Anda di halaman 1dari 49

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI

Kajian Terhadap Putusan Hakim Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby Tentang


Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar

Diajukan oleh :

Shania Eka Prasasti

NPM : 180513301

Program Studi : Hukum

Program Kekhususan : Sistem Peradilan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

2021
HALAMAN PERSETUJUAN

PENULISAN SKRIPSI

Kajian Terhadap Putusan Hakim Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby Tentang


Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar

Diajukan oleh :

Shania Eka Prasasti

NPM : 180513301

Program Studi : Hukum

Program Kekhususan : Sistem Peradilan

Telah Disetujui Untuk Ujian Pendadaran pada tanggal: 19/ 12 /21

Dosen Pembimbing:

Dr. Anny Retnowati, S.H., M.Hum

i
HALAMAN PENGESAHAN

PENULISAN SKRIPSI

Kajian Terhadap Putusan Hakim Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby Tentang


Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Fakultas Hukum

Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Dalam Sidang Akademik yang diselenggarakan pada :

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Susunan Tim Penguji : Tanda Tangan

Ketua :

Sekretaris :

Anggota :

ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil


karya asli penulis, bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari
hasil karta penulis lain. Jika skripsi ini terbukti merupakan duplikasi
ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia
menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Yogyakarta,

Shania Eka Prasasti

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena akhirnya penulisan hukum dengan

judul “Kajian Terhadap Putusan Hakim Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby Tentang

Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar” telah selesai guna melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya

Yogyakarta. Penulisan ini merupakan bahasan tentang putusan hakim atas kasus pengadaan

alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar yang dilakukan oleh suatu badan hukum di

Surabaya yang pertimbangan putusannya menggunakan Undang – Undang Perlindungan

Konsumen dan Undang – Undang Kesehatan. Penulis merasa bahwa hasil putusan hakim

dalam kasus tersebut merupakan permasalahan yang dapat dijawab dari teori hukum dan

peraturan perundang – undangan yang dipelajari oleh penulis di Program Kekhususan Sistem

Peradikan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Proses penulisan skripsi ini tentu saja tidak dapat berjalan baik tanpa adanya bantuan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada :

1. Ibu Dr. Y. Sari Murti Widiyastuti, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Atma Jaya Yogyakarta beserta seluruh jajaran Wakil Dekan.

2. Ibu Dr. Anny Retnowati, S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah sabar membantu, mengarahkan, dan membimbing penulis dalam penulisan

hukum ini.

3. Sasmoko Adhi Waluyo dan Nina Richi selaku orangtua, Florensia Shinta Dewi

Prasasti selaku saudari yang selalu mendampingi, mendoakan, dan menyemangati

dalam setiap proses perkuliahan hingga proses penulisan skripsi ini berlangsung.

iv
4. Sri Muttakiun, Kania Asa, Yudha Situmorang, Kirana Kaulika, Mira Pradhika, Vena

Riana, Khania Olivia, Kristalinda Monica, Miraldo Jeftason, Alberthin Lucas,

Catharina Anindita, Gerardus Hencel, Naufaldi Atallah, Abigail Lydia, Abigail

Tiananda, Gerardus Andika, Diannitami, Sukma Ayu, Suryaninggar Amma, Bhumi,

Fernando Abel, Shania Flowrence, Sherina Laurencia, Andrew, Anastasia Priska,

Rahil Irinaila, Rezqita, Marvel Eleazar, Cok Virsa, Fereno Mustakim, Ria Eripka

yang selalu mendampingi, mendoakan, dan menyemangati penulis selama proses

penulisan skripsi ini berlangsung.

5. Pak Salim, Ibu Devi, Antoni Salim, Danik Dwi Sari Saputri, Novan Salim, selaku

kerabat yang selalu mendoakan dan menyemangati penulis selama proses penulisan

skripsi ini berlangsung.

6. Jonathan Salim yang pernah mendukung dan mendampingi penulis selama proses

perkuliahan.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu yang telah membantu

penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis sadar bahwa banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu

penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun untuk menjadikan skripsi

ini bermanfaat bagi setiap pembaca dan tentu saja bagi penulis.

Yogyakarta, 13 Desember 2021

Penulis

Shania Eka Prasasti

v
ABSTRACK

The title of this research is a Review of The Judge’s Decision Number 1397/Pid.Sus/2020/
PN Sby About Procurement of Medical Equipments That Do Not Have License. There are
private legal entities who made hand sanitizer independently, as done by the owner of CV
Medistra Sarana Sukses which is proven that they sold hand sanitizer before the license from
BPOM for the hand sanitizer is issued. The purpose of this study is to know and analyze the
consideration of the judge's verdict and the conformity between the Law on Health and the
judge's ruling contained in the Criminal Verdict Number 1397/Pid.Sus/2020/ PN Sby About
Procurement of Medical Equipments That Do Not Have License. This research uses a
normative writing method that focuses on positive legal norms in the form of laws and
regulations regarding health and consumer protection, and also judge rulings contained in
the Criminal Verdict Number 1397/Pid.Sus/2020/ PN Sby About Procurement of Medical
Equipments That Do Not Have License. The conclusion of this research is that the judge in
deciding each case does not always stick to the prosecutor's claim because the judge has the
right to freely choose which charges are proven, because with high threats even the judge
can give a light verdict even pure freedom and the judge in this case has reflected the
principles of certainty, expediency and justice.
Keywords : Review Judge’s Decision, Hand Sanitizer, Medical Equipments Without
License.

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................................ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. iv
ABSTRACK ............................................................................................................................. vi
BAB I ......................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian .......................................................................................................... 4
E. Keaslian Penelitian.......................................................................................................... 5
F. Batasan Konsep ............................................................................................................... 9
G. Metode Penelitian ......................................................................................................... 10
BAB II...................................................................................................................................... 14
A. Tinjauan Umum Tentang Pertimbangan Hakim ........................................................... 14
B. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim..................................................................... 17
C. Tinjauan Umum Undang – Undang Kesehatan ............................................................ 24
D. Tinjauan Putusan Hakim No. 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby tentang Pengadaan Alat
Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar .......................................................................... 25
1. Kasus Posisi Putusan ................................................................................................. 25
2. Dakwaan dan Tuntutan.............................................................................................. 26
3. Analisis ...................................................................................................................... 29
BAB III .................................................................................................................................... 37
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 37
B. Saran ( dari manfaat penelitian anda hanya untuk praktisi hukum danhakim khususnya
jadi saran andan harus untuk mereka ) ................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 41

vii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan adalah salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia karena

kesehatan sangat dibutuhkan untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Terlebih di

masa sekarang dimana dunia sedang dilanda wabah virus yang merenggut banyak jiwa.

Sudah lebih dari 2 (dua) tahun terakhir, hampir 200 negara di Dunia termasuk Indonesia

terjangkit oleh Virus Corona atau yang biasa disebut Covid-19. Virus Corona adalah penyakit

menular yang disebabkan oleh sindrom pernapasan akut Corona Virus 2 (Sars-CoV-2)1. Virus

Corona pertama kali ditemukan pada Desember 2019 di Ibukota Provinsi Hubei China,

Wuhan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 30 Januari 2020, mendeklarasikan

wabah Corona Virus sebagai Kesehatan Masyarakat Darurat Internasional (PHEIC), dan pada

11 Maret 2020 mendeklarasikan pandemi. Berbagai upaya pencegahan penyebaran virus

Covid-19 pun dilakukan oleh pemerintah di negara-negara di dunia guna memutus rantai

penyebaran virus Covid-19 ini, yang disebut dengan istilah lockdown dan social distancing2.

Selain itu WHO juga menghimbau masyarakat untuk rajin mencuci tangan teratur,

menggunakan hand sanitizer, menghindari tempat ramai, dan mengurangi frekuensi

menyentuh bagian wajah, menutup mulut dan hidung dengan siku saat bersin / batuk, dan jika

mengalami demam / batuk / sulit nafas segera melakukan pemeriksaan medis3.

Pada awal 2020 mayoritas masyarakat Indonesia melakukan panic buying terhadap

kebutuhan pangan, alat-alat kesehatan, serta alat-alat kebersihan. Salah satu yang banyak

1
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, FAQ Corona Virus, hlm. 1,
https://www.kemkes.go.id/article/view/20030400008/FAQ-Coronavirus.html, diakses 21 September 2021.
2
Eman Supriatna, 2020, “Wabah Corona Virus Disease (Covid 19) Dalam Pandangan Islam”, Jurnal Sosial &
Budaya, Vol. 7 No. 6 (2020), FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 3.
3
Prihastomo Wahyu Widodo, Virus Corona Terus Menyebar, Ini 8 Saran WHO Untuk Mencegah Penularannya,
hlm. 1, https://internasional.kontan.co.id/news/virus-corona-terus-menyebar-ini-8-saran-who-untuk-mencegah-
penularannya, diakses 21 September 2021.

