Anda di halaman 1dari 6

REVIEW JURNAL

Judul : THE DEVELOPMENT OF ECOTOURISM WITH COMMUNITY-BASED TOURISM (CBT) IN CLUNGUP


MANGROVE CONSERVATION (CMC) OF TIGA WARNA BEACH FOR SUSTAINABLE CONSERVATION

Volume : Folia Geographica, Volume 63, No. 1, 123–142, (2021)

Tahun : 2021

Penulis : SUMARMI, Dicky ARINTA, Agung SUPRIANTO, Muhammad ALIMAN

1. Pendahuluan

Salah satu aspek pariwisata yang dapat mewujudkan pengelolaan ekosistem berkelanjutan
adalah melalui pengembangan ekowisata (Fandeli, 2002). Pengembangan dari ekowisata pesisir
merupakan jasa lingkungan yang memberikan manfaat bagi seseorang kepuasan karena mengandung
nilai estetika tertentu (Ali, 2004). Sebuah tempat bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata yang
dibutuhkan untuk memenuhi 4 (empat) komponen wisata yang disebut 4A, yaitu Atraksi, Aksesibilitas,
Amenitas dan Ansilari (Sugiama, 2014; Odum, 2018)

Pengembangan potensi wisata perlu mempertimbangkan ekologi di masing-masing program


pembangunan dan konservasi terpadu (integrating Conservation and program pengembangan)
diklasifikasikan sebagai ekowisata (Borlido dan Coromina, 2018). Termasuk mengambil daya dukung
lingkungan (carrying capacity). Kegiatan ekowisata dapat meminimalisir dampak negatif terhadap
kerusakan lingkungan karena kegiatan pariwisata massal atau konvensional (McIntyre, Hetherington dan
Inskeep, 1993; Andronicus, Yulianda dan Fahrudin, 2016).

Manajemen yang berpeluang menerapkan efektivitas adalah manajemen berbasis masyarakat.


Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lebih baik dikenal sebagai Pengelolaan Berbasis Masyarakat
(PBM) atau Community Based Management (CBM). Community-Based Resource Management (CBRM)
adalah strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pengambilan
keputusan berkelanjutan sumber daya dan lingkungan dalam organisasi dalam masyarakat di daerah
(Dahuri, 2003).

Pengembangan pariwisata harus berdampak langsung pada masyarakat. Ikatan masyarakat di


sekitar objek wisata memiliki peran penting dalam mendukung keberlanjutan pariwisata. Dampaknya
antara lain meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar wisata situs (Sumarmi et al., 2020; Matlovičová
et al., 2016). Pengembangan pariwisata adalah difokuskan pada tiga kelompok, yaitu: (1) strategi
manfaat ekonomi bagi masyarakat, (2) strategi peningkatan keuntungan bagi masyarakat, (3) strategi
kebijakan dalam manajemen pariwisata (Matlovičová et al., 2016; Untari dan Suharto, 2020).

Pengembangan kawasan wisata juga dapat dirumuskan berdasarkan pariwisata konsep dan
pemasaran teritorial. Paradigma menawarkan kompetensi untuk pariwisata aktor untuk
mengembangkan kemampuan kognitif seperti pengetahuan, keterampilan dan kompetensi terkait
(Matlovič dan Matlovičová, 2016). Kemampuan kognitif geografis adalah diperlukan untuk menemukan
hubungan antara kondisi fisik manusia dan alam dalam konteks spasial pengembangan pariwisata
(Oťaheľ et al., 2019).
Pantai Tiga Warna memiliki pemandangan alam karena berada di kawasan konservasi hutan
lindung. Memiliki keunikan air laut yang memiliki tiga gradasi (gradasi coklat kemerahan, hijau tua dan
biru tua) untuk menarik pengunjung. Warna muncul karena untuk alasan tertentu, seperti warna coklat
kemerahan yang muncul karena kemampuan sinar matahari menembus air pantai ini hingga kedalaman
20 meter, berwarna hijau diperoleh dari pendangkalan yang bercampur dengan plankton dalam jumlah
banyak, sedangkan warnanya biru menunjukkan kedalaman air laut. Perpaduannya terlihat cantik
dengan warna cokelat paduan pasir pantai.

Banyak wisatawan mengunjungi pantai Tiga Warna, karena pasir putih halus, terumbu karang
bawah laut, warna air laut yang berbeda, dan dikelilingi oleh hutan lindung sebagai kawasan konservasi.
Wisatawan dapat menikmati pemandangan alam daratan dan permukaan laut dan snorkeling untuk
menikmati pemandangan laut. Pantai Tiga Warna memiliki ekosistem terumbu karang dan termasuk
dalam kawasan konservasi tumbuhan mangrove dan MPA (Kawasan Perlindungan Laut). Oleh karena itu,
jumlah wisatawan yang masuk dibatasi jumlahnya dan waktu kunjungan dalam 2 jam. Hal ini
dimaksudkan untuk melestarikan lingkungan alam di Area Konservasi. Wisatawan yang berkunjung ke
kawasan wisata harus didampingi oleh penduduk setempat pemandu wisata untuk memandu dan
sekaligus mengawasi.

Pengawasan tersebut sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kegiatan
ekowisata. Kegiatan ekowisata bahari dapat menimbulkan berbagai ancaman terhadap lingkungan atau
ekosistem yang ada. Dampak negatif terjadi karena miskin perencanaan dan pengelolaan, misalnya
perencanaan pengembangan pariwisata kegiatan yang mengabaikan daya dukung (daya dukung
lingkungan) dan kurangnya kesadaran, serta pengetahuan masyarakat dan wisatawan tentang kelestarian
lingkungan (Dahuri, 2003).

Momen pasang air laut adalah waktu terbaik untuk menikmati pantai sepenuhnya melihat.
Gradasi warna pada pantai akan terlihat tidak hanya biru tua dan terang biru tapi juga hijau.
Kelestariannya sangat dijaga sebagai konservasi, juga karena kekayaan ekosistem. Selain berenang,
snorkeling, dan aktivitas menyelam, pengunjung dapat menyusuri mangrove dengan perahu, kano,
berkunjung rumah terapung atau melakukan kegiatan konservasi seperti penanaman bibit mangrove,
pelepasan penyu dan pemasangan terumbu karang buatan untuk ikan. Karena itu, pengelola membatasi
jumlah pengunjung, dan selalu menjaga kebersihan pantai. Setiap pengunjung diwajibkan menggunakan
pelampung dan peralatan snorkeling, untuk menjaga keamanan dan melindungi terumbu karang agar
tidak diinjak-injak oleh wisatawan.

Berjarak 72 km dari pusat kota Malang, pantai Tiga Warna dapat dijangkau dalam kurang lebih 2
jam di jalan. Pengunjung bisa mulai dari front office CMC, lalu pilih 2 jalur menuju pantai, melalui sektor
timur yang merupakan akses tercepat karena menggunakan perahu atau sektor barat dimana
pengunjung harus berjalan kaki melewatinya pos utama kemudian menyusuri hutan mangrove dan
melewati pantai Clungup dan Gatra pantai.

2. Tujuan

Berdasarkan latar belakang masalah yang ditemukan selama observasi, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui 1) potensi wisata di Pantai Tiga Warna, 2) ekowisata CMC pengelolaan menuju
konservasi dan pendidikan, 3) peran aktor dalam pariwisata berbasis masyarakat untuk mewujudkan
konservasi berkelanjutan di Pantai Tiga Warna Faktor kunci dalam mengelola pariwisata adalah
community-based tourism (CBT) (Su marmi et al., 2020). Komponen utama meliputi masyarakat,
pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, penggalang dana, pengusaha dan wisatawan
(Matlovičová et al., 2016; Kurniawati et al., 2020). Selain itu, pariwisata dapat membawa dampak positif
didukung oleh investasi yang besar. Investasi tersebut dapat mendukung pembangunan fasilitas
pariwisata. Komunikasi yang baik antar pihak pengelola CBT sangat diperlukan untuk memudahkan
pengambilan keputusan dan strategi pengembangan (Untari dan Suharto, 2020).

