Anda di halaman 1dari 24

Kontrol Diri di Kalangan Remaja dalam Filsafat Stoicisme Marcus Aurelius

Amanda Putri Rahmita Aulia


Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
amandaputrirahmitaaulia@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini berfokus pada remaja yang dikenal bergumul dengan regulasi berpikir yang
memadai, yang membuat banyak dari mereka menjadi stres. Ketika dihadapkan pada
tekanan seperti itu, mereka bisa bertindak tidak rasional dan bunuh diri. Karena remaja
tentu saja merupakan kelompok orang yang sangat rentan untuk membuat keputusan
yang tidak logis, masalah ini kemudian menjadi sangat parah. Mengingat fakta ini, ini
studi mencari jawaban atas masalah tersebut dengan memakai metodologi penelitian
kualitatif dan kajian literatur. Secara khusus, penelitian ini memberikan konsep dari
filosofi Stoic Marcus Aurelius terkait bagaimana mencintai diri sendiri dengan benar
dengan mempertimbangkan nalar dan logika saat membuat penilaian, termasuk
mengatasi emosi yang tidak menyenangkan untuk menghentikan tindakan irasional.
Remaja tangguh harus menemukan filosofi ini membantu dalam menavigasi kehidupan.
Hasil penelitian ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pendidikan,
baik di rumah maupun di sekolah. Guru bisa memakai informasi ini untuk mengajar
siswa di kelas, dan orang tua bisa memakainya untuk menasihati anak-anak di rumah.
Hal ini tentunya bisa dimanfaatkan untuk menurunkan kecenderungan bunuh diri di
seluruh Indonesia. Stoicisme menekankan bahwa orang bisa membedakan antara hal-hal
yang bisa mereka kendalikan dan hal-hal yang tidak bisa mereka kendalikan.

Kata Kunci: Pengendalian Diri; Filsafat Stoicisme; Marcus Aurelius; Remaja.

Abstract
This essay focuses on teenagers who are known to struggle with adequate thinking
regulation, which makes many of them stressed. When faced with such pressure, they
could act irrationally and commit suicide. Due to the fact that teens are certainly a
group of people who are particularly prone to making illogical decisions, this issue
then takes on a very severe nature. Given this fact, this study seeks answers to the issue
using a qualitative research methodology and literature review. In particular, this essay
gives concepts from Marcus Aurelius' Stoic philosophy on how to properly love oneself
by giving consideration to reason and logic while making judgments, including getting
over unpleasant emotions to stop irrational acts. Tough teens should find this
philosophy helpful in navigating life. The findings of this research will have a
significant impact on education, both at home and in schools. Teachers may use this
information to instruct students in the classroom, and parents can use it to counsel kids
at home. This may undoubtedly be utilized to lower suicide inclinations throughout
Indonesia. Stoicism stresses that people can tell the difference between things they can
control and things they can't control.

Keywords: Self-Control; Stoicism Philosophy; Marcus Aurelius; Youth.


Pendahuluan
Seiring dengan kemajuan pengetahuan manusia, berbagai item bisa digunakan
sebagai titik referensi atau sebagai sumber wawasan untuk memecahkan apa yang
kadang-kadang disebut sebagai masalah “paradigma”. Frasa seperti “paradigma kritis”,
“paradigma pembelajaran”, “paradigma pembangunan”, dan “paradigma psikologi”
sering digunakan. Dalam bukunya “7 Habits of Highly Effective People”, Steven Covey
menggambarkan paradigma sebagai perspektif, kerangka acuan, atau seperangkat
keyakinan. Steven Covey menjelaskan paradigma dalam tiga kategori: paradigma terkait
diri sendiri, paradigma terkait orang lain, dan paradigma terkait kehidupan 1. Paradigma
itu seperti kacamata.
Karena konteksnya sangat situasional, kata “paradigma” dan artinya di sini
tunduk pada banyak interpretasi yang berbeda. Namun dalam konteks penelitian
komunikasi, khususnya psikologi komunikasi, istilah “paradigma” harus dipahami
berhubungan dengan gagasan dan teori yang disajikan dalam buku terkenal George A.
Miller, The Psychology of Communication (1974). George A. Miller (1974)
mendefinisikan psikologi sebagai cabang ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan,
meramalkan, dan mengatur kejadian mental dan perilaku. Psikologi komunikasi
didefinisikan sebagai “ilmu yang berusaha untuk menggambarkan, memprediksi, dan
mengendalikan peristiwa mental dan perilaku (perilaku) dalam komunikasi.”
Dipaparkan oleh Kauffman (1973), psikologi sosial yaitu upaya untuk memahami,
menjelaskan, dan memprediksi bagaimana persepsi individu terkait pikiran, perasaan,
dan tindakan orang lain (yang kehadirannya mungkin nyata, dibayangkan, atau tersirat)
memengaruhi diri individu tersebut. pikiran, perasaan dan tindakan. Dengan kata lain,
paradigma bisa dianggap sebagai jendela ilmiah yang memungkinkan seseorang untuk
“melihat” dunia sosial 2.
Ilmuwan sosial berkali-kali berpendapat bahwa komunikasi yang buruk
mencegah perkembangan kepribadian (Davis, 1940; Wassesman, 1924). Ashley
Montagu (1967: 450), seorang antropolog terkenal, menyatakan dengan tegas bahwa
“komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, yaitu keagungan terpenting yang
1
Sari Ekowati, “Paradigma Psikologi Komunikasi dalam Memandang Permasalahan
Melalui Nilai-nilai Stoikisme di Kalangan Remaja,” Jurnal Ilmu Komunikasi 2, no. 1
(2023).
2
Ibid.
melaluinya anak belajar menjadi manusia.” Baik komunikasi maupun perilaku dan
pengalaman kesadaran manusia saling terkait erat. Tidak mengherankan jika para
akademisi psikologi telah lama tertarik dengan komunikasi semacam itu. Peneliti
psikologi meningkatkan komunikasi sepanjang evolusinya. Lulusan psikologi
merupakan tiga dari empat bapak ilmu komunikasi yang disebut oleh Schramm.
Seorang psikolog dinamika kelompok yaitu Kurt Lewin. Bapak psikoanalisis dan
pencipta ilmu komunikasi lainnya, psikolog Paul Lazarsfeld, sangat terinspirasi oleh
Sigmund Freud. Carl I. Hovland menerima pendidikan psikologi dan memutuskan
untuk mengejar profesi di bidang psikologi sepanjang hidupnya. Menariknya, pencipta
ilmu komunikasi berasal dari semua aliran utama psikologi.
Komunikasi, bagaimanapun, bukanlah cabang psikologi. Komunikasi yaitu ilmu
yang menembus banyak ilmu lainnya. Psikologi komunikasi yaitu salah satu ilmu yang
mencoba memahami bagaimana komunikasi cocok dengan bidangnya. Melalui lensa
cita-cita stoicism, psikologi komunikasi berusaha untuk melihat dan mempelajari
paradigma psikologi komunikasi yang mewujud dalam diri manusia.
Jadi, apa sebenarnya arti stoisisme? Stoicisme, juga dikenal sebagai Stoicism,
Stoa, atau Stoic, yaitu nama aliran filsafat Yunani kuno yang didirikan di Athena,
Yunani, sekitar awal abad ketiga SM oleh Zeno dari Citium. Yang lain menunjukkan
bahwa Stoicisme baru mendapat pengakuan formal pada 108 SM. Khususnya bagi anak
muda di kota-kota besar Indonesia yang juga terpikat dengan buku Henry Manampiring
“The Terrace Philosophy”, ketabahan yaitu pesan yang selalu bisa diterapkan di zaman
“kini”. Setelah dibaca jutaan mata, buku ini meraih predikat “mega best seller” dari
Penerbit Buku Kompas. Yang lebih menarik lagi, ada anggapan bahwa pelajaran tabah
bisa mengubah pandangan hidup pembaca. Misalnya, penulis buku dengan bebas
mengakui bahwa dia selalu mempertimbangkan aspek negatif dari sebuah skenario
ketika disajikan. Kemampuannya untuk mengatur emosi negatifnya dan mencapai lebih
banyak ketenangan dan ketenangan sangat dibantu oleh sikap tabah.
Stoicisme yaitu filsafat kuno dengan sejarah 2.300 tahun, berbeda dengan
konotasi negatif yang terkait dengan filsafat pada umumnya. Dipaparkan oleh para
pemikir Stoa, “eudaimonia” atau “kehidupan yang berkembang” yaitu tujuan filosofi
Stoa. Buku ini menjadi landasan teori filosofis dan mengajarkan dualitas kontrol serta
bagaimana mencapai kedamaian batin, hidup gembira, tetap tenang, dan bebas dari
emosi yang tidak menyenangkan. Secara sederhana, filosofi Stoa mewakili pemikiran
Yunani, Hellenistik, Platonian, Aristotelian, Sinis, dan Epikurian, yang terkadang
disebut sebagai aliran yang mengajarkan cara hidup. Sebagai perbandingan, ahli teori
dari berbagai aliran filsafat telah menghasilkan bukti nyata bahwa membaca buku ini,
yang dianggap bermanfaat, bisa membantu pembaca mengatasi emosi negatif dan
mengembangkan ketangguhan mental untuk mengatasi naik turunnya kehidupan 3.
Karena memupuk kebajikan (pengetahuan, keadilan, keberanian, dan
pengendalian diri) sekaligus bebas dari emosi negatif yaitu puncak dari ideologi dasar
stokis. Kemampuan berpikir dan menyadari lingkungan sekitar merupakan salah satu
sifat khusus manusia yang muncul sebagai hasil dari banyak pembicaraan terkait dirinya
(Somawati & Made, 2019). Karena filsafat inti yaitu aliran filsafat dan bukan agama
(tidak dogmatis), premis penuntunnya bertujuan untuk menunjukkan pengetahuan
universal. Dipaparkan oleh Monahan dan Hengst yang dikutip oleh Syafaruddin, kata
policy secara etimologis berkaitan dengan kata Yunani “Polis” yang berarti kota.
“Untuk hidup selaras dengan alam, kita harus memakai akal, akal sehat, dan rasio
semaksimal mungkin.
Karena itu memisahkan manusia dari hewan lain. Diadaptasi dari Unair News,
“Mental Tangguh di Era Milenial dan Generasi Z” 11 Maret 2019. Dipaparkan oleh
Endraswara, unsur ekstrinsik yaitu aspek-aspek dari luar yang secara tidak langsung
mempengaruhi karya sastra, seperti sebagai psikologis, sosiologis, filosofis, agama,
politik, budaya, dan lain-lain. Definisi ini relevan dengan nilai ekstrinsik yang
terkandung dalam cerpen.
Mengenali Marcus Aurelius
Salah satu kaisar Romawi dari 161 hingga 160 Masehi yaitu Marcus Aurelius.
Saya lahir pada tanggal 26 April 121 di Roma, Italia, dan diberi nama Marcus Annius
Verus. Saat ini diakui sebagai filsuf Stoa dipaparkan oleh buku yang diterbitkannya,
Meditations. Dia sangat menentang ketabahan, aliran pemikiran yang sangat
menekankan takdir, akal, dan pengekangan. Marcus Aurelius, yang menganut filosofi
Stoa, aktif dalam politik dan perang. Ia memanfaatkan filsafat sebagai pertahanan