1
2

dicari dan dibutuhkan masyarakat adalah hand sanitizer. Panic Buying ini mengakibatkan

produsen perlengkapan medis berbondong-bondong memproduksi hand sanitizer agar

mendapatkan peningkatan penjualan. Keadaan ini menyebabkan peningkatan permintaan

jenis – jenis bahan kimia tertentu seperti ethanol oleh para produsen hand sanitizer,

disinfektan, dan antiseptik. Pihak Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) mengatakan

peningkatan bahan kimia tercatat 10% - 15% hingga mencapai sekitar 220.000 kiloliter/tahun

dibanding kondisi normal, dan tetap bisa terus meningkat apabila virus ini semakin sulit

terkendali. PT. Kimia Farma Tbk (KAEF) yang juga memproduksi antiseptik bermerek

Antifect tengah memaksimalkan kapasitas produksi guna memenuhi pesanan4.

Bersesuaian dengan hal tersebut, dalam kasus yang penulis teliti juga terdapat badan

hukum swasta yang membuat hand sanitizer secara mandiri, seperti yang dilakukan oleh

pemilik CV Medistra Sarana Sukses, Bambang Sutikno bin Subayan. Dimana Bambang

terbukti memperjual belikan hand sanitizer sebelum izin edar dari BPOM untuk hand

sanitizer tersebut dikeluarkan. Bahan dan peralatan yang ditemukan anggota Satreskoba

Polrestabes Surabaya adalah satu dus yang berisi 37 botol antiseptik gel atau hand sanitizer

ukuran 500 ml dan 250 ml, alkohol 70%, klorin, alat dan bahan kimia lainnya. Bahan – bahan

hand sanitizer tersebut dicampur semua bahan menjadi satu ke dalam gelas lalu diaduk

dengan komposisi dan takaran hingga menjadi satu cairan lalu dimasukkan ke dalam botol

untuk diedarkan. Bambang juga melabeli sendiri botol hand sanitizer siap edar dengan

dicantumkan masa kadaluwarsa 1 (satu) tahun. Perbuatan Bambang tersebut melanggar Pasal

62 Ayat (1) Jo. Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan i Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen yang berisi :

4
Wahyu T. Rahmawati, 2020, Kenaikan Permintaan Handsanitizer dan Antiseptik Mengerek Permintaan Bahan
Kimia, hlm. 1, https://industri.kontan.co.id/news/kenaikan-permintaan-hand-sanitizer-dan-antiseptik-mengerek-
permintaan-bahan-kimia, diakses 21 September 2021.
3

Pasal 62 Ayat (1) : “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2),
dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).”
Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan i : “Pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.”
Perbuatan Bambang juga melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang – Undang

Kesehatan seperti yang tertulis pada Pasal 197 jo Pasal 106 ayat (1) Undang – Undang

Kesehatan yang menyatakan :

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan


sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”
Berdasarkan putusan terlihat bahwa pembuatan dan proses jual beli hand sanitizer ini

melanggar ketentuan yang terdapat pada Undang – Undang Kesehatan. Jaksa Penuntut

Umum mendakwakan pasal tersebut kepada terdakwa, bersamaan dengan Undang – Undang

Perlindungan Konsumen di subsidair. Bila ditinjau lebih dalam, Undang – Undang Kesehatan

ini mengandung asas lex specialis derogat legi generali dan lex posterior derogat legi priori.

Realitanya, dalam kasus ini hakim memutus dengan dakwaan subsidair yaitu menggunakan

Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan uraian diatas dengan adanya status quo putusan hakim yang

mengedepankan Undang-Undang Perlindungan Konsumen alih-alih Undang-Undang

Kesehatan, penulis tertarik untuk meneliti pertimbangan hakim yang secara mutatis mutandis

bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi generalis dan asas lex posterior derogat
4

legi priori. Penulisan hukum ini ditulis dengan judul “Kajian Terhadap Putusan Hakim

Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby Tentang Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak

Memiliki Izin Edar.”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diangkan dalam penulisan hukum ini adalah:

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Pidana Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby

terkait Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar?

2. Bagaimanakah putusan pidana tersebut terkait pengadaan alat kesehatan yang tidak

memiliki izin edar tersebut menurut Undang - Undang Kesehatan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui dan menganalisis pertimbangan putusan hakim dalam Putusan Pidana

Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby terkait pengadaan alat kesehatan yang tidak

memiliki izin edar yang hanya menggunakan dasar Undang – Undang Perlindungan

Konsumen.

2. Mengetahui dan menganalisis kesesuaian antara aturan dalam Undang – Undang

Kesehatan dengan putusan hakim yang terdapat dalam Putusan Pidana Nomor

1397/Pid.Sus/2020/PN Sby terkait pengadaan alat kesehatan yang tidak memiliki izin

edar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat teoritis maupun praktis pada

sistem peradilan, antara lain sebagai berikut :


5

1. Manfaat Teoritis : dapat memberikan pengetahuan dan saran di bidang Hukum tentang

Sistem Peradilan khususnya pengetahuan mengenai pertimbangan putusan hakim dalam

perkara pidana.

2. Manfaat Praktis :

a. Dapat menjadi pengetahuan dan saran bagi praktisi hukum, khususnya bagi para

hakim yang menangani perkara yang berhubungan dengan Undang – Undang

Kesehatan.

b. Sebagai prasyarat untuk menyelesaikan program S-1 Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas atma jaya Yogyakarta.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian hukum dengan judul Kajian Terhadap Putusan Hakim Nomor

1397/Pid.Sus/2020/PN Sby Tentang Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin

Edar merupakan hasil buah pemikiran penulis sendiri. Sepanjang pengetahuan penulis, karya

ini bukan merupakan duplikasi atau plagiasi dari penelitian lain. Letak kekhususan penelitian

ialah mengetahui pertimbangan hakim dan juga kendala yang dihadapi dalam memutus

perkara hingga putusan bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi generalis dan

asas lex posterior derogat legi priori.

Berikut penulis sertakan tiga penulisan hukum sebagai pembanding untuk menunjukkan

perbedaan dengan penelitian hukum ini :

1. M.Raihan Husain, B11113306, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar,

2017, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pengedaran Sediaan Farmasi

Tanpa Izin Edar (Studi Kasus No. 36/Pid.B/2015/PN.Pkj). Dengan rumusan

masalah adalah, bagaimana penerapan hukum dalam perkara tindak pidana pengedaran

sediaan farmasi tanpa izin edar Putusan No. 36/Pid.B/2015/PN.Pkj? dan Bagaimana
6

pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana

pengedaran sediaan farmasi tanpa izin edar Putusan No.36/Pid.B/2015/PN.Pkj?

Hasil penelitian dari skripsi tersebut adalah bahwa penerapan hukum pidana materiil

terhadap kasus tersebut telah sesuai dengan fakta hukum dengan sanksi pidana dan

pidana denda seperti yang tertulis dalam Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan yang berisi “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).” Sehingga pelaku dianggap

dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan putusan yang dijatuhkan

hakim yaitu pidana penjara selama 5 (lima) bulan. Namun, penulis skripsi tersebut

memiliki pendapat yang berbeda dengan putusan hakim. Penulis beranggapan sanksi

yang diberikan belum menimbulkan efek jera bagi pelaku. Penulis beranggapan

seharusnya hakim menjatuhkan sanksi pidana seperti tuntutan penuntut umum atau

lebih berat karena yang dilakukan pelaku telah merugikan masyarakat luas dan

menyangkut kesehatan masyarakat.

Perbedaan skripsi pembanding dengan skripsi yang akan penulis susun ada pada

objek penelitian dan materi yang dikaji. Dimana dalam skripsi pembanding objek yang

digunakan adalah Putusan No. 36/Pid.B/2015/PN.Pkj dimana objek perkara berupa obat

keras dan obat tradisional yang tidak memiliki izin edar. Dengan materi yang dikaji

adalah mengenai obat – obatan ilegal tersebut, serta pertimbangan hakim yang memberi

sanksi kepada pelaku hanya 5 (lima) bulan penjara.. Sedangkan objek penelitian pada

skripsi yang akan penulis susun adalah Putusan Hakim Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN

Sby dimana objek perkaranya berupa hand sanitizer yang diedarkan sebelum izin
7

BPOM keluar. Dengan materi yang dikaji adalah pertimbangan hakim yang dalam

putusannya tidak menggunakan Undang – Undang Kesehatan selain Undang – Undang

Perlindungan Konsumen.

2. Molek Syahpitri Saragih, 148400095, Fakultas Hukum Universitas Medan Area, 2018,

Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Dalam Memproduksi /

Mengedarkan Obat – Obatan Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar (Studi

Putusan No. 1169/Pid.Sus/2015/PN.Mdn). Dengan rumusan masalah adalah,

Bagaimana pengaturan hukum tentang larangan memproduksi dan mengedarkan obat-

obatan kesehatan yang tidak memiliki izin edar di Indonesia? ; Bagaimana penegakan

hukum pidana terhadap pelaku yang memproduksi dan mengedarkan obat-obatan

kesehatan yang tidak memiliki izin edar? ; dan Bagaimana upaya untuk menanggulangi

pelaku yang mengedarkan obat-obatan kesehatan yang tidak memiliki izin edar?

