
penggunaan kosakata sehingga menjadi lebih tepat, baik dari segi
kebakuan maupun peristilahan dalam bidang ilmu yang ditulis. Revisi
juga dapat menentukan apakah bahan yang ditulis sudah memadai. Jika
belum, siswa dapat mengulang langkah pramenulis yaitu melakukan
riset kembali.
d. Pengeditan
Jika revisi lebih menyentuh konten, pengeditan menyentuh penggunaan
tata bahasa, diksi, dan logika penulisan. Siswa dapat menambahkan
atau memotong tulisan sesuai kebutuhan. Pengeditan dianggap selesai
jika konten tulisan dirasa telah utuh dan bahasa penulisan enak dibaca.
e. Publikasi
Tulisan yang telah selesai sebaiknya dipublikasikan agar bisa dibaca
oleh orang lain. Publikasi dapat dilakukan dengan menempel tulisan di
dinding kelas atau di mading koridor sekolah. Tulisan juga dapat
dipublikasi melalui internet seperti blog dan media sosial. Dengan
adanya publikasi, terbuka bagi pembaca untuk memberi komentar,
kritik, dan masukan sehingga penulis mendapat tanggapan untuk
perbaikan penulisan di masa mendatang.
Dalam kegiatan pembelajaran literasi menulis di kelas, guru dapat
memvariasikan metode dan strategi pembelajaran agar suasana kelas
lebih bergairah. Guru, misalnya, dapat merancang kegiatan
44
berkelompok atau berpasangan pada aktivitas pramenulis (riset),
membuat draf (menyusun lembar informasi), revisi (siswa saling
mengecek konten), dan pengeditan (siswa mengedit konten temannya).
Di era revolusi industri 4.0 ini, kegiatan menulis sedianya
menggunakan media multimodal. Tulisan yang dihasilkan tidak lagi
sebatas goresan di atas kertas kosong. Lebih dari itu, tulisan dibuat
dalam beragam bentuk seperti poster, booklet, pamflet, dan berbagai
jenis tulisan lain, termasuk tulisan yang menggunakan media internet
seperti blog, media sosial, dan laman.
47
B. Evaluasi
Studi kasus:
Anda telah mengetahui rangkaian kegiatan literasi baca tulis mulai dari
pramenulis, membuat draf, revisi, pengeditan, hingga publikasi.
Susunlah kegiatan dalam satu rangkaian itu yang menghasilkan artikel
bertema bebas dengan panjang maksimal 2.000 karakter! Sebutkan pula
dua bentuk publikasi tulisan Anda itu!
C. Refleksi
Bab ini mengantarkan Anda pada pemahaman bahwa aktivitas menulis.
Sama seperti membaca, kegiatan menulis membutuhkan waktu dalam
pelaksanaannya, yaitu kegiatan pramenulis, membuat draf, merevisi,
mengedit, dan mempublikasikan tulisan. Semua rangkaian kegiatan itu
harus dilakukan untuk mendapatkan tulisan yang baik dan mendalam.
Anda juga tahu bahwa banyak cara yang dapat dikembangkan
untuk meningkatkan literasi baca-tulis di sekolah melalui kegiatan
kolaborasi. Kolaborasi dilakukan dengan melibatkan pemangku literasi
yang dapat dijangkau oleh sekolah.
48
Bab VI
Teks dan Representasi
A. Materi
1. Strategi Pemahaman Teks dalam Pembelajaran
Membaca merupakan kegiatan mengonstruksi makna yang terkandung
dalam teks yang dibaca. Pada proses kontruksi itu, pembaca melibatkan
serangkaian kegiatan berpikir dan aktivitas mental untuk mendapatkan
pemahaman memadai terhadap makna teks. Dengan demikian,
pembelajaran membaca menuntut siswa untuk tidak sekadar mampu
mengeja deretan kalimat. Mereka juga dituntut untuk mampu
memahami, mengkritisi, dan memproduksi sebuah wacana tertulis.
Untuk memahami sebuah teks, siswa harus mengerahkan kemampuan
bernalar aras tingginya (high order thinking skills—HOTS) untuk
mencapai suatu pemahaman terhadap teks secara sempurna.
Ungkapan normatif di atas dapat dipraktikkan lebih mudah
dengan memahami ungkapan Bobbi Deporter dan Mike Hernacki
berikut ini. Dalam bukunya Quantum Learning: Membiasakan Belajar
Nyaman dan Menyenangkan, keduanya memberi jalan keluar agar
kegiatan membaca dapat lebih bermakna dan mudah dilakukan.