3
Desra Nita Tampubolon, “Analisis Interpretasi Filsafat Stoisisme pada Buku Filosofi
Teras Karya Henry Manampiring dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai Ekstrinsik yang
Terkandung di dalam Cerita Pendek,” GARUDA : Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan
dan Filsafat 1, no. 2 (2023).
ketenangan jiwanya. Dia secara konsisten mencatat pengamatan harian atas
pengalamannya untuk membentengi jiwanya. Dia belajar membedakan antara hal-hal
yang berada dalam kekuasaannya dan yang berada di luar kendalinya dengan
mempelajari Epictetus, mantan budak Romawi. Bahkan jika semua orang
memprotesnya, dia ingin para pembaca buku Meditations memahami bahwa secara
praktis setiap orang memiliki kemampuan untuk hidup bebas, tanpa tekanan, dan
dengan ketenangan pikiran 4.
Karya utama Marcus Aurelius, jurnal yang dikenal sebagai Ei Heauton
(Tambahkan se ipsum, To Himself), terkadang diterjemahkan sebagai Meditasi dalam
bahasa Inggris, Pensees Pour moi-meme dalam bahasa Prancis, Entretiens con lui-meme
dalam bahasa Spanyol, atau Soliloques dalam bahasa Latin . Pembagian di atas bukan
dari Marcus Aurelius, meskipun buku ini terdiri dari dua belas bab. Novel ini
merupakan cerminan dari seorang raja kesepian yang juga menghadapi banyak
tanggung jawab. Tujuan hidup raja ini yaitu menjalani kehidupan yang terhormat,
memenuhi tugasnya kepada rakyat Roma, kekaisaran, dan para dewa—atau, lebih
khusus lagi, Dewa kaum Stoa. Penekanan utama yaitu pada bagaimana dia
memantapkan dirinya sebagai raja pada masanya. Kemudian dia memantapkan dirinya
di pusat manusia global dan masyarakat surgawi.
Tidak ada karya orang Yunani atau Romawi yang sebanding dengan meditasi,
yang berbeda dalam tiga aspek dan sering disalahgunakan. Yang pertama yaitu tampilan
rahasia Marcus Aurelius terkait dirinya sendiri. Kedua, terlepas dari kenyataan bahwa
mayoritas filsuf Romawi menulis dalam bahasa Latin, pencipta meditasi ini yaitu
seorang kaisar Romawi yang berbicara dan menulis dalam bahasa Yunani. Ketiga,
Marcus Aurelius tidak bersungguh-sungguh menerbitkan seri Renungan Panjang yang
ia masukkan dalam jurnalnya, seperti yang terlihat dari kepintaran bahasa Part of the
Notes dan susunan catatan dalam buku ini.
Marcus Aurelius dianggap sebagai raja dan pemikir selama hidupnya. Setelah
kematiannya, penulis biografi seperti Dio dan Joshua Mark setuju bahwa dia, setelah
Seneca, yaitu filsuf Stoa yang paling terkenal. Dengan kata lain, Meditasi dipandang

4
Alvary Exan Rerung, Rosinta Sekke Sewanglangi’, and Sandi Alang Patanduk,
“Membangun Self-Love Pada Anak Usia Remaja Menggunakan Teori Filsafat
Stoikisme Marcus Aurelius,” Masokan: Ilmu Sosial dan Pendidikan 2, no. 2 (December
8, 2022): 105–115.
sebagai suatu disiplin, dan semua pemikir Stoa selanjutnya merujuk pada Marcus
Aurelius. Di antara mereka yang terkena dampak yaitu Lawrence Becker, yang paling
dikenal sebagai bapak ketabahan modern. Marcus Aurelius dianggap sebagai contoh
Stoicisme kuno, dan Lawrence sendiri berpendapat bahwa ada sedikit perbedaan antara
sudut pandangnya dan apa yang disebut sebagai Stoicisme kontemporer. Lawrence
menyoroti perlunya merevisi doktrin-doktrin sebelumnya. Marcus Aurelius, misalnya,
mengatakan bahwa ketabahan yaitu pintu filosofis menuju universalisme yang tersedia
untuk semua orang, tetapi Lawrence mengklaim ketabahan hanyalah doktrin yang sehat
dengan filter rasionalitas yang bisa diterapkan.
Marcus Aurelius, bagaimanapun, dicirikan oleh Sejarawan Herodian sebagai
orang yang “memberikan bukti pembelajarannya tidak hanya dengan kata-kata atau
pengetahuan terkait doktrin filosofis tetapi dengan karakternya yang tidak bercacat dan
cara hidupnya yang sederhana.”
Paling tidak, sikap dan nilai yang ditunjukkan Marcus Aurelius berdampak pada
penduduk setempat, menunjukkan peran penting yang dia mainkan sepanjang hidupnya.
Tulisan-tulisannya, seperti meditasinya, membantu para filsuf tabah yang hidup setelah
kematian Marcus Aurelius. Orang-orang masih memakai teks ini saat ini untuk mencari
kesenangan.
Marcus Aurelius akhirnya disukai oleh penduduk Romawi, yang memuji dia atas
tindakan cerdasnya, seperti memungkinkan kebebasan berbicara, dan mengungkapkan
kekaguman mereka padanya. Fakta bahwa penulis lakon Marullus mampu
mengkritiknya tanpa menghadapi akibat menunjukkan hal ini. Bahkan jika sistem ini
belum dibangun secara teoretis di Roma, namun sistem ini sangat penting karena
mempengaruhi perkembangan demokrasi. Selain itu, aturannya berdampak pada
partisipasi warga kontemporer dalam politik.
Konsep Stoikisme
Chrysippus mendirikan aliran filsafat “stoa” pada abad ketiga SM. Filsuf seperti
Zeneca, Marcus Aurelius, dan Epictitus mengikuti jejaknya 5. Teori stoastik berpendapat
bahwa tidak masuk akal mendasarkan tingkat kebahagiaan seseorang pada faktor-faktor
yang berada di luar kendali seseorang 6. Filosofi tabah menawarkan strategi yang

