Anda di halaman 1dari 2

Kebudayaan Sebuah Titik Temu Persatuan

Bhineka Tunggal Ika, sebuah “mantra sakti” yang mampu menjadi penyemangat untuk persatuan dan kesatuan Bangsa
Indonesia. “Tidak Bhineka Bukan Indonesia”, ungkapan menarik dari pelancong literasi, Kang Maman. Kondisi
sosiologis, geografis serta historis yang bercorak beda dan bisa menyatu, merupakan anugerah spektakuler yang sudah
semestinya dijaga.

Kebudayaan nasional sejatinya terbentuk atas ragam kearifan lokal yang berakar pada budaya tiap daerah. Kearifan
lokal dimaksud dapat menjaga ketangguhan dan ketahanan bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika karena
terdapat nilai nilai luhur yang meninggikan kemanusiaan dan persatuan.

Di daerah terlebih pedesaan, corak masyarakatnya menjadikan kebudayaan tidak berhenti pada ekspresi. Kebudayaan
lebur dalam cipta, rasa, dan karsa kehidupan keseharian. Pun menjelma jadi basis nilai relasi sosial. Masyarakat
pedesaan, menjadikan gotong royong sebagai basis nilai relasi ekonomi sosial, kekeluargaan sebagai basis nilai relasi
ekonomi, dan musyawarah sebagai basis nilai relasi tata kelola kehidupan (pemerintahan).

Untuk itu, nilai nilai persaudaraan sebangsa yang terkandung dalam kearifan lokal harus terus dihidupkan di tengah
masyarakat. Meninjam dawuh Wakil Presiden RI KH. Prof. Maruf Amin saat meresmikan Pembukaan Pra Kongres
Kebudayaan Minahasa, di Gedung IASTH, Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, kamis (26/01/2023), Budaya
lokal ini perlu kita kembangkan sebagai bagian dari budaya nasional karena banyak nilai kearifan lokal yang sangat
baik, dalam membangun semangat dan memajukan negara serta menjaga kerukunan nasional kita.

Bahkan, masih menurut Wapres, banyak konflik yang dapat diselesaikan melalui bingkai kearifan lokal yang
sebelumnya tidak sampai di titik temu. Lebih lanjut, bahwa prinsip persatan bangsa melalui nilai nilai tradisional yang
terkandung di dalamnya dapat kita temukan di berbagai daerah.

Berbicara budaya lokal, beberapa waktu silam, di Kabupaten Blora menyelenggarakan “Gas Deso Kabupaten”
(sedekah bumi tingkat kabupaten). Tidak tanggung tangung, acara itu menyajikan 9.640 sego berkat bungkus daun jati
dan seluruh peserta yang hadir mengenakan busana adat Samin sebanyak 5.731 orang. Sebelum pelaksanaan Gas Deso
Kabupaten Blora, diselenggarakan prosesi mengumpulkan air dan tanah dari 16 Kecamatan dan 295 desa/kelurahan
yang ada di Blora.

Penyelengaaraan Gas Deso di Kabupaten Blora sudah menjadi rutinitas turun temurun setiap tahun pada bulan
menyongsong bulan suro. Pagelaran ini sebagi bentuk mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan. Terlebih corak
geografis Blora adalah berbasis kekayaan alam, baik pertanian, perhutanan, minyak dan gas. Maka dari itu, sedekah
bumi (Gas Deso) menjadi semacam ucapan terima kasih kepada Tuhan telah diberikan potensi sumber daya alam
spektakuler.

Gelaran Gas Deso Kabupaten Blora yang baru saja usai dilaksanakan, tentu perlu diapresiasi. Pasalnya, merupakan
sebuah peristiwa kebudayaan yang mampu menggerakkan masyarakatnya dan menunjukkan persatuan masyarakat
Blora.
Prakarsa ini relevan dengan Objek Pemajuan Kebudayaan. Membubuhkan prakarsa di Rekor MURI sebagai bentuk
pelindungan dan pelestarian. Berdasarkan UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kemudian
ditindaklanjuti dengan terbitnya PP Nomor 87 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Pemajuan kebudayaan,
Gas Deso termasuk Warisan Budaya TakBenda. Pelaksanaan Gas Deso Kabupaten Blora merupakan upaya
perlindungan terhadap Objek Pemajuan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai