Anda di halaman 1dari 4

Akhirnya novel Tere Liye tahun ini rilis juga, kabarnya dua judul sekaligus.

Atau mungkin
bukan dua, tapi tiga atau bahkan sebenarnya ada empat judul? Entahlah, saya memang
kurang mengikuti info tentang novel-novel baru dalam dua tahun terakhir ini. Tapi setiap ke
toko buku, saya selalu menyempatkan “mengecek” buku-buku terbaru karya penulis-penulis
favorit saya, termasuk Tere Liye. Siapa tahu ada buku baru, kan?! Jika budget cukup
bolehlah dilamar. Eh! Di antaranya buku yang satu ini.

Saya termasuk beruntung akhirnya bisa membeli dan menyelesaikan novel berjudul “Janji”
dalam sehari ini, disambi dengan kesibukan lain. Memang sejak pertama mengenal nama
pena Tere Liye lewat membaca dua judul karya perdananya tahun 2009 lalu, yaitu “Moga
Bunda Disayang Allah” dan “Hafal Shalat Delisa”—meskipun ada satu genre yang sampai
hari ini saya kurang suka, tapi saya selalu menunggu rilisan buku-buku terbaru berikutnya.
Bahasa penulisnya sederhana, namun tema yang diangkat sangat menarik—juga sederhana,
itulah yang membuat pembaca terpikat.

Di antara ciri khas novel-novel Tere Liye biasanya selain mengangkat tema-tema sederhana,
juga menyelipkan kalimat-kalimat pamungkas lewat tokoh figuran yang mengiringi tokoh
utama. Sejauh yang saya amati hingga saat ini, tema-tema novel Tere Liye biasanya tidak
jauh dari soal-soal kehidupan, optimis menghadapi masa depan, melupakan kenangan tidak
baik, belajar melepaskan, melupakan dan menerima kukurangan serta kelebihan diri apa
adanya, dsb.

Janji

Setting lokasi novel ini bermula dari sebuah pesantren di pedalaman Sumatera, jauh dari
kota, di tengah alam terbuka lengkap dengan segala keindahan pemandangnya. Butuh
waktu berjam-jam perjalanan hingga bisa sampai ke lokasi sekolah yang dipimpin oleh
seorang ulama terkenal yang biasa dipanggil Buya itu. Bukan tanpa alasan Buya memilih
tempat, ia dulu bahkan perlu mensurvei beberapa lokasi sebelum menentukan harus
mendirikan bakal pesantren ini. Alasannya supaya santri tidak mudah kabur. Pesantren itu
terus mengalami kemajuan, santrinya makin bertambah. Hingga sepeninggal sang Buya,
kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya yang juga dipanggil Buya.

Seperti umumnya kehidupan pesantren, selalu ada saja santri nakal yang bikin onar. Jika
dulu di masa Buya I terjadi kegemparan karena ulah seorang santri, maka puluhan tahun
sesudahnya, di masa Buya II kembali 3 komplotan santri hari itu kembali bikin ulah. Telah
banyak aturan yang mereka langgar, langganan kasus. Para guru sudah kehabisan cara
menghadapi mereka, tapi bagi Buya, senakal apapun santrinya, ia tidak akan menyerah
dengan mengeluarkannya. Itu komitmen Buya, yang diteruskan dari sang ayah. Hari itu
ketiganya menggarami minuman rombongan seorang tokoh politik yang berkunjung
menjadi “tamu kehormatan” pesantren di tengah acara sambutan. Mereka yakin tidak
diketahui oleh siapapun. Tapi keliru, sepulang rombongan itu, ketiganya diminta
menghadap Buya. Buya tahu apa yang terjadi.

