Anda di halaman 1dari 2

Hak gugat yang dimiliki organisasi sejatinya telah lama diatur sehingga telah melahirkan

beberapa yurisprudensi mengenai hal ini. Seperti beberapa perkara yang pernah diadili pada
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel dalam Perkara
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum antara WALHI melawan Lapindo Brantas, Inc., dkk. lalu
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 584/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel. dalam Perkara
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum antara WALHI melawan PT. Newmont Minahasa Raya,
dkk.
Hak gugat dari organisasi juga digunakan oleh WALHI kembali dalam Putusan Negeri
Bengkulu No. 44/Pdt.G/LH/2018/PN.Bgl. antara WALHI melawan PT. Kusuma Raya Utama
dkk. dalam Gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam perkara tersebut WALHI mendasarkan
guggatannya karena perbuatan Tergugat yakni sebagai berikut:
1. Tergugat melaksanakan kegiatan tambang batu baranya dengan pola pertambangan
bawah tanah berada di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang berada di kawasan
konservasi taman buru semindang bukit kabu. Padahal kawasan tersebut berdasarkan
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan taman buru adalah
kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu dan kawasan tersebut
berfungsi untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya
sehingga segala aktivitas wajib mengikuti ketentuan konservasi. Alhasil kegiatan
pertambangan baik dengan pola terbuka maupun bawah tanah dilarang. Hal ini juga
bertentangan dengan Pasal 1 angka 31 dan Pasal 35 ayat (7) dalam Peraturan Daerah
Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencanan Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu;
2. Bahwa ternyata berdasrkan hasil riset dari Yayasan Genesis Bengkulu operasi
pertambangan batu bara Tergugat juga mengakibatkan pencemaran dan pengrusakan di
anak sungai Daerah Aliran Sungai Air Bengkulu salah satunya adalah sungai kemumu
yang berwarna cokelat kehitaman dan bermau minyak sehingga hewan endemik menjadi
susah ditemui lagi. Hal tersebut jelas melanggar ketentuan pada Pasal 60 jo. 104 Undang-
Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai pembuangan
dumpinh limbah tanpa izin;
3. Bahwa Sarana Penunjang di luar Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Tergugat
juga tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), IPPKH yang dipegang
Tergugat sejatinya merupakan IPPKH miliki PT Bukit Sunurya dalam rangka
pelaksanaan reklamasi pasca tambang. Sehingga perbuatan tersebut melanggar ketentuan
dalam Pasal 78 ayat (2) ayat (6) dan Pasal 80 ayat (1) UU Kehutanan;
4. Bahwa telah terjadi pula dumping limbah Fly Ash dan Bottom Ash yang termasuk dalam
kategori limbah B3 dari sarana penunjang PLTU milik Tergugat. Akibatnya wilayah
sekitar mengalami kerusakan tanah, menghilangkan kesuburan tanah serta mencemari
lingkungan hidup yang dimanfaatkan oleh manusia dan mahluk hidup lainnya. Perbuan
tersebut nyata melanggar ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1) (2) (3) dan (4), Pasal 102 dan
103 UU PPLH;
5. Bahwa Tergugat juga saat mengoperasikan PLTU tidak memiliki tempat penyimpanan
sementara (TPS) sehingga melanggar ketentuan dalam Pasal 59 ayat 1 dan Pasal 102, 103
Undang-Undang PPLH serta Pasal 3 ayat 1, Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Anda mungkin juga menyukai