Kelompok 8 - Kode Etik
Kelompok 8 - Kode Etik
PSIKOLOGI FORENSIK
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Kode Etik
Dosen Pengampu: Ratih Agustin Rachmaningrum , S.Psi., M.Si.
Oleh:
Kelompok 8
Aisyah (20090000137)
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ratih Agustin Rachmaningrum selaku
dosen pengampu, yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang ditekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini, terutama untuk anggota
kelompok yang telah banyak berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. sebab itu, kami sangat
berharap adanya kritik, saran, dan usulan yang bersifat membangun dari para pembaca demi
perbaikan makalah ini dikemudian hari.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................4
A. Latar Belakang.............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................5
A. Psikologi Forensik......................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etika merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan manusia. Etika
mencakup norma, nilai, dan prinsip-prinsip yang mengatur perilaku dan interaksi sosial
manusia (Surajiyo, 2016). Etika juga cukup erat kaitannya dalam dunia profesi, karena
dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang profesional, kita harus
mematuhi norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam profesi tersebut. Kode etik adalah
salah satu bentuk implementasi dari etika profesi, yang memberikan panduan dan aturan
bagi para profesional dalam menjalankan tugas dan kewajiban dengan baik serta
diharapkan tidak terjadi pelanggaran atau hal yang tidak diinginkan.
Kode etik merupakan prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi dan
disusun secara sistematis sesuai dengan kelompok profesi tertentu (Sinaga, 2020).
Kode etik dapat berbeda-beda antara satu profesi dengan profesi yang lain, tergantung
pada karakteristik dan kebutuhan dari masing-masing profesi tersebut. Kode etik
biasanya dibuat berdasarkan nilai-nilai moral, standar kualitas, dan aspek hukum yang
berlaku pada profesi tersebut.
Psikologi forensik merupakan salah satu bidang psikologi yang berhubungan
dengan sistem hukum dan keadilan. Dalam menjalankan tugas dan kewajiban mereka,
para psikolog forensik harus memahami dan mematuhi kode etik yang berlaku dalam
kode etik psikologi. Hal ini penting untuk menjaga kualitas dan integritas dari hasil kajian
dan penelitian psikologi forensik, serta untuk meminimalkan risiko konflik atau
pelanggaran etika yang dapat merugikan individu atau masyarakat. Dengan
memperhatikan kode etik psikologi, para psikolog forensik dapat memberikan kontribusi
yang positif bagi sistem hukum dan keadilan, serta meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap profesinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu psikologi forensik?
2. Bagaimana kode etik psikologi forensik?
3. Bagaimana contoh pelanggaran kode etik psikologi forensik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian psikologi forensik?
2. Untuk mengetahui kode etik psikologi forensik
3. Untuk mengetahui contoh pelanggaran kode etik psikologi forensik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Psikologi Forensik
Psikologi merupakan sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang kondisi afeksi
(affection), perilaku (behavior), dan kognitif (cognitive) manusia. Sedangkan forensik adalah
penerapan ilmu sains dalam upaya penegakan hukum dan kebenaran. Sehingga dapat
dikatakan bahwa psikologi forensik merupakan perpaduan antara ilmu psikologi dan ilmu
penegakan hukum. Dalam ranah kajian ini, dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam
penegakan hukum, salah satunya adalah dalam pemutusan vonis pada terdakwa.
Individu yang berkecimpung dalam psikologi forensik biasanya dibedakan menjadi
dua, yang pertama adalah ilmuwan psikologi forensik, tugasnya adalah melakukan kajian
atau penelitian yang terkait dengan perilaku manusia dalam proses hukum. Kemudian yang
kedua adalah praktisi psikologi forensik dengan tugas memberikan bantuan professional
terkait dengan masalah hukum. Psikolog yang menjadi praktisi psikolog forensik memiliki
keahlian spesifik dalam kasus hukum dibandingkan dengan psikolog pada umumnya.
Misalnya di lembaga pemasyarakatan (lapas) dibutuhkan kemampuan terapi psikologi klinis,
dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif, pada penanganan
kasus yang melibatkan anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkkembangan, dan
dalam menjelaskan relasi antara hakim, pengacara, saksi, dan terdakwa dibutuhkan
pemahaman tentang psikologi social (Akhidat & Marliani, 2011). Kompetensi-kompetensi
tersebut dimiliki seorang psikolog forensik. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang
menjalankan tugas psikologi forensik wajib memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung
jawab yang dijalaninya, memahami hukum di Indonesia dan implikasinya terhadap peran
tanggung jawab, wewenang dan hak mereka.
Dalam perannya sebagai psikologi forensik, mereka dapat masuk ke dalam
pengadilan sebagai saksi ahli. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa saksi
ahli adalah seseorang yang bertugas untuk memberikan keterangan dimana ia harus
mempunyai suatu keahlian khusus menyenai suatu hal digunakan untuk kepentingan
pemeriksaan suatu kasus. Dalam menjalankan tugasnya, seorang psikologi forensik harus
mempunyai kompetensi serta pemahaman tentang ilmu psikologi forensi dan hukum.