Hasil penelitian dari skripsi tersebut adalah peraturan yang mengatur tentang

larangan memproduksi dan mengedarkan obat-obatan tanpa izin edar ada pada Undang-

Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Dalam kasus yang diangkat pada

skripsi pembanding, penegakan hukum pidana terhadap pelaku adalah pidana penjara

selama 1 (satu) tahun dengan denda Rp 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) dan subsidair 3

(tiga) bulan kurungan. Lalu upaya untuk menanggulangi pelaku tindak pidana serupa

adalah bagian pemeriksaan dan penyidik BPOM secara rutin melakukan pengawasan

dan penyidakan terhadap sarana yang mengedarkan dan memproduksi obat-obatan

tanpa izin edar tersebut.

Perbedaan skripsi pembanding dengan skripsi yang akan penulis susun ada pada ada

pada objek penelitian dan materi yang dikaji. Dimana dalam skripsi pembanding objek
8

yang digunakan adalah Putusan No. 1169/Pid.Sus/2015/PN.Mdn dimana objek

perkaranya berupa obat-obatan kesehatan yang di edarkan tanpa memiliki izin edar.

Dengan materi yang dikaji adalah macam obat-obatan yang di edarkan, hukum yang

digunakan untuk mengadili pelaku, dan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi

kejahatan serupa. Sedangkan objek penelitian pada skripsi yang akan penulis susun

adalah Putusan Hakim Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby dimana objek perkaranya

berupa hand sanitizer yang diedarkan sebelum izin BPOM keluar. Dengan materi yang

dikaji adalah pertimbangan hakim yang dalam putusannya tidak menggunakan Undang

– Undang Kesehatan selain Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

3. Ni Putu Dinar Nareswari dan Ida Ayu Sukihana, Fakultas Hukum Universitas Udayana,

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penjualan Hand Sanitizer yang

Dikemas Ulang Tanpa Izin Edar. Dengan rumusan masalah adalah, Bagaimana

perlindungan hukum terhadap konsumen terkait penjualan hand sanitizer yang dikemas

ulang tanpa izin edar? Dan Bagaimana bentuk tanggung jawab pelaku usaha terkait

penjualan hand sanitizer yang dikemas ulang tanpa izin edar?

Hasil penelitian dari penulisan hukum tersebut adalah konsumen berhak untuk

menuntuk hak atas keselamatan, kenyamanan, dan keamanan dalam mengkonsumsi

barang dan atau jasa sesuai ketentuan Pasal 4 UUPK berkaitan dengan kewajiban

pelaku usaha dalam menjalankan usahanya yang tercantum dalam Pasal 7 UUPK.

Pelaku usaha yang memperdagangkan hand sanitizer tanpa izin edar dibebankan sanksi

sesuai yang telah diatur di dalam UUPK, diantaranya sanksi perdata berupa ganti rugi,

kompensasi, dan rehabilitasi yang wajib dilaksanakan dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari

setelah pembelian; sanksi pidana berupa kurungan dan denda; dan sanksi administratif

berupa ganti rugi dengan jumlah paling besar sebanyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta

Rupiah) yang ditetapkan apabila pelaku usaha tidak menyelesaikan tanggung jawab
9

perdatanya dalam waktu 7 (tujuh) hari yang telah ditentukan. Maka, masyarakat harus

lebih jeli dalam memahami dan meneliti keabsahan produk farmasi, alat kesehatan, dan

PKRT yang dikonsumsinya, serta lebih aware terhadap hak-hak konsumen yang

melekat pada dirinya, sertya agar peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan izin PKRT dikaji dan diperbaharui secara berkala, karena Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku saat ini hanya memuat ketentuan mengenai penarikan dan

pemusnahan bagi barang-barang yang izin edarnya tidak sesuai dengan isi dan mutu

produk saja, sehingga bagi barang illegal yang tidak memiliki izin edar, belum ada

dasar hukum yang jelas untuk bisa dilakukan penarikan dan pemusnahan.

Perbedaan skripsi pembanding dengan skripsi yang akan penulis susun ada pada

materi yang dikaji. Pada skripsi pembanding, materi yang dikaji berfokus pada

perlindungan hukum konsumen dan pertanggung jawaban bagi konsumen terkait

penjualan hand sanitizer yang dikemas ulang tanpa izin edar. Sedangkan materi yang

akan penulis susun tidak berfokus pada perlindungan konsumen melainkan pada

putusan hakim yang paling tepat bagi pelaku yang memperjual belikan hand sanitizer

tanpa izin.

F. Batasan Konsep

Adapun berdasarkan judul penelitian ini, batasan konsep dari beberapa variabel judul

adalah sebagai berikut :

1. Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi

wewenang itu, diucap kan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan

suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Putusan itu dituntut untuk suatu keadilan

dan yang dipentingkan dan menentukan adalah fakta atau peristiwanya, peraturan

hukum adalah suatu alat. maka dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah
10

pertimbangan hukumnya. sehingga mempunyai alasan yang objektif dan memiliki

kekuatan hukum. agar putusan tersebut tidak dapat diubah lagi.5

2. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak

mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan

meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,

dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh (UU No. 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan Pasal 1 Angka 5)

3. Izin (vergunning) adalah perkenaan/izin dari pemerintah yang disyaratkan untuk

perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada

umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki. 6

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun karya tulis ini, penulis menggunakan

metode hukum normatif. Penelitian ini berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan

perundang-undangan mengenai kesehatan dan perlindungan konsumen dan Putusan Hakim

Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby Tentang Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki

Izin Edar.

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah data sekunder yaitu

terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer yang meliputi :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 286.
6
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.198.
11

2) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan.

5) Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat

dan Makanan.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa pendapat hukum yang diperoleh dari buku, jurnal,

internet, dan hasil penelitian.

3. Cara pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah

studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara narasumber yang merupakan

salah satu hakim di Indonesia, yaitu bapak Vabiannes Stuart Wattimena, S.H salah satu

hakim Pengadilan Negeri Purwodadi. Studi kepustakaan dan wawancara narasumber

dilakukan dengan tujuan untuk menjadi acuan penulisan yaitu dengan cara memahami buku,

peraturan perundang-undangan, pendapat hukum dan non hukum yang dikemukakan oleh

narasumber berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

4. Analisis Data

Analisis bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dilakukan dengan

lima Langkah yaitu :

1) Deskripsi hukum positif


12

Deskripsi hukum positif dilakukan terhadap bahan hukum primer yang berupa

pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Acara

Pidana, Kesehatan, Perlindungan Konsumen, dan Badan Pengawas Obat dan

Makanan.

1) Sistematisasi hukum positif

Sistematisasi hukum positif dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.

Sistematisasi secara vertikal telah terdapat sinkronisasi antara pasal demi pasal

yang mengatur tentang Kesehatan.

2) Analisis hukum positif

Sistem peraturan perundang undangan terbuka yang aturan hukum dan keputusan

hukum harus dipikirkan dalam suatu hubungan norma hukum yang bertumpu atas

asas hukum dan di balik asas hukum dapat disistematisasikan gejala-gejala

lainnya. Hal tersebut bersifat open system, dapat digunakan untuk mengkaji dan

mengevaluasi. Pelaksanaan penelitian atas putusan hakim tersebut akan dikaji

dengan peraturan yang berlaku.

3) Interpretasi Hukum Positif

Ada 6 (enam) intepretasi hukum positif, tetapi dalam penelitian ini hanya

menggunakan tiga, yaitu :

a) Gramatikal yakni mengartikan suatu term hukum atau suatu bagian kalimat

menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum.

b) Sistematisasi yaitu dengan mendasarkan sistem aturan untuk mengartikan

suatu ketentuan hukum, secara vertikal dan horizontal.

c) Teleologi yang setiap intepretasi pada dasarnya teleologi, artinya setiap

peraturan perundang-undangan memiliki tujuan tertentu.

4) Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder


13

Kedua bahan hukum akan dibandingkan untuk mencari kesenjangan. Bahan

hukum primer yang diperoleh akan digunakan untuk mengkaji bahan hukum

sekunder yang ada. Apakah Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pidana Nomor

1397/Pid.Sus/2020/PN Sby terkait pengadaan alat kesehatan yang tidak memiliki

izin edar telah sesuai dengan hukum positif dan asas yang berlaku di hukum

positif.

