Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PSIKOLOGI KOMUNIKASI
“PSIKOLOGI KOMUNIKATOR DAN PSIKOLOGI PESAN”

Dosen Pengampu:

Zulkarnain, S.Ag, MA

Disusun Oleh:

M. Fauzan Ramadhan : (3012021052)

Fahlevi Al-asyi : (3012021044)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah -Nya kepada kita semua, sehingga kita
tetap beriman dan islam, serta tetap komitmen sebagai insan yang haus akan ilmu
pengetahuan. Shalawat dan salam tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang membawa kita dari zaman yang gelap gulita menuju zaman yang
terang benderang yakni dengan agama islam.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Zulkarnain, S.Ag,


MA selaku pembimbing mata kuliah Psikologi Komunikasi. Karya ini berjudul
“PSIKOLOGI KOMUNIKATOR DAN PSIKOLOGI PESAN”. Tujuan penulisan
makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Komunikasi.

penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang dapat
menjadi bahan evaluasi penulis kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua. Aamiin.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................
Latar Belakang.................................................................................................................................
B.Rumusan Masalah........................................................................................................................
BAB II.............................................................................................................................................
PEMBAHASAN............................................................................................................................
A. PSIKOLOGI KOMUNIKATOR........................................................................................
B. PSIKOLOGI PESAN..........................................................................................................
C. PESAN VERBAL (LINGUISTIK).....................................................................................
D. PESAN NON VERBAL ....................................................................................................
E. Penelitian terkait Psikologi Komunikator dan Pesan.........................................................
KESIMPULAN..............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................
A. Latar Belakang

Psikologi Komunikator

Ketika komunikator berkomunikasi bukan saja apa yang ia katakan, tetapi

keadaan dia sendiri. He doesn’t communicate what he says, he communicates

what he is. Dia tidak dapat menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang

ia katakan, namun pendengar juga akan memperhatikan siapa yang mengatakan.

Unsur ‘siapa’ merujuk pada orang yang menyampaikan pesan, profesi atau

pekerjaannya, sedangkan unsur ‘apa’ merujuk pada isi pesannya.

Psikologi komunikator bermakna ‘pada diri seorang komunikator’, baik ketika ia

berkomunikasi verbal maupun nonverbal, terkandung dimensi atau muatan

psikologi. Muatan psikologi berada di kepala atau persepsi khalayak. Psikologi

komunikator merupakan perrcampuran antara ilmu psikologi dengan komunikasi.

Psikologi komunikator artinya ketika seorang komunikator berkomunikasi dengan

komunikan yang berpengaruh tidak hanya apa yang ia katakan, tetapi juga

memerlukan “penampilan” (Riswandi, 2013).

Dalam konsep psikologi komunikator, proses komunikasi sukses apabila berhasil

menunjukkkan source credibility atau menjadi sumber kepercayaan bagi

komunikan. Aristoteles menyebutkan bahwa karakter komunikator sebagai ethos,

terdiri atas pikiran yang baik (good sense), akhlak yang baik (good moral

character), dan maksud yang baik (good will). Hovland dan Weiss membagi
ethos terdiri dari dua unsur, yaitu keahlian (expertise) dan dapat dipercaya (trustworthiness).

Saran dari seorang penyuluh yang diikuti karena memiliki keahlian di bidang pertanian

merupakan contoh dari expertise, sedangkan antara atasan dengan bawahan saling

mempercayai sehingga menimbulkan suasana kerja yang nyaman dan setiap orang dapat

bekerja dengan semangat tanpa saling mencurigai merupakan contoh dari trustworthiness.

Herbert C. Kelman menyebutkan bahwa komunikasi mempengaruhi seseorang dapat berupa

internalisasi, identifikasi, dan ketundukan. Internalisasi terjadi bila orang menerima

pengaruh karena perilaku yang dianjurkan sesuai dengan nilai yang dimiliki atas dasar

rasional. Misalnya seseorang akan berhenti merokok atas dasar saran dokter, karena ingin

memelihara kesehatan dan merokok tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Identifikasi

terjadi bila seseorang memilih perilaku yang berasal dari orang/kelompok lain karena

berkaitan dengan hubungan yang memperjelas diri secara memuaskan dengan orang atau

kelompok itu. Misalnya siswa yang meniru perbuatan gurunya. Ketunduka (compliance).

Ketundukan terjadi bila seseorang menerima pengaruh dari orang lain karena berharap

memperoleh reaksi yang menyenangkan dari orang tersebut. Contohnya bawahan yang

mengikuti perintah atasannya karena takut dipecat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikator antara lain:

1. Kredibilitas, yaitu seperangkat persepsi komunikator tentang sifat-sifat komunikator.

Kredibilitas itu tidak ada pada diri komunikator, tetapi terletak pada diri komunikan.

Misalnya seseorang PPL memiliki kredibilitas ketika mengatasi permasalahan pertanian

tetapi kredibilitasnya hilang ketika ia diminta untuk memberi penyuluhan kesehatan.

