Anda di halaman 1dari 62

PK : HUKUM PIDANA

SKRIPSI

PENDEKATAN RESTORATIV JUSTICE DALAM PENYELESAIAN


PERKARA PIDANA PASAL 36 UNDANG-UNDANG PIDUSIA NO. 42
TAHUN 1999

Rencana penelitian untuk penulisan skripsi (Strata 1)

Diajukan oleh

ALIEFA HUDY PUTRA. M

NIM. 1910211310004

PROGRAM SARJANA

PROGRAM STUDI HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


Banjarmasin, Oktober, 2022.
SKRIPSI

PENDEKATAN RESTORATIV JUSTICE DALAM PENYELESAIAN


PERKARA PIDANA PASAL 36 UNDANG-UNDANG PIDUSIA NO. 42 TAHUN
1999

Diajukan Oleh:
ALIEFA HUDY PUTRA MACHFUYANA
NIM. 1910211310004

PROGRAM SARJANA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI
Banjarmasin, Mei 2023

ii
PENDEKATAN RESTORATIV JUSTICE DALAM PENYELESAIAN
PERKARA PIDANA PASAL 36 UNDANG-UNDANG PIDUSIA NO. 42 TAHUN
1999

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Pada Program Studi Hukum Fakultas Hukum

Universitas Lambung Mangkurat

Diajukan Oleh:

ALIEFA HUDY PUTRA MACHFUYANA

NIM. 1910211310004

PROGRAM SARJANA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI

Banjarmasin, Mei 2023

ii
iii
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan

Di depan siding panitia penguji

Pada hari senin tanggal 16 oktober 2023

Dengan susunan panitia penguji

SUSUNAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI

Ketua/Anggota : Prof. Dr. Irfani, S.H., M.H.

Sekretaris/Anggota : Suci Utami, S.H., M.Han.

Anggota : Rudy Indrawan, S.H

Ditetapkan dengan Keputusan


Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
Nomor 2539/UN8.1.11/SP/2023
Tanggal 3 Oktober 2023

v
vi
MOTO

Buatlah perubahan yang nyata. Jika mengalami kegagalan, coba lagi.

Jika masih gagal, anda hanya melanjutkan pekerjaan sebelumnya. (Chairul


Tanjung)

Bahagia itu diciptakan bukan didapatkan.

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahi Robbil Alamin, segala puji bagi Allah SWT tuhan


penguasa semesta alam, yang atas kuasa dan ridhoNya karya ilmiah
skripsi yang sederhana ini dipersembahkan diperuntukkan bagi orang-
orang yang kucintai dan kusayangi:

Ayahanda dan ibunda terkasih,

Sebagai tanda bakti, hormat dan sembah sujud ananda yang tiad terhingga,
kupersembahkan kepada kedua ayah dan bundaku Taufik Machfuyana dan
Nur Rita Syaukiah, yang telah melahirkan, merawat, menjaga, dan mendidik
sejak bayi hingga dewasa menjadi anak yang saleh dan berguna bagi agama,
nusa, dan bangsa, cucuran keringat dan tangismu tidak dapat ku balas, doa
serta harapanmu di mudahan untuk terwujud. Sekiranya karya ini menjadi
kebajian, hendaknya dilimpahkan kepada kedua orangtua kami. Setidaknya
kelulusan ini menjadi langkah awal bagi ananda untuk menjadi lebih mandiri.
Doa dan ridhomu, amat dinantikan dengan penuh harapan. Dilanturkan
sembah sujud untuk ayah dan ibunda.

Dosen pembimbing skripsi

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Rudy Indrawan, S.H.,


M.H. atas bimbingan dan nasihatnya selama ini, hingga dapat menyelesaikan
skripsi ini tepat pada waktunya sesuai dengan harapan.

vii
RINGKASAN

Aliefa Hudy Putra Machfuyana, 13 Oktober 2023. PENDEKATAN RESTORATIV


JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PASAL 36
UNDANG-UNDANG PIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999 Skripsi, Program Sarjana,
Program Studi Hukum Universitas Lambung Mangkurat, 60 halaman. Pembimbing :
Rudy Indrawan, S.H., M.H.

Restorative Justice adalah respon terhadap tindak pidana yang memusatkan


pada pemulihan korban yang mengalami kerugian, memberikan suatu pengertian
kepada pelaku untuk melakukan tanggung jawab atas tindak pidana yang mereka
lakukan, dan membangun tatanan masyarakat yang damai. Penyelesaian hukum yang
berdasarkan restorative justice dalam tindak pidana fidusia pada dasarnya merupakan
cara penyelesaian yang lebih efektiv dan efesien, tetapi tidak semua masyarakat mau
menjalani melalui upaya hukum ini. Restorative justice adalah salah satu alternative
penyelesaian yang dinilai mampu meminimalisir angka tindak pidana
pemindahtanganan objek jaminan fidusia, Dengan adanya regulasi terkait penerapan
restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana dinilai dapat mengurangi
penumpukan perkara pemindahtanganan objek jaminan fidusia Penelitian ini
merupakan penelitian normatif. Penelitian ini dilakukan dengan analisis informasi
dengan melakukan penelitian di beberapa jurnal, buku, dan regulasi yang berkaitan
tentang restorative justice dalam tindak pidana fidusia guna mengetahui lebih jauh
mengenai permasalahan yang akan dibahas. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa

1). prosedur restorative justice ialah dengan mengajukan surat permohonan yg


dilengkapi dengan pernyataan perdamaian serta bukti-bukti bahwa telah dilakukan
pemulihan korban kemudian penyidik melakukan disposisi dari pimpinan dengan
melakukan penelitian kelengkapan dokumen yang telah diserahkan selanjutnya
melakukan klarifikasi terhadap para pihak yang isinya mencabut keterangan terdahulu
yang mana dituangkan dalam berita acara pemeriksaan, setelah itu melaksanakan gelar
perkara khusus. Dan dilanjutkan dengan penyidik menyusun laporan hasil gelar perkara
serta merbitkan surat pemberitahuan penghentian penyelidikan / penyidikan dan
ketetapan penyelidikan / penyidikan lalu di input/didata dalam sistem elektronik
manajemen penyidikan.

ix
2). Strategi yang digunakan penyidik keberhasilan pelaksanaan restorative justice
adalah mempertemukan para pihak yang bersangkutan kemudian menampung
keinginannya serta memberikan informasi pengetahuan terhadap pelaksanaan
restorative justice, menguasai teknik mediasi dan cara berkomunikasi dengan baik,
memberikan perlindungan hukum kepada setiap pihak dan memastikan tidak adanya
paksaan dari pihak manapun, serta melakukan pengawasan setelah adanya perdamaian.

Kata kunci: Restorative Justice, Tindak Pidana, Jaminan Fidusia


x
ABSTRAK

Restorative justice merupakan pendekatan alternative dalam sistem peradilan yang


menekankan pada pemulihan korban, pelaku dan komunitas yang terdampak sosial,
emosional, dan psikologis dari tindakan criminal, serta mempromosikan
pertanggungjawaban pelaku melalui dialog terbuka dan kolaboratif. Restorative justice
bertujuan untuk menghasilkan penyelesaian yang adil dan menyeluruh, dengan
melibatkan semua pihak yang terlibat dalam sebuah insiden criminal, proses dialog
terstruktur membangun empati, akuntanilitas, dan partisipasi aktif dari semua pihak
yang terlibat. Restorative justice juga bertujuan untuk menggantikan sanksi yang hanya
bersifat punitive dengan solusi yang lebih holistic dan berfokus pada memulihkan
hubungan yang rusak akibat tindak kriminal

x
x
UCAPAN TERIMAKASIH

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “PENDEKATAN RESTORATIV JUSTICE DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PASAL 36 UNDANG-UNDANG
PIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999”. Penyusunan skripsi ini dimaksud guna memenuhi
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Studi Ilmu Hukum Universitas Lambung
Mangkurat.
Selama proses penyususnan skripsi, penulis mendapat bimbingan, pengarahan
serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesematan ini penulis
mengucapkan terimakasih yang tak terhingga dengan penuh rasa hormat kepada:

1. Bapak Dr. Achmad Faishal, S.H., M.H. selaku dekan Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat;
2. Ibu Dr. Hj. Nurunnisa, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Sarjana Ilmu
Hukum Universitas Lambung Mangkurat;
3. Bapak Rudy Indrawan, S.H., M.H. selaku pembimbing dalam penulisan
skripsi yang telah memberikan arahan, saran, serta dukungan kepada penulis;
4. Seluruh Dosen Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat;
5. Seluruh Bapak/ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
yang telah memberikan ilmu pengetahuan bagi penulis;
6. Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
yang membantu penulis dalam memproleh bahan bahan untuk penulisan
skripsi;
7. Seluruh Staf Bagian Akademik Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat yang telah memberikan pelayanan akademik selama penulis
menjalani masa perkuliahan;
8. Seluruh Rekan Angkatan 2019 Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat
9. Seluruh Anggota Lembaga Pers Mahasiswa PERISTIWA Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat, yang telah menjadi wadah sekaligus rumah

xi
10. bagi penulis untuk mengembangkan minat dan bakat selama menjalani
perkuliahan;
11. Rekan penulis yang tergabung dalam SO11DARITAS, AUTIS, dan seluruh
rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan semuanya yang selalu memberikan
semangat selama proses penulisan Skripsi;
12. Seorang Wanita anak bungsu dari Ibu Mardiana yang selalu menemani dan
memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsinya;
13. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan
ini, yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga penulisan skripsi ini selesai tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan masih
memerlukan kritik serta saran yang konstruktif untuk melengkapi dan
memperbaiki isinya. Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan
kontribusi dalam perkembangan ilmu hukum dan pada umumnya untuk
kemajuan bangsa dan negara, serta mohon dimaklumi atas segala kesalahan dan
kekurangan dalam penulisan ini.