5. Proses berfikir/ proses bernalar

Proses berfikif atau proses bernalar digunakan adalah proses deduktif, yaitu menarik

kesimpulan dengan proses umum yang berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

Kesimpulan dari penalaran deduktif akan merupakan suatu kepastian apabila

penyimpulannya dilaksanakan sesuai dengan aturan logika, premis mayornya merupakan

aturan hukum, dan premis minornya sesuai dengan kenyataan atau fakta hukum.7

7
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Cetakan ke 6, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,. ,Jakarta hlm.
47.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tentang Pertimbangan Hakim

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka sehingga kekuasaan ini

harus terbebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan yudisial. Kebebasan dalam

melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk

menegakkan hukum dan keadilan sesuai Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa

keadilan bagi rakyat. Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

Suatu ketentuan universal yang menjadi ciri suatu negara hukum adalah seorang hakim

yang bebas dan tidak memihak8. Seorang hakim diwajibkan menegakkan hukum dan keadilan

dengan tidak memihak. Istilah tidak memihak ini diartikan tidak harfiah, tidak memihak

dalam pengertian tersebut artinya hakim tidak dibenarkan untuk memilih (clien) yang akan

dibela karena dalam menjatuhkan putusannya harus memihak kepada kebenaran. Tidak

memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Seperti yang

tertulis dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 pasal 4 ayat (1) bahwa “Pengadilan

mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

Dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, terlebih putusan pemidanaan,

hakim harus benar-benar menghayati dan meresapi arti amanat dan tanggung jawab yang

diberikan yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi kewenangannya, masing-masing

kearah tegaknya hukum itu sendiri yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dengan

8
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 94.

14
15

berlandaskan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Lilik mulyadi mengemukakan

bahwa Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari

suatu delik apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan delik yang

didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhaadap amar/

diktum putusan hakim.9

Dalam praktik peradilan, terdapat pertimbangan pada putusan hakim sebelum putusan

dijatuhkan. Pertimbangan hakim tersebut ditarik dari fakta-fakta dalam persidangan yang

timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan pada saksi, keterangan terdakwa

dan barang bukti.

Pertimbangan hakim dapat dibagi menjadi 2 yakni:

a. Pertimbangan yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-

fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-undang ditetapkan

sebagaimana yang harus dimuat dalam putusan misalnya dakwaan penuntut umum,

keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti, dan pasal-pasal dalam

peraturan hukum pidana.

b. Pertimbangan non-yuridis

Pertimbangan non-yuridis dapat dilihat dari latar belakang terdakwa, kondisi

terdakwa dan agama terdakwa.10

Fakta-fakta persidangan yang dihadirkan,berorientasi dari lokasi kejadian tempat

kejadian, dan modus operandi tentang cara tindak pidana itu dilakukan. Selain itu dapat pula

diperhatikan aspek akibat langsung dari perbutan terdakwa, jenis barang bukti yang

9
Lilik Mulyadi, 2007, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan Praktek Pradilan, Mandar
Maju, Bandung, Hlm. 193.
10
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.212.
16

digunakan, serta perbuatan terdakwa untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Putusan hakim mempertimbangkan unsur-unsur delik yang didakwakan oleh penuntut umum

apabila fakta-fakta persidangan telah terungkap, barulah, setelah sebelumnya

dipertimbangkan korelasi antara fakta-fakta, delik yang didakwakan dan unsur-unsur

kesalahan terdakwa. Barulah kemudian majelis hakim mempertimbangkan dan meneliti

terpenuhinya unsur-unsur delik pidana yang didakwakan terhadap terdakwa dan terbuti secara

sah menyakinkan menurut hukum. Selain pertimbangan yuridis dari delik yang didakwakan,

hakim juga harus menguasai aspek teoritik, pandangan doktrin, yurisprudensi, dan posisi

kasus yang ditangani, barulah kemudian secara limitatif ditetapkan pendiriannya. Ada tiga

bentuk tanggapan dan pertimbangan hakim antara lain:11

a. Ada majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan secara detail,

terperinci dan subtansial terhadap tuntutan pidana dari penuntut umum dan pledoi

dari terdakwa atau penasihat hukum.

b. Ada pula majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan secara selintas

terhadap tuntutan pidana dari penuntut umum dan pledoi dari terdakwa atau

penasihat hukum.

c. Ada majelis hakim sama sekali tidak menanggapi dan mempertimbangkan terhadap

tuntutan pidana dari penuntut umum dari pledoi dari terdakwa atau penasihat hukum.

Hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan terdakwa tidak jujur, terdakwa

tidak mendukung program pemerintah, terdakwa sudah pernah dipidana sebelumnya, dan lain

sebagainya, dalam praktek putusan hakim dipertimbangkan setelah pencantuman unsur-unsur

tersebut. Sementara hal-hal yang bersifat meringankan ialah terdakwa belum pernah dipidana,

terdakwa bersikap baik selama persidangan, terdakwa mengakui kesalahannya, terdakwa

masih muda, dan lain sebagainya.

11
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 196.
17

B. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim

Putusan pengadilan adalah Putusan atau pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang pengadilan , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang

menyatakan bahwa “Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-indang ini”. Pengambilan

putusan oleh hakim di pengadilan adalah didasarkan pada surat dakwaan dan segala bukti

dalam sidang pengadilan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 191 KUHAP. Surat dakwaan

dari penuntut umum merupakan dasar hukum acara pidana, karena dengan berdasarkan pada

dakwaan itulah pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan. Dalam suatu persidangan di

pengadilan seorang hakim tidak dapat menjatuhkan pidana diluar batas-batas dakwaan.12

Surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, tetapi hakim

tidak terikat kepada surat dakwaan tersebut. Hal ini didasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang

menyatakan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Syarat bagi hakim untuk menjatuhkan putusan pidana terhadap suatu perkara pidana adalah :

b. Adanya alat bukti yang cukup dan sah.

c. Adanya keyakinan hakim.

Mengenai alat bukti yang sah, ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP bahwa:

a. Alat bukti yang sah yaitu:

1) Keterangan saksi;

2) Keterangan ahli;

3) Surat;
12
Andi Hamzah, 1996, Pengantar Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm. 167.
18

4) Keterangan terdakwa

b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Menurut Andi

Hamzah, ada 5 hal yang menjadi tanggung jawab dari seorang hakim, yaitu13:

1) Justisialis hukum yang dimaksud justisialis adalah mengadilkan.


Jadi putusan hakim yang dalam prakteknya memperhitungkan
kemanfaatan (doel matigheld) perlu diabadilkan. Makna dari
hukum (dezin van het recht) terletak dalam justisialisasi dari pada
hukum.
2) Penjiwaan hukum dalam berhukum (recht doen) tidak boleh
merosot menjadi sesuatu adat yang hampa dan tidak berjiwa,
melainkan harus senantiasa diresapi oleh jiwa untuk berhukum.
Jadi hakim harus memperkuat hukum dan harus tampak sebagai
pembela hukum dalam memberi putusan.
3) Pengintegrasian hukum hakim perlu senantiasa sadar bahwa
hukum dengan kasus tertentu merupakan ungkapan hukum pada
umumnya.
4) Totalitas hukum maksudnya menempatkan hukum keputusan
hakim dalam keseluruhan kenyataan. Hakim melihat dari segi
hukum, dibawah ia melihat kenyataan ekonomis dan sosial
sebaliknya diatas hakim melihat dari segi moral dan religi yang
menuntut nilai-nilai kebaikan dan kesucian.
5) Personalisasi hukum Personalisasi hukum ini mengkhususkan
keputusan kepada personal (kepribadian) dari pihak yang mencari
keadilan dalam proses. Perlu diingat dan disadari bahwa mereka
yang berperkara adalah manusia sebagai pribadi yang mempunyai
keluhuran. Dalam personalisasi hukum ini memuncaklah tanggung
jawab hakim sebagai pengayom (pelindung) disini hakim dipanggil
untuk bisa memberikan pengayoman kepada manusia-manusia
yang wajib dipandangnya sebagai kepribadian yang mencari
keadilan.
Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari hakim di dalam persidangan,

menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, maka putusan Hakim adalah pernyataan

pendapat dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan

memiliki hukum yang berkekuatan tetap. Berlandaskan pada asas dari teoritik dan praktik

peradilan maka putusan Hakim itu merupakan:

“Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan


perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan
prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau

13
Ibid., Hlm 10
19

bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis
dengan tujuan menyelesaikan perkara”14
Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak

dari Surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang

pengadilan yang pada dasarnya mempunyai peranan yang menentukan dalam menegakkan

hukum dan keadilan, oleh karena itu didalam menjatuhkan putusan, hakim diharapkan agar

selalu berhati-hati, hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar putusan yang diambil tidak

mengakibatkan rasa tidak puas, tidak bertumpu pada keadilan yang dapat menjatuhkan

wibawa pengadilan. Hakim dalam menentukan hukuman diharapkan berpandangan tidak

hanya tertuju apakah putusan itu sudah benar menurut hukum, melainkan juga terhadap

akibat yang mungkin timbul, dengan berpandangan luas seperti ini maka hakim

berkemungkinan besar mampu untuk menyelami kenyataan-kenyataan yang hidup dalam

masyarakat dan juga akan lebih dapat memahami serta meresapi makna dari putusan yang

dijatuhkan, dalam dunia peradilan dibedakan antara putusan dan penetapan hakim. Putusan

dalam bahasa Belanda disebut dengan vonis, sedangkan penetapan hakim dalam bahasa