Menurut mereka, kata-kata yang digunakan seorang penulis adalah alat
untuk menyampaikan gagasan-gagasannya, dan satu-satunya cara agar
dapat “memahami gagasan” tersebut adalah dengan membaca kata-kata
dalam konteks yang berhubungan (2016:264). Otak berpikir lebih keras
untuk memahami kata atau kalimat yang diposisikan berdiri sendiri
daripada memahaminya sebagai satu kesatuan dengan kata atau kalimat
yang mendahului dan setelahnya.
49
Selain membaca gagasan, Bobbi Deporter dan Mike Hernacki
menawarkan strategi lain dalam memahami bacaan. Strategi ini akan
berjalan efektif jika terus dilatihkan. Strategi itu meliputi beberapa hal
berikut.
a. Menjadi Pembaca Aktif
Selama membaca, pembaca mengaktifkan pikirannya pada kata
tanya seperti apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana.
Keenam pertanyaan itu terus didengungkan saat membaca sehingga
teks yang dibaca dipaksa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu. Kondisi ini akan membuat pikiran terus fokus untuk memahami
gagasan yang terkandung dalam teks.
c. Ciptakan Minat
Memahami sebuah gagasan akan lebih cepat jika pikiran
sebelumnya dirangsang dengan pengetahuan lain yang berkaitan
dengan konten buku yang akan dibaca. Kegiatan “pemanasan” ini
memberikan pengalaman dan pengetahuan awal (skemata) yang
sangat berguna untuk mencerap pengetahuan baru yang lebih
mendalam.
50
d. Buatlah Peta Pikiran
Peta pikiran dibuat dengan membaca secara cepat seluruh materi
bacaan dilanjutkan dengan membuat kerangka pemahaman
menggunakan judul bab atau pembagian topik lainnya. Kegiatan
membaca dilakukan sekali lagi secara menyeluruh dengan mengisi
detal-detail ke dalam kerangka pemahaman yang sudah terpetakan
tadi.
51
baru saja kita ketahui, kata Brannan, kita akan memahami dan
mengingatnya dengan lebih baik.
52
b. mentransformasi satu media representasi menjadi media representasi
yang lain;
c. menjelaskan hubungan antardua atau lebih jenis media representasi
yang digunakan untuk menyajikan satu fenomena yang sama atau
untuk mengomunikasikan pesan yang sama;
d. mengevaluasi media representasi multimodal yang digunakan dan
menjelaskan mengapa representasi tertentu lebih tepat dugunakan
untuk mencapai tujuan tertentu dibanding dengan media representasi
yang lain;
e. menjelaskan bagaimana media representasi yang berbeda
menjelaskan fenomena yang sama dengan cara yang berbeda dan
mengapa media representasi tertentu dapat digunakan untuk
menyatakan sesuatu yang mungkin sulit dinyatakan melalui media
lain; dan
f. memilih, mengombinasikan, dan memproduksi media representasi
standar maupun nonstandar sebagai salah satu cara efektif untuk
mengomunikasikan konsep disiplin ilmu tertentu.
54
f. Ukuran poster konten sebaiknya besar agar dapat dibaca dari jarak
kurang lebih 2 meter.
Di kelas, kegiatan membuat poster dapat diawali guru dengan
membentuk kelompok siswa. Tiap kelompok ditugaskan membuat
poster dengan tema tertentu. Hal pertama yang dilakukan siswa tiap
kelompok adalah mengidentifikasi konsep-konsep kunci suatu
informasi. Kemudian mereka berbagi tugas setidaknya dalam tiga
kategori, yaitu mengumpulkan informasi, mendesain poster, dan
mengatur presentasi poster.
Dalam mengumpulkan informasi, siswa menggunakan beragam
sumber informasi seperti majalah, buku, dan internet. Tiap siswa
mencatat kata kunci sebuah konsep sebanyak mungkin dari artikel, esai,
atau jurnal. Mereka juga mengumpulkan gambar/ilustrasi yang secara
tepat merepresentasikan kata kunci dari sumber informasi tersebut, atau
membuat sendiri gambar/ilustrasi menggunakan alat tulis (spidol,
pensil warna, dll.).