Menurut Jalaluddin (2011) kredibilitas terdiri dari dua komponen yaitu keahlian dan

kepercayaan. Keahlian yaitu kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan


komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan, sedangkan kepercayaan

yaitu kesan komunikan yang berkaitan dengan wataknya.

Koehler, Annatol, dan Appelbaum menambahkan empat komponen kredibilitas, yaitu

dinamisme, sosiabilitas, koorientasi, dankarisma. Dinamisme umumnya berkaitan dengan

cara orang berkomunikasi. Komunikator memiliki dinamisme jika dipandang

bersemangat, aktif, tegas dan berani. Sosiabilitas merupakan kesan tentang komunikator

sebagai orang yang periang dan senang bergaul. Koorientasi merupakan kesan

komunikator mewakili kelompok orang yang kita senangi. Karisma digunakan untuk

menunjukkan suatu sifat komunikator yang menarik.

2. Atraksi

Atraksi adalah daya tarik komunikator yang bersumber dari fisik. Seorang komunikator

akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap melalui mekanisme

daya tarik (persuasif). Misalnya seseorang cenderung lebih disukai banyak orang karena

cantik dan memiliki kemampuan yang lebih. Pada umumnya komunikator yang memiliki

daya tarik akan lebih efektif daripada komunikator yang tidak menarik.

3. Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan dalam menimbulkan ketundukkan. Seperti kredibilitas dan

atraksi. Kekuasaan menyebabkan seseorang ‘memaksakan’ kehendaknnya kepada orang

lain, karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting. Kekuasaan terdiri atas lima

jenis kekuasaan:

 Kekuasaan koersif (coersive power), menunjukkan kemampuan komunikator untuk

mendatangkan ganjaran atau memberikan hukuman pada komunikatan.

 Kekuasaan keahlian (expert power), berasal dari pengetahuan, pengalaman,

keterampilan, atau kemampuan yang ada pada komunikator.


 Kekuasaan informasional (informational power), berasal dari isi komunikasi tertentu

atau pengetahuan baru yang dimiliki oleh komunikator.

 Kekuasaan rujukan (referent power), komunikatan menjadikan komunikator sebagai

kerangka rujukan untuk menilai dirinya.

 Kekuasaan legal (legitimate power), berasal dari seperangkat peraturan norma yang

menyebabkan komunikator berwenang untuk melakukan suatu tindakan.

B. Psikologi pesan

Dalam ilmu psikologi pesan terdapat konsep yang berupa teknik pengendalian perilaku orang

lain yang disebut bahasa. Bahasa adalah pesan dalam bentuk kata-kata dan kalimat, yang

disebut linguistik. Bahasa merupakan seperangkat kata yang disusun secara berstruktur

sehingga menjadi suatu kalimat yang mengandung makna (Riswandi, 2009). Setiap manusia

mengucapkan kata-kata atau kalimat dengan cara-cara tertentu untuk mengendalikan perilaku

orang lain. Setiap cara berkata memberikan maksud tersendiri. Cara-cara tersebut adalah

pesan paralinguistik. Misalnya seorang anak berteriak “Bapak!” kemudian menggerakkan

seorang laki-laki mendekat kepadanya. Manusia juga menyampaikan pesan dengan cara-cara

lain selain dengan bahasa, misalnya dengan isyarat, biasa disebut sebagai pesan

ekstralinguistik.

Pesan merupakan salah satu unsur yang penting dalam berkomunikasi, sehingga makna dari

pesan itu sendiri memperlancar interaksi sosial antar manusia. Sementara tujuan dari

komunikasi akan tercapai bila makna pesan yang disampaikan komunikator sama dengan

makna yang diterima komunikan. Pesan disampaikan melalui dua bentuk, yaitu pesan verbal

dan nonverbal.

1. Pesan Verbal (Linguistik)


Pesan verbal atau pesan linguistik adalah pesan yang digunakan dalam komunikasi

menggunakan bahasa sebagai media. Pesan verbal di transmisikan melalui kombinasi bunyi-

bunyi bahasa dan digunakan untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan maksud. Dengan

kata lain, pesan verbal adalah pesan yang diungkapkan melalui bahasa yang menggunakan

kata-kata sebagai media penyimpanan gagasan, ide, dan informasi.

Bahasa dapat memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan kita

untuk menjadi (code) peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa, kita dapat

mengabstraksikan pengalaman kita, dan mengomunikasikan kebanyakan pemikiran kita

kepada orang lain dan menerima pemikiran lainnya. Psikolingustik adalah psikologi yang

mempelajari bagaimana maksud komunikator diubah menjadi pesan dalam lambang yang

diterima secara kultural dan bagaimana signal-signal ini diubah menjadi penafsiran

komunikan. Ada dua cara untuk mendefinisikan bahasa yaitu:

1. Definisi fungsional : melihat bahasa dari segi fungsinya bahasa dapat diartikan sebagai

alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan.

2. Definisi formal: dalam definisi ini menyatakan bahwa bahasa merupakan sebagai semua

kalimat yang terbayangkan yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa. Tata bahasa

meliputi tiga unsur, yaitu fonologi (bunyi-bunyi dalam bahasa), sintaksis (cara

pembentukan kalimat), dan semantik (arti kata atau gabungan kata).

Teori principle of linguistic relativity yang dikembangkan oleh Von Humboldt dan Whrof

menjelaskan bahwa bahasa menyebabkan seseorang memandang realitas sosial dengan cara

tertentu. Misalnya pandangan Whrof tentang dunia dibentuk oleh bahasa, dan karena bahasa

berbeda maka pandangan seseorang tentang dunia juga berbeda. Kategori gramatikal suatu

bahasa menunjukkan kategori kognitif dari pengguna bahasa itu. Dalam hubungannya
dengan berpikir, konsep bahasa cenderung menghambat atau mempercepat proses pemikiran

tertentu.

Terdapat tiga teori yang menjelaskan bagaimana cara orang belajar bahasa, yaitu:

1. Operant Conditioning

Teori ini dikembangkan oleh seorang ahli psikologi behavioralisti yaitu B.F. Skinner

(1957). Teori menekankan unsur rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon) atau

dikenal dengan teori S-R. Teori ini menyatakan bahwa jika suatu organisme dirangsang

oleh stimuli dari luar maka orang cenderung akan bereaksi. Dalam konteks belajar bahasa,

anak-anak mengetahui bahasa karena ia diajar oleh orang tuanya atau meniru apa yang

diucapkan oleh orang lain.

2. Teori Kognitif

Teori ini dikembangkan oleh ahli psikologi kognitif Noam Chom-sky. Teori ini

menekankan kompetensi bahasa pada manusia lebih dari apa yang dia tampilkan. Bahasa

memiliki korelasi dengan pikiran, karena itu Chomsky mengatakan bahwa kemampuan

berasa yang ada pada manusia adalah pembawaaan biologis yang dibawa dari lahir.

Pendapat ini didukung oleh Eric Lenneberg (1964), bahwa seorang anak manusia

bagaimanapun dia diisolasi, dia tetap memiliki potensi untuk bisa berbahasa.

3. Mediating Theory

Teori ini dikembangkan oleh Charles Osgood, seorang ahli psikologi behavioralsitik.

Teori ini menekankan bahwa manusia dalam mengembangkan kemampuannya berbahasa,

tidak saja bereaksi terhadap stimuli yang diterima dari luar, tetapi dipengaruhi oleh proses

internal yang terjadi dalam dirinya. Osgood memberi contoh pada bayi yang lapar akan

menangis dan menyentak-nyentakkan tangan dan kakinya sebagai isyarat yang ditujukan

kepada ibunya. Dorongan internal ini mendukung reaksi anak untuk membentuk dan

mengidentifikasi arti terhadap sesuatu yang ada di luar dirinya.


2.Pesan nonverbal

Pesan nonverbal yaitu pesan yang menggunakan isyarat sebagai media komunikasi. Larry A.

Samovar dan Richard E. Porter mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal mencakup

semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi yang

dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai

pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Riswanto, 2009). Mark L. Knapp juga

mengemukakan fungsi pesan nonverbal antara lain:

 Repetisi, mengulang kembali gagasan yang sudah di sajikan secara verbal. Contoh:

seseorang menjawab “tidak” sambil menggelengkan kepalanya.

 Substitusi, menggantikan lambang-lambang verbal. Contoh: seseorang tidak mengatakan

sepatah katapun tetapi ia menggeleng maka orang lain akan tahu bahwa itu sebagai tanda

tidak setuju.

 Kontradiksi, memberikan makna lain terhadap pesan verbal. Contoh: seseorang

mengiyakan dan menganggukan kepala saat diminta mendekat namun dia lari secepat-

cepatnya.

 Komplemen, melengkapi dan memperkarya pesan non verbal. Contoh: wajah memelas

menunjukkan tingkat penderitaanyang tidak terungkap dengan kata.

 Aksentuasi, menegaskan pesan non verbal. Contoh: kekesalan diungkapkan dengan

memukul lemari.

Alasan nonverbal penting dalam melancarkan efektivitas komunikasi (Dale G. Leathers)

adalah bahwa faktor -faktor non verbal sangat menentukan makna dalam komunikasi

interpersonal, perasaan dan emosi akan lebih cermat di sampaikan lewat pesan non verbal.

Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud dengan relatif bebas. Pesan ini berfungsi

sebagai metakomunikatif (memberikan informasi tambahan) yang sangat di perlukan untuk


mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Selain itu pesan nonverbal merupakan cara

komunikasi yang lebih efektif dan merupakan sarana sugesti yang paling cepat dalam

mempengaruhi orang lain.

