Anda di halaman 1dari 14

A.

Biografi Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab. Mengenai tahun kelahirannya terdapat


perbedaan pendapat, pertama pendapat yang didukung oleh Miss Luce-Claude Maitre,
Osman Raliby dan Bahrum Rangkuti yang mengatakan bahwa Iqbal lahir pada tanggal 22
Februari 1873, sementara pendapat yang kedua dikemukakan W.C Smith yang
mengatakan bahwa Iqbal lahir pada tahun 1876. Sedangkan J. Mark dari Universitas
Praha mengatakan
bahwa Iqbal lahir pada tanggal 9 November 1876. Sedangkan dalam buku yang berisi
tentang Seminar Pemikiran Islam yang ber-tema “Iqbal dan Pembentukan Semula
Identiti Muslim” or Iqbal and The Revivification Of The Muslim Identity, tertulis bahwa
Iqbal lahir pada 9 November 1877 di Punjab.
Muhammad Nur, orang tua Iqbal, ia adalah seorang pegawai negeri, tetapi
berhenti dan beralih profesi sebagai pedagang. Dia adalah seorang yang saleh dan
memiliki kecendrungan yang kuat pada mistik.
Dari Punjab Iqbal pindah ke Lahore, salah satu kota besar di India. Di kota ini
Iqbal masuk Government College untuk meneruskan studinya. Pada tahun 1897 dia
berhasil meraih gelar Bachelor of Art dan diberi kesempatan untuk meneruskannya ke
program Master di Universitas yang sama. Di sinilah Iqbal berkenalan dengan Sir
Thomas Arnold, dosennya pada mata kuliah filsafat Islam. Dari dialah Iqbal banyak
mengetahui bentuk dan seluk beluk filsafat Barat. Setelah ia berhasil memperoleh gelar
B.A. pada tahun 1897, ia masih berkeinginan untuk melanjutkan studinya ketingkat yang
lebih tinggi. Akhirnya meraih gelar M.A dalam Filsafat pada tahun 1899.1
Setelah Iqbal menyelesaikan studinya di Government College Lahore, ia di
angkat menjadi staf dosen di perguruan tinggi pemerintah (Government College) menjadi
pengajar di bidang ilmu sejarah dan filsafat di samping bahasa Inggris. Karena keluasan
wawasan ilmu pengetahuan, keluhuran moral serta pandangannya, menjadikan ia sangat
terkenal dan di pandang sebagai seorang pengajar yang berbakat.
Keinginan Iqbal untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan Islam dengan
menggunakan persajakan justru sebagai alat penjelma semata. Iqbal memang penyair

1
A Mukti Ali, Alam Pikiram Islam Modern di Iindia, (Bandung: Mizan,1992), hlm.
174.
yang hendak menggabungkan suatu pesan, dia telah mempelajari rahasia kehidupan dan
inginlah dia menyampaikan rahasia ini kepada umat Islam.
Pada tahun 1905 atas anjuran nasehat dan dorongan T.W Arnold seorang
orientalis yang berkebangsaan Inggris yang merupakan salah satu guru Iqbal di Goverent
College, akhirnya dapat mempangaruhi Iqbal untuk dapat melanjutkan studi pada
Universitas Cambridge London. Dari dia juga Iqbal memperoleh prinsip dan teknik
penelitian modern serta kritik Barat terhadap disiplin pengetahuan kuno. 2 Dari Mir
Hassan, Iqbal mengenal nilai- nilai tinggi dalam dunia Timur, dan dari Sir Thomas
Arnold, dia mengenal nilai-nilai kultural dan filsafat Barat. Setelah itu, Iqbal mengajar
bahasa Arab di Universitas Oriental College, Lahore, menjadi assisten professor bahasa
Inggris tidak tetap di Islamic College dan Government College di Lahore.
Dengan uang tabungannya selama mengajar, Iqbal pergi ke Eropa.Iqbal belajar di
Inggris dan Jerman. Di London, Iqbal belajar di Lincoln’s Inn untuk gelar pengacara, dan
di Trinity College, Universitas Cambridge, dia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa
tingkat sarjana muda. Ini adalah hal yang tidak lazim, mengingat Iqbal telah meraih gelar
Master Filsafat dari Universitas Punjab di Lahore, dan juga sedang menyelesaikan sebuah
disertasi doktor, juga dalam bidang filsafat, untuk diajukan ke Universitas Munich.
Universitas Jerman itu tidak hanya mengijinkannya menulis disertasi dalam bahasa
Inggris, tetapi untuk belajar dua semester di kampus tersebut sebelum mengajukan
disertasinya yang berjudul The Development of Methaphysics in Persia kepada Prof. F.
Homme, Iqbal meraih gelar doctoris philosophiae gradum pada 4 November 1907 setelah
berhasil mempertahankan disertasinya, dan pada tahun berikutnya disertasi tersebut
diterbitkan di London, dipersembahkan untuk T.W Arnold.
Sebagai seorang mahasiswa yang haus akan ilmu terutama filsafat, bukan tidak
mungkin dia akan menemukan tokoh-tokoh filosof lainnya dalam perjalanannya
mengembara di dunia Eropa khususnya. Dalam studinya di Eropa, Iqbal mengenal
sederatan filosof besar pada masa itu, seperti Nietzsche, Bergson, dan mengikuti kuliah-
kuliah dari dua orang penganut neo Hegelianisme , Jhon Mc. Taggart dan James
Ward.Kehandalannya di bidang filsafat tidak hanya diakui oleh mereka, tetapi Iqbal juga
dikenal kritis terhadap bangunan filsafat Barat.
2
Alim Roswantoro, Gagasan Manusia Otentik Dalam Eksistensialisme Religius
Muhammad Iqbal, (Yogyakarta: IDEA Press, 2008), hlm. 20.
Sekembalinya Iqbal dari Jerman ke London, ia di tunjuk sebagai guru besar dalam
bidang bahasa Arab di Universitas London. Tetapi jabatan itu tidak lama di pegangnya,
dan menjelang keberangkatannya kembali ke Lahore tahun 1908, ia di serahi jabatan
sebagai ketua jurusan Kajian-kajian filosofis juga sebagai Dekan Fakultas Kajian-kajian
Ketimuran juga sebagai anggota dalam komisi-komisi yang meneliti masalah perbaikan
pendidikan di India. itupun segera di lepaskan, setelah itu ia mengabdikan diri ke dunia
hukum. Propesi ini digelutinya sampai ia sering sakit tahun 1934, empat tahun sebelum ia
meninggal dunia. Kemudian dilanjutkan dengan menulis puisi- puisi dan karangan prosa
yang dipelajarinya di Timur dan Barat, serta warisan intelektual Islam untuk
menghasilkan reinterpretasi pemahaman Islam
Selama tiga tahun keberadaannya di eropa, Iqbal tidak pernah bosan menemui
para ilmuan untuk berdiskusi dengan mereka tentang berbagai objek ilmu pengetahuan
dan filsafat.Ia sering juga membincangkan islam dan peradaban. Karena itu, pada tahun
1922 seorang wartawan Inggris mengusulkan kepada pemerintahnya untuk diberi gelar
sir kepada Iqbal.Ia pun mendapat undangan penguasa Inggris untuk pertama kalinya,
awalnya ia menolak, namun sahabatnya Mirza Jalaluddin membujuknya hingga akhirnya
ia memenuhi undangan tersebut. Gelar sir ia terima dengan syarat gurunya Mir Hassan,
yang ahli dengan sastra Arab dan sastra Persia juga mendapat gelar Syams al-Ulama dan
syarat itupun diterima oleh penguasa Inggris.
Tidak hanya sampai disitu perjuangan yang harus ia dapatkan dan lewati, karena
gelar tersebut membuat dia harus menerima sebagian surat
kabar yang memuat kritik atas sikap Iqbal yang menerima gelar tersebut. Padahal gelar
tersebut tidak ada pengaruhnya dengan karya Iqbal. Mungkin hal inilah yang membuat
sebagian karyanya banyak yang mengajak agar manusia mau menyadari bahwasanya
kehidupan ini harus penuh perjuangan, keteguhan, harapan, dan kegigihan.
Sepulang dari Eropa, Iqbal bergabung dengan Government College, Lahore,
sebagai professor filsafat dan sastra Inggris.Dia juga diijinkan melakukan praktek
hokum.Dua setengah tahun kemudian, dia menghentikan kegiatan mengajar di kampus
tersebut.Alasannya adalah bahwa dia merasatidak dapat bebas mengekspresikan ide-
idenya karena batasan-batasan pemerintah. Kemudian ia bergabung dengan universitas
Punjab, selama bertahun-tahun menjabat sebagai dekan Fakultas Studi-studi Ketimuran
dan Ketua Departemen Filsafat. Perubahan spiritual dan ideologinya semakin mendalam.
Di tanah airnya Iqbal aktif terjun dalam dunia pendidikan hukum dan politik,
namun kegemarannya menggubah puisi tidak pernah padam.Pada masa inilah, Iqbal
melahirkan karya-karya puisi sebagai sarana untuk mengekspresikan getaran kalbunya,
serta mengajak umat Islam untuk kembali menelaah ajaran agamanya dan hidup dinamis
sebagaimana yang dianjurkan kitab suci Al-Qur’an.Juga teladan yang diberikan nabi,
para sahabat dan sufi- sufi kenamaan.
Pada tahun 1935, isterinya meninggal dunia. Hal ini membuat Iqbal lemah dan
sedih berkepanjangan, padahal Pakistan masih membutuhkan karya-karyanya. Berbagai
penyakit menyerang tubuhnya namun ia tetap gigih dalam berkarya, mengubah sajak
sajaknya dan terus menerus menuliskan karya-karyanya tak pernah kenal kata lelah.
Hingga akhirnya ketika 21 April 1938, dalam usia 60 M tahun dan 63 H Iqbal meninggal
dunia.
B. Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
C. Biografi Muhammad abduh
1. Riwayat Singkat Muhammad Abduh

Syekh Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah. Beliau lahir di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada
tahun 1849 M. Beliau bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan
bangsawan. Namun demikian, ayah beliau di kenal sebagai orang terhormat yang suka
member pertolongan.[1] Kekerasan yang di terapkan oleh penguasa-penguasa
Muhammad Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk berpindah-pindah
tempat untuk menghindari nya, Abduh lahir pada kondisi yang penuh deanga kecemasan
ini.[2]

Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tantabelakangan tempat ini


menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sistem pengajaran disana sangat
menjengkelkannya sehingga setelah 2 tahun disana, beliau memutuskan untuk kembali ke
desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya. Ketika kembali ke desa,
beliau dikawinkan. Pada saat itu beliau berumur 16 tahun, semula beliau bersikeras untuk
tidak melanjutkan studinya, tetapi beliau kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh
Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan
Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya itu, Abduh berkata “ … Ia telah membebaskan ku
dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbing ku menuju ilmu
pengetahuan …”)[3]

Setelah menyelesaikan studinya di bawah bimbingan pamannya, Abduh melanjutkan


studi di Al-Azhar pada bulan Februari 1866. Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di
Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar menyambut
kedatangannya. Beliau selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan beliau pun
menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif
menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel pembaharuanya banyak dimuat
pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.[4]

Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, Abduh
mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-
Afghani di usir dari Mesir pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan gerakan
perlawanan terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga di tuduh ikut campur didalamnya. Ia
di buang ke luar dari kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke
ibukota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir Al-
Waqa’I Al-Mishriyyah.

Pada waktu itu kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh,
surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping
berita-berita resmi.[5]

Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika itu masih
memimpin surat kabar Al-waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga
pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan
memberikan hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih
Suriah. Di Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul
gurunya Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah
al-Urwah al-Wusqa [6] pada tahun 1884.

Karya-karyanya yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan
modern. Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fukaha yang masih
memperselihkan masalah furuiyyah.[7] Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang
penjajahan Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut
ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.
Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya
sampai beliau menginggal dunia pada tahun 1905.

2. Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh

a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu

Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagai mana
diakuinya sendiri, yaitu:[8]

· Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat


perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum
abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari
sumber pokoknya, Al-Quran.

· Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di
kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.

Dua persoalan pokok itu muncul ketika beliau meratapi perkembangan umat Islam pada
masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat di
gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu
ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng-istinbat-
kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para
pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang
berdasarkan khurafat-khurafat.

Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang
sangat besar kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut :[9]

· Tuhan dan sifat-sifat-Nya;

· Keberadaan hidup di akhirat;

· Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat
baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan
melakukan perbuatan jahat;

· Kewajiban manusia mengenal Tuhan;

· Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiaan di akhirat;

· Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

Abduh berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat
disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentang maka ada dua kemungkinan :[10]

· Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;

· Kesalahan dalam menggunakan penalaran.

Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama
yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan
dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh
bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis
dalam hidupnya.

Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dan
dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah
penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal
manusia. Wahyu, katanya menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan
alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang
dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan
mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu
bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan
pengetahuan akal dan informasi.

b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme

Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai kebebasan
memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat
dasar ini di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia
dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya,
kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya
mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[11]

c. Sifat-sifat Tuhan

Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu
termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar
kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh cenderung
kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas
mengatakannya.[12]

d. Kehendak Mutlah Tuhan


Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan
tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya dengan member
kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.

Kehendak mutlah Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah secara umum. Ia tidak mungkin
menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti
bahwa tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan
sunnahtullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.[13]

e. Keadilan Tuhan

Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai
kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak
mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat
bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan
yang tidak membawa mamfaat bagi manusia.[14]

f. Antropomorfisme

Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal,
berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh
atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti
difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.[15]

g. Melihat Tuhan

Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani
itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya
menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun
dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat menyatakan bahwa Tuhan tak dapat
digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan
dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.[16]

h. Perbuatan Tuhan

Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan
Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik
bagi manusia.[17]

C. Muhammad Iqbal

1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta
Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru
pertama beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab
untuk mempelajari Al-Qur’an.[18]

Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan,
beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan
sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk
melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas
Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas
tersebut.[19]

Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti,
perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai
bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad
terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad
enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan
kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada
pertengahan abad 13.[20]

Dua tahun kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau
memperoleh gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The
Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[21]

Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich,
beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction
of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun
1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam bidang filsafat.[22]

Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan
Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam
Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada
bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk membicarakan
pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit dan bertambah
parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan beliau meninggal pada
tanggal 20 April 1935.[23]

2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal

Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam
bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya
gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[24]

Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan.
Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman
yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an,
menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu
menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita
kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu
berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya
sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.[25]

Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang
kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif.
Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu
kepada lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk
menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam
dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut
hasil-hasil realisme tersebut.

Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihad ke dalam


tiga tingkatan, yaitu :[26]

· Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis


hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;

· Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu
madzhab;

· Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam kasus-kasus


tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.

a. Hakikat Teologi

Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan,
mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa
yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”.[27]
Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali
(penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.[28]
b. Pembuktian Tuhan

Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen kosmologis maupun


ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan
eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian,
beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini,
beliau menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan
Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak
berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-
nya Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”, ada
perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).[29]

c. Jati diri manusia

Faham dinamisme beliau berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran
terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide
sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia
hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakat-
bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh
para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.[30]

d. Dosa

Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an


menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam
hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan
buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari
kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian
bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan
kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya ego terbatas yang memiliki
kemampuan untuk memiliki”.[31]

e. Surga dan Neraka

Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran
tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin
secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “ api Allah
yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan
mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan
kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan yang menuju kepada perpecahan.[32]

Anda mungkin juga menyukai