Belanda disebut dengan beschikking. Putusan hakim dalam acara pidana adalah diambil

untuk memutusi suatu perkara pidana, sedangkan penetapan diambil berhubungan dengan

suatu permohonan, biasanya dalam perkara perdata seperti pengangkatan wali atau

pengangkatan anak.15

Pengertian putusan terdapat dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segalamtuntutan hukum dalam hal menurut cara yang

diatur dalam undangundang. Menurut ketentuan Pasal 193 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), putusan pidana dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa

14
Lilik Mulyadi , Op. Cit., hlm. 127.
15
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 45.
20

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan

rumusan KUHAP tersebut putusan hakim dapat digolongkan ke dalam 2 jenis yaitu:

a. Putusan Akhir

Putusan ini dapat terjadi apabila majelis hakim memeriksa terdakwa yang

hadir di persidangan sampai pokok perkaranya selesai diperiksa. Maksud dari pokok

perkaranya selesai diperiksa adalah sebelum menjatuhkan putusan telah melakukan

proses-proses berupa sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,

pemeriksaan identitas dan peringatan ketua majelis kepada terdakwa untuk

mendengar dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di dalam persidangan

serta pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum.

b. Putusan Sela

Putusan yang bukan putusan akhir ini mangacu pada ketentuan Pasal 156 ayat

(1) KUHAP, yaitu dalam penasihat hukum mengajukan keberatan atau eksepsi

terhadap surat dakwaan penuntut umum. Penetapan atau putusan sela ini mengakhiri

perkara apabila terdakwadan penuntut umum menerima apa yang diputuskan oleh

majelis hakim tersebut. Akan tetapi, secara material perkara tersebut dapat dibuka

kembali apabila perlawanan dari penuntut umum oleh Pengadilan Tinggi dibenarkan

sehingga Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri melanjutkan

pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Putusan sela ini bukan putusan akhir

karena disamping memungkinkan perkara tersebut secara material dibuka kembali

karena adanya perlawanan yang dibenarkan, juga dikarenakan dalam hak ini materi

pokok perkara atau pokok perkara yang sebenarnya yaitu dari keterangan para saksi,

terdakwa serta proses berikutnya belum diperiksa oleh majelis hakim.16 Jadi, bentuk

putusan yang dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak

16
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 47.
21

dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di

sidang pengadilan. Bertitik tolak dari kemungkinan-kemungkinan tersebut putusan

yang dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara dapat berbentuk :

1) Putusan Bebas :

Putusan bebas adalah putusan yang menyatakan terdakwa dinyatakan bebas

dari tuntutan hukum. Dibebaskan dari tuntutan hukum berarti terdakwa dibebaskan

dari pemidanaan atau dengankata lain tidak dipidana. Menurut Pasal 191 ayat (1)

KUHAP, terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum apabila pengadilan

berpendapat dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas

perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis Menurut Yahya Harahap ialah putusan yang

dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan tidak memenuhi asas pembuktian

menurut undang-undang secara negatif dan tidak memenuhi asas batas minimum

pembuktian.17 Maksud tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang

secara negatif adalah bahwa pembuktian yang diperoleh dipersidangan tidak cukup

membuktikan kesalahan terdakwa. Sedangkan yang dimaksud tidak memenuhi asas

batas minimum pembuktian adalah untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti.

2) Putusan Pelepasan

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2)

KUHAP, yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan itu tidak

merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan

hukum”.

3) Putusan Pemidanaan

17
Yahya Harahap, 2016, Ed.2, Cet.15, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta, Hlm. 347.
22

Penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian

pengadilan hal ini sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika pengadilan

berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap

terdakwa atau dengan penjelasan lain. Pengadilan berpendapat dan menilai apabila

terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas

minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP. Kesalahan

terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.

Putusan hakim dapat dieksekusi bila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan

hukum tetap, yang telah diterima oleh para pihak yang bersangkutan. Putusan yang

berupa pemidanaan berupa pidana seperti yang diatur dalam Pasal 10 KUHP.

Penetapan Tidak Berwenang Mengadili diatur dalam Pasal l84 KUHAP yang intinya

adalah sebagai berikut:

a) Karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah

hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, atau

b) Sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan

atau ditahan berada di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak

pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain,

sedang saksi-saksi yang dipanggilpun lebih dekat dengan Pengadilan

Negeri tempat di mana tindak pidana dilakukan dan sebagainya.

Apabila terjadi hal-hal seperti yang dirumuskan Pasal 84 KUHAP

tersebut, Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara

tersebut, tidak berwenang untuk mengadili.


23

4) Putusan Yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Pasal 156 ayat (1)

KUHAP, tidak menjelaskan pengertian dakwaan tidak dapat diterima, dan tidak

dijelaskan patokan yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan dakwaan tidak

dapat diterima. Menurut Yahya Harahap pengertian tentang dakwaan tidak dapat

diterima adalah apabila dakwaan yang diajukan mengandung cacat formal atau

mengandung kekeliruan beracara. Kekeliruan tersebut dapat mengenai orang yang

didakwa, ataupun mengenai susunan surat dakwaan.18

5) Putusan Yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Menurut Pasal 143

KUHAP syarat yang harus dipenuhi surat dakwaan adalah harus memenuhi syarat

formil dan syarat materiil.

a) Syarat Formil memuat hal – hal yang berhubungan dengan :

ii. Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum.

iii. Nama lengkap, tempa tinggal, umur, atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.

b) Syarat Materiil

d. Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang

didakwakan.

e. Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Surat dakwaan

yang dinyatakan batal demi hukum adalah apabila tidak memenuhi unsur

dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu tidak memenuhi syarat

materiil diatas.

18
Matheos F. Santos, 2021, “Kajian Hukum Eksepsi Atas Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Menurut Ketentuan
Pasal 156 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981”, Lex Crimen Vol. X/No. 6/Mei/2021, Universitas Sam
Ratulangi, hlm. 188.
24

C. Tinjauan Umum Undang – Undang Kesehatan

Dasar peraturan yang mengatur pelayanan bagi kesehatan tertulis dalam Undang –

Undang Kesehatan. Dalam Undang-undang Kesehatan termuat peraturan berbagai hal pokok

tentang kesehatan, yaitu peraturan tentang:

a. Ketentuan umum yang memuat istilah dan pengertian berbagai hal tentang kesehatan;

b. Asas dan tujuan pembangunan kesehatan, diselenggarakan dengan berasaskan peri

kemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan

kewajiban, keadilan, gender, non diskriminatif dan norma-norma agama yang bertujuan

untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;

c. Tanggung jawab pemerintah dalam merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,

membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan

terjangkau oleh masyarakat;

d. Hak dan kewajiban dalam memperoleh pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, dan

terjangkau, untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan, dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;

e. Sumber daya di bidang kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan;

f. Upaya kesehatan yang diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative dan terpadu menyeluruh, dilaksanakan

secara yang berkesinambungan;

g. Pengawasan, penyidikan dan ketentuan pidana sebagai upaya untuk melindungi

masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman.

Pemerintah telah menetapkan bahwa alat kesehatan dimana hand sanitizer termasuk

didalamnya, hanya dapat diedarkan / diperjual belikan setelah mendapat izin edar , hal ini

diatur dalam Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 1 ayat (4) Undang – Undang Kesehatan. Sementara
25

itu, ketentuan mengenai pidana terkait pengedaran alat kesehatan tanpa izin edar diatur dalam

Pasal 197 jo. Pasal 106 ayat (1) Undang – Undang Kesehatan yang menetapkan bahwa setiap

orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat

kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp. 1.500.000.000,00. (satu miliar lima ratus juta rupiah).

