Anda di halaman 1dari 13

PEREKONOMIAN INDONESIA DAN MONETER

REVIEW PEREKONOMIAN INDONESIA ERA PRESIDEN GUS DUR


Dosen Pengampu: I Made Sumartana, SE.,M.Si

Oleh:
Kelompok IV

1. Sang Ayu Eka Widiasari ( 202261201096 )


2. Kadek Ayu Puspitawati ( 202261201097 )
3. Kadek Dini Candani Putri ( 202261201100 )
4. I Komang Aris Wiadnyana ( 202261201117 )
5. Sang Nyoman Geriawan ( 202261201137 )
6. I Made Sandi Winanta ( 202261201138 )
7. Gede Manik Agus Priandika Putra ( 202261201145 )

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKLUTAS EKOMOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS NGURAH RAI
DENPASAR
TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Rahmat-nya dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari
makalah ini adalah “ Review Perekonomian Indonesia Era Presiden Gus Dur”

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak I Made Sumartana, SE.,M.Si
selaku dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia dan Moneter yang sudah memberikan
arahan dalam mengerjakan makalah ini. Kami juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang selalu setia membantu dalam pengumpulan data-data dalam pembuatan makalah ini.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui.
Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen. Demi
tercapainya makalah yang sempurna.

