Anda di halaman 1dari 11

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

SEMESTER GANJIL PERIODE FEBRUARI-JULI 2023


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN IPA
Mata Ujian Pendidikan Kewarganegaraan Hari / Tanggal Rabu, 12/04/2023
SKS 2 SKS Durasi 6 x 24 jam
Semester / GENAP / B Verifikasi Koordinator -
Kelas MK:
Dosen / Tim Raharjo, S.Pd., M.Sc.
Validasi Kaprodi

Perhatian:
- Perhatikan perintah soal.
- Kerjakan dengan percaya diri.
- Jawaban dikumpulkan secara kolektif dalam (satu folder) Diberi nama: UTS PKN_
PRODI_KELAS dikumpulkan sesuai batas waktu yang ditentukan.

Jawablah pertanyaan berikut yang didukung dengan data, fakta das sein (senyatanya) & das
sollen (seharusnya), serta analisis, sepanjang kata yang telah ditentutkan* pada masing-
masing soal berikut;

1) Sebagai program pendidikan, Pendidikan Kewarganegaraan menekankan pada proses


pembentukan manusia. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan pernyataan tersebut!
(100-300 kata) *
2) Bagaimana pembudayaan karakter warga negara yang bersumberkan nilai-nilai
Pancasila yang juga menjadi identitas diri manusia Indonesia? (300-500 kata) *
3) “Menjaga kebhinekaan adalah cita-cita luhur Pancasila, hal ini merupakan
kewajiban/ tugas bersama seluruh elemen anak bangsa. Bangsa ini, masih mengalami
krisis kebhinekaan, yang ditandai dengan meningkatnya intensitas intoleransi,
sektarianisme dan konflik komunal” (Syafii Maarif). Sependapatkah anda dengan
pernyataan tersebut, Bahwa bangsa ini masih mengalami krisis kebhinekaan? Berikan
alasan anda dan solusi apa yang anda tawarkan untuk mengelola keberagaman bangsa
Indonesia? (300-500 kata) *
4) Bagaimana cara anda untuk menjaga integrasi nasional mengingat kondisi
kemajemukan Bangsa Indonesia yang heterogen? (300-500 kata) *
5) Jelaskan mengapa negara memerlukan konstitusi, bagaimana jika dalam suatu negara
itu tidak terdapat konstitusi! (300-500 kata) *

Selain dikumpulkan secara mandiri di kelas spada, UTS juga dikumpulkan secara kolektif
menjadi 1 folder zip dalam bentuk soft file (ms.word) oleh Ketua / PJ Mata Kuliah ke email
raharjoppkn@staff.uns.ac.id Maksimal tanggal 18 APRIL 2023 pukul 23.59 WIB.
(masingmasing file diberi nama: UTS_Nama-Mahasiswa_Prodi_Kelas). Jawaban akan
dilakukan tes plagiarisme dengan turnitin.com, jawaban yang plagiarismenya lebih dari 30%
akan dikembalikan untuk direvisi.
Nama : Syukriyya Zuhrotul Endang Purwaningsih
Kelas : B
Prodi : Pendidikan IPA (2022)

