Anda di halaman 1dari 16

MATA KULIAH REKAYASA LINGKUNGAN

UPAYA MINIMALISASI DAMPAK NEGATIF


KEGIATAN PARIWISATA TERHADAP
LINGKUNGAN DENGAN MEMERHATIKAN ASPEK-
ASPEK PARIWISATA BERKELANJUTAN

Disusun oleh :
Robi Hari Marhesa (206000101111005)

Dosen Pengampu:
Prof. Luchman Hakim, S.Si., M.Agr.Sc., Ph.D

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBER DAYA


LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN
PASCASARJANA INTERDISIPLINER
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor penting dalam
pembangunan karena sektor pariwisata dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi baik secara nasional maupun regional. Di dalam kegiatan
kepariwisataan ada yang disebut sebagai subjek wisata dan objek wisata. Subjek
wisata merupakan orang-orang yang melakukan perjalanan wisata yang disebut
wisatawan. Sedangkan objek wisata terdiri dari keindahan alam, iklim,
pemandangan, hutan, maupun keanekaragaman hayati. Pengusahaan objek dan
daya tarik wisata yang menyajikan keindahan alam disebut objek dan daya tarik
wisata alam. Jenis-jenis wisata alam di antaranya adalah wisata bahari, wisata
etnis, wisata cagar alam, wisata buru, dan wisata agro (Muharto, 2020).
Pertumbuhan kegiatan di sektor wisata selain memberikan manfaat
ekonomi juga berpotensi menimbulkan konsekuensi serius terhadap kondisi
lingkungan. Hal ini didasarkan pada kegiatan wisata yang umumnya dikelola
secara masif tanpa memerhatikan keberlanjutan ekologi. Industri pariwisata
berhubungan langsung dengan kualitas lingkungan. Sebagai contoh,
pembangunan infrastruktur wisata yang tidak dikelola dengan baik dapat merusak
lingkungan. Namun sebaliknya, industri pariwisata dapat memberikan dampak
positif pada kualitas lingkungan bila kegiatan wisata yang dijalankan dapat
memberikan kontribusi bagi pelestarian lingkungan (Rabbany, et.al., 2013).
Menurut Pearce (1985) dalam Fennel (2008), kekhawatiran akan dampak
kegiatan pariwisata terhadap ekoloogi semakin meningkat pada tahun 1960-an
dan tahun 1970-an. Terlebih pada tahun 1960-an, terjadi kerusakan di Acapulco
yang disebabkan oleh pembangunan, khususnya pembangunan untuk kawasan
pariwisata. Hal serupa terjadi di Kepulauan Balearic dan Costa Brava di Spanyol.
Pollock (1971) dalam Fennel (2008) mengkritisi pengembangan pariwisata di
Tanzania yang hanya mengutamakan kepentingan ekonomi dan tidak
memperhatikan aspek konservasi terhadap lingkungan. Menurutnya,
pengembangan kegiatan pariwisata disamping berorientasi pada kepentingan
ekonomi juga memerhatikan aspek kelestarian ekologi (lingkungan). Dengan
demikian, pariwisata dapat menjadi alat utama untuk pembangunan ekonomi,
namun bila tidak direncanakan dengan baik dapat berdampak negatif pada
kehidupan sosial dan kelestarian lingkungan.
Pengembangan wisata yang tidak berkelanjutan berpotensi mendorong
penggunaan sumber daya alam yang mengarah pada transformasi habitat secara
ekologi serta punahnya flora dan fauna (Yustina, et.al., 2017). Dalam arah
kebijakan dan strategi Kementerian Pariwisata Ekonomi dan Kreatif 2020-2024
disebutkan bahwa strategi yang akan dilakukan adalah dengan meningkatkan
parwisata Indonesia berdaya saing tinggi dengan menitikberatkan pada
pembangunan citra pariwisata nasional (Kemenparekraf, 2020). Namun
demikian, pembangunan pariwisata yang dilaksanakan hendaknya tidak hanya
berorientasi pada kemajuan sektor perekonomian semata, melainkan
memerhatikan aspek kearifan lokal dan aspek kelestarian lingkungan sehingga
sumber daya pariwisata dapat dinikmati generasi sekarang maupun generasi yang
akan datang (Fandeli, et.al., 2019). Konsep pembangunan pariwisata yang
memerhatikan ketersediaan sumber daya bagi generasi sekarang dan yang akan
datang disebut dengan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan. Konsep
pariwisata berkelanjutan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 tentang Pariwisata pada pasal 2, yang menyatakan bahwa “Kepariwisataan
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata,
keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis,
kesetaraan, dan kesatuan.” lingkungan sosial budaya di wilayah tersebut.
Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan berhubungan erat dengan
upaya pelestarian lingkungan (Najdeska, et.al., 2012). Tujuan perencanaan
pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah memastikan bahwa dalam
pengembangan kegiatam pariwisata aspek lingkungan tidak dikorbankan demi
orientasi kepentingan ekonomi ((Fillone, et.al., 2019). Pengembangan pariwisata
berkelanjutan dapat meminimalkan dampak kerusakan lingkungan dari kegiatan
pariwisata sehingga menjamin keberlanjutan kegiatan pariwisata baik untuk
generasi sekarang maupun generasi yang akan datang (Sunlu, 2003).
Mengacu pada hasil penelitian Juliana, et.al., (2013) di Perairan Pantai
Bandengan Kabupaten Jepara, menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas
lingkungan terutama dalam hal tutupan terumbu karang. Berdasarkan uraian
dalam penelitian Purwanto, et.al., (2014), keberadaan Taman Wisata Alam Bukit
Kelam (TWABK) justru sering dianggap sebagai sumber masalah atau konflik
antarberbagai pihak yang bersumber pada upaya untuk menyelaraskan antara
fungsi dan potensi sumber daya alam TWABK dengan aktivitas manusia dan
pembangunan yang berpotensi berdampak negatif terhadap kelestarian ekologi.
Sedangkan dari hasil penelitian Dipayana, et.al., (2015) menunjukan bahwa
kegiatan wisata memicu pertumbuhan sarana (villa dan guesthouse) serta
meningkatnya konversi lahan dari pertanian ke non pertanian di Desa Tibubeneng
Kabupaten Badung Bali, dimana luasan lahan 302, 30 hektar di tahun 2011 turun
menjadi 260 hektar di tahun 2013.
Dari uraian dan beberapa hasil penelitian yang disebutkan, menunjukkan
bahwa lingkungan mengalami tekanan akibat dari aktivitas wisata. Perlu adanya
upaya ataupun “rekayasa” dalam perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan
kegiatan pariwisata agar aktivitas wisata yang dilakukan tidak berdampak buruk
terhadap kualitas lingkungan. Selain itu, dalam pengembangan kegiatan
pariwisata harus memerhatikan aspek-aspek keberlanjutan agar aktivitas wisata
yang dilakukan terjamin keberlanjutannya baik untuk generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang.