5
H. I Budi, Pengantar Filsafat Teologi (Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2023).
6
Ibid.
berguna untuk mencapai kesenangan dan kesejahteraan 7. Ketika kita tidak merasakan
sakit, emosi, dan nafsu lainnya (kemarahan, kekecewaan, dan kecemburuan) tidak
mengganggu kita, kita sedang mengalami kebahagiaan “logis negatif”. Filosofi
Stoicisme diperlakukan sebagai topik formal dalam penelitian ini. Kebahagiaan,
bagaimanapun, yaitu ide yang asli. Fokus penyelidikan ini yaitu sudut pandang Marcus
Aurelius 8.
Meskipun berusia lebih dari 2.000 tahun, filosofi ketabahan Romawi kuno tetap
bisa diterapkan pada keadaan umat manusia saat ini. Salah satu tradisi filosofis yang
bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu sikap tabah. Ketabahan membantu
dalam menjalani kehidupan yang lebih tenang yang tidak mudah terganggu oleh
peristiwa yang tidak menyenangkan, nasib buruk, tekanan pekerjaan, atau tindakan
orang lain di lingkungan sosial kita. Pemikiran seperti ini membantu kita berkonsentrasi
pada hal-hal yang bisa kita pengaruhi. Pengelolaan emosi negatif diri sendiri lebih
penting bagi pemikir tabah.
Dipaparkan oleh dikotomi konsep kontrol, yang dianut oleh para pemikir Stoic,
aspek-aspek tertentu dari kehidupan kita berada di bawah kendali kita dan yang lainnya
tidak. Penilaian, gagasan, atau persepsi kita, serta keinginan, ambisi, dan semua
pemikiran dan perilaku internal kita, yaitu hal-hal yang bisa kita pengaruhi. Di sisi lain,
ada banyak faktor yang berada di luar kendali kita, seperti pikiran dan perbuatan orang
lain, gagasan mereka, kesehatan dan kekayaan kita sendiri, keadaan kita saat lahir, dan
kekuatan alam.
Filosofi ketabahan membahas kebahagiaan dan berpendapat bahwa satu-satunya
hal yang benar-benar bisa membuat kita bahagia yaitu hal-hal yang bisa kita pengaruhi.
Yaitu bodoh untuk mengandalkan hal-hal di luar kendali kita, seperti uang, ketenaran,
atau kesehatan, untuk kesenangan kita karena hal-hal seperti itu pada akhirnya akan
memudar atau habis. Pada kenyataannya, karena sikap dan persepsi kita sepenuhnya
berada di bawah kendali kita, berkonsentrasi pada apa yang bisa kita kendalikan bisa
membantu kita melewati keadaan yang paling sulit sekalipun dalam hidup.

7
Ekowati, “Paradigma Psikologi Komunikasi dalam Memandang Permasalahan Melalui
Nilai-nilai Stoikisme di Kalangan Remaja.”
8
Dea Ayu Kirana, “Konsep Kebahagiaan Hidup Menurut Marcus Aurelius Ditinjau
Dari Perspektif Filsafat Stoikisme,” Gunung Djati Conference Series 24 (2023).
Setiap orang memiliki pikiran atau alasan yang bisa mereka gunakan. Logika
universal ini memahami sifatnya dan memiliki kekuatan untuk menciptakannya. Segala
sesuatu bisa diubah menjadi sesuatu yang baru melalui akal. Pikiran pengarah yaitu
pikiran yang memiliki kekuatan untuk membangkitkan, mengubah, dan membangun
dirinya dari apa pun yang dipilihnya, serta membentuk peristiwa dunia agar tampak
seperti yang diinginkannya. Ini sejalan dengan salah satu prinsip sistem manusia, yang
dipaparkan olehnya sikap, perbuatan, rutinitas, dan karakter kita bisa mengubah
jalannya peristiwa. Akibatnya, setiap kali kita menghadapi tantangan atau berada dalam
keadaan yang sulit, kita harus segera bertindak untuk memusatkan diri, melihat keadaan
dengan sepenuh hati, dan memperhatikan hal-hal yang bisa kita pengaruhi. Gagasan ini
berpendapat bahwa kita perlu menghargai pendapat kita sendiri karena hal itu akan
membantu kita merasa lebih baik terkait diri kita sendiri.
Untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang, ketabahan yaitu sistem filosofis
yang konon sangat efektif dan mudah diadopsi. Manampiring (2019) mengklaim bahwa
filosofi tabah yaitu studi terkait kepemimpinan. Dia menegaskan bahwa tujuan
kepemimpinan dalam situasi ini yaitu untuk memimpin diri sendiri, bukan sekelompok
orang atau organisasi, dengan penekanan pada manajemen diri sebelum mencoba
memerintah orang lain.
Tujuan utama filosofi tabah yaitu untuk menekankan pada kapasitas pengaturan
diri dari emosi yang tidak menyenangkan dan penanaman kebajikan (kebajikan) untuk
menjalani kehidupan yang tenang, damai, dan tangguh. Menjalani kehidupan yang
serupa dengan manusia yaitu tujuan selanjutnya 9.
Dipaparkan oleh Stoicisme, seseorang harus berkonsentrasi pada sesuatu yang
berada dalam kendali mereka sendiri, seperti pikiran mereka sendiri. Pikiran dan
tindakan orang lain, keadaan kelahiran Anda, ras Anda, orang tua Anda, popularitas
Anda, dan faktor lainnya semuanya berada di luar kendali Anda. Yang kedua yaitu
“trikotomi kontrol”, yang memisahkan poin ketiga—hal-hal yang sebagian bisa kita
kelola dan laksanakan dengan membedakan tujuan internal dan hasil luar—dari
dikotomi kontrol 10.

