Anda di halaman 1dari 8

Apa itu stoikisme?

Mengenal aliran filsafat


pengendali diri dan pencegah depresi
Yogie Pranowo, Universitas Multimedia Nusantara7-8 minutes

Laju perubahan yang terus meningkat memaksa kita untuk semakin


sadar akan realitas dunia yang dibanjiri oleh ketidakpastian dan
kompleksitas akan berbagai perubahan.

Contohnya di industri digital. Televisi, yang sebelumnya “nyaman”


dengan dominasinya dalam menyediakan konten hiburan, kini mulai
tertinggal oleh popularitas platform digital seperti YouTube, Netflix,
dan sebagainya. Contoh lainnya adalah industri ritel, dengan toko fisik
yang semakin tergusur bisnis online.

Belum lagi fenomena aktivitas di media sosial yang tanpa disadari


terus menuntut penggunanya untuk selalu tampil sempurna dalam
sebuah citra diri yang purna. Kondisi-kondisi semacam ini dapat
menciptakan tekanan psikologis yang akut dan terstruktur yang
membuat kita menjadi pribadi yang mudah cemas, mudah
iri, insecure atas diri kita sendiri, hingga kita kerap merasa rendah
diri–ini tak jarang berujung depresi.

Segala macam ketidakpastikan yang kita hadapi di era sekarang ini


seringkali mengakibatkan krisis identitas, yaitu sebuah kondisi
psikologis ketika seseorang merasa kehilangan arah, bingung, bahkan
tidak mengenal diri mereka yang sebenarnya.

Sebagai seorang akademisi dan pembaca filsafat, yang kebetulan juga


seorang pejuang kesehatan mental, saya sampai pada satu kesimpulan
reflektif bahwa salah satu alternatif untuk mengatasi depresi, krisis
identitas, dan berbagai persoalan kemanusiaan lainnya adalah dengan
menerapkan prinsip keseimbangan hidup ala stoikisme
(stoicism) alias melalui refleksi diri.

Stoikisme adalah salah satu aliran filsafat yang banyak mengajarkan


mengenai kendali diri. Dengan memahami prinsip ini, kita dapat
mengubah perspektif tentang hidup dan menjadi lebih mampu
menghadapi tantangan dengan sikap yang lebih bijaksana dan tenang.
Apa itu stoikisme?
Stoikisme berasal dari bahasa Yunani “stoikos” atau stoa. Istilah ini
merujuk pada Stoa Poikile, sebuah “sekolah filsafat” di Athena,
Yunani, tempat Zeno, filsuf terkemuka dari Citium memberikan
pengaruh besar bagi peradaban sekitar tahun 301 SM.

Pada masa itu, Zeno melakukan pengajaran dengan cara yang agak tak
biasa, yaitu dengan duduk berbicara di teras pendopo yang terletak
agak jauh dari keramaian pasar. Pendekatan pengajaran dan cara dia
mendirikan akademinya ini yang kemudian memberikan nama pada
aliran filsafat ini, yaitu stoikisme.

Penggunaan istilah “stoik” lebih merujuk pada bundaran tiang


penopang yang mendukung teras tempat Zeno mengadakan diskusi
dan pengajaran.

Secara umum, sejarah stoikisme dapat dibagi menjadi tiga periode.


Pertama, ada Stoa awal yang mencakup tokoh-tokoh seperti Zeno
(334–262 SM), Chrisipus (280–206 SM), dan Cleanthes (331–232 SM).
Kedua, ada Stoa perantara yang dikembangkan oleh Panaetius dari
Rhodes (185–110 SM) dan Posidonius dari Apamae (135–51 SM).
Pamungkasnya, terdapat Stoa akhir atau yang juga dikenal sebagai
Stoikisme Romawi yang dipengaruhi oleh pemikiran Lucius Annaeus
Seneca (1–65 M), Epictetus (55–135 M), dan Marcus Aurelius (121–180
M).

Buku Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme karya A. Setyo Wibowo


mengungkapkan bagaimana dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang
cenderung lebih fokus pada aspek-aspek yang berada di luar jangkauan
atau kendali mereka.

Padahal, kunci untuk mencapai kebahagiaan, kekuatan diri, dan


kebijaksanaan sebenarnya terletak pada kemampuan kita untuk
memusatkan perhatian pada hal-hal yang berada di dalam kendali kita,
bukannya terjebak dalam kecemasan terhadap hal-hal yang tidak dapat
kita kendalikan.

Dalam pandangan stoikisme, pentingnya fokus pada apa yang dapat


kita kontrol adalah fondasi dari kebijaksanaan dan ketenangan batin.
Sebab, meskipun kita tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal
atau menghindari ketidakpastian, kita memiliki kendali penuh atas
bagaimana kita meresponsnya.

Manfaat stoikisme
Setidaknya ada empat manfaat yang bisa kita dapatkan dari prinsip
stoikisme dalam menjalankan hidup di tengah gempuran transformasi
teknologi yang cepat dan masif.

Pertama, stoikisme menekankan pentingnya mengelola reaksi


emosional kita terhadap peristiwa-peristiwa yang berada di luar
kendali kita. Sebagai contoh, ketika kita menerima berita buruk atau
menghadapi situasi sulit, kita diajak untuk mengendalikan respons
emosional kita, sehingga kita dapat menjaga ketenangan dan
menghindari terjerumus dalam perasaan negatif yang dapat berdampak
pada kesejahteraan mental dan fisik.

Kedua, stoikisme mendorong kita untuk secara teratur merenungkan


tindakan dan perilaku kita sehari-hari. Dengan menerapkan prinsip ini,
kita akan mampu membuat keputusan yang lebih bijaksana dan
memahami bagaimana tindakan kita memengaruhi diri kita sendiri dan
orang lain.

Ketiga, stoikisme mengajarkan kita untuk membedakan antara hal-hal


yang berada dalam kendali kita (seperti sikap dan tindakan kita) dan
hal-hal yang berada di luar kendali kita (seperti tindakan orang lain
atau perubahan tak terduga). Niscaya, prinsip ini dapat membantu kita
untuk tidak terlalu terbebani oleh kekhawatiran terhadap hal-hal yang
tidak dapat kita kontrol, sehingga kita dapat lebih fokus dan efektif
dalam mengelola aspek-aspek yang dapat kita pengaruhi.

Keempat, stoikisme mengajarkan pentingnya berempati terhadap


orang lain dan melihat kemanusiaan dengan lebih purna. Prinsip ini
dapat membantu kita untuk menjadi lebih baik dalam mendukung dan
memahami pengalaman orang lain. Saat kita mempraktikkan empati
dan kepedulian, kita dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan
lebih positif dengan orang-orang di sekitar kita.

Popularitas stoikisme di Indonesia


Di Indonesia sendiri, stoikisme sudah dikenal luas dan menjelma jadi
“mantra” untuk hidup bahagia. Di kalangan anak muda, aliran ini sudah
cukup populer .

Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring yang menjabarkan


tentang “mahzab” stoikisme dan praktiknya dalam kehidupan sehari-
hari ini sudah mencapai cetakan ke-50. Bahkan tidak sedikit komunitas
yang telah melakukan diskusi membahas buku ini. Narasi mengenai
stoikisme juga dapat dengan mudah kita temukan di sejumlah
saluran YouTube, mulai dari yang dibawakan oleh Ferry
Irwandi, Raditya Dika, hingga Marissa.

Dari narasi yang beredar, banyak dari penikmat stoikisme merasa


bahwa aliran filsafat ini nyata memberikan kedamaian dan ketenangan
dalam hidup, memberikan mereka panduan untuk mengatasi
kecemasan, stres, dan ketidakpastian.

Dengan kata lain, stoikisme dapat menjadi pencerahan dalam dunia


yang tidak pernah berhenti berputar, menawarkan landasan yang
kuat untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan
yang tunggang langgang.

Dengan mencoba menerapkan prinsip-prinsip stoikisme, kita dapat


menemukan ketenangan batin dalam menghadapi tantangan hidup dan
menjalani kehidupan yang lebih bermakna, secara khusus bagi kamu
para pejuang mental health di manapun kamu berada.