Kali ini, berbeda dari biasanya, sebagai hukumannya mereka diberi tugas untuk mencari
santri paling nakal 40 tahun lalu, yang pernah diusir oleh Buya I. Ia tak kuat hati lagi dengan
ulah santri itu, sehingga terpaksa melanggar komitmennya. Pasalnya seorang santri
bernama Bahar, pemabuk, penjudi, dan tukang adu ayam, dsb. Pasalnya, malam pertama
puasa tahun itu, saat sahur, mengagetkan santri dengan meledakkan sebuah petasan besar
berbahan mesiu di tengah lapangan sekolah. Terjadi ledakan dahsyat hingga membakar satu
bangunan asrama santri, terbakar. Beruntung para santri berhamburan menyelamatkan diri.
Kecuali satu orang santri, cacat fisiknya, ia tidak beruntung, ikut terbakar. Buya sudah tidak
tahan lagi, lantas mengusir santri itu dari pesantren. Cerita itu masih bersambung. Hingga
beberapa waktu setelah kejadian, Buya bermimpi, ganjil. Ia bermimpi tengah berada di
tengah gurun pasir maha-luas. Matahari terik di atas kepala, sejauh mata memandang
hanya pasir yang terlihat. Itu seperti sebuah halte, ada banyak orang di sana, hendak
melakukan perjalanan, melintasi gurun pasir, pergi ke tujuan akhir. Buya menyaksikan
Sebagian besar orang-orang di sana membawa beban yang sangat berat, karung-karung di
Pundak, bola-bola besi mengganduli kaki, merangkak di tengah pasir. Sebagian lagi tidak
membawa beban, beralas kaki. Satu dua menaiki pedati. Buya menawarkan diri ikut
tumpangan, ternyata tidak boleh. Ia terus berjalan, hingga l angkah ke lima puluh,
mendadak sebuah kendaraan indah mendekat

, datang menjemput Buya. Orang itu adalah Bahar. Buya kaget, bangun dari tidurnya.

Mimpi itu terjadi tiga malam berturut-turut, seolah-olah gambaran kejadian di akhirat nanti.
Gerangan apa yang dilakukan Bahar—anak yatim piatu yang dua tahun lalu diantar oleh
neneknya, sepeninggalnya dari pesantren. Buya tidak menyangka santri yang diusirnya
beberapa hari lalu kelak akan menyelamatkannya. Ia penasaran sekaligus menyesal. Maka
sejak itu dia mulai mencari Bahar, dari kota ke kota, ujung ke ujung setiap tempat,
semaksimal kemapuan, ingin mengajaknya balik ke pondok. Termasuk ke kampung
neneknya. Namun gagal. Saat kejadian naas itu anak pertama Buya baru berusia sepuluh
tahun. Tahun demi tahun aktifitas kembali normal seperti semula, semua sudah lupa dengan
peristiwa itu, namun tidak bagi Buya hingga hari menjelang wafatnya. Sebelum wafat ia
berpesan kepada anaknya, Buya II, untuk meneruskan misi menemukan Bahar.

Pencarian bermula

Gerangan apa yang terjadi

memimpikan kejadian yang sama. Ganjil. Dalam mimpinya, nun di tengah gurun pasir

tiga malam berturut-turut

Malam pertema puasa

menyesal
melanjutkan komitmet sang ayah

Maka sebagai hukuman


Sebagai hukumany

, sekarang di masa kepimpinan Buya 2.

Di masa Buya yang baru

Tahun kejadian
Setting lokasi

dipimpin oleh seorang ulama terkenal yang biasa dipanggil Buya. Letaknya jauh dari kota,
butuh waktu berjam-jam perjalanan untuk bisa sampai ke lokasi. Bukan tanpa alasan sang
Buya memilih

bukan tanpa alasan Sang Buya memilih lokasi bakal bangunan pesantren saat itu

Letaknya jauh dari kota,

dikelilingi oleh pemandangan alam terbuka. Jauh dari kota. Salah satu alasan Buya
(pimpinan pesantren itu) memilih lokasi pesantren supaya santri tidak mudah kabur.

Plot twis

Meskipun ada satu genre yang

lain. Yang satu lagi entah apa judulnya. Semoga di lain waktu bisa menyusul.

. Buku yang akan kita bahas inilah salah satunya.

Oke, lanjut. Saya pertama kenal dengan buku

saya kurang mengikuti

Entah berapa judul yang sudah ditulis,

Bukan kali ini saja judul buku-buku Tere Liye terdiri dari satu suku kata. Iya, serial anak-anak
mamak dan judul dengan nama-nama planet juga sama, satu suku kata. Untuk genre yang
pertama saya sudah baca, ada lima seri, jika tidak ada tambahan judul lain. Saya suka. Tema
yang diangkat sangat sederhana, tentang nilai yang harus dipegang dalam sehari, terutama
anggota keluarga dan lingkungan sekitarnya. Untuk tema yang kedua, serial nama-nama
planet, duh maaf, dengan berat hati saya harus bilang buku-buku

sehari-hari yang mesti dimili dalam keluarga.

kali ini berjudul Janji.

Anda mungkin juga menyukai