Anda di halaman 1dari 29

PENDAHULUAN

Efusi pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara berkembang termasuk di Indonesia


meskipun diagnosis pasti sulit ditegakkan. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit,
sebab itu hendaknya dicari penyebabnya.
Efusi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pleura secara berlebihan sebagai akibat
transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik) dan eksudasi (perubahan permeabilitas
membran) pada permukaan pleura seperti terjadi pada proses infeksi dan neoplasma.

LAPORAN KASUS

A. ANAMNESIS (Autoanamnesis)

IDENTIFIKASI
Nama : Tn. Anas
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 45 tahun
Alamat : Kelurahan semper barat 1
Pekerjaan : Kru Pelayaran
Status perkawinan : Menikah

Keluhan Utama : Sesak nafas menghebat sejak + 3 hari SMRS

Keluhan Tambahan : Nafsu makan menurun sejak + 1 bulan SMRS

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


+ 1 bulan SMRS Os mengeluh batuk berdahak, dahak kental warna putih. Kadang dahak
disertai darah banyaknya + 1 sendok teh. Keringat malam tidak ada, nyeri dada tidak ada,
nyeri ulu hati tidak ada, sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, mual tidak ada, muntah
tidak ada, nafsu makan menurun. BAB biasa. BAK biasa. Os lalu berobat ke klinik dokter
swasta dinyatakan sakit batuk biasa dan diberi obat 4 macam. Os lupa nama obatnya, os
menyangkal mengonsumsi obat yang menyebabkan warna kencing menjadi seperti teh. Os
mengaku tidak mengalami perbaikan kesehatan.
+ 1 minggu SMRS Os mengeluh sesak nafas saat melakukan aktifitas berat. Sesak nafas
tidak dipengaruhi cuaca, emosi, dan debu. Os tidur menggunakan 1 bantal. Batuk ada
disertai dahak kental warna putih kekuningan. Dahak campur darah terkadang ada
banyaknya + 1 sendok teh. Keringat malam ada, mual ada, muntah tidak ada, nyeri dada
tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada, nafsu makan menurun dan berat badan menurun. Sakit
kepala ada, merasa mudah lelah, demam ada. BAK biasa. BAB biasa.
+ 3 hari SMRS. Os mengeluh sesak nafas menghebat. Os mengeluh sesak nafas saat
melakukan aktifitas biasa. Os tidak dapat berjalan lebih dari 50 meter dikarenakan sesak
nafasnya. Sesak nafas tidak dipengaruhi cuaca, emosi, dan debu. Os tidur menggunakan 1
bantal. Os lebih merasa nyaman tidur dengan posisi menghadap kanan. Batuk ada disertai
dahak kental warna putih kekuningan. Keringat malam ada, mual ada, muntah tidak ada,
nyeri dada tidak ada, nafsu makan menurun. Sakit kepala ada, merasa mudah lelah, demam
ada. BAK biasa. BAB biasa.

RIWAYAT PENYAKIT/KEBIASAAN DAHULU


Riwayat sakit asma disangkal.
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal.
Riwayat penyakit kencing manis disangkal.
Riwayat merokok ada selama 10 tahun, os mengaku berhenti 6 bulan yang lalu.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

STATUS GIZI
Diet sebelum sakit : 3 x sehari, teratur, porsi sedang
Variasi Diet
Karbohidrat : Nasi 1/2 piring 3 x 1 hari, kadang-kadang Pempek gandum
Protein : Telur setiap hari, tahu dan tempe setiap hari.
Lemak : Daging ayam 1 potong, 3 x 1 minggu.
Daging sapi jarang, 1x 6 bulan.
Sayur : Setiap hari, sayur bayam
Buah : 1 x 1 minggu
Susu : jarang 1x/minggu

B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit
Keadaan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : (BB : 45 kg, TB : 160cm)
RBW = (45/160 - 100) x 100% = 75 %
Kesan : Status gizi kurang
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 76 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup.
Pernapasan : 23 kali/menit, regular, thoracoabdominal
Temperatur : 36.7 ºC
Berat badan : 45 Kg
Panjang badan : 160 cm

C. KEADAAN SPESIFIK
Kulit
Warna kuning langsat, eflorosensi (-), scar (+), pigmentasi normal, ikterus(-),sianosis (-),
spider nevi (-), temperatur kulit dingin, keadaan kulit lembab, pertumbuhan rambut normal,
telapak tangan dan kaki pucat (-).
KGB
Kelenjar getah bening di submandibula, leher, axilla, inguinal tidak teraba.

Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi tampak sakit, warna rambut hitam, rambut mudah rontok (-),
deformitas (-).
Mata
Eksophtalmus (-), endophtalmus (-), edem palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-),
sklera ikterik (+), pupil isokor, reflek cahaya (+), pergerakan mata ke segala arah baik.
Hidung
Bagian luar hidung tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
selaput lendir dalam batas normal, epistaksis (-).
Telinga
Kedua meatus acusticus externus normal, pendengaran baik.
Mulut
Sariawan (-), pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), lidah pucat (-), lidah kotor (-), atrofi
papil (-), rhagaden (-), bau pernafasan khas (-), gusi bengkak (-).
Leher
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tyroid, JVP (5-2) cm H2O, hipertrofi musculus
sternocleidomastoideus (-), kaku kuduk (-)
Thorax
Paru (anterior)
Inspeksi : statis : simetris kanan dan kiri
dinamis : kanan tertinggal daripada kiri
retraksi : (-)
Palpasi : fremitus kanan kurang daripada kiri.
Perkusi : kanan redup mulai ICS 5 redup sampai ICS 8 dan kiri sonor.
Auskultasi : vesikuler kanan menurun, kiri normal. Ronki basah nyaring (+) kanan,
wheezing (-).
Paru (posterior)
Inspeksi : statis : simetris kanan dan kiri
dinamis : simetris kanan dan kiri.
Palpasi : fremitus kanan kurang daripada kiri.
Perkusi : kanan redup mulai ICS 5 redup sampai ICS 8 dan kiri sonor.
Auskultasi : vesikuler kanan menurun, kiri normal. Ronki basah nyaring (+) kanan pada
daerah apex kiri, wheezing (-).
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas kanan: linea sternalis dextra,
Batas kiri: linea midclavicula sinistra ICS 5,
Batas atas ICS II
Auskultasi : HR= 76 kali/menit, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-)
Palpasi : Lemas, Nyeri tekan (-), hepar tiddak dapat dinilai dan lien tidak
teraba.
Perkusi : Tympani, shifting dullness (-), batas paru hepar di ICS V, peranjakan
hepar ICS VI. Nyeri ketok tidak ada.
Auskultasi : Bising usus normal
Genital
Tidak diperiksa
Ektremitas
Ekstremitas atas : Palmar eritem (-), nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan
parut (-), pigmentasi (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-)
Ekstremitas bawah : Nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-),
pigmentasi (-), telapak kaki pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali
lambat (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil lab puskesmas


