Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Sejarah Perkembangan Literasi di Dunia

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Minat Baca dan Tulis Sekolah Dasar

Dosen Pengampu Ibu Laily Nurmalia M.Pd.

Disusun Oleh

Dinda Dwianandari (2019820002)

Nur Hikmah (2019820015)

Nurul Umrotullatifah (2019820069)

Sarah Tsaqila (2019820037)

Shafaersa Saefullah (2019820085)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa atas rahmat-Nya kepada penulis
sehingga berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah Literasi di Dunia sebagai
pemenuhan tugas mata kuliah Minat Baca dan Tulis Sekolah Dasar Jurusan Pendidikan Guru
Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Penulis menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Namun, penulis menyadari masih
ada kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak.
Akhir kata penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada
mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Banten, 22 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................................................ i

Daftar Isi ...................................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 2


C. Tujuan ........................................................................................................................................... 2
D. Manfaat ......................................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3

A. Sejarah Pekembangan Literasi Dunia............................................................................................. 3


B. Sejarah Pekembangan Literasi di Indonesia .................................................................................. 4
C. Program for International Student Assessment (PISA) ................................................................. 7
D. Tingkat Literasi di Dunia dan Indonesia ....................................................................................... 8

BAB III PENUTUP ................................................................................................................................... 12

A. Kesimpulan ................................................................................................................................... 12
B. Saran dan Kritik ............................................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai manusia terdidik sudah sering mendengar istilah melek aksara,


keberaksaraan, kemahirwacanaan, dan literasi. Keempat istilah tersebut pada dasarnya
berpadanan dan berkemiripan makna karena ketiga istilah pertama merupakan usaha
mengindonesiakan istilah literacy. Namun, seriring dengan perkembangan waktu, sekarang
istilah literacy diadaptasi menjadi literasi dalam bahasa Indonesia. Di Indonesia bahkan
sekarang istilah literasi lebih populer dibandingkan dengan istilah melek aksara,
keberaksaraan, dan kemahirwacanaan. Dapat dikatakan bahwa dalam beberapa tahun
belakangan istilah literasi dan gerakan literasi semakin dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia termasuk pegiat literasi di masyarakat dan kalangan pendidikan baik kalangan
sekolah maupun pegiat pendidikan nonformal (Risalah:2017)

Gerakan Literasi Nasional (GLN) merupakan program untuk meningkatkan


kemampuan literasi seperti yang diharapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan di Jakarta, Sabtu, 13 April 2019, dalam pengarahan kegiatan Bimbingan
Teknis Instruktur Literasi Baca-Tulis Tingkat Nasional 2019, berharap minimal enam literasi
yang harus dikuasai seseorang, yaitu: literasi baca tulis, numerasi, sains, digital, fiinasial,
serta budaya dan kewarganegaraan (Suci Paramitha Liestari & Muhardis:2020)

Dalam (Suci Paramitha Liestari & Muhardis:2020) Dari keenam jenis literasi
tersebut, menurut Mendikbud, membaca dan menulis merupakan jenis literasi yang dikenal
paling awal oleh manusia. Hal ini dikarenakan membaca dan menulis termasuk literasi
fungsional (Hapsari, Ruhaena, & Pratisti, 2017), berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Mendikbud melanjutkan bahwa dengan menguasai literasi baca dan tulis, seseorang dapat
menjalani hidupnya dengan kualitas yang lebih baik. Literasi baca tulis bukan hanya urusan
bagaimana seseorang terbebas dari buta aksara, tetapi juga memilki kecakapan hidup agar
mampu bersaing secara global.

1
Berbagai program dikembangkan pemerintah untuk meningkatkan literasi baca tulis,
alangkah lebih baiknya kita mengenal bagaima perkembangan sejarah literasi di Dunia dan
Indonesia, program penilaian kemampuan dan pengetahuan literasi yang diselenggarakan
oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu PISA
Program for International Student Assessment, dan untuk mengetahui sejauh mana tingkat
literasi di Indonesia karena Majunya suatu negara tidak bisa dilepaskan dari tingkat
literasinya. Karena keliterasian tidak dapat dipisahkan dari praktik kemajuan pendidikan di
suatu Negara