Setelah kata kunci dan gambar/ilustrasi dicatat, tiap anggota
kelompok berdiskusi dan menyepakati kata kunci dan bentuk
gambar/ilustrasi yang akan ditampilkan sebagai konten poster. Kata
kunci dan gambar/ilustrasi yang sudah disepakati lalu ditulis/digambar
di atas poster berukuran, misalnya, 100 cm x 70 cm. Besar huruf dan
gambar/ilustrasi sebaiknya dapat dilihat dari jarak sekitar 2 meter.
Konten poster yang selesai kemudian diletakkan di tempat strategis
yang telah ditentukan guru.
Kegiatan menganalisis poster mendorong siswa untuk berpikir
kritis dan analitis terhadap efektivitas pesan yang termuat dalam poster.
Pada poster yang sering mereka lihat di tempat umum, siswa mampu
55
mengoptimalkan pikiran kritisnya dalam bentuk paparan solutif sebagai
hasil refleksinya yang panjang.
Berikut ini contoh poster yang bisa ditampilkan guru di ruang
kelas dan bagaimana siswa dapat menganalisisnya. Untuk
menganalisisnya, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama,
guru menampilkan gambar poster di bawah ini di depan kelas (dapat
menggunakan proyektor). Kedua, siswa diminta mengamati secara
seksama poster tersebut sambil bercerita tentang fenomena yang terjadi
di sekitar siswa. Hal itu bertujuan untuk merangsang pengetahuan dan
pengalaman yang mereka alami (skemata) dan berkaitan dengan
konten poster. Ketiga, siswa diminta mengisi tabel analisis poster di
bawah ini.
56
Tabel 6.1. Kegiatan Analisis Poster
Pertanyaan Jawaban
Siapa/institusi apa yang menyampaikan
pesan dalam poster ini?
Pesan apa yang ingin disampaikan oleh
pembuat poster?
Apa alasannya?
Menurutmu, apakah pesan yang
disampaikan cukup efektif?
- Apakah bahasa dalam poster
menyampaikan pesan yang jelas?
- Apakah gambar cukup dapat
membantu?
Menurutmu, apakah gambar disajikan
dengan cukup baik?
- Apakah penggambaran objek baik?
- Apakah komposisi warna baik?
- Apakah gestur tokoh dalam poster
baik?
Apakah kamu setuju dengan pesan
dalam poster? Mengapa?
(Sumber: Menghidupkan Literasi di Ruang Kelas, Dewayani, 2017: 91)
3. Big Book
Big book merupakan buku berukuran besar yang menampilkan teks dan
gambar/ilustrasi secara jelas dalam ukuran yang juga besar. Kertas
yang digunakan dapat berupa kertas ukuran A3 atau kertas karton yang
dipilih sesuai kebutuhan. Menurut Vacca, et al (dalam Abidin, 2015:
57
269), big book merupakan buku anak dalam versi besar dengan huruf
dan ilustrasi yang juga besar yang didesain secara khusus agar anak
dapat melakukan eksplorasi terhadap teks dan mengembangkan konsep
yang berhubungan dengan tulisan sebagai salah satu strategi
membangun makna. Namun dalam perkembangannya, big book tidak
sekadar digunakan untuk pembelajaran siswa kelas rendah. Big book
juga digunakan dalam pembelajaran siswa SMP, SMA, bahkan
mahasiswa sesuai dengan kebutuhannya.
Manfaat big book sangat banyak. Di antaranya adalah siswa
dengan mudah memahami struktur buku, membedakan gambar dengan
teks sekaligus menghubungkan keduanya, dan mendorong
perkembangan dan pemahaman kosakata siswa dengan makna kata. Big
book juga dapat mendekatkan psikologi dan membangun kolaborasi
antara guru dan siswa jika dibuat secara bersama-sama.
Sebagai media pembelajaran, big book berisi informasi, cerita,
atau argumentasi yang padat, singkat, dan menarik. Ia menyajikan
konsep-konsep kunci atau peristiwa penting yang mudah dipahami
pembaca. Bahasanya komunikatif sehingga mudah dicerna. Ilustrasinya
juga mendukung pemahaman siswa atas teks.
Yang unik, sebagai produk buatan tangan sendiri, big book dibuat
dengan bahan sederhana yang didapat dari lingkungan sekitar, seperti
bahan daur ulang atau bahan bekas pakai. Isinya tidak begitu tebal,
sekitar 8—15 halaman. Biasanya big book tidak bersifat bolak-balik.
Hanya menggunakan satu sisi bagian kanan.
