Anda di halaman 1dari 2

Benarkah Ayah dan Suami

Menanggung Dosa Perempuan?


Pernah dengar hadis ini, “Satu langkah wanita keluar rumah tanpa menutup aurat,
satu langkah pula ayahnya hampir masuk neraka. Satu langkah seorang istri keluar
rumah tanpa menutup aurat, satu langkah suaminya hampir masuk neraka”.

“Satu langkah wanita keluar rumah tanpa menutup aurat, satu langkah pula
ayahnya hampir masuk neraka. Satu langkah seorang istri keluar rumah tanpa
menutup aurat, satu langkah suaminya hampir masuk neraka”.

“Maka aku tanggung dosa-dosanya si dia dari ayah dan ibunya, dosa apa saja
yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan
sholat. Semua yang berhubungan dengan si dia, aku tanggung dan bukan lagi
orang tuanya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon
anak-anakku.” Jika aku gagal, maka aku adalah suami yang fasik, ingkar dan
aku rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur
tubuhku.”

Seringkali, terlalu sering malah, perempuan dipaksa mengikuti nasihat ayah


dan suaminya dengan dalih nanti suaminya atau ayahnya yang harus
menanggung dosa. Dua hadis di atas dikutip berulang-ulang sampai kita lupa
mengkritisinya, lupa kalau di Al-Qur’an dinyatakan setiap orang
mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing dan tidak menanggung
dosa orang lain.

             
           
          
 

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika
seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk
memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun (yang
dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat engkau beri
peringatan hanya orang-orang yang takut kepada (azab) Tuhannya
(sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka yang melaksanakan shalat.
Dan barangsiapa menyucikan dirinya, sesungguhnya dia menyucikan diri
untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah tempat kembali.” (Q.S
Fathir : 18)

Lalu, bagaimana dengan dua hadis di awal tadi? Dua-duanya hadis palsu, alias
tidak ada sanadnya, tidak ada jalur periwayatannya yang sampai ke Rasulullah,
terbukti Nabi tidak pernah bersabda seperti itu. Memang miris kadang, hadis
palsu bisa sangat populer, meskipun kitab-kitab hadis sudah direvisi dengan
tarjih dan penjelasan, segala usaha penyaringan keotentikan hadis sudah
dilakukan, semua hadis pernah menjadi bahan penelitian, tetapi tetap saja dari
zaman ke zaman masih dipopulerkan oleh dai yang kurang mumpuni
pengetahuan hadisnya. Padahal Nabi sudah mengancam menyiapkan kursi
khusus bagi yang berdusta atas nama rasul, nah kitanya juga jangan jadi
penyambung dusta dong.

Tapi sebenarnya, kita memang bisa saja kena dosa karena dosa orang lain,
misalnya jadi pelopor suatu dosa, membuat orang-orang menjadi biasa dengan
perbuatan dosa tersebut. Ajakan bully ramai-ramai misalnya, online juga
termasuk ya, ingat, memerangi kemungkaran itu tidak dengan berbuat
kemungkaran lain.

‫ ِمْن َغ ْي ِر َأْن َي ْنُقَص ِمْن‬،‫ َك اَن َع َلْيِه ِو ْز ُر َه ا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِمَل ِبَه ا ِمْن َب ْع ِدِه‬، ‫َم ْن َس َّن ِفي اِإْلْس اَل ِم ُس َّن ًة َس ِّي َئ ًة‬
‫َأْو َز اِر ِه ْم َش ْي ء‬

“Siapa yang mempelopori satu kebiasaan yang buruk dalam islam, maka dia
mendapatkan dosa keburukan itu, dan dosa setiap orang yang melakukan
keburukan itu karena ulahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR.
Muslim)

Sebenarnya, bukan cuma ayah dan suami, secara umum, kita semua juga wajib
meluruskan ketika ada suatu kezaliman terjadi, setidaknya menasihati atau
bersikap tidak setuju.

‫ َو َذ ِلَك َأْض َع ُف اِإْليَم اِن‬، ‫ َف ِإْن َلْم َي ْس َت ِط ْع َف ِبَقْلِبِه‬، ‫ َف ِإْن َلْم َي ْس َت ِط ْع َف ِبِلَس اِنِه‬، ‫َم ْن َر َأى ِم ْنُك ْم ُم ْن َك ًر ا َفْلُيَغ ِّيْر ُه ِبَيِدِه‬

“Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah meluruskannya dengan


tangannya, maka jika tidak sanggup (hendaklah meluruskan) dengan lisannya,
jika tidak sanggup (hendaklah dia meluruskan) dengan hatinya dan ini adalah
iman yang paling lemah.” (HR. Muslim)

Sebagai orang tua dan pasangan, kita juga ingin dan mestinya mempunyai
andil untuk membuat anak dan pasangan kita menjadi lebih baik tapi
menasihati tidak boleh memaksa, menasihati itu mengasihi, bukan menyakiti
apalagi memutus silaturahmi. Sekeras apapun kita ingin merubah orang lain,
orang lain tidak akan berubah kecuali dianya yang mau, kita cuma punya
kontrol atas diri kita sendiri, jadi selayaknya kita lebih banyak refleksi diri
daripada menghakimi yang lain.

Bahkan sekelas Nabi pun tidak menjamin anak dan istrinya akan nurut-nurut
saja, Nabi Nuh tidak menanggung dosa Kan’an yang menolak beriman dan
naik bahtera, begitu pula Nabi Luth tidak menanggung dosa istrinya yang
durhaka dan suka bergunjing.

Jadi, wahai para suami dan ayah, santai saja, kita semua termasuk para
perempuan menanggung dosa masing-masing kok.

Anda mungkin juga menyukai