Jumlah kata: 939 kata

Telah diedit

Apa itu stoikisme? Mengenal aliran filsafat


pengendali diri dan pencegah depresi
Laju perubahan yang terus meningkat memaksa kita untuk semakin
sadar akan realitas dunia yang dibanjiri oleh ketidakpastian dan
kompleksitas akan berbagai perubahan.

Contohnya di industri digital. Televisi, yang sebelumnya “nyaman”


dengan dominasinya dalam menyediakan konten hiburan, kini mulai
tertinggal oleh popularitas platform digital seperti YouTube, Netflix,
dan sebagainya.

Belum lagi aktivitas di media sosial yang tanpa disadari terus


menuntut penggunanya untuk selalu tampil sempurna. Kondisi-kondisi
semacam ini dapat menciptakan tekanan psikologis yang akut dan
terstruktur yang membuat kita menjadi pribadi yang mudah cemas,
mudah iri, insecure atas diri kita sendiri, hingga kita kerap merasa
rendah diri–ini tak jarang berujung depresi.

Segala macam ketidakpastikan yang kita hadapi di era sekarang ini


seringkali mengakibatkan krisis identitas, yaitu sebuah kondisi
psikologis ketika seseorang merasa kehilangan arah, bingung, bahkan
tidak mengenal diri mereka yang sebenarnya.

Sebagai seorang akademisi dan pembaca filsafat, yang kebetulan juga


seorang pejuang kesehatan mental, saya sampai pada satu kesimpulan
reflektif bahwa salah satu alternatif untuk mengatasi depresi, krisis
identitas, dan berbagai persoalan kemanusiaan lainnya adalah dengan
menerapkan prinsip keseimbangan hidup ala stoikisme
(stoicism) alias melalui refleksi diri.

Stoikisme adalah pemahaman tentang aliran filsafat yang mengajarkan pengendalian


diri dan pencegahan depresi terhadap diri sendiri. Dengan memahami prinsip
ini, kita dapat mengubah cara memandang hidup dengan sikap yang
lebih bijaksana serta tenang dalam menghadapi tantangan yang akan
dihadapi.

Apa itu stoikisme?


Stoikisme berasal dari bahasa Yunani “stoikos” atau stoa. Istilah ini
merujuk pada Stoa Poikile, sebuah “sekolah filsafat” di Athena,
Yunani, tempat Zeno, filsuf terkemuka dari Citium memberikan
pengaruh besar bagi peradaban sekitar tahun 301 SM.

Pada masa itu, Zeno melakukan pengajaran dengan cara yang agak tak
biasa, yaitu dengan duduk berbicara di teras pendopo yang terletak
agak jauh dari keramaian pasar. Pendekatan pengajaran dan cara dia
mendirikan akademinya ini yang kemudian memberikan nama pada
aliran filsafat ini, yaitu stoikisme.
Penggunaan istilah “stoik” lebih merujuk pada bundaran tiang
penopang yang mendukung teras tempat Zeno mengadakan diskusi
dan pengajaran.

Secara umum, sejarah stoikisme dapat dibagi menjadi tiga periode.


Pertama, ada Stoa awal yang mencakup tokoh-tokoh seperti Zeno
(334–262 SM), Chrisipus (280–206 SM), dan Cleanthes (331–232 SM).
Kedua, ada Stoa perantara yang dikembangkan oleh Panaetius dari
Rhodes (185–110 SM) dan Posidonius dari Apamae (135–51 SM).
Pamungkasnya, terdapat Stoa akhir atau yang juga dikenal sebagai
Stoikisme Romawi yang dipengaruhi oleh pemikiran Lucius Annaeus
Seneca (1–65 M), Epictetus (55–135 M), dan Marcus Aurelius (121–180
M).

Buku Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme karya A. Setyo Wibowo


mengungkapkan bagaimana dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang
cenderung lebih fokus pada aspek-aspek yang berada di luar jangkauan
atau kendali mereka.