Banjarmasin, 13 Oktober 2023


Penulis,

Aliefa Hudy Putra Machfuyana


NIM. 1910211310004

xii
iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL LUAR

HALAMAN SAMPUL DALAM…………………………………………………i

HALAMAN JUDUL DAN PERSYARATAN GELAR………………………..ii

LEMBAR PERSETUJUAN…………………………………………………….iii

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………………….....v

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI………………………………………..vi

MOTO…………………………………………………………………………...vii

RINGKASAN……………………………………………………………………ix

ABSTRAK………………………………………………………………………..x

UCAPAN TERIMAKASIH…………………………………………………….xi

DAFTAR ISI…………………………………………………………………...xiii

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN……………………..xv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latang Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..5
C. Keaslian penelitian……………………………………………………….5
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.............................................................6
E. Metode penelitian………………………………………………………...7
F. Sistem penulisan………………………………………………………….9

xiii
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Restorative justice……………………………………………………11
B. Tindak Pidana………………………………………………………...13
C. Jaminan Fidusia………………………………………………………14
D. Keadilan……………………………………………...………………15
E. Gadai…………………………………………………………………16
F. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan
pidusia………………………………………………………………..17
G. Litigasi……………………………………………………………….18
H. Non litigasi…………………………………………………………...18
I. Peraturan kepolisian nomor 8 tahum 2021…………………………..19

BAB III

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Restorative Justice oleh Kejaksaan……...……………21


B. Penyelesaian Perkara Pidana Fidusia melalui Restorative
Justice……………………………………………………………………31

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………...39
B. Saran……………………………………………………………………..39

Daftar Pustaka

Riwayat Hidup

xiv
xiv
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang dasar
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Undang-undang
Undang-undang Pidusia No. 42 pasal 36 tahun 1999 Tentang jaminan pidusia

Peratutan kejaksaan nomor 15 tahun 2020 pasal 5 ayat 1 yaitu “Perkara tindak pidana
dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan
Restoratif
Peraturan kepolisian Nomor 8 tahun 2021
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum

xv
BAB I

A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi masyarakat yang berlandaskan keadilan dan juga yang
berwujud kemakmuran berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
diperlukan suatu sinergi yang baik antara Pemerintah dan juga masyarakat baik itu
suatu badan perseorangan atau yang berbadan hukum. Yang dimaksud dengan kerja
sama terkait dengan pendanaan yang tidak sedikit dan memerlukan dukungan dari
berbagai pihak.

Dana tersebut dapat dilakukan dengan suatu perjanjidan pinjam meminjam kredit
yang dengan kata lain hal ini tidak dapat lepas dari dunia yang berurusan dengan usaha.
Perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan baik bank atau non bank tentunya
memegang peranan yang sangat strategis dalam melakukan hal tersebut, sehingga
diperlukan suatu sistem kepercayaan yang dijalankan secara timbal balik antara
perusahaan pembiayaan dan masyarakat.

Suatu syarat agar perjanjian pembiayaan dapat dijalankan dengan baik dan sesuai
dengan aturan yang telah disepakati oleh yang bersangkutan, sehingga dalam hal ini
menjadi tugas hukum untuk bisa memberikan hal tersebut dengan kekuatan “regulasi”
yang dimilikinya agar pihak-pihak yang bersangkutan dapat melakuan perbuatan dan
tindakan sesuai dengan aturan dan kesepakatan tanpa adanya kerugian dari pihak lain
sehingga akan menimbulkan kepercayaan dalam suatu usaha.

Suatu hal yang menjamin dan tentunya terutama dalam segi pembiayaan melalui
arus modal adalah adanya suatu jaminan. Jaminan dalam dunia usaha dilakukan oleh
subjek hukum ketika yang bersangkutan ingin mendapatkan pinjaman. kejadian
pinjam meminjam ini berdasarkan kepercayaan antara kreditor dan debitor.

Terdapat empat jenis lembaga jaminan kebendaan yaitu Gadai, Hipotek, Hak
Tanggungan dan Fidusia. Apabila barang yang dijaminkan berupa barang bergerak,
jaminan yang dapat diterapkan adalah gadai atau fidusia. Adapun jika yang dijadikan
jaminan bentuknya barang tidak bergerak, perlu dibedakan dari wujudnya.

1
Di dalam penegakan hukum pidana kita sering mendengar istilah Restorative
Justice, atau Restorasi Justice yang di artikan dalam terjemahan bahasa Indonesia
disebut dengan istilah keadilan restorative. keadilan restoratif atau Restorative Justice
mengandung pengertian: "suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang
ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana terhadap korban tindak pidana tersebut di
luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul
akibat terjadinya tindak pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik, agar
tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak’’.

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia bersumber dari Pancasila, karena Pancasila


sebagai sumber dari segala hukum sudah banyak mengalami perubahan. Komponen-
komponen yang bekerja dalam subsistem peradilan Pidana pengalami suatu
perkembangan pesat yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh kebutuhan rasa
keadilan masyarakat.

Penegakan Hukum Pidana dengan menggunakan cara penal masih menjadi


alternatif solusi terbaik dalam upaya mencari keadilan. Namun, tidak jarang dengan
penggunaan sarana Penal dalam menyelesaikan kasus Pidana untuk mencari keadilan
justru dirasakan tidak adil oleh pihak-pihak yang berperkara. Hal ini dibuktikan
dengan tidak jarang kasus yang diproses di Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan
Negeri) dilakukan upaya-upaya hukum (banding, kasasi bahkan Peninjauan
Kembali/PK). Upaya mencari keadilan oleh para pihak yang berperkara sangat sulit
terpenuhi melalui proses Peradilan Pidana yang berlaku sekarang ini. Tidak hanya
untuk orang dewasa yang bersangkut paut dengan masalah hukum

banyak penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan dengan pendekatan


Restrorative Justice baik itu di tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Hal
ini menunjukan hal positif terkait penegakan hukum di Indonesia. Indonesia
merupakan negara yang menganut sistem hukum civil law yang mendahulukan hukum
positif dalam proses penegakan hukumnya. Salah satu ciri dari sistem hukum civil law
yaitu hakim sebagai corong undang-undang. Konsep pendekatan restorative justice
merupakan suatu pendekatan yang menitik beratkan kepada kondisi terciptanya
keadilan dan keseimbangan, bagi pelaku adanya restitusi atau ganti rugi terhadap

2
korban, hal itu merupakan salah satu tujuan hukum yaitu keadilan selain dari kepastian
hukum dan kemanfaatan.

Penerapan keadilan restoraktif sudah diterapkan di beberapa peraturan perundang-


undangan dan beberapa peraturan teknis terkait penerapan keadilan restoraktif
(restoractive justice) dengan pendekatan deversi yaitu penyelesaian perkara di luar
persidangan. Bahwa penerapan keadilan restoraktif ini merupakan tonggak baru dalam
pembaharuan reformasi hukum pidana (criminal justice system) yang masih
mengedepankan hukum penjara.

Seperti contoh kasus yang di ambil oleh penulis yang bermula dari terdakwa
mengajukan permohonan kredit kepada pihak PT. Orico Balimor finance cabang
Banjarmasin untuk pwmbwlian 1 bauh unit mobil, lalu selanjutnya permohonan kredit
tersebut disetujui oleh pihak PT. Orico Balimor Finance lalu dibuatkan surat perjanjian
pembiayaan multiguna kontrak No. 131942/CV19/006004 pada tanggal 26 juli 2019
dengan objek jaminan fidusia berupa 1 (satu) unit mobil merk Honda Mobilio DDA
1,5 E-CVT GKD jenis, MB penumpang, model minibus, tahun 2019, isi silinder 1496
CC, warna abu-abu basa metalik, nomor rangka; MHRDD4850KJ700047, Nomor
mesin L15Z13657956, No. polisi DA 1857 CY, BPKB No. P-07797758 M atas nama
Nur Ariani dengan harga Rp. 280.000.000.00,- (dua ratus delapan puluh juta rupiah)
yamg terdakwa beli dari PT. Honda Trio Motor Banjarbaru, dan terdakwa sudah
melakukan DP/uang muka sebesar Rp. 56.000.000.00,- (lima puluh enam juta rupiah)
dengan jangka waktu kredit selama 60 (enam puluh) bulan dengan angsuran
perbulannya sebesar Rp. 6.129.000.00 (enam juta seratus dua puluh Sembilan ribu
rupiah).

Diketahui terdakwa melakukan pembayaran kepada PT. Orico Balimor Finance


cabang Banjarmasin sebanyak 3 (tiga) kali yakni dari tanggal 27 agustus 2019 sampai
dengan 27 november 2019, yang mana terdakwa setelah 2 hari atau pada bulan juli
2019 menerima objek jaminan yakni 1 (satu) unit mobil Honda mobilio, langsung
menyerahkan mobil tersebut kepada sdri. Rini Sujariati dirumah terdakwa jalan
cempaka besar No. 75 S Rt.003 Rw. 001 kelurahan mawar kecamatan Banjarmasin
tengah kota Banjarmasin tanpa bukti penyerahan. Bahwa terdakwa mengalihkan objek

3
jaminan 1 unit mobil merk Honda Mobilio tersebut dikarenakan sdri. Rini Sujariati
meminta tolong kepada terdakwa untuk mengajukan kredit mobil di PT. Orico Balimor
Finance cabang Banjarmasin untuk keperluan usaha di GRAB, yang mana sdri. Rini
Sujariati tidak dapat mengajukan kredit karena tidak memenuhi persyaratan.