D. Tinjauan Putusan Hakim No. 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby tentang Pengadaan Alat

Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar

1. Kasus Posisi Putusan

CV Medistra Sarana Sukses (MSS) merupakan salah satu perusahaan yang

bergerak dalam bidang usaha barang/jasa dagangan utama berupa bahan kimia (yang

tidak dilarang), obat hewan, pestisida, alat kesehatan, alat kedokteran, alat

laboratorium, alat kesehatan hewan, dan alat peternakan yang dimiliki oleh Bambang

Sutikno. Melihat keadaan saat genting dimana permintaan hand sanitizer sedang

banyak-banyaknya, Bambang Sutikno selaku bos dari CV Medistra Sarana Sukses

memanfaatkan kesempatan tersebut dengan ikut memproduksi hand sanitizer. Jumat

tanggal 5 Maret 2020 Pukul 15.00 WIB di kantor CV MSS yang terletak di Jalan

Medayu Selatan XI/J-48, Kelurahan Medokan Ayu, Kecamatan Rangkut, Kota

Surabaya, petugas dan Polrestabes Kota Surabaya mendapat informasi bahwa

perusahaan Bambang Sutikno telah memproduksi alat kesehatan berupa cairan kimia

dan antiseptic gel yang sudah diperjual belikan saat belum mendapat izin edar dari

Dinas Perdagangan, Dinas Kesehatan Surabaya, serta BPOM. Menurut keterangan

Suwarti sebagai Jaksa Penuntut Umum, Bambang mengedarkan produk hand sanitizer

tersebut dengan cara memesan secara langsung maupun lewat telepon. Bahan dan

peralatan yang ditemukan saat penggrebekan adalah satu dus berisi 37 botol
26

antiseptik gel atau hand sanitizer ukuran 500 mililiter, alkohol 70 persen, klorin, alat

tuang bahan kimia, dan banyak barang bukti lain. Bambang mencampur semua bahan

menjadi satu ke dalam gelas lalu diaduk dengan komposisi dan takaran hingga

menjadi satu cairan, selanjutnya ia masukkan ke botol untuk diedarkan. Bambang

juga memberi label sendiri botol hand sanitizer yang ia produksi dengan mencetak

label di percetakan wilayah Pucang Anom, yang dalam label tersebut dicantumkan

masa kadaluwarsa 1 (satu) tahun. Perusahaan terdakwa sebenarnya sudah berizin

dengan Izin usaha untuk perdagangan dengan komoditas bahan kimia yang tidak

dilarang, obat hewan, pestisida, alat kesehatan, alat kedokteran, alat laboratorium, alat

kesehatan hewan dan alat peternakan. Hanya saja, untuk memproduksi hand sanitizer,

terdakwa belum mengantongi izin edar. Setelah menjalani berbagai proses

persidangan, pada tanggal 24 Agustus 2020 hakim memutuskan bahwa Bambang

Sutikno bin Subayan dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana

memproduksi dan memperdagangkan barang dan yang tidak memenuhi standar yang

dipersyaratkan oleh ketentuan perundang-undangan seperti yang tertulis pada Pasal 8

angka 1 huruf a tentang Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999). Atas perbuatannya tersebut

Bambang dijatuhi pidana 6 (enam) bulan penjara dengan masa penangkapan dan masa

penahanan yang telah dijalani Bambang dikurangkan seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan.

2. Dakwaan dan Tuntutan

Tuntutan :

1. Menyatakan terdakwa BAMBANG SUTIKNO Bin SUBAYAN terbukti bersalah

melakukan tindak pidana "memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa

yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
27

perundang-undangan, tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposis,, aturan pakai, tan ggal

pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk

pen ggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat" sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 62 Ayat (1) Jo Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan i UU RI No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam dakwaan kami;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa BAMBANG SUTIKNO Bin SUBAYAN

dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam

tahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

- 1 (satu) dus berisi 37 (tiga puluh tujuh) botol antiseptic gel ukuran 500 ml, 1 (satu)

buah antiseptic gel ukuran 250 ml, 1 (satu) buah botol alcohol 70%, 1 (satu) buah ember

besar, 1 (satu) buah botol alcohol 96%, 1 (satu) buah botol chlorib 3%, 1 (satu) buah

botol catgram 3 aseton alkohol, 1 (satu) buah botol HCL 1 N, 3 (tiga) buah alat tuang

bahan kimia, 1 (satu) buah jerigen kosong warna putih, 1 (satu) buah cat ziehi neelen

nethylen blue 0,3%, 22 (dua puluh dua) botol pam ukuran 500 ml, 100 (seratus) botol pam

ukuran 250 ml, 1 (satu) buah hotplate striper, 1 (satu) buah hairdryer, 19 (Sembilan belas)

botol antiseptic gel refiil ukuran 500 ml, 2 (dua) buah botol cairan hayem, 4 (empat) buah

botol cairan buffer phosphate, 4 (empat) buah botol cairan cat wriht, 1 (satu) buh botol

cairan rees ecker, 1 (satu) buah botol cairan edta, 1 (satu) buah botol cairan amm oxalate,

1 (satu) buah botol cairan cat geimsa, 1 (satu) buah botol cairan benedict, 1 (satu) buah

botol cairan indicator methyl red, 1 (satu) buah botol cairan indicator bromkresol green, 1

(satu) buah botol cairan lugal, 1 (satu) buah botol cairan methanol, 1 (satu) buah botol

cairan Turk, 1 (satu) buah botol cairan asam acetat rekat, 15 (lima belas) buah botol cairan

cat ziehi nelsen, 1 (satu) buah botol cairan cat gram, 1 (satu) buah CPU computer, 1 (satu)
28

buah buku tabungan Bank BCA No. Rek. 0100141442 atas nama Bambang Sutikno, 1

(satu) buah timbangan elektrik, 1 (satu) buah gelas kaca besar, 1 (satu) buah alat pengaduk

dan bahan kaca (spatula), 1 (satu) buah gelas ukur dan 1 (satu) buah alat pengaduk

manual; Dirampas untuk dimusnahkan;

4. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000,- (dua

ribu rupiah).

Dakwaan :

1) Pertama : Bahwa perbuatan Bambang Sutikno bin Subayan diantur dan dincam

pidana Pasal 197 Jo Pasal 106 ayat (1) UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan karena dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi

dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar; atau

2) Kedua : Bahwa perbuatan Bambang Sutikno bin Subayan diatur dan diancam

pidana pada Pasal 196 Jo Pasal 98 Ayat (2) dan (3) UU RI No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan karena dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan

farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan

keamanan, khasiat, atau kemanfaatan dan mutu.

3) Ketiga : Bahwa perbuatan Bambang Sutikno bin Subayan diatur dan diancam

pidana pada Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (1) huruf a dan i UU RI No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen karena memproduksi dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai

dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan, tidak

memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,

ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,

akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk

penggunaan yang menurut ketentuan harus dibuat, berdasar Pasal 62 ayat (1)
29

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

3. Analisis

1) Pertimbangan hakim dalam Putusan Pidana Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby

terkait Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar

Pada penelitian kali ini, peneliti akan menyajikan data yang peneliti peroleh dari

hasil wawancara dengan salah satu hakim di Indonesia yang telah peneliti lakukan.

Menurut pandangan bapak Vabiannes Stuart Wattimena, S.H yang merupakan salah

satu hakim Pengadilan Negeri Purwodadi,

“Yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam


memutus perkara tersebut adalah karena hakim dalam menjatuhkan putusan,
memiliki hak bebas memilih dakwaan mana yang terbukti, sehingga penuntut
umum hanya mengajukan tuntutan yang bersikap alternatif. Hakim dalam
memutus perkara atas dasar pembuktian, ketika terbukti apa yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, maka terdakwa harus dihukum. Dasar bukti didasari
semua unsur-unsur yang didakwakan. Hakim akan bebas memilih karena
bentuk dakwaan alternatif, dan ketika dalam dakwaan tersebut tidak terpenuhi
semua unsurnya, maka hakim juga dapat menjatuhkan putusan bebas. Dasar
hukumnya ketika memutus sesuai dengan apa yang didakwakan walaupun
bentuk alternatif, putusan hakim juga dapat berbeda dengan penuntut umum,
contohnya, dakwaan berbentuk alternatif, lalu ada dakwaan pertama, kedua,
ketiga, apabila penuntut umum dalam mengajukan tuntutan dengan terbukti
dakwaan pertama, namun hakim merasa dakwaan kedua yang terbukti maka
putusannya terbukti dakwaan kedua, karena setiap dakwaan akan beda untuk
putusanya karena pasal dan ayat pun berbeda.”

Penjelasan diatas dikorelasikan dengan putusan hakim yang memutus kasus CV

MSS dan peraturan perundang-undangan, maka dapat dikaji bahwa walaupun putusan

hakim tersebut secara mutatis mutandis bertentangan dengan asas lex specialis derogat

legi generalis dan asas lex posterior derogat legi priori namun tidak dapat dianggap

keliru karena pada hakikatnya seorang hakim memiliki hak bebas memilih dakwaan

mana yang terbukti. Suatu ketentuan universal yang menjadi ciri suatu negara hukum
30

adalah seorang hakim yang bebas dan tidak memihak19. Hakikat pada pertimbangan

yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik apakah perbuatan

terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan delik yang didakwakan oleh penuntut

umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhaadap amar/ diktum putusan

hakim20.

Dalam KUHAP dijelaskan bahwa putusan terbentuk karena adanya tahapan

pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut menghasilkan petunjuk. Putusan didasarkan akan 2

(dua)hal, yaitu :

1. Adanya alat bukti

2. Adanya keyakinan hakim

Kalau semisal alat bukti sudah terpenuhi sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP

(1) Alat bukti yang sah ialah:

a.keterangan saksi;

b.keterangan ahli;

c.surat;

d.petunjuk;

e.keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Apabila semua itu sudah terpenuhi, maka yang ditunggu selanjutnya adalah

keyakinan hakim. Alat bukti yang terdapat pada ayat (1) Pasal 184 KUHAP huruf a – d

adalah alat bukti yang nyata dan terikat, sedangkan alat bukti di huruf e yaitu

keterangan terdakwa adalah alat bukti yang tidak terikat. Ketika hakim sudah

memutuskan bahwa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk sebagai alat

bukti, maka keabsahannya harus digunakan oleh hakim, sedangkan “Keterangan

19
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 94.
20
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 193.
31

Terdakwa” tidak bisa digunakan terikat, karena pada prinsipnya terdakwa tidak

disumpah. Dalam putusan hakim Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby Tentang

Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar terdapat berbagai alat bukti,

seperti saksi dari kepolisian yang melakukan penangkapan dan saksi yang melaporkan

terjadinya kejahatan. Keterangan kedua saksi ini jika berdasarkan Pasal 184 KUHAP

merupakan alat bukti yang sah, sehingga putusan hakim sudah dapat dibenarkan.

