Anda di halaman 1dari 23

KONSEP IKHTILATH DALAM MENYIKAPI PERKEMBANGAN

ZAMAN (Studi Analisis Qs. Al-Ahzab Ayat 53)

PROPOSAL

Diserahkan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Mata Kuliah Metodologi


Penelitian Tafsir II Jurusan Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir

PUTRI NADILA TALADUM


NIM. 11930220924

Program S1
Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Tahun 2021 M / 1443 H
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


 Manusia hidup di dunia ini tidak akan mungkin dapat terlepas dari
makhluk hidup lainnya, manusia pasti akan membutuhkan orang lain untuk
berinteraksi satu sama lain dalam sebuah pergaulan sesuai dengan fitrahnya suka
bergaul dan mengadakan interaksi dengan sesama dimana setiap saat dapat
berjumpa dengan orang yang belum dikenal maupun orang-orang yang sudah
dikenal. Selain sebagai makhluk individu, manusia juga berperan sebagai
makhluk sosial.1
Berinteraksi dengan orang lain merupakan keniscayaan bagi manusia,
itu merupakan kebutuhan asasi yang di dalamnya akan ditemui berbagai
peluang, kebaikan maupun keburukan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
Islam memberikan panduan agar interaksi sosial banyak memberikan manfaat
untuk berbagai pihak, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. 2 Pergaulan
menjadi salah satu kebutuhan seorang manusia dengan manusia lain dimana
manusia dikenal dengan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Islam juga telah mengatur tata cara pergaulan
yang harus diterapkan oleh laki-laki maupun perempuan demi menjaga
terjadinya hal yang tidak di inginkan maupun pandangan negatif masyarakat.
Syari’at Islam telah mengatur tata cara bergaul dengan lawan jenis
dimana yang dimaksud dengan lawan jenis disini adalah orang-orang yang
memiliki jenis kelamin yang berbeda dengan kita. Terhadap orang-orang yang
menjadi lawan jenis kita, Islam memberikan aturan yang khusus yang harus kita

1
Aim Abdul Karim, Pendidikan Kewarganegaraan (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2006),
hlm. 2.
2
Muhammad Said Mursi, Panduan Praktis Dalam Pergaulan (Jakarta: Gema Islami, 2004),
hlm.5.
perangi dalam rangka bergaul dengan mereka, di antara hal-hal yang harus
diperhatikan dalam rangka bergaul dengan lawan jenis kita yaitu:3
1. Tidak melakukan khalwat, yaitu berdua-duaan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang tidak mempunyai hubungan suami isteri
dan tidak pula mahram tanpa ada orang ketiga. Termasuk dalam
pengertian khalwat adalah berdua-duaan di tempat umum yang diantara
mereka tidak saling mengenal, atau saling mengenal tetapi tidak ada
kepedulian, atau tidak mempunyai kontak komunikasi sama sekali
sekalipun berada pada tempat yang sama, seperti di pasar, restoran,
bioskop, dan tempat-tempat hiburan lainnya.
2. Tidak berjabat tangan, kecuali terhadap suami atau isterinya, atau
terhadap mahramnya. Berjabat tangan kepada lawan jenis yang bukan
suami atau isteri atau mahram akan membuka pintu syahwat yang dapat
menjurus kepada hal-hal yang lebih berbahaya, yakni perzinaan.
3. Mengurangi pandangan mata, kecuali yang benar-benar perlu.
Pandangan yang melebihi batas juga dapat menjurus kearah perzinaan.
4. Tidak boleh menampakkan aurat di hadapan lawan jenisnya dan juga
tidak boleh saling melihat aurat satu sama lain, aurat harus ditutup untuk
menjaga dirinya dan menjaga pandangan orang lain. Aurat yang terbuka
akan memancing syahwat orang lain yang pada akhirnya juga dapat
menjurus kearah perzinaan. Bahkan sesama jenis saja, melihat aurat juga
dilarang.
5. Tidak boleh melakukan hal-hal yang menjurus kepada perzinaan, seperti
berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, dan yang sejenisnya,
apalagi sampai melakukan perzinaan.
Berkaitan dengan tata aturan pergaulan dalam Islam, ada sebagian atau
bahkan lebih banyak yang tidak sesuai dan aturan-aturan itu terabaikan. Melihat
fakta sekarang di masyarakat, melalui berita-berita yang sering kita tonton di
televisi banyak pemuda-pemudi yang telah terjebak oleh pergaulan bebas. Bukan
3
Marzuki, “Pergaulan Muda Mudi”, staffnew.uny.ac.id., diakses 01 desember 2021
hanya di dunia nyata yang kita bisa dengan jelas melihatnya, akan tetapi juga
disosial media yang sekarang berkembang pesat. Akhir-akhir ini dalam media
cetak maupun elektronik banyak video-video yang tidak mendidik yang
menghebohkan masyarakat sekitar.
Bagaimana bisa hendak membentuk generasi masa depan yang
berakhlak? Dari kemungkinan yang terlihat masih banyak teori-teori yang
diberikan, sedangkan dalam hal praktek masih belum bisa terlaksanakan
sepenuhnya. Sangat disayangkan banyak para pemuda-pemudi yang
berintelektual tinggi, akan tetapi mengumbar kesenangan dunia yang pada
hakikatnya adalah pintu yang menuju perzinaan yang akan mengantarkan pada
kemurkaan Allah. Seharusnya mereka itu menjadi pemuda-pemudi yang
tangguh, yang berintelektual dan berakhlak. Hal itu sangat jelas seperti firman
Allah Swt. dalam Q.S. al-‘Isra/17: 32.
‫ُوا ٱل ِّزن ٰ َٓى ۖ إِنَّ ۥهُ َكانَ ٰفَ ِح َشةً َو َسٓا َء َسبِي ًل‬
۟ ‫ َواَل تَ ْق َرب‬4
Di dalam Islam, pergaulan antara laki-laki dan perempuan sangatlah
dijaga. Islam memberikan pendidikan khusus yang membahas tentang batasan-
batasan antara laki-laki dan perempuan untuk menjaga keduanya dari fitnah.
Seperti kewajiban berjilbab, menundukkan pandangan, tidak khalwat
(berduaan), tidak ikhtilath (bercampur baur), tidak tunduk dalam berbicara
(mendayu-dayu), ada pembatas antara laki-laki dan perempuan, tidak menyentuh
lawan jenis dan dorongan Islam untuk segera menikah.
Pada hakikatnya di dalam Islam sudah sangat terlihat jelas bagaimana
seharusnya batasan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan tertulis di Al-Qur’an
sebagimana firman Allah swt. yang tercantum di dalam surah an-Nuur ayat 30
dan 31.

4
Q.S. al-‘Isra 17: 32
‫ُوجهُ ْم ذلِ__كَ أَ ْزكى لَهُ ْم إِ َّن هللاَ خَب__ي ٌر بِم__ا‬ ِ _‫ض _وا_ ِم ْن أَبْص‬
َ ‫_ار ِه ْ_م َو يَحْ فَظُ__وا فُ _ر‬ ُّ ‫قُ__لْ لِ ْل ُم ْؤ ِم__نينَ يَ ُغ‬
َ‫يَصْ نَعُون‬
‫ُوجه َُّن َوال يُ ْبدينَ زينَتَه َُّن إِالَّ ما ظَهَ َر‬ َ ‫ظنَ فُر‬ ْ َ‫ْصار ِه َّن َو يَحْ ف‬
ِ ‫ت يَ ْغضُضْ نَ ِم ْن أَب‬ ِ ‫َو قُلْ لِ ْل ُم ْؤ ِمنا‬
‫ِم ْنها َو ْليَضْ ِر ْبنَ بِ ُخ ُم ِر ِه َّن عَلى ُجيُوبِ ِه َّن َوال يُ ْبدينَ زينَتَه َُّن إِالَّ لِبُعُولَتِ ِه َّن أَوْ آبائِ ِه َّن أَوْ آبا ِء‬
ْ‫بُعُولَتِ ِه َّن أَوْ أَبْنائِ ِه َّن أَوْ أَبْنا ِء بُعُولَتِ ِه َّن أَوْ إِ ْخوانِ ِه َّن أَوْ بَني إِ ْخوانِ ِه َّن أَوْ بَني أَخَواتِ ِه َّن أَو‬
ِ ِّ‫ت أَيْمانُه َُّن أَ ِو التَّابِعينَ َغي ِْر أُولِي اإْل ِ رْ بَ ِة ِمنَ الر‬
‫جال أَ ِو الطِّ ْف ِل الَّذينَ لَ ْم‬ ْ ‫نِسائِ ِه َّن أَوْ ما َملَ َك‬
‫ت النِّسا ِء َوال يَضْ ِر ْبنَ بِأَرْ ُجلِ ِه َّن لِيُ ْعلَ َم ما ي ُْخفينَ ِم ْن زينَتِ ِه َّن َو تُوبُوا إِلَى‬ ِ ‫ظهَرُوا_ عَلى عَوْ را‬ ْ َ‫ي‬
َ‫هللاِ َجميعا ً أَيُّهَا ْال ُم ْؤ ِمنُونَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.”

Pada ayat di ayat membahas bagaimana aklak yang seharusnya sesuai


dengan syariat Islam dan tidak melanggar tata aturan seperti yang disebut di
atas.
Berdasarkan hal tersebut, tentu menuntut penggalian dan pengkajian yang lebih
dalam untuk selanjutnya menghasilkan rumusan-rumusan penafsiran dan
pendapat ulama mengenai ikhtilat. Maka penulis tertarik untuk membuat sebuah
kajian ilmiah dengan judul “KONSEP IKHTILAT DALAM MENYIKAPI
PERKEMBANGAN ZAMAN (STUDI ANALISIS QS. AL-AHZAB AYAT
53)”.