Lalu terdakwa sejak tanggal 27 Desember 2019 sampai dengan 27 september


2021 tidak ada melakukan pembayaran kredit kepada pihak PT. Orico Balimor finance
cabang Banjarmasin, dan terdakwa sudah mendapatkan surat peringatan 1, 2, dan 3
dari pihak PT. Orico Balimor Finance cabang Banjarmasin namun terdakwa tetap tidak
memenuhi pembayaran mobil tersebut, namun terdakwa sempat menghubungi kepada
sdri. Rini Sujariati mengatakan agar 1 (satu) unit mobil merk Honda mobilio tersebut
dikembalikan kepada pihak PT. Orico Balimor Finance cabang Banjarmasin
selanjutnya dari informasi sdri. Rini Sujariati terdakwa mengetahui jika mobil tersebut
ada pada sdr. Fendi Setiawan yang bertempat tinggal di jalan pekapuran Rt. 011 Rw.
002 kelurahan pekapuran raya kecamatan Banjarmasin timur kota Banjarmasin

Tedakwa mengalihkan, menggadaikan atau menyewkan benda yang menjadi objek


fidusia berupa 1 (satu) unit mobil Honda Mobilio yang dilakukan terdakwa tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia yakni dari pihak PT. Orico
Balimor Finance cabang Banjarmasin dan atas perbuatan terdakwa PT Orico Balimor
Finance cabang Banjarmasin mengalami kerugian sebesar Rp. 349.353.000,- (tiga
ratus empat puluh Sembilan juta tiga ratus lima puluh tiga ribu rupiah).

Pasal yang disangkakan yaitu pasal 36 UU RI No. 42 tahun 1999 tentang jaminan
fidusia, alasan dari pemberhentian penuntutan ini ialah antara lain

1). Tersangka pertama kali melakukan tindak pidana.

2). Tindak pidana hanya diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun

3). Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka
dengan mengembalikan kerugian yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana

4). Telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dengan tersangka

4
5). Terdapat alasan kasuistik yaitu tersangka merupakan orang tua tunggal yang
memiliki tanggungan 2 (dua) orang anak dan merupakan tulang punggung keluarga

6). Masyarakat merespon positif.

Ketentuan atau unsur untuk medapatkan restorative justice berdasarkan dalam


peratutan kejaksaan nomor 15 tahun 2020 pasal 5 ayat 1 yaitu “Perkara tindak pidana
dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan
Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:

a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;


b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan
pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang
ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua
juta lima ratus ribu rupiah)”. 1

Yang menarik peneliti untuk mengangkat judul tersebut ialah adanya Kejanggalan
yang ada pada pemberian restorative justice yaitu dalam jumlah kerugian jauh
melebihi dari minimal kerugian dari Undang-undang hal ini membuat peneliti
bertanya-tanya sehingga berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengambil
judul skripsi “PENDEKATAN RESTORATIV JUSTICE DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PASAL 36 UNDANG-UNDANG
PIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat diuraikan beberapa masalah yang terjadi :
1. Apa dasar hukum restorative justice oleh kejaksaan?
2. Apakah perkara pidana fidusia dapat di selesaikan melalui restorative justice?
C. Keaslian penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran penelitian kepustakaan yang telah dilakukan belum
menemukan judul dan rumusan yang sama akan tetapi terdapat yang beberapa

1
UU RI Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

5
penelitian yang membahas tentang penerapan restorative justice dalam tindak pidana.
Dalam hal ini penulis akan menjadikan tulisan-tulisan tersebut menjadi bahan
pertimbangan dalam melaksanakan penelitian.
1. Wahyu Nur Dwi Wijayanto, PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MELALUI
RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN
OLEH MANULA (STUDI NORMATIF DAN SOSIOLOGIS), Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang, 2019. Dengan rumusan masalah Bagaimanakah praktek
penyelesaian perkara pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh manula.
Bagaimanakah kebijakan penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh manula.
2. Elseria Damanik, IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI
ALTERNATIF PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENIPUAN DAN
PENGGELAPAN DI POLRESTA PEKANBARU, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Islam Riau, 2020. Dengan rumusan masalah bagaimana implementasi Restorative Justice
sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana penipuan dan penggelapan di Polresta
Pekanbaru. Apa saja yang menjadi hambatan penerapan Restorative Justice sebagai
alternatif penyelesaian tindak pidana penipuan dan penggelapan di Polresta Pekanbaru.

Perbedaan penelitian yang peneliti angkat yaitu dari proses penyelesaian dan
pokok masalah yang di angkat, penelitian peneliti membahas tentang perkara pidana
penggelapan fidusia yang di selesaikan melalui metode restorative justice di Kejaksaan
Tinggi Banjarmasin yang dimana peneliti mencari tahu bagaimana proses fidusia,
apasaja dasar hukum yang mendasari restorative justice dan mencari tahu apakah
perkra tindak pidana penggelapan fidusia dapat di selesaikan melalui restorative
justice, dsb.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk mencari tahu bagaimana pendekatan
restorativ justice dalam penyelesaian perkara pidana, mengetahui hal apasaja yang
membuat dapatnya diberikan restorative justice, dan mencari tahu proses
pemberian restorative justice

6
2. Kegunaan penelitian
Kegunaan dari penelitian ini sendiri antara lain adalah untuk mengedukasi
pembaca dan memberikan informasi seputar bidang Restorative justice agar
wawasan pembaca terbuka dan membantu perkembangan penegakan hukum di
Indonesia yang terkhusus tentang penggunaan restorative justice
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum
normative yang bersfiat deskriptif sehingga tidak bermaksud untuk menguji hipotesa.
Metode pengumpulan data yang digunakan melalui:
1. Studi kepustakaan, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data skunder
dengan studi kepustakaan melalui beberapa literature seperti buku-buku,
dokumen-dokumen, peraturan perundangan-undangan dan bahan lainnya.
2. Pendekatan perundang-undangan, penelitian ini dilakukan untuk mencari dasar-
dasar landasan yang kuat untuk pemberian restorative justice sehingga peneliti
mengaitkan regulasi-regulasi yang berkaitan tentang restorative justice
3. Pendekatan konseptual, peneliti mencari tahu berbagai macam sudut pandang
mengenai restorative justice untuk mengetahui lebih luas tentang restorative justice
4. Pendekatan perbandingan, peneliti melakukan penelitian dengan membandingkan
regulasi yang ada sehingga peneliti dapat mengetahui macam regulasi yang
berkaitan dengan restorative justice.
5. Pendekatan sejarah, peneliti mencari tahu sejarah restorative justice dengan tujuan
membuka wawasan dan mengetahui bagaimana terbentuknya restorative justice.
6. Teknik pengolahan data dilakukan dengan memeriksa, meneliti data yang diproleh
untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan
kenyataan. selanjutnya dikontribusikan ke dalam suatu kesimpulan dan di sajikan
dalam bentuk kalimat yang sistematis.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, yang merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang diambil.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, dengan
menganalisis suatu permasalahan hukum melalui peraturan perundang-undangan,

7
literatur-literatur dan bahan-bahan refrensi lainnya yang berhubungan dengan UU
Pidusia No. 42 tahun 1999 Tentang jaminan fidusia

2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah konflik norma. Penelitian ini
dilakukan dengan mengumpulkan beberapa bahan hukum yang berkaitan dengan
permasalahan dalam peneleitian ini. Selanjutnya, semua bahan tersebut disusun sesuai
isi, bentuk, dan rumusan yang terkandung didalamnya.

3. Sifat Penelitian
Dalam penelitian proposal ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat
preskriptif. Ilmu hukum mempunyai karakteristtik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai, keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan
norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar
prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. 2

4. Jenis Bahan Hukum


Bahan Pustaka bidang hukum dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan
menjadi tiga golongan, yakni bahan hukum primer, sekunder, dan tersier (yang juga
dinamakan bahan penunjang) 3:
a. Bahan hukum primer :
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat auturitatif, yang
artinya memiliki otoritas. Yang mana bahan-bahan hukum yakni undang-undang
yang sedang berlaku serta peraturan yang terkait dengan penelitian, Undang-
undang Republik Indonesia nomor 42 pasal 36 tentang Jaminan Fidusia, PERJA
Nomor 15 tahun 2020, Perpol Nomor 8 tahun 2021.
b. Bahan Hukum Sekunder :

2
Peter Mahmud Marzuki,2006, Penelitian Hukum, Jakarta: kencana, hlm.22
3
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 2012. Penelitian Hukum Normatif. Cet. XII. Jakarta: Rajawali Pers

8
b Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berupa publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder
yang digunakan sebagai penunjang data dalam penelitian ini yaitu buku-buku,
referensi, jurnal-jurnal hukum yang terkait, dan sumber lainnya yang berkaitan
dengan topik yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tersier yang terdiri dari :
1) Kamus Hukum
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan
hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :
a. Bahan hukum primer dilakukan dengan inventarisasi terhadap
peraturan perundang-undangan guna memperoleh bahan hukum yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
b. Bahan hukum sekunder dilakukan dengan melakukan kajian
kepustakaan untuk menjawab permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier sebagai petunjuk yang dijadikan penafsiran


istilah-istilah yang terkait dengan pembahasan masalah dalam
penelitian ini.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum


Pengolahan bahan hukum diperoleh dari studi kepustakaan diteliti dengan metode
Analisa Deskriptif yaitu bahan hukum yang diperoleh akan digambarkan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya. Kemudian bahan hukum yang diperoleh dianalisa
untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diteliti.

6. Pengolahan dan analisis bahan hukum

Dalam penulisan skripsi, penulis membagi penelitian kedalam 4 (empat) BAB, yang
mana setiap BAB terdiri dari sub-sub bab agar memberi penjelasan yang sistematis
dan efektif

9
BAB I penulis memulainya dengan PENDAHULUAN, di dalam pendahuluan terdapat
latar belakang masalah mengapa penulis mengangkat judul proposal ini, tinjauan
pustaka yang berguna untuk memperjelas ruang lingkup serta menemukan fakta
tentang suatu hal yang hendak di teliti, tujuan penulisan yang ingin dicapai, metode
yang penulis gunakan dalam meneliti di dalamnya terdapat penjelasan mengenai tipe
penelitian, pendekatan, langkah penulisan, dan bahan hukum.

BAB II penulis melakukan TINJAUAN PUSTAKA sebagai dasar pemikiran dalam


rangka pemecahan masalah dalam proses penelitian secara umum mengenai
penelaahan kepustakaanuntuk membahas secara umum mengenai pengaturan terhadap
keputusan pemberian restorative justice

BAB III penulis melakukan PEMBAHASAN mengenai “PENDEKATAN


RESTORATIV JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
PASAL 36 UNDANG-UNDANG PIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999”
BAB IV adalah PENUTUP yang di dalamnya terdapat KESIMPULAN dari penelitian
dan untuk menyempurnakan penulis memberikan SARAN.

