Hari-Hari ini muncul keluh-kesah di masyarakat yang bisa dirumuskan dengan
sederhana: mengapa suara rakyat tidak digubris? Ini terkait peluncuran berbagai kebijakan yang dianggap tidak mendengar atau tidak dilandaskan pada aspirasi rakyat.Ulasan ini tidak ingin masuk ke ranah itu, juga bukan pada perkara benar-tidaknya keputusan yang telah diambil, namun pada soal mengapa sampai muncul tuduhan bahwa suara rakyat tak didengar? Atau, mengapa sampai bisa terjadi suatu proses yang, seperti dikatakan, telah mengabaikan suara rakyat? Selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya.” Rakyat di situ merupakan suatu gagasan yang merujuk pada kekuatan sosial yang jika kepadanya tersedia kekuasaan politik, maka akan direalisasikan apa yang menjadi kepentingannya, yakni kebaikan bersama.Pada ide kata “rakyat” telah termuat semangat dan visi emansipasi, serta seluruh aspirasi tentang masa depan yang lebih baik, yak ni manaka la keadaan “ bebas dari ” kelak dapat dicapai. “Rakyat”, konsep yang berakar pada sejarah kolonialisme itu, punya tiga makna: pengalaman penderitaan, spirit emansipasi, dan visi masyarakat merdeka. Perikeadilan; suatu spirit emansipasi: hanya dengan itulah diperoleh kesanggupan untuk mengubah jalannya Sejarah: suatu visi masyarakat merdeka: di dalamnya tergambar hidup bersama yang dikelola melalui cara-cara yang mustahil mengabaikan rakyat— rakyat bahkan dijadikan sumber sekaligus tempat di mana semua usaha diperuntukkan. Melalui ketiga makna itulah kita jadi bisa mengerti, mengapa rakyat jajahan enggan bergeming dan senantiasa berhimpun agar beroleh daya buat mengatasi keadaannya yang tak bebas itu. Seperti kita tahu, upaya emansipasi pada waktunya bertemu dengan kondisi geopolitik tempat dua kekuatan sedang bertarung, yakni demokrasi dan fasisme. Di dalamnya tersua antara lain: (a) pernyataan kemerdekaan oleh rakyat: “maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”; (b) perincian ciri negara yang akan dibentuk; (c) negara berdasar hukum, atau kekuasaan datang dari hukum; (d) negara berbentuk republik, berkedaulatan rakyat, dan berdasar Pancasila. Kedudukan kedua, kekuasaan tidak boleh lepas dari kepentingan rakyat dan, pada dirinya, tersua syarat yang memberi dasar atas keberadaannya, yakni pada frasa: “... Sebab, praktik demok rasi yang berlangsung punya kecenderungan untuk bergerak tanpa rakyat, atau menganggap bahwa urusan dengan rakyat sudah kelar tepat pada saat kertas suara dicoblos sudah. Pada titik inilah kita butuh kajian dan dialog untuk bersama-sama berefleksi, agar dalam berdemokrasi suara rakyat tidak mudah ditelikung oleh demokrasi prosedural. Azyumardi Azra , pada sebuah media nasional (2020), menggambarkan: Demokrasi Indonesia menjadi cacat, antara lain, karena kian berkurangnya kebebasan warga beraspirasi dan berekspresi.Juga menjadi demokrasi ‘tidak liberal’ karena kian menyempitnya kebebasan warga menyatakan pendapat, termasuk yang tidak menyenangkan penguasa dan elite politik.