Hasil lab dirumah sakit
RESUME

+ 1 bulan SMRS Os mengeluh batuk berdahak, dahak kental warna putih. Kadang dahak
disertai darah banyaknya + 1 sendok teh. Keringat malam tidak ada, nyeri dada tidak ada,
nyeri ulu hati tidak ada, sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, mual tidak ada, muntah
tidak ada, nafsu makan menurun. BAB biasa. BAK biasa. Os lalu berobat ke klinik dokter
swasta dinyatakan sakit batuk biasa dan diberi obat 4 macam. Os lupa nama obatnya, os
menyangkal mengonsumsi obat yang menyebabkan warna kencing menjadi seperti teh. Os
mengaku tidak mengalami perbaikan kesehatan.
+ 1 minggu SMRS Os mengeluh sesak nafas saat melakukan aktifitas berat. Sesak nafas
tidak dipengaruhi cuaca, emosi, dan debu. Os tidur menggunakan 1 bantal. Batuk ada
disertai dahak kental warna putih kekuningan. Dahak campur darah terkadang ada
banyaknya + 1 sendok teh. Keringat malam ada, mual ada, muntah tidak ada, nyeri dada
tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada, nafsu makan menurun dan berat badan menurun. Sakit
kepala ada, merasa mudah lelah, demam ada. BAK biasa. BAB biasa.
+ 3 hari SMRS. Os mengeluh sesak nafas menghebat. Os mengeluh sesak nafas saat
melakukan aktifitas biasa. Os tidak dapat berjalan lebih dari 50 meter dikarenakan sesak
nafasnya. Sesak nafas tidak dipengaruhi cuaca, emosi, dan debu. Os tidur menggunakan 1
bantal. Os lebih merasa nyaman tidur dengan posisi menghadap kanan. Batuk ada disertai
dahak kental warna putih kekuningan banyaknya + 1 sendok teh. Keringat malam ada, mual
ada, muntah tidak ada, nyeri dada tidak ada, nafsu makan menurun. Sakit kepala ada, merasa
mudah lelah, demam ada. BAK biasa. BAB biasa.
Riwayat penyakit dahulu seperti sakit asma, penyakit darah tinggi, dan penyakit kencing
manis disangkal. Os mempunyai riwayat meokok sejak 10 tahun yang lalu tetapi os
menyatkan telah berhenti sejak 6 bulan yang lalu.. Riwayat penyakit dengan keluhan yang
sama disangkal oleh Os.

Status gizi Os sebelum sakit, makan 3 kali sehari, teratur dan porsi sedang. Dari bagian
karbohidratnya, nasi 1/2 piring 3 x 1 hari, pempek gandum di pagi hari. Dari bagian protein,
telur setiap hari, tahu dan tempe setiap hari. Dari bagian lemaknya, daging ayam 1 potong,
3 x 1 minggu, daging sapi jarang, 1x 6 bulan. Dari bagian sayurnya, setiap hari Os makan
sayur bayam. Os hanya makan buah 1 kali seminggu dan jarang minum susu.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 76 x/m, regular, isi dan tegangan cukup,
pernafasan Os 23 x/m, reguler dan thoracoabdominal, temperatur 36.7°C, berat badan 45 kg
dan panjang badan 160 cm. Pemeriksaan jantung dalam batas normal. Pemeriksaan paru,
stemfremitus kanan menurun, perkusi redup dari ICS 5 sampai ICS 8 pada thoraks bagian
kanan, vesikuler kanan berkurang, RBH di apeks kiri. Pemeriksaan fisik abdomen dalam
batas normal.
DIAGNOSIS SEMENTARA
Suspek Efusi Pleura e.c TB Paru
Anemia

DIAGNOSIS BANDING
Suspek Efusi Pleura e.c pneumonia
Suspek Efusi Pleura e.c Keganasan
Suspek Efusi pleura e.c CHF

E. RENCANA TERAPI di anjurkan


Non Farmakologi
 Istirahat
 Konsultasi GIZI

Farmakologi
Ambroxol Tablet 3 x 1
Paracetamol 3 x 500 mg (k/p)

RENCANA EDUKASI
 Berhenti merokok

RENCANA PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Rontgen Thoraks A/P
Pemeriksaan Rontgen Thoraks Lateral
Pemeriksaan Patologi Anatomi Cairan Efusi

F. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functional : dubia ad bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
ANALISIS KASUS

Efusi pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara berkembang termasuk di Indonesia