B. Identifikasi Masalah
Dari pembahasan latar belakang di atas, penulis dapat mengemukakan
beberapa dasar permasalahan yang harus di bahas lebih lanjut dengan
merumuskan beberapa pokok rumusan permasalahan yakni :
1. tata cara bergaul dengan lawan jenis dimana yang dimaksud dengan
lawan jenis disini adalah orang-orang yang memiliki jenis kelamin yang
berbeda dengan kita.
2. Pergaulan yang harus diterapkan oleh laki-laki maupun perempuan demi
menjaga terjadinya hal yang tidak di inginkan maupun pandangan negatif
masyarakat.
3. Panduan agar interaksi sosial banyak memberikan manfaat untuk
berbagai pihak, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
4. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam rangka bergaul dengan lawan
jenis
C. Batasan Masalah
Melihat permasalahan yang ingin di bahas, maka yang menjadi fokus
pembahasan penulis dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep ikhtilat
dalam menyikapi perkembangan zaman dalam Qs. Al- Ahzab ayat 53.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan diatas, maka
penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep pergaulan yang harus di terapkan oleh laki-laki maupun
perempuan yang sesuai dengan syari’at islam?
2. Bagaimana fenomena ikhtilath yang terjadi pada perkembangan zaman?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian di atas
adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui Pandangan Al-Qur’an tentang Ikhtilat baik dari
pengertian, fenomena, dan sebagainya.
b. Untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat tentang konsep ikhtilat.
2. Manfaat Penelitian
a. Untuk menambah pemahaman penulis mengenai bagaimana fenomena
ikhtilat di kalangan masyarakat.
b. Untuk menambah pemahaman penulis apa saja ayat-ayat yang
menjelaskan tentang ikhtilath tersebut

F. Sistematika Penelitian
Untuk memudahkan pemahaman terhadap proposal ini, maka penulis
mengajukan beberapa sistematika penulisan yang berisikan Bab dan Sub Bab
yang saling terkait. Adapun sistematika penulisannya yaitu:
Bab I adalah membahas Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II adalah berisikan landasan teori dan tinjauan penelitian yang relevan.
Bab III adalah membahas tentang jenis penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB II
KONSEP IKHTILAT

A. Landasan Teori
1. Pengertian Ikhtilat
Ikhtilat berasal dari Bahasa Arab ikhtalatha-yakhtalithu-ikhtilathan yang
artinya bercampur atau berbaur. Menurut istilah, arti ikhtilat adalah
bertemunya laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu
tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita
itu (misalnya berbicara, bersentuhan, dan berdesak-desakan).
Ikhtilat ini seringkali disamakan dengan khalwat, padahal keduanya
berbeda. Khalwat berasal dari kata khalaa- yakhluu-khalwatan yang
memiliki arti menyepi atau menyendiri. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam,
khalwat memiliki konotasi positif dan negatif.
Secara positif, khalwat adalah menarik diri dari keramaian dan menyepi
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan makna negatif
khalwat adalah perbuatan berdua-duaan di tempat sunyi atau terhindar dari
pandangan orang lain antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram.
Perbedaan ikhtilat dan khalwat terletak pada jumlahnya. Ikhtilat merujuk
pada beberapa laki-laki dan perempuan, sementara khalwat adalah
berkumpulnya seorang laki-laki bersama perempuan yang bukan mahramnya
dan tidak ada orang ketiga bersama mereka.

2. Dalil Ikhtilat
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ikhtilat dilarang dalam Islam.
Pandangan tersebut didasarkan pada ayat Alquran dan hadits. Allah SWT
berfirman:
َ‫طهَ ُر لِقُلُوْ بِ ُك ْم َوقُلُوْ بِ ِه ۗ َّن َو َما َكان‬ ٍ ۗ ‫َواِ َذا َسا َ ْلتُ ُموْ ه َُّن َمتَاعًا فَاسْٔـََٔ_لُوْ ه َُّن ِم ْن َّو َر ۤا ِء ِح َجا‬
ْ َ‫ب ٰذلِ ُك ْم ا‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫لَ ُك ْم اَ ْن تُ ْؤ ُذوْ ا_ َرسُوْ َل ِ َوٓاَل اَ ْن تَ ْن ِكح ُْٓوا اَ ْز َوا َجهٗ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد ٖ ٓه اَبَد ًۗا اِ َّن ٰذلِ ُك ْم َكانَ ِع ْن َد‬
‫َع ِظ ْي ًما‬
Artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53).5
Ibnu Katsir yang menafsirkan tentang ayat ini berkata, “Yaitu,
sebagaimana aku larang kalian memasuki tempat kaum perempuan,
demikian pula janganlah kalian melihatnya secara keseluruhan. Jika di antara
kalian memiliki keperluan yang ingin diambil dari mereka, maka jangan lihat
mereka dan jangan tanya keperluan mereka kecuali dari balik tabir”.
Ayat tersebut menyatakan bahwa jika laki-laki memiliki suatu
kepentingan yang mengharuskannya menemui perempuan, ia harus
melakukannya dari balik kain tabir penutup.
Dalam hadis Bukhari, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW selalu
berdiam diri usai sholat.
ِ ‫ي ع َْن ِه ْن ٍ_د بِ ْن‬
‫ت‬ ُّ _‫َح َّدثَنَا_ ُمو َسى_ بْنُ إِ ْس َما ِعي َ_ل َح َّدثَنَا_ إِ ْب َرا ِهي ُ_م بْنُ َس ْع ٍ_د َح َّدثَنَا‬
_ُّ ‫الز ْه ِر‬
ُ ‫ي هَّللا‬ ِ ‫ث أَ َّن أُ َّ_م َسلَ َمةَ َر‬
_َ ‫ض‬ ِ ‫ْال َح‬
_ِ ‫ار‬
_ُ‫ضي_ تَ ْسلِي َمه‬ ِ ‫صلَّى_ هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َ_م إِ َذا َسلَّ َ_م قَا َ_م النِّ َسا ُ_ء ِحينَ يَ ْق‬ َ ِ ‫ت َكانَ َرسُو ُ_ل هَّللا‬ _ْ َ‫َع ْنهَا قَال‬
‫ث يَ ِسي ًرا_ قَ ْب َ_ل أَ ْن يَقُو َ_م‬_َ ‫َو َم َك‬
‫ب فَأ ُ َرى_ َوهَّللا ُ أَ ْعلَ ُم أَ َّن ُم ْكثَهُ لِ َك ْي يَ ْنفُ َذ النِّ َسا ُ_ء قَ ْب َل أَ ْن يُ ْد ِر َكه َّ_ُن َم ْن‬ ٍ ‫قَا َ_ل ابْنُ ِشهَا‬
‫ف ِم ْن ْالقَوْ ِ_م‬ _َ ‫ص َر‬َ ‫ا ْن‬
Artinya : Dari Ummu Salamah radhiallahu anha dia berkata, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam jika beliau salam (selesai shalat) maka kaum
wanita segera bangkit saat beliau selesai salam lalu beliau diam sebentar
sebelum bangun. Ibnu Syihab berkata, ‘”Saya berpendapat bahwa diamnya

5
QS. Al-Ahzab: 53
beliau adalah agar kaum wanita sudah habis sebelum disusul oleh jamaah
laki-laki yang hendak keluar masjid” (HR. Bukhari, no. 793).
Rasulullah juga memerintahkan untuk membuat pintu masjid khusus
wanita. Ini termaktub dalam Hadits Riwayat Abu Daud yang berbunyi:
َ َ‫لَوْ تَ َر ْكنَا هَ َذا ْالب‬
‫اب لِلنِّ َسا ِء قَا َل نَافِ ٌع فَلَ ْم يَ ْد ُخلْ ِم ْنهُ ابْنُ ُع َم َر َحتَّى َماتَ (رواه أبو داود‬
)‫رقم_ (في كتاب الصالة باب التشديد في ذلك‬
Artinya “Dari Ibnu Umar beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda, ‘Hendaknya kita khususkan pintu ini untuk wanita.’
Nafi berkata, ‘Maka Ibnu Umar tidak pernah masuk lewat pintu itu hingga
wafat.” (HR. Abu Daud, no. 484 dalam kitab ‘Ash-Shalah).

Dari Abu Hurairah dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

‫وف النِّ َسا ِء آ ِخ ُرهَا َو َشرُّ هَا أَ َّولُهَا (رواه مسلم رقم‬ ُ ‫وف ال ِّر َجا ِل أَ َّولُهَا َو َشرُّ هَا آ ِخ ُرهَا َو َخ ْي ُر‬
ِ ُ‫صف‬ ِ ُ‫صف‬
ُ ‫َخ ْي ُر‬

Artinya: “Sebaik-baik barisan laki-laki adalah barisan pertamanya dan


seburuk-buruknya adalah barisan akhirnya. Sebaik-baik barisan wanita
adalah barisan akhirnya dan seburuk-buruknya adalah barisan
pertamanya.”  (HR. Muslim, no. 664)

Islam melarang perbuatan tersebut karena sifatnya yang merapatkan


hubungan antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim. Ini dikhawatirkan
dapat menjerumuskan umat kepada perzinaan.

3. Hukum Ikhtilat
Ikhtilath atau campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram, hukumnya terbagi dua, ada yang haram dan ada yang dibolehkan.
1) Ikhtilath yang Diharamkan
Ikhtilath yang diharamkan adalah ikhtilath yang melanggar ketentuan-
ketentuan Syari’ah, misalnya:
(a) Laki-laki dan perempuan non-mahram berkhalwat (berduaan di tempat
sepi), dan memandang dengan pandangan syahwat
(b) Laki-laki dan perempuan non-mahram berkhalwat (berduaan di tempat
sepi), dan memandang dengan pandangan syahwat
(c) Main-main, bersenda gurau, dan saling bersentuhan badan, seperti
ikhtilath dalam berbagai pesta dan perayaan, seperti pesta ulang tahun
dan semisalnya.
(d) Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

‫ار ِه ْم‬
ِ ‫ص‬َ ‫قُل لِ ْل ُم ْؤ ِمنِينَ يَ ُغضُّ وا_ ِم ْن أَ ْب‬

Artinya: “Katakanlah pada para laki-laki yang beriman, hendaklah mereka


menahan pandangan mereka.” (QS. An-Nuur [24]: 30)

‫ار ِه َّن‬
ِ ‫ص‬َ ‫ت يَ ْغضُضْ نَ ِم ْن أَ ْب‬
ِ ‫َوقُل لِ ْل ُم ْؤ ِمنَا‬

Artinya: “Katakanlah pada para perempuan yang beriman, hendaklah mereka


menahan pandangan mereka.” (QS. An-Nuur [24]: 31)

‫َوالَ يُ ْب ِدينَ ِزينَتَه َُّن‬

Artinya: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka.” (QS. An-


Nur [24]: 31)6

ٍ ‫إِ َذا َسأ َ ْلتُ ُموه َُّن َمتَاعًا فَاسْأَلُوه َُّن ِم ْن َو َرا ِء ِح َجا‬
‫ب‬

Artinya: “Jika kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri


Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (QS. Al-Ahzab [33]: 53)

ُ‫الَ يَ ْخلُ َو َّن َر ُج ٌل بِا ْم َرأَ ٍة فَإِ َّن ثَالِثَهُ َما ال َّش ْيطَان‬