Pembahasan Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Nomor 1.
Kemajuan teknologi seharusnya membuat kualitas manusia juga berkembang, baik
dari aspek karakter, norma, akhlak, adab, dan perilakunya. Faktanya, hal tersebut melahirkan
era distrupsi, yaitu suatu fenomena dalam menciptakan pola tatanan kehidupan baru yang
lebih dikuasai teknologi sehingga mampu mengacak-acak pola kehidupan lama (Indrayani,
2020). Lahirnya distrupsi sebagai bentuk perubahan dapat mengganggu kondisi
masyarakatnya (Anoegrajekti, 2019).
Contoh kasus senyatanya ialah adanya tindak kriminalitas dan penyimpangan norma
dalam berkomentar di media sosial. Seiring dengan derasnya penggunaan internet,
seharusnya manusia bisa memanfaatkannya secara bijak dan maksimal. Berdasarkan data,
minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan dengan angka 0,001% (UNESCO,
2012), padahal jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta penduduk
(Riset Digital Marketing Emarketer, 2018). Era digitalisasi telah menimbulkan pendangkalan
kemampuan bernalar manusia sehingga dapat menjadikan generasi yang berpikir cekak dan
gagal mendefinisikan diri. Rendahnya literasi dan kemampuan berpikir kritis dalam memilah
informasi membuat mereka tidak dapat membedakan antara fakta dan hoax. Akibatnya,
timbullah komentar buruk, miss communication, kebencian, deskriminasi atau bullying yang
mengakibatkan perdebatan, kehebohan, bahkan perpecahan antar individu maupun kelompok
(disintegrasi).
Dengan begitu, sangat diperlukan adanya dukungan pendidikan karakter dan
intelektual bagi pembentukan manusia Indonesia yang lebih cerdas. Pendidikan
kewarganegaraan merupakan salah satu pendidikan yang dimulai dari tingkat SD hingga
perguruan tinggi dapat menjadi upaya strategis dalam membangun karakter Indonesia
(Hartini, 2020). Namun faktanya, PKn cenderung lebih menekankan politik praktis
instrumen penguasa daripada sebagai wahana pembangunan watak bangsa berdasarkan
konstitusi (Sapriya, 2007, p.25). PKn merupakan mata pelajaran yang mudah mendapat
intertvensi dari rezim penguasa menjadikan isi buku PKn kerap merefleksikan kepentingan
dari penguasa itu sendiri, sehingga tujuan PKn yang seharusnya untuk membentuk karakter
siswa sesuai Pancasila dan UUD 1945 belum berhasil. Sebagai solusinya, Profil Pelajar
Pancasila menjadi suatu bentuk pendidikan kewarganegaraan versi kurikulum merdeka yang
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Program pendidikan kewarganegaraan di
kurikulum yang baru ini tentunya dapat menjadi jawaban dalam pembentukan manusia yang
berkarakter, berakhlak bermoral sesuai nilai-nilai Pancasila, dan membentuk manusia yang
mencapai smart and good citizen. Semua ini tak lepas dari peran generasi muda sebagai
center dalam merealisasikannya.

Daftar Pustaka :
Anoegrajekti, N. (2019). Dinamika Literasi Budaya pada Era Disrupsi. In Seminar Nasional
Literasi (Vol. 4, No. 1)
Evita Devege, 2017. Teknologi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos.
Artikel. KOMINFO. Diperoleh dari
https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-
indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media tanggal 14
April 2023 pukul 16.43.
Dafitri, R. S., dkk. 2022. Implementasi Program Merdeka Belajar melalui
Profil Pelajar Pancasila di SMKN 1 Sijunjung. Journal of Education, Cultural,
and Politics. 2 (2) : 175-184.
Hartini, S., Siregar, M., & Arifi, A. (2020). Implementasi Pendidikan Karakter di MTs
Negeri Kabupaten Klaten. Al-Asasiyya: Journal of Basic Education, 4(1), 14–
29.
Marzuki, & Wijayanti, D. 2016. Politik Pendidikan Indonesia dalam Membentuk Good
Citizens Pada Era Reformasi. Jurnal Ilmu – Ilmu Sosial. 13 (2).
Sapriya. (2007).Peran pendidikan kewarganegaraan dalam membangun karakter warga
negara. Jurnal Sekolah Dasar. 16 (1).
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Nomor 2.
Menurut Deddy Yusuf Yudyharta (2015), identitas manusia meliputi nilai norma
dan simbol ekspresi sebagai ikatan sosial untuk membangun solidaritas dan konvesivitas
sosial dalam menghadapi kekuatan luar. Pernyataan tersebut dapat terdefinisikan dalam
konteks berbangsa dan bernegara, bahwa suatu identitas seseorang atau sekelompok orang
merupakan sebuah jati diri dalam menghadapi ancaman yang berpeluang menimbulkan
konflik bahkan perpecahan. Oleh karena itu, identitas manusia mampu menciptakan integrasi
nasional atau persatuan secara horizontal dan berprinsip Bhineka Tunggal Ika yang
berkarakter kuat. Sebab identitas sebagai manusia Indonesia terbentuk dari unsur - unsur
suku, budaya, bahasa dan agama yang beragam.
Identitas merupakan sikap seseorang dalam memberi makna bagi orang lain yang
mampu membentuk suatu konsep diri. Konsep diri inilah yang nantinya menciptakan karakter
yang membentuk kepribadian dan perilaku manusia dengan lingkungannya. Pembentukan
karakter individu yang positif dalam konteks manusia Indonesia harus menyesuaikan nilai -
nilai Pancasila sebagai identitas bangsa. Generasi penerus bangsa seharusnya mampu
menerapkan nilai-nilai Pancasila yang berkarakter. Namun, kenyataannya hal tersebut masih
kurang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam mewujudkan generasi penerus
yang pancasilais. Bahkan, saat ini Pancasila semakin disalahmaknai oleh warga negara
karena cenderung bersifat pragmatis, dimana Pancasila kekuatan untuk menjamin suatu
kesatuan dan integrasi politik. Hal inilah yang mengakibatkan pembudayaan karakter
manusia Indonesia sdengan menyesuaikan nilai-nilai Pancasila sulit terealisasikan.
Contoh kasus yang saat ini harus diperhatikan lebih lanjut adalah sikap kepedulian
sosial. Penerapan sila kemanusiaan yang adil dan beradab tersebut jika mampu
diimplementasikan dengan baik, maka pembentukan karakter tentang kepekaan dan jiwa
sosial sebagai cakupan identitas manusia Indonesia akan tercapai. Karakter kepedulian sosial
baik untuk sesama orang maupun dengan lingkungan harus ditanamkan dengan baik dalam
diri setiap warga negara. Apabila penanaman karakter sebagai identitas diri manusia sudah
melekat sempurna di kepribadian kita, maka terbentuklah identitas diri manusia Indonesia.
Identitas inilah yang akan membawa generasi muda sebagai penerus bangsa untuk
berkontribusi dalam memajukan pembangunan berkelanjutan. Sebab dengan karakter kuat
yang telah terbentuk itu mereka akan mampu mengikuti arus globalisasi di era modern tanpa
menghilangkan jati dirinya sebagai manusia Indonesia yang khas dan pancasilais.
Namun, seharusnya penanaman karakter warga negara yang sesuai dengan norma
dan nilai-nilai Pancasila perlu dibudayakan kembali supaya tidak terjadi miskonsepsi atau
disalahmaknakan. Menurut pidato politik pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni Tahun
2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mensinyalir adanya keengganan bangsa kita
untuk berbicara tentang Pancasila, seperti berikut: “....di tengah-tengah gerak reformasi dan
demokratisasi yang berlangsung di negara kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan
diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka
Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan,
dan lain-lain, karena bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan
demokratisasi....” (Yudhoyono, 2006: xv). Sebagaimana yang diutarakan, sikap dan perilaku
tersebut mengakibatkan lunturnya bahkan hilangnya rasa kebangsaan dan nasionalisme, serta
kegagalan dalam mendefinisikan jati diri sebagai manusia Indonesia. Padahal faktanya,
Pancasila, UUD 1945, dan sebaginya merupakan komponen-komponen penting dalam
identitas nasional. Dengan demikian, dalam perealisasiannya perlu dihidupkan, dikuatkan,
dan dibudayaan kembali karakter warga negara melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
Begitulah solusi dalam pembudayaan karakter, moral, akhlak, perilaku, dan kepedulian sosial
berdasarkan nilai-nilai Pancasila sekaligus menjadi identitas diri manusia Indonesia.

Daftar Pustaka :
Deddy Yusuf Yudyharta. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan. Tembilahan, STAI
Auliaurrasyidin. Hlm. 20-21.
Arif, D. B. (2011). PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI PANCASILA PADA WARGA
NEGARA MUDA MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN.
Universitas Ahmad Dahlan.
Yudhoyono, Soesilo Bambang. (2006). Pidato Peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2006.
dalam Nasution, Irfan dan Agustinus, Rony (ed) Restorasi Pancasila:
Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.

Nomor 3.
Berangkat dari kata “Retorika” yang terdefinisikan sebagai kepandaian dalam
menggunakan bahasa efektif sehingga menimbulkan rasa indah (Badudu, 1996 : 1165). Sama
halnya dengan kata yang sering terdengar bahwa Indonesia ialah negara yang “bhineka,
inklusif, plural, cinta damai, toleran, religius”, dan sebagainya. Fakta lapangan membuktikan
bahwa prinsip-prinsip tersebut hanyalah berupa slogan, sehingga mengasumsi konsep
“retorika” sebagai ungkapan kata semata yang tidak sebanding dengan perilakunya.
Argumentasi menarik ini dapat dikorelasikan pada konsep negara Indonesia yang berasaskan
Bhinneka Tunggal Ika. Asas ini menyatakan bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk mulai dari agama, suku, ras, golongan,
kondisi daerah, dan budaya khusus yang tentunya menyangkut masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (UU No 10 Tahun 2004 Pasal 6 ayat
1F). Namun sayang, kenyataannya asas tersebut semakin tidak diindahkan oleh bangsa
sendiri dan hanya menjadi slogan sehingga mengakibatkan fenomena krisis kebhinekaan.
Seharusnya, asas ini bukan hanya sekedar retorika atau jargon kosong yang bersifat semu
tanpa ada tindakan apapun dalam pengaplikasiannya.
Penerapan kebhinekaan perlu ditindaklanjuti mengingat banyaknya kasus di era
sekarang yang terangkum dalam tiga krisis utama, yaitu intoleransi, sektarianisme, dan
konflik komunal. Perlu diresapi kembali bahwa konflik internal yang terjadi di Indonesia
mengganggu pembentukan integrasi horizontal yang mencakup adat, suku, ras, etnis
sebagai sebuah identitas nasional. Fakta menunjukkan bahwa keberagaman yang ada
mengakibatkan terjadinya disintegrasi nasional yang mana akan merusak keutuhan dan
persatuan, bahkan perpecahan. Faktor utama dari kasus – kasus tersebut adalah sikap
intoleransi bangsa terhadap keberagaman yang ada di sekitarnya.
Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji dengan beragam tindakan
diskriminasi. Data Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan
seksual perempuan paling dominan terjadi (38,21%). Kasus kekerasan seksual di lingkungan
kampus menjadi perbincangan hangat hingga sekarang. Faktor utamanya adalah adanya relasi
kuasa yang timpang antara pelaku dengan korban, seperti kasus pelecehan di universitas
dimana dosen mengandalkan kekuasaannya di institusi tempatnya bekerja. Nyatanya,
payung hukum di kampus belum komprehensif sehingga korban tidak mendapatkan
dukungan yang memihaknya. Padahal, aksi bejat ini jelas melanggar HAM yang
semestinyaya dapat ditangani secara tuntas dan berlandaskan sila kelima tentang keadilan
bagi seluruh pihak. Dengan demikian menurut ketetapan hukum, korban berhak penuh atas
konstitusi untuk mendapat perlindungan dari kekerasan seksual (UUD RI 1945 pasal 28B
ayat 2). Maka, konstitusi hukum perlu ditegaskan kembali.
Kemudian konflik komunal yang marak terjadi yaitu tragedi bom bunuh diri di
Polsek Astanaanyar, Bandung sebagai aksi terorisme yang mengatasnamakan agama. Pelaku
mempengaruhi pola pikir korban dengan keyakinan bahwa mati adalah jalan terbaik
menuju surga yang abadi. Berdasarkan hal itu, ajaran Islam telah disalahgunakan pelaku
dengan mendakwahkan konsep ajaran sesat yang mengatasnamakan jihad dalam melancarkan
aksinya. Fakta ini sangat menyimpang nilai sila pertama dimana menghilangkan nyawa
seseorang walaupun dengan alasan berjihad tetap disalahkan. Tragedi ini mengakibatkan
konflik saudara sesama muslim dan anggapan agama lain terhadap ajaran Islam yang dinilai
memperbolehkan terorisme.
Kesimpulan :
Solusi terbaik dalam menghargai keberagaman adalah kembali pada konsistensi
semangat Bhinneka Tunggal Ika yaitu toleransi, anti diskriminasi, dan persatuan.
implementasi dalam mengelola keberagaman dapat direalisasikan melalui ide-ide seperti
mengadakan festival budaya tingkat nasional, membuat ajakan tentang anti diskriminasi, anti-
bullying, dan toleransi melalui poster, vlog, maupun channel youtube. Dengan demikian,
kebhinekaan sebagai perwujudan sila persatuan Indonesia yang sejalan dengan konsep
keberagaman dapat terwujudkan.

Daftar Pustaka :
Agung, D. 2018. Kebhinekaan : Sebuah Retorika?. Sejarah dan Budaya, Tahun Keduabelas,
Nomor 1.
Badudu, Z. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hartoyo, H. A. 2010. Menggugah Kesadaran Nasional mempengaruhi Kebhinekaan
Indonesia. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora. 1 (2).
Kompas. 2015. Kasus Diskriminasi di Indonesia. Jakarta: Kompas.com.

Nomor 4.
Indonesia merupakan negara yang begitu luas dengan keberagaman budaya, suku, ras,
golongan, dan agama. Letak geografis Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke dengan kondisi alam yang juga berbeda disebut negara kepulauan yang menjadi
faktor utama keberagaman suku maupun budaya. Bahkan di era globalisasi ini membuat
budaya Indonesia terpengaruh oleh budaya luar. Selain itu, faktor transportasi dan
komunikasi dan sejarah perdagangan di jaman penjajahan menimbulkan masuknya berbagai
jenis agama di Indonesia.
Perbedaan atau keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia sebenarnya merupakan
aset yang tak ternilai harganya. Sebab faktanya tidak banyak negara yang memiliki itu
semua sehingga dapat dijadikan identitas nasional yang khas. Contoh daerah yang kaya akan
keberagaman agama adalah Bali. Faktanya, Pulau Dewata ini didominasi oleh agama Hindu.
Meskipun begitu, Bali terkenal dengan sikap tolensainya yang sangat tinggi sehingga mampu
menerapkan integrasi nasional. Hal ini terbukti dengan harmonisnya masyarakat dalam
menyikapi ragam agama lain dengan hidup damai secara berdampingan. Bahkan, Bali
dirancang sedemikian rupa dengan sarana prasana yang mendukung keberagaman tersebut,
seperti tempat-tempat ibadah dan tempat makan yang telah disediakan dengan
memperhatikan hukum agama yang ada. Begitupun dengan kekayaan budaya yang dimiliki
Bali mampu meningkatkan rasa cinta tanah air bangsa, bahkan tempatnya yang dijadikan
objek pariwisata telah berhasil menarik perhatian mancanegara.
. Setelah mengetahui fakta penerapan toleransi tersebut, semestinya tempat lain
mampu mencontoh sikap masyarakat Bali dalam menyikapi keheterogenan bangsa. Namun,
kenyataannya masih terdapat kasus yang menimbulkan konflik karena adanya keberagaman,
terutama terkait dengan agama. Menurut data Institute for Democracy and Peace (2022),
terdapat laporan yang menunjukkan empat tren pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan yang terjadi sepanjang tahun 2022. Tren pertama adalah naiknya kasus
gangguan rumah ibadah minoritas di Jawa Timur, yaitu gereja-gereja Protestan dan Katholik.
Hal ini menyebabkan Jawa Timur dianggap sebagai negara paling intoleran karena melanggar
nilai Pancasila yang pertama terkait tentang kebebasan dalkam beragama dan berkeyakinan.
Adanya segala keberagaman yang mengharuskan kehidupan secara berdampingan ini
lama-kelamaan memang dapat memunculkan konflik yang seiring dengan arus globalisasi.
Perkembangan zaman di era globalisasi ini akan menimbulkan pengaruh budaya dari luar
seperti adat, kebiasaan, pola pikir, paham atau ideologi, hingga keyakinan. Hal-hal tersebut
mampu mempengaruhi pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia sehingga
mengakibatkan pudarnya rasa toleransi hingga hilangnya rasa cinta tanah air baik dari segi
agama maupun budaya yang dapat membahayakan integrasi nasional.
Oleh karena itu, warga negara harus bisa menerima keheterogenan yang ada dan
menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan. Sebab keheterogenan atau keberagaman
tersebut merupakan wujud bangsa yang majemuk sebagai kekayaan yang tak ternilai
harganya. Upaya untuk menjaga keberagaman dalam kondisi bangsa yang heterogen dapat
diwujudkan melalui Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan tersebut semestinya dijadikan dasar
yang tak hanya sebagai slogan melainkan dapat direalisasikan dengan nyata. Penerapan
persatuan dan kesatuan melalui konsep kebhinekaan ini yaitu dengan hidup saling
mengharagai sesama atau sikap toleransi. Perbedaan seharusnya tidak dijadikan sebagai
sumber konflik melainkan dapat dijadikan sebagai tolak kekuatan dan dasar utama dalam
membangun harmonisasi kehidupan. Dengan demikian, perwujudan Persatuan Indonesia
sebagai sila ketiga dan integrasi nasional dapat tercapai dengan baik, bahkan bagsa Indonesia
dapat berperan dalam kontribusi perdamaian dunia.