meskipun diagnosis pasti sulit ditegakkan. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit,
sebab itu hendaknya dicari penyebabnya. Dengan sarana yang ada, sangat sulit untuk
menegakkan diagnosis efusi pleura tuberkulosis sehingga sering timbul anggapan bahwa
penderita tuberkulosis paru yang disertai dengan efusi pleura, efusi pleuranya dianggap efusi
pleura tuberkulosis, sebaliknya penderita bukan tuberkulosis paru yang menderita efusi pleura,
efusi pleuranya dianggap bukan disebabkan tuberkulosis. Hal ini tidak selalu benar, karena
tuberkulosis paru dapat disertai efusi pleura yang bukan karena tuberkulosis dan sebaliknya non
tuberkulosis paru dapat disertai efusi pleura karena tuberkulosis.
Tuberkulosis adalah penyakit bakteri yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis
(terkadang oleh Mycobacterium bovis dan Mycobacterium africanum). Infeksi terjadi apabila
seseorang terpapar oleh tubercle bacilli. Droplet nuklei selanjutnya akan terhirup dan
menginfeksi paru. Gejala yang paling penting dalam penegakan diagnosis TB adalah batuk lebih
dari 2-3 minggu, adanya dahak, dan penurunan berat badan. Gejala lain yang bisa muncul pada
penderita TB adalah adanya nyeri dada, batuk darah, sesak nafas, demam, keringat malam,
mudah lelah, nafsu makan menurun, dan terjadinya amenorrhea pada wanita. Pemeriksaan
tambahan yang digunakan untuk menegakkan diagnostik adalah pemeriksaan dahak (BTA
I,II,III) dan pemeriksaan rontgen thoraks. Gold standart adalah ditemukan kuman TB pada
kultur.
Pada pasien ini dari anamnesis diperoleh Os mengalami batuk sejak sebulan SMRS,
batuk disertai dahak kental warna putih kekuningan dan terkadang disertai darah, demam ada,
keringat malam ada, mudah lelah ada, nafsu makan menurun ada, penurunan berat badan ada,
dan sesak nafas ada. Gejala tersebut merupakan gejala umum yang terjadi pada pasien penderita
TB. Pemeriksaan fisik didapatkan penurunan fremitus kanan, penurunan vesikuler kanan, perkusi
redup dari ICS 5 sampai ke ICS 8 pada thoraks bagian kanan. Pada hasil rontgen thoraks A/P dan
lateral pada bulan november didapatkan kesan efusi pleura massif.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam

kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau

cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-20

ml, cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura

mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.

B. Etiologi

A. Berdasarkan Jenis Cairan

 Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi

pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.

 Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi

pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.

Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar

Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura.

Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut

ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga criteria ini:

 Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

 LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6


 LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang

normal didalam serum.

Efusi pleura berupa :

a) Eksudat, disebabkan oleh :

1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,

Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-

6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam,

malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat

dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan

efusi.

2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh

bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara

hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun

anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,

Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-


lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin

dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari

rongga pleura.

3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,

Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat

terhadap organisme fungi.

4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi

melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat

juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya

cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan

nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk

ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi

yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan

jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala

febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.

5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-

paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi

bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi

terjadinya efusi ini diduga karena :

 Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan

terjadi kebocoran kapiler.


 Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,

bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan

gangguan aliran balik sirkulasi.

 Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan

negatif intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan

pleura yang ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam

cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam

cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan

sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang

menggunakan jarum (needle biopsy).

6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri,

abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai

predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna

purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik

ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan

pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4

indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi

parapneumonik:

 Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum

pleura

 Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura

 Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl


 Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah

daripada nilai pH bakteri.

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang

mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,

Skleroderma.

8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi

parapneumonik.

b) Transudat, disebabkan oleh :

1. Gangguan kardiovaskular

Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya

adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.

Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan

tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura

parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan

menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah

bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura

dan paru-paru meningkat.

Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga

menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan

adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan.

Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi

dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera


menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita amat

sesak.

2. Hipoalbuminemia

Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura

dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan

bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan

diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah

dengan memberikan infus albumin.

3. Hidrothoraks hepatik

Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang

kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi

kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila

penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada

alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah

pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi)

dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa

dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4. Meig’s Syndrom

Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita

dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan

sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor


ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul

karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya terjadi

karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma. Klinisnya

merupakan penyakit kronis.

5. Dialisis Peritoneal

Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral

ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga peritoneal ke rongga

pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya

komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.

c) Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada

hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang

baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor

koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila

darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari

trauma dinding dada.

C. Patofisiologis

Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura

berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling

bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan

ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler

dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan

pembentukannya.
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses

pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di

dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura

yaitu;

1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi

kapiler

2). Penurunan tekanan kavum pleura

3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.

Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura


Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan.

Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga

empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat

menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat

parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan

oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada

pasien emfisema paru (Halim et al., 2007).