Beberapa pendekatan yang dilakukan untuk melakukan perencanaan pariwisata, antara lain (1)
inkremental berkelanjutan, dan pendekatan fleksibel, (2) pendekatan sistem, (3) pendekatan
menyeluruh (4) pendekatan terpadu, (5) lingkungan dan berkelanjutan pendekatan pembangunan, (6)
pendekatan masyarakat (7) pendekatan yang dapat diterapkan, (8) penerapan pendekatan perencanaan
sistematis (McIntyre, Hetherington and Inskeep, 1993). Pengembangan ekowisata dilakukan dengan
membuat formulasi perencanaan dan pengelolaan yang baik. Kegiatan ekowisata bahari memiliki potensi
nilai untuk mendukung konservasi satwa liar. Juga, dapat mendorong penelitian untuk mengurangi
dampak negatif dari kegiatan ekowisata bahari. Oleh karena itu, untuk menjamin kelestarian sumber
daya pesisir dan laut serta konservasi satwa liar, perlu dikembangkan konsep pengelolaan ekowisata
bahari yang ideal dan terpadu. (Asmit dan Syahza, 2020; Untari dan Suharto, 2020).

Tiga prinsip utama dalam pembangunan berkelanjutan adalah (1) keberlanjutan ekologis untuk
memastikan pembangunan mengikuti prinsip ekologis, biologis, dan keanekaragaman hayati. sumber
daya ekologi yang ada, (2) keberlanjutan sosial dan budaya untuk memastikan bahwa perkembangan
tersebut membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar budaya dan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat, (3) keberlanjutan ekonomi untuk memastikannya efisien secara ekonomi dan sumber daya
yang digunakan dapat bertahan untuk masa depan kebutuhan (McIntyre, Hetherington dan Inskeep,
1993; Organisasi, 1998; Borlido dan Koromina, 2018).

Prinsip ekowisata adalah 1) meminimalkan dampak negatif, 2) membangun kesadaran dan


penghargaan terhadap lingkungan dan budaya, 3) memberikan pengalaman positif kepada pengunjung
dan tuan rumah, 4) memberikan keuntungan finansial langsung untuk kebutuhan konservasi, dan
mendapatkan kepekaan politik (The International Ecotourism Society, 2020). Ada lima prinsip inti
ekowisata yaitu (1) berbasis alam fokus pada keunikan biologis, fisik atau budaya, (2) ekologi
berkelanjutan, (3) pendidikan lingkungan, (4) manfaat lokal, dan (5) memberikan kepuasan kepada
pengunjung (Dowling, 1998; Dowling, 2003).

Ekowisata berjalan baik dengan kolaborasi antara pemerintah, swasta sektor dan masyarakat
setempat. Manajemen sumber daya memiliki beberapa jenis, yaitu (1) dikelola oleh masyarakat yang
memiliki ciri-ciri, seperti a) memiliki adat hak/hukum; b) pemimpin informal, seperti Sasi, Awig, Panglima
Laot, Nyale, (2) dikelola oleh pemerintah yang memiliki karakteristik, seperti a) dimiliki oleh negara
sumber daya, b) memiliki pendekatan top-down, (3) kolaborasi, yang memiliki karakteristik a) sumber
daya adalah milik umum, b) pemerintah sebagai pengatur (pengelola), c) masyarakat sebagai pengguna.
Secara umum, peran pemangku kepentingan yang dapat meningkatkan potensi ekowisata bahari di
Indonesia dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Pengembangan wisata bahari memiliki komponen utama termasuk budaya 60%, alam 35%, dan
buatan manusia 5%. Dari komponen alam, ada tiga sub komponen, yaitu wisata ekologis, wisata bahari,
dan wisata petualangan. Ekowisata bahari terdiri dari tiga zona wisata, yaitu zona pesisir, zona laut, dan
wisata bawah air (Yulius et al., 2018), seperti yang ditunjukkan pada tabel 2 berikut
Ekowisata dapat dikelompokkan menjadi wisata pantai dan wisata bahari (Yulianda, 2007). Wisata
pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya pesisir dan budaya masyarakat
pesisir, seperti rekreasi, olah raga, dan pemandangan serta iklim. Sebagai perbandingan, wisata bahari
merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya bawah air dan dinamika air laut (Yulianda,
2007).

3. Metode

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan analisis kuantitatif dan kualitatif teknik. Data
primer diperoleh melalui wawancara dengan pengunjung, wisata pemandu, penjaga pantai, pelaku
konservasi, pengamatan lokasi dan pengunjung, dan Focus Group Discussion (FGD) dengan pengurus
Yayasan Bhakti Alam di Sendang Biru yang mengelola pariwisata, desa, dan pemerintahan kecamatan.
Data sekunder diperoleh dari kantor pemerintah desa dan kecamatan.

Data dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT terkait pengelolaan pariwisata dankonservasi
mangrove, terumbu karang, dan kawasan lamun. Hasilnya digunakansebagai pedoman untuk membuat
kebijakan. Kebijakan tersebut kemudian digunakan untuk mewujudkan keberlanjutanpariwisata di
Kabupaten Malang. Berdasarkan penelitian dan rencana pengembangan pesisir, tiga kelompok strategi
dapat ditarik. Konservasi mangrove, terumbu karang,dan daerah lamun membantu menghasilkan ikan
secara berkelanjutan dan memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Strategi tersebut
(1) ditujukan untuk melestarikan mangrove, karang terumbu karang, dan kawasan lamun untuk
meningkatkan hasil perikanan yang berkelanjutan, (2) memastikan kebersihan pantai di CMC Tiga Warna
dengan pengecekan barang bawaan pengunjung agar kawasan pantai dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan snorkeling, (3) memastikan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan wisata untuk
meningkatkan kesejahteraan. Salah satu kebijakannya adalah membatasi kunjungan menjadi 2 jam dan
tutup area setiap Kamis. Analisis SWOT dilakukan sebelum menentukan kebijakan yang akan diusulkan,
dengan rumus sebagai berikut:

SO = Menggunakan kekuatan maksimal untuk mencari peluang.

ST = Menggunakan kekuatan maksimal untuk mengantisipasi ancaman dan menciptakan peluang.

WO = Meminimalkan kelemahan untuk mengambil peluang.

WT = Meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman

(Sumber: Damanik dan Weber, 2006)

4. Pembahasan

Pantai yang termasuk dalam Clungup Mangrove Conservation (CMC) adalah Pantai Tiga Warna
pantai, pantai Gatra dan Pantai Clungup. Kawasan Konservasi Mangrove Clungup dikelola oleh
Pengawas Komunitas Gatra Olah Alam Lestari (GOAL). Kelompok Sadar Wisata (POKMASWAS) di
bawah naungan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur Dinas Perikanan. Obyek wisata
CMC terletak di desa Tambakrejo, Malang kabupaten, Indonesia, ± 72 km dari pusat kota ke arah
selatan. Lokasi dari pantai ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini
Analisis sumber daya di CMC Pantai Tiga Warna menggunakan analisis SWOT. Hasil bobot rating
adalah Strength = 4.75, Weakness = 4.25, { X= Strength-Weakness (4.75 – 4.25) = 0.50 }, Opportunity
= 4.50, Threat = 4.05, { Y=Opportunities-Threats (4.50 – 4.05) = 0.45 }.

untuk mengembangkan potensi yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini
adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy). Berdasarkan
kondisi tersebut, pihak CMC pantai Tiga Warna harus melakukan pengembangan strategi dengan
strategi konservasi yang baik untuk CMC (pantai Tiga Warna, Pantai Gatra, dan pantai Clungup)

Pengembangan Ekowisata di CMC Pantai Tiga Warna

untuk Konservasi dan Pendidikan

Selain menyuguhkan pemandangan alam yang indah, pantai Tiga Warna juga mempromosikan
kegiatan dan membuat peraturan yang konservatif dan edukatif bagi wisatawan. Peraturan tersebut
mengedukasi wisatawan untuk menjaga kebersihan dan pelestarian alam merupakan hal yang krusial
dan wajib dilakukan. Pantai ini termasuk dalam kawasan rehabilitasi dan konservasi Mangrove,
Terumbu Karang dan Hutan Lindung Desa Sitiarjo Kecamatan Sumber Manjing Wetan Kabupaten
Malang. Pantai ini memiliki 15 karakteristik, yaitu (1) memiliki 3 warna air laut, (2) terumbu karang
dan biota laut terjaga, (3) snorkeling yang indah daerah, (4) harus menggunakan pelampung saat
snorkeling, (5) memiliki pasir putih bersih (6) hanya bisa dikunjungi 100 orang per hari, (7) harus
memesan sebelum berkunjung, (8) setiap pengunjung harus didampingi pemandu, (9) disiplin ketat
berkaitan dengan pemborosan, (10) waktu kunjungan hanya 2 jam, (11) hanya boleh berjalan kaki
dari lokasi parkir, (12) tidak boleh berkemah, (13) dikelilingi hutan, 14) tidak ada angkutan umum,
(15) berada di dalam satu wilayah dengan pantai lain (Pantai Tiga Warna, Pantai Gatra, Pantai
Clungup)

Peran Masyarakat dalam Pariwisata Berbasis Masyarakat

Membuat Kegiatan Konservasi Berkelanjutan

Partisipasi masyarakat dalam sistem pariwisata yang ada berkaitan erat dengan 2 organisasi yang
memiliki peran signifikan di daerah tujuan wisata Malang Selatan, yaitu Perhutani (Badan Usaha
Milik Negara yang mengelola hutan di Indonesia) Malang dan Dinas Pariwisata Kabupaten Malang.
Berdasarkan wawancara dengan Kabid Promosi Jasa Yasa diketahui ada pengurus kesepakatan dan
kemitraan pariwisata antara masyarakat dan organisasi. Kemitraan tersebut terbagi menjadi 2,
antara masyarakat bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Malang melalui POKDARWIS
(Kelompok Sadar Wisata) dan masyarakat bermitra dengan Perhutani Malang melalui LMDH
(Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Pengelolaan destinasi wisata mayoritas dilakukan oleh LMDH di
bawah Perhutani, sedangkan POKDARWIS difungsikan pada saat ada event-event yang diadakan oleh
Dinas Pariwisata Kabupaten Malang. Beberapa di antaranya adalah kelompok Clungup Mangroove
Conservation (CMC). Unit Konservasi Hutan Daerah Pesisir bertugas melakukan penanaman bakau,
perawatan tumbuhan dan perlindungan mangrove, transplantasi karang, pemeliharaan terumbu
karang, pembuatan keramba jaring apung, pembangunan dan pengelolaan rumah ikan, pengabdian
masyarakat di kawasan konservasi CMC setiap hari Kamis, sosialisasi ke perambah hutan tentang
pentingnya konservasi pesisir.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis CMC Tiga Warna memiliki potensi yang tinggi dan peluang yang
prospektif bagi pengembangan potensi yang ada. Pengelola Pantai Tiga Warna menerapkan sistem
reservasi, dan ada larangan pengunjung. Kuota untuk masuk ke lokasi wisata tidak boleh melebihi
100 orang per gelombang, dan kuota maksimum per grup adalah 10 orang.

Wisatawan pantai diharuskan melakukan reservasi terlebih dahulu menggunakan aplikasi media
sosial atau melalui telepon sebelum mengunjungi pantai ini. Saat berkunjung harus ditemani tur
guide dan melakukan checklist sampah. Kegiatan dilakukan oleh Unit Konservasi Hutan Pesisir
meliputi : Penanaman, Perawatan Mangrove, Transplantasi terumbu karang, Perawatan terumbu
karang, Pembuatan Keramba Jaring Apung, Pembuatan dan pengelolaan Rumah Ikan, Pengabdian
Kepada Masyarakat di Kawasan konservasi CMC pada setiap hari Kamis melakukan sosialisasi kepada
para perambah hutan. Semua kegiatan dilakukan untuk mewujudkan wisata yang keberlanjutan
(Ekowisata) CMC Tiga Warna. Manajemen CMC Tiga Warna dapat digunakan sebagai model untuk
mengelola ekowisata pesisir yang mempromosikan keberlanjutan.

Anda mungkin juga menyukai