Big book dibuat untuk memudahkan guru menyampaikan suatu
topik pembelajaran, atau menjadi referensi pendamping bagi buku teks
pelajaran yang masih memerlukan penjelasan utuh atas suatu konsep.
Adapun yang perlu diperhatikan adalah bahwa big book dibuat guru
58
sesuai dengan keberagaman guru dan sebaiknya mempertimbangkan
kearifan lokal (menggunakan bahan-bahan khas lokal). Berikut ini
langkah-langkah untuk membuat big book (Abidin, 2015: 271—272).
a. Tentukan tema atau permasalahan yang akan menjadi isi big book.
b. Batasi tema atau permasalahan tersebut menjadi topik yang penting
dan menarik.
c. Susun kerangka ide untuk mempermudah penyusunan isi big book.
d. Kembangkan kerangka ide tersebut di dalam kertas biasa menjadi
sebuah draf awal isi big book sejumlah 8 sampai 15 halaman.
e. Lakukan penyuntingan terhadap draf tersebut sehingga draf siap
ditulis dalam media big book.
f. Siapkan berbagai peralatan yang diperlukan untuk membuat big
book meliputi kertas karton/dupleks, media pewarna (pensil warna,
krayon, atau media lain), alat pemotong, lem, dan alat tulis kantor
lainnya.
g. Tentukan dan gambarlah ilustrasi untuk setiap halaman sesuai
dengan isi dan jumlah halaman isi yang telah dibuat. Dalam konteks
tertentu, ilustrasi tidak perlu digambar sendiri, tetapi bisa berbentuk
tempelan dari gambar siap yang telah ada. Selain teknik tempel,
ilustrasi big book juga dapat dikreasi secara lebih menarik dengan
mengunakan teknik kolase.
h. Tulislah kembali isi big book sesuai dengan draf yang telah dibuat
pada langkah sebelumnya. Teknik penulisan yang harus digunakan
adalah teknik penulisan huruf lepas dengan tulisan tangan atau
tulisan yang dibuat dan dicetak melalui komputer dan mesin cetak.
i. Buatlah halaman pada setiap halaman big book yang dibuat.
j. Buatlah judul yang menarik pada etiket big book yang juga harus
dikemas secara menarik.
59
4. Pamflet, Booklet, dan Brosur
Pamflet, booklet, dan brosur sudah akrab di kalangan siswa. Mereka
pun dapat membuatnya dengan konten yang diambil dari materi
kegiatan belajar mengajar. Dengan mengombinasikan antara teks,
ilustrasi, dan pewarnaan, siswa dapat membuat pamflet, booklet, atau
brosur menggunakan selembar kertas yang dibuat 3 atau 4 lipatan
sehingga menghasilkan 6 atau 8 halaman brosur.
Konten pamflet, booklet, atau brosur dapat dibuat dengan
menggunakan tulisan tangan atau komputer. Tata letak teks dan
ilustrasi disesuaikan dengan lipatan. Jika menggunakan komputer,
siswa dapat membuat pamflet, booklet, atau brosur dengan ukuran
kwarto/folio pada posisi lanskap dengan 3 atau 4 kolom. Ms. Word
dapat digunakan untuk pembuatan kolom.
5. Media Digital
Perkembangan teknologi informasi memungkinkan pembelajaran
literasi menggunakan media digital menjadi semakin beragam. Jika
dulu guru dan siswa dapat menggunakan media seperti televisi, VCD,
dan power point untuk mendukung proses pembelajaran, kini media itu
diperluas dengan penggunaan internet seperti Youtube, Facebook, dan
Instagram. Guru dapat memanfaatkan media digital itu untuk
menyampaikan materi pelajaran dengan menarik dan interaktif.
Sebaliknya, siswa menikmati pelajaran dengan tampilan atraktif yang
dipadu dengan suara dan animasi yang dapat melambungkan imajinasi.
Guru, misalnya, dapat menyampaikan materi pelajaran dengan
membuat video singkat dan mengunggahnya ke Youtube kemudian
menjawab setiap komentar (pertanyaan) siswa di bawah video itu.
Siswa pun dapat membangun ruang diskusi memanfaatkan Facebook
60
setelah mengunggah karya mereka. Menjaring pendapat orang juga
tidak sulit dengan menggunakan fasilitas jejaring sosial tersebut.
Dengan media digital, representasi multimodal menjadi lebih mudah
dilakukan karena banyak cara bisa ditempuh dengan beragam pilihan.