Gianyar, 25 Desember 2023

Kelompok IV
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI
ke-4 mulai 21 Oktober 1999 pada hari Gus Dur dilantik hingga Juli 2001 dengan
mengalahkan calon lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri. Pemungutan suara yang
dilakukan secara tertutup pada tanggal 20 Oktober 1999 di parlemen menghasilkan 373
suara untuk Abdurrahman Wahid dan 313 suara untuk Megawati, 9 abstain dan 4 suara
tidak sah. Maka hasil sidang yang diperoleh mengumumkan dan menetapkan K.H.
Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Pengurus Besar NU sebagai presiden RI ke-4,
periode 1999 sampai 2004 menggantikan B.J. Habibie. Beberapa kebijakan yang
dikeluarkan oleh Habibie tampaknya belum memuaskan banyak pihak sehingga banyak
anggota MPR/DPR yang di dalam Sidang Umum tahun 1999 menolak hasil
pertanggungjawaban Habibie, Sehingga terjadi perubahan peta politik di mana Habibie
mundur setelah pertanggungjawabannya ditolak.
Akhirnya pencalonan pun terpecah menjadi 2 kubu yaitu Megawati yang
dicalonkan PDI-P dan Gus Dur yang dijagokan oleh Poros Tengah. Terpilihnya K.H.
Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai presiden dan wakil presiden dalam sidang
umum MPR 1999 memberi harapan yang besar bagi bangsa Indonesia. Harapan besar itu
pada umumnya bersumber dari keinginan kolektif agar kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik nasional segera pulih kembali setelah selama lebih dari 2 tahun bangsa Indonesia
terpuruk dilanda krisis ekonomi dan politik yang begitu dahsyat. Ada sejumlah faktor
mengapa harapan masyarakat sangat besar terhadap duet kepemimpinan Gus Dur-Mega.
Pertama, kecuali Soekarno-Hatta yang dipilih secara aklamasi oleh anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), untuk pertama kalinya sepanjang sejarah
Indonesia merdeka, presiden dan wapres dipilih secara demokratis oleh para anggota
MPR hasil pemilu 1999 yang relatif damai dan demokratis pula. Kedua, K.H.
Abdurrahman Wahid dan Megawati merupakan kombinasi dari dua golongan bangsa
yang terpenting yaitu islam disatu pihak dan golongan nasional lainnya. Harapan itu pun
sirna ketika kritikan terhadap pemerintahan Gus Dur terjadi sejak ia tidak mampu untuk
memperbaiki kondisi negara ini.
Kritikan terhadap pemerintahannya terjadi sejak Presiden Gus Dur
mengumumkan Kabinet Persatuan Nasional di mana kekuatannya merupakan hasil
kompromi dari partai-partai pendukungnya. Namun kabinet yang dikatakan Gus Dur
akan lebih ramping dari kabinet sebelumnya ternyata jumlah menteri lebih banyak
bahkan ada dua departemen yang dihapus, yaitu Departemen Sosial dan Departemen
Penerangan, yang pada masa Soeharto sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan
penerbitan dan pemberitaan dalam media. Gus Dur mempunyai daftar panjang yang luar
biasa mengenai apa yang harus dikerjakan dan masalah apa yang harus dipecahkan. Salah
satunya adalah mengatasi gerakan separatis di Papua Barat dan Aceh.
Sebagai presiden, Gus Dur terus mengadakan pertemuan dengan pemimpin-
pemimpin Aceh dalam dengan Indonesia, kenapa untuk Aceh tidak bisa”. Janji ini
menjadi obat mujarab bagi bangsa Aceh. Tidak lama kemudian, setelah kembali dari
keliling dunia, Gus Dur kembali memutarbalikan janji dan fakta yang sudah ada. Gus Dur
tetap akan memberikan referendum untuk Aceh akan tetapi dengan opsi otonomi luas
dan sempit. Disini nampak sekali bahwa presiden sepertinya hendak mempermainkan
istilah referendum yang sudah dikenal luas sebagai sebuah solusi untuk menentukan
sikap, apakah tetap bergabung dengan negara tersebut atau pisah untuk waktu yang tidak
terbatas.Semenjak menjadi presiden, Gus Dur sesungguhnya memiliki sejarah besar
membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara tentang perjuangan hak-hak kaum
minoritas. Gus Dur selama berkuasa (1999-2001) telah memberikan wacana yang
menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Paling tidak selama kurang dua
tahun banyak sekali sumbangan Gus Dur bagi bangsa. Bahkan proyek Desakralisasi
Istana, Supremasi Sipil, Konflik dengan parlemen menjadi wacana yang menakjubkan
dimasanya.Gus Dur menjadi sosok paling unik, khas dan cukup fenomenal. Tidak saja
dalam jagat organisasi NU, tetapi juga jagat ke-Indonesiaan. Unik, khas dan fenomenal
karena dalam diri Gus Dur melekat sejumlah predikat yang cukup beragam dari
budayawan, agamawan, intelektual sampai pada politikus.
1.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendapatan Nasional dan Pendapatan Perkapita Perekonomian Indonesia
Era Presiden Gus Dur?
2. Bagaimana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Presiden Gus Dur?
3. Apa Panggaran Perekonomian Indonesia Era Presiden Gus Dur?
4. Bagaimana Inflasi Perekonomian Indonesia Era Presiden Gus Dur?
5. Bagaimana Kebijaksanaan Moneter dan Kebijaksanaan Fisikal Perekonomian
Indonesia Era Presiden Gus Dur?
6. Berapakah Jumlah Hutang Luar Negeri Presiden Era Gus Dur?
7. Bagaimana Neraca Perdagangan dan Neraca Pembayaran Perekonomian Indonesia
Era Presiden Gus Dur?

1.3. Tujuan
1. Agar Pendapatan Nasional dan Pendapatan Perkapita Perekonomian Indonesia Era
Presiden Gus Dur?
2. Agar Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Presiden Gus Dur?
3. Agar Panggaran Perekonomian Indonesia Era Presiden Gus Dur?
4. Agar Inflasi Perekonomian Indonesia Era PresidenGus Dur?
5. Agar Kebijaksanaan Moneter dan Kebijaksanaan Fisikal Perekonomian Indonesia
Era Presiden Gus Dur?
6. Agar Jumlah Hutang Luar Negeri Presiden Era Gus Dur?
7. Agar Neraca Perdagangan dan Neraca Pembayaran Perekonomian Indonesia Era
Presiden Gus Dur?
BAB II
PEMBAHASAAN

2.1 Pendapatan Nasional dan Pendapatan Perkapita Perekonomian Indonesia Era


Presiden Gus Dur
Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak pertumbuhan ekonomi
pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia tumbuh 4,92 persen pada 2000.
Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah
membagi dana secara berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga
menerapkan pajak dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001
tumbuh melambat menjadi 3,64 persen.
Presiden Ke-4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lebih
memilih mendahulukan kesetaraan ekonomi (economic equality) dibandingkan
pertumbuhan ekonomi (economic growth). Sementara presiden lainnya mengambil
fokus ke pertumbuhan ekonomi "Beberapa kebijakan Gus Dur yang mencerminkan
orientasi pemerataan ekonomi yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Gus Dur mendorong program-program seperti PNPM yang bertujuan
untuk memberdayakan masyarakat di tingkat lokal. Program ini mencakup
pengembangan infrastruktur, pelatihan keterampilan, dan dukungan untuk usaha mikro.
Dalam bidang penanganan tindak korupsi, Gus Dur menekankan pentingnya
pemberantasan korupsi dan nepotisme untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil.
Upaya ini sejalan dengan tujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan.
Selama pemerintahannya, Gus Dur, kata Jaenal, juga mendorong kebijakan sosial
yang bertujuan untuk membantu kelompok masyarakat yang kurang mampu.
Ini mencakup program-program bantuan sosial dan peningkatan akses terhadap layanan
pendidikan dan kesehatan.
Gus Dur menekankan nilai-nilai pluralisme dan toleransi sebagai fondasi penting
bagi pembangunan yang berkelanjutan. Pendekatan ini mencerminkan keinginannya
untuk menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadilan bagi semua warganya.
"Meskipun ada fokus pada pemerataan ekonomi, penting untuk diingat bahwa kondisi
ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Gus Dur juga mencakup tantangan dan
ketidakstabilan.
Kebijakan-kebijakan ekonomi Gus Dur yang mengundang kerutan di dahi para
pakar, juga perseteruannya dengan DPR dan IMF mempengaruhi iklim perekonomian
Indonesia saat itu. Sejumlah kebijakan seperti upaya mengubah independensi BI lewat
amandemen UU BI, bea masuk impor mobil mewah untuk KTT G-15 yang jauh lebih
rendah dari yang seharusnya (hanya 5% sementara seharusnya 75%), dan otonomi
daerah yang membebaskan daerah untuk mengajukan pinjaman luar negeri tidak
populer di masyarakat dan menuai protes. Kondisi perekonomian yang tampak
memburuk setelah sebelumnya menunjukkan gejala-gejala kepulihan di masa
pemerintahan BJ Habibie meresahkan publik dan para investor. Nilai tukar Rupiah
terhadap Dollar AS yang semula Rp. 7.500 (1999) menjadi Rp. 9.800 (2001),
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dari 580 menjadi 458, begitu
pun tingkat pertumbuhan ekonomi yang semula 5% (2000) menjadi 3,6% (2001).
Sebaliknya, tingkat inflasi pun meningkat drastis, dari 2% (1999) menjadi 12,6%
(2001).

2.2 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Presiden Gus Dur


Di era Abdurrahman Wahid yang singkat, sejumlah konflik sosial yang selalu jadi
masalah Indonesia, berhasil diredam.Di Aceh dan Papua misalnya, pendekatan Gus Dur
berhasil menahan gelombang separatisme tanpa kekerasan militer. Gus Dur lah presiden
yang berperan membubarkan praktik dwifungsi ABRI. Ia mengembalikan tentara ke
barak. Ia juga yang memisahkan angkatan bersenjata menjadi TNI dan Polri.Aspek sosial
menjadi perhatian kiai Nahdlatul Ulama ini. Berkat Gus Dur, tahun baru Imlek yang
dilarang pada masa kolonial Belanda dan dipersulit di era Soeharto, kembali menjadi hari
libur nasional yang dirayakan. Ia juga yang mengakui Kong Hu Cu sebagai tambahan
agama yang diakui di Indonesia.Gus Dur juga sempat memperjuangkan nasib para
tahanan politik dan mereka yang selama ini didiskriminasikan akibat pelarangan PKI
meskipun tak berhasil.
Bagi para tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, Gus Dur adalah pahlawan.
Ia menyelamatkan Siti Zaenab dan Adi Asnawi yang akan dihukum gantung di Arab
Saudi dan Malaysia. Bahkan setelah tak menjadi presiden, Gus Dur pernah menampung
81 TKI yang dideportasi dari Malaysia di rumahnya di Ciganjur pada 2005.