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer

paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.

Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis

paru dan pneumothoraks (Halim et al., 2006).

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas

kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau

kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis

eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai

pleuritis eksudativa tuberkulosa (Halim et al., 2006). Penting untuk menggolongkan efusi

pleura sebagai transudatif atau eksudatif.

D. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik yang

teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan analisa cairan

pleura.

E. Manifestasi Klinis

a. Gejala Utama.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru terganggu.

Gejala yang paling sering timbul adalah sesak (Davey., 2003), berupa rasa penuh dalam

dada atau dispneu (Ward et al., 2007). Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak

(Davey., 2003), berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul (Ward et al., 2007). Adanya

gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis

(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk,

banyak riak.

Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan

pleural yang signifikan

b. Pemeriksaan Fisik.

 Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung

 Palpasi. Penurunan fremitus vocal atau taktil

 Perkusi. Pekak pada perkusi,

 Auskultasi. Penurunan bunyi napas

Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi

atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas

bronkus (Ward et al., 2007).

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena

cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam

pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak,

dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis

Damoiseu).

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah

pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi

daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.

Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

c. Pemeriksaan Penunjang.

Foto thoraks

Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam rongga

pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih

tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus menumpul (Davey., 2003).

Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi

gravitasi (Halim et al., 2006).

Torakosentesis.

Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.

Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah

paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16.

Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.

Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:

a. Warna cairan.

Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).

b. Biokimia.
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat pada

tabel dibawah:

c. Sitologi.

Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel

patologis atau dominasi sel-sel tertentu.

 Sel neutrofil: pada infeksi akut

 Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma

maligna).

 Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru

 Sel mesotel maligna: pada mesotelioma

 Sel giant: pada arthritis rheumatoid

 Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik

 Sel maligna: pada paru/metastase.

d. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung

mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering

pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter (Halim et al.,

2006).

Biopsi Pleura.

Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura.

Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor

pada dinding dada (Halim et al., 2006).

F. Penatalaksanaan

Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).

Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).

Torakosentesis.

Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga dapat

dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:

1. penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan

diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada

penderita dalam posisi tidur terlentang.

2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah

sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah

batas suara sonor dan redup.

3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan

jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya


disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai

diahfrahma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum

tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura

parietalis tebal.

Gambar 2. Metode torakosentesis

4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap

aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru

secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara

mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang

berat, dan hipotensi.

Pemasangan WSD.

Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan

dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman.

Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:

1. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea

aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.


2. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar

kurang lebih 2 cm sampai subkutis.

3. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.

4. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai

mendapatkan pleura parietalis.

5. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar

ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.

6. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan

kasa dan plester.

7. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang

dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan

dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat

masuk ke dalam rongga pleura.

Gambar 3. Pemasangan jarum WSD


8. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada

selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.

Untuk memastikan dilakukan foto toraks.

9. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru

telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

Pleurodesis.

Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan

penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah

sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin, dan

doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sbanyak-banyaknya, obat

sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang waktu 710 hari; pemberian obat

tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis

obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan

kembali cairan dalam rongga tersebut.

Obat lain adalah tetrasiklin.

Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru dalam keadaan mengembang.

Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garram faal, kemudian

dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan

garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang serta 10 ml lidokain

2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik

diberikan 11,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri

tersebut. Selang toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar
penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu

24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang toreaks dapat dicabut.

G. Diagnosa Banding

o Konsolidasi paru akibat pneumoni

o Keganasan paru dengan disertai kolaps paru

o Pneumotoraks

o Fibrosis paru

H. Prognosa

Tergantung penyakit yang mendasari, pada kasus tertentu, dapat sembuh sendiri

setelah diberi pengobatan adekuat terhadap penyakit dasarnya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua. EMS. Jakarta :

2008.

2. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 2007. Balai

Penerbit FK UI Jakarta.

3. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009

4. Maryani. 2008. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf pada tanggal 06 April 2011

5. Ewingsa. 2009. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf pada tanggal 06 April 2011

Anda mungkin juga menyukai