10
BAB II

A. Tinjauan Pustaka

a. Restorative Justice

Keadilan restoratif atau restorative justice adalah suatu proses dimana semua pihak
yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan
masalah, dan bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang atau implikasiny
a dimasa depan (Tony Marshall yang kemudian diadopsi oleh Kelompok kerja
peradilan anak , PBB).4 Restorative justice merupakan filsafat, proses, ide, teori dan
intervensi, yang menekankan dalam memperbaiki kerugian yang disebabkan atau
diungkapkan oleh perilaku kriminal. Proses ini sangat kontras dengan cara standar
menangani kejahatan yang dipandang sebagai pelanggaran yang dilakukan terhadap
Negara. Restorative Justice menemukan pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat
Pancasila, yaitu musyawarah prioritas dalam pengambilan keputusan. Tujuan
penyelesaian dengan Mediasi Korban pelanggar adalah untuk "memanusiakan" sistem
peradilan, keadilan yang mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari
korban, pelaku dan masyarakat. Restorative justice merupakan alternative atau cara
lain peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku disatu sisi
dan korban/ masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta
kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.5

Pendekatan keadilan restoratif dengan persyaratan tertentu wajib


mendayagunakan, membuka kesempatan dan kemungkinan seluasluasnya bagi korban
kejahatan untuk memperoleh restitusi atau reparasi, rasa aman, memungkinkan pelaku
untuk memahami sebab dan akibat perilakunya dan bertanggungjawab dengan cara
yang berarti dan memungkinkan masyarakat untuk memahami sebab utama terjadinya

4
Apong herlina, 2004, RESTORATIVE JUSTICE, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3 No. III hlm:
19 - 28
5
Kuat Puji Prayitno, 2012, RESTORATIVE JUSTICE UNTUK PERADILAN DI INDONESIA, vol 12,
no3

11
kejahatan, untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencegah kejahatan
(mutual agreement encouraged) (Muladi, 2019).

Dalam hukum acara pidana konvensional, perdamaian antara pelaku dan korban
tidak bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk tidak meneruskan
perkara tersebut ke ranah pidana yang berujung pada pemidanaan sang pelaku
pidanaMenurut Albert Eglash (1977), peradilan pidana memiliki tiga bentuk yang
berbeda, yaitu:

1. Berkaitan dengan keadilan retributif, yaitu penekanan utama pada penghukuman


pelaku atas apa yang telah dilakukan.

2. Berhubungan dengan keadilan distributif, yang penekanan utamanya adalah


rehabilitasi pelaku kejahatan.

3. Keadilan restoratif yang secara luas bisa disamakan dengan prinsip restitusi, yaitu
menekankan pertanggungjawaban pelaku sebagai usaha dalam memulihkan
penderitaan korban tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku
serta menciptakan dan menjaga ketertiban umum. Secara umum, prinsip-prinsip
keadilan restoratif adalah membuat pelanggar bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan atas perbuatannya. Melibatkan korban dan pihak-pihak terkait dalam
penyelesaian masalah dan menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan
dengan reaksi sosial yang formal. Melalui uraian di atas, diketahui ada perbedaan
karakteristik antara pendekatan keadilan retributif dan keadilan restoratif.

Keadilan retributif bersifat punitif yang hanya menekankan 3 (tiga) kebutuhan sistem,
yaitu:

1. Menjatuhkan sanksi terhadap pelaku

2. Membantu rehabilitasi pelaku

3. Memperkuat keamanan dan keselamatan masyarakat.6

6
Eka Fitri Andriyanti, 2020, URGENSITAS IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM
HUKUM PIDANA INDONESIA,Vol.8 No.4

12
b. Tindak Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya dijabarkan kepada 2 (dua)


macam unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Yang dimaksud dengan unsur
objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan
mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan, sedangkan unsur subjektif adalah
unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku.
Unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana adalah:

1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. macam-macam maksud atau ogmerk seperti yang terdapat misalnya didalam


kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. merencanakan terlebih dulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang
terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.

5. perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak
pidana menurut pasal 308 KUHP

Unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di


dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus
atau komisaris dari suatu perseroan terbatas”di dalam kejahatan menurut Pasal
398 KUHP. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.7

7
Chant S. R. Ponglabba, 2017, TINJAUAN YURIDIS PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA
MENURUT KUHP, Vol. VI, No. 6

13
c. Jaminan Fidusia

Fidusia sebagai lembaga jaminan menurut Tan Kamelo sudah lama dikenal dalam
masyarakat Romawi, yang pada mulanya hidup tumbuh dan hidup dalam hukum
kebiasaan. 8 Berdasarkan pertautan sejarah, lembaga jaminan fidusia selanjutnya
diatur dalam yurisprudensi dan kini telah mendapat pengakuan dalam undang-undang.
Selanjutnya, beliau menyatakan bahwa Fidusia adalah lembaga yang berasal dari
system hukum perdata barat, yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan
dengan sistem civil law. Istilah civil law berasal dari kata latin “jus civile” yang
diperlakukan kepada masyarakat Romawi.

Mengenai pengertian Jaminan Fidusia dijelaskan juga dalam pasal 1 ayat (1 dan 2)
UUJF No. 42 Th. 1999 sebagai berikut:

(1) Menyatakan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang ha k kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
(2) Menyatakan bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia
terhadap kreditor lainnya.

Beberapa dasar hukum yang menjadi landasan terselenggaranya pemberian Jaminan


Fidusia antara lain sbagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran


Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia;

14
3. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Departemen Hukum dan HAM

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 tentang


Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di Setiap Ibukota Propinsi di Wilayah
Negara Republik Indonesia

5. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.08-PR.07.01 Tahun 2000 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia

6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M. MH02.KU.02.02. Th.
2010 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pelaporan Penerimaan Negara Bukan Pajak
atas Biaya Pelayanan Jasa Hukum di Bidang Notariat, Fidusia dan Kewarganegaraan
pada kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 8

Pada undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berbunyi “Jaminan
Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi
Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”.

d. keadilan

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin cita-cita negara,
yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan
baik, sedangkan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan perbuatan
dan pratik hidup dari dasar yang memimpin tadi. Dasar Kemanusiaan yang adil dan
beradab harus menyusul, berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tidak
dapat dipisah sebab dia harus dipandang sebagai kelanjutan ke dalam praktek hidup
dari cita-cita dan amal terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konsep keadilan ini tidak saja

8
M. Yasir, 2016, Aspek Hukum Jaminan Fidusia, Vol. 3 No. 1

15
menjadi dasar hukum dari kehidupan bangsa, tetapi sekaligus menjadi pedoman
pelaksanaan dan tujuan yang akan dicapai dengan hukum.

Keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk mencapai Indonesia yang
adil dan makmur. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin cita-
cita negara, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang
benar, adil dan baik, sedangkan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
kelanjutan perbuatan dan pratik hidup dari dasar yang memimpin tadi. Dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul, berangkaian dengan dasar yang
pertama. Letaknya tidak dapat dipisah sebab dia harus dipandang sebagai kelanjutan
ke dalam praktek hidup dari cita-cita dan amal terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Konsep keadilan ini tidak saja menjadi dasar hukum dari kehidupan bangsa, tetapi
sekaligus menjadi pedoman pelaksanaan dan tujuan yang akan dicapai dengan hukum.
Keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk mencapai Indonesia yang adil
dan makmur.

Immanuel Kant mengungkapkan bahwa keadilan yang tertinggi adalah


ketidakadilan yang paling besar. Dengan kata lain keadilan yang bersifat absolut
adalah manifestasi dari wujud ketidakadilan. Dalam tatanan yang tidak terlalu
dogmatis, yang antara lain mendalilkan bahwa polisi lalu lintas adalah hukum, karena
kesemuanya itu kita taati, maka kita pun menemukan pengertian keadilan dari
pengertian hukum tersebut.

e. Gadai

Gadai adalah Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang
bergerak yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya
oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang,
dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari
barang tersebut lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-
biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
memelihara benda itu, biaya-biaya yang mana harus didahulukan.

Dari defenisi gadai tersebut terkandung adanya beberapa unsur pokok,

16
1). Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas barang gadai kepada
kreditor pemegang gadai.

2). Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitor atau orang lain atas nama debitor.

3) Barang yang menjadi obyek gadai hanya barang bergerak, baik bertubuh
maupun tidak bertubuh.

4) Kreditor pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barang gadai
lebih dahulu daripada kreditor lainnya. 9

f. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan


pidusia

pada pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia


yang berbunyi: “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau
menyewakan Benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud
dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”.

Unsur-unsur pokok dari tindak pidana tersebut dapat saja dikaitkan dengan pasal
372 KUHP seperti unsur-unsur objektifnya yaitu perbuatan memiliki, sesuatu benda,
yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dimana benda tersebut
sebagian atau seluruhnya milik orang lain yang dibuktikan telah beralihnya hak
kepemilikan atas objek jaminan fidusia, dan unsur subjektifnya yaitu dengan sengaja
melawan hukum. Tetapi yang menjadi dasar hukum penyidik yang utama yaitu
menggunakan pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat legi generalis yaitu hukum
yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. 10

9
M. Teguh Pulungan & Muazzul, 2017, Tinjauan Hukum tentang Peralihan Hak Atas Tanah melalui
Perjanjian Gadai di Bawah Tangan
10
Candra Surya Kurniawan, Paham Triyoso, S.H., M.Hum.. Milda Istiqomah, S.H., IMPLEMENTASI
PASAL 36 UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA
TERKAIT PENGALIHAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA

17
g. Litigasi

Litigasi merupakan proses penanganan perkara hukum yang dilakukan dengan jalur
pengadilan untuk penyelesaiannya. sesuai dengan amanat Undang undang Bantuan Hukum

Litigasi adalah perkara yang masuk dalam ruang pengadilan yaitu :

a) perkara pidana.
b) perkara perdata.
c) Tata Usaha Negara.

Proses litigasi melalui proses hukum pada umumnya di awali dengan tahap penyidikan
hingga proses persidangan. Penuntasan perkara yang menggunakan jalur litigasi dalam
prakteknya tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang di inginkan dan di cita-citakan oleh
masyarakat. penyelesaian perkara yang melalui jalur litigasi dalam sistem peradilan pidana
tradisional saat ini justru menywbabkan banyak permasalahan-permasalahan yang baru.

seperti pola pemidanaan yang masih memiliki sifat pembalasan di dalamnya,


menyebabkankan penumpukan perkara, tidak memperhatikan hak-hak korban, tidak sesuai
dengan asas peradilan sederhana, prosesnya membutuhkan waktu yang panjang, prosesnya
rumit dan mengeluarkan biaya yang mahal, penyelesaian bersifat legistis dan kaku, tidak
memulihkan dampak kejahatan, tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat dan lain
sebagainya. Yang seharusnya hukum dibuat pada hakikatnya untuk memberikan keadilan dan
manfaat bagi manusia yang tercermin dalam nilai-nilai pancasila. Melihat macam-macam
fenomena ini, dalam perkembangan terkini muncul sebuah konsep baru yakni konsep keadilan
restoratif. Konsep atau pendekatan keadilan restoratif dinilai dapat mengatasi berbagai
permasalahan dalam sistem peradilan pidana tradisional

h. Non litigasi

Proses non litigasi dilakukan melalui mediasi antara pihak yang terlibat, hal ini
bertujuan untuk memperoleh perdamaian dan menjamin hak-hak yang seharusnya
didapatkan oleh korban dan sebagian besar kasus perkara pidana kekerasan di
selesaikan melalui proses non litigasi.

Non Litigasi adalah perkara di luar persidangan yaitu seperti:

a) Penyuluhan hukum

18
b) Konsultasi hukum
c) Mediasi
d) Konsiliasi
e) Penelitian hukum
f) Pemberdayaan masyarakat
g) Penanganan perkara diluar pengadilan
h) Drafting hukum.

Penanganan kasus pidana yang menggunakan jalur non litigasi ialah jalur
alternative selain jalur utama yaitu merupakan jalur litigasi. Non Litigasi adalah
penanganan perkara hukum yang dilakukan melalui jalur diluar pengadilan untuk
menyelesaikanya. pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution
(ADR).

Cara penanganan sengketa melalui proses peradilan mendapat kritik yang cukup tajam,
baik dari pelaku maupun teoritis hukum. “Peran dan fungsi peradilan dianggap mengalami
beban yang melebihi padat (overloaded). Lambat dan membuang waktu. Biaya untuk
melakukan penanganan dengan proses ini mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan
umum. Atau dianggap terlampau formalistik dan terlampau teknis.

Penuntasan sengketa litigasi yang membutuhkan waktu cukup lama akan memiliki
dampak langsung pada anggaran yang cukup besar yang harus dikeluarkan jika menggunakan
penyelesaian sengketa ini. Sebaliknya pada penyelesaian sengketa secara nonlitigasi tentu
akan membutuhkan biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan penyelesaian sengketa secara
litigasi.

i. Peraturan kepolisian 8/2021


Dalam peraturan kepolisian nomor 8 tahun 2021 menjelaskan bagaimana
penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restorative dilaksanakan pada
kegiatan
a) Penyelenggara fungsi reserse criminal;
b) Penyelidikan
c) Penyidikan

Penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restorative justice harus


memenuhi persyaratan umum dan khusus persyatan yang dimaksud persyaratan umum

19
sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku untuk penanganan tindak
pidana berdasarkan keadilan restorative pada kegiatan penyelenggara fungsi resere
kriminal, penyidikan atau penyelidikan.

Lalu untuk persyaratan khusus sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b,
hanya berlaku untuk penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restorative pada
kegiatan penyidikan atau penyelidikan. Terdapat tata cara untuk penyelesaian tindak
pidana ringan.

Penyelesaian tindak pidana ringan sesuai dengan pasal 2 ayat (4) “penanganan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (a) (penyelidikan) dilakukan
terhadap pelaporan/pengaduan atau menemukan langsung adanya dugaan tindak
pidana. Laporan pengaduan sendiri merupakan laporan sebelum adanya laporan polisi.
11

Dalam pelaporan terdapat Surat permohonan yang dibuat oleh pelaku, korban,
keluarga pelaku, keluarga korba, atau pihak-pihak yang terkait secara tertulis beserta
dilengkapi dengan dokumen-dokumen seperti surat pernyataan perdamaian dan bukti
telah dilakukan pengembalian hak korban kepada kepolisian resor dan kepala
kepolisian sektor.

Dalam pelaksanaan tindak pidana ringan di laksanakan oleh anggota polri yang
mengemban fungsi pembinaan masyarakat dan anggota polri yang mengemban fungsi
Samapta Polri, Surat permohonan berfungsi untuk membuat laporan ke petugas
pembinaan masyarakat dan samaptra polri untuk melakukan pemanggilan kepada
pihak-pihak yang terkait lalu memfasilitasi atau memediasi antar pihak setelah terjadi
mediasi antar pihak petugas dapat membuat laporan hasil pelaksanaan mediasi dan
mencatat dalam buku register keadilan restoratif pemecahan masalah dan penghentian
penyidikan tipiring.

11
Peraturan kepolisian (Perpol) No 8 tahun 2021_pasal 2, pasal 4, pasal 11.

20
BAB III
A. PEMBAHASAN

a. Dasar hukum restorative justice oleh kejaksaan

Pengertian restorative justice di Indonesia dijelaskan dalam beberapa peraturan


perundang-undangan seperti dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepolisian Negara
Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan
Restoratif (selanjutnya disebut Peraturan Kepolisian 8/2021) dan Pasal 1 angka 1
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya disebut Peraturan Kejari
15/2020). Lalu di atur juga dalam Peraturan Kejaksaan (Perja) Republik Indonesia
Nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan
Restoratif.

RJ) atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana, dengan
mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan
mediasi. Proses restorative justice melibatkan semua pihak terkait, bertujuan untuk
menciptakan kesepatakan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang, baik bagi pihak korban maupun pelaku.

Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice di awali dari


pelaksanaan suatu program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan
masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang di mulai pada tahun
1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan
alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan
hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukum yang
menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan Hakim. 12

Konsep keadilan restoratif (restorative justice) telah muncul dari dua puluh tahun
lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Restorative justice adalah

12
Lidya Rahmadani Hasibuan, M.Hamdan, Marlina, Utary Maharani Barus, 2015, RESTORATIVE
JUSTICE SEBAGAI PEMBAHARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UU NO.11
TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK, Vol.3.No.3

21
sebuah konsep yang menunjukkan berbagai praktik keadilan dengan nilai-nilai yang
sama, tetapi dengan prosedur yang sangat bervariasi. Nilai-nilai ini mendorong para
pelanggar untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan untuk memperbaiki
kerugian yang mereka timbulkan, biasanya (meskipun tidak selalu) dalam komunikasi
dengan korban pribadinya.13

Dasar hukum pemberlakuan restorative justice di Indonesia ada pada:

 Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


 Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
 Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor
KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang
Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice
 Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang
Penyelesaian Tindak Pidana Ringan
 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana
berdasarkan Keadilan Restoratif
 Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif

Berdasarkan regulasi-regulasi yang disebutkan diatas yang dapat memberikan


restorative justice antara lain pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung
(MA) dalam bentuk pemberlakuan kebijakan. Dan perkara-perkara yang dapat
diselesaikan melalui restorative justice hanyalah perkara-perkara ringan, adapun selain
perkara ringan yaitu seperti perkara tindak pidana anak, tindak pidana perempuan,

13
Ahmad Syahril Yunus, S.H. dan Dr. Irsyad Dahri, S.H., M.H., 2021, Restorative Justice Di
Indonesia

22
tindak pidana narkotika, tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, tindak
pidana lali lintas.

Proses penegakan hukum dalam penyelesaian perkara tindak pidana melalui


pendekatan restorative justice di Indonesia yang dilakukan Kejaksaan mengacu pada
Peraturan Kejaksaan (Perja) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, pertimbangan untuk


melaksanakan konsep restorative justice adalah berdasarkan asas keadilan,
kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat,
sederhana, dan biaya ringan. Selain itu, penerapan restorative justice di Indonesia juga
diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang
Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice diatur dalam Pasal
364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 Pasal 364

“Pasal ini mengatur tentang pencurian dengan pemberatan yang mengakibatkan


kematian, luka berat, atau luka-luka berat pada orang yang menjadi korban. Pencurian
semacam ini dapat dikenai pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.’’

 Pasal 373

"Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372, apabila yang digelapkan bukan ternak
dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan
ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak
dua ratus lima puluh rupiah."

 Pasal 379

“Barang siapa menjadikan sebagai mata pencarian atau kebiasaan untuk membeli
barang- barang, dengan maksud supaya tanpa pembayaran seluruhnya memastikan

23
penguasaan terhadap barang- barang itu untuk diri sendiri maupun orang lain
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.’’

 Pasal 384

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori V, Setiap Orang yang:

a. membubuhi Barang emas atau perak dengan cap negara yang palsu menurut
Undang-Undang atau memalsu cap negara dengan maksud untuk memakai
atau meminta orang lain memakai, seolah-olah cap tersebut asli atau tidak
dipalsu;
b. membubuhkan cap negara pada Barang emas atau perak dengan menggunakan
cap asli secara melawan hukum dengan maksud untuk memakai atau meminta
orang lain memakai; atau
c. memberi, menambah atau memindahkan cap negara yang asli menurut
Undang-Undang pada Barang emas atau perak yang lain daripada yang semula
dibubuhi cap, dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain
memakai, seolah-olah cap tersebut sejak semula sudah ada pada Barang emas
atau perak.
(2) Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pengumuman putusan hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (1) huruf c.

