Richelleen Widjaja
3
School of Psychology Universitas Ciputra;rwidjaja02@student.ciputra.ac.id
Josephine Valentina
4
School of Psychology Universitas Ciputra;jvalentina02@student.ciputra.ac.id
Livia Yuliawati
6
School of Psychology Universitas Ciputra;livia@ciputra.ac.id
Tabel 5. Post-Test -
TOTAL
0.580 0.048
[Paired Samples T-Test] _SAT
Eksperimen akan dilakukan selama kurang lebih 45 menit. Sebelum sesi eksperimen,
setiap partisipan akan diberikan pre-test terlebih dahulu. Tester akan mengarahkan partisipan
ke ruangan kelas yang kondisinya tenang dan sejuk sebagai upaya mengeliminasi variabel
yang dapat memengaruhi penelitian.
Tester akan memperkenalkan diri dan mengucapkan terima kasih pada partisipan.
Tester menjelaskan informasi dasar mengenai eksperimen yaitu merupakan bagian dari mata
kuliah Psikologi Eksperimen, akan berdurasi kurang lebih 45 menit, dan topik eksperimen
adalah tentang hubungan romantis. Setelah itu, tester akan memberikan arahan tentang
eksperimen. Tester menjelaskan bahwa setiap partisipan akan diberikan kertas berisi cerita
roleplay. Cerita akan mengangkat topik expected satisfaction sesuai dengan item-item alat
ukur dalam penelitian Baker, dkk. (2020). Partisipan diharapkan membaca cerita sambil
menempatkan diri sebagai tokoh utama cerita tersebut. Partisipan diberitahu bahwa durasi
membaca cerita dilakukan selama kurang lebih 10 menit sehingga dapat benar-benar
memahami cerita secara mendalam. Setelah sesi membaca cerita selesai, tester akan
membagikan tautan Google Form berisi post-test. Sesi dengan pembagian konsumsi. Tester
menutup sesi dengan mengucapkan terima kasih dan menekankan kerahasiaan data
partisipan.
Lampiran 2.
Instruksi Eksperimen
Tik… tik… tik…. tetesan air hujan membasahi tanah di taman belakang rumahku, aku
berpikir sudah berapa lama tidak mengobrol dengannya. Semakin hari, semakin menjauh
jarakku dengan dia. Bak hujan yang membasahi tanah, tak aku sangka ternyata pipiku juga
sudah dibasahi oleh air mata. Aku berpikir dan berharap semua akan kembali seperti dulu.
Mungkin ini hanya fase, fase yang berat dan hampa.
Aku adalah seorang mahasiswa yang dapat dibilang cukup sibuk. Aku harus membagi
waktu antara kuliah dan pekerjaan. Sudah cukup rumit membagi waktu antara kedua hal itu,
ditambah aku memiliki seorang pacar. Tenang saja, aku mahir membagi waktuku untuknya,
tetapi kebalikannya aku merasa dia tidak bisa membagi waktunya untukku. Hubungan kami
sudah berjalan selama dua tahun. Selama itu hubungan kami baik-baik saja, karena saat itu
aku dan dia tidak terlalu sibuk. Namun berbeda dengan tahun ini, tahun yang cukup berat
buatku.
Berbeda denganku, dia bekerja ikut dengan orang lain sedangkan aku bekerja dengan
keluargaku sendiri, family business. Terkadang waktu kami bertabrakan. Dia menjadi bagian
penting dari salah satu perusahaan start-up yang membuatnya harus terus-menerus
berdedikasi pada perusahaan sehingga mengorbankan waktunya. Bahkan aku merasa
lama-lama ia mulai mengorbankan hubungan ini. Aku percaya dia tidak main di belakangku,
tapi kita tidak tahu semua kejadian di balik layar yang kita tidak thau bukan?
Aku mencoba untuk menyelesaikan tugasku sembari menyeduh kopi hangat. Isi
pikiranku berisik dengan perubahan sifatnya akhir-akhir ini. Apa ini salahku? Sesibuk itukah
kita sampai tidak ada quality time? Aku tidak bisa fokus mengerjakan apa yang sedang aku
kerjakan di laptop yang ada di depanku ini. Sesekali rasa sakit hati muncul ketika teringat
kejadian dua hari lalu.
"Kamu selalu cuekkin aku kalau kita ketemu, untuk ketemu aja susah tapi pas ketemu
kamu fokus banget sama ponselmu?" ucapku ke dia.
"Ya orang kerjaan, lagi pula aku gak selingkuh! Sudah bagus aku datang ke rumahmu.
Yang penting kita bersama sekarang kan?!" bentaknya.
Aku terkejut dan sakit hati mendengar perkataannya, yang aku inginkan adalah
kebersamaan yang hangat, saling bertukar cerita dan menghabiskan waktu berdua dengan
kegiatan yang menyenangkan untuk kami berdua. Dia seperti ada raganya namun bukan
jiwanya. Terkadang ketika kita bertemu, aku ingin bercerita dengannya. Namun dia sangat
sering ketemu aku terlihat karena terpaksa. Mukanya tidak senang, hanya fokus dengan
ponselnya Jadi aku berpikir dia sedang banyak masalah di kantornya. Aku jadi ragu buat
cerita soal masalahku karena takut semakin membebaninya. Memang ini sulit buatku, tapi
aku percaya ke depannya dia lebih bisa mendengarkan aku.
Aku satu kali, dua kali, tiga kali, bahkan berkali-kali tidak bisa berhenti mengecek
notifikasi yang muncul di layar ponselku. Tiba-tiba Instagramku muncul dengan berita
tentang pasangan yang terkena isu verbal abuse namun tetap mempertahankan hubungan
mereka. Kupikirkan niatku untuk menyudahi hubungan ini, tapi tidak jadi karena harga diriku
tergores. Mereka yang verbal abuse aja masih bertahan, apalagi hubunganku yang hanya
masalah kesibukan dan aku merasa kesepian, masa harus disudahi. Aku hanya berharap dia
akan berubah suatu saat. Aku percaya, dia akan sadar bahwa dia berubah.
Aku berharap perusahaan bisa segera settle dan dia tidak perlu lembur lagi, biar dia
punya lebih banyak waktu luang untuk menghabiskan waktu denganku seperti dulu. Meski
memang sekarang aku merasa kesepian, tapi aku yakin mungkin satu dua tahun lagi ketika
perusahaannya sudah lebih berkembang dia akan lebih longgar. Jadi aku berharap kamu bisa
meluangkan waktu untukku sehingga aku bisa merasa lebih percaya dan nyaman dalam
sebuah hubungan yang lebih stabil.
Saat menjelang tidur, terkadang aku membayangkan memelukmu. Aku merindukan
pelukan hangatnya. Saking sibuknya dia, saat kita jalan dia suka lupa menggandeng
tanganku. Aku seperti jalan sendiri. Sedih, tapi aku berekspektasi sebagai mekanisme
pertahanan diri. Aku berekspektasi dia akan merangkul ketika kami jalan bersama di
pertemuan selanjutnya. Aku meyakinkan diriku bahwa mungkin saat itu dia sedang capek.
Tapi aku juga capek? Huft. Ah, sudahlah.
Selagi dia tidak main di belakangku, aku akan mencoba untuk mempertahankan
hubungan ini. Sesekali dia masih memperbolehkanku untuk mengintip isi chat-nya saat kerja
dan aku berharap ini akan terus berlaku hingga masa depan. Agar aku tidak overthinking,
terserah saja kalau aku dianggap posesif. Seperti waktu PDKT, dia selalu menenangkanku
ketika aku overthinking. Ya sekarang sudah jarang sih, tapi mungkin karena kesibukannya.
Semoga saja dia bisa menenangkanku seperti biasanya. Aku percaya ke depannya ia bisa
turut bahagia ketika aku bahagia, turut bersedih ketika aku bersedih, dan menjadi sosok yang
memenuhi dukungan emosional yang aku perlukan.
Aku bertahan juga karena aku masih memiliki harapan. Harapan untuk merasa puas
dengan hubungan ini, harapan untuk hubungan ini bisa lebih baik daripada hubungan orang
lain. Bagaimana tidak, pasangan yang verbal abuse aja bisa bertahan, masa kami tidak bisa.
Jadi kalau dia sudah tidak terlalu sibuk dan kami sudah lebih dewasa lagi, hubungan kita bisa
mendekati kualitas hubungan yang ideal. Semoga saja hubungan kita ke depannya bisa
membuat kita sama-sama bahagia, tidak seperti ini terus dan ke depannya aku harap aku dan
dia bisa saling memberikan support secara emosional. Tentu saja semakin hangat, banyak
menghabiskan waktu bersama, dan dipenuhi dengan kecupan manis seperti hubungan kami
yang seharusnya. Sudah waktunya untuk kembali kerja, aku berdoa hubungan kami membaik
dan semua ekspektasi terjadi di kemudian hari.
Lampiran 4.
Alat Ukur Komitmen (Pre-Test dan Post-Test)
https://drive.google.com/drive/folders/1xq_s60k_QkiZTS2lBu61gSVtsqBi7t_q?usp=sharing
Lampiran 5.
Alat ukur Kepuasaan (Upaya Blocking)
https://docs.google.com/forms/d/1Ggq6ELDRAyOWUk5r7VDUFMKM3xs0Q__QwENYkL
ChQB4/edit?usp=drive_web