6
QS. An-Nuur 24: 31-31
Artinya: “Seorang laki-laki tidak boleh berduaan dengan seorang perempuan,
karena yang ketiga (jika mereka berduaan) adalah syaithan.” (HR. At-
Tirmidzi)

_َ ‫يض لَ ْم يَصْ لُحْ أَ ْن ي َُرى ِم ْنهَا إِالَّ هَ َذا َوهَ َذا َوأَ َش‬
‫ار‬ َ ‫ت ْال َم ِح‬
ِ ‫يَا أَ ْس َما ُء إِ َّن ْال َمرْ أَةَ إِ َذا بَلَ َغ‬

‫إِلَى َوجْ ِه ِه َو َكفَّ ْي ِه‬

Artinya: “Wahai Asma’ (binti Abu Bakar), sesungguhnya perempuan


jika telah baligh, tidak boleh kelihatan darinya kecuali ini dan ini. (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat pada wajah dan kedua tapak
tangan beliau).” (HR. Abu Dawud)

Fuqaha pun telah sepakat akan keharaman seorang laki-laki menyentuh


perempuan ajnabiyyah (non-mahram), kecuali jika si perempuan sudah tua
dan tidak menarik lagi bagi laki-laki. Yang juga dikecualikan dari keharaman
ini adalah seorang dokter yang pada kondisi tertentu harus melihat dan
menyentuh pasiennya, untuk menyelamatkan nyawa pasien tersebut atau
untuk menghindarkannya dari penyakit yang bertambah parah. Ini adalah
kondisi “dharurah”, dan kaidah fiqih menyatakan, “adh-dharurat tubihul
mahzhurat” (sesuatu yang ‘dharurah’ menjadikan hal yang haram menjadi
boleh).

2. Ikhtilath yang Dibolehkan


Dibolehkan ikhtilath antara laki-laki dan perempuan jika terdapat
keperluan yang dibolehkan oleh Syari’ah, selama tetap memperhatikan
ketentuan-ketentuan Syari’ah seperti yang telah dijelaskan di atas.
Berdasarkan hal ini, perempuan dibolehkan keluar rumah untuk shalat
jamaah dan shalat ‘id. Sebagian ulama juga membolehkan ia berangkat
menunaikan ibadah haji bersama rombongan laki-laki yang aman dari
‘fitnah’. Ia juga boleh melakukan aktivitas jual beli dengan laki-laki, aktivitas
‘ijarah’, dan aktivitas-aktivitas lain yang dibolehkan oleh Syari’ah.Imam
Malik pernah ditanya tentang seorang perempuan dewasa yang tidak
bersuami, yang meminta bantuan kepada seorang laki-laki, kemudian laki-
laki itu membantunya memenuhi berbagai kebutuhannya, apakah hal itu baik?
Imam Malik menjawab, itu tidak apa-apa, dan jika ia mengajak orang lain
bersamanya, itu lebih aku sukai. Beliau juga menyatakan, jika orang-orang
meninggalkan atau mengabaikan perempuan tersebut, ia akan mengalami
kesulitan.
Ibnu Rusyd menyatakan, ini jika si laki-laki bisa menundukkan
pandangannya dari hal-hal yang tidak dihalalkan baginya. 7

4. Bahaya Ikhtilat
Kita masih pada risalah yang pertama yaitu pemuliaan Islam untuk
wanita dan kita masih membahas bab yang berbunyi kemuliaan wanita di
dalam Islam.
Jadi, risalah penting untuk Muslimah membahas risalah yang pertama
yaitu pemuliaan Islam terhadap wanita. Dan kita pada bab kemuliaan wanita
dalam agama Islam.
Islam adalah agama yang lurus dengan petunjuk-petunjuknya yang
sangat lurus dan dengan ajaran-ajarannya yang sangat proporsional.
Islam menjaga wanita muslimah, menjaga kesucian, kehormatan, dan
Islam bertanggung jawab untuk menegakkan kemuliaan dan kebahagiaan
wanita muslimah. Oleh karenanya Islam menyediakan sebab-sebab yang
dengannya seorang wanita Muslimah jauh dari keadaan-keadaan yang
berbahaya untuk wanita muslimah, keadaan-keadaan yang merusak, yang
merenggut kesucian wanita muslimah.
Ini semua adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat besar
untuk hamba-hambaNya. Yang mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah

7
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Bahasan “Ikhtilath Ar-Rijal Bi An-Nisa” (2/290-291)
menurunkan syariat Islam sebagai kebaikan bagi kaum Muslimin dan
sebagai penjaga kemaslahatan-kemaslasshatan baik bagi kaum Muslimin.
Islam sebagai agama, benar-benar telah menjaga kesucian wanita Muslimah
agar tidak rusak, tidak hancur, makanya didalam agama Islam banyak sekali
syariat-syariat yang menjaga kesucian wanita Muslimah. Sehingga
tidak terjadi kerusakan dan dekadensi moral yang ada di tengah-
tengah kaum Muslimah.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, tidak diragukan lagi


bahwa menempatkan para peremapuan dan bercampur dengan laki-
laki adalah pokok segala musibah, bala dan kerusakan.
Ini perkataan dari seorang Imam. Bahwa membiarkan para
perempuan berkumpul dan bercampur dengan para lelaki adalah
pokok setiap musibah dan keburukan. Ia adalah termasuk dari sebab-
sebab yang paling terbesar turunnya musibah dan hukuman-
hukuman yang merata.