Menurut Ducan pesan nonverbal diklasifikasikan menjadi lima, yaitu :

a) Pesan kinestik, pesan yang di sampaikan melalui gerak tubuh.

b) Pesan proksemik, pesan yg melalui pengaturan jarak dan ruang.

c) Pesan artifaktual, melalui penampilan tubuh untuk menyampaikan perasaan.

d) Pesan paralinguistik, berhubungan dengan cara mengucapkan pesan verbal.

e) Pesan sentuhan, pesan yang melalui sentuhan kulit.

f) Pesan bau bau adalah pesan yang melalui penciuman.

Dalam pesan nonverbal juga dikenal istilah parabahasa. Parabahasa atau vokalika (vocalics)

mengacu pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan

berbicara, nada (tinggi —rendah), intensitas (volume), suara, intonasi, dialek, suara terputus-

putus, suara gemetar, sultan, tawa, erangan, desahan, gumaman, gerutuan, dan sebagainya.

Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran. Suara yang terengah-

engah menandakan kelemahan, sedangkan ucapan yang terlalu cepat menandakan

ketegangan, kemarahan, dan ketakutan. Kadangkala seseorang bosan mendengar

pembicaraan orang bukan karena isi atau materi yang disampaikannya, melainkan karena

disampaikan dengan cara monoton dan lamban.

3. Organisasi, Struktur, dan Imbauan Pesan

Organisasi pesan adalah pesan yang memiliki struktur lengkap mulai dari pesan deduktif-

induktif, kronologis, spasial, topikal dan psikologis. Pesan yang diorganisasikan dengan baik

lebih mudah dimengerti daripada pesan yang tidak tersusun baik (Beighley). Orang lebih
mudah mengingat pesan yang tersusun,walaupun organisasi pesan kelihatan tidak

mempengaruhi kadar perubahan sikap(Thompson).

Penyajian pesan tersusun lebih efektif daripada penyajian pesan yang tidak tersusun. Tidak

ada satu penelitian pun yang membuktikan bahwa pesan yang tidak tersusun baik mempunyai

pengaruh yang lebih efektif dari pesan yang tersusun baik. Cara-cara menyusun pesan

mengikuti pola yang disarankan aristoteles yaitu:

 Deduktif: gagasan utama yang menjelaskan dengan keterangan penunjang, penyimpulan

dan bukti.

 Induktif: pesan yang disampaikan dengan mengemukakan rincian yang dapat menarik

kesimpulan.

 Kronologis: pesan yang disusun berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa.

 Logis: pesan yang disusun berdasarkan sebab ke akibat atau sebalikya.

 Spasial: pesan yang disusun berdasarkan tempat.

 Topikal: pesan yang disusun berdasarkan pembicara, klasifikasinya dari yang penting

kepada yang kurang penting, dari yang mudah kepada yang sukar,dari yang dikenal

kepada yang asing.

Sesudah urutan-urutan pesan diatas, psikologi komunikasi menambahkan lagi satu urutan

yang boleh kita sebut sebagai urutan psikologis. Urutan ini mengikuti sistem berfikir manusia

seperti yang dipolakan oleh John Dewey. Alan H. Monroe pada akhir tahun 1930-an

menyarankan lima langkah dalam penyusunan pesan (motivated sequence ), yaitu attention

(perhatian), need (kebutuhan), satisfaction (pemuasan), visualization (visualisasi), dan action

(tindakan). Pesan yang disampaikan kepada khalayak dimana pesan tidak sepaham dan

komunikator harus bisa menentukan bagian (struktur) yang penting dari pesan yang dapat

diterima.
Imbauan pesan merupakan pesan yang disampaikan untuk mempengaruhi orang lain,

sehingga pesan yang dibuat harus menyentuh motif yang menggerakkan atau mendorong

perilaku. Secara psikologis menghimbau khalayak untuk menerima dan melaksanakan

gagasan itu. Imbauan pesan terdiri dari:

 Imbauan rasional artinya meyakinkan orang lain dengan pendekatan logis atau penyajian

bukti-bukti.

 Imbauan emosional biasanya menggunakan bahasa yang menyentuh emosi komunikan

dari pengalaman sebelumnya.

 Imbauan takut biasanya menggunakan pesan yang mencemaskan,mengancam atau

meresahkan.

 Imbauan ganjaran pesan yang biasanya menggunakan rujukan yang menjanjikan

komunikatan sesuatu yang diperlukan atau yang diinginkan.

 Imbauan motivasional pesan yang menggunakan imbauan motif yang menyentuh kondisi

intern dalam diri manusia.