Seorang psikologi forensik juga harus mematuhi kode etik yang berlaku.
B. Kode Etik Psikologi BAB X Psikologi Forensik
Pasal 56
Hukum dan Komitmen terhadap Kode Etik
1. Psikologi forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan/atau diaplikasikan dalam
bidang hukum, khususnya peradilan pidana.
Penjelasan :
Psikologi forensik merupakan cabang ilmu psikologi dalam konteks legal yang
menekankan pada aktivitas asesmen dan intervensi psikologis dalam proses penegakan
hukum (Kaloeti dkk, 2019). Menurut Baron dan Byrne (dalam Jaenudin, 2017) psikologi
forensik adalah penelitian dan teori psikologi yang berkaitan dengan efek-efek dari faktor
kognitif, afektif, dan perilaku manusia terhadap proses hukum.
3. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalankan tugas psikologi forensik wajib
memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab yang dijalaninya, memahami hukum
di Indonesia, dan implikasinya terhadap peran tanggung jawab, wewenang dan hak
manusia.
Pasal 57
Kompetensi
1. Praktik psikologi forensik adalah penanganan kasus psikologi forensik terutama yang
membutuhkan keahlian dalam pemeriksaan psikologis seseorang yang terlibat kasus
peradilan pidana, yang bertujuan membantu proses peradilan dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan praktik
psikologi forensik harus memiliki kompetensi sesuai dengan standar psikologi forensik,
memahami sistem hukum Indonesia dan mendasarkan pekerjaannya pada kode etik
psikologi.
Penjelasan :
Terdapat beberapa peranan dalam empat tahap penegakan hukum, 1) pencegahan,
pada tahap ini psikolog membantu aparat hukum dalam memberikan sosialisasi tentang
cara pencegahan perilaku criminal. 2) penanganan, psikolog membantu aparat hukum
dalam mengidentifikasi motif pelaku. 3)pemidanaan, dalam tahap ini psikolog
memberikan penjelasan tentang kondisi psikologis dari pelaku sehingga aparat hukum
bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan tindak kejahatan pelaku. 4)
pemenjaraan, pada tahap ini psikolog memberikan pendampingan pada pelaku
kejahatan yang telah ditempatkan dilembaga pemasyarakatan (Agung, 2015). Di
Indonesia, peran psikologi dalam proses penegakan hukum mulai dilakukan sejak
hadirnya Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) pada tahun 2007.
1. Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang melakukan praktik psikologi forensik
sesuai dengan kompetensinya memiliki tanggung jawab membantu proses peradilan
pidana, dalam kasus yang ditanganinya sehingga tercapainya penegakan kebenaran
dan keadilan. Dalam rangka menengakkan kebenaran dan keadilan maka psikolog
dan/atau ilmuwan psikologi forensik melakukan pekerjaannya dengan berdasarkan azas
profesionalitas serta memperhatikan kode etik psikologi.
2. Psikolog forensik memiliki wewenang memberikan laporan tertulis atau lisan mengenai
hasil penemuan forensik, atau membuat pernyataan karakter psikologi seseorang, hanya
sesudah ia melakukan pemeriksaan terhadap pribadi bersangkutan sesuai standar
prosedur pemeriksaan psikologi, untuk mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila
tidak dilakukan pemeriksaan menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan,
Psikologi menjelaskan keterbatasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah untuk
membatasi implikasi dari kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.
Pasal 59
Pernyataan Sebagai Saksi atau Saksi Ahli
1. Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun saksi ahli harus bertujuan
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan dalam menyusun hasil penemuan
psikologi forensik atau membuat pernyataan dari karakter psikologi seseorang
berdasarkan standar pemeriksaan psikologi.
2. Bila kemungkinan terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan pendapat dan
keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam kasus di pengadilan, psikolog
berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap Kode Etik
dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik dengan cara-cara yang bisa
diterima
3. Bila kemungkinan ada lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog, maka psikolog
tersebut harus memegang teguh prinsip hubungan profesional sesuai dengan pasal 19
buku kode etik ini.
4. Bila harus memberikan kesaksian, atau menyampaikan pendapat selaku saksi atau
saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh memang diizinkan oleh hukum yang
berlaku di Indonesia; Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat bersikap
profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau meminimalkan terjadinya
konflik antara berbagai pihak.
5. Bila terdapat lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog di pengadilan dan bila
kemungkinan terjadi konflik antar psikolog dalam suatu proses peradilan yang
ditanganinya, maka psikolog dapat meminta Himpsi untuk membantu penyelesaian
masalah dengan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan
berdasarkan standar pemeriksaan psikologi dan kaidah ilmiah psikologi.
6. Bila terdapat lebih dari Satu saksi atau saksi ahli yang berasal dari psikolog dan ahli
profesi lain dan bila kemungkinan terjadi konflik antara psikolog dengan profesi lain
tersebut maka psikolog dapat meminta Himpsi menyelesaikan masalahnya dengan
mendiskusikannya dengan organisasi profesi dimana profesi lain tersebut bernaung.
Pasal 60
Peran Majemuk dan Profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghindari untuk menjalankan peran majemuk.