 Pasal 407
(1) Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 406, jika harga kergian yang disebabkan
itu tidak lebih dari Rp. 250,– dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 900,– (K.U.H.P. 411 s).

24
(2) Jika perbuatan yang diterangkan dalam pasal 406, ayat 2, dilakukan dengan
memberi makan zat yang dapat merusakkan jiwa atau kesehatan, atau jika binatang itu
masuk kedalam bilangan binatang yang tersebut dalam pasal 101 maka ketentuan dari
ayat pertama tidak berlaku. (K.U.H.P. 321-235, 302, 411 s 472).

Bunyi pasal 406 sendiri yaitu:

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan,


merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu
barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500,—(K.U.H.P. 231-235, 407, 411 s, 489).

(2) Hukuman serupa itu dikenakan juga kepada orang yang dengan sengaja dan dengan
melawan hak membunuh, merusakkan membuat sehingga ia tidak dapat digunakan
lagi atau menghilangkan binatang, yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan
orang lain. (K.U.H.P. 170, 179, 231 s, 302, 407-2, 411 s, 472).

 Pasal 483

“Pasal 483 Ayat (1) menyatakan bahwa Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman
dipidana karena pengancaman dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
pidana denda paling banyak kategori IV, Setiap Orang yang dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancarnan
pencemaran atau pencemaran tertulis atau dengan ancaman akan membuka rahasia,
memaksa orang supaya memberikan suatu Barang yang sebagian atau seluruhnya
milik orang tersebut atau milik orang lain; atau memberi utang, membuat pengakuan
utang, atau menghapuskan piutang.”

Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut atas
pengaduan Korban Tindak Pidana. (Pasal 483 Ayat (2))14

14
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia tahun 1945 pasal 364, 373, 379, 384, 407
dan 483

25
Peraturan mengenai syarat-syarat untuk menerapkan restorative justice diatur
dalam Peraturan Kepolisian 8/2021 dan Peraturan Perja 15/2020. Syarat yang dimuat
dalam Peraturan Kepolisian 8/2021 akan diterapkan pada saat penyelenggaraan fungsi
reserse kriminal, penyelidikan, atau penyidikan. Sementara itu, syarat yang dimuat
dalam Peraturan Perja 15/2020 akan diterapkan ketika tahap penuntutan oleh penuntut
umum. Berdasarkan Peraturan Kepolisian 8/2021 dapat diketahui bahwa untuk
menerapkan restorative justice terdapat persyaratan umum dan/atau khusus.
Persyaratan khusus menjelaskan mengenai persyaratan

tambahan bagi tindak pidana tertentu seperti narkoba, lalu lintas, serta informasi
dan transaksi elektronik. Sementara itu, persyaratan umum terdiri atas syarat materiil
dan syarat formil. Syarat materiil dijelaskan dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan
Kepolisian 8/2021 yang berbunyi:

“Persyaratan materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, meliputi:

a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;


b. tidak berdampak konflik sosial;
c. tidak berpotensi memecah belah bangsa;
d. tidak bersifat radikalisme dan separatisme;
e. bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan; dan
f. bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara,
tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang.”

Kemudian, mengenai syarat formil dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan
Kepolisian 8/2021 yang berbunyi:

“Persyaratan formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, meliputi:

a. perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana narkoba; dan
b. pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk tindak
pidana
narkoba.”

26
Lebih lanjut, dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Kepolisian 8/2021 menjelaskan
maksud dari pemenuhan hak-hak korban di atas, yaitu dapat berupa mengembalikan
barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan akibat dari tindak
pidana, dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat syarat-
syarat yang harus dipenuhi jika akan menerapkan restorative justice.

Syarat tersebut seperti terdapat kesepakatan diantara para pihak untuk melakukan
perdamaian, bukan pengulangan tindak pidana, telah terpenuhinya hak-hak korban,
dan penerapan restorative justice ini tidak mendapat penolakan dari masyarakat, serta
bukan untuk kejahatan-kejahatan tertentu. Selanjutnya, syarat-syarat mengenai
penerapan restorative justice ketika dalam tahap penuntutan dijelaskan dalam Pasal 5
ayat (1) Peraturan Kejari 15/2020 yang berbunyi:

“Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya
berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:

a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;


b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan
pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang
ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah)”

Namun, untuk tindak pidana terkait harta benda, tindak pidana terhadap orang, tubuh,
nyawa, dan kemerdekaan, serta jika tindak pidana dilakukan karena kelalaian, maka
syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejari 15/2020 dapat
disimpangi sebagian. Oleh karena itu, penerapan syarat-syarat tersebut tidak
diberlakukan secara kaku, melainkan dapat dikesampingkan dalam perkara tertentu.

Selain 3 (tiga) syarat yang telah disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejari
15/2020, pelaksanaan restorative justice juga harus memenuhi beberapa syarat lainnya
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (6) Peraturan Kejari 15/2020 yang

27
berbunyi:
“penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan
memenuhi syarat:

a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh
tersangka dengan cara:

1) mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban;


2) mengganti kerugian korban;
3) mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau
4) memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

b. telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka; dan


c. masyarakat merespon positif”

Akan tetapi, pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif


dalam Peraturan Kerjari 15/2020 ini memiliki beberapa pengecualian untuk hal
tertentu. Pengecualian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (8) Peraturan
Kejari 15/2020 yang berbunyi:

“Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk


perkara:

1. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden,
negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan
kesusilaan;
2. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
3. tindak pidana narkotika;
4. tindak pidana lingkungan hidup; dan
5. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.”

Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan penyelesaian restorative


justice adalah pada perkara tindak pidana ringan. Dalam hal ini, hukum yang diberikan

28
adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp2,5 juta. Selain pada perkara
tindak pidana ringan, penyelesaian dengan restorative justice juga dapat diterapkan
pada perkara pidana lainnya seperti:

 Perkara pidana tindak pidana anak,


 Tindak pidana lalu lintas,
 Tindak pidana informasi dan transaksi elektronik,
 Tindak pidana perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Syarat Pelaksaan Restorative Justice Untuk diketahui, dalam penanganan perkara


secara restorative justice terdapat persyaratan umum dan materiel yang harus
dipenuhi. Berdasarakan Perja Nomor 15 Tahun 2020, pemenuhan syarat penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif digunakan sebagai pertimbangan Penuntut
Umum untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke
pengadilan. Lalu apa saja syaratnya? Adapun syarat umum Restorative Justice adalah:

 Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;


 Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan
pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
 Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang
ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000;
 Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku,
berupa mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada
Korban, mengganti kerugian Korban, mengganti biaya yang ditimbulkan dari
akibat tindak pidana dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari
akibat tindak pidana, telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan
pelaku.

Persyaratan materiel meliputi:

 tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;


 tidak berdampak konflik sosial;
 tidak berpotensi memecah belah bangsa;

29
 tidak bersifat radikalisme dan separatisme;
 bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan;
 dan bukan Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan negara,
Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana terhadap nyawa orang.

Perkara yang dilaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratf


di Kejaksaan Negeri, perlu adanya pertimbangan kembali terkait limit waktu
penyelesaian perkara melalui penghentian penuntutan sehingga pelaksanaan Perja No.
15 Tahun 2020 tersebut terlaksana secara maksimal dan tepat sasaran.15 penerapan
restorative justice Kejaksaan Negeri berdasarkan Perja No. 15 Tahun 2020:

2. Upaya Perdamaian.
Upaya perdamaian merupakan tahap paling utama dalam prosedur penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restorative justice. Tahap ini merupakan aspekyang
membedakan antara restorative justice dengan diversi. Jika diversi di setiap tahap
penanganan perkara yaitu penyidik, penuntut umum dan hakim diwajibkan melakukan
upaya diversi terhadap pelaku anak, maka restorative justice peran penegak hukum
hanyalah sebagai fasilitator.
3. Proses Perdamaian.
Proses perdamaian merupakan tahap dilaksanakannya kesepakatan antar pihak
korban dan tersangka. Fasilitator mengemukakan waktu, tempat, dan uraian singkat
tentang tindak pidana yang diduga dilakukan tersangkaa saat ini. Kemudian atas
penjelasan tersebut fasilitator memberikan kesempatan kepada tersangka/penasehat
hukum tersangka, korban/orangtua/wali korban/pendamping korban dan perwakilan
masyarakat (tokoh agama atau tokoh masyarakat) untuk memberikan masukan dan
saran mengenai bentuk dan cara penyelesaian kasus yang muncul, serta jadwal
pelaksanaannya.

15
Irabiah, Beni Suswanto, Muhammad Ali Alala Mafing, 2022, PENERAPAN RESTORATIVE
JUSTICE PADA TINGKAT PENUNTUTAN (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI
KOTAMOBAGU)_ Volume 27 Nomor 2

30
4. Pelaksanaan Perdamaian.
Tahap pelaksanaan perdamaian merupakan tahap pemenuhan permintaan ataupun
permohonan para pihak. Pada tahap ini kesepakatan antara para pihak untuk
melakukan perdamaian dibuktikan dalam Berita Acara Pelaksanaan Perdamaian
(RJ10). Pelaksanaan perdamaian ini merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh
para pihak setelah adanya kesepakatan untuk melakukan perdamaian.
5. Permintaan Penghentian Penuntutan.
Setelah Berita Acara Pelaksanaan Perdamaian (RJ-10) ditandatangani oleh para
pihak dan fasilitator, langkah selanjutnya adalah penuntut umum yang bertindak
sebagai fasilitator mengajukan permohonan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi atau
Jaksa Agung agar kasus-kasus tertentu yang menarik perhatian pimpinan dan
masyarakat dihentikan penuntutannya. Permintaan penghentian penuntutan bertujuan
untuk mendapatkan petunjuk dan persetujuan dari pimpinan terkait perkara yang
diajukan dapat dipertimbangkan untuk disetujui atau tidak terlaksananya restorative
justice.
6. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan.