C. Perbandingan Psikologi Komunikator dan Psikologi Pesan

Persamaan Perbedaan
1. Komunikator dan pesan 1. Muatan psikologi komunikator terletak
merupakan komponen pada persepsi komunikan, yaitu pada
penting dari komunikasi. pikiran dan perasaan komunikan terhadap
Kemudian dianalisis dari komunikator, jadi tidak melekat pada diri
perspektif psikologi komunikator.
2. Dalam kedua unsur tersebut 2. Muatan psikologi sebuah pesan yang
terdapat dimensi kognitif, disampaikan oleh komunikator terletak
afektif, dan peilaku pada pemahaman komunikan terhadap
komunikan termasuk dalam pesan itu dan kesukaannya pada
bentuk tindakan komunikasi. komunikator yang diwujudkan dalam
bentuk perilaku
3. Psikologi komunikator termaktub adanya
konsep kredibilitas, sementara psikologi
pesan dikenal adanya bahasa.

D. Penelitian terkait Psikologi Komunikator dan Pesan

1. Psikologi layanan di perpustakaan

Salah satu misi perpustakaan adalah memberikan pelayanan yang baik bagi pemustaka.

Pemustaka adalah pengguna perpustakaan, baik perseorangan, kelompok orang,

masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan. Fungsi

dari layanan perpustakaan tidak boleh menyimpang dari tujuan perpustakaan itu sendiri,

yakni harus dapat memberikan informasi secara cepat, tepat dan akurat kepada

penggunanya dan memberikan kemudahan untuk memperoleh informasi yang siap

digunakan secara langsung.

Pemberian informasi yang cepat, tepat dan akurat, akan sangat membantu pemustaka,

oleh karena itu pustakawan juga harus menjadikan informasi sebagai komoditas yang

siap digunakan bagi yang membutuhkan. Pustakawan adalah seseorang yang memiliki

kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan kepustakawanan serta

mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan

perpustakaan. Pustakawan sebuah pekerjaan yang dituntut untuk menghadapi orang

yang beranekaragam, mulai dari keberagaman usia, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi

dan lain-lain.

Pustakawan dalam melayani kebutuhan informasi pemustaka harus memiliki

profesionalisme yang ditunjukkan dengan pelayanan prima kepada pemustaka (Hanum,

2017). Interaksi yang aktif antara pemustaka dan pustakawan akan menimbulkan

kepuasan tersendiri bagi kedua pihak. Interaksi ini akan terbentuk jika keduanya

memiliki persepsi yang positif terhadap lawan interaksinya. Keramahan dan daya tarik
pemustaka kepada pustakawan akan menimbulkan kenyamanan dalam menikmati

layanan perpustakaan. Selain itu pengetahuan dan respon cepat pemustaka juga

mempengaruhi keefektifan interaksi dalam perpustakaan.

Kualitas layanan merupakan peranan yang sangat penting dalam kegiatan perpustakaan.

Kualitas layanan dalam penelitian ini juga befungsi sebagai pesan yang dikirmkan oleh

pustakawan (komunikator) kepada pemustaka (komunikan). Pelayanan yang dilakukan

di perpustakaan adalah layanan prima. Layanan prima menyediakan Informasi yang

dibutuhkan pada saat diminta. Pelayanan yang berkualitas akan menimbulkan kepuasan

terhadap kebutuhan pustaka kemudian perilakunya akan baik. Dia merasa dihargai dan

bangga menjadi anggota perpustakaan. Perilaku pemustaka yang baik juga akan

merangsang pustakawan untuk terus bersikap ramah kepada pustakawan. Pustakawan

juga akan lebih percaya diri, merasa bermanfaat, mendapat pengakuan sehingga

semangatnya terus bertambah.

Predikat profesionalisme pada pustakawan dapat dipenuhi jika memiliki kompetensi

sesuai standar yang telah ditentukan. Tanpa sikap profesional dari pustakawannya,

perpustakaan yang modern, lengkap dan canggih akan kurang berarti. Sehingga perlu

dikembangkan dengan baik upaya-upaya peningkatan profesionalitas pustakawan dalam

rangka peningkatan layanan perpustakaan (Daulay, 2015). Proses komunikasi dalam

dunia perpustakaan agar dapat berlangsung secara efektif diperlukan keterampilan

khusus baik secara teoritis maupun aplikasi praktis.

Keterampilan ini merupakan suatu hasil belajar berupa penguasaan konsep maupun

pengalaman praktis yang mencakup kemampuan menyampaikan pesan secara akurat,

keterampilan mengembangkan hubungan yang harmonis, keterampilan

menerima,mengolah, menganalisis dan menginterpretasikan fenomena hubungan sosial,


dan keterampilan memahami ekspresi verbal maupun non verbal. Dalam upaya

memahami keterampilan tersebut, diantaranya yang sangat penting adalah keramah

tamahan. Apabila pustakawan ramah terhadap pemustaka, mereka akan nyaman untuk

berkomunikasi dengan para pustakawan. Melalui jalinan komunikasi yang baik inilah

dapat tercapai relevansi yang tinggi terhadap informasi yang dibutuhkan pemustaka.

Komunikasi dalam lingkup perpustakaan ini tidak hanya terbatas pada komunikasi “face

to face” pustakawan dan pemustaka saja. Komunikasi disini dapat diartikan sebagai suatu

proses penyampaian dan penerimaan berita, pesan atau informasi dari seseorang ke orang

lain. Komunikasi ini tidak akan terjadi apabila tidak ada komunikator, yaitu pesan yang

disampaikan dan komunikan yang menerima pesan tersebut.

2. Proses komunikasi interpersonal antara terapis dengan anak autis di Esya Terapi Center
Sidoarjo dalam proses terapi wicara (Sitompul, 2013)

Anak autis yang memiliki berbagai macam permasalahan dalam berkomunikasi dan

berelasi, karena mereka bagian dari mahkluk sosial yang membutuhkan sebuah relasi yang

bisa terbangun lewat komunikasi. Namun anak autis memiliki keterbatasan dalam

perbendaharaan kata sehingga anak autis memiliki kesulitan dalam berkomunikasi

terutama untuk mengungkapkan apa yang ada di benak mereka. Untuk menangani realita

tersebut, perlu adanya sebuah lembaga formal yang memadai dan memfasilitasi terapis

tersebut.

Dalam proses terapi, terapis menyampaikan pesan dalam bentuk verbal dan non verbal.

Pesan yang dikomunikasikan secara verbal, dikalimatkan dalam bentuk kalimat yang

tegas, jelas, dan singkat. Seperti “Selamat pagi, tiru, ayo buka bukunya”. Bentuk pesan

yang disampaikan biasanya berupa ajakan, sapaan, pujian, teguran dan sesi terapi yang
akan diajarkan kepada para murid terapis. Bentuk pesan seperti ini merupakan contoh

penerapan psikologi pesan yang menimbulkan perubahan sikap pada komunikan.

Instruksi yang diberikan terapis dapat diikuti oleh anak autis disebabkan adanya kedekatan

antara keduanya. Kedekatan ini timbul karena perasaan yang nyaman dan kepercayaan

anak-anak autis kepada terapis. Kedekatan dalam relasi akan membantu meningkatkan

kualitasnya (Wulandari dan Rahmi, 2018). Ketika secara emosi sudah dekat, maka pesan

yang disampaikan juga bisa lebih mengena kedalam diri komunikan. Hal ini disebabkan

karena, komunikator sudah bisa memahami bagaimana proses penyampaian yang efektif

kepada komunikan yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan komunikator.

Dalam melakukan proses terapi, kata-kata yang digunakan adalah yang positif yang bisa

memunculkan semangat murid yang diterapi. Ketika mereka bisa melakukan hal yang

terapis inginkan, maka diberikan reward yaitu hal yang menjadi kesukaan murid dan

hukuman ketika tidak bisa melakukan sesuai yang diinginkan. Pemberian penghargaan

merupakan salah satu bentuk apresiasi atas kerja keras murid dalam mengikuti terapi.

Sedangkan untuk pemberian hukuman bertujuan untuk melatih rasa perjuangan untuk

mendapatkan sesuatu yang diharapkan harus melalui sebuah usaha yang keras. Selain itu

pemberian hukuman juga bisa dijadikan sebuah stimulus ketika murid enggan belajar. .

Terapis memilih penggunaan pesan dengan mempertimbangkan efek dan implikasi yang

ditimbulkan dari komunikasi yang terbentuk (Purwasito, 2017)

3. Komunikasi kelompok yang mempengaruhi perilaku sasaran

Keterbutuhan terhadap orang lain mendorong seseorang untuk membentuk suatu

kelompok. Ada banyak faktor yang mendorong terbentuknya kelompok dalam

masyarakat, salah satunya adalah motivasi. Motivasi seseorang masuk dalam kelompok

dapat bervariasi, antara lain adanya tujuan yang hendak dicapai, kelompok dapat
memenuhi kebutuhan fisiologis maupun kebutuhan psikologis, kelompok mendorong

pengembangan konsep diri dan mengembangkan harga diri seseorang, kelompok dapat

pula memberikan pengetahuan dan informasi, kelompok juga dapat memberikan

keuntungan secara ekonomis.

Komunikasi pada suatu kelompok atau komunitas dapat mempengaruhi konsep diri

mereka masing-masing (Wonodiharjo, 2014). Konsep diri merupakan gambaran yang

dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang

diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya. Hasil penelitian Wonodiharjo pada

komunitas Cosplay Surabaya menunjukkan bahwa dengan komunikasi yang terjadi antar

anggota dalam kelompok ini, mereka yang pada awalnya memiliki konsep diri negatif

dapat mengubah diri mereka dan mengembangkan konsep diri mereka ke arah yang

positif.

Perubahan konsep diri pada kelompok ini disebabkan oleh sikap saling membantu dan

memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Bagi anggota yang baru akan diterima dengan

tangan terbuka oleh anggota lainnya dan menawarkan jika anggota tersebut kesulitan

dalam sesuatu hal, maka mereka akan membantu anggota tersebut. Hal ini membuat

anggota baru merasa diterima dan nyaman dengan kelompok barunya sikap negatif yang

ada pada dirinya akan berubah. Karaktristik komunikator yaitu anggota lama akan

mempengaruhi perilaku komunikan sebagai penerima pesan.

Sikap saling menghargai antar sesama anggota kelompok juga mendorong perubahan

perilaku pada anggota kelompok tersebut (Astuti, 2014). Keefektifan hubungan

komunikasi dilihat dari seberapa jauh akibat-akibat dari tingkah laku komunikator sesuai

dengan yang diharapkan komunikan. Keefektifan dalam hubungan antarpribadi

ditentukan oleh kemampuan untuk mengkomunikasikan secara jelas apa yang ingin
disampaikan, menciptakan kesan yang diinginkan atau mempengaruhi dengan cara

berlatih mengungkapkan maksud keinginan, menerima umpan balik tentang tingkah laku,

memodifikasi tingkah laku komunikator sampai komunikan, mempersepsikannya

sebagaimana yang komunikator maksudkan. Artinya sampai akibat-akibat yang

ditimbulkan oleh tingkah laku komunikator dalam diri komunikan itu seperti yang

dimaksudkan.

Konsep source credibility bagi komunikan yang menimbulkan kepercayaan pada

komunikasi kelompok juga tampak dari proses penyuluhan pertanian. Hubungan

komunikasi yang harmonis antara penyuluh dan petani serta antara petani dan petani

membuat pertukaran informasi akan aktif dan efektif (Firmansyah, 2015). Informasi yang

disampaikan, dalam penyuluhan secara terencana, terpadu,dan berkelanjutan akan

mengubah sikap pendapat dan prilaku sasaran.

4. Etika Jurnalistik dan Jurnalisme Bencana pada Pemberitaan Gunung Agung di Portal
Berita Balipost.com (Panuju, 2018)

Studi ini membahas pemberitaan bencana Gunung Agung di Balipost.com dari aspek etika

jurnalistik dan jurnalisme bencana. Berita yang disampaikan yaitu pmerintah dan pihak

lain ikut berpartisipasi dalam meringankan beban akibat bencana, sehingga diharapkan

tumbuh optimisme. Pembaca diajak turut waspada terhadap meletusnya kembali Gunung

Agung dan diimbau bermukim. Gubernur juga rajin memberikan motivasi melalui media

agar masyarakat tidak panik menghadapi segala kemungkinan. Berita memberi peringatan

kewaspadaan pada masyarakat mengenai segala kemungkinan yang terjadi. Berita

menunjukkan bahwa pemerintah memperhatikan nasib pengungsi. Selain itu, terdapat

berita yang bersifat religius untuk menguatkan mental para pengungsi. Berita tersebut
dapat menggugah rasa empati yang membangkitkan simpati dalam bentuk mobilisasi

bantuan, apabila dibaca oleh masyarakat yang bukan korban.

5. Komunikasi Partisipatif Masyarakat Industri dalam Mendukung Branding Kota Madiun


(Dewi danNulul, 2018)

Madiun Kota Gadis adalah sebuah identitas yang dibuat oleh Pemerintah Kota Madiun

yang meyakini bahwa dukungan warga kota semestinya dilibatkan dalam branding

identitas tersebut. Studi ini melihat dan mendeskripsikan praktik-praktik komunikasi

partisipatif Industri Kecil Menengah (IKM) di Madiun untuk memahami komunikasi

partisipatif IKM dalam mendukung branding Madiun sebagai Kota Gadis tahun 2016.

Hasil analisis terhadap isi jurnal ditemukan beberapa uraian yang menerapkan psikologi

pesan dan psikologi komunikator.

Salah satu upaya mengenalkan brand Kota Madiun kepada masyarakat adalah dengan

memasang tulisan “MADIUN KOTA GADIS” pada ruang iklan yang dipasang di jalan

besar Kota Madiun. Tim promosi dan sosialisasi yang dibentuk oleh Pemerintah Kota

Madiun mengenai brand Kota Madiun tersebut diharapkan mampu memberikan

pengetahuan dan menyamakan persepsi mengenai identitas Kota yang diinginkan oleh

pemangku kekuasaan dan masyarakat. Selain itu pemerintah juga mengikutsertakan

pelaku industri dalam dalam memsosialisasikan branding tersebut.

Partisipasi Industri Kecil Menengah (IKM) berupa keikutsertaan industri tersebut dalam

banyak kegiatan pameran. Masyarakat merespon ajakan dari pemerintah karena

pemerintah telah memberikan bantuan dan memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang

pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Pertemuan rutin dengan anggota kelompok

industri juga dilakukan apabila pihak Disperindagkoppar akan melakukan pembinaan atau
menjadwalkan pertemuan dengan kelompok industri. Informasi yang disampaikan

pemerintah akan ditanggapi langsung oleh masyarakat.

