Semenjak Corona 19 menjakiti masyarakat Indonesia pada awal Maret 2020,
berdampak pada model pembelajaran di sekolah. Sekolah menerapkan pembelajaran dalam jaringan (daring). Hal itu dilakukan untuk menghambat penularan Covid 19. Menurut Syafni Ermayulis (2020) Pembelajaran daring adalah pembelajaran yang dilakukan secara online, menggunakan aplikasi pembelajaran maupun jejaring sosial. Pembelajaran daring merupakan pembelajaran yang dilakukan tanpa melakukan tatap muka, tetapi melalui platform yang telah tersedia. Segala bentuk materi pelajaran didistribusikan secara online, komunikasi juga dilakukan secara online, dan tes juga dilaksanakan secara online. Sistem pembelajaran melalui daring ini dibantu dengan beberapa aplikasi, seperti Google Classroom, Google Meet, Edmudo, microsoft office 365 dan Zoom. Guru dengan pilihan masing-masing aplikasi dalam mengedukasi siswa-siswanya mengalami berbagai kendala. Adapun kendala dalam pembelajaran daring seperti: (1) Lokasi rumah tidak terjangkau jaringan internet, termasuk quota internet murid minimalis, (2) Media pembelajaran yang digunakan para guru dominan monoton dan membuat para murid merasa jenuh atau bosan. Kemudian, (3) Pembelajaran dominan belum interaktif, (4) Karakter ataupun perilaku para murid sulit dipantau, (5) Pembelajarannya cenderung tugas online, (6) Tugas diberikan para murid menumpuk. Kedala lain, (7) Penyerapan materi pelajaran sangat minimalis. Dengan adanya kendala-kendala pembelajaran daring berdampak negatif pada siswa. Menurut Nahdiana dampak negatif tersebut adalah (1) ancaman putus sekolah (2) penurunan capaian belajar. (3) Anak kurang bersosialisasi. Guru atau orang tua mau tidak mau harus bisa menemukan solusi untuk memecahkan dampak negatif dari pembelajaran daring. Adapun solusi agar siswa tidak putus sekolah adalah melalui pendekatan diagnostik terhadap siswa, para guru diharapkan lebih menggali lagi persoalan-persoalan yang dialami siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Ketika siswa menunjukkan minat yang kurang untuk mengikuti pembelajaran, tidak dengan mudah memvonis bahwa itu karena kemalasan siswa semata. Kerja sama antara guru, wali kelas, guru BP/BK dan orang tua dalam menangani permasalahan anak harus terus diperkuat. Ruang dialog dengan siswa, dengan orangtua, dan masyarakat sekitar harus terus dikembangkan sekolah, sehingga kita dapat melakukan pendekatan yang cocok dalam mengatasi anak yang memiliki risiko putus sekolah. Lebih jauh, kurikulum sekolah harus dikembangkan agar lebih memahami kebutuhan anak terutama dari keluarga miskin akan pendidikan. Bagi banyak keluarga miskin, pendidikan dianggap belum menghadirkan harapan sebanding pengorbanan, baik uang maupun waktu. Untuk mengatasi penurunan capaian belajar adalah dengan cara menurunkan batas minimal kriteria ketuntasan minimal. Harus disadari bahwa pembalajaran di masa pandemi tidaklah maksimal secara otomatis capaian belajar siswa juga pasti menurun. Untuk mengatasi anak kurang bersosialisasi maka para orang tua untuk tetap mengajarkan dan mengasah keterampilan anak dalam bergaul. Ini bisa dimulai dari lingkup pertama yang anak punya, yaitu dengan keluarga di rumah. Cobalah berinteraksi dan bermain lebih sering dengan anak. Cara bergaul itu memang diawali dari interaksi orang tua dan anak dulu. Jadi, orang tua harus lebih sering berinteraksi sama anak entah dengan bermain bersama atau bercerita tentang pengalaman masing-masing. Kemudian, orang tua juga bisa memfasilitasi video call, agar anak dapat tetap berinteraksi dengan teman-temannya. Dengan begini, anak bisa tetap bersosialisasi dan berinteraksi baik dengan orang lain.