Penuntut Umum menerbitkan Suratt Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2)


paling lama 2 (dua) hari setelah Kepala Kejaksaan Tinggi menerima penghentian
penuntutan berdasarkan perkara yang diajukan. Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKP2) merupakan dasar hukum berlakunya penghentian penuntutan
terhadap perkara yang telah diajukan. Perkara tersebut telah selesai dan tidak dapat
diajukan lagi untuk dilakukannya proses penuntutan. 16

b. penyelesaian perkara pidana fidusia yang diselesaikan melalui restorative


justice

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap

16
PERATURAN KEJAKSAAN No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif.

31
dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditor lainnya. 17

yang menjadi sumber lahirnya perjanjian fidusia adalah Konstruksi hukum


perjanjian fidusia atas benda bergerak menurut Undang-undang Nomor 42 tahun 1999
tentang jaminan fidusia yang sudah didaftarkan dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap,
yaitu tahap pembebanan dan tahap pendaftaran jaminan fidusia. Pasal 4 UUJF Nomor
42 Tahun 1999 menyebutkan jaminan fidusia merupakan perjanjian Assesoir dari
perjanjian dasar yang menerbitkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu
prestasi.18

Selain penyelesaian melalui hukum pidana, penyelesaian secara publik juga bisa
dilakukan melalui mediasi, negosiasi, atau cara-cara alternatif lainnya, tergantung pada
konteks dan jenis permasalahannya. Kalaupun penyelesaian melalui jalur ini tidak
membuahkan perdamaian maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
laporan ke kepolisian terlebih dahulu untuk dilakukannya tindakan lebih lanjut.

Penegakan hukum yang dilakukan dengan mempergunakan metode keadilan


formal berupa tindakan represif Kepolisian yang kemudian dilanjutkan dengan proses
hukum ligitatif (law enforcement process), pada umumnya akan berakhir dengan
situasi menang-kalah (win-lost) atau kalah-kalah (lost-lost). Akhir proses ligitatif
tersebut hanya akan berujung pada pemidanaan pelaku atas perbuatannya, sementara
pemulihan aspek hak-hak korban serta kerugian fisik danpsikis yang diderita korban
akibat peristiwa tersebut belum dapat dipenuhi. Bentuk pemidanaan yang digunakan
saat ini juga dapat dikatakan tidak memberikan efek jera bagi para pelanggar hukum.

17
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1999 pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)
18
Sugianto, 2014, REKONSTRUKSI PERJANJIAN FIDUSIA ATAS BENDA BERGERAK YANG
DIDAFTARKAN BERDASARKAN NILAI KEADILAN, vol 1, No. 3

32
Sistem peradilan pidana yang selama ini ditopang dengan doktrin dan teori efek
jera (deterence effect) sudah tidak efektif lagi untuk digunakan dalam proses
penyelesaian masalah, keadaan tersebut mendorong penanganan masalah melalui
mekanisme informal (misdeamenor) dengan melibatkan pihak ketiga sebagai
fasilitator guna melakukan victim-offender Reconsiliation dan atau Alternative
Dispute Resolution lebih dirasakan manfaat oleh berbagai pihak yang bersangkutan. 19

Selain itu dengan banyaknya penumpulan kasus di kepolisian menyebabkan


semakin lamanya penyelesaian suatu kasus dan pada akhirnya menyebabkan tidak
terpenuhinya kepastian hukum. Begitu halnya dengan kondisi saat ini yang mana para
narapidana atau tahanan yang masuk dengan berbagai kasus pidana telah membuat
lembaga pemasyarakatan/rutan menjadi over capacity dan tidak ideal, sehingga
berimbas pada timbulnya tindakan kriminal didalam lingkungan lembaga
pemasyarakatan/rutan itu sendiri, misalnya penyalahgunaan narkoba, perjudian,
bentuk-bentuk kekerasan atau penganiayaan,pencurian penipuan dan masih banyak
tindakan kejahatan lainnya.

Pada dasarnya keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang
bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain keadilan
restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan
dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum dan pekerja hukum. 20 Dalam
keadilan restoratif, kejahatan dilihat sebagai pelanggaran dari seseorang terhadap
orang lain dan masyarakat. Kejahatan mempunyai dua dimensi baik individual
maupun sosial. Pelanggaran menciptakantanggung jawab dan berfokus pada
penyelesaian masalah. Tanggung jawab didefinsikan sebagai menerima tanggung
jawab dan bersedia untuk memperbaiki/mengganti kerugian. Mengutamakan dialog
dan negosiasi. 21

19
Soedarsono, Op.Cit., hal. 39
20
Achjani Zulfa, Eva, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Depok, UI press: hlm. 64-65
21
Muladi, 2016, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang, BP Universitas Diponegor: hlm. 114.

33
Pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara tindak pidana sudah
dikenal terhadap tindak pidana yang pelakunya adalah anak. Sistem peradilan pidana
khusus bagi anak tentunya memiliki tujuan khusus bagi kepentingan masa depan anak
dan masyarakat yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip restorative justice,
definisi restorative justice itu sendiri tidak seragam, sebab banyak variasi model dan
bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Terdapat banyak terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan konsep restorative justice, seperti communitarian
justice (keadilan komunitarian), positive justice (keadilan positif), relational justice
(keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif), dan community justice
(keadilan masyarakat).22

Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
yang timbul dari suatu perikatan hukum. Hukum jaminan berkaitan erat dalam
hubungannya dengan hukum benda-benda. Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Pebruari 1991
tentang Jaminan Pemberian Kredit menyatakan bahwa Jaminan adalah suatu
keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan.23 Fidusia adalah istilah hukum yang mengatur perpindahan hak atas
suatu barang atau benda. Istilah ini mungkin cukup asing terdengar, namun istilah ini
banyak dipakai saat Anda mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan non bank dan
bank di Indonesia. Misalnya untuk pengajuan pinjaman terkait KPR, pinjaman modal,
kredit kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.

Lalu pengertian jaminan fidusia juga datur dalam pasal 2 yang menyatakan :
"jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam

22
United Nations (PBB), 2006, Handbook on Restorative Justice Programmes, United
NationsPublication, New York, hlm. 6
23
Muhammad Hilmi Akhsin, Anis Mashdurohatun, 2017, AKIBAT HUKUM JAMINAN FIDUSIA
YANG TIDAK DIDAFTARKAN MENURUT UU NOMOR 42 TAHUN 1999, Vol. 4 No. 3

34
penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan tertentu, yang memberikan
kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”

Dari aturan tersebut jaminan fidusia adalah bentuk penyerahan hak


kepemilikan debitur kepada kreditur sebagai jaminan atas dasar kepercayaan,
yang diserahkan hanyalah hak kepemilikan namun obyek jaminan (benda) tetap
berada dalam kekuasaan pihak debitur, sehingga karena masih dalam
kekuasaannya, debitur dapat mendayagunakan benda obyek jaminan. 24

Anggapan masyarakat tindak pidana pengalihan hak kepemilikan tersebut bahwa


jaminan fidusia berkaitan dengaan hukum perdata bukan dalam wilayah hukum
pidana, karena dalam hal ini menurut masyarakat apabila melakukan pengalihan atau
menggadaikan atau menyewakan obyek jaminanm fidusia tersebut dengan tanpa
persetujuan tertulis dengan pihak kreditur maka menurutnya dapat diselesaikan secara
ruang lingkup hukum perdata, walaupun dalam kenyataan bahwa perbuatan (delik)
yang dimaksud juga menimbulkan akibat hukum dalam hukum pidana karena
pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia sebagaimana yang
dijelaskan di bawah ini.

Salah satu ciri khas yang ada pada kerangka Undang-Undang Fidusia untuk
melakukan proteksi seperti yang sudah dijelaskan terdapat delik pidana yang
memungkinkan suatu pemidanan terjadi apabila (Pasal 35 Undang-Undang Jaminan
Fidusia) “Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan
atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal
tersebut diketahui oleh salah satu pihak melahirkan Perjanjian Jaminan Fidusia
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”.

Selanjutnya pada Pasal 36 Undang-Undang Fidusia ini menyebutkan bahwa


“Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang

24
_ Gentur Cahyo Setiono, Herry SulistyoSatriyani Cahyo Widayati, 2021, CIDERA
JANJIDALAMPERJANJIANKREDITJAMINAN FIDUSIA

35
menjadi obyek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) yang
dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).”25

Pendekatan prinsip restorative justice (keadilan restorative) dalam penyelesaian


perkara pidana (penal) dianggap sebagai suatu metode baru, meskipun pola-pola yang
digunakan sebagian besar telah mengakar dalam nilai-nilai kearifan local masyarakat
primitive. Konsep pendekatan restorative justice pada dasarnya merupakan suatu
pendekatan yang lebih menitikberatkan pada pemulihan kerugian dan penderitaan
korban sehingga tercapainya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana
serta korbanya.26

Pihak berwenang dapat menghentikan suatu perkara fidusia dilimpahkan sebagai


kasus pidana dengan memberikan restorative justice tetapi ada beberapa unsur atau
klasifikasi yang harus dipenuhi terhadap penegakkan hukum, ada tiga unsur yang
selalu harus diperhatikan yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
(zwechmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal ini
terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia
et pereat mundus”. Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. 27

Di dalam kepolisian, Hakikatnya penyidikan dimulai sejak diketahui bahwa


sesuatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana, dan adanya sangkaan bahwa
seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, kemudian penyidikan itu harus
berdasarkan cara-cara yang diatur oleh undang-undang. Dalam menangani proses
pengaduan atau laporan polisi tersebut langkahlangkah yang dilakukan telah sesuai
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang

25
Iwan Riswandie, 2022, PENYELESAIAN TINDAK PIDANA FIDUSIA MELALUI PENDEKATAN
RESTORAVE JUSTICE
26
Sukardi, 2016, Penanganan Konflik Sosial Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, Jurnal Hukum
& Pembangunan 46 No. 1, 20-89, hlm. 73-74
27
Laurensius Arliman S, 2019, Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Baik Di Negara Hukum
Indonesia, Jurnal Dialogia Iuridica, Vol. 11 No. 1, hlm. 16