9
Henry Manampiring, Filosofi Teras (Jakarta: Kompas, 2019).
10
Achmad Syarifuddin et al., “Konsep Stoisisme untuk Mengatasi Emosi Negatif
Menurut Henry Manampiring,” Bulletin of Counseling and Psychotherapy 3, no. 2
(2021).
Ketabahan bisa membedakan antara kejadian yang secara objektif benar dan
pandangan atau penilaian, yang seringkali menjadi penyebab perasaan tidak
menyenangkan. Media sosial memungkinkan orang untuk mengekspresikan pikiran
mereka dengan bebas karena memprovokasi mereka. Kami bisa menyiarkan semua
peristiwa yang kami temukan dalam hidup di media sosial. Pengguna internet memiliki
kemampuan untuk mengevaluasi, mempertahankan, dan meremehkan materi apa pun
yang ditempatkan secara online. Saat mengunggah apa pun secara online, orang sering
mengantisipasi menerima lebih banyak suka, tampilan, dan mengikuti. Banyak.
Nama Filsafat Arab dan Inggris berasal dari istilah Yunani philoshopia, yang
menggabungkan kata “Philos” (yang berarti cinta) dan “Shopia” (yang berarti
pengetahuan). Sebuah cabang ilmu yang disebut filsafat memandang segala sesuatu
secara luas, mendasar, dan spekulatif. Dipaparkan oleh kesimpulan Susanto, filsafat
yaitu cabang ilmu yang bisa digunakan untuk menyelidiki hal-hal baru dan
mempertimbangkan segala sesuatu, baik yang bersifat materi maupun immateri, dengan
keikhlasan untuk memastikan hakikatnya yang sebenarnya, mencari kebenaran prinsip-
prinsip yang mendasarinya, dan berpikir secara logis, mendalam, dan bebas. Filsafat
kemudian bisa diterapkan untuk mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari. Kesimpulannya, filsafat bisa didefinisikan sebagai bidang ilmu yang
menyelidiki dasar-dasar, sifat, keberadaan, nilai-nilai, kebenaran, penalaran, asal-usul,
dan prinsip-prinsip objek paling mendasar yang ada di alam semesta.
Di sisi lain, aliran pemikiran yang dikenal sebagai ketabahan muncul di dataran
Yunani sekitar abad ketiga SM. Filsafat tabah mengatasi pengekangan. The Little Book
of Stoicism Kebijaksanaan Abadi untuk Mendapatkan Ketahanan, Keyakinan, dan
Ketenangan menyatakan bahwa “Stoicisme yaitu salah satu aliran filsafat yang paling
berpengaruh dan dihormati selama hampir lima abad berikutnya,” menunjukkan bahwa
keberadaannya di masa lalu sangat berpengaruh dan dihormati. Dalam mengejar
kehidupan yang baik, itu dipraktikkan oleh yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan
yang miskin. Secara umum, filosofi Stoa bisa dibagi menjadi tiga fase: Tahap pertama,
yang sering disebut sebagai era Stoa awal, berlangsung dari akhir abad ke-2 SM hingga
abad ketiga SM. Kedua, era Stoicisme tengah, di mana doktrin Stoa mengalami banyak
pertumbuhan dan modifikasi. Tahap ketiga dikenal sebagai sikap tabah akhir (juga
dikenal sebagai sikap tabah Romawi). Filsafat Stoa diatur di sekitar gagasan logika,
fisika, dan etika, hierarki yang menggabungkan gagasan dari aliran pemikiran yang
berbeda, termasuk etika Socrates, filsafat dan materialisme Heraclitus, dan tradisi
dialektika Megarian dan Aristoteles.
Filsafat Stoa, umumnya dikenal sebagai Stoicisme, didirikan oleh filsuf Yunani
Kuno Zeno. Fondasi dari semua filosofi Stoa yaitu keteraturan dan keteraturan yang
sudah ada di alam semesta. Berbeda dengan apa yang diajarkan Epicurus, Zeno
berpendapat bahwa Logos yaitu rasio alam semesta yang menciptakan. Definisi logos
yaitu rasio global yang lebih besar dari rasio manusia. Logos menetapkan hierarki dunia
dan memandu segala sesuatu menuju tujuan utamanya. Urutan hal sering disebut
sebagai nasib atau takdir. Ada beberapa hal di dunia nyata yang hukum ini tidak
berlaku.
Ide-ide Zeno memang memiliki dampak yang signifikan dan membentuk kaum
Stoa. Namun, Adam Smith sangat dipengaruhi oleh gagasan Lucius Annaeus Seneca,
terkadang dikenal sebagai Seneca Junior. Seneca yaitu seorang pemikir terkenal di
Roma pada abad pertama Masehi. Dia berpengetahuan luas, mampu melihat sesuatu
dengan jelas, dan memiliki sedikit kesulitan dalam mengatur pikirannya. Dia yaitu salah
satu filsuf Stoa paling terkenal dan lahir pada abad keempat Masehi di Cordoba,
Spanyol.
Dia berpandangan bahwa tujuan paling ideal kaum Stoa yaitu kebebasan dan
orang yang paling puas yaitu mereka yang sepenuhnya mematuhi aturan alam.
Meskipun tidak mungkin bagi orang untuk menentang aturan alam, mereka memiliki
kapasitas untuk mengikutinya, yang memberi mereka kebebasan untuk berperilaku
sesuka mereka. Manusia juga mencapai autarkia ketika tidak bergantung pada apapun di
luar dirinya.
Stoicisme berpendapat bahwa langkah pertama menuju kebahagiaan yaitu hidup
dengan areté. Areté yaitu bentuk akhir dari ekspresi manusia. Dengan kata lain,
tampilkan diri Anda yang terbaik. Pandangan tabah menunjukkan bagaimana orang
harus membedakan antara yang baik dan yang jahat dan fokus pada apa yang bisa
mereka kendalikan ketika mereka memiliki aspirasi yang tinggi. Masalah kedua
berkaitan dengan kontrol yang disebutkan di atas. Ketabahan menyarankan untuk
berkonsentrasi pada hal-hal yang bisa dikendalikan seseorang. Manusia harus
berperilaku moral dan sesuai dengan nilai-nilai mereka karena mereka selalu memiliki
kekuatan atas keadaan. Ketiga, ketabahan menekankan nilai tanggung jawab,
menekankan bahwa pengendalian diri dan pengekangan saja tidak cukup. Ada banyak
kekuatan eksternal yang berperan, tetapi bagaimana pengaruhnya terhadap orang?
Manusia membutuhkan ekspresi diri terbaik dari dalam, kontrol besar atas apa yang
mereka lakukan, dan akuntabilitas untuk setiap tindakan agar bebas dari pengaruh
eksternal.
Kata Yunani “stoa” (yang diterjemahkan menjadi “teras”) berhubungan dengan
Zeno, seorang filsuf Yunani Hellenistik yang dianggap sebagai orang pertama yang
mempopulerkan filosofi tabah melalui aliran terasnya. Stoikisme berfokus pada
kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri, atau pengendalian diri. Memiliki
pengendalian diri yang sangat baik yaitu kunci menuju kebahagiaan. Definisi filosofis
terkait kebajikan telah diberikan, dan itu termasuk empat pilar kebijaksanaan, keadilan,
keberanian, dan pengendalian diri. Stoicisme mengajarkan kita terkait hal-hal yang tidak
bisa dikendalikan—hal-hal di luar kemampuan kita untuk mempengaruhi. Kekuatan
nalar untuk mengklasifikasikan, bereaksi, dan mengorientasikan diri kembali pada
keadaan yang berada di luar kendali kita inilah yang disebut Epictetus sebagai “pilihan
rasional” 11.
Seperti yang dinyatakan oleh Epictetus, ketabahan yaitu filosofi yang memberi
kita lensa untuk melihat alam semesta. Kacamata ini bisa mengetahui apa yang kita
kendalikan dari apa yang tidak kita gunakan dengan penalaran logis. Kapasitas untuk
mengklasifikasikan menjadi penting ketika mencoba untuk menilai kepuasan manusia.
Ketabahan dicirikan oleh Epictetus sebagai pemaksimalan nalar manusia, yang
menunjukkan bagaimana kaum Stoa mendekati kehidupan dengan keberanian,
pengekangan, dan tanggung jawab. Karena ketabahan memperlakukan akal sebagai sifat
manusia, itu dibenarkan sebagai cara hidup yang membuat orang bahagia. Hanya
manusia dan manusia saja yang memiliki akal. Kaum Stoa menganggap manusia lebih
rendah dari binatang dan melihat kesenangan melalui lensa nafsu. Dipaparkan oleh
Kadoati, akal yaitu kapasitas inheren manusia yang memberi orang pengetahuan terkait
hukum alam dan kebijaksanaan untuk hidup berdampingan secara damai dengan
lingkungan 12.
Refleksi Remaja
Ryan Holiday and Stephen Hanselman, The Daily Stoic : 366 Meditations on Wisdom,
11