Pemahaman pada representasi multimodal mendorong pengajaran
literasi baca-tulis di sekolah mengarah pada pembekalan keterampilan
siswa untuk menciptakan dan memadukan jenis-jenis teks menjadi
bentuk yang baru. Mereka diberi kebebasan memodifikasi,
mengelaborasi, dan menciptakan produk baru dengan kompetensi yang
dimiliki. Keterampilan ini harus dikuasai siswa sesuai dengan minat
dan karakternya.
Pembelajaran representasi multimodal seharusnya tidak berhenti
pada pembekalan kompetensi pada diri siswa. Konsep bernalar aras
tinggi yang digunakan selama proses pembelajaran (kritis, kreatif,
kolaboratif, dan komunikasi) tidak sekadar melahirkan pemecahan
masalah (solusi) yang berhenti di ruang kelas. Siswa didorong untuk
melakukan aksi sebagai bentuk partisipasi di masyarakat (literasi
kritis).
Menjelang akhir pembelajaran, guru meminta siswa merefleksi,
kembali menganalisis, dan mengevaluasi hasil diskusi. Mereka
kemudian ditugasi untuk merumuskan rencana aksi guna mengatasi
persoalan di masyarakat. Aksi dapat berupa kampanye yang dilakukan
melalui jejaring sosial hingga terjun langsung ke masyarakat.
Pada kasus antirokok, misalnya, siswa dapat membuat artikel,
poster dengan konten baru, dan pamflet yang diunggah di blog dan
media sosial. Atau membuat video blog (vlog) yang berisi wawancara
dengan sesama siswa, guru, dan praktisi kesehatan yang diunggah ke
Youtube. Mereka juga dapat bergabung dengan aktivis antirokok dan
61
membagikan pamflet di tempat keramaian. Pada tanggal 31 Mei, yang
diperingati sebagai hari Tanpa Tembakau Sedunia, mereka dapat
menggelar acara pentas seni di sekolah yang intinya menyeru pada
kegiatan antirokok dan pentingnya orang dewasa menjauhkan anak dari
paparan rokok. Selain itu, kegiatan yang dapat dilakukan adalah
menyampaikan petisi yang mengingatkan peran puskesmas untuk
merehabilitasi anak yang merokok.
B. Evaluasi
Studi kasus:
Salah satu bentuk multimodal yang dikembangkan dalam pembelajaran
literasi adalah poster. Pilihlah satu poster bertema pendidikan kemudian
analisis menggunakan tabel kegiatan analisis poster!
C. Refleksi
Bab ini memandu Anda pada pemahaman bahwa apa pun bentuk
kegiatan literasi baca-tulis di sekolah, semuanya harus diarahkan pada
upaya membangun kemampuan siswa dalam memahami teks.
Pemahaman atas teks disesuaikan dengan proses kerja otak manusia.
Anda juga diharapkan memahami bahwa teks tidak bisa berdiri
sendiri. Teks tidak hidup di ruang hampa. Ia bermakna jika dikaitkan
dengan konteks sehingga lahirlah konsep multiliterasi. Dalam
pembelajaran literasi baca-tulis, siswa dibekali kemampuan untuk
mentransformasikan teks dari satu bentuk ke bentuk lain yang bersifat
multimodal. Sampai di sini Anda memahami bahwa literasi lebih
bermakna jika Anda mampu membuat produk literasi yang
membangkitkan ketertarikan.
62
Bab VII
Kreasi dan Inovasi Literasi Baca-Tulis di Sekolah
A. Materi
1. Menciptakan Kreasi dan Inovasi Literasi Baca-Tulis di Sekolah
Keberhasilan GLS terletak di tangan guru yang kreatif dan inovatif.
Dua hal ini merupakan modal pokok agar kegiatan pembelajaran di
sekolah tidak membosankan, monoton, dan menjenuhkan. Salah satu
ciri guru kreatif dan inovatif adalah tidak menempatkan buku teks
pelajaran sebagai acuan utama. Acuan utama mereka adalah
kemampuan diri untuk menciptakan suasana pembelajaran yang
bermakna sekaligus menyenangkan. Berikut ini beberapa tips untuk
menciptakan kreasi dan inovasi literasi baca-tulis di sekolah.