Daftar Pustaka :
Novita, W. A. 2017. Menjaga Keutuhan Bhineka Tunggal Ika. Fakultas Syari’ah UIN Raden
Intan Lampung : Intellectually, Spirituality, Integrity. Diperoleh dari
http://syariah.radenintan.ac.id/menjaga-keutuhan-bhineka-tunggal-ika/. Diakses
tanggal : 18 April 2023 pukul 13.23 WIB.
Wardah, F. 2023. Setara Institute: 50 Rumah Ibadah Diganggu Sepanjang 2022. Jawa Timur
Paling Intoleran. Artikel. VOA. Diperoleh dari
https://www.voaindonesia.com/a/setara-institute-50-rumah-ibadah-diganggu-
sepanjang-2022-jawa-timur-paling-intoleran/6941621.html. Diakses tanggal : 18
April 2023 pukul 13.15 WIB.

Nomor 5.
Menurut Tundjung (2020), adanya konstitusi berfungsi sebagai penentuan dan
pembatasan kekuasaan negara, serta menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dan
Hak Asasi Manusia (HAM). Kekuasaan tersebut harus memiliki batasan yang tegas dan
penguasa diharapkan tidak memanipulasi konstitusi demi kepentingannya sendiri, sehingga
hak-hak warga negara akan terlindungi. Dengan demikian, konstitusi suatu negara harus
mampu membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negaranya.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa konstitusi memang berperan penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep konstitusi yang diterapkan di Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945, dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Namun pada pelaksanaannya, ketetapan undang-
undang terkait hak-hak warga negara tidak sesuai dengan fakta lapangan. Contoh kasus
seperti pada Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara. Pernyataan tersebut menimbulkan kontra dari sudut pandang
masyarakat yang menyaksikan langsung bahwa kenyataannya masih banyak fakir miskin dan
anak-anak terlantar di jalan. Data menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin pada akhir
tahun 2022 perkotaan meningkat sebanyak 0,16 juta orang (Badan Pusat Statistik, 2023).
Berdasarkan fakta, kemiskinan dan anak terlantar masih menjadi masalah besar bagi bangsa
Indonesia. Faktor penyebab banyaknya fakir miskin yang terlantar adalah kurang lapangan
pekerjaan bagi mereka. Sebab fakir miskin sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) terus dipandang sebagai sampah pembangunan negara yang harus
dibersihkan. Jikalau dibantu hanya berupa pembagian mie instant dan beras tanpa
memberikan kesempatan kerja bagi mereka. Seharusnya, pemerintah mengatur kembali UU
Cipta kerja dan meratakan kembali program-program jaminan sosial demi kesejahteraan
mereka.
Selanjutnya, kasus anak-anak terlantar yang rupanya masih kurang diperhatikan
pemerintah dan Lembaga setempat. Anak merupakan generasi yang nantinya akan
meneruskan jalannya pemerintahan dan pembangunan nasional. Padahal, satu anak yang
terlantar adalah generasi emas yang berpeluang besar dalam mengguncangkan dunia. Faktor
penyebab permasalahan ini adalah terjadinya kelirumologi konstitusi, dimana pasal dalam
undang-undang tentang perlindungan anak hanyalah sebatas retorika saja, tanpa
implementasi nyata. Bantuan pemerintah yang tidak merata dan kurang perhatiannya
pemerintah kepada anak terlantar juga menjadi faktor lain dalam kasus ini. Maka dari itu,
konstitusi negara seharusnya tidak hanya berfokus di politik dan hukum, tetapi juga
memperhatikan kondisi sosial ekonominya. Solusinya yaitu lebih dipertegas kembali
ketetapan aturan dalam berbagai macam bentuk seperti menurunkannya menjadi UU baru
atau berupa tindakan nyata dari pemerintah dalam menuntaskan kasus ini.
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa konstitusi merupakan syarat mutlak
keberlangsungan suatu negara dan tentang bagaimana arah kehidupan bangsa. Konstitusi
menentukan arah pemerintahan berjalan dengan segala peraturan yang diciptakan dan
diamandemen sesuai dengan kondisi bangsa dan kebutuhan negaranya. Konstitusi juga
menentukan bagaimana permasalahan hak-hak warganya dapat ditanggulangi dengan
tindakan atau kebijakan yang lebih baik lagi. Maka dari itu, konstitusi sangat penting
urgensinya bagi negara sebab tanpa konstitusi, tata cara penyelenggaraan pemerintahan
negara tidak akan jelas, kehidupan bangsa akan berantakan dan akhirnya bisa hancur.
Seharusnya, program-program pemerintahan dalam konstitusi di Indonesia bersifat
seimbang, baik dari segi politik dan hukum tanpa mengurangi perhatian pada kondisi sosial
ekonomi warga negaranya. Contohnya seperti pemberlakuan UU ITE, UU Pra kerja, UU
Cipta Kerja, dan perlindungan terhadap HAM maupun hak anak yang dapat dievaluasi
kembali untuk menciptakan negara yang berkeadilan.

Daftar Pustaka :
Badan Pusat Statistik. 2023. Persentase Penduduk Miskin September 2022 naik menjadi 9,57
persen. Diperoleh dari
https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/01/16/2015/persentase-penduduk-
miskin-september-2022-naik-menjadi-9-57-persen.html. Diakses tanggal 18
April 2023 pukul 15.30 WIB.
Badrudin. 2019. Implementasi Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945 di Provinsi Riau (Perspektif
Maqashid Syari’ah tentang Nafkah dan Hadanah). Jurnal Hukum Islam. 19
(1) : 114 – 139.
Tundjung Herning Sitabuana, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2020,
hal. 11.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 34 ayat 1.

Anda mungkin juga menyukai