2. Rumusan Masalah
Atas dasar permasalahan yang telah disebutkan di atas, memunculkan pertanyaan:
1. Upaya apa yang dapat dilakukan dalam perencanaan, pengembangan, dan
pengelolaan kegiatan pariwisata agar tidak berdampak buruk terhadap
lingkungan?
2. Aspek apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pariwisata
yang berkelanjutan?

3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui:
1. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam perencanaan, pengembangan, dan
pengelolaan kegiatan pariwisata agar tidak berdampak buruk terhadap
lingkungan
2. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pariwisata
berkelanjutan.
B. PEMBAHASAN
1. Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan dalam Perencanaan, Pengembangan,
dan Pengelolaan Kegiatan Pariwisata agar Tidak Berdampak Buruk
terhadap Lingkungan
a. Melakukan Analisis Kesesuaian Lahan
Pemahaman berbagai karakteristik kawasan pariwisata, diantaranya
kesesuaian lahan menjadi modal utama untuk melakukan pariwisata yang
berkelanjutan (Revolina, et.al., 2020). Salah satu contoh analisis kesesuaian
lahan dalam kawasan pariwisata dapat dilakukan di wisata alam, khususnya
wisata pantai. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yulianda (2019)
dalam Revolina, et.al., (2020), analisis kesesuaian lahan wisata pantai dapat
diperhitungkan dengan menggunakan rumus kesesuaian lahan untuk wisata
pantai, yaitu:

Keterangan: IKW = Indeks Kesesuaian Wisata;


IKW ≥ 2,5: sangat sesuai;
2,0 ≤ IKW <2,5: sesuai;
1,0 ≤ IKW <2,0: tidak sesuai
IKW < 1: sangat tidak sesuai

