Anda di halaman 1dari 4

Praktik Etika dan Protokol Diplomasi dalam suatu Urusan Diplomatik

Dalam dunia pemerintahan, terutama dalam urusan luar negeri suatu pemerintahan pasti
memiliki yang namanya etika dan protokol diplomasi. Protokol merupakan seperangkat
aturan yang mengatur perilaku, terutama dalam pemerintahan, protokol dipandang sebagai
kerangka dimana diplomasi berlangsung, dengan demikian protokol maksudnya disini lebih
kepada bagaimana mengatur suatu tindakan dan perkataan seorang perwakilan negara harus
sesuai dengan apa yang seharusnya dalam suatu urusan diplomatik (Marshall 2020). Hal ini
agar suatu urusan diplomatik antar satu negara dengan negara lainnya dapat berjalan dengan
baik dan lancar. Protokol tersebut dapat berupa seperti tata cara pertemuan, penggunaan
bahasa, simbol-simbol nasional atau bahkan norma-norma etika yang berlaku dalam
hubungan diplomatik. Seperti yang dijelaskan oleh Marshall dalam bukunya yang berjudul
“Protocol: The Power of Diplomacy and How to Make It Work for You”, protokol yang
dimiliki suatu negara dapat berbeda dengan negara lainnya. Sebagai seorang kepala protokol
Amerika Serikat, Marshall menjelaskan bahwa persiapan yang dilakukan oleh kepala
protokol Rusia berbeda dengan saat bagaimana persiapan yang disiapkan olehnya ketika
Rusia berkunjung datang ke Amerika. Terutama perbedaan detail yang dapat dilihat adalah
bagaimana susunan kursi kepala negara yang akan digunakan untuk berunding. Ketika
kunjungan Rusia ke Amerika, Marshall mempersiapkan dua susunan kursi kepala negara
dengan arah yang saling berhadapan, sedangkan ketika kunjungan Amerika ke Rusia
beberapa tahun setelahnya, pihak Rusia mempersiapkannya dengan susunan yang secara
tidak langsung saling berhadapan, atau yang biasa disebut dengan fireside-chat.

Hanya dengan menentukan bagaimana arah dari kedua jenis susunan kursi tersebut
diatur, dapat memberikan efek yang berbeda dalam berjalannya suatu diskusi antara
perwakilan negara nantinya, yang mana bahkan mungkin juga akan menentukan bagaimana
hasil akhir dari berjalannya diskusi tersebut. Tidak hanya melalui protokol dalam hal tata cara
pertemuan, namun juga dalam hal seperti misalnya bagaimana menggunakan bahasa yang
tepat. Bahasa merupakan salah satu aspek penting yang menentukan apakah akan berjalan
lancarnya suatu diskusi, terutama penggunaan bahasa dalam hal bagaimana itu dituliskan
dalam dokumen diplomatik juga merupakan hal mendasar dari protokol. Bahasa diplomatik
merupakan bahasa formal yang begitu spesifik dan ini juga berbeda dengan bahasa sopan
yang biasa digunakan dalam dunia bisnis. Bahkan penggunaan spesifik dari bahasa
diplomatik itu sendiri, meskipun terdapat suatu kondisi dimana para wakil suatu negara ingin
mengkritik perwakilan negara lainnya, dalam hal ini yang biasa dilakukan oleh seorang
diplomat tersebut hanya memberikan harapan, komentar, atau bahkan merendahkan
negaranya sendiri. Misalnya, penggunaan bahasa diplomatik yang sopan seperti ketika dalam
forum internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), para negara anggota yang dipanggil
biasanya akan memberikan kalimat seperti “has the honour to” atau “avails himself/herself
of the opportunity to”, atau bahkan seperti “expresses concern regarding”. Sehingga tidak
peduli bagaimana bentuk bahasa ini digunakan, tujuan utama dalam penggunaan bahasa ini
adalah agar dapat tetap mempertahankan komunikasi yang terbuka antara perwakilan negara
satu dengan yang lainnya (Tomalin 2018).

Etika dalam hal ini juga memiliki kaitannya dengan penerapan protokol diplomasi.
Dalam kehidupan suatu masyarakat, etika juga menunjukkan bagaimana seorang individu
menentukan hubungan sosialnya dan memungkinkannya untuk memahami masyarakat
tersebut (Wajda 2018 disitasi dalam Oral 2023). Sehingga, dalam urusan diplomatik
sekalipun jelas bagaimana seorang perwakilan negara atau diplomat akan mengambil
tindakan kedepannya tergantung pada etika yang ditunjukkan oleh pihak lawannya tersebut,
baik apakah akan memilih terus tetap menjaga hubungan diplomatiknya terjalin atau bahkan
memutuskan untuk memutus hubungan diplomatiknya tersebut. Maka dari itu, setiap
perwakilan negara pasti akan selalu berhati-hati dalam menilai tindakannya sendiri.
Pemahaman lebih jelas terkait hal ini dapat kita lihat juga pada saat kunjungan yang
dilakukan oleh Raja Salman ke Indonesia beberapa tahun yang lalu. Sekitar pada tanggal 1
Maret 2017 lalu, kunjungan Raja Salman ke Indonesia yang telah dijanjikan sebelumnya
mengakibatkan banyak persiapan yang harus dilakukan oleh negara Indonesia itu sendiri.
Terutama protokol untuk penyambutan secara khusus terhadap tamu penting yang telah
dilakukan oleh Menteri Perhubungan RI, yakni Budi Karya Sumadi, menjelaskan bahwa
keamanan, keselamatan, dan kenyamanan akan dipastikan bagi Raja Salman dan delegasi
Saudi Arab lainnya selama di bandara (Ali 2017). Kedatangan Saudi Arab ke Indonesia
merupakan suatu fenomena yang langka, dikarenakan kunjungan terakhir kali yang dilakukan
oleh Saudi Arab itu sekitar saat 49 tahun yang lalu. Sehingga tidak heran jika dalam hal ini
pihak Indonesia akan berhati-hati dan memastikan bahwa setiap persiapan penyambutannya
tersebut dapat berjalan lancar dan bahkan diharapkan membawakan hasil yang lebih baik bagi
urusan diplomatik antar keduanya.
Berdasakan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara
etika dan protokol diplomasi terletak pada bagaimana keduanya jika dipandang melalui
penerapan hukum. Meskipun protokol diplomasi terkadang biasanya hanya dapat berupa
norma etiket atau maksudnya disini tidak tercantum dalam suatu hukum, seperti misalnya
salam hormat atau berkata dan bersikap sopan, protokol diplomasi juga sering kali memiliki
dasar hukum yang jelas dalam mengatur suatu pertemuan diplomatik. Seperti halnya yang
telah dilakukan oleh Budi selaku Menteri Perhubungan RI dalam rangka untuk memastikan
tamu khusus yang datang ke Indonesia sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
sebelumnya. Hal ini tidak hanya terjadi pada negara penerima seperti kasusnya Indonesia,
tetapi juga bisa bagi pihak-pihak resmi lain seperti organisasi internasional dan sebagainya
untuk mengatur bagaimana protokol yang mengatur pertemuan diplomatik. Sedangkan etika
dalam diplomasi tidak selalu memiliki dasar hukum yang sama jelas. Dimana etika disini
maksudnya lebih kepada bersifat moral dan dapat bervariasi antara individu dan
negara-negara. Lalu pentingnya etika dan protokol diplomasi dalam upaya untuk memastikan
seluruh agenda dapat berjalan lancar menjadi perhatian penting bagi para delegasi atau
perwakilan negara. Selama menjaga kode etik tersebut tetap terkendali, segala agenda tadi
dapat berjalan dengan lancar. Hal ini dikarenakan jika telah mengabaikan kode etik tersebut,
akan mendapatkan konsekuensi berupa penilaian yang buruk oleh lawan. Dimana hal ini akan
mengantarkan pada kegagalan dalam upaya mencapai hasil yang terbaik selama
berdiplomasi.

Referensi:

Ali, Muhammad, 2017. “3 Persiapan Wah Sambut Kedatangan Raja Salman di


Indonesia” [daring]. Dalam
https://www.liputan6.com/news/read/2867313/3-persiapan-wah-sambut-kedatangan-raja-salm
an-di-indonesia [diakses 25 September 2023].

Marshall, Capricia Penavic, 2020. Protocol: The Power of Diplomacy and How to
Make It Work for you. New York: HarperCollins.

Oral, Ugur, 2023. “The Need for Etiquette and Protocol Rules in Political
Communication where Courtesy Is About to Disappear”, AGATHOS, 14(1):211-222.
Tomalin, Barry, 2018. “Diplomatic protocol: Etiquette, statecraft and trust (sebuah
review)”, Training Language and Culture, 2(1):101-104.

Anda mungkin juga menyukai