Mengenai keyakinan hakim dapat dilihat dari proses pemeriksaan. Karena penulis

hanya melihat putusan dan tidak melihat proses pemeriksaannya, sejauh ini yang

penulis teliti adalah bagaimana fakta-fakta di persidangan tersebut membawa hakim

untuk memutus terdakwa bersalah. Alasan dan pertimbangan putusan hakim ringan

sedangkan ancaman dakwaannya tinggi adalah karena hakim memiliki kewenangan

untuk memutus perkara tidak berada dalam koridor tuntutan Jaksa Penuntut Umum,

karena menurut Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman pengadilan memutus perkara

didasarkan pada surat dakwaan tetapi juga harus menggali fakta-fakta hukumnya.

Seperti yang disampaikan oleh Muhammad Ainul Syamsu dalam bukunya yang

berjudul Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, disitu ia

mengatakan bahwa,

“Merupakan kewenangan daripada hakim memutus sesuai fakta persidangan


dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut
Umum jika dirasa adil dan rasional. Apalagi merupakan sebuah realitas bahwa
tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum tidaklah selalu sama atau sesuai dengan
batasan maksimal ancaman pidana yang terdapat secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan. Hakim dapat memutus lebih tinggi dari
tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun tidak boleh melebihi batas maksimum
ancaman pidana yang ditentukan Undang-Undang.”21

Terdapat istilah ultra petita yang berarti hakim memutus diluar tuntutan, semisal

tuntutannya 5 tahun namun hakim memutus 7 tahun, atau minimum petita, semisal

21
Sudharmawatiningsih, 2015, Pengkajian tentang Putusan Pemidanaan Lebih Tinggi dari Tuntutan Jaksa
Penuntut Umum: Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah
Agung, Jakarta, hal. 63.
32

tuntutannya 3 tahun namun hakim memutus 3 bulan. Hal tersebut dapat terjadi karena

meskipun ia beranjak pada dakwaan, namun hakim juga mempertimbangkan hal-hal

yang terjadi selama proses pemeriksaan. Semisal terdapat fakta yang tidak terlalu jelas,

alasan terdakwa melakukan kejahatan tidak sesuai hal yang didakwakan, sehingga

dimungkinkan hakim memutus perkara lebih ringan hukumannya.

Berkaca pada putusan hakim Nomor 1397/Pid.Sus/2020/PN Sby Tentang

Pengadaan Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar, dalam putusan ini dakwaan

yang diberikan oleh JPU ada 3 antara lain bersumber pada 2 Undang - Undang

Kesehatan dan 1 dari Undang – Undang Perlindungan Konsumen, kemudian pada

Undang - Undang Kesehatan ini mengacu pada ketentuan Undang - Undang Pasal 1

Tahun 1997 yang mengatakan bahwa barangsiapa memproduksi atau mengedarkan alat

kesehatan yang tidak memiliki izin atau tidak sesuai dengan ketentuan Undang -

Undang akan dipidana sedangkan yang berasal pada dakwaan yang mengacu pada

Undang – Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa perbuatan yang

tidak wajar dari produsen yang menyebabkan hilangnya hak dari konsumen untuk

mendapatkan produk yang baik, disini hakim memutuskan untuk menggunakan

pijakannya dengan dakwaannya paling terakhir yaitu dakwaan dari Undang – Undang

Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana 5 Tahun.

Mengacu pada teori putusan hakim, pasti didasarkan pada surat dakwaan karena

secara prinsip surat dakwaan memiliki 3 fungsi yaitu antara lain fungsi pertama adalah

menjadi dasar penuntutan, fungsi kedua menjadi dasar dari pembelaan, fungsi ketiga

menjadi dasar dari penjatuhan putusan, hakim tentunya harus memeriksa dakwaan, dan

ketika memeriksa dakwaan tersebut, terdapat kemungkinan hakim memilih dakwaan

apabila dakwaan bersifat alternatif ataupun subsidair. Dalam perkara ini dakwaan

bersifat alternatif, maka hakim tersebut bisa memilih dan tindakan hakim tersebut tidak
33

dapat disalahkan. Pertimbangan penulis adalah alasan mengapa hakim memutus dengan

6 bulan pidana penjara sedangkan dalam ketentuannya 5 tahun hukuman pidana

penjara. Cara menemukan jawabannya, dapat diteliti dari fakta-fakta di persidangan,

barangkali dalam persidangan terdapat bukti bahwa terdakwa baru memproduksi saja

belum disebarluaskan, sehingga efek destruktifnya / efek tindak pidana kejahatannya

belum meluas. Hasil dari penelitian fakta di persidangan dapat berupa hakim

mengendurkan putusannya, tidak diberi sanksi terlalu tinggi karena tidak menimbulkan

kerusakan yang begitu luas. Atau bisa juga karena yang dilakukan terdakwa semata-

mata untuk bisnis saja, bukan untuk mengedarkan benda yang membahayakan

konsumen, karena demand / permintaan alat kesehatan yang tinggi di masa pandemi

tetapi produktifitas dari badan usaha rendah maka bisa jadi terdakwa hanya berniat

mengambil celah tersebut sehingga hakim menganggap hal tersebut bukan termasuk

kejahatan yang pasti / serius.

2) Kesesuaian Pemidanaan dengan Undang – Undang Kesehatan

Dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang – Undang Perlindungan Konsumen

menyebutkan mengenai “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai

dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan”. Salah satu

unsur yang bisa menjadi pertimbangan hakim adalah dalam pasal tersebut terdapat

unsur memproduksi dan/atau memperdagangkan, sedangkan perbedaan yang ada dalam

Pasal 196 dan 197 Undang – Undang Kesehatan adalah “Setiap orang yang dengan

sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan

yang tidak ...” Perbedaan frasa diantara keduanya juga memiliki arti yang berbeda,

dalam Pasal 8 ayat (1) UUPK kata ‘memproduksi’ dan ‘memperdagangkan’ dipisahkan

dengan frasa ‘dan/atau’ yang berarti dapat diartikan ‘memproduksi dan


34

memperdagangkan’ maupun ‘memproduksi atau memperdagangkan’ yang berarti

peraturan ini dapat berlaku bila kedua hal tersebut dilakukan ataupun bila hanya salah

satu yang dilakukan. Dalam Pasal 196 dan 197 Undang – Undang Kesehatan kata

‘memproduksi’ dan ‘memperdagangkan’ dipisahkan dengan frasa ‘atau’ yang berarti

peraturan ini hanya berlaku bila hanya salah satu perbuatan hukum tersebut yang

dilakukan. Mengingat terdakwa telah terbukti melakukan produksi dan juga

memperdagangkan hand sanitizer, maka walaupun tindakan Bambang Sutikno bin

Subayan selaku terdakwa juga melanggar ketentuan yang terdapat pada Undang –

Undang Kesehatan, namun karena berdasarkan interpretasi gramatikal ketentuan dalam

Undang – Undang Perlindungan Konsumen lebih sesuai dan juga terbukti memenuhi

unsur – unsur dakwaan, maka putusan akhir yang digunakan adalah ketentuan dari

Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

Terdapat pertimbangan yang dapat dilihat dari sudut pandang lain, yaitu dalam

Pasal 197 Undang – Undang Kesehatan tertulis bahwa “Setiap orang yang dengan

sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan

yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”. Frasa “memproduksi atau

mengedarkan” dapat diartikan bahwa kegiatan memproduksi saja sudah dapat dikenai

hukuman dengan pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp

1.000.000.000 (satu miliar rupiah) berdasarkan ketentuan Pasal 196, atau 15 (lima

belas) tahun dan Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah) berdasarkan

ketentuan Pasal 197.

Kedua pertimbangan dan sudut pandang yang berbeda inilah yang menimbulkan

banyak pertanyaan dan pertimbangan terlebih bila dilihat dari sanksi pidana putusan
35

hakim yang hanya 6 (enam) bulan penjara sedangkan menurut ketentuan Pasal 62 ayat

(1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar

rupiah). Dan menurut ketentuan Pasal 196 Undang – Undang Kesehatan dipidana

penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar

rupiah), dan berdasarkan ketentuan Pasal 197 Undang – Undang Kesehatan dipidana

penjara 15 (lima belas) tahun dan Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Walaupun pemidanaan dalam putusan ini tidak sesuai dengan Undang – Undang

Kesehatan, namun semuanya kembali lagi pada pertimbangan hakim dengan melihat

fakta – fakta dipersidangan yang telah memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah

disertai dengan adanya keyakinan hakim. Keyakinan hakim itulah yang menuntun

seperti apa putusannya. Menurut Gustav Radbruch,

“Hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut


yuridis;
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis,
dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan
pengadilan;
3. Asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau
utility).”