Adapun penilaian parameter kesesuaian lahan wisata pantai, meliputi 10


(sepuluh) parameter, yaitu: (1) kedalaman perairan; (2) tipe pantai; (3) lebar
pantai; (4) material dasar; (5) kecepatan arus; (6) kecerahan perairan; (7)
kemiringan pantai; (8) penutupan lahan pantai; (9) biota berbahaya; dan (10)
ketersediaan air tawar.

b. Menghitung Daya Dukung Lingkungan


Menurut Fandeli, et.al., (2019), daya dukung lingkungan menjadi salah
satu aspek penting untuk diperhitungkan dalam perencanaan dan
pengelolaan pariwisata berkelanjutan. Daya dukung lingkungan dapat
dihitung dengan metode Cifuentes untuk mengetahui nilai daya dukung fisik
(PCC), daya dukung riil (RCC), dan daya dukung efektif (ECC). Daya
dukung fisik (Physical Carrying Capacity/PCC) merupakan jumlah
maksimum wisatawan yang tercukupi oleh ruang yang disediakan pada
waktu tertentu. Perhitungan nilai daya dukung fisik (PCC) menggunakan
rumus:
Keterangan:
A = Luas areal yang tersedia untuk pemenfaatan wisata
V/a = Areal yang dibutuhkan untukaktivitas tertentu (m2) atau Vadalah seorang
wisatawan dan a adalah area yang dibutuhkan oleh wisatawan
Rf = Faktor Rotasi (jumlah kunjungan harian yang diperkenankan ke satu lokasi yang
dihitung dengan persamaan = masa buka : waktu rata-rata per kunjungan)

Daya dukung riil (Real Carrying Capacity/RCC) merupakan jumlah


pengunjung yang diperbolehkan berkunjung ke suatu kawasan wisata,
dengan adaanya faktor koreksi (Correction Factor/CF) yang didasarkan dari
karakteristik kawasan yang telah diterapkan pada PCC. Rumus yang
digunakan untuk mengukur RCC adalah:

Keterangan: RCC = daya dukung riil; PCC = daya dukung fisik; dan Cf = faktor koreksi

Daya dukung riil menunjukkan jumlah wisatawan yang dapat ditampung


oleh suatu kawasan wisata dengan berbagai aktivitas wisatanya tanpa
merusak lingkungan atau ekosistem yang ada di kawasan wisata tersebut.
Faktor koreksi (Cf) yang digunakan oleh Sasmita, et.al., (2014) dalam
penelitian ini adalah keragaman vegetasi (Cf1), gangguan satwa liar (Cf2),
kelerengan lahan (Cf3), dan curah hujan (Cf4). Nilai faktor koreksi (Cf) akan
berbentuk persentase, sehingga untuk perhitungan RCC dalam bentuk
persentase juga sebagaimana dalam bentuk persamaan berikut:
RCC = PCC x (100-Cf1)/100 x (100-Cf2)/100 x (100-Cf3)/100 x (100-
Cf4)/100

Daya dukung efektif (Effective Carrying Capacity/ECC) merupakan jumlah


kunjungan maksimum dimana kawasan tetap lestari dengan
mempertimbangkan kapasitas manajemennya (Management Capacity/MC).
Daya dukung efektif ini akan menunjukkan jumlah wisatawan yang dapat
dilayani dengan optimal oleh sumber daya manusia yang dimiliki oleh
pengelola dan kegiatan wisata yang dilakukan oleh wisatawan tidak merusak
atau meminimalisasi kerusakan ekosistem yang ada di kawasan wisata. ECC
dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:
ECC = Daya dukung efektif
MC = Jumlah petugas pengelola wisata =( jumlah staf yang ada/jumlah staf yang dibutuhkan) x 100%
RCC = Daya dukung riil
Analisis daya dukung wisata dilakukan dengan membandingkan data yang
dihasilkan dalam analisis daya dukung sebelumnya (PCC, RCC, dan ECC).
Ketentuannya adalah :

hasil analisis ini dijadikan standar dalam menentukan daya dukung


lingkungan di kawasan wisata. Jika PCC > RCC >ECC maka daya dukung
di suatu kawasan wisata baik. Artinya, pengelola masih dapat melakukan
upaya untuk meningkatkan jumlah wisatawan sampai pada batas nilai
perhitungan hasil dari persamaan di atas. Namun, jika ECC lebih besar dari
RCC dan RCC lebih besar dari PCC, maka kawasan tersebut telah melebihi
batas maksimum kapasitas daya dukungnya.

c. Merencanakan Lansekap untuk Kegiatan Wisata


Menurut Putra, et.al., (2017) yang melakukan penelitian di Desa
Pertima, Karangasem Bali, menyatakan bahwa perencanaan lansekap sangat
diperlukan dalam pengembangan desa wisata karena penataan lansekap
merupakan salah satu faktor penting yang dapat menambah daya tarik suatu
kawasan. Adapun Permasalahan yang dihadapi Desa Pertima dalam
mewujudkan desa ini sebagai desa wisata dilihat dari kriteria desa wisata
yaitu: a) jarak tempuh jauh dari Kota Denpasar, b) Besaran desa antara lain:
lahan belum tertata dengan baik, kondisi iklim siang hari kurang ideal dan
kurangnya tanaman peneduh di tepi jalan kabupaten, c) Ketersediaan
infrastruktur antara lain: masalah persampahan, sistem pengolahan air
limbah yang tidak optimal, jalan desa rusak sepanjang 3.373 m, kondisi
eksisting konstruksi drainase buruk, tempat parkir kurang tertata dengan
baik, saluran irigasi tidak mengairi sawah secara maksimal dan terdapat
beberapa fasilitas pelayanan publik dengan kondisi kurang terawat. Konsep
dasar perencanaan lansekap Desa Pertima sebagai desa wisata adalah “Desa
Wisata Berkelanjutan”.
Konsep pengembangan dari konsep dasar tersebut terdiri dari rencana
tata ruang, rencana tata hijau, dan rencana tata sirkulasi. Rencana tata ruang
terdiri dari zona lingkungan, zona sosial budaya, dan zona ekonomi.
Rencana tata hijau terdiri dari fungsi ekologi, fungsi arsitektural serta fungsi
sosial budaya dan fungsi ekonomi. Rencana sirkulasi primer, sirkulasi
sekunder dan sirkulasi tersier. Dari hasil penelitian yang dilakukan, potensi
yang dimiliki Desa Pertima dalam mewujudkan desa wisata dilihat dari
kriteria desa wisata antara lain: a) atraksi berupa: pantai, sawah, perkebunan,
Bukit Apen, Usaba Kasa, Tari Rejang Desa Adat Asak, Usaba Kaulu,
Meami-amianan dan Usaba Sumbu, b) Jarak tempuh yaitu: dekat dengan
Kota Amlapura, Obyek Wisata Candidasa, Taman Soekasada Ujung dan
Taman Tirta Gangga, c) Besaran desa antara lain: jumlah rumah penduduk,
jumlah penduduk dan karakteristik desa, d) Sistem kepercayaan dan
kemasyarakatan yaitu: menganut Agama Hindu dengan filosofi Tri Hita
Karana, dan e) Ketersedia infrastruktur antara lain: fasilitas dan pelayanan
transportasi, fasilitas kesehatan, pura, air dan listrik yang cukup memadai
untuk menunjang kebutuhan masyarakat dan pengunjung.

d. Menerapkan Prinsip Ekowisata


Ekowisata merupakan konsep wisata yang sesuai dengan prinsip-
prinsip pariwisata berkelanjutan karena dalam pengembangan dan
pelaksanaan ekowisata memerhatikan kelestarian lingkungan dan melibatkan
masyarakat lokal agar masyarakat mendapatkan manfaat dari kegiatan wisata
serta meminimalkan dampak negatif terhadap kehidupan sosial budaya
masyarakat (Fillone, et.al., 2019). Manajemen ekowisata mementingkan
proses pendidikan terkait dengan upaya konservasi lingkungan. Manajemen
ekowisata yang memenuhi kaidah konservasi memerlukan penjelasan rinci
tentang sistem produksi ekowisata secara keseluruhan. Dengan menerapkan
prinsip konservasi dalam menjalankan aktivitas wisata, maka dampak
kerusakan lingkungan dapat diminimalisasi (Nugroho, 2011)

e. Melakukan Pengelolaan Sampah atau Limbah


Salah satu dampak yang ditimbulkan dari kegiatan wisata adalah
meningkatnya volume timbulan sampah. Wisatawan yang datang
meningkatkan volume timbulan sampah di area kawasan wisata. Apabila hal
ini tidak ditangani, dapat menimbulkan penurunan kualitas lingkungan
kawasan wisata. Oleh karena itu, perlu adanya manajemen pengelolaan
sampah dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata.
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara memisahkan sampah
organik dan anorganik dan menambah jumlah tenaga kebersihan di area
wisata serta melibatkan para pelaku wisata dalam penanganan sampah
(Suarinastuti, et.al., 2016). Pendekatan pengelolaan sampah dengan prinsip
3R (reduce reuse recycle) juga dapat diterapkan di kawasan wisata dengan
melengkapi sarana dan prasarana pengolahan sampah dan membangun TPS
3R (Aziz, et.al., 2020).

f. Menganalisis dampak aktivitas wisata terhadap Keanekaragaman


hayati (Biodiversity) dan Ekosistem Kawasan Wisata
Ekosistem dan habitat alami dapat mengalami kerusakan akibat
pembangunan infrastruktur wisata dan aktivitas perilaku wisatawan di
lokasi wisata. Misalnya, aktivitas rekreasi wisata di perairan seperti
berperahu, diving, dan snorkeling dapat merusak vegetasi air, terumbu
karang, dan biota perairan. Selain mengganggu ekosistem di perairan,
aktivitas rekreasi di daratan juga dapat mengganggu kehidupan satwa liar,
mulai dari tampilan visual, gerakan, hingga kebisingan yang dihasilkan
saat mendatangi lokasi wisata (Rabbany, et.al., 2013).
Dari hasil penelitian Pablo-Cea, et.al (2020) tentang dampak
ekowisata terhadap ekologi, khususnya bagi keberlangsungan biodiversitas
menggunakan indikator kumbang kotoran (dung beetle) menunjukkan
bahwa adanya ekowisata yang dikembangkan di Taman Nasional El
Salvador menyebabkan berkurangnya jumlah kumbang kotoran (dung
beetle) pada zona intensif pengembanghan dan pelaksanaan ekowisata di
Taman Nasional El Salvador. Sementara Jone (1972) dalam Fennel (2008)
menyebutkan bahwa kegiatan wisata yang berlokasi di dekat kawasan
konservasi memberikan ancaman serius bagi kawasan tersebut. Coppock
(1982) dalam Fennel (2008) menyebutkan bahwa kegiatan pariwisata
berdampak buruk pada konservasi alam di Inggris Raya yang ditandai
dengan hilangnya habitat untuk spesies tertentu, adanya kerusakan tanah
dan tumbuh-tumbuhan, kebakaran, polusi, dan gangguan flora fauna.
Wisatawan yang menggunakan jalur yang sama berulang kali
menginjak-injak vegetasi dan tanah yang pada akhirnya menyebabkan
kerusakan yang berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan
dampak lainnya. Kerusakan bisa semakin parah apabila wisatawan sering
menyimpang dari jalur yang seharusnya dilewati (Rabbany, et.al., 2013)
Dalam sebuah wisata hutan terdapat jenis tumbuhan dan hewan
endemik yang perlu dijaga dan dilestarikan guna keseimbangan ekosistem.
Ekosistem adalah interaksi dinamis antara tanaman, hewan, dan
mikroorganisme dan lingkungan yang bekerja sama sebagai sebuah unit
fungsional. Dengan banyaknya wisatawan yang datang di kawasan wisata,
bisa mengakibatkan pengaruh terhadap biodiversitas. Butarburat, et.al.,
(2013), menyatakan dari beberapa penelitian sebelumnya, didapatkan
informasi dan data mengenai keanekaragaman tumbuhan Sulawesi dan
informasi tentang aktivitas yang dilakukan wisatawan dalam menjaga
keanekaragaman jenis tumbuhan Sulawesi. Terdapat 57 jenis tumbuhan
endemik Sulawesi yang masih dipertahankan dan dijaga kelestariannya.
Terbanyak terdapat di Gorontalo sebesar 16 jenis dan diikuti Sulawesi Utara
13, Sulawesi Tenggara 10, Sulawesi Tengah dan selatan masing-masing 9
Jenis. Kegiatan yang dilakukan para wisatawan untuk menjaga
keanekaragaman jenis tumbuhan Sulawesi antara lain: menanam pohon,
penelitian dan pembelajaran jenis tumbuhan dan hewan endemik, dan
mengumpulkan sampah padat yang berhamburan di sekitaran lokasi hutan
wisata. Kegiatan ini mempunyai dampak positif bagi keberlanjutan
komunitas yang ada dalam ekosistem wisata hutan dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi masyarakat dan daerah.

g. Melakukan Manajemen Tempat Wisata dengan Mengatur Jumlah dan


Perilaku Pengunjung
Berdasarkan studi kasus yang dikemukakan oleh Fennel (2008) di
Kepulauan Galapagos, dimana di lokasi tersebut daya dukung telah
dipertimbangkan sebagai cara untuk mengontrol dampak melalui
pembatasan jumlah wisatawan setiap tahun. Meskipun terdapat pembatasan
jumlah wisatawan yang mengunjungi pulau tersebut, kunjungan wisatawan
setiap tahun meningkat melebihi batas. Dari hasil penelitian De Groot (1983)
dan Kenchington (1989) dalam Fennel (2008) menunjukan fakta bahwa di
Kepulauan Galapagos: (1) kapal patroli tidak selalu mengatur jumlah
pariwisata di pulau secara efektif; (2) batas resmi 90 wisatawan di satu pulau
pada satu waktu sering diabaikan; dan (3) jumlah wisatawan yang terus
meningkat. Kondisi ini mengancam kenyamanan dan kepuasan wisatawan
serta berpengaruh terhadap kemampuan lingkungan untuk menampung
jumlah wisatawan yang terlalu banyak.
Selain mengatur jumlah kunjungan wisatawan, upaya yang dapat
dilakukan untuk meminimalisasi dampak negatif kegiatan wisata adalah
mengatur perilaku wisatawan agar turut serta menjaga kelestarian dan
kebersihan lokasi wisata. Menurut Frost dan Mc Cool (1998) dalam Fennel
(2008), pengaturan perilaku wisatawan merupakan pendekatan umum untuk
mengatasi masalah manajemen di tempat rekreasi. Pengaturan perilaku
wisatawan dilakukan melalui peraturan-peraturan seperti larangan
membuang sampah sembarangan, larangan mengonsumsi alkohol, larangan
membuat kebisingan, dan sebagainya. Dalam studi Taman Nasional Gletser,
penjaga bertugas mengatur pengunjung ke objek wisata serta melindungi
elang sebagai spesies yang terancam punah. Pengaturan dan pembatasan
perilaku wisatawan yang berkunjung meliputi larangan masuk di lokasi
elang berkumpul, pembatasan pergerakan mobil dan tempat parkir, dan
melihat dari dekat hanya dapat dilakukan dari jembatan dan persembunyian,
tetapi hanya dengan didampingi oleh petugas (Fennel, 2008).

h. Melakukan Penilaian Dampak Lingkungan (Environmental Impact


Assesment/EIA) atas Kegiatan Pariwisata
Menurut Green dan Hunter (1992) dalam Fennel (2008), untuk lebih
memahami dan mengendalikan dampak dari kegiatan pariwisata, perlu
dilakukan penilaian dampak lingkungan. Penilaian dampak lingkungan
dilakukan mulai dari tahap perencanaan, tahap proses pengembangan, tahap
operasional, dan tahap pasca operasional kegiatan pariwisata. Penilaian ini
membantu pengelola wisata menggunakan sumber daya secara efisien guna
menunjang penerapan pariwisata berkelanjutan dan meminimalisasi dampak
negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat dari kegiatan wisata.

i. Menerapkan Konsep Produksi Bersih pada Pembangunan


Infrastruktur Wisata
Konsep produksi bersih dapat diterapkan dalam perencanaan dan
pengoperasian fasilitas pariwisata sehingga dapat meminimalisasi dampak
negatif terhadap lingkungan. Penerapan produksi bersih dapat diterapkan
dalam pembangunan infrastruktur pendukung wisata, misalnya
pembangunan hotel dilakukan dengan konsep green building, yaitu dengan
menggunakan bahan yang ramah lingkungan dan membuat sistem
pembuangan limbah yang memenuhi persyaratan teknis. (Rabbany, et.al.,
2013)

2. Aspek-Aspek Pariwisata Berkelanjutan


Pemanfaatan sumber daya pariwisata harus melibatkan dan memberikan
manfaat bagi masyarakat lokal. Konsep pembangunan berkelanjutan ini diadopsi
ke dalam konsep pariwisata berkelanjutan. (Damanik, et.al., 2006). Pariwisata
dianggap berkelanjutan apabila kegiatan pariwisata yang dilakukan tidak
berdampak negatif bagi keberlangsungan lingkungan (ekologi), meningkatkan
tingkat perekonomian masyarakat, dan terjaganya kebudayaan lokal serta tidak
menimbulkan konflik sosial (Suwena, et.al. 2010). Menurut Swarbrooke (1998),
pariwisata berkelanjutan harus terintegrasi pada tiga dimensi, yakni dimensi
ekologi (lingkungan), dimensi ekonomi, dan dimensi sosial. Menurut Damanik,
et.al. (2006), dimensi-dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya tercantum
pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1 Dimensi Ekonomi, Ekologi, dan Sosial Budaya dalam Pariwisata


