Anda di halaman 1dari 3

Tugas 2: 21/10/2023

1). Bholimo arataa somanamo karo

artinya: Korbankanlah kepentingan harta benda asalkan diri (pribadi/rakyat) selamat.

Dalam keadaan normal, setiap harta benda (arataa) baik yang dimiliki masing –masing
anggota masyarakat maupun negara wajib dilindungi dan dijaga keselamatannya. Tetapi,
apabila kepentingan yang lebih tinggi yaitu karo (diri pribadi/rakyat) terancam
keselamatannya, maka harta benda, baik milik perorangan maupun milik masyarakat atau
negara wajib dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih timggi, yaitu diri
(pribadi/rakyat). Contoh:

• Pembangunan Benteng Keraton Buton telah mengorbankan banyak harta benda dan
yenaga rakyat, demi untuk melindungi kepentingan yang lebih tinggi, yaitu keselamatan
rakyat, negara, pemerintah dan agama.

2). Bholimo Karo Somanamo Lipu

artinya: Korbankanlah kepentingan diri (pribadi/rakyat) atau karo, asalkan lipu (negara)
slamat.

Dalam keadaan normal, setiap individu-rakyat (karo) wajib dilindungi kepentingan dan
keselamatannya. Tetapi bila kepentingan yang lebih tinggi yaitu negara (lipu) terancam
keselamatannya, maka kepentingan individu-rakyat (karo) dikorbankan untuk
menyelamatkan kepentingan yang lebih tinggi, yaitu negara (lipu). Contoh:

• Apabila negara dalam keadaan terancam keselamatannya, umpamanya diserang musuh,


baik dari dalam maupun luar, maka rakyat (karo) wajib siap berperang mengorbankan jiwa
raganya demi menyelamatkan keutuhan dan kehormatan negaranya (lipu).

3). Bholimo lipu somanamo sara

artinya: Korbankanlah kepentingan negara (lipu) asalkan pemerintah (sara) selamat.

Dalam keadaan normal, seluruh wilayah negara (lipu) wajib dipelihara dan dijaga keutuhan
dan keselamatannya. Tetapi bila kepentingan pemerintah (sara) terancam keselamatannya,
umpamanya karena terjadi peperangan dan ternyata kekuatan musuh terlalu besar, maka
bagian-bagian wilayah negara (lipu) boleh ditinggalkan untuk dikuasai musuh. Dalam situasi
demikian, yang wajib diselamatkan adalah kepentingan sara (pemerintah) yang berada di
dalam Benteng Keraton Buton, karena selama sara (pemerintah) masih ada, berarti negara
belum ditaklukkan. Untuk mempertahankan keselamatan pemerintah, semua kekuatan
pasukan seluruh medan pertempuran ditarik ke pusat pertahanan terakhir, yaitu dalam
Benteng Keraton Buton. Dari sanalah diatur siasat baru seperti melakukan perang gerilya
atau meminta bantuan dari negara sahabat untuk merebut kembali eilayah-wilayah yang
ditinggalkan tadi.

Sila ketiga filsafah kesultanan Buton ini, nampaknya tetap berlaku di zaman modern ini.
Bahkan pernah dipraktekkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam perjuangan
kemerdekaan di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Ketika Kota Jakartasebagai ibukota
Republik Indonesia tak dapat lagi dipertahankan dan keselamatan pemerintah pusat dalam
kondisi sangat rawan, maka Jakarta ditinggalkan dan dibiarkan diduduki dan dikuasai
Belanda sepenuhnya. Pemerintah RI berhijrah ke Yogyakarta. Dan pada saat Yogyakarta
diduduki lagi oleh Belanda dalam tahun 1947 dan Presiden beserta Wakil Presiden ditawan
dan diasingkan ke Bangka, Bung Karno segera mendelegasikan jabatan Presiden Indonesia
kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu sementara bereda di Bukit Tinggi,
Sumatera Barat.

Dengan taktik diplomatic demikian, maka pemerintah de facto RI tetap ada dan Belanda
hanya menagkap dan mengasingkan pribadi/fisik Soekarno dan Hatta saja. Sementara itu
perang gerilya terus digencarkan, bersamaan dengan kegiatan bidang diplomatic. Wilayah
demi wilayah kembali dikuasai tentara pejuang kemerdekaan RI. Dan kemajuan bidang
diplomatic mencapai puncaknya dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag negeri
Belanda, yang menghasilkan pengakuan Kemerdekaan Negara RI oleh pemerintah Belanda
pada tanggal 27 Desember 1949.

4). Bholimo Sara Somanamo Agama

artinya: Korbankanlah kepentingan sara atau pemerintah asalkan agama selamat. Atau,
biarlah kepentingan sara dikorbankan demi menyelamatkan agama Allah (Islam).

Di sinilah titik puncak tertinggi dari falsafah hidup Kesultanan Buton ke-2 ini. Betapa
pentingnya unsure pemerintah disamping unsure-unsur wilayah (lipu) dan rakyat (karo).
Walaupun demikian, apabila pemerintah, seseorang atau bersama-sama diiketahui telah
melakukan suatu perbuatan yang melanggar hokum, lebih-lebih hokum agama, maka
kepada mereka itu wajib dikorbankan/dihukum demi menyelamatkan agama Allah (Islam).

Dalam sejarah pemerintahan Kesultanan Buton , hal ini dapat disaksikan atas diri Sultan
Buton ke-8, La Cila Maradan Ali (Gogoli yi Liwoto), karena tingkah lakunya yang
bertententangan bahkan akan merusak sendi-sendi agama Islam. Beliau dipecat dari
jabatannya sebagai Sultan dan dijatuhi hukuman mati (diGologi) denagn jalan lehernya
dililitkan tali kemudian kedua ujung tali itu ditarik ke kiri dank e kanan hingga wafat.
Pelaksanaan hukuman mati ini di Liwuto Makasu (Pulau Makassar) yang berhadapan
dengan kota Bau-Bau.

Di sinilah kita menyaksikan bagaimana pemerintah kesultanan Buton secara konsisten,


melaksanakan hokum yang mereka telah terapkan sendiri tanpa pandang bulu. Seorang
Sultan pun bila telah melanggar peraturan yang berlaku wajib dihukum sesuai beratnya
pelanggaran yang diperbuatnya. Mereka sangat teguh keyakinan dari pendiriannya bahwa
melindungi seseorang dari ancaman hukuman berarti membiarkan berlangsungnya
pelecehan hukum. Dan hal itu akan melahirkan keresahan dalam masyarakat (karo) dan
merupakan awal kebinasaan negeri (lipu).

5) Pobhinci-bhinci kuli

Jabaran nilai filosifis itu dikemas dalam “sara pata nguuna” atau empat prinsip nilai. Nilai-
nilai “pobhinci-bhinci kuli” mengharuskan setiap individu etnis Buton untuk selalu mengenal
siapa dirinya hingga pada akhirnya dia pasti mengenal siapa Tuhannya.

Empat prinsip nilai yang dimaksud yaitu, pertama, “pomae-maeka” yang mengandung
makna saling takut untuk tidak menzalimi sesama. Dalam hal ini, setiap orang wajib
menjaga harga diri orang lain.

Anda mungkin juga menyukai