Anda di halaman 1dari 2

PERANAN CINTA TERHADAP EKSISTENSI MANUSIA DAN

PEROBLEMATIKA KEHIDUPAN
Oleh: Abdulloh Muchlis
GMAIL: abdullohmuchlis9@gmail.com

Sepanjang perjalanan kehidupan manusia, sudah barang tentu dalam


mengarunginya mengalami pelik gelombang badai penderitaan dan angin sepoi
kebahagiaan yang datang silih berganti menerjang. Sepanjang itu pula manusia
belajar menyikapi terhidupan tersebut melalui pengalaman dan intuisi pemikirannya
mengenai kehidupan yang sejatinya tidak akan pernah bisa terlepas dan lari dari
jerat keduanya, atau dengan kata lain “kebahagiaan dan penderitaan berjalan
beriringan”. Dalam proses kehidupan berkesinambungan yang didesak oleh
kebutuhan–baik jasmani maupun rohani, manusia juga belajar menyikapi kaitan
antara kebahagiaan dan penderitaan tersebut, dengan apa yang dinamakan “cinta”.
Semakin bertambah ilmu dan pengalaman manusia, semakin gelap pula hati mereka
sehingga tidak dapat lagi memantulkan kesejatian hidup dan hanya mampu
mengira-ngira kebutuhan dan kepentingan hidupnya sendiri. Semakin bertambah
jumlah manusia semakin bertambah pula perbenturan dan konflik antar sesama.
Semakin bertambah umur dunia, semakin luntur harmoni manusia. Pada akhirnya,
kebajikan, kemuliaan, dan keluhuran perlahan mulai usang dan lebur, dan sedikit
demi sedikit memudar dari cakrawala kehidupan manusia. Manusia tidak lagi peka
terhadap sekitarnya, meliputi: tidak adanya lagi kebajikan, perasa terhadap
keluhuran, juga tidak lagi sensitif terhadap kebaikan dan kebajikan, tidak peduli akan
keluhuran dan kemuliaan. Diantara manifestasi masih bertahan, namun dalam wajah
palsu yang diabadikan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Satu diantara yang
mulai memudar dari jati diri yang mulai terlupakan ialah “CINTA”.

Problem besar yang sekiranya seorang yang berupaya mengungkap, mengkaji


kembali, atau sekadar menyampaikan dan menganjurkan cinta pada saat ini hanya
satu: yaitu ditertawakan. Pola pikir manusia yang cenderung mengandalkan
mekanika akal budi-rasio selama berabad-abad lamanya dan diwarnai perilaku
pragtis-pragmatis membuat sebagian dari manusia takluk kepada yang memiliki
daya guna dan fungsi yang terlihat mata dan materi. Sesuatu yang ideal dan spiritual
hanya dipandang sebelah mata, dianggap oleh kalangan tertentu yang maju, dan
tidak ada gunanya bagi peningkatan kualitas dan kuantitas kehidupan manusia
menjadi lebih baik. Bahkan diantara mereka menganggap bahwa hal-hal tersebut
adalah sebuah pelarian kosong, sebuah realitas palsu yang menggambarkan
ketidakberdayaan manusia. Perlu disadari bahwa, segala yang terealisasikan oleh
kehendak manusia berupa: tindakan, sikap, kepekaan, kesadaran, baik-buruk
perbuatan dll sejatinya didorong oleh, untuk, dan karena cinta.

Pertama: cinta terhadap yang diyakininya sebagai yang maha kuasa, sempurna dan
segala-galanya berawal dari rasa yang timbul oleh adanya kepercayaan bahwa
tuhan adalah yang maha cinta tanpa pamrih siapa dan apa. Oleh karenanya,
manifestasi kepercayaan tersebut direalisasikan kepada perbuatan dan tindakan
yang selaras dengan apa yang diyakininya–tuhan. Dan karenanya secara tidak
langsung jiwa dan rohani menjadi tercukupi kebutuhannya dalam hal ketenangan
dan ketenteraman, sehingga berdampak pada keseharian manusia itu sendiri. Juga
dengan adanya cinta tersebu, manusia mempunyai tempai pelarian diri dan
mengadu akan problematika hiruk-pikuk kehidupan.

Kedua: cinta terhadap diri sendiri. Tak pelak lagi, bahwa berangkat dari kecintaan
seseorang terhadap “tubuh/raga” yang menyampuli “ruh” itulah yang menjadi titik
berangkat seseorang kepada kepedulian: kepedulian terhadap kesehatan dan
keselamatan, kepedulian kepada apa yang yang menjadi kebutuhan badaniyah,
terhadap apa dan siapa yang berada disekelilingnya. Pun oleh karena manusia
mencintai dirinya sendiri akan menjadi penunjang akan adanya kepedulian dan
kepekaan sosial, oleh karena kepentingan kerhadap badaniyah tersebut.
Ketiga: cintalah yang menjadi tolak ukur seseorang tersebut peduli terhadap apa
yang bersangkutan dengan kehidupan, baik sekarang maupun nanti, kepada
sesama maupun makhluk hidup lainnya, terhadap negara dan juga agama. Oleh
karena itu, ciinta akan melahirkan semangat merencanakan, mencita-citakan, dan
memperjuangkan dirinya terhadap apa yang bersangkutan dengan kelangsungan
kehidupan dan segala permasalahan.

Keempat: cinta terhadap lingkungan. Seperti yang kita tahu, kesadaran manusia
akan kepedulian pentingnya menjaga keasrian dan keberlangsungan alam juga atas
nama cinta. Bukan tanpa alasan kecintaan manusi terhadap dirinya sendiri tercermin
oleh karena kebutuhan dan ikatan simbiosis mutualisme antara keduanya.
Pada akhirnya, yang hilang dari manusia dan eksistensinya atas kehidupan adalah
cinta. Seperti yang dikatakan oleh Jean Paul Sartre dan para filsuf eksistensial
lainnya “Cinta adalah dasar dan pijakan dari segala apapun tanpa terkecuali”. Maka
problematika yang dihadapi manusia sepanjang perkembangannya adalah
“hilangnya cinta”. Atas dasar itupula kelangsungan hubungan harmonis antara
tuhan, manusia dan alam juga karenanya, untuk dan kepada cinta.

Anda mungkin juga menyukai