a. Pahami Kebutuhan Siswa
Sebagai mitra siswa, guru harus tahu harapan peserta didiknya
terhadap kegiatan pembelajaran. Bukalah ruang diskusi dan
dengarkan harapan-harapan mereka mengenai topik, metode, dan
media pembelajaran yang mereka sukai, terutama mengenai bentuk
representasi multimodal yang mereka inginkan. Dengan mengetahui
harapan mereka, guru lebih mudah merancang kegiatan
pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
b. Manfaatkan Bahan di Sekitar Sekolah sebagai Media Pembelajaran
Siswa juga diperkenankan memanfaatkan bahan di lingkungan
sekitarnya dalam menciptakan produk literasi seperti mini book dan
big book. Pemanfaatan barang multifungsi untuk menunjang
prasarana literasi, misalnya talang air untuk rak buku, juga dibuka
63
seluas-luasnya. Cara ini dilakukan untuk menunjukkan kepada siswa
bahwa literasi baca-tulis sangat erat kaitannya dengan kehidupan
mereka sehari-hari.
c. Kemas Kegiatan Pembelajaran dalam Bentuk Permainan
Semua orang senang bermain, terutama anak-anak. Sedalam apa pun
bobot materi pelajaran, jika dikemas dalam bentuk permainan akan
mudah dipahami siswa. Puzzle, ular tangga, dan pohon literasi
merupakan media pembelajaran yang telah banyak digunakan di
sekolah dengan berbagai variasi yang disesuaikan dengan tingkat
pemahaman siswa. Guru juga memberi kesempatan kepada siswa
untuk membuat permainan literasi yang dapat digunakan untuk
pembelajaran bersama di kelas. Melalui kegiatan seperti ini akan
tumbuh dalam diri siswa pemahaman bahwa literasi adalah sesuatu
yang menyenangkan dan dapat dinikmati.
d. Libatkan Banyak Pihak
Semakin banyak pihak yang terlibat dalam sebuah proyek
pembelajaran, akan semakin banyak kreasi dan inovasi yang muncul
sebagai dampak sinergi dan kolaborasi. Guru dapat mengundang
pelaku perbukuan (penulis, editor, ilustrator, penerbit, dll.), pemilik
toko buku di pusat perbelanjaan, bahkan tukang buku pinggir jalan
untuk berbagi pengalaman. Siswa dapat mengetahui proses kreatif,
suka duka, dan solusi menghadapi berbagai hambatan terkait profesi
yang terkait literasi baca-tulis. Pengenalan terhadap profesi mereka
juga sekaligus memperkenalkan karakter yang harus dimiliki agar
bisa bertahan di dunia literasi baca-tulis yang mungkin akan mereka
geluti.
64
2. Indikator Sekolah Sukses Membudayakan Literasi Baca-Tulis
Pada dasarnya yang dituju dalam Gerakan Literasi Sekolah adalah
perubahan paradigma dan perilaku warga sekolah. Perubahan itu
tercermin dalam aktivitas warga sekolah sehingga tumbuh ekosistem
satuan pendidikan yang literat dan warganya menjadi pembelajar
sepanjang hayat.
Sekolah yang berhasil membudayakan literasi baca-tulis tampak
dari kegiatan dan perilaku keseharian siswa dan gurunya, serta sarana-
prasarana yang dioptimalkan untuk mendukung kegiatan membaca dan
menulis. Sekolah yang berhasil membudayakan literasi baca-tulis
tampak dari ciri-ciri sebagai berikut.
a. Siswa dan guru senang membaca dan menulis. i lingkungan sekolah,
aktivitas membaca dan menulis selalu tampak. Siswa dan guru
mengisi waktu untuk melakukan salah satu dari keduanya di saat ada
waktu luang. Mereka mengerjakannya dengan penuh kesadaran
tanpa paksaan atau tanpa ikut-ikutan yang lain.
b. Lingkungan sekolah kaya literasi. Semua area sekolah dipenuhi teks
edukatif dengan beragam multimodal (majalah dinding, poster,
pamflet, dll.). Kelas, koridor, taman, hingga kantin sekolah penuh
hiasan literasi. Produk literasi dihasilkan dari kerja-kerja kolaboratif
antarsiswa maupun antara siswa dan guru.
c. Perpustakaan sekolah selalu padat kunjungan. Perpustakaan menjadi
tempat favorit siswa dan guru untuk menambah ilmu. Frekuensi
peminjaman buku juga tinggi.
d. Ada jadwal kunjungan wajib siswa ke perpustakaan. Kesadaran pada
perpustakaan sebagai pusat sumber belajar utama dan pentingnya
fungsi perpustakaan dalam integrasi kurikulum mendorong sekolah
mengadakan program kunjungan wajib ke perpustakaan.