36
Penyidikan Tindak pidana yang berawal dari penerimaan laporan atau pengaduan dari
masyarakat, setelah itu dilakukan penyelidikan untuk menentukan peristiwa tersebut
diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana. Dan apabila hasil penyelidikan yang
memutuskan bahwa perbuatan yang dilaporkan merupakan tindak pidana, dilanjutkan
ke tahap penyidikan dan apabila yang dilaporkan bukan merupakan tindak pidana,
dilakukan penghentian penyelidikan. Setelah tahap penyelidikan dilakukan dan
ditemukan bukti permulaan yang cukup maka akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila terpenuhi syarat:

1) Tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan


masyarakat;

2) Tidak berdampak konflik sosial;

3) Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan
melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;

4) Prinsip pembatas: pada pelaku: tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat,
yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan pelaku bukan residivis sedangkan
pada tindak pidana dalam proses: penyelidikan; dan penyidikan, sebelum SPDP
dikirim ke Penuntut Umum. 28

Seperti yang tertuang dalam Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kapolri Nomor 6
Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan Surat Edaran Kapolri No.
SE/8/VII/2018. Sehingga dengan aturan yang masih dalam skala partikelir seperti ini
menyebabkan masih adanya kegamangan dalam pemberlakuan keadilan restorative itu
sendiri. 29

28
Rahmat Wiguna , 2021, PENERAP PENERAPAN SANKSI PID AN SANKSI PIDANA TERHADAP
PERBU AP PERBUATAN PENGALIH PENGALIHAN BARANG J AN BARANG JAMINAN FIDUSI
AN FIDUSIA (STUDI KASUS P A (STUDI KASUS PADA POLRES SERANG KOTA)_
8u4429 ndha Auliya RahayuSufirman Rahman & Nur ul Qamar, Eksistensi Restorative
JusticeDalamPerkembangan Sistem Hukum Pidana Indonesia: Studi di Kepolisian Resort Kota
Besar Makassar

37
Dari uraian di atas menurut penulis penyelesaian sengketa fidusia dapat diselesaikan
melalui restorative justice dengan kriteria-kriteria tertentu seperti terdapat kesepakatan
diantara para pihak untuk melakukan perdamaian, bukan pengulangan tindak pidana,
telah terpenuhinya hak-hak korban, dan penerapan restorative justice ini tidak
mendapat penolakan dari masyarakat, serta bukan untuk kejahatan-kejahatan tertentu.
syarat-syarat mengenai penerapan restorative justice ketika dalam tahap penuntutan
dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejari 15/2020 yang berbunyi:
“Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya
berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana
penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang
ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah)”.
keuntungan dari penyelesaian sengketa fidusia melalui restorative justice antara
lain pemenuhan hak atas korban, minimnya biaya yang dikeluarkan, pelaku tidak di
masukan kedalam penjara sehingga mengurangi biaya negara, didengarnya kemauan
dari kedua belah pihak, proses penangan lebih cepat sehingga tidak memakan waktu.

38
BAB IV

Penutup

A. kesimpulan

Berdasarkan uraian yang sudah dikemukakan pada bagian senelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1. Dasar hukum pemberian keadilam restorative (Restorative Justice) pihak


kejaksaan adalah peraturan kejaksaan (perja) nomor 15 tahun 2020 pasal 5 ayat 1:
a. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana
penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang
ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah)”.
2. Perkara pidana fidusia dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif (Restorative
Justice) dengan alasan jika adanya hasil mediasi yang dilakukan dari kedua belah
pihak yang membuat adanya pemulihan kerugian dari pelaku yang dialami korban
sesuai dengan kesepakatan saat terjadinya mediasi, dapat dianggap pelaku sudah
memiliki itikad baik untuk bertanggung jawab atas kerugian yang telah pelaku
timbulkan.
3. Dalam penerapan Restorative Justice di kejaksaan harus terpenuhinya syarat-
syarat yang sudah di tentukan berdasarkan peraturan kejaksaan No. 15 tahun 2020
B. Saran

Berdasarkan kesimpulan, maka ada hal yang perlu disarankan sebagai berikut:
1. Perlunya mengedukasi masyarakat bahwa adanya peraturan kejaksaan (perja)
nomor 15 tahun 2020 tentang keadilan restoratif (Restorative Justice) yang dimana
peraturan ini dapat menjadi solusi ataupun jawaban untuk pelaku tindak pidana
ringan dan korbannya agar menempuh jalan atau metode yang lebih
menguntungkan dan tidak memakan waktu.

39
2. Diperlukannya kepastian hukum Restorative Justice antar instansi dikarenakan
ditiap instansi memiliki aturannya masing-masing untuk menerapkan Restorative
Justice

40
DAFTAR PUSTAKA

Bibliography
(PBB), U. N. (2006). Handbook on Restorative Justice Programmes. New York.
15, P. K. ( tahun 2020 ). tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. .
42, U.-u. R. (tahun 1999 ). pasal 1 ayat (1) dan ayat (2).
Achjani Zulfa, E. (2011). Pergeseran Paradigma Pemidanaan. 64-65.
Ahmad Syahril Yunus, S. d. (2021). Restorative Justice Di Indonesia.
AKIBAT HUKUM JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN MENURUT
UMuhammad Hilmi Akhsin, A. M. (September 2017). AKIBAT HUKUM JAMINAN
FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN MENURUT UU NOMOR 42 TAHUN
1999.
Andriyanti, E. F. ( 2020). URGENSITAS IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE
DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA.
Candra Surya Kurniawan, P. T. (t.thn.). IMPLEMENTASI PASAL 36 UNDANG-
UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERKAIT
PENGALIHAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA.
Gentur Cahyo Setiono, H. S. (2021). CIDERA
JANJIDALAMPERJANJIANKREDITJAMINAN FIDUSIA.
herlina, A. ( September 2004). RESTORATIVE JUSTICE. Jurnal Kriminologi Indonesia,
Vol. 3 No. III: 19 - 28.
Irabiah, B. S. (Tahun 2022 ). PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE PADA TINGKAT
PENUNTUTAN. Volume 27 Nomor 2.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia tahun 1945 . (t.thn.). pasal 364,
373, 379, 384, 407 dan 483.
Marzuki, P. M. (2006). Penelitian Hukum. Dalam Penelitian Hukum (hal. hlm.22). Jakarta.
Muazzul, M. T. (Desember 2017). Tinjauan Hukum tentang Peralihan Hak Atas Tanah
melalui Perjanjian Gadai di Bawah Tangan.
Muladi. (2016). Kapita Selekta Hukum Pidana. 114.
Peraturan kepolisian (Perpol) . (t.thn.). No. 8 tahun 2021_pasal 2, pasal 4, pasal 11.
Ponglabba, C. S. (2017). TINJAUAN YURIDIS PENYERTAAN DALAM TINDAK
PIDANA MENURUT KUHP. Vol. VI/No. 6.
Prayitno, K. P. ( (2012)). RESTORATIVE JUSTICE UNTUK PERADILAN DI
INDONESIA. vol12, no3.

41
Qamar, n. A. (t.thn.). Eksistensi Restorative JusticeDalamPerkembangan Sistem Hukum
Pidana Indonesia: Studi di Kepolisian Resort Kota Besar Makassar.
RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI PEMBAHARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA
BERDASARKAN UU NO.11 TAHUN 20Lidya Rahmadani Hasibuan, M. M.
(November 2015). RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI PEMBAHARUAN
SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UU NO.11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. Vol.3.No.3 .
Riswandie, I. (2022). PENYELESAIAN TINDAK PIDANA FIDUSIA MELALUI
PENDEKATAN RESTORAVE JUSTICE.
S, L. A. ( 2019). Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Baik Di Negara Hukum Indonesia.
Jurnal Dialogia Iuridica, hlm 16.
Soedarsono. (t.thn.). penerapan restorative justice. hal. 39.
Soerjono Soekanto, S. M. ( 2012). Penelitian Hukum Normatif.
sugianto. (2014). REKONSTRUKSI PERJANJIAN FIDUSIA ATAS BENDA BERGERAK
YANG DIDAFTARKAN BERDASARKAN NILAI KEADILAN. Vol 1, No 3.
Sukardi. ( 2016). Penanganan Konflik Sosial Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif. 73-74.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 . (tahun 1999 ). tentang Jaminan Fidusia,
(hal. Nomor 42 ).
Wiguna, R. (12-30-2021). PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERBUATAN
PENGALIHAN BARANG JAMINAN FIDUSIA. (STUDI KASUS P A (STUDI
KASUS PADA POLRES SERANG KOTA).
Yasir, M. ((2016)). Aspek Hukum Jaminan Fidusia. Vol. 3 No. 1.

42
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Aliefa hudy Putra Machfuyana, lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada


tanggal 5 Mei 2002, merupakan anak kedua dari pasangan suami istri Bapak Taufik
Machfuyana dan Ibu Nur Rita Syaukiah. Pendidikan Dasar dan menengah semuanya
ditempuh di tanah Kalimantan, tepatnya di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Tamat
Pendidikan dasar di SD Muhammadiyah 8&10 pada tahun 2014, lalu tamat SMP
Negeri 6 Banjarmasin pada tahun 2016, selanjutnya tamat di SMAN 2 Banjarmasin
pada tahun 2019. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pendidikan tinggi sejak
tahun 2019 di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

Selama menjadi Mahasiswa yang bersangkutan aktif dalam kepanitiaan maupun


organisasi kemahasiswaan, dalam kepanitiaan pernah menjabat sebagai Koordinator
Divisi PDD (Publikasi, Dekorasi dan Dokumentasi) acara DiesNatalis ke-63 Fakultas
Hukum Universitas Lambung Mangkurat. Pada organisasi kemahasiswaan yang
bersangkutan juga aktif dalam Lembaga Pers Mahasiswa Peristiwa Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat, sebagai Koordinator lapangan pada agenda Kemah
Sastra 2021, dan pernah menjabat sebagai Koordinator SubDivisi Videography pada
divisi Produksi pada tahun 2020/2021

43

Anda mungkin juga menyukai