Terkumpulnya perempuan dengan laki-laki adalah sebab yang


paling terbesar datangnya siksa yang merata. Sebagaimana dia adalah
termasuk salah satu penyebab kerusakan yang umum ataupun yang
khusus.

Disini Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullahu Ta’ala


ingin memberikan peringatan kepada kita bahwasannya termasuk
sumber keburukan, sumber malapetaka adalah ketika tercampurnya
perempuan Muslimah dengan para lelaki.

Maka dalam agama Islam diharamkan akan hal ini. Diantara dalil-
dalil yang menunjukkan haramnya berkumpulnya para perempuan
dengan para lelaki tanpa ada hijab adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 33:
‫َوقَرْ نَ فِي بُيُوتِ ُك َّن َواَل تَبَرَّجْ نَ تَبَرُّ َج ْال َجا ِهلِيَّ ِة اأْل ُولَ ٰى‬
Artinya : “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu …” (QS. Al-Ahzab[33]: 33)

Didalam ayat ini, menunjukkan bahwa sebaik-baik hijab bagi para


perempuan Muslimah adalah rumahnya. Sehingga benar-benar terjaga
antara perempuan Muslimah dengan bercampurnya dengan laki-laki
yang bukan mahramnya.

Dalil yang kedua dari ayat Al-Quran surat Al-Ahzab Ayat 53, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ْ َ‫ب ۚ ٰ َذلِ ُك ْم أ‬
‫طهَ ُر لِقُلُوبِ ُك ْم َوقُلُوبِ ِه َّن‬ ٍ ‫َوإِ َذا َسأ َ ْلتُ ُموه َُّن َمتَاعًا فَاسْأَلُوه َُّن ِمن َو َرا ِء ِح َجا‬

Artinya “…Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka


(isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu
lebih suci bagi hatimu dan hati mereka…” (QS. Al-Ahzab[33]: 53)8
Ayat ini menunjukkan bahwasanya seorang wanita Muslimah semestinya
berhijab di hadapan laki-laki yang bukan mahram dan tidak
melakukan ikhtilat (percampuran antara laki-laki dengan dengan perempuan).
Karena itu lebih suci untuk hati.
Berapa banyak kejadian seorang istri berselingkuh dengan kawan
suaminya. Kenapa demikian? Karena saking seringnya terlihat istri tersebut di
hadapan kawan suaminya.

8
Qs.Al-Ahzab 33:53
Kemudian dalil yang lain dari hadits Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Hadits dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

َ ‫ َوإِنَّهَا الَتَ ُكوْ نُ أَ ْق َر‬، ُ‫ت ِم ْن بَ ْيتِهَا اِ ْستَ ْش َرفَهَا_ ال َّش ْيطَان‬
‫ب‬ ْ ‫ َوإِنَّهَا إِ َذا َخ َر َج‬، ٌ‫اَ ْل َمرْ أَةُ عَوْ َرة‬

ِ ‫إِلَى هللاِ ِم ْنهَا فِ ْي قَع‬


َ‫ْر بَ ْيتِه‬

“Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya.
Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allah (ketika shalat) melainkan di dalam
rumahnya.” (HR. Tirmidzi)
Ini adalah jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan
oleh para perempuan. Bahwa wanita bekerja, bagaimana mereka bisa terlepas
dari ikhtilat (percampuran antara laki dan perempuan)? Maka kembali kepada
hukum Islam. Hukum Islam memerintahkan untuk perempuan senantiasa di
rumahnya. Kalaupun bekerja, maka bekerjalah dia di tempat yang dia tidak
bercampur dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Dalil yang lain dari hadits Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang untuk
bercampurnya laki-laki dan perempuan bahkan di jalan. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda saat beliau keluar masjid. Dan pada
waktu itu para laki-laki dan para perempuan telah bercampur di jalan. Kemudian
kata Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

ِ ‫َت ْال َمرْ أَةُ ت َْلت‬


ُ ‫َص‬
‫ق‬ _ِ ‫ت الطَّ ِر‬
ْ ‫يق فَ َكان‬ ِ ‫ق َعلَ ْي ُك َّن بِ َحافَّا‬ َ ‫ا ْستَأْ ِخرْ نَ فَإِنَّهُ لَي‬
_َ ‫ْس لَ ُك َّن أَ ْن تَحْ قُ ْقنَ الطَّ ِري‬

ِ ‫ق بِ ْال ِجد‬
‫َار ِم ْن لُصُوقِهَا_ بِ ِه‬ ِ ‫بِ ْال ِجد‬
ُ َّ‫َار َحتَّى إِ َّن ثَوْ بَهَا لَيَتَ َعل‬
“Hendaklah kalian memperlambat dalam berjalan (terakhir), sebab kalian
tidak berhak untuk memenuhi jalan. Hendaklah kalian berjalan di pinggiran
jalan.” Sehingga ada seorang wanita yang berjalan dengan menempel tembok,
hingga bajunya menggantung tembok karena ia menempel tembok.” (HR. Abu
Dawud)
Ini menjadi pelajaran bagi para perempuan. Dan ini sudah menjadi ajaran
yang asing di tengah wanita Muslimah. Semestinya wanita Muslimah di rumah,
semestinya wanita Muslimah kalaupun jalan di samping-samping jalan. Ini
mungkin sudah menjadi ajaran yang asing di tengah wanita Muslimah.
Dalil yang lain, Nabi Muhammad  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengkhususkan di masjid Nabawi  sebuah pintu untuk masuk para wanita dan
untuk keluar para wanita. Hal ini agar tidak tercampur antara masuknya para
para wanita dengan laki-laki. Ini disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ال نَافِ ٌع فَلَ ْم‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لَوْ تَ َر ْكنَا_ هَ َذا ْالب‬
َ َ‫اب لِلنِّ َسا ِء ق‬ َ ِ ‫ال قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ع َْن اب ِْن ُع َم َر ق‬