Bila peran majemuk terpaksa dilakukan kejelasan masing-masing peran harus ditegaskan
sejak awal dan tetap berpegang teguh pada azas profesionalitas, obyektivitas serta
mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman. Hal-hal yang harus diperhatikan bila peran
majemuk terpaksa dilakukan:
Pasal 61
Pernyataan Melalui Media Terkait dengan Psikologi Forensik
Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang melakukan layanan psikologi dapat memberikan
pernyataan pada publik melalui media dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
a) Hanya psikolog yang melakukan pemeriksaan psikologi terhadap kasus hukum yang
ditanganinya yang dapat memberikan pernyataan di media tentang kasus tersebut.
b) Psikolog dapat membuat pernyataan di media tentang suatu gejala yang terjadi di
masyarakat. Jika ia tidak melakukan pemeriksaan psikologis maka hal ini harus
dinyatakan pada media dan pernyataan yang disampaikan bersifat umum dan
didasarkan pada kaidah prinsip psikologi sesuai dengan teori dan/atau aliran yang
diikuti. Pernyataan di media harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat, hak
subjek yang diperiksa (seperti azas praduga tak bersalah pada pemeriksaan
psikologis pelaku, atau hak untuk tidak dipublikasikan), dan telah
mempertimbangkan batasan kerahasiaan sesuai dengan pasal 24 buku Kode Etik
ini.
C. Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi Forensik
1. Pelanggaran Kode Etik yang Dilakukan Oleh Saksi Ahli Kasus Pembunuhan
Wayan Mirna Salihin
Pada 2016 lalu, terjadi kasus pembuhunan yang mengemparkan masyarakat.
Korban dari kasus pembunuhan tersebut adalah seorang perempuan bernama Wayan
Mirna Salihin dengan tersangka Jessica Kumalawongso. Dalam kasus tersebut, pelaku
pembunuhan melakukan aksinya dengan memasukkan serbuk sianida pada kopi yang
diminum oleh korban.
Penyelidikan kasus tersebut melibatkan banyak ahli profesional, mulai dari digital
forensic, ahli toksikologi, hingga ahli psikologi dan psikitari. Salah satu seorang saksi ahli
di bidang psikologi forensik adalah Dewi Taviana Walida Haroen yang dihadirkan oleh
tim kuasa hukum Jessica Kumalawongso. Dalam perannya sebagai seorang saksi ahli,
Dewi tidak melakukan pemeriksaan kepala klien atau Jessica dalam mengambil
kesimpulan. Ia memberikan keterangan tanpa melakukan asesmen psikologis sebagai
dasar arugmennya. Hal tersebut jelas melanggar pasal 57.2, di mana seorang saksi ahli
psikologi forensik harus menjalankan tanggung jawabnya dengan mendasarkan pada
standar pemeriksaan psikologi yang baku sesuai kode etik psikologi yang terkait dengan
asesmen, dan intervensi.
Dewi juga melanggar pasal 58.2 dan 59.1 yang di dalamnya menjelaskan hal
yang serupa, yakni seorang saksi ahli dalam memberikan pernyataannya tentang klien,
yang menyangkut laporan tertulis atau lisan mengenai hasil penemuan forensik, atau
membuat pernyataan karakter psikologi seseorang harus dilakukan setelah adanya
pemeriksaan psikologi sesuai dengan standar pemeriksaan.
Budisetyani, I. G. A. P. W., Suarya, L. M. K. S., Herdiyanto, Y. K., Lestari, M. D., dkk. (2016).
BAHAN AJAR PSIKOLOGI FORENSIK. Diakses dari Universitas Udayana pada 11
Maret 2023.
Gunawan, H. (2014). Gegabah, Memvonis Hafitd dan Syifa Adalah Psikopat Tanpa
Memeriksa. Diakses pada 12 Maret 2023 dari
https://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/03/08/gegabah-memvonis-hafitd-dan-
syifa-adalah-psikopat-tanpa-memeriksa
Herdiyanto, Y. K. & Tobing, D. H. (2016). Buku Ajar PSIKOLOGI FORENSIK. Diakses dari
Universitas Udayanya pada 11 Maret 2023.
HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi
Indonesia.
Lamoha, T. N. B., Fadhilla, A., Septiana, D., Izzah, S. N., & Yamni, Z. (2019). Pelanggaran
Kode Etik Psikologi. Diakses pada 12 Maret 2023 dari
https://pdfcoffee.com/pelanggaran-kode-etik-psikologi-pdf-free.html
Muluk, H. (2013). Kajian Dan Aplikasi Forensik Dalam Perspektif Psikologi. Jurnal
Sosioteknologi, 12(29), 388-391.
Sinaga, N. A. (2020). Kode etik sebagai pedoman pelaksanaan profesi hukum yang
baik. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 10(2).
Sopyani, F. M. & Edwina, T. N. (2021). Peranan psikologi forensik dalam hukum di
Indonesia. Journal Psikologi Forensik Indonesia, 1(1), 46-49.
Surajiyo, S. (2016). Prinsip‐prinsip Etika Bisnis dalam Perspektif Filosofis. In Seminar
Nasional Indocompac. Bakrie University.