Perseverance, and the Art of Living (New York: Penguin Random House, 2016).
Remaja sangat rentan terhadap lingkungan dan orang lain di sekitar mereka
mempengaruhi mereka. Mereka terus-menerus dipengaruhi oleh faktor eksternal terkait
bagaimana mereka melihat dunia, berpikir, dan bertindak. Masa remaja juga dianggap
sebagai fase ketidakstabilan karena emosi yang tidak bisa diprediksi dan
ketidakmampuan untuk membuat penilaian yang bijak. Karena itu, remaja lebih
cenderung merasa stres saat menghadapi tantangan yang dianggap menantang. Ketika
individu percaya bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain selain bunuh diri,
ketegangan yang berlebihan bisa mengakibatkan depresi. Karena ketidakdewasaan
mereka secara emosional dan kognitif, remaja sangat rentan terhadap isu bunuh diri.
Joas Adiprasetya mengatakan bahwa hidup itu seperti labirin. Apa yang akan
terjadi di masa depan tidak diketahui. Sulit untuk memprediksi apakah hidup seseorang
akan selalu berjalan sesuai rencana. Jika seseorang tidak bisa mengatur pikirannya
secara efektif, akan selalu ada masalah dalam hidupnya yang bisa merusak kesehatan
mentalnya, dipaparkan oleh Joas.
Ini menyiratkan bahwa tidak ada remaja yang bisa lepas dari tantangan hidup.
Bagian terburuknya yaitu anak-anak menghadapi bahaya bertindak tidak rasional,
seperti bunuh diri, ketika mereka tidak bisa mengatur pikiran mereka untuk menemukan
solusi. Ketika seseorang memiliki masalah, orang-orang terdekat mereka sering
menekan mereka dengan mengungkapkan pikiran mereka, yang membuat mereka
semakin jatuh. Tulisan Marcus Aurelius yang menyatakan bahwa ada dua jenis yang
harus dipahami dalam hidup dimasukkan dalam artikel ini karena alasan itu. Ada hal-hal
tertentu yang bisa kita kendalikan dan ada hal-hal lain yang tidak. Ketika tantangan
muncul, remaja harus bisa berpikir optimis. Karena tidak bisa mempengaruhi
pandangan dan pendapat orang lain, mereka harus menolaknya. Mereka akan merasakan
tekanan yang jauh lebih besar jika mereka membiarkannya meresap ke dalam pikiran
mereka, yang akan menyebabkan mereka berperilaku impulsif.
Remaja didefinisikan sebagai orang yang berusia antara 10 dan 19 tahun oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemuda didefinisikan sebagai orang yang berusia
antara 10 dan 18 tahun oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 25
Tahun 2014, dan pemuda didefinisikan sebagai orang yang belum menikah antara usia

12
Michael Carlos Kodoati, “Epikureanisme dan Stoikisme: Etika Helenistik Untuk Seni
Hidup Modern,” Media: Jurnal Filsafat dan Teologi 4, no. 1 (February 28, 2023): 91–
102.
10 dan 24 tahun oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN). Masa
transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yaitu masa remaja. Pada periode ini
terjadi perkembangan fisik dan intelektual yang pesat. Kategori berikut bisa digunakan
untuk mengkategorikan remaja:

1. Praremaja (11 atau 12-13 atau 14 tahun).


Grup ini baru berusia satu tahun; anak laki-laki berusia dua belas, tiga
belas, atau empat belas tahun. Selain itu, disebutkan bahwa fase ini merupakan
fase negatif karena dianggap memiliki potensi tindakan negatif. Fase yang sulit
dalam hubungan komunikasi antara anak dan orang tua.
2. Remaja Muda (13 atau 14 tahun hingga 17 tahun):
Pada usia ini, perubahan terjadi dengan cepat dan mencapai puncaknya.
Orang-orang pada usia ini sering mengalami ketidakstabilan dan
ketidakseimbangan emosi. Karena statusnya saat ini tidak jelas, dia mencari
identitas diri. Pola hubungan sosial muncul. Remaja sering percaya bahwa
mereka memiliki hak untuk membuat keputusan sendiri, seperti orang dewasa
muda.
3. Remaja yang lebih tua (usia 17–20 atau 21 tahun)
Pada tahap ini, mereka ingin menjadi perhatian dan menonjol. Mereka
tidak seperti remaja awal. Dia bersemangat, idealis, dan penuh energi. Dia ingin
keluar dari ketergantungan emosional dan mencoba menjadi dirinya sendiri.
Lebih baik mendefinisikan kata “pemuda” terlebih dahulu untuk mencegah
ambiguitas dan kesalahpahaman saat memakai istilah dan mengidentifikasi area dengan
tujuan yang sama. Kata asing yang sering digunakan untuk menggambarkan masa
remaja antara lain puberteit (remaja antara 12 sampai 16 tahun), remaja (remaja antara
17 sampai 30 tahun), dan remaja. Ini juga dikenal sebagai pubertas atau remaja dalam
bahasa Indonesia. Tubuh seseorang mengalami perubahan signifikan selama masa
remaja, termasuk perubahan fitur seksual seperti perluasan bagian tubuh tertentu,
perkembangan pinggang untuk wanita, dan pertumbuhan kumis dan janggut untuk pria.
Selain itu, ada perkembangan mental. Pada periode ini, mengembangkan rasa diri sangat
penting, berpikir menjadi lebih rasional, abstrak, dan idealis, dan waktu yang dihabiskan
jauh dari keluarga meningkat. Perkembangan tersebut di atas disebut juga dengan masa
pubertas (pubertas). Tahap ini menandai peningkatan cepat fungsi seksual tubuh,
terutama pada tahap awal masa remaja, serta kematangan kerangka atau fisik, seperti
yang ditunjukkan pada proporsi tubuh, berat, dan tinggi badan.

Kontrol Diri
Dipaparkan oleh Colhoun dan Acocella, Tangney, dan Averill (2011),
pengendalian diri disampaikan. Kontrol diri, dipaparkan oleh Calhoun dan Acocella
(1990), yaitu kemampuan untuk mengelola proses tubuh, psikologis, dan perilaku
seseorang—dengan kata lain, serangkaian proses yang membantu mendefinisikan diri
sendiri. Makna yang dimaksud sangat menekankan pada kapasitas untuk mengelola,
yang harus ditawarkan sebagai bekal untuk membentuk pola perilaku masyarakat. Ini
termasuk proses lengkap yang menghasilkan pembentukan pengaturan fisik, psikologis,
dan perilaku di dalam diri seseorang 13.
Definisi pengendalian diri diberikan oleh Logue, A.W. dalam 14
yaitu keputusan
untuk hasil yang lebih besar dan lebih tertunda. Kemungkinan-kemungkinan tersebut,
yang meliputi menunda kesenangan dan menerima kepuasan segera, dipaparkan oleh
pendapat Logue, akan menghasilkan keuntungan dan keuntungan yang lebih besar.
Nurihsan menambahkan bahwa mengendalikan diri berarti menahan diri dari tindakan
yang akan merugikan seseorang baik sekarang maupun di masa depan. Kerugian bisa
terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk penderitaan fisik, tekanan emosional,
kebangkrutan, gagal mencapai tujuan, dan ketidakpercayaan pada orang lain.
Kontrol diri yaitu kapasitas orang untuk mengatur perilaku mereka sesuai
dengan moral, nilai, dan norma sosial untuk mempromosikan perilaku yang baik. bisa
disimpulkan bahwa seseorang mampu meningkatkan perilaku terpuji sendiri. Untuk
mengembangkan pengendalian diri yang matang, kapasitas bawaan seseorang untuk
pengendalian diri harus memainkan peran penting dalam interaksi dengan orang lain

13
Zulfah Zulfah, “Karakter: Pengendalian Diri,” IQRA : Jurnal Pendidikan Agama
Islam 1, no. 1 (2021): 28–33.
14
Achmad Juntika Nurihsan, Strategi Layanan Bimbingan & Konseling (Bandung: PT
Refika Aditama, 2005).
dan lingkungannya. Hal ini diperlukan karena dibutuhkan upaya untuk memperkenalkan
perilaku baru dan menyerapnya secara menyeluruh.
Averill, bagaimanapun, Ghufram dam Rini15 menegaskan bahwa Kontrol diri
mengacu pada kapasitas seseorang untuk mengubah perilaku, untuk mengatur informasi
yang diinginkan dan tidak diinginkan, dan untuk membuat keputusan berdasarkan apa
yang mereka anggap benar. Konsep Averill berfokus pada kumpulan bakat untuk
dikendalikan dalam membuat keputusan yang konsisten dengan keyakinannya.
Pengendalian diri dengan demikian merupakan salah satu potensi yang bisa
dikembangkan dan digunakan oleh manusia selama proses kehidupan, termasuk dalam
menghadapi keadaan di lingkungan terdekat. Kapasitas untuk merencanakan,
mengarahkan, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku yang bisa memiliki
konsekuensi positif 16.
Dipaparkan oleh Ghufron, aspek-aspek yang terkandung dalam pengendalian
diri yaitu:
a. Kemampuan mengendalikan perilaku. Dalam hal ini, peran perilaku sangat
penting sehingga jika perilaku seseorang tidak dikendalikan, maka perilaku
menyimpang dapat terjadi, meskipun kemampuan mengendalikan perilaku
seseorang berbeda-beda untuk setiap orang.
b. Kemampuan mengendalikan rangsangan. Karena ada berbagai rangsangan yang
diterima setiap hari, seseorang harus memiliki kemampuan untuk
mengendalikan rangsangan tersebut, yaitu memilih mana yang harus diterima
dan mana yang harus ditolak. Ini adalah bagian dari pengendalian diri atau self
control.
c. Kemampuan mengantisipasi kejadian. Orang yang menghadapi masalah atau
kejadian harus memiliki kemampuan untuk mengantisipasi masalah agar tidak
menjadi masalah yang lebih besar dan rumit.
d. Kemampuan menginterpretasikan peristiwa. Individu juga harus memiliki
kemampuan menginterpretasikan peristiwa, yang berarti mereka harus mampu
menginterpretasikan semua peristiwa yang terjadi dalam hidup mereka sehingga

15
M. Nur Ghufran and Rini Risnawati, Teori-Teori Psikologi, II. (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2017).
16
Zulfah, “Karakter: Pengendalian Diri.”
mereka dapat mengatasi peristiwa tersebut dengan mudah dan memikirkan
tindakan apa yang harus mereka ambil selanjutnya.
e. Kemampuan mengambil keputusan. Setiap situasi pasti memiliki sesuatu yang
harus diputuskan. Setiap orang harus memiliki kemampuan untuk membuat
keputusan yang baik, yang baik untuk diri sendiri, orang lain, dan
lingkungannya, dan tidak merugikan orang lain atau diri sendiri.
Jika setiap orang memiliki karakteristik ini, mereka akan lebih mampu
mengelola diri mereka sendiri dan menghindari situasi yang tidak diinginkan.
Dalam situasi ini, pengendalian diri sangat penting untuk kehidupan siswa.
Pengendalian diri yang ditemukan di dalam tidaklah sama; itu bervariasi tergantung
pada keadaan sekitar perkembangannya. Berbagai tindakan dan kontrol diri sebagai
mediator psikologis. Orang dengan pengendalian diri yang baik bisa mengendalikan
perilakunya dengan memisahkan diri dari tindakan mendesak dan memuaskan
keinginan adaptif. Sebaliknya, orang dengan pengendalian diri yang rendah akan
mengalami kesulitan dalam mengendalikan perilaku dan tindakannya, sehingga sulit
menahan godaan dan dorongan hati. Unsur-unsur yang bisa mempengaruhi
pengendalian diri dipaparkan oleh Ghufran dan Risnawati17 menjadi 2 (dua)
diantaranya:
a. Faktor internal
Umur merupakan komponen internal yang mempengaruhi pengendalian
diri. Anak-anak memperoleh pengendalian diri sebagian dengan melihat
bagaimana orang tua mereka menegakkan aturan, bereaksi terhadap kesalahan
mereka, berkomunikasi dengan mereka, dan menunjukkan kemarahan mereka
(baik dengan emosi atau dengan kemampuan mengelolanya). Anak itu belajar
bagaimana bereaksi terhadap kekecewaan, ketidaksetujuan, dan kegagalan dan
belajar mengaturnya seiring bertambahnya usia, lingkaran sosialnya meluas, dan
dia memiliki lebih banyak pengalaman sosial. Akhirnya, kontrol ini datang dari
dalam diri anak.
Dipaparkan oleh Baumeister dan Boden, unsur kognitif berhubungan
dengan kesadaran dalam arti seseorang memanfaatkan pengetahuan dan
pemikirannya untuk melakukan suatu proses dan pendekatan atau strategi yang

17
Ghufran and Risnawati, Teori-Teori Psikologi.
tepat yang telah direncanakan sebelumnya. Diharapkan dari mereka yang
memakai kekuatannya untuk bisa mengendalikan perilakunya sendiri melalui
proses berpikir. Jadi tingkat pengendalian diri seseorang mempengaruhi
kapasitas intelektualnya.
b. Faktor eksternal
Lingkungan dan keluarga yaitu contoh dari kekuatan luar ini. Variabel
keluarga dan lingkungan yaitu contoh pengaruh eksternal terhadap pengendalian
diri. Orang tua menentukan kapasitas anak untuk pengendalian diri. Disiplin
orang tua yaitu salah satunya; itu bisa membantu orang mengembangkan
kepribadian positif dan mengelola perilaku mereka. Pengendalian diri dan
pengarahan diri bisa dikembangkan melalui disiplin dalam hidup,
memungkinkan seseorang untuk bertanggung jawab penuh atas semua
aktivitasnya.
Selanjutnya faktor pengendalian diri dipaparkan oleh Baumeister & Boden yaitu
sebagai berikut:
a. Orang tua, Hubungan dengan orang tua menunjukkan bahwa orang tua
ternyata memengaruhi kemampuan anak untuk mengendalikan diri.
Anak-anak yang dididik oleh orang tua yang keras dan otoriter akan
kehilangan kemampuan untuk mengontrol diri dan menjadi kurang peka
terhadap apa yang mereka hadapi. Orang tua harus mengajarkan anak-
anak mereka untuk mandiri sejak kecil agar mereka dapat membuat
keputusan sendiri dan memperoleh pengendalian diri.
b. Faktor budaya, Setiap orang yang tinggal di suatu tempat akan memiliki
hubungan dengan budaya tempat mereka tinggal. Budaya di setiap
lingkungan berbeda-beda. Hal ini mempengaruhi bagaimana seseorang
mengendalikan diri di lingkungannya. Setiap orang diharuskan untuk
mengendalikan dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
disebabkan fakta bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat
hidup sendiri tanpa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang-orang
di sekitarnya. Individu yang memiliki pengendalian diri yang tinggi akan
mampu bersosialisasi dengan baik dan dapat mengantisipasi dorongan
dari luar. Faktor internal dan eksternal mempengaruhi tingkat
pengendalian diri seseorang. Oleh karena itu, pembentukan pengendalian
diri berkembang secara konsisten dan tidak semata-mata pada latihan; itu
menjadi kebiasaan.
Seseorang harus mampu mengelola hatinya agar mampu mengendalikan dirinya
sendiri. Hal ini disebabkan karena hati memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
pemikiran, persepsi, dan perilaku seseorang. Misalnya, ketika kemarahan hadir, emosi
bisa berubah secara tiba-tiba dan tanpa peringatan. Tekanan meningkat sampai puncak
tercapai. Akibatnya, persoalan-persoalan kecil yang seringkali tidak menghasilkan apa-
apa bisa tumbuh menjadi persoalan besar yang sangat menyedihkan dan membuat
seseorang merasa sangat tertekan atau marah. Tujuan akhir pengendalian diri yaitu
untuk mencapai kesuksesan, pertumbuhan, dan kebahagiaan.
Pengendalian diri, dari sudut pandang agama, merupakan upaya untuk
membatasi diri secara luas. menghindari kendala nafsu duniawi atau tidak seimbang.
Kegagalan akan dihasilkan dari ketidakseimbangan dalam hidup yang disebabkan oleh
pengelolaan yang tidak tepat dari semua hal. Penggunaan dorongan fisik atau mental
yang berlebihan akan menghasilkan ikatan perbudakan yang akan mematikan aset
manusia yang paling berharga. Ketuhanan yaitu kemurnian hati dan akal manusia, yang
merupakan sumber hati nurani yang senantiasa memberikan pedoman penting bagi
kesuksesan, kemajuan, dan kesenangan manusia.
Kontrol Diri di Kalangan Remaja dalam Filsafat Stois dari Marcus Aurelius
Ketabahan filosofis dan psikologi sufi setidaknya merupakan dua pendekatan
pengendalian diri. Langkah pertama menuju kebahagiaan, menjadi manusia ideal, dan
menjalani hidup sebaik mungkin bagi manusia yaitu pengendalian diri dalam dua
disiplin ini. Jika ditelaah lebih jauh, pengertian ini berpotensi membawa ketenangan dan
kebahagiaan, yang merupakan jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapi
kehidupan kontemporer. Cakupan dan tujuan akhir dari pengendalian diri manusia yaitu
subyek diskusi baik dalam psikologi Sufi maupun filsafat Stoa. Konsep pengendalian
diri dari kedua profesi ini menjadi kontroversi saat ini.
Pengendalian diri merupakan salah satu sifat yang perlu dimiliki seseorang
karena dengan pengendalian diri yang baik maka tingkah lakunya akan berubah menjadi
lebih baik. Namun, keterampilan ini diperoleh melalui proses kehidupan, seperti
mengarungi keadaan lingkungan yang menantang. Konsekuensinya, pekerjaan seorang
guru akan menjadi lebih mudah jika ia bisa membantu murid-muridnya
mengembangkan pengendalian diri yang kuat. Selain itu, siswa yang mempraktikkan
karakter unggul akan lebih menghargai diri sendiri dan orang lain.
Beberapa tahun terakhir ini terlihat peningkatan perhatian orang tua dan
masyarakat terhadap masalah remaja, khususnya di kota-kota besar di Indonesia.
Banyak organisasi, termasuk pendidik, penyedia layanan sosial, polisi, lembaga
akademik, anggota parlemen, dan lainnya telah mensponsori konferensi, simposium,
pembicaraan, proyek penelitian, dan acara lainnya untuk mengatasi masalah gejala
kenakalan remaja. dan masalah remaja. Kekhawatiran masyarakat dan orang tua tidak
berkurang meskipun temuan dan diagnosis yang telah ditetapkan berbeda.
Masalah ini menjadi lebih menantang dengan mulai masuknya komponen
budaya negatif dari negara lain sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi
komunikasi yang sangat cepat. Ini hasil dari ketidakmampuan untuk memilih,
mengelola, dan memahami variabel baru yang dihadapi setiap remaja. Dengan
menyediakan fasilitas olahraga, seni, hobi, penyuluhan, bimbingan, dan kegiatan
lainnya, sejumlah organisasi—baik negeri maupun swasta—berkontribusi aktif untuk
menyelpenelitiankan persoalan yang dihadapi anak-anak saat ini. untuk mengurangi dan
mengelola segala potensi dampak berbahaya pada kaum muda di negara kita. Hasil dari
upaya ini, bagaimanapun, belum menunjukkan perbaikan yang diinginkan. Karena
masalah yang dihadapi remaja ini yaitu hal biasa, menyelpenelitiankannya pasti akan
menantang. karena berbagai diagnosis yang disarankan.
Selain itu, masyarakat memandang masalah remaja sebagai perilaku
menyimpang yang terkadang menyimpang dari prinsip, konvensi, aturan, dan regulasi
sistem. Jika dilihat dari sudut pandang remaja, baik remaja putra maupun remaja putri
menghadapi masalah ini. Media sosial, aplikasi perpesanan, dan saluran lainnya efektif
untuk menyebarkan informasi dengan cepat terkait masalah remaja, terutama di era
informasi dan teknologi saat ini.
Selama fase transisi ini, remaja bergumul dengan self-mastery atau pengendalian
diri. Remaja perlu memberontak dan mendorong kembali untuk menjadi dewasa
menjadi orang dewasa yang mampu secara emosional. Remaja yang idealis dan
memberontak bisa menyebabkan konflik dengan mengungkapkan keyakinan mereka
yang mungkin berisiko dan tidak fleksibel di depan orang tua, instruktur, dan orang
dewasa lainnya.
Remaja sering bergumul dalam kehidupan sehari-hari dengan masalah-masalah
termasuk begadang, tidak betah, mencuri, berbohong, merokok, dan memakai bahasa
kotor sambil memaki. Berbicara kasar, tidak patuh, argumentatif, membolos sekolah,
mendengarkan musik keras, tidak mencuci badan dengan benar atau terlalu lama di
kamar mandi (mandi berlebihan), malas dengan tidak bekerja, berpakaian tidak rapi atau
membuat gaya rambut atau potongan rambut sembarangan, bertindak dengan cara yang
berterkaitan dengan standar, atau bertindak dengan cara yang berterkaitan dengan
standar.
Sebuah aliran pemikiran mengungkap penyebab dari banyak emosi yang tidak
menyenangkan dan penyembuhannya lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Filosofi
ketabahan Yunani-Romawi kuno, juga dikenal sebagai ketabahan, filosofi teras, atau
ketabahan, dimaksudkan untuk membantu orang mengatasi emosi buruk dan
mengembangkan ketabahan mental. Alih-alih dilihat sebagai subjek yang sulit dan
esoteris, sikap tabah dianggap berguna dan relevan bagi Generasi Milenial dan Gen Z
saat ini. Meskipun Stoicisme yaitu filosofi kuno, itu masih berlaku sampai sekarang,
terutama ketika mendefinisikan “apa yang bergantung” dan “apa yang tidak
bergantung”. Mungkin filosofi barat yang menekankan persaudaraan global yaitu
ketabahan. Keyakinan bahwa “semua orang yaitu saudara dalam kemanusiaan” sangat
penting dalam masyarakat di mana ada perbedaan yang semakin besar antara “kiri” dan
“kanan”, “konservatif” dan “liberal”, serta hambatan etnis dan agama. Hal ini juga
sejalan dengan situasi politik di Indonesia yang semakin bergejolak dan frase “pemecah
belah” dan “separatis” semakin populer.
Untuk menghindari kekecewaan yang terlalu mudah, yang bisa mengakibatkan
kesedihan ketika seseorang mengalami kesulitan yang sangat besar, Marcus Aurelius
menyarankan untuk berlatih mencintai diri sendiri. Ini yaitu alasan utama mengapa
seseorang mungkin bunuh diri. Marcus Aurelius mengatakan bahwa mempraktikkan
cinta diri melibatkan menaruh perhatian pada diri sendiri, merangkul siapa diri Anda,
dan melepaskan penilaian orang lain. Ketika seseorang menerima dirinya sendiri,
mereka bisa berpikir positif bahkan ketika mereka sedang marah, terganggu, atau dalam
keadaan lain. keadaan sulit.
Marcus Aurelius memberi tahu kita bahwa jika kita bisa membedakan antara
variabel yang bisa kita kendalikan dan yang tidak bisa kita kendalikan, kita bisa
membuat keputusan yang masuk akal dalam setiap keadaan. Jika seseorang memiliki
kapasitas untuk memahami dan mempraktikkannya, mereka secara tidak sadar telah
tumbuh untuk mencintai diri mereka sendiri. Akibatnya, remaja akan mengalami masa
yang lebih sulit. Meskipun prinsip ini mudah, mungkin sulit untuk dipraktikkan. Oleh
karena itu, remaja harus berusaha lebih keras atau ketekunan untuk belajar bagaimana
memakainya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kaum muda memiliki pilihan
untuk meminta bantuan dari orang yang mereka cintai atau kenalan lain yang mereka
yakini berguna. Ini pasti akan membantu mencegah bunuh diri di masa depan 18.
The Terrace Philosophy atau filosofi Stoic berpendapat bahwa emosi buruk yang
dipicu oleh rasa khawatir bisa dikenali dan ditaklukkan. Kekhawatiran, iri hati,
kecemasan, penyesalan atau kepahitan, dan kesenangan yang berlebihan semuanya
merusak ketenangan pikiran seseorang selain berdampak pada orang lain di sekitarnya.
Kaum Stoa memperkenalkan Stoicisme, sebuah aliran filsafat Yunani Kuno yang
membagi unsur-unsur yang memengaruhi kesenangan menjadi dua kategori: unsur-
unsur yang bisa dikendalikan dan unsur-unsur yang tidak bisa dikendalikan.
“Hidup selaras dengan alam” yaitu prinsip utama ketabahan, yang menempatkan
alasan atau akal sehat sebagai prioritas yang lebih tinggi. Seperti yang ditunjukkan oleh
prinsip-prinsip Stoicisme, Islam sangat menjunjung tinggi akal 19.
Memakai akal, yang dipaparkan oleh Islam sangat penting untuk meningkatkan
derajat keimanan seseorang, yaitu salah satu pendekatan untuk menemukan ketenangan
pikiran. Ketabahan lebih menekankan pada pengendalian emosi yang tidak
menyenangkan daripada keyakinan Islam lainnya, sedangkan Islam menjunjung tinggi
amor fati.
Pentingnya mengelola emosi pada tingkat pribadi dalam kehidupan sehari-hari
ditunjukkan oleh fakta bahwa orang yang kompeten secara emosional lebih mampu
memahami dan mengolah emosi mereka daripada mereka yang kurang pengendalian
diri. Dalam hubungan interpersonal, pengendalian emosi yang efektif sangat penting.

