Anda di halaman 1dari 18

C A B A N G - C A B A N G F I L S A FAT

EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI DAN


ONTOLOGI
PENGERTIAN ONTOLOGI

• Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani: On/ontos = being, dan logos = logic / ilmu.
• Jadi ontologi adalah The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan).
• Louis O. Kattsof dalam Elements Of Filosophy :
Ontologi itu mencari ultimate reality dan menceritakan bahwa di antara contoh pemikiran
ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menjadi Ultimate subtance
yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua benda hanya satu saja yaitu air.

• Noeng Muhadjir dalam bukunya Filsafat Ilmu:


Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi
membahasa tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi
berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, Lorens Bagus, menjelaskan yang ada
yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
• Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri dalam pengantar Ilmu dan Perspektif:
Ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan
perkataan lain, suatu pengkajian teori tentang “ada”.
• A. Dardiri dalam bukunya Humaniora Filsafat, dan Logika mengatakan, ontologi adalah
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berada di mana
entitas dan ketgori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi)
dapat dikatakan ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai
prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaian akhir-akhir ini ontologi
dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
• Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika Filsafat mengatakan, ontologi mempersoalkan sifat dan
keadaan terkahir dari kenyataan. Karena itu ia disebut ilmu hakikat, hakikat yang tergantung
pada pengetahuan. Dalam agama ontologi memikirkan tentang Tuhan.
• Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan, ontologi berasal dari kata ontos =
sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada.
Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar oada logika semata-mata.
• Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1963 M. untuk
menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangan Christian
Wolff (1979-1754) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika
khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
• Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika
khusus masih dibagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
• Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta.
Pskologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi
adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang Tuhan.
PENGERTIAN AKSIOLOGI
• Aksiologi beraal dari kata axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi
aksiologi “teori tentang nilai”
• Jujun S. Suriasumantri: aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh

• Bramel : aksiologi terbagi dalam tiga bagian.


1. Moral conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika.
2. Esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik
PENGERTIAN EPISTEMOLOGI

• Secara Etimologi, Epistemologi berasal dari dua kata yunani yaitu episteme yang berarti
pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti “studi tentang” atau “teori tentang”.
• Epistemologi umumnya diartikan dengan Teori tentang pengetahuan (theory of knowledge).

• Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 212.


• Secara umum epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji sumber-sumber, watak dan
kebenaran pengetahuan.
1. Apakah yang dapat diketahui oleh akal kita?
2. dari manakah kita memperoleh pengetahuan?
3. apakah kita memiliki pengetahuan yang dapat kita andalkan, atau kita hanya harus puas dengan
pendapat-pendapat dan sangkaan-sangkaan?
4. apakah kemampuan kita terbatas dalam mengetahui fakta pengalaman indera, ataukah kita dapat
mengetahui yang lebih jauh dari pada apa yang diungkapkan oleh indera?
• Harold H. Titus dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hlm. 20.
• Dapat diringkas bahwa persoalan-persoalan pokok dalam epistemologi meliputi tiga hal:
1. pertama: sumber-sumber pengetahuan (origins),
2. kedua: watak dari pengetahuan,
3. ketiga: validitas pengetahuan atau neraca pengetahuan
• Persoalan-persoalan pengetahuan ini pertama kali dibahas dalam pemikiran Yunani, terutama
oleh Plato (427-347 SM) yang dikenal sebagai orang pertama yang ingin menjawab persoalan-
persoalan epistemologi.
• Salah satu dari persoalan-persoalan epistemologi tersebut yakni persoalan nilai pengetahuan, di
mana dia merupakan pokok persoalan dalam epistemologi, sesungguhnya telah dibahas sejak
periode paling awal dalam sejarah filsafat Yunani, di mana salah satu faktor munculnya persoalan-
persoalan tersebut berawal dari tersingkapnya informasi tentang adanya kekurangan dan
kesalahan pancaindra dalam mengungkap hakikat kejadian-kejadian di alam eksternal.
• Faktor ini pula yang mendorong aliran Eleatik untuk meragukan persepsi indrawi dan lebih
mempercayai pengetahuan rasional.
• Bermula pada abad ke-5 SM, gelombang keraguan meliputi Yunani, saat itu tejadi
perselisihan tentang pengetahuan rasional yang kemudian menyebar di wilayah-
wilayah retorika dan hukum, serta terjadi pertentangan antara pandangan
filosofis dan asumsi empiris.
• Saat itu pemikiran filsafat belum terkristalisasi, juga belum mencapai derajat
tinggi kematangan intelektual.
• Oleh karena itu, konflik dan pertentangan semacam ini yang terjadi di antara
pandangan-pandangan filsafat menjadi sebab dari kebingungan dan ketakutan
intelektual yang mendalam.
• Sehingga hal tersebut justru memberi kesempatan para Sophis untuk sama
sekali menolak segenap nilai cerapan pengetahuan rasional. Lebih dari itu
bahkan mereka menyangkal keberadaan kenyataan-kenyataan eksternal.
• Gorgias (483-380 SM) salah satu tokoh aliran ini, menulis sebuah buku tentang
noneksistensi.
• Dalam karya ini, ia mencoba membuktikan sejumlah poin:
• 1) tidak ada sesuatu pun yang eksis;
• 2) jika ada sesuatu yang eksis, siapa pun tidak mampu mengetahuinya;
• 3) jika diasumsikan siapa pun dapat mengetahuinya, ia tidak bisa
mengomunikasikannya kepada orang lain.
• Dari sinilah masalah epistemologi kemudian diperbincangkan secara serius. Di
antaranya oleh Plato kemudian diikuti oleh Aristoteles (384-322 SM) dengan
menciptakan prinsip-prinsip logika.
• Inilah akar pemikiran epistemologi sistematis pertama.
• Dengan demikian, eksplorasi pemikiran epistemologi harus juga ditarik dari
akar epistemologi Plato tersebut.
• Dalam sejarah filsafat, Plato dan Aristoteles merupakan prototipe pergumulan antara aliran
rasionalisme dan empirisisme.
• Plato berpendapat bahwa hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang
kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah.
• Karena sifatnya yang berubah-ubah itu, Plato tidak mempercayai kebenarannya. Pengetahuan
yang bersumber dari pancaindera diragukan kebenarannya. Hanya sesuatu yang tidak mengalami
perubahan yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber pengetahuan.
• Dalam proses pencariannya, Plato menemukan bahwa di seberang sana (di luar wilayah
pengamatan inderawi) ada sesuatu yang ia sebut “idea”. Dunia ‘idea’ ini bersifat tetap, tidak
berubah-ubah, dan kekal.
• Plato memang banyak terpengaruh oleh Phytagoras, ia sangat tertarik kepada matematika, akan
tetapi ia tidak berhasrat untuk mempergunakannya dalam mempelajari dunia.
• Namun, ia menganalogikan alam idea yang tidak berubah-ubah itu dengan rumus matematika
yang juga tidak pernah berubah-ubah.
• Menurut Plato pengetahuan terdiri dari perkenalan dengan alam idea yang berada di atas alam
indera, ia menambahkan bahwa alam idea inilah alam yang sesungguhnya (reality), sedangkan
pancaindra tidak memberi pengetahuan yang benar.
• Plato juga berpendapat bahwa alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya, manusia sejak
lahir sudah membawa idea bawaan yang oleh Descartes (1596-1650 M) dan tokoh-tokoh
rasionalis yang lain disebut innate ideas.
• Dengan idea bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu, dari situlah
timbulnya pengetahuan.
• Hal ini ditegaskan oleh Plato bahwa orang tinggal “mengingat kembali” saja ide-ide bawaan itu,
jika ia ingin memahami segala sesuatu.
• Pemikiran Plato dalam epistemologi ini mempunyai kelemahan.
• Adalah Aristoteles yang merupakan murid dari Plato menyanggah teori ini, dengan mengatakan
bahwa idea-idea bawaan itu tidak ada.
• Kalau Plato menekankan adanya dunia “idea” yang berada di luar benda-benda yang konkret
(empirik), maka Aristoteles tidak mengakui adanya dunia seperti itu.
• Hukum-hukum dan pemahaman yang bersifat universal bukan hasil bawaan dari sejak lahir, tapi
hukum-hukum pemahaman itu dicapai lewat proses panjang pengamatan empirik manusia.
Aristoteles menyebut proses ini sebagai proses “abstraksi”.
• Aristoteles mengakui bahwa pengamatan inderawi itu berubah-ubah, tidak tetap dan tidak kekal,
tetapi dengan pengamatan dan penyelidikan yang terus menerus terhadap hal-hal dan benda-
benda konkret, maka akal atau rasio akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan ideanya dari
benda-benda yang konkret tersebut.
• Dari situ muncul ide-ide dan hukum-hukum yang bersifat universal dan dirumuskan oleh akal
atau intelek manusia melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi.
• Aristoteles menolak epistemologi Platonian dengan mengatakan bahwa pengetahuan kita harus
berangkat dari hal-hal partikular yang terpersepsi indera, untuk kemudian diabstraksikan
menjadi pengetahuan akal budi yang bercirikan universal.
• Aristoteles berpegang teguh pada diktum: ‘Nihil Est In Intrelectu Nisi Quod Prius In Sensu’ yang
artinya: tidak ada satu pun yang terdapat di akal budi yang tidak lebih dulu terdapat pada indera.
• Berkebalikan dengan Plato, dasar filsafat pengetahuan Aristoteles bukanlah anamnesis atau
“mengingat kembali” dari dunia idea melainkan abstraksi dari realitas kongkret menuju idea
melalui tahapan-tahapan tertentu.
• Terdapat tiga tahapan abstraksi yaitu:
• 1). Abstraksi fisis, dari pengamatan, akal melepaskan diri dari pengamatan inderawi menyangkut
hal-hal yang dapat dirasakan untuk menjadi materi abstrak (hyle aistete) akal budi menghasilkan,
bersama materi yang abstrak tersebut, pengetahuan fisika.
• 2). Abstraksi matematis, akal budi melepaskan dari materi hanya segi-segi yang dapat dimengerti
sehingga abstraksi lalu menghasilkan pengukuran dan perhitungan. Menghitung dan mengukur
dapat dilepas dari semua gejala dan semua perubahan. Pengetahuan yang dihasilkan disebut
matesis.
• 3). Abstraksi metafisis, semua materi yang dapat diamati dan dapat diketahui diabstraksi,
sehingga menghasilkan pengetahuan yang meninggalkan bidang fisika dan matematis untuk
mendapatkan pengetahuan tentang keseluruhan kenyataan, tentang asal dan tujuan, tentang jiwa
manusia, tentang Tuhan.
• Jadi Aristoteles berjasa dalam usahanya untuk menggambarkan tahapan-tahapan kemajuan
pengetahuan manusia. Ia mulai dari pengetahuan inderawi yang selalu partikular. Kemudian
melalui abstraksi menuju pengetahuan akal budi yang bercirikan universal.

Anda mungkin juga menyukai