B. Rumusan Masalah

Untuk mengkaji dan mengulas tentang metode, model, strategi dan pendekatan
pembelajaran maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan,sehingga penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana sejarah perkembangan literasi di dunia
2. Bagaimana perkembangan literasi di Indonesia
3. Apa itu PISA (Program for International Student Assessment)
4. Tingkat Literasi di Dunia dan Indonesia

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah lperkembangan iterasi di dunia
2. Untuk mengatahui bagaimana perkembangan literasi di Indonesia
3. Apa itu PISA (Program for International Student Assessment)
4. Tingkat Literasi di Dunia dan Indonesia

D. Manfaat

Sebagai informasi untuk mahasiswa dan pendidik dalam memahami sejarah literasi
tersebut secara utuh dan terintegrasi dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Literasi Dunia

Beberapa peneliti mengemukakan bahwa sejarah ketertarikan terhadap konsep “literasi” dapat
dibagi menjadi dua periode. Pertama, periode sebelum 1950, ketika literasi dipahami hanya
sebagai literasi alfabetis (pengenalan kata dan huruf). Kedua, periode setelah 1950, ketika literasi
perlahan mulai dianggap sebagai konsep dan proses yang lebih luas, termasuk aspek sosial dan
budaya membaca dan menulis, dan literasi fungsional (Dijanošić, 2009).

Dalam hal ini Hari Literasi Internasional akan diperingati pada tanggal 8 September setiap
tahunnya, seluruh belahan dunia memperingati hari itu untuk meningkatkan kesadaran akan
pentingnya literasi dalam kehidupan. Beragam manfaat juga bisa didapatkan jika kita
mengedepankan literasi dalam hidup, bukan hanya pada orang dewasa, bahkan pada anak usia
dini. Kemampuan belajar dan daya serap otak pada anak cenderung lebih cepat, sehingga bila
mereka dibiasakan untuk berliterasi sejak dini akan memberikan manfaat optimal.

Hari Literasi Internasional pertama kali bentuk oleh United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 1967. Hari tersebut dicetuskan
oleh UNESCO sebagai langkahnya untuk memajukan literasi membentuk masyarakat yang lebih
melek huruf dan berkelanjutan.

Buta huruf menjadi salah satu latar belakang munculnya Hari Literasi Internasional. Bukan
hanya dialami oleh negara berkembang saja, namun negara maju seperti Amerika pun
diperkirakan memiliki 32 juta orang dewasa yang mengalami buta huruf. Literasi merupakan
poin utama dan terpenting untuk mendukung kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Maka
dari itu, masalah buta huruf tidak bisa diabaikan begitu saja.

Bermula pada tahun 1965 diadakan konferensi yang bertajuk “World Conference of Ministers of
Education on the Eradication of Illiteracy” yang diselenggarakan di Teheran, Iran. Tahun
selanjutnya, UNESCO pun memimpin dan mendeklarasikan 8 September sebagai Hari Literasi
Internasional yang bertujuan untuk mengingatkan komunitas global tentang pentingnya literasi

3
bagi individu, komunitas, dan masyarakat; dan sebagai upaya menuju masyarakat yang lebih
melek huruf demi menciptakan kesejahteraan dunia.

Satu tahun setelahnya, komunitas global menerima tantangan tersebut untuk mengakhiri buta
huruf dengan berpartisipasi dalam Hari Literasi Internasional yang pertama pada tahun 1967.
Pemerintah, sekolah, serta warga di segala dunia ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Selanjutnya pada tahun 1990, dalam konferensi dunia “Education for All” yang diadakan di
Jomtien, Thailand, membahas peran penting literasi. Pada tahun 2015, literasi menjadi poin yang
dimasukkan ke dalam tujuan utama Suistainable Development Goals (SDG’s) dalam bidang
pendidikan.

Hingga pada tahun 2017, Hari Literasi Internasional mengganti fokusnya pada keterampilan
literasi digital karena dianggap berhubungan dengan perkembangan teknologi yang semakin
canggih saat itu. Kemampuan dalam berliterasi merupakan hal penting yang harus dikuasai oleh
setiap orang. Mencerdaskan manusia perlunya membaca, menulis, dan memahami apapun yang
dapat meningkatkan dan menghasilkan sumber daya manusia berkualitas. Jenis literasi pun
beragam, diantaranya:literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan
literasi visual.

Menghasilkan manusia cerdas bukan hanya dibentuk sewaktu mereka sudah dewasa, atau hanya
orang dewasa saja yang harus meningkatkan literasi dalam hidupnya. Namun, pada anak pun
perlu menanamkan pendidikan literasi agar anak tumbuh menjadi orang yang haus akan ilmu dan
selalu ingin tahu.

B. Sejarah Perkembangan Literasi di Indonesia


Merujuk pada sejarah Indonesia, peran pujangga di lingkungan kerajaan atau kraton pada
masa lalu menjadi bukti budaya membaca menulis telah ada sejak lama. Hal tersebut menjadi
embrio budaya literasi di negara ini. Para pujangga mengembangkan sajak berbasis pada
masyarakat lokal sesuai dengan budayanya, mengingat bangsa ini memiliki beragam suku.
Budaya menulis aksara (lambang bahasa) yang bermacam-macam, di aksara latin dan aksara
lokal nusantara, seperti aksara jawa, aksara Bali, dan aksara Arab (pegon) sangat berkembang.
Sebagai contoh, penggunaan aksara latin dan aksara palawa di berbagai buku atau prasasti.

4
Budaya menulis ini pun tidak diundang mengemukakan pikiran atau makna mendalam, seperti
aksara palawa yang mengandung filosofi. Tulisan di dalam setiap aksara memiliki arti dan
makna masing-masing. Masyarakat bangsa ini mengenal tradisi membaca berbagai serat,
layang, dan kitab. Tradisi ini tidak berhenti pada keterampilan membaca, lebih menyatu dengan
kehidupan masyarakat. Berbagai ritual keagamaan atau upacara adat selalu menghadiri tradisi
membaca berbagai serat atau kitab.
Alfan dan Nuraeni, menjelaskan pada masyarakat Sunda, ada tradisi ruwatan yang
dipublikasikan sebagai persyaratan menjabarkan aksara hingga pembacaan mantra-mantra.
Masyarakat mengakui pula tradisi tujuh bulanan dengan membaca serat-serat khusus untuk bayi
yang dikandung dan berbagai tradisi lain. Selain itu, ada pula tradisi mamaca yang dalam
Bahasa Madura berarti membaca. Tradisi ini merupakan pembahasan acara membacakan kitab
dengan aksara Arab (pegon) menyambut jawa. Pada cerita-cerita hikayat, dipelajari berbagai
kisah dengan bahasa melayu dan tulisan beraksara Arab (pegon). Karena itu, bangsa ini
memiliki beragam suku, serta menyerap berbagai budaya luar, seperti budaya arab (Islam) dan
melayu.
Literasi sebagai budaya membaca terbukti telah ikut andil dalam kemajuan pendidikan
dalam kebidupan bangsa ini. Penjelasan di atas menjadi bukti, bahwa dari pendahulu Bangsa ini
memiliki eksistensi yang menjadi akar budaya literasi. Pernyataan opini tentang pemaknaan
tentang akar literasi bangsa aktivitas membaca dan menulis, sebenarnya kurang adil untuk
kekayaan budaya yang ada di bangsa ini. Secara mendalam, literasi tidak hanya kegiatan
mengeja atau menggoreskan bahasa. Lebih dari itu, dalam kegiatan ini ada tidak kebermaknaan
di setiap aktivitasnya. Jadi, merujuk uraian tersebut, maka sebenarnya literasi pada bangsa ini
diaplikasikan melalui membaca dan menulis apa yang terlihat. Misalnya, masyarakat percaya
akan berbagai fenomena alam, kemudian hal itu dibaca dan dituliskan oleh ahlinya.
Berdasar pada deskripsi di atas, dapat dipahami bahwa bangsa Indonesia telah mengenal
dunia literasi sejak jaman kuno, seperti halnya peninggalan gambar dan tulisan di goa goa
prasejarah, atau jejak tulisan dalam berbagai prasasti serta candi-candi di jamantan. Setelah itu,
di zaman kolonial, kita telah tahu bagaimana literasi semakin dikembangkan, salah satunya
R.A. Kartini rajin membaca buku dan menulis surat untuk sahabatnya di Belanda (yang
kemudian dijadikan buku dengan judul "Habis Gelap, Terbitlah Terang"). Kemudian dalam
narasi sejarah bangsa, diceritakan tentang bangsa Indonesia dimulai dengan jumlah besar