18
Rerung, Sekke Sewanglangi’, and Alang Patanduk, “Membangun Self-Love Pada
Anak Usia Remaja Menggunakan Teori Filsafat Stoikisme Marcus Aurelius.”
19
Kirana, “Konsep Kebahagiaan Hidup Menurut Marcus Aurelius Ditinjau Dari
Perspektif Filsafat Stoikisme.”
Memahami emosi orang lain dan mengendalikan diri memungkinkan seseorang untuk
bertindak dengan tepat, menunjukkan kebaikan kepada orang lain dan diri sendiri, serta
menempatkan diri pada posisi yang baik20.
Penutup
Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa metode pengendalian diri yang
paling krusial untuk mencapai ketenangan mental yaitu pengendalian perseptual, yang
didukung oleh filosofi tabah dan psikologi sufi. Namun, masing-masing kearifan ini
memiliki asal usul yang unik. Kearifan sufi Timur, seperti yang ditunjukkan oleh Robert
Frager, berasal dari keyakinan yang mengakui keberadaan Tuhan yang mengawasi
kehidupan manusia dan bahwa manusia harus berjuang untuk membebaskan diri dari
nafs yang menghalangi mereka untuk menyatu dengan cinta Tuhan yang tenteram.
Tujuan akhir dari pemahaman ini yaitu untuk menyatukan manusia dan Tuhan.
Sebaliknya, Stoicisme berpendapat bahwa para filsuf mendasarkan pilihan mereka pada
pengalaman hidup mereka sendiri. Fondasi filosofi Stoa yaitu rasionalisme, yang
membagi alam semesta menjadi dua bagian. Filosofi tabah menekankan bahwa untuk
mencapai kondisi bebas dari penderitaan, orang harus terus-menerus mengenali dan
membedakan antara apa yang berada dalam kekuasaan mereka sebagai orang biasa dan
apa yang berada di luar kendali mereka.
Penelitian ini bisa dilihat sebagai panduan untuk memakai kontrol diri untuk
menemukan kebahagiaan melalui teknik sufistik dan tabah. Penelitian ini juga bisa
dimanfaatkan sebagai sumber belajar untuk menambah pengetahuan. Karena masih
dalam tahap persiapan, penelitian ini masih jauh dari ideal. Pembatasan ini cukup
membatasi karena tidak banyak materi yang mencakup filosofi tabah. Studi ini
menunjukkan bahwa penyelidikan yang lebih luas dan berkelanjutan diperlukan.
Dengan demikian, hipotesis pengendalian diri bisa dinilai dalam kerangka dunia
kontemporer.
Daftar Pustaka
Budi, H. I. Pengantar Filsafat Teologi. Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2023.

Carlos Kodoati, Michael. “Epikureanisme dan Stoikisme: Etika Helenistik Untuk Seni
Hidup Modern.” Media: Jurnal Filsafat dan Teologi 4, no. 1 (February 28,
2023): 91–102.

Syarifuddin et al., “Konsep Stoisisme untuk Mengatasi Emosi Negatif Menurut Henry
20

Manampiring.”
Ekowati, Sari. “Paradigma Psikologi Komunikasi dalam Memandang Permasalahan
Melalui Nilai-nilai Stoikisme di Kalangan Remaja.” Jurnal Ilmu Komunikasi 2,
no. 1 (2023).

Ghufran, M. Nur, and Rini Risnawati. Teori-Teori Psikologi. II. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2017.

Hidayat, Hidayat. “PENGENDALIAN DIRI SALAH SATU KETERAMPILAN


KECERDASAN EMOSIONAL UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI
BELAJAR SISWA SEJAK DINI.” Madrasah 2, no. 1 (2009).

Holiday, Ryan, and Stephen Hanselman. The Daily Stoic : 366 Meditations on Wisdom,
Perseverance, and the Art of Living. New York: Penguin Random House, 2016.

Kirana, Dea Ayu. “Konsep Kebahagiaan Hidup Menurut Marcus Aurelius Ditinjau Dari
Perspektif Filsafat Stoikisme.” Gunung Djati Conference Series 24 (2023).

Manampiring, Henry. Filosofi Teras. Jakarta: Kompas, 2019.

Nurihsan, Achmad Juntika. Strategi Layanan Bimbingan & Konseling. Bandung: PT


Refika Aditama, 2005.

Rerung, Alvary Exan, Rosinta Sekke Sewanglangi’, and Sandi Alang Patanduk.
“Membangun Self-Love Pada Anak Usia Remaja Menggunakan Teori Filsafat
Stoikisme Marcus Aurelius.” Masokan: Ilmu Sosial dan Pendidikan 2, no. 2
(December 8, 2022): 105–115.

Syarifuddin, Achmad, Hartika Utami Fitri, Ayu Mayasari, and UIN Raden Fatah
Palembang. “Konsep Stoisisme untuk Mengatasi Emosi Negatif Menurut Henry
Manampiring.” Bulletin of Counseling and Psychotherapy 3, no. 2 (2021).

Tampubolon, Desra Nita. “Analisis Interpretasi Filsafat Stoisisme pada Buku Filosofi
Teras Karya Henry Manampiring dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai
Ekstrinsik yang Terkandung di dalam Cerita Pendek.” GARUDA : Jurnal
Pendidikan Kewarganegaraan dan Filsafat 1, no. 2 (2023).

Wattimena, Reza A A, and Universitas Atma Jaya. “ANTARA KEUTAMAAN DAN


KEPANTASAN ADAM SMITH DAN FILSAFAT STOA.” Melintas (2007).

Zulfah, Zulfah. “Karakter: Pengendalian Diri.” IQRA : Jurnal Pendidikan Agama Islam
1, no. 1 (2021): 28–33.

Anda mungkin juga menyukai