Padahal, kunci untuk mencapai kebahagiaan, kekuatan diri, dan


kebijaksanaan sebenarnya terletak pada kemampuan kita untuk
memusatkan perhatian pada hal-hal yang berada di dalam kendali kita,
bukannya terjebak dalam kecemasan terhadap hal-hal yang tidak dapat
kita kendalikan.

Dalam pandangan stoikisme, pentingnya fokus pada apa yang dapat


kita kontrol adalah fondasi dari kebijaksanaan dan ketenangan batin.
Sebab, meskipun kita tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal
atau menghindari ketidakpastian, kita memiliki kendali penuh atas
bagaimana kita meresponsnya.

Manfaat stoikisme
Setidaknya ada empat manfaat yang bisa kita dapatkan dari prinsip
stoikisme dalam menjalankan hidup di tengah gempuran transformasi
teknologi yang cepat dan masif.

Pertama, stoikisme menekankan pentingnya mengelola reaksi


emosional kita terhadap peristiwa-peristiwa yang berada di luar
kendali kita. Sebagai contoh, ketika kita menerima berita buruk atau
menghadapi situasi sulit, kita diajak untuk mengendalikan respons
emosional kita, sehingga kita dapat menjaga ketenangan dan
menghindari terjerumus dalam perasaan negatif yang dapat berdampak
pada kesejahteraan mental dan fisik.

Kedua, stoikisme mendorong kita untuk secara teratur merenungkan


tindakan dan perilaku kita sehari-hari. Dengan menerapkan prinsip ini,
kita akan mampu membuat keputusan yang lebih bijaksana dan
memahami bagaimana tindakan kita memengaruhi diri kita sendiri dan
orang lain.

Ketiga, stoikisme mengajarkan kita untuk membedakan antara hal-hal


yang berada dalam kendali kita (seperti sikap dan tindakan kita) dan
hal-hal yang berada di luar kendali kita (seperti tindakan orang lain
atau perubahan tak terduga). Niscaya, prinsip ini dapat membantu kita
untuk tidak terlalu terbebani oleh kekhawatiran terhadap hal-hal yang
tidak dapat kita kontrol, sehingga kita dapat lebih fokus dan efektif
dalam mengelola aspek-aspek yang dapat kita pengaruhi.

Keempat, stoikisme mengajarkan pentingnya berempati terhadap


orang lain dan melihat kemanusiaan dengan lebih purna. Prinsip ini
dapat membantu kita untuk menjadi lebih baik dalam mendukung dan
memahami pengalaman orang lain. Saat kita mempraktikkan empati
dan kepedulian, kita dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan
lebih positif dengan orang-orang di sekitar kita.

Popularitas stoikisme di Indonesia


Di Indonesia sendiri, stoikisme sudah dikenal luas dan menjelma jadi
“mantra” untuk hidup bahagia. Di kalangan anak muda, aliran ini sudah
cukup populer .

Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring yang menjabarkan


tentang “mahzab” stoikisme dan praktiknya dalam kehidupan sehari-
hari ini sudah mencapai cetakan ke-50. Bahkan tidak sedikit komunitas
yang telah melakukan diskusi membahas buku ini. Narasi mengenai
stoikisme juga dapat dengan mudah kita temukan di sejumlah
saluran YouTube, mulai dari yang dibawakan oleh Ferry
Irwandi, Raditya Dika, hingga Marissa.

Dari narasi yang beredar, banyak dari penikmat stoikisme merasa


bahwa aliran filsafat ini nyata memberikan kedamaian dan ketenangan
dalam hidup, memberikan mereka panduan untuk mengatasi
kecemasan, stres, dan ketidakpastian.
Dengan kata lain, stoikisme dapat menjadi pencerahan dalam dunia
yang tidak pernah berhenti berputar, menawarkan landasan yang
kuat untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan
yang tunggang langgang.

Dengan mencoba menerapkan prinsip-prinsip stoikisme, kita dapat


menemukan ketenangan batin dalam menghadapi tantangan hidup dan
menjalani kehidupan yang lebih bermakna, secara khusus bagi kamu
para pejuang mental health di manapun kamu berada.

Anda mungkin juga menyukai