Hakim dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum (system

denken) tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara memperhatikan

keadilan dan kemanfaatan ketika putusan itu telah dijatuhkan (problem denken). Akibat

putusan hakim yang hanya menerapkan pada hukum tanpa menggunakan hati

nuraninya akan berakibat pada kegagalan menghadirkan keadilan dan kemanfaatan,


36

meskipun putusan hakim (vonnis) sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu

perkara atau sengketa dalam bingkai tegaknya hukum dan keadilan.22

Dilihat dari prinsip keadilan, hakim memeriksa fakta-fakta yang terjadi

dipersidangan sehingga hakim berpendapat bahwa putusan hanya 6 bulan dibandingkan

dengan ketentuan Pasal 62 Undang – Undang Perlindungan Konsumen yaitu 5 tahun.

Prinsip keadilan putusan hakim tercermin dalam putusan hakim yang menunjukkan

bahwa hukum pidana itu memiliki tujuan untuk tidak sekedar memberikan nestapa

badan tetapi juga memberikan rehabilitasi bahwa diperlukan juga pemulihan bagi

terdakwa, bahwasanya terdakwa dalam hal ini merupakan pelaku bisnis tidak hanya

dikenakan pidana penjara badan yang sifatnya membelenggu dirinya sendiri akan tetapi

juga tujuan yang paling utama untuk pelajaran dan kesadaran masyarakat bahwa

dengan tertangkapnya perusahaan yang membuat peralatan kesehatan yang tidak ada

izin edar ini, sudah lebih baik dibanding nestapa badan yang dikenakan pada si pelaku

karena berfokus pada penutupannya, sehingga masalah pembalasan pada terdakwa

dikurangi, yang terpenting sudah tertangkap dan ditindak tegas sehingga tidak melebar

lagi alat kesehatan yang tidak sesuai dengan izin edar itu.

22
HM. Soerya Respationo, 2013, “Putusan Hakim : Menuju Rasionalitas Hukum Refleksif dalam Penegakan
Hukum”, Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus 2013, Surakarta : Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta, hlm. 43
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapatkan setelah dibahas dalam bab Pembahasan adalah

sebagai berikut :

1. Hakim dalam memutus setiap perkara tidak selalu berpatok pada dakwakan jaksa

karena hakim memiliki hak bebas memilih dakwaan mana yang terbukti, pasalnya

dengan ancaman tinggi pun hakim bisa memberi putusan ringan bahkan bebas

murni. Ini merupakan suatu alasan dan pertimbangan mengapa putusan hakim

ringan sedangkan ancaman dakwaannya tinggi. Semua karena hakim memiliki

kewenangan untuk memutus perkara tidak berada dalam koridor tuntutan Jaksa

Penuntut Umum melainkan mengacu pada fakta persidangan dalam mengambil

keputusan, ketika fakta dalam persidangan penuntut umum tidak mampu

membuktikan dakwaan yang dimaksud, dengan kata lain apabila fakta dengan

dakwaan tidak sesuai, hakim bisa memutuskan ringan bahkan bebas sesuai dengan

prinsip kebebasan hakim yang diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.

2. Sesuai dengan teori putusan, hakim dalam perkara ini telah mencerminkan prinsip

kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Mengenai kepastian hukum hakim mengacu

pada Undang - Undang yang mengikatnya antara lain Undang - Undang Kekuasaan

Kehakiman, KUHAP, dan pidana materiilnya yang diambil yang ada pada kasus ini

adalah Undang – Undang Perlindungan Konsumen dan Undang – Undang

Kesehatan. Hakim sudah mengikuti hal tersebut maka sudah mencerminkan

kepastian hukum. Dari prinsip keadilan, hakim yang memeriksa sendiri fakta-fakta

yang terjadi dipersidangan sehingga hakim berpendapat bahwa putusan hanya 6

37
38

bulan dibandingkan dengan ketentuan Pasal 62 UUPK yaitu 5 tahun. Prinsip keadilan

putusan hakim tercermin dalam putusan hakim yang menunjukkan bahwa hukum

pidana itu memiliki tujuan untuk tidak sekedar memberikan nestapa badan tetapi

juga memberikan rehabilitasi bahwa diperlukan juga pemulihan bagi terdakwa,

bahwasanya terdakwa dalam hal ini merupakan pelaku bisnis tidak hanya dikenakan

pidana penjara badan yang sifatnya membelenggu dirinya sendiri akan tetapi juga

tujuan yang paling utama untuk pelajaran dan kesadaran masyarakat agar lebih

berhati – hati dalam memilih produk kesehatan. Ketika putusan diucapkan maka

prinsip kemanfaatan terjadi apabila putusan tersebut secara nyata sesuai dengan

prinsip-prinsip hukum yang ada di masyarakat. Misalnya dengan terlaksananya

KUHAP atau terlaksananya proses penyeledikan, penyidikan, penuntutan dengan

baik, maka prinsip kemanfaatan sudah terjadi.

B. Saran

Saran dari penulis ialah bagi praktisi hukum khususnya hakim yang menangani perkara

yang berhubungan dengan Undang – Undang Kesehatan adalah perlunya hakim

mempertimbangkan faktor yang dapat memberikan efek jera bagi terdakwa dalam

menjatuhkan putusan. Terlebih dalam kasus yang menyangkut kesehatan masyarakat umum,

dimana resiko yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa luas, seharusnya diberi hukuman

yang paling membuat terdakwa jera agar ia tidak mengulangi perbuatannya sehingga

kesehatan masyarakat umum tidak terancamMenurut penulis, sanksi yang diatur dalam

Undang – Undang Kesehatan sudah cukup memberikan efek jera bila dilaksanakan

semaksimal mungkin. Selain menimbulkan efek jera, putusan hakim diharapkan dapar

menjadi perekayasa masyarakat agar menciptakan masyarakat patuh terhadap peraturan

perundang-undangan khususnya ketentuan pada Undang-Undang Kesehatan. Saran untuk

jaksa penuntut umum yang menangani perkara yang berhubungan dengan Undang – Undang
39

Kesehatan adalah, sebagai JPU harus berani mengajukan banding apabila putusan yang

dijatuhkan hakim jauh lebih rendah dari tuntutan yang diajukan JPU dan dianggap tidak

menimbulkan efek jera bagi terdakwa.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Hamzah, Andi., 1996, Pengantar Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Hamzah, Andi., 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Harahap, Yahya., 2016, Ed.2, Cet.15, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Sinar Grafika, Jakarta.

HR, Ridwan., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud., 2010, Cetakan ke 6, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.

Muhammad, Rusli., 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Mulyadi, Lilik., 2007, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan Praktek
Pradilan, Mandar Maju, Bandung.

Jurnal :
Eman Supriatna, 2020, “Wabah Corona Virus Disease (Covid 19) Dalam Pandangan Islam”,

Jurnal Sosial & Budaya, Vol. 7 No. 6, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Santos, Matheos F., dan Rodrigo F. Elias, 2021, “Kajian Hukum Eksepsi Atas Dakwaan

Jaksa Penuntut Umum Menurut Ketentuan Pasal 156 Ayat (1) Undang-Undang No. 8

Tahun 1981”, Lex Crimen Vol. X/No. 6/Mei/2021, Universitas Sam Ratulangi.

Soerya Respationo, H.M., 2013, “Putusan Hakim : Menuju Rasionalitas Hukum Refleksif

dalam Penegakan Hukum”, Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus

2013, Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Artikel :

41
42

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, FAQ Corona Virus,


https://www.kemkes.go.id/article/view/20030400008/FAQ-Coronavirus.html, diakses
21 September 2021.
Prihastomo Wahyu Widodo, “Virus Corona Terus Menyebar, Ini 8 Saran WHO Untuk
Mencegah Penularannya”, https://internasional.kontan.co.id/news/virus-corona-terus-
menyebar-ini-8-saran-who-untuk-mencegah-penularannya, diakses 21 September 2021
.

Wahyu T. Rahmawati, 2020, “Kenaikan Permintaan Handsanitizer dan Antiseptik Mengerek


Permintaan Bahan Kimia”, https://industri.kontan.co.id/news/kenaikan-permintaan-
hand-sanitizer-dan-antiseptik-mengerek-permintaan-bahan-kimia, diakses 21
September 2021.

Laporan :

Sudharmawatiningsih, 2015, Pengkajian tentang Putusan Pemidanaan Lebih Tinggi dari


Tuntutan Jaksa Penuntut Umum: Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, Jakarta.

Peraturan :

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Sekretariat Negara,
Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Sekretariat Negara,
Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Sekretariat Negara, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai