Anda di halaman 1dari 18

TOKOH-TOKOH SASTRA

https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/category/tokoh-tokoh-sastra/

1. Muhammad Iqbal
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/2010/12/01/muhammad-iqbal/#more-1305

Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 22 Februari 1873 di desa Sailkot, Punjab. Kakeknya Syekh Rafiq,
seorang Kashmir, telah bergabung dengan gelombang migrasi ke Sialkot, di mana ia membuat hidup
menjajakan syal kashmir. Shaikh Rafiq mempunyai dua anak laki-laki, Shaikh Ghulam Qadir dan
Shaikh Nur Muhammad, ayah Iqbal. Syaikh Nur Muhammad adalah seorang penjahit yang cukup
terkenal di Sialkot. Tapi pengabdiannya pada Islam khususnya aspek mistik yang mendapatkan rasa
hormat di antara rekan sufi dan lainnya. Istrinya Imam Bibi, juga seorang Muslim yang taat. Mereka
tanamkan kesadaran religius yang mendalam pada kelima anaknya.

Dengan kekalahan Sikh di Punjab oleh tentara Inggris, para misionaris Barat tidak membuang waktu
dalam mendirikan pusat pembelajaran di Sialkot. Salah satunya, Misi Scotch College, yang didirikan
1889, menawarkan program studi seni liberal dalam bahasa Arab dan Persia, walaupun saat itu
Inggris telah menjadi bahasa pengantar di sekolah. Ini adalah tempat pertama Iqbal mendapat
pendidikan sekuler. Potensi Iqbal sebagai penyair pertama kali diakui oleh salah seorang tutor Sayyid
Mir Hassan yang darinya ia mempelajari puisi klasik. Mir Hassan tidak pernah belajar bahasa Inggris,
tapi kesadaran tentang manfaat pendidikan Barat dan apresiasi terhadap modernitas memastikan
kedudukan kepadanya sebagai Profesor Oriental Scotch Sastra. Dia adalah guru Iqbal sampai lulus
pada tahun 1892.

Pada tahun 1892 Iqbal menikah dengan Karim Bibi, putri seorang dokter Gujarat kaya. Menurut
beberapa sumber, ini adalah awal dari tahun-tahun ketidakbahagiaan. Mereka bercerai pada tahun
1916, tetapi Iqbal memberikan dukungan finansial untuk Karim Bibi sampai ia meninggal. Pasangan
ini memiliki tiga orang anak. Pada tahun 1895, setelah menyelesaikan studinya di Scotch Mission,
Iqbal masuk Pemerintah College di Lahore, di mana ia belajar Filsafat dan Sastra Arab dan bahasa
Inggris untuk gelar Bachelor of Arts. Dia adalah murid yang sempurna, lulus cum laude dan

1 | TOKOH-TOKOH SASTRA
memenangkan medali emas menjadi satu-satunya calon yang lulus ujian akhir komprehensif.
Sementara itu, ia terus menulis puisi. Ketika ia menerima gelar Master pada tahun 1889, ia sudah
mulai membuat komentar antara lingkaran sastra Lahore.

Saat menempuh gelar Master Iqbal berkenalan dengan Sir Thomas Arnold, seorang sarjana
terpelajar Islam dan filsafat modern yang bagi Iqbal menjadi jembatan antara Timur dan Barat.
Arnold menginspirasi keinginannya melanjutkan studi di Eropa. Iqbal belajar di Eropa selama tiga
tahun dari 1905 dan memperoleh gelar sarjana hukum di Lincoln’s Inn, Bachelor of Arts di Cambridge
dan Doctor of Philosophy di Universitas Munchen. Di Cambridge ia bertemu dengan ulama besar
yang mempengaruhi perkembangan skolastiknya. Di bawah bimbingannya Iqbal cukup intelek dan
melebar cakrawala mentalnya. Ketika di Britania ia pertama kali masuk ke politik, menyusul
pembentukan All-india Liga Muslim 1906 dan Iqbal terpilih menjadi anggota komite eksekutif dari
liga Inggris. Bersama Sayyid Hassan Bilgrami dan Sayyid Amir Ali, ia juga duduk di subkomite yang
merancang konstitusi liga.

Sekembalinya dari Eropa pada tahun 1908, Iqbal memulai karier di bidang hukum, akademisi dan
puisi. Dari ketiganya, ia unggul dalam panggilan sejati dan cinta pertamanya yaitu puisi.
Pertimbangan keuangan memaksa dia untuk berhenti sebagai asisten guru pada tahun 1909. Tapi ia
tidak mendapatkan banyak sebagai pengacara, meskipun ia bisa. Alih-alih berkonsentrasi pada
profesi, ia lebih suka membagi waktunya antara hukum dan pembangunan spritual sendiri.

Sementara membagi waktunya antara hukum dan puisi, Iqbal dengan dorongan teman-teman
pendukungnya memutuskan sekali lagi untuk memasuki arena politik. Pada November 1926 ia
memperebutkan kursi di Kabupaten Muslim Lahore dan mengalahkan lawannya 3.177 suara. Pada
tahun 1931, Iqbal melakukan kunjungan kedua ke Eropa. Ia menghadiri konferensi di Britania dan
bertemu dengan berbagai akademisi dan politisi, termasuk filsuf Perancis Henri Louis Bergson. dan
diktator Italia Mussolini. Kunjungan ke Spanyol terinspirasi tiga puisi indah, yang kemudian
dimasukkan ke dalam komposisi utama, Bal-i Jibrail (Gabriel’s Wing). Setelah kembali dari perjalanan
ke Afghanistan 1933, kesehatan Iqbal memburuk. Namun ide politik dan agama yang mendapat
penerimaan dan popularitasnya sedang memuncak.

Salah satu hal besar terakhir ia lakukan adalah untuk mendirikan Adarah Darul Islam, sebuah institusi
di mana studi Islam klasik dan kontemporer ilmu sosial akan disubsidi. Ini mungkin adalah keinginan
terakhir orang besar yang terpesona dengan ilmu pengetahuan modern dan filsafat Islam, untuk
menciptakan jembatan pemahaman pada tingkat intelektual tertinggi. Pemikiran ini ia menyatakan
demikian:

Di barat, Akal adalah sumber kehidupan,


Di Timur, Cinta adalah dasar kehidupan.
Melalui Cinta, Akal tumbuh berkenalan dengan Realitas
Dan intelek memberikan stabilitas karya Love,
Bangunlah dan meletakkan dasar-dasar dunia baru,
Dengan pernikahan Akal untuk Cinta

2 | TOKOH-TOKOH SASTRA
Syair Iqbal melekat dalam pemikiran dan gagasannya yang mempropagandakan maksud dan pesan
Islam dan menghancurkan batasan buatan yang diciptaan untuk memecah bangsa. Gagasan yang
paling mulia di antara gagasan Iqbal adalah mengenai kemuliaan Nabi dan para Rasul Tuhan. Ajaran
monoteistik, kenabian, filsafat sampai tasawuf masuk dalam ranah pemikiran beliau, mengingat
fondasi pemikiran timurnya bercokol pada Al-Quran dan Hadist, Rumi, Al-Ghazali, Ibn Arabi dan al-
Jilli. Karena karyanya dan pengabdiannya kepada dunia, Iqbal banyak menyabet penghargaan. Gelar
Kebangsawanan Sir tahun 1922 dan Universitas Tokyo menghadiahi gelar Doktor Anumerta dalam
sastra untuk pertama kalinya.

Fajar 21 April 1938 merupakan hari yang sangat menyedihkan bagi dunia, karena sang pujangga
besar wafat. Sir Muhammad Iqbal dalam hembusan terakhirnya. Ia hidup di tangan Tuhan dan mati
di tangan Tuhan. Bahkan, setengah jam sebelum wafatnya, masih sempat Iqbal mendendangkan
sajak perpisahan.

Melodi Perpisahan boleh menggema atau tidak


Bunyi nafiri boleh menggema atau tidak
Saat si Fakir telah sampai ketempat terakhir
Pujangga lain boleh datang atau tidak

Walau kini sang legenda telah tiada namun sampai kapanpun sanjungan dan pujian selalu bergema
dari seluruh dunia untuknya, Sir Muhmmad Iqbal.

“Aku Ragu akan Diri ku”


Namun Cinta berkata : “Aku Ada..” ( IqbaL)

Sumber:
http://tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2010/02/daftar-para-peraih-nobel-sastra.html

2. Salam dari Derrida, Jacques


(TOKOH LINGUISTIK, TOKOH SASTRA)
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/2010/08/18/salam-dari-derrida-jacques/#more-1128

3 | TOKOH-TOKOH SASTRA
LELAKI tua berambut perak itu menunduk dan mengatupkan bibirnya. Dan ruang dua kali tiga meter
dengan terang sekadarnya itu pun senyap, seolah mencoba mengakrabi suasana hati penghuninya.
Aku duduk di hadapan, terpaku memandangnya. Begitu segera sepi menyergap lelaki itu. Mata-nya
yang keras namun damai mengabarkan satu keteguhan, juga kesendirian. Ingatanku memanggil
Hemingway, The Old Man and the Sea. “Monsieur Jacques, Je dois parti,” kataku sambil beranjak.

Lelaki tua itu tersentak kecil. Senyumnya menyembul, mahal dan hangat. “N’hesitez pas de me
contacter,” salamnya seraya menyodorkan tangan. Telapaknya hangat. Seperti ingin menyambut
siapa saja. Siapa saja yang memuji, memuja, memaki, dan mendakwa, atau sekadar ingin ajar kenal
dengannya. Dan kutinggalkan kantor kecil di salah satu sudut lantai lima gedung Ecole des Hautes
Etudes en Science Sociales (EHESS) dengan potret sephia di kepalaku, dengan lelaki berambut perak
itu segera tenggelam di gundukan kertas dan buku.

Boulevard Raspail, Paris V, sejuk dan kelam saat itu. Sejenak kulintasi kafe, dua menit dari gedung
EHESS, tempat lelaki tua itu biasa mampir. Kini, kafe itu kehilangan satu pelanggannya. Jacques
Derrida, lelaki tua itu, telah pergi, Jumat, 8 Oktober lalu, setelah setahun menderita kanker di
pankreasnya. Dan bukan hanya sang kafe yang kehilangan lelaki pendiam, ramah, dan penuh humor
itu, tapi juga dunia, bahkan sejarah.

“Dengannya, Prancis telah mempersembahkan kepada dunia salah satu filsuf kontemporer terbesar,
satu figur utama dari kehidupan intelektual zaman kita,” kata Jacques Chirac, Presiden Prancis. Dan
siapa mampu membantah? Sejak hampir empat puluh tahun lalu, Derrida menghentak dan
memaksa semua orang yang berpikir untuk mengkonstruksi ulang pemahaman-pemahamannya
tentang dunia, peradaban, manusia, dan dirinya sendiri. Lewat mazhab Dekonstruksionisme yang
dibidaninya, semua peralatan budaya mengalami kejutan yang setara dengan relativitas umum
Einstein pada fisika, untuk ditafsir kembali, menemukan kembali makna-maknanya yang ternyata
demikian banyak dan tersembunyi.

Dengan dekonstruksi kita bisa menguak makna yang membebaskan kata-kata tertulis dari telikungan
struktur bahasa, membuka interpretasi teks yang tak terbatas. Ia mengingatkan kita bahwa bahasa
yang kita gunakan hari ini adalah juga yang kemarin dan yang ada di mana saja. Dan bahasa begitu
ajaib karena ia tidak pernah putus dari akar purbanya, biarpun kita (bahasa) tak lagi ingat, apa yang
telah mulai kita katakan 3.000 tahun yang lalu.

Betapa kuat dampak prosedur pemaknaan ini dalam sastra, misalnya?juga tentu dalam seni rupa,
arsitektur, dan lainnya?karena ia menyingkap makna berlapis yang belum tentu dituju bahkan
dipahami oleh kreatornya. Sebab dalam semua hasil penulisan, tersimpan sejarah yang kompleks,
proses budaya yang berakar pada hubungan intens antara teks satu dengan lainnya, antara lembaga
dan konvensi penulisan. Maka, silakan terkejut-kejut dengan penemuan yang kita dapat darinya.

Dunia memang terkejut. Sebagian terpana sebagian merasa terhina. Menganggap dekonstruksi
sebagai pikiran yang kalut dan destruktif. Barbara Johnson coba melerai dengan sederhana.
“Dekonstruksi bukan sinonim dari destruksi,” katanya, “tapi lebih dekat pada makna asli dari kata
‘analisis’, yang secara etimologis berarti ‘menyingkap’?sinonim virtual dari mendekonstruksi'”.
Hanya, apa lacur, kontroversi tetap menggema hingga hari ini.
4 | TOKOH-TOKOH SASTRA
1992, ketika Universitas Cambridge hendak menganugerahi gelar kehormatan pada anak keluarga
Yahudi miskin yang lahir di El Biar, Aljazair, 15 Juli 1930 itu, banyak profesor menentang seraya
mendakwa: Derrida adalah nihilis dan obskur, “telah mengaburkan pemahaman kita tentang fiksi
dan fakta”. Sehingga, untuk pertama kali voting dilakukan, hasilnya 336-224 untuk Derrida.

Sang pemikir sendiri hanya tersenyum kecil saat diminta komentarnya. Menurut dia, para penentang
melihat dia terlalu kuat, “Bahwa saya sedikit terlalu ‘pribadi’, ‘hidup’, bahwa nama saya menggaung
terlalu keras dalam teks-teks yang mereka sendiri tak setujui”. Ketika saya katakan di Indonesia
dekonstruksi sangat banyak disalahpahami, ia tertawa kecut. Persis seperti dalam surat pada
sahabat Jepangnya, ia menukas, “Juga di Amerika, di Jepang, di Cina, bahkan di Prancis sini, istilah itu
tak cukup dikenal orang.”

Dan itu bukan sekadar kerendahan hati, namun yang sesungguhnya. Walau tiap kuliahnya, Rabu
pukul 10.00 dipadati selalu 300-an orang dari segala penjuru dunia, Prancis mengenal Derrida sayup-
sayup saja. Sebagian yang mengenal, mengeluh kesulitan memahaminya. Keluhan yang merata di
mana-mana. “Saya yakinkan Anda bahwa saya tak pernah berkeinginan jadi sulit,” tolaknya dalam
wawancara. Lalu ia menghirup kopi, memandang isi restoran tempat ia duduk. “Saya kerap
menggambarkan dekonstruksi sebagai sesuatu yang terjadi,” ia melanjutkan seperti tak ingin
berteka-teki. “Bukan suatu yang murni linguistik, (hanya) melibatkan teks dan buku. Anda juga dapat
mendekonstruksi gestur, koreografi. Itu sebabnya saya memperluas konsep teks. Semua adalah teks;
ini pun teks.” Tangannya pun menggapai semua perabot di sekeliling restoran.

Gerak tangan itu seakan menegaskan bahwa hidup adalah teks. Dan kita ada di dalamnya. Hidup.
“Dekonstruksi berada di posisi ‘ya’, sebagai afirmasi untuk hidup,” ia menegaskan. Me-mang itu yang
ia bela sejak mula. Sejak masa kanak-kanak ia membayangkan diri menjadi pemain sepak bola pro
(“Tapi ternyata saya kurang berbakat”), perkenalannya dengan Nietzche, Gide, dan Valery di SMP,
lalu Bergson dan Sartre di SMA, puisi-puisinya di beberapa jurnal Afrika Utara (mungkin itu antara
lain sebab ia beberapa kali jadi kandidat penerima Hadiah Nobel untuk Sastra), hingga lebih 400
buku dan makalah yang ia produksi. Belum lagi 500 disertasi tentang dia di AS, Inggris, dan Kanada
saja, atau 14 ribu kali ia dikutip sepanjang 17 tahun terakhir.

“Ia begitu hidup, penuh juang, betapapun saya tahu ia sakit,” kenang Jack Lang, mantan Menteri
Kebudayaan Prancis ternama yang juga akrab dengan koreografer Sardono W. Kusumo. Entah
karena semangat pada hidupnya begitu kuat, ia mengaku dalam Le Monde edisi Agustus lalu: “Saya
sedikit dan sedikit sekali belajar untuk menerima kematian.” Sementara itu, ia selalu mengatakan:
belajar hidup adalah juga belajar mati. “Saya sangat tak terdidik dalam hal kebijakan belajar tentang
kematian.”

Lalu apa yang didapat dari kematian yang merenggutnya dua bulan kemudian? Sudahkah ia belajar
darinya? Lelaki beranak satu dari Sylviane Agacinski?kemudian cerai dan kawin lagi dengan Lionel
Jospin, mantan perdana menteri yang selalu ia bela?tentu tak bisa lagi menjawab. Satu hal jelas
darinya: daya hidup yang tiada habisnya. Hidup yang senantiasa diperbarui, dengan makna-makna
baru yang mencuat dari dekonstruksi hidup itu sendiri. Sebagaimana ia mengakui, “Saya

5 | TOKOH-TOKOH SASTRA
menerapkan derrida,” mendekonstruksi selalu apa yang dibacanya, semua teks seakan menjadi
derrida. Kita adalah derrida.

Dan derrida mengucap salam padamu, Jacques. Ingatkah kau, janjiku mengajak kau ke Indonesia.
Kau berkata, “Aku tak cukup kenal Indonesia”, lalu memintaku mengirim apa saja tentang negeri
kepulauan itu. “Dan kabari aku sesudahnya,” katanya akhir kali. Aku tak bisa memenuhi janji itu. Kau
pun pergi. Sekali lagi, derrida di negeri yang tengah hibuk bertempur dengan makna ini, hanya bisa
mengucap salam, “Sampai bertemu lagi, Jacques”.

Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com

3. Amir Hamzah: Sastrawan Pujangga Baru


https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/2010/08/03/amir-hamzah-sastrawan-pujangga-
baru/#more-1035

Amir Hamzah lahir sebagai seorang manusia penyair pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura,
Langkat, Sumatera Utara. Ia seorang sastrawan Pujangga Baru. Pemerintah menganugerahinya
Pahlawan Nasional. Anggota keluarga kesultanan Langkat bernama lengkap Tengku Amir Hamzah
Indera Putera, ini wafat di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 akibat revolusi sosial di Sumatera Timur.

Sebagai seorang keluarga istana (bangsawan), ia memiliki tradisi sastra yang kuat. Menitis dari
ayahnya, Tengku Muhammad Adil, seorang pangeran di Langkat, yang sangat mencintai sejarah dan
sastra Melayu. Sang Ayah (saudara Sultan Machmud), yang menjadi wakil sultan untuk Luhak
Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur, memberi namanya Amir Hamzah
adalah karena sangat mengagumi Hikayat Amir Hamzah.

Sejak masa kecil, Amir Hamzah sudah hidup dalam suasana lingkungan yang menggemari sastra dan
sejarah. Ia bersekolah di Langkatsche School (HIS), sekolah dengan tenaga pengajar orang-orang
Belanda. Lalu sore hari, ia belajar mengaji di Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana
Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi Langkat.Setamat HIS, Amir melanjutkan studi ke MULO di
Medan, tapi tidak sampai selesai. Ia pindah ke MULO di Jakarta. Di Jawa perkembangan
kepenyairannya makin terbentuk. Apalagi sejak sekolah di Aglemeene Middelbare School (AMS)
jurusan Sastra Timur di Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak pertamanya. Di sini ia
memperkaya diri dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia lainnya.
6 | TOKOH-TOKOH SASTRA
Kegemaran dan kepiawian menulis saja itu berlanjut hingga saat ia melanjutkan studi di Sekolah
Tinggi Hukum di Jakarta. Dalam kumpulan sajak Buah Rindu yang ditulis antara tahun 1928 dan
t1935, tapak perubahan lirik pantun dan syair Melayunya menjadi sajak yang lebih modern.

Tahun 1931, ia telah memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo. Pergaulannya dengan para tokoh
pergerakan nasional itu telah mewarnai dunia kesusasteraannya. Sebagai sastrawan dan melalui
karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Amir telah memberikan sumbangan besar
dalam proses perkembangan dan pematangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia.
Dalam suratnya kepada Armijn Pane pada bulan November 1932, ia menyebut bahasa Melayu
adalah bahasa yang molek.
Bagi Amir, Bahasa Indonesia adalah simbol dari kemelayuan, kepahlawanan dan keislaman. Hal ini
tercermin dari syair-syair Amir yang merupakan refleksi dari relijiusitas, dan kecintaannya pada ibu
pertiwi serta kegelisahan sebagai seorang pemuda Melayu.

Secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang berhasil dicatat. Di antaranya 50 sajak asli, 77
sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan.
Karya-karyanya tercatat dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan
terjemah Baghawat Gita.

Ia memang seorang penyair hebat. Perintis kepercayaan diri para penyair nasional untuk menulis
karya sastra dalam bahasa Indonesia, sehingga semakin meneguhkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan. Amir seorang enyair besar Pujangga Baru, yang kepenyairannya membuat Bahasa
Melayu-Indonesia mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga saat ini. Ia penyair
yang tersempurna dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang.

Amir adalah tiga sejoli bersama Armijn Pane dan SutanTakdir Alisyahbana, yang memimpin Pujangga
Baru. Mereka mengelola majalah yang menguasai kehidupan sastera dan kebudayaan Indonesia dari
tahun 1933 hingga pecah perang dunia kedua.

Pemerintah RI kemudian mengapresiasi jasa dan sumbangsih Amir Hamzah ini dengan
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1975.

Selain itu, penghargaan atas jasa Amir Hamzah terlihat dari penggunaan namanya sebagai nama
gedung pusat kebudayaan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, dan
nama masjid di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Namun akhir hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata berakhir tragis.
Setelah pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk
Langkat yang berkedudukan di Binjai (saat itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai),
kemudian terjadi revolusi sosial pada Maret 2006. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang
dianggap feodal dan kurang memihak kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah.

Amir Hamzah meninggal akibat revolusi sosial di Sumatera Timur itu, justru pada awal kemerdekaan
Indonesia. Kala itu, ia hilang tak tentu rimbanya. Mayatnya ditemukan di sebuah pemakaman massal
7 | TOKOH-TOKOH SASTRA
yang dangkal di Kuala Begumit. Konon, ia tewas dipancung hingga tewas tanpa proses peradilan
pada dinihari, 20 Maret 1946, dalam usia yang relaif mati muda, 35 tahun. Ia dimakamkan di
pemakaman mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Di makamnya terukir dua buah syairnya.

Pada sisi kanan batu nisan, terpahat bait sajak;

Bunda, waktu tuan melahirkan beta


Pada subuh embang cempaka
Adalah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda
Tuan aduhai mega berarak
Yang meliputi dewangga raya
Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musafir lata

Pada sisi kiri batu nisannya, terpahat ukiran bait sajak:

Datanglah engkau wahai maut


Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita

Sampaikan rinduku pada adinda


Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia

Apa kesalahannya sehingga ia diperlakukan seperti itu? ‘Kesalahannya’ hanya karena ia lahir dari
keluarga istana. Pada saat itu sedang terjadi revolusi sosial yang bertujuan untuk memberantas
segala hal yang berbau feodal dan feodalisme. Banyak para tengku dan bangsawan istana yang
dibunuh saat itu, termasuk Amir Hamzah.

Referensi:
Abrar Yusra (ed), 1996. Amir Hamzah–1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/hamzah.html
http://personage.melayuonline.com/?a=UlZWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D=
http://id.shvoong.com/social-sciences/1686930-amir-hamzah/

Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman oleh: Sutan Takdir Alisjahbana
Wikipedia

8 | TOKOH-TOKOH SASTRA
4. ASMARAMAN S. KHO PING HOO: SI LEGENDA SILAT
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/2010/08/04/asmaraman-s-kho-ping-hoo-si-legenda-
silat/#more-1039

Dia legenda pengarang cerita silat. Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa
Tengah, 17 Agustus 1926, yang kendati tak bisa membaca aksara Cina tapi imajinasi dan bakat
menulisnya luar biasa. Selama 30 tahun lebih berkarya, dia telah menulis sekitar 400 judul serial
berlatar Cina, dan 50 judul serial berlatar Jawa.

Ceritanya asli dan khas. Dia pengarang yang memiliki ide-ide besar, yang tertuang dalam napas
ceritanya yang panjang. Sepertinya dia tak pernah kehabisan bahan.

Bahkan setelah dia meninggal dunia akibat serangan jantung pada 22 Juli 1994 dan dimakamkan di
Solo, namanya tetap melegenda. Karya-karyanya masih dinikmati oleh banyak kalangan
penggemarnya. Bahkan tak jarang penggemarnya tak bosan membaca ulang karya-karyanya.

Beberapa karyanya dirilis ulang media massa, difilmkan, disandiwararadiokan, dan di-online-kan,
serta disinetronkan. Dia meninggalkan nama yang melegenda. Legenda Kho Ping Hoo, pernah
menjadi sinetron andalan SCTV. Lewat penerbit CV Gema, karya-karyanya masih terus dicetak.Kho
Ping Hoo bernama lengkap Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, pengarang cerita silat yang
memunculkan tokoh-tokoh silat dalam ceritanya, seperti Lu Kwan Cu, Kam Bu Song, Suma Han, Kao
Kok Cu, atau Wan Tek Hoat dan Putri Syanti Dewi, Cia Keng Hong, Cia Sin Liong, Ceng Thian Sin, dan
Tang Hay. Serta tokoh-tokoh dalam serial paling legendaris Bu Kek Siansu dan Pedang Kayu Harum.

Dia juga banyak mengajarkan filosofi tentang kehidupan, yang memang disisipkan dalam setiap
karyanya. Salah satu tentang yang benar adalah benar, dan yang salah tetap salah, meski yang
melakukannya kerabat sendiri.

Kisah Keluarga Pulau Es merupakan serial terpanjang dari seluruh karya Kho Ping Hoo. Kisahnya
sampai 17 judul, dimulai dari Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.

Penggemar cerita silat Kho Ping Hoo sangat banyak yang setia. Mereka sudah gemar membaca karya
Kho Ping Hoo sejak usia 10-an tahun hingga usia di atas 50-an tahun. Mula-mula mereka senang
9 | TOKOH-TOKOH SASTRA
melihat gambar komiknya. Namun, lama-lama makin tertarik cerita tulisannya. Tak jarang
penggemar mengoleksi karya-karya Kho Ping Hoo, bahkan mencarinya ke bursa buku bekas di
kawasan Senen.

Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926, berasal dari
keluarga miskin. Dia hanya dapat menyelesaikan pendidikan kelas 1 Hollandsche Inlandsche School
(HIS). Namun, ia seorang otodidak yang amat gemar membaca sebagai awal kemahirannya menulis.

Ia mulai menulis tahun 1952. Tahun 1958, cerita pendeknya dimuat oleh majalah Star Weekly. Inilah
karya pertamanya yang dimuat majalah terkenal ketika itu. Sejak itu, semangatnya makin membara
untuk mengembangkan bakat menulisnya.

Banyaknya cerpenis yang sudah mapan, mendorongnya memilih peluang yang lebih terbuka dalam
jalur cerita silat. Apalagi, silat bukanlah hal yang asing baginya. Sejak kecil, ayahnya telah
mengajarkan seni beladiri itu kepadanya. Sehingga dia terbilang sangat mahir dalam gerak dan
pencak, juga makna filosofi dari tiap gerakan silat itu.

Karya cerira silat pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat secara bersambung di
majalah Teratai. Majalah itu ia dirikan bersama beberapa pengarang lainnya. Saat itu, selain menulis,
ia masih bekerja sebagai juru tulis dan kerja serabutan lainnya, untuk bisa memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.

Namun, setelah cerbung silatnya menjadi populer, ia pun meninggalkan pekerjaanya sebagai juru
tulis dan kerja serabutan itu, dan fokus menulis. Hebatnya, ia menerbitkan sendiri cerita silatnya
dalam bentuk serial buku saku, yang ternyata sangat laris.

Hal itu membuat kreatifitasnya makin terpicu. Karya-karyanya pun mengalir deras. Cerita silatnya
pun makin bervariasi. Tak hanya cerita berlatar Cina, tetapi juga cerita berlatar Jawa, di masa
majapahit atau sesudahnya. Bahkan, selain secara gemilang memasukkan makna-makna filosofis, dia
pun menanamkan ideologi nasionalisme dalam cerita silatnya.

Seperti kisah dalam cerita Sepetak Tanah Sejengkal Darah. Dia menyajikan cerita yang sangat
membumi, akrab dengan keseharian. Juga melintasi batas agama, suku dan ras.

Kepopulerannya makin memuncak manakala merilis serial silat terpanjangnya Kisah Keluarga Pulau
Es, yang mencapai 17 judul cerita, dengan ukuran panjang antara 18 sampai 62 jilid. Dimulai dari
kisah Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.

Karya serial berlatar Jawa, yang juga terbilang melegenda antara lain Perawan Lembah Wilis, Darah
Mengalir di Borobudur, dan Badai Laut Selatan. Bahkan Darah Mengalir di Borobudur, pernah
disandiwararadiokan.

10 | TOKOH-TOKOH SASTRA
5. Abu Nawas Legenda Humor Penyair Islam
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/2010/07/26/abu-nawas-legenda-humor-penyair-
islam/#more-972

Ilahi lastu lilfirdausi ahla wala aqwa ‘ala naril jahimi Fahab li tawbatan waghfir dzunubi fainaka
ghafirud dzanbil adzimi.

Senandung syair yang menyentuh hati itu mengalun begitu merdu. Sembari menunggu datangnya
shalat Maghrib dan Subuh, para jamaah shalat kerap melantunkan syair itu dengan syahdu di
mushala dan masjid. Meski syair itu telah berumur hampir 11 abad, namun tampaknya tetap akan
abadi.

Syair pengingat dosa dan kematian itu boleh dibilang begitu melegenda, seperti nama besar
pengarangnya Abu Nuwas yang hingga kini tetap dikenang dan diperbincangkan. Abu Nuwas atau
Abu Nawas adalah seorang penyair Islam termasyhur di era kejayaan Islam. Orang Indonesia begitu
akrab dengan sosok Abu Nuwas lewat cerita-cerita humor bijak dan sufi. Sejatinya, penyair yang
bernama lengkap Abu Nuwas Al-Hasan bin Hini Al-Hakami itu memang seorang humoris yang lihai
dan cerdik dalam mengemas kritik berbungkus humor.

Penyair yang dikenal cerdik dan nyentrik itu tak diketahui secara pasti tempat dan waktu
kelahirannya. Diperkirakan, Abu Nuwas terlahir antara tahun 747 hingga 762 M. Ada yang menyebut
tanah kelahirannya di Damaskus, ada pula yang meyakini Abu Nuwas berasal dari Bursa. Versi
lainnya menyebutkan dia lahir di Ahwaz. Yang jelas, Ayahnya bernama Hani seorang anggota tentara
Marwan bin Muhammad atau Marwan II- Khalifah terakhir bani Umayyah di Damaskus. Sedangkan
ibunya bernama Golban atau Jelleban seorang penenun yang berasal dari Persia. Sejak lahir hingga
tutup usia, Abu Nuwas tak pernah bertemu dengan sang ayah.Ketika masih kecil, sang ibu
menjualnya kepada seorang penjaga toko dari Yaman bernama, Sa’ad Al-Yashira. Abu Nuwas muda
bekerja di toko grosir milik tuannya di Basra, Irak. Sejak remaja, otak Abu Nuwas yang encer menarik
perhatian Walibah ibnu A-Hubab, seorang penulis puisi berambut pirang. Al-Hubab pun
memutuskan untuk membeli dan membebaskan Abu Nuwas dari tuannya.

Sejak itu, Abu Nuwas pun terbebas dari statusnya sebagai budak belian. Al-Hubab pun mengajarinya
teologi dan tata bahasa. Abu Nuwas juga diajari menulis puisi. Sejak itulah, Abu Nuwas begitu
tertarik dengan dunia sastra. Ia kemudian banyak menimba ilmu dari seorang penyair Arab bernama
Khalaf Al-Ahmar di Kufah. Sang guru memerintahkannya untuk berdiam di padang pasir bersama
orang-orang badui untuk mendalami dan memperhalus pengetahuan bahasa Arabnya selama satu
tahun. Setelah itu, dia hijrah ke Baghdad yang merupakan metropolis intelektual abad pertengahan
di era kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Sebagai penyair yang nyentrik, masa mudanya penuh dengan gaya hidup yang kontroversial,
sehingga membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam.
Ketika masih muda, puisi-puisi yang dikarangnya kerap diinspirasi khammar (minuman keras), salah
satunya khumrayat (penggambaran minuman keras). Adalah Dr Muhammad al-Nuwaihi dalam
kitabnya Nafsiyyat Abi Nuwas menyebutkan Abu Nawas sangat tergantung pada minuman keras.
Sebagai penyair, tingkah laku Abu Nawas bisa disebut aneh, bahkan slebor. Tingkah lakunya
11 | TOKOH-TOKOH SASTRA
membuat orang selalu mengaitkan karyanya dengan gejolak jiwanya. Ditambah sikapnya yang
jenaka, perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Namun, di mata Ismail bin Nubakht Abu
Nuwas adalah seorang yang cerdas dan kaya pengetahuan.

”Saya tak pernah melihat orang yang mau belajar lebih luas dibanding Abu Nuwas. Tak ada seorang
pun. Dengan ingatan yang sangat kaya, namun koleksi bukunya sangat sedikit. Setelah dia tutup usia,
kami mencari rumahnya dan hanya menemukan sebuah buku di rumahnya,” papar Ismail bin
Nubakht dalam catatannya. Berbekal kepiawaiannya menulis puisi, Abu Nawas bisa berkenalan
dengan para pangeran. Sejak dekat para bangsawan, puisi-puisinya berubah memuja penguasa.
Dalam kitab Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair
multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan
baru.

Karir Abu Nuwas di dunia sastra pun makin kinclong setelah kepandaiannya menulis puisi menarik
perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui perantara musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas
akhirnya didapuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Abu Nawas pun diangkat sebagai pendekar
para penyair. Tugasnya menggubah puisi puji-pujian untuk khalifah. Kegemarannya bermain kata-
kata dengan selera humor yang tinggi membuatnya menjadi seorang legenda. Namanya juga
tercantum dalam dongeng 1001 malam. Meski sering ngocol, ia adalah sosok yang jujur. Tak heran,
bila dia disejajarkan dengan tokoh-tokoh penting dalam khazanah keilmuan Islam.

Kedekatannya dengan khalifah berakhir di penjara. Suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah
Bani Mudhar yang membuat khalifah tersinggung dan murka. Ia lantas di penjara. Setelah bebas, dia
mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia hengkang dari Baghdad setelah kejayaan Barmak
jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu, ia hijrah ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir,
Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Abu Nuwas akhirnya kembali lagi ke Baghdad, setelah Harun al-
Rasyid meninggal dan digantikan Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi religius. Kepongahan dan
aroma kendi tuaknya meluntur, seiring dengan kepasrahannya kepada kekuasaan Allah. Syair-
syairnya tentang pertobatan bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang
tinggi.

Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Puisi serta syair yang
diciptakannya menggambarkan perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah. Kehidupan
rohaniahnya terbilang berliku dan mengharukan. Setelah ‘menemukan’ Allah, inspirasi puisinya
bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Di akhir hayatnya, ia menjalani hidup zuhud.
Seperti tahun kelahirannya yang tak jelas, tahun kematiannya terdapat beragam versi antara 806 M
hingga 814 M. Ia dimakamkan di Syunizi, jantung Kota Baghdad.

Sang Penyair Khamar yang Bertobat

Penyair khamar. Begitu Abu Nuwas dijuluki sebagian orang, karena dia mengangkat minuman haram
sebagai tema puisinya. Dalam puisi khumrayat, ia menggambarkan kelezatan dan keburukannya,

12 | TOKOH-TOKOH SASTRA
pemerasan, pengolahan, rasa, warna, dan baunya hingga para peminumnya. Menurutnya, khamar
dapat menenangkan hatinya yang gundah.

Abu Nuwas juga sempat dituding sebagai penyair zindik atau pendosa besar gara-gara puisinya yang
bertema mujuniyat yang sering dianggap melampaui batas kesopanan dan merendahkan ajaran
agama. Tak pernah ada kata terlambat untuk bertaubat. Itulah salah satu pelajaran penting yang
diajarkan Abu Nuwas.

Masa mudanya memang diwarnai dengan gaya hidup yang berbau maksiat. Namun di masa tuanya,
Abu Nuwas berubah menjadi seorang sufi. Penyesalan dan pertobatannya dia ungkapkan lewat
puisi-puisinya yang bertema zuhdiyat (kehidupan zuhud). Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf
bin Dayah, memberi kesaksian, di akhir hayat Abu Nawas mengisi kehidupannya dengan ibadah.

Simaklah puisi pertobatan yang ditulisnya: ”Tuhan, Jika dosaku semakin membesar, sungguh aku
tahu ampunanmu jauh lebih besar. Jika hanya orang-orang baik yang berseru kepada-Mu, lantas
kepada siapa seorang pendosa harus mengadu?
” Secara umum, puisi dan syair yang ditulisnya terdiri dari beberapa tema. Ada yang bertema pujian
(madah), satire (hija’), zuhud (zuhdiyat), bahaya minum khamar (khumriyat), cinta (hazaliyat), serta
canda (mujuniyah). Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak
dalam berbagai bahasa.

Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), cetakan litrografi di Kairo, Mesir
(1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa
manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul. Pada
tahun 1855, kumpulan puisinya diedit oleh A Von Kremer dengan judul Diwans des Abu Nowas des
Grosten Lyrischen Dichters der Araber.

Ketokohan figur Abu Nawas ternyata tak hanya diakui umat Islam, namun juga oleh orang-orang
Barat. Mereka memandang karya-karya Abu Nuwas adalah sebuah kekayaan peradaban dunia dari
abad pertengahan yang begitu berharga. Sayangnya, umat Islam terkadang tak menyadarinya bisa
pula tak mengetahuinya sama sekali.

Warisan Sastrawan Arab Klasik Terkemuka

Abu Nuwas adalah salah seorang sastrawan Arab terbesar. Pengaruhnya begitu besar di jagad sastra.
Omar Kayam dan Hafiz – dua sastrawan Islam kondang juga banyak mendapat pengaruh dari Abu
Nuwas. Namanya semakin populer lantaran karikatur Abu Nuwas dalam legenda 1001 Malam.
Dalam budaya Swahili di Afrika Timur, nama Abu Nuwas juga begitu populer sebagai ‘Abunuwasi’.

Karya-karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Beberapa di antaranya adalah O
Tribe That Loves Boys yang dialihbahasakan oleh Hakim Bey dan diterbitkan Entimos Press pada
1993.

Jaafar Abu Tarab juga telah menerjemahkan karya Abu Nawas dalam Carousing With Gazelles. Kegan
Paul juga telah menerjemahkan Poems of Wine and Revelry: The Khamriyyat of Abu Nuwas. Secara
13 | TOKOH-TOKOH SASTRA
khusus kiprah dan karya Abu Nuwas juga mendapat perhatian para penulis Barat. Philip F Kennedy,
misalnya, secara khusus menulis The Wine Song in Classical Arabic Poetry: Abu Nuwas and the
Literary Tradition, yang diterbitkan, Open University Press tahun 1997. Penerbit OneWorld Press
pada 2005 juga menerbitkan buku karya Philip Kennedy yang berjudul Abu Nuwas: A Genius of
Poetry.

6. Gus Mus, Puisi dan Politik


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/03/04/35418-gus-mus-puisi-
dan-politik.

KH Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus, selain kiai, adalah seniman, pengarang, dan aktif di berbagai
kegiatan sosial dan keagamaan. Juga, pernah menjadi anggota dewan. Beragam kegiatan ini
memberi implikasi unik dalam ziarah kreatifnya. Ia bertegur sapa dengan realitas sosiologis dan
psikologis tertentu. Maka, menarik menilik bagaimana warna puisi Gus Mus terkait momentum
Pemilu 2009 kini. Dibandingkan Taufik Ismail, puisi politik Gus Mus memiliki corak khas berlatar
pesantren dan tradisi pesisir.

Gus Mus telah muncul ke publik sastra Indonesia sejak era 1980-an ketika pulang dari Mesir melalui
Kumpulan Puisi Balsem Ohoi. Kini, telah banyak karya dilahirkan, fiksi ataupun nonfiksi. Seperti Ohoi,
Kum pul an Puisi Balsem, Tadarus, dan Negeri Da ging, Lukisan Kaligrafi, dan sebagainya. Ba gai mana
Gus Mus bicara politik, khususnya pemilu dan kampanye? Tentu, puisi bagi Gus Mus tak sekadar
hiburan, tetapi juga taushi yahsekaligus medan advokasi bagi umat. Bagi Gus Mus, barangkali, kritik
terhadap penguasa, rakyat, atau dirinya sendiri ialah tanda cinta, bukan kebencian. Simak kritik Gus
Mus tentang kampanye politik dalam “Jangan Berpidato”: Jangan berpidato! Kata-katamu yang
paling bijak/ Hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi/ Menutupi korengborok- kurap-kudis-
panu-mu.Gus Mus mengecam perilaku pejabat yang suka kampanye untuk menutup kebobrokan.
Ada kamuflase di balik retorika. Elite gemar memanipulasi rakyat dan melakukan penyimpangan.
Gema cinta Gus Mus terpasang di puisi pamflet, seperti demonstran yang meng gemakan suara cinta
untuk seluruh bangsa.

Cara bicara pejabat sering terdengar indah memukau. Penuh retorika dan bunga baha sa. Justru itu
dapat mengecoh kesadaran rakyat. Bertahun-tahun rakyat ditipu, lalu diabaikan. Gus Mus seperti
ingin menyapa cinta kepada penguasa. Gus Mus cinta rakyat dan juga penguasa. Karena itu,
penguasa harus diluruskan agar tidak terjerumus penyimpang an dan agar penguasa berbuat baik,
men jaga moral, menegakkan hukum, dan sete rus nya. Gus Mus geram ketika cinta telah di khianati.
14 | TOKOH-TOKOH SASTRA
Penguasa yang seharusnya mencintai rakyat justru berkhianat dan meninggal kan kepentingan
rakyat.

Nada geram itu, misalnya, juga terdengar dari puisi “Anonim”, Siapa yang bersedia menyerahkan
lubang telinga/ Untuk kau jejali rongsokan huruf dan kata-kata?/ Siapa?/ Kenapa kau tak menoleh
sekejap saja?.

Melalui puisi, Gus Mus menyorot hobi penguasa yang banyak bicara dibandingkan bekerja. Penguasa
lebih suka ngomongdaripada realisasi janji. Ucapan dan tindakan yang tak sinkron itu membuat
rakyat muak. Lewat puisi, Gus Mus berteriak: “siapa yang bersedia menyerahkan lubang telinga”.
Itulah lu kis an ke geraman rakyat. Rakyat kian cuek ke pada penguasa. Tak salah bila muncul fe
nomena golput. Penguasa perlu merenung kan kondisi rakyat yang dilanda kesulitan. Ti dak
seharusnya hanya menuntut rakyat. Jus tru, penguasa harus peduli rakyat dengan me rumuskan dan
menjalan kan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Itulah bukti cinta penguasa kepada rakyat.
Pada puisi “Mantan Rakyat”, Gus Mus menyindir perilaku calon legislatif atau anggota legislatif,
Mantan rakyat bertemu rakyat/ Ber bicara atas nama rakyat demi rakyat/ Dan rakyat pun saling
bertanya/ Apakah dia pernah jadi rakyat?

Puisi Gus Mus mengirim kritik pedas ke pa da mereka yang hobi memanipulasi rakyat. Se mua
kebijakan dikatakan demi rakyat, pa da hal untuk kepentingan golongan dan diri sendiri. Mereka
menjual rakyat. Penguasa bilang cinta rakyat, te tapi justru menindasnya. Yang dilakukan bukannya
membuktikan rasa cinta, tetapi justru menebar kebencian dan dendam di hati rakyat. Rakyat hanya
dikirim penderitaan dan kesengsaraan.

Puisi Gus Mus menjadi penyambung lidah rakyat. Inilah suara rakyat. Suara rakyat ada lah suara
tuhan. Suara rakyat tulus penuh cinta. Mereka merasakan langsung dampak perilaku penguasa. Saat
pemilu, rakyat dibutuhkan, diiming-imingi ‘mawar merah’. Calon penguasa datang dengan senyum
merekah, membawa buah tangan, dan segenap janji gombal. Setelah jadi penguasa, mereka abai
dan berkhianat. Maka, lewat puisi, Gus Mus menggugat: apakah para penguasa itu per nah menjadi
rakyat? Kok, mereka mengaku atas nama dan demi rakyat? Bila pernah jadi rakyat, mengapa
kebijakan dan perilakunya jauh dari mencintai rakyat?

Keprihatinan memuncak terlihat dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Maka, puisi Gus Mus
berjudul “Keadilan” cukup bicara pendek: hampir tertangkap mimpi.

Panggung hukum dan peradilan belum menjadi ruang penegakan keadilan. Hukum masih berpihak
kepada yang kuat dan kuasa. Rakyat kecil sering menjadi korban, kambing hitam, dan martir politik.
“Hampir tertangkap mimpi,” itulah ungkapan pendek puisi Gus Mus.. Ada nada pesimis, sekaligus
skeptis. Namun, menyimpan makna mendalam. Sindiran menyentil dan pendek, namun menggugah.
Menegakan hukum itu tidak perlu banyak bicara, tetapi praktik nyata dan bukan hanya retorika.

Kita menyaksikan, diskriminasi terjadi dalam penegakan hukum. Seorang pencuri ayam dihajar
massa hingga mati. Sementara itu, koruptor uang negara yang miliaran, bahkan triliunan rupiah lolos
jerat hukum. Tragisnya, di penjara diberi fasilitas megah dan mewah.

15 | TOKOH-TOKOH SASTRA
Kritik keras Gus Mus lewat puisi menunjukkan karakter kepenyairan Gus Mus. Selain pesantren,
landas tumpu ziarah kreatif Gus Mus adalah masyarakat. Ketika menjadi kiai, budayawan, pegiat
sosial, dan sebagainya, ia bertegur sapa secara langsung dengan rakyat kecil. Menyerap unek-unek
dan keluh kesah. Puisi seakan menjadi jembatan bagi Gus Mus untuk bertegur sapa dengan ma sya
rakat. Atau, justru puisi itu sendiri adalah suara rakyat, detak jantung umat yang ter da lam, yang
tersumbat dalam ruang batin wong cilik. Lantas, Gus Mus menyuarakannya. Ba nyak tema-tema
kerakyatan, nasib wong cilik, ketidakberdayaan, menyindir perilaku pengua sayang tidak adil, dan
sebagainya sa ngat dominan dalam warna puisi Gus Mus.

Ini seakan mengungkap bahwa penyair ti dak dapat lepas dari kehidupan rakyat. Ia la hir dan tumbuh
berkembang di tengah rak yat. Ia bagian dari takdir kesejarahan peradaban dunia. Ia tak mungkin
melepas diri, le pas tangan, atau cuek dari beragam persoalan manusia. Penyair harus terlibat aktif
lewat wacana sekaligus merumuskan tata kehidupan masyarakat.(M Thobroni, penulis buku dan
peneliti karya-karya KH A Mustofa Bisri).

7. Sastrawan Achdiat Kartamihardja Tutup Usia


http://www.republika.co.id/berita/senggang/tokoh/10/07/08/123810-sastrawan-achdiat-
kartamihardja-tutup-usia.

JAKARTA–Berpulang lagi satu sastrawan besar Indonesia, Achdiat Kartamihardja dalam usia 99 tahun
di Canberra, Australia, sekitar pukul 9.30 pagi ini. Penulis novel “Atheis” yang kerap disapat Aki itu
sebelumnya dirawat di ICU Canberra Hospital. Kabar tersebut disiarkan lewat milis Persatuan Pelajar
Indonesia di Australia (PPIA) Cabang Canberra dan telah menyebar pula lewat situs jejaring sosial
Twitter,

Achdiat dikabarkan sempat terkena stroke dua pekan lalu. Almarhum rencananya dikebumikan hari
ini di di pemakaman Woden setelah dishalatkan di Masjid Canberra.Achdiat Kartamihardja lahir di
Cibatu, Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911. Ia menempuh pendidikan di AMS-A Solo kemudian
melanjutkan di Fakultas Sastra dan Filsafat (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia.

Almarhum pernah menjabat sebagai Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, di Balai
Pustaka. Pada 1956 ia mengajar sebagai dosen sastra di Universitas Indonesia hingga pensiun tahun
1961. Usai pensiun Achdiat menjadi pengajar kesusastraan Indonesia di Australian National
University, (ANU) Canberra.

Kumpulan cerpennya, “Keretakan dan Ketegangan” (1956) mendapat Penghargaan Sastra BMKN
tahun 1957 dan novelnya, “Atheis” (1949) memperoleh Penghargaan Tahunan Pemerintah RI tahun
1969. Pada tahun 1972, R.J. Maguire menerjemahkan novel ini ke bahasa Inggris tahun. Dua tahun
kemudian Sjumandjaja mengangkatnya ke layar lebar dengan judul yang sama dengan bukunya.

16 | TOKOH-TOKOH SASTRA
8. Pramoedya, Kurir Sastra dari Blora yang Mendunia
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/2010/07/18/pramoedya-kurir-sastra-dari-blora-yang-
mendunia/#more-739

JAKARTA – Indonensia konon sarang teroris. Negara kepulauan ini juga juara korupsi peringkat ke
sekian, gagal menjadi tuan rumah piala dunia tahun 2022, dan kini malah beredar video seronok
mirip artis ternama. Miris bukan? Lantas apa yang bisa dibanggakan dari negeri ini?

Tunggu dulu, Indonesia sejatinya punya banyak tokoh fenomenal yang cemerlang di mata
masyarakat internasional, meski kadang tenggelam dan sedikit dibenci bahkan dipenjawa di
negerinya sendiri, layaknya potret sang nabi.

Sebut saja sastrawan kenamaan Pramoedya Ananta Toer. Pujangga kelahiran Blora, Jawa Tengah 6
Februari 1925 silam ini adalah penerima sejumlah penghargaan sastra bertaraf dunia. Pria bersahaja
yang wafat 30 April 2006 silam ini pernah menerima The PEN Freedom-to-write Award pada 1988,
Nobel Prize for Literature nomination dan Ramon Magsaysay pada 1995, Honorary Doctoral Degree
from University of Michigan, Ann Arbor pada 1999, Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres
Republic of France dan Fukuoka Asian Culture Grand Prize, Fukuoka, Japan, pada 2000, The
Norwegian Authours Union pada 2004, dan sederet penghargaan internasional lainnya.

Puluhan karya berkualitas memang dihasilkan oleh eks tahanan politik (tapol) pada masa orde baru
ini. Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca) dan
200 lebih karyanya sudah diterjemahkan ke dalam 40 lebih bahasa di dunia.

Belum lagi karya-karya sastra lain, baik fiksi maupun nonfiksi, yang banyak dicari para pemuja sastra
di tanah air maupun di luar negeri.

Karangan Pram, sapaan akrab Pramudya, kental dengan nuansa humanis, anti penjajahan dan
feodalisme. Meski tidak secara eksplisit ditorehkan dalam setiap tulisannya. Pram selalu
menyerahkan sepenuhnya pada objektivitas pembaca.

Seperti yang dia rangkum dalam tetratrologi Bumi Manusia, Gadis Pantai, Nyanyian seorang bisu I,
dan II, Di Tepi Kali Bekasi, Jalan Raya Pos Jalan Daendels. Atau Arok-Dedes, yang alur ceritanya
dibuat seperti menyimpang dari sejarah yang biasanya dibaca di buku-buku sejarah atau dikisahkan
oleh orang tua kepada anaknya.

Tulisan-tulisan Pram juga lekat dengan nuansa realis yang membawa pembaca ke alam lain atau
dipertontonkan sebuah detil cerita layaknya sebuah film. Hal ini diakui Pram, terinspirasi dengan
karya-karya John Steinbeck, penulis Amerika peraih Nobel Sastra Tahun 1962 dan Maxim Gorky
(1868-1936), sastrawan terkemuka dari Rusia.

Kemahiran Pram dalam meramu bahasa dan menganyam frasa, memang tidak lepas dari
kegemarannya membaca serta menerjemahkan karya-karya penulis terkemuka. Tentu dengan
memanfaatkan kemampuannya dalam beberapa bahasa asing. Tak heran jika pada awal karirnya
Pram sempat menjadi “kurir sastra”.
17 | TOKOH-TOKOH SASTRA
Pada tahun 1950-an, Pram sudah menerjemahkan novel John Steinbeck dengan tajuk Tikus dan
Manusia, Kembali pada Tjinta Kasihmu, novel Leo Tolstoy, masih pada tahun yang sama, Perjalanan
Ziarah yang Aneh, novel Leo Tolstoy, pada 1954, Kisah Seorang Prajurit Sovyet, novel Mikhail
Sholokov, pada tahun yang sama, dan Ibunda, novel terkenal dari Maxim Gorky, serta masih banyak
lagi terjemahan novel asing karya penulis terkemuka dunia yang diterjemahkannya.

****************** Asmul Abadi 082019 ******************

18 | TOKOH-TOKOH SASTRA

Anda mungkin juga menyukai