َ‫يَ ْد ُخل ِم ْنهُ ابْنُ ُع َم َر َحتَّى َمات‬

“Dari Ibnu Umar dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


bersabda: “Sekiranya kita menyisakan pintu ini (seraya beliau menunjuk kepada
salah satu pintu Masjid) untuk para wanita (adalah lebih baik).” Nafi’ berkata;
Maka Ibnu Umar tidak pernah masuk dari pintu tersebut hingga dia meninggal.”
(HR. Abu Dawud)

B. Tinjauan Kepustakaan
Tinjauan pustaka adalah suatu bagian yang terpenting atas sebuah
proposal atau merupakan sebuah laporan dari hasil penelitian. Pada saat akan
melakukan suatu penelitian maka hal yang paling utama yang dibutuhkan ialah
sebuah dukungan dari setiap hasil dari setiap penelitian yang sebelumnya
memang sudah ada dan masih saling berkaitan dengan hasil dari penelitian
tersebut.
Pembahasan mengenai konsep ikhtilath merupakan sesuatu yang penting
untuk mengatahui batasan batasan dalam melakukan interaksi antara sesama
manusia.Terutama tata cara berinteraksi dengan lawan jenis agar sesuai dengan
syariat islam. Maka dari itu penulis tertarik untuk membahas konsep ini lebih
dalam. hal yang paling utama yang dibutuhkan penulis ialah sebuah referensi
atau kajian pustaka yang dapat membantu penulis dalam menyelesaikan sebuah
proposal atau hasil penelitian nya . Maka penulis menemukan beberapa referensi
yang berkaitan dengan pembahasan diatas.
Beberapanya adalah :
1. Tafsir al qurthubi ( jilid 14 ) ta'aliq : muhammad ibrahim al hifnawi.
Takhrij : mahmud hamid utsman
Secara garis besar tafsir ini membahas tentang bagaimana cara
bersosialisasi dengan lawan jenis yang diajar kan dalam islam agar terhindar
dari perbuatan zina dan hal yang dapat merugikan kita didunia dan di
akhirat.
Dalam tafsir ini juga dijelas kan panduan tentang interaksi sosial
terutama dengan lawan jenis, tata aturan pergaulan dalam islam dan juga
bagaimana Islam memberikan pendidikan khusus yang membahas tentang
batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan untuk menjaga keduanya
dari fitnah.
2. Skripsi dengan judul "TRADISI IKHTILĀṬ DALAM PESTA
PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM" (STUDI KASUS DI
DESA GRENDENG, KECAMATAN PURWOKERTO UTARA,
KABUPATEN BANYUMAS)
Secara garis besar penelitian ini membahas tentang bagaimana Pergaulan
menjadi salah satu kebutuhan seorang manusia dengan manusia lain. dimana
manusia dikenal dengan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Penelitian ini membahas gambaran
umum tentang bagaimana manusia tidak akan mungkin dapat terlepas dari
makhluk hidup lainnya, manusia pasti akan membutuhkan orang lain untuk
berinteraksi satu sama lain.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian


Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.berdasarkan hal tersebut terdapat
empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan dan
kegunaan.9
Dalam suatu karya tulis ilmiah, metode merupakan suatu hal yang sangat
penting, karena merupakan upaya ilmiah yang menyangkut cara kerja untuk
memahami dan mengolah obyek yang menjadi metode sasaran suatu ilmu yang
diteliti.
Metode – metode yang digunakan dalam proposal ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Secara umum penelitian ini termasuk salah satu penelitian yang bersifat
kepustakaan (library research), yakni penelitian yang mengambil data dan
informasi yang berasal dari material yang terdapat diruang perpustakaan,
seperti buku, majalah, dokumen, catatan, kisah-kisah sejarah, dan lain
sebagainya.10
Dalam penelitian pustaka ada beberapa metode yang bisa dilakukan
dalam penelitian ini, yaitu :
Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
tahlili (menjelaskan) dimana metode ini mebahas tentang mengkaji ayat –
ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknyaanya. Seorang pengkaji dengan
metode ini menafsirkan ayat – ayat Al-Qur’an, ayat demi ayat, dan surat
demi surat, sesuai dengan urutan Mushaf Utsmany. Dengan demikian ia
menguraikan kosa kata, lafadh, arti, sasarannya, dan kandungan ayat, yaitu
unsur I’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang
9
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2018),
hlm. 2.
10
Jani Arni, Metode Penelitian Tafsir, (Pekanbaru: Pustaka Riau , 2013), hlm. 12.
diistimbathkan dari ayat, yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, arti linguistic,
akhlak, tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah,
isti’arah, serta menerangkan kaitan antara ayat – ayat dan relevansinya
dengan surat sebelum dan sesudahnya. Kesemuanya itu senantiasa mengacu
pada asbab nuzul ayat, hadits Rasulullah, Riwayat sahabat, dan tabi’in.11