Berkelanjutan
Dimensi Wisatawan Penyedia Jasa

Ekonomi • Peningkatan kepuasan wisata • Peningkatan dan pemerataan


• Peningkatan belanja wisata di pendapatan semua pelaku
daerah destinasi wisata
• Penciptaan kesempatan kerja
terutama bagi masyarakat
lokal
• Peningkatan kesempatan
berusaha/diversifikasi
pekerjaan
Ekologi • Penggunaan produk dan • Penentuan dan konsistensi
layanan wisata berbasis pada daya dukung lingkungan
lingkungan (green product) • Pengelolaan limbah dan
• Kesediaan membayar lebih pengurangan penggunaan
mahal untuk produk dan bahan baku hemat energi
layanan wisata ramah • Prioritas pembangunan
lingkungan produk dan layanan jasa
berbasis lingkungan
• Peningkatan kesadaran
lingkungan dengan kebutuhan
konservasi

Sosial • Kepedulian sosial yang • Pelibatan sebanyak mungkin


meningkat stakeholder
• Peningkatan konsumsi produk • Peningkatan kemampuan
lokal masyarakat lokal
• Pemberdayaan lembaga lokal
dalam pengambilan keputusan
pengembangan pariwisata
• Menguatnya posisi
masyarakat lokal terhadap
masyarakat luar
• Terjaminnya hak-hak dalam
pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya pariwisata
• Berjalannya aturan main yang
adil dalam pengusahaan jasa
wisata

Budaya • Penerimaan kontak dan • Intensifikasi komunikasi


perbedaan budaya lintas budaya
• Apresiasi budaya masyarakat • Penonjolan ciri atau produk
lokal budaya lokal dalam
penyediaan atraksi,
aksesibilitas, dan amenitas
• Perlindungan warisan budaya,
kebiasaan-kebiasaan dan
kearifan lokal

Sumber: Damanik, et.al. (2006)

Aspek-aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan


kegiatan pariwisata yang berkelanjutan, meliputi aspek lingkungan (ekologi),
aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya.
a. Aspek lingkungan (ekologi), artinya bahwa proses pengembangan dan
pembangunan kepariwisataan harus memerhatikan upaya menjaga
kelestarian lingkungan alam dan tidak merusak keseimbangan ekologi.
b. Aspek ekonomi, artinya bahwa pembangunan kepariwisataan harus
memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat lokal.
c. Aspek sosial budaya, artinya bahwa pembangunan kepariwisataan harus
memerhatikan nilai sosial budaya dan kearifan masyarakat lokal dan tidak
berdampak negatif terhadap nilai sosial budaya masyarakat setempat.

C. KESIMPULAN
Dalam pengembangan kegiatan pariwisata hendaknya tidak berorientasi pada
kepentingan ekonomi semata, melainkan juga memerhatikan kelestarian lingkungan
agar kegiatan pariwisata terjamin keberlanjutannya untuk generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan:
(1) menganalisis kesesuaian lahan; (2) menghitung daya dukung lingkungan; (3)
merencanakan lansekap untuk kegiatan wisata; (4) menerapkan prinsip ekowisata;
(5) Melakukan pengelolaan sampah atau limbah; (6) menganalisis dampak wisata
terhadap biodiversity; (7) manajemen jumlah wisatawan; (8) melakukan penilaian
dampak lingkungan akibat aktivitas wisata; (9) menerapkan konsep produksi bersih
pada pengembangan infrastruktur wisata.
Perencanaan, pengelolaan, dan pengembangan, sektor pariwisata harus
memerhatikan aspek-aspek keberlanjutan dalam rangka mewujudkan pariwisata
yang berkelanjutan (sustainable tourism). Adapun aspek-aspek keberlanjutan
meliputi aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya. Kegiatan wisata
yang dilakukan di area wisata harus memerhatikan kelestarian lingkungan (aspek
ekologi), memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat lokal (aspek
ekonomi), dan melibatkan masyarakat dalam pengembangannya sehingga tidak
terjadi gesekan dengan kearifan lokal dan nilai nilai sosial budaya masyarakat
setempat (aspek sosial budaya).
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, R., Dewilda, Y., Khair, H., dan Faklin, M. 2020. “Pengembangan Sistem
Pengelolaan Sampah Kawasan Wisata Pantai Kota Pariaman dengan
Pendekatan Reduce-Reuse-Recycle”. Dalam Serambi Engineering, vol.5, no.3,
hal.1188-1194.

Azzat, N.A., 2018. Analisis Perencanaan Pengembangan Kawasan Karimunjawa yang


Berkelanjutan (Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara). Tesis. Pasca
Sarjana. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta

Butarbutar, R.R., dan Soemarno, 2013. “Pengaruh Aktivitas Wisatawan terhadap


Keanekaragaman Tumbuhan di Sulawesi”. Dalam Journal of Indonesian
Tourism and Development Studies, vol.1, no.2, hal.87-96.

Damanik, J., dan Weber, H., 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi.
Yogyakarta: Penerbit ANDI

Dipayana, A., Sunarta, I.N., 2015. “Dampak Pariwisata terhadap Alih Fungsi Lahan di
Desa Tibubeneng, Kecamatan Kutai Utara, Kabupaten Badung”. Dalam Jurnal
Destinasi Pariwisata, vol.3, no.2, hal.58-66.

Fandeli, C., dan Muhammad, 2019. Analisis Daya Dukung Lingkungan dalam Perspektif
Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Fennel, David, 2018. “Ecotourism 3rd Edition. USA: Routledge

Fillone, M.O.C., and Villanueva, C.,2019. “A Literature Review of Ecotourism Carrying


Capacity Measurements”. Travel and Tourism Research Association diakses
melalui www.scholarworks.umas.edu/ttra/2019

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi


Kreatif.2020. Rencana Strategis Kemenparekraf/Baparekraf 2020-2024. Jakarta

Muharto, 2020. Pariwisata Berkelanjutan: Kombinasi Strategi dan Paradigma


Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit Deepublish

Najdeska, K.A. and Rakicevik, G. 2012. “Planning of Sustainable Tourism


Development”. Procedia-Social and Behavioral Sciences, vol.44, page
210-220.

Nugroho, Iwan, 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Rabbany, M.G., Afrin, S., Rahman, A., Islam, F., and Hoque, F. 2013.
“Environmental Effects of Tourism”. American Journal of Environment
Energy and Power Research, vol.1, no.7, page 117-130.
Revolina, E., Hidayat, A., Basuni, S., dan Widiatmaka, 2020. “Kesesuaian Lahan dan
Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Wisata Alam Pantai Panjang di Kota
Bengkulu”. Dalam Jurnal Ilmu Lingkungan, vol.18, no.2, hal.261-271.

Suarinastuti, I.A, dan Mahagangga, I.,G.,A.,O. 2016. “Pengelolaan Sampah di Daya Tarik
Wisata Wanara Wana/Monkey Forest, Desa Padang Tegal, Ubud”. Dalam
Jurnal Destinasi Pariwisata, vol.4, no.2, hal.25-29.

Sunlu, Ugur. 2003. “Environmental Impact of Tourism”. CIHEAM, vol.17, no.57, page
263-270

Sutiarso, Moch, Agus, 2017. “Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan Melalui


Ekowisata”. Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD)
Pengelolaan Teluk Bone Bidang Pariwisata, Kolaka-Sulawesi Tenggara, 7
Maret 2017.

Suwena, I Ketut, dan Widyatmaja, I.G.N., 2010. Pengetahun Dasar Ilmu Pariwisata.
Bali: Udayana University Press

Swarbrooke, J., 1998. Sustainable Tourism Management. London: CABI Publishing

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata

Wunani, D., Nursinar, S., dan Kasim, F., 2013. “Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung
Kawasan Wisata Pantai Botutonuo, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone
Bolango”. Dalam Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, vol.1, No.2, hal. 89-
94.

Yustina, E., Avenzora, R., dan Sunarminto, T., 2017. “Analisis Persepsi terhadap Ekologi
dalam Pengembangn Ekowisata di Kabupaten Sleman”. Dalam Jurnal Media
Konservasi, vol.22, no.3, hal.262-268.

Zambrano, A.M.A., Broadbent E.N., and Durham, W.H. 2010. “Social and
Environmental Effects of Ecotourism in the Osa Peninsula of Costarica:
The Lapa Rio Case”. Journal of Ecotourism, vol.9, no.1, page 62-83.

Anda mungkin juga menyukai