Pada partisipatif dialogis, para anggota kelompok industri kerupuk puli Jalan Gajahmada

menghargai setiap pendapat yang diutarakan saat musyawarah. Ketua kelompok dan para

anggota bersamasama menyelesaikan permasalahan atau hambatan yang timbul.

Penerimaan hasil musyawarah dari semua anggota kelompok menandakan bahwa tidak

ada tekanan saat penyampaian setiap pendapat. Hubungan yang harmonis, saling mengisi,

dan membantu tercipta antara ketua kelompok dan anggota kelompok industri. Bentuk

komunikasi partisipatif juga muncul seperti pada respon kelompok industri terhadap

program penghijauan, yaitu ketika pemerintah Kota Madiun mengadakan lomba

menanam tanaman. Walaupun hanya sejengkal tanah, semua anggota kelompok industri

tersebut melakukan persiapan lomba.

6. Kaum Muda, Meme, dan Demokrasi Digital di Indonesia (Alfiansyah, 2016)

Internet menjadi medium baru kaum muda untuk membentuk wacana dan

mengartikulasikannya ke dalam sebuah bentuk yang unik, yakni internet meme. Di

Indonesia, meme digunakan sebagai ekspresi lelucon sekaligus refleksi kaum muda

terhadap kehidupan sehari-hari menyangkut aspek-aspek demokrasi, sosial, dan politik.

Bebas dan mudah dalam membuat serta mendistribusikan meme tidak menjadikan

fenomena ini sepi dari kritik. Permasalahan seperti hak cipta gambar dilontarkan oleh

pemerhati sosial media. relasi-relasi antarpengguna tidak bersifat seimbang. Pengguna

yang memiliki power dan pengaruh lebih besar pasti lebih berpotensi untuk direplikasi

ide dan gagasannya lewat meme.


Kendati demikian, meme dalam wujud image dan teks adalah gaya baru dalam

berkomunikasi dan berdemokrasi secara digital. Pakar media baru bahkan menyebutnya

sebagai genre dalam kultur media baru. Tulisan ini membuktikan bahwa meme adalah

sebuah artefak digital yang sanggup menunjukkan konteks dan situasi sosial dan politik

serta sikap masyarakat pada saat itu. Melaluinya, kita bisa lebih mudah melihat

keberagaman dimensi kognitif generasi muda ketika meme tersebut bertebaran di media

baru
DAFTAR PUSTAKA

Alifiansyah, S. 2016. Kaum Muda, Meme, dan Demokrasi Digital di Indonesia. Jurnal Ilmu
Komunikasi, 13(2): 151-164
Astuti, P. 2014. Komunikasi sebagai Sarana Akulturasi antara Kaum Urban dengan
Masyarakat Lokal di Pasar Segiri Samarinda. Journal lmu Komunikasi, 2(1): 305-320.
Daulay, M. 2015. Penerapan Ilmu Psikologi pada Perpustakaan. Jurnal Iqra’, 9(1): 14-28.

Dewi, M., dan Nulul, NA. 2018. Komunikasi Partisipatif Masyarakat Industri dalam
Mendukung Branding Kota Madiun. Jurnal Ilmu Komunikasi, 15(1): 75-90.

Firmansyah, AS. 2015. Fungsi Komunikasi Penyuluh dalam Meningkatkan Hasil Panen Padi
pada Petani Sawah Kecamatan Bungaraya Kabupaten Siak Sri Indrapura. JOM FISIP 2
(2): 1-15.
Hadi, AP. 2009. Strategi Komunikasi dalam Mengantisipasi Kegagalan Penerapan Teknologi
oleh Petani. Journal of Rural Studies, 2(2).
Hanum, F. 2017. Psikologi Layanan terhadap Pemustaka dan Kualitas Layanan Prima. Jurnal
Iqra’, 1(1): 101-113.

Jalaluddin, R. 2011. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

Panuju, R. 2018. Etika Jurnalistik dan Jurnalisme Bencana pada Pemberitaan Gunung Agung
di Portal Berita Balipost.com. Jurnal Ilmu Komunikasi, 15(2): 219-232.

Purwasito, A. 2017. Analysis Pesan. The Messenger, 9(1): 103-109.

Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi. Graha Ilmu. Yogyakarta.

________. 2013. Psikologi Komunikasi. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Sitompul, HUM. 2013. Proses Komunikasi Interpersonal antara Terapis dengan Anak Autis
di Esya Terapi Center Sidoarjo dalam Proses Terapi Wicara. Jurnal Komunikasi, 1(3):
1-10.
Wonodiharjo, F. 2014. Komunikasi Kelompok yang Mempengaruhi Konsep Diri dalam
Komunitas Cosplay “COSURA” Surabaya. Jurnal E-Komunikasi, 2(3): 1-10.

Wulandari, R., dan Rahmi, A. 2018. Relasi Interpersonal dalam Psikologi Komunikasi.
Islamic Comunication Journal, 3(1): 56-73.

Anda mungkin juga menyukai