65
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)
Gambar 7.1. Contoh lingkungan sekolah kaya literasi
e. Ada kegiatan rutin peluncuran dan bedah buku. Siswa dan guru
membuat proyek penulisan bersama dan menjadwalkan peluncuran
dan bedah buku secara berkala di perpustakaan sekolah.
f. Guru berupaya mengintegrasikan mata pelajaran yang diampunya
dengan mata pelajaran lain. Tiap guru mata pelajaran berkolaborasi
serta mengaitkan kompetensi inti dan kompetensi dasar tiap topik
pelajaran sehingga menghasilkan kegiatan pembelajaran kolaboratif.
g. Guru mampu membuat modul pembelajaran sendiri yang
dikembangkan berdasarkan pengalaman mengajarnya. Kesadaran
mengenai pentingnya kurikulum integratif mendorong guru
membuat kreasi dan inovasi menggunakan multimedia dan
multimodal yang memudahkan siswa menjalani pembelajaran secara
bermakna.
66
h. Kegiatan diskusi tentang buku tampak di berbagai penjuru sekolah.
Selain rajin membaca dan menulis, guru dan siswa senang
berdiskusi tentang buku yang dibaca. Pada kondisi tertentu kegiatan
diskusi berlanjut pada kegiatan lanjutan seperti membuat resensi dan
mengirimnya ke media massa, membagikan hasil diskusi melalui
penulisan naskah yang dimuat di blog atau diterjemahkan dalam
bentuk tayangan vlog di Youtube, atau membuat kampanye literasi
baca-tulis di media sosial.
i. Buku nonteks pelajaran (buku pengayaan dan referensi), baik yang
berbentuk fiksi maupun nonfiksi, cukup tersedia di perpustakaan
sekolah. Anggaran pembelian buku melalui bantuan operasional
sekolah (BOS) dinaikkan untuk membeli koleksi buku berkualitas
dan buku-buku ensiklopedi yang sulit terbeli dengan dana mandiri.
c. Area sekolah dihiasi kantin baca, taman baca, lorong literasi, tangga
literasi, dan lapak buku.
69
dengan konteks budaya siswa dan dapat digunakan bersama. Ternyata
idenya disambut baik oleh rekan-rekan guru. Dharmawati melakukan
langkah-langkah berikut ini dalam membuat big book:
1. mengidentifikasi kompetensi inti, kompetensi dasar, dan tema
selama satu semester kemudian memetakan materi yang perlu
didukung oleh media pembelajaran, yaitu buku cerita anak;
2. menggunakan peta identifikasi KI, KD, dan tema selama 1 semester
untuk memetakan buku-buku dari penerbit yang sesuai dengan tema
pembelajaran tertentu; dan
3. mengidentifikasi tema yang belum tercakup dalam buku bacaan
yang ada dan mulai membuat buku besar.
Foto: Dharmawati
Ada beberapa keunikan big book. Pertama, big book terbuat dari
barang bekas dan bersumber dari alam sehingga ramah lingkungan.
Kedua, big book berkaitan dengan materi pelajaran karena terpetakan
dengan kompetensi inti, kompetensi dasar, dan tema pembelajaran.
Ketiga, materi big book bermuatan budaya lokal Kalimantan Utara,
mulai dari tanaman, hewan, hingga masyarakat Kalimantan Utara.
Keempat, big book merupakan karya orisinal guru dan siswa dalam
proses pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.
71
Kelima, big book melejitkan kreativitas guru dan siswa. Keenam, big
book bermuatan penguatan pendidikan karakter karena dibuat sendiri
oleh guru berdasarkan kondisi aktual siswa dan nilai karakter tertentu
yang ditanamkan.
Setelah satu semester, penggunaan big book dievaluasi. Hasilnya
cukup mencengangkan seperti yang dipaparkan sebagai berikut.
a. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) naik di tiap tingkatan. Dari
rerata 1,6% di tahap pembiasaan GLS menjadi 4,5%. Artinya
penggunaan buku besar (big book) terkait materi pembelajaran
sangat efektif sebagai pendamping buku teks.
b. Siswa tak hanya lancar membaca, tetapi juga memahami isi
bacaannya dan bisa menceritakan kembali isi bacaan secara
sederhana.
c. Guru dan siswa memanfaatkan area baca dan bahan kaya teks
sehingga kegiatan pembelajaran banyak dilakukan di luar kelas.
Bagi siswa, belajar di luar kelas sangat menyenangkan.
d. Kegiatan menyusun big book menumbuhkan minat meneliti di
kalangan guru. Untuk dapat membuat big book, mereka harus
membaca dan meneliti banyak sumber bacaan.
e. Guru dan siswa semakin serius mengkaji kondisi alam dan sosial
sebagai bahan pembuatan big book.
72
B. Evaluasi
Studi kasus:
Uraian di atas salah satunya menjelaskan tips menciptakan kreasi dan
inovasi literasi baca-tulis di sekolah. Big book adalah salah satu contoh
produk yang dapat dibuat menggunakan bahan dari lingkungan sekitar.
Jika Anda membuat big book, bahan apa saja yang dapat digunakan
jika sekolah Anda berada di kawasan pesisir pantai dan lahan
pertanian?
C. Refleksi
Bab ini membawa Anda pada pemahaman bahwa literasi baca-tulis di
sekolah dapat dikembangkan dengan mengoptimalkan kreativitas dan
inovasi guru. Dalam prosesnya, guru melibatkan siswa dalam
penciptaan produk literasi multimodal sehingga pembelajaran literasi
baca-tulis lebih bermakna.
Untuk mendapatkan sekolah dengan tingkat literasi baca-tulis
tinggi, kepala sekolah harus melibatkan guru, tenaga kependidikan, dan
siswa. Sebagai manajer, kepala sekolah menjadi pelopor dan teladan
literasi sehingga guru dan siswa mudah mengikuti jejaknya.
73
Bab VIII
Penutup
74
B. Saran Tindak Lanjut mengenai Literasi Baca-Tulis
Modul Literasi Baca-Tulis di Sekolah ini sekadar stimulan bagi
pengembangan yang lebih tinggi. Perubahan yang cepat dan sulit
diprediksi di era revolusi industri 4.0 ini membuka peluang bagi
pengembangan literasi baca-tulis yang relevan dan adaptif terhadap
perubahan. Oleh karena itu, uraian dalam modul ini sebaiknya
ditempatkan sebagai pijakan awal bagi pengembangan literasi baca-
tulis yang lebih maju. Siswa sebagai pusat pembelajaran harus benar-
benar dioptimalkan potensinya agar dapat berpartisipasi dalam
masyarakat.
Literasi baca-tulis menjadi pintu masuk bagi pembahasan
mengenai lima komponen literasi dasar lainnya, yaitu numerasi, literasi
sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan
kewargaan. Ada baiknya pembahasan mengenai kelima literasi tersebut
dilanjutkan agar pemahaman siswa terhadap literasi dasar lebih utuh.
75
DAFTAR PUSTAKA
80
c. multidimensi
d. multiliterasi
28. Berikut ini indikator sekolah yang sukses dalam literasi baca-tulis,
kecuali ….
a. lingkungan sekolah kaya literasi
b. perpustakaan sekolah padat kunjungan
c. guru mampu membuat modul pembelajaran sendiri
d. guru dan siswa dapat mengidentifikasi informasi hoaks
30. Salah satu dampak positif guru membuat big book adalah …
a. menyalurkan hobi
b. menumbuhkan minat meneliti
c. dapat menggelar pelatihan membuat big book berbayar
d. jadi portofolio kenaikan pangkat
81
GLOSARIUM
big book
buku berisi teks dan gambar dalam ukuran besar yang dibuat sebagai
pendamping buku teks pelajaran.
literasi
kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan informasi
secara cerdas
pemangku literasi
institusi, lembaga, atau kelompok di masyarakat yang bergerak di
bidang literasi seperti komunitas literasi, lembaga swadaya masyarakat,
akademisi, taman bacaan masyarakat, dan perguruan tinggi.
pojok literasi
area membaca di lingkungan sekolah berisi rak buku yang ditempatkan
di lokasi siswa biasa berkumpul seperti saung, pendopo, dan kantin.
representasi multimodal
bentuk lain dari produk literasi yang dihasilkan dari proses berliterasi.
sudut baca
area di bagian belakang kelas yang berisi rak buku dan dilengkapi
aksesoris untuk kenyamanan membaca siswa.
82
BIOGRAFI PENULIS
83
Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jalan Daksinapa Barat IV, Rawamangun, Jakarta 13220, Kotak Pos 6259
Telepon (021) 4706287, 4706288, 4894564; Faksimile 4750407
Laman: www.badanbahasa.kemdikbud.go.id; Pos-el: pusbin.badanbahasa@kemdikbud.go.id