2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yaitu jenis penelitian yang temuan – temuannya tidak diperoleh
melalui prosedur statistic atau bentuk hitungan lainnya. 12Penelitian kualitatif
mempunyai sifat deskriptif analisis. Data yang sudah diperoleh disusun
sedemikian rupa dan tidak dituangkan dalam bentuk dan angka – angka.
Peneliti segera melakukan analisis data dengan memperkaya informasi,
mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas.
Dasar data aslinya (tidak ditransformasi dalam bentuk angka). 13 Hakikat
pemaparan data pada umumnya menjawab pertanyaan – pertanyaan mengapa
dan bagaimana suatu fenomena itu terjadi. Untuk itu peneliti dituntut
memahami dan menguasai bidang ilmu yang ditelitinya sehingga dapat
memberikan justifikasi (putusan) mengenai kosep dan makna yang
terkandung dalam data. Penelitian kualitatif mempunyai setting yang alami
sebagai sumber data langsung dan peneliti sebagai instrument kunci. 14
B. Sumber Data
Sumber data penelitian adalah dari mana data itu diambil dan dikumpulkan.
Jika penelitiannya adalah penelitian kepustakaan, sumber data yang diambil dari
bahan – bahan Pustaka. Maka untuk memperoleh data – data yang nantinya

11
Ma’mun Mu’min, Metodologi Ilmu Tafsir¸ (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), hlm. 94-
95.
12
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian
Kualitatif Dalam Berbagai Disiplin Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 12.
13
Masrukhin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Kudus: Media Ilmu Press, 2015), hlm. 7.
14
Ibid, hlm. 8.
digunakan untuk mengerjakan proposal ini, penulis mencarinya dari sumber data
sebagai berikut :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang berasal Secara langsung dari tangan
pertama. Dalam penelitian kepustakaan Ketika peneliti membahas tentang
karya seseorang atau tokoh maka dia harus menemukan dan menggunakan
karya asli dari tokoh yang dimaksud.15 Dalam penelitian ini yang menjadi
sumber data primer adalah Al-Quran, Hadits, serta Kitab Tafsir Al-Qurthubi
Jilid 14 Ta’liq Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi.

2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data – data pendukung yang diambil dari berbagai
sumber (literatur) yang dipandang relevan untuk dijadikan rujukan kedua
atau didapat dari tangan kedua setelah data primer. Data Sekundernya adalah
buku penunjang secara tidak langsung yaitu terdiri dari literatur-literatur
serta buku-buku yang memiliki relevansinya dengan pembahasan.16 Data
sekunder dapat berupa jurnal, makalah, proposal ataupun artikel – artikel
yang memiliki relevansinya dengan pembahasan pada penelitian ini.

C. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah pengumpulan data
dengan mengambil sumber dari beberapa tulisan, baik tulisan dalam bentuk
arsip, buku teori, pendapat, dalil, hukum, dan lain-lain yang memiliki
keterkaitan dengan masalah penelitian.17

15
Ulya, Metode Penelitian Tafsir, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2010), hlm. 28
16
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 93-94.
17
Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm.
191.
D. Teknik Analisis Data
Data yang telah di kumpul kemudian di analisa dengan menguraikan ataupun
menyajikan seluruh permasalahan yang ada pokok-pokok permasalahan secara
tegas dan sejelas-jelasnya, kemudian diambil satu kesimpulan sehingga
penyajian hasil penelitian dapat dipahami dengan mudah dan jelas. Data
penelitian ini di analisis melalui pendekatan ilmu tafsir dengan metode tahlili.
Metode tahlili atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode
Tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan
kandungan ayat – ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat – ayat Al-Qur’an sebagaimana tercantumkan di dalam mushhaf.
Dalam hubungan ini mufassir mulai dari ayat ke ayat berikutnya, atau dari surat
ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan yang
termaktub di dalam mushhaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh Seorang
mufassir tajzi’iy/tahlili diuraikan. Yaitu bermula dari kosakata, asbab al-nuzul.
Munasabat, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.18
Metode tahlili memiliki beberapa keutamaan, yaitu: Metode yang pertama
kali muncul yang menjelaskan makna ayat secara terperinci. Metode yang
popular di kalangan mufassir, baik mufassir klasik maupun mufassir
kontemporer. Metode ini mencakup semua penjelasan, baik penjelasan
menggunakan Bahasa yang singkat padat, ataupun yang memberikan penjelasan
yang cukup luas, sehingga menghasilkan karya tafsir yang berjilid-jilid. Metode
ini dengan mudah memperlihatkan kecenderungan, serta arahan pemikiran
Seorang mufassir, apakah mufassir tersebut Lebih banyak menggunakan
penjelas bersumber dari Riwayat (bi al-ma’tsur), atau hasil pemikiran (ra’yu),
serta mazhab – mazhab baik di bidang akidah, maupun fiqh yang
mempengaruhinya.19

18
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 219.
19
Jani Arni, Metode Penelitian Tafsir, (Pekanbaru: Pustaka Riau, 2013), hlm. 77.

Anda mungkin juga menyukai