5
produk-produk tulisan para tokoh pejuang dan penulis surat kabar cetak yang sangat kritis
terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Maka tak heran bila kemudian pada masa Kemerdekaan Indonesia, kemudian Presiden
Sukarno sangat senang membangun negara dengan tdiak lagi mengangkat senjata, tetapi
mengangkat pena dan buku untuk memberantas sangat besar dikalangan masyarakat. Oleh
sebab itu pada 14 Maret 1948, dicanangkanlah program Pemberantasan Buta Huruf (PBH)
walau kondisi masih dalam keadaan darurat perang. Dalam pelaksanaan PBH yang darurat
tersebut, ternyata kegiatannya dapat dilakukan di 18.663 tempat, dengan melibatkan 17.822
orang guru dan 761.483 orang murid. Sementara itu diadakan swadaya juga dilakukan di sekitar
881 tempat dengan melibatkan 515 orang guru dan 33.626 murid. Hampir dari program ini
dapat melampaui angka 90% sangat besar menjadi 40%. ditahun 1960an.
Selanjutnya, Persiden Sukarno kembali mengeluarkan komado: itu Indonesia harus terbebas
dari buta-huruf hingga tahun 1964. Untuk itu kemudian seluruh masyarakat Indonesia
dikerahkan untuk menyukseskan program tersebut. Ribuan orang dan organisasi yang bisa
membaca-menulis dikerahkan untuk mengajar secara sukarela kepada masyarakat yang masih
buta huruf. Mulai pada tahun 1964, sebagian besar masyarakat usia 13-45 tahun menjadi melek
huruf. Pada masa orde baru program pemberantasan huruf besar juga ada namun tidak pada
masa orde lama. Pada masa program pemberantasan buta-huruf yang disebut program Paket
ABC. Program ini berbeda dengan program sebelumnya yang memobilisasi massa dalam
jumlah besar untuk kegiatan pemberantasan sangat besar, Program ABC lebih bergantung pada
birokrasi pemerintah.
Kemudian pada tahun 1972 dicanangkanlah program Aksarawan Fungsional, yang
merupakan program pemberikan pelajaran membaca, menulis dan berhitung serta keterampilan
tertentu. Pada masa tersebut program aksarawan Fungsional yang hakikatnya telah
dilaksanakan pada masa orde lama, semakin diperbaiki dan diperbarui dapat semakin
meningkatkan jumlah masyarakat yang sangat besar. Selanjutnya pada tahun 1975 mengadakan
program kegiatan inovasi pendidikan. Program inovasi semua jenis dan tingkat pendidikan di
dalam (formal) maupun di luar sekolah (non formal). 25 program yang salah satunya adalah
program wajib belajar (Wajar). Wajar ditetapkan langsung oleh presiden Soeharto pada tanggal
2 Mei 1984. Program Wajar ini dikhususkan untuk anak-anak usia 7 - 12 tahun, yaitu usia
sekolah dasar atau sederajat.

6
Di era reformasi, berbagai macam buku telah diterbitkan. Dunia perbukuan semakin
meningkat dan semakin terbuka. Namun, persoalan rendahnya minat membaca menjadi kendala
kronis di awal era ini. Pada tahun 2001, Studi Literasi Baca Internasional melakukan evaluasi
prestasi pendidikan terkait pemahaman membaca tingkat sekolah dasar. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Indonesia mendapat skor 428 dengan skor rata-rata 500 (skor ratarata
OECD 493). Skor tersebut menjadikan Indonesia berada pada urutan ke 45 dari 48 negara
peserta. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa keterampilan membaca Indonesia pada skala
rendah.32 Untuk merespon hal tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa upaya, di
antaranya adalah pengembangan kurikulum pendidikan, mulai dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) di tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tahun
2006 dan Kurikulum 2013 (K-13).

C. Program for International Student Assessment (PISA)

Program for International Student Assessment (PISA) merupakan sebuah progam penilaian
kemampuan dan pengetahuan yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-
operation and Development (OECD). Program penilaian PISA diperuntukkan untuk siswa di usia
15 tahun. Penilaian PISA dilakukan tiga tahun sekali dan sudah dilakukan sejak tahun 2000.
PISA mengukur kemampuan siswa dalam bidang literasi, yakni literasi matematika, literasi
sains, dan literasi membaca. Infografik PISA yang dirilis oleh Kemendikbud RI, memperlihatkan
bahwa indeks literasi sains siswa di Indonesia dari tahun 2012-2015 naik 11 poin dari 382
menjadi 403, literasi matematika naik 11 poin dari 375 menjadi 386 poin, sedangkan literasi
membaca naik 1 poin dari 396 menjadi 397. Peningkatan paling rendah pada literasi membaca.
Selain itu, poin membaca Indonesia masih sangat jauh dari rata-rata skor Negara-negara OECD
yang mencapai skor 493, Karakter soal PISA yang menggunakan HOTS menjadi kendalanya.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa siswa di Indonesia memiliki daya baca yang masih relatif
rendah (Uswatun Hasanah dan Warjana:2019)

Menurut Ibrahim (2017) skor membaca PISA Indonesia hanya meningkat 1 poin karena dua
hal. Pertama, karena teks uji PISA adalah multi teks dan berbasis komputer. Kedua, jika di
sekolah terbiasa dengan teks tunggal, siswa akan kesulitan menghadapi teks dengan ragam genre
karena terlalu kompleks. Terlebih lagi ketika siswa tidak terbiasa dengan membaca. Kemampuan

7
siswa dalam memahami kedalaman teks hanya akan bisa dibentuk melalui pembiasaan-
pembiasaan membaca bacaan multiteks. Masih menurut Ibrahim (2017) ada tiga hal penting
dalam daya baca, yakni kemampuan menukik ke kedalaman teks, ketahanan menjaga fokus, dan
pemeliharaan nalar untuk terus mengikuti bangun-struktur teks, mengenali keragaman tipologi
dan kompleksitas teks. Ada dua cara penting untuk meningkatkan budaya literasi membaca yaitu
dengan mengenali sebab terdalam mengapa siswa kurang sabar dan kurang cermat dalam
berhadapan dengan teks panjang, Serta harus merumus ulang paradigma pembelajaran membaca
dengan menyusun model pembelajaran membaca bagi seluruh mata pelajaran. (Uswatun
Hasanah dan Warjana:2019)

Tes PISA berlangsung selama 2 jam dan yang membuat spesial dari tes ini adalah mengukur
kemampuan siswa untuk menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari hari. PISA tidak tertarik terhadap kemampuan siswa dalam menghafalkan
materi dalam buku cetak. Dalam konteks belajar matematika misalnya, literasi ini bermakna
bagaimana matematika bisa digunakan atau diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh sederhananya ada sebuah data tentang jumlah pengunjung di suatu perpustakaan dalam
waktu satu bulan. Bagi pengelola perpustakaan, data ini menjadi penting untuk menentukan
berapa jumlah pegawai yang paling efisien untuk dipekerjakan.( Yunaz Karaman)

D. Tingkat Literasi di Dunia dan Indonesia

Grafik di atas menunjukan pencapaian PISA Negara Indonesia dalam 3 tahun terakhir pada
literasi membaca, matematika dan sains. Berdasarkan grafik tersebut pada tahun 2012 Literasi
membaca Negara Indonesia mendapatkan skor 396, Literasi Sains mendapatkan skor 382 dan

8
Literasi Matematika mendapatkan skor 375. Pada tahun 2015 Literasi membaca Negara
Indonesia mendapatkan skor 397, Literasi Sains mendapatkan skor 403. dan Literasi Matematika
mendapatkan skor 386 meningkat dari tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2018 Literasi
membaca Negara Indonesia mendapatkan skor 371, Literasi Sains mendapatkan skor 396 dan
Literasi Matematika mendapatkan skor 379. Skor PISA tahun 2018 menurun dari tahun 2015.

Indonesia hanya ada di atas negara-negara seperti Kosovo (baru merdeka tahun 2008),
Filipina, Lebanon, Maroko. Kita bahkan masih di bawah Macedonia Utara (baru ganti nama dari
Macedonia di tahun ini dan baru merdeka tahun 1991) dan Georgia. Jika dibandingkan dengan
sesama Asia Tenggara, Indonesia ada di bawah Thailand dan Singapura

Dengan hasil yang tidak baik ini, Indonesia perlu belajar ke negara-negara lain. Secara
demografis, Indonesia bisa melihat bagaimana sistem pendidikan dijalankan di negara yang
dekat seperti Thailand, Malaysia, atau bahkan yang memiliki peringkat atas seperti Singapura.

Memang hal tadi tidak bisa diterapkan mentah-mentah. Tentu akan lebih sulit membangun
pendidikan di Indonesia yang memiliki jumlah siswa SD dan SMP aktif bisa sampai 55 juta
ketimbang di Singapura yang jauh lebih kecil. Namun, sesuai dengan tujuan OECD, tidak ada
salahnya melihat bagaimana pendidikan dikembangkan di sana.

Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando mengatakan persoalan Indonesia adalah


rendahnya tingkat literasi. Literasi sendiri adalah kedalaman pengetahuan seseorang terhadap
suatu subjek ilmu pengetahuan.Rendahnya tingkat literasi bangsa Indonesia ditengarai karena
selama berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia hanya berkutat pada sisi hilir.Syarif mengatakan
sisi hilir yang dimaksud yakni masyarakat yang terus dihakimi sebagai masyarakat yang rendah
budaya bacanya’’

Stigma tersebut yang mengakibatkan Indonesia menjadi rendah daya saingnya, rendah indeks
pembangunan SDM-nya, rendah inovasinya, rendah income per kapitanya, hingga rendah rasio
gizinya.Itu semua akhirnya berpengaruh pada rendahnya indeks kebahagiaan warga Indonesia itu
sendiri(Larasati Dyah Utami:2021)

9
Total jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional
0,09. Artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun, sehingga Indonesia memiliki
tingkat terendah dalam indeks kegemaran membaca.Sedangkan standar UNESCO minimal 3
buku baru untuk setiap orang setiap tahun (Larasati Dyah Utami:2021)

Terdamparnya Indonesia di peringkat bawah memang jadi sebuah tamparan tersendiri.


Peringkat Indonesia untuk kategori Membaca ada di 75 dari 80 negara, atau urutan 6 dari bawah.
Selain data di atas, ada data menarik lainnya yaitu survei mengenai ambisi peserta tes. PISA

10
2018 untuk masa depan mereka. Di antara mereka OECD menanyakan soal apakah peserta tes
ingin menyelesaikan Perguruan Tinggi, atau pendidikan tersier. Hasilnya cukup mengejutkan.
Indonesia ada di peringkat paling buncit, kurang dari 5% ingin lanjut ke Perguruan Tinggi.
Sedangkan, rata-ratanya sendiri adalah 36%. Sebagai perbandingan, menurut BPS untuk 2018,
angka partisipasi murni di Perguruan Tinggi di Indonesia hanya 18,59%.( Mikael
Dewabrata:2019)

Kurang berambisinya sebagian besar peserta tes PISA 2018 di Indonesia, bisa jadi
memengaruhi semangat mereka untuk belajar. Tentu banyak masalah lain yang juga harus
diperhatikan. Namun, jika ternyata masalah besarnya ada di motivasi, pekerjaan rumah
Kemendikbud akan lebih berat.( Mikael Dewabrata:2019)

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Hari Literasi Internasional pertama kali bentuk oleh United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 1967. Hari tersebut
dicetuskan oleh UNESCO sebagai langkahnya untuk memajukan literasi membentuk
masyarakat yang lebih melek huruf dan berkelanjutan. Buta huruf menjadi salah satu latar
belakang munculnya Hari Literasi Internasional. Bermula pada tahun 1965 diadakan
konferensi yang bertajuk “World Conference of Ministers of Education on the
Eradication of Illiteracy” yang diselenggarakan di Teheran, Iran. Tahun selanjutnya,
UNESCO pun memimpin dan mendeklarasikan 8 September sebagai Hari Literasi
Internasional yang bertujuan untuk mengingatkan komunitas global tentang pentingnya
literasi bagi individu, komunitas, dan masyarakat; dan sebagai upaya menuju masyarakat
yang lebih melek huruf demi menciptakan kesejahteraan dunia. Hingga pada tahun 2017,
Hari Literasi Internasional mengganti fokusnya pada keterampilan literasi digital karena
dianggap berhubungan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih

Bangsa Indonesia telah mengenal dunia literasi sejak jaman kuno, seperti halnya
peninggalan gambar dan tulisan di goa goa prasejarah, atau jejak tulisan dalam berbagai
prasasti serta candi-candi di jamantan. Setelah itu, di zaman kolonial, kita telah tahu
bagaimana literasi semakin dikembangkan, salah satunya R.A. Kartini rajin membaca
buku dan menulis surat untuk sahabatnya di Belanda (yang kemudian dijadikan buku
dengan judul "Habis Gelap, Terbitlah Terang"). pada 14 Maret 1948, dicanangkanlah
program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) walau kondisi masih dalam keadaan darurat
perang. Selanjutnya, Persiden Sukarno kembali mengeluarkan komado: itu Indonesia
harus terbebas dari buta-huruf hingga tahun 1964. Kemudian pada tahun 1972
dicanangkanlah program Aksarawan Fungsional, yang merupakan program pemberikan
pelajaran membaca, menulis dan berhitung serta keterampilan tertentu. Pada tahun 2001,
Studi Literasi Baca Internasional melakukan evaluasi prestasi pendidikan terkait
pemahaman membaca tingkat sekolah dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Indonesia mendapat skor 428 dengan skor rata-rata 500 (skor ratarata OECD 493). Skor

12
tersebut menjadikan Indonesia berada pada urutan ke 45 dari 48 negara peserta. Maka
dapat diambil kesimpulan bahwa keterampilan membaca Indonesia pada skala rendah.

Program for International Student Assessment (PISA) merupakan sebuah progam


penilaian kemampuan dan pengetahuan yang diselenggarakan oleh Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD). Program penilaian PISA
diperuntukkan untuk siswa di usia 15 tahun. Penilaian PISA dilakukan tiga tahun sekali
dan sudah dilakukan sejak tahun 2000. PISA mengukur kemampuan siswa dalam bidang
literasi, yakni literasi matematika, literasi sains, dan literasi membaca.

Indonesia pada saat ini menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat
literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Hal ini
berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA)
yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada
2019.

B. Saran dan Kritik


Berdasarkan informasi diatas dapat kami sarankan bahwa sebagai seorang
pendidik kita harus gemar berliterasi karena urgensi dalam berliterasi ini sangat penting
di terapkan di dunia pendidikan yang dimana dapat menaikan tingkat gemar membaca
dan berlitersi di Indonesia. Dan dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu
para calon pendidik agar lebih terbuka lagi rasa ingin tahunya dalam berliterasi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Alfan, muahammad dan Heny Gustini Nuraeni. 2013. Studi Budaya di Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia

AR, Zaini Tamin. Sejarah Sosial Literasi Di Indonesia; Dari Tradisi Islam Hingga
Perumusan Kebijakan. Jurnal Literasi Indonesia

Damayantie, Augustia Rahma. 2015. “Literasi dari Era ke Era”. Sasindo: Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 3 No. 1

Dewabrata, Mikael :2019. Hasil PISA 2018 Resmi Diumumkan, Indonesia Alami
Penurunan Skor di Setiap Bidang. https://www.zenius.net/blog/pisa-2018-2019-standar-
internasional

Hasanah, Uswatun dan Warjana.2019. Pengembangan Pembelajaran Literasi Membaca


untuk Meningkatkan Daya Baca Siswa. Vol. 26 No. 2 Tahun 2019. ISSN 0852-9248 (cetak);
ISSN 2685-3396 (daring).

Ibrahim, Gufran A. 2018. PISA dan Daya Baca Bangsa. https://nasional.kompas.


com/read/2017/04/30/11135891/pisa.dan.daya.baca.bangsa

Karaman, Yunaz .Pisa. https://indonesiapisa.com/profil/. https://unsri.ac.id/

Larasati Dyah Utami. 2021. Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah


perpustakaan.kemendagri. https://perpustakaan.kemendagri.go.id/?p=4661

Liestari, Suci Paramitha dan Muhardis.2020. KEMAMPUAN LITERASI MEMBACA


SISWA INDONESIA (BERDASARKAN HASIL UN DAN PISA).Pusat Asesmen dan
Pembelajaran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Indonesian Journal of Educational
Assessment p-ISSN : 2655-2892 e-ISSN : 2684-8074. http://ijeajournal.kemdikbud.go.id/

14
Risalah. 2017. Sejarah Perkembangan Literasi. Mata Kita.
https://matakita.co/2017/06/27/sejarah-perkembangan-literasi/

Sularso, Priyo. “Soekarno Mencanangkan Indonesia Buta Huruf Bertujuan Rakyat


Indonesia Gemar Membaca”, dalam
http://gpmb.perpusnas.go.id/index.php?module=artikel_kepustakaan&id=46#.

Wiedarti, Pangesti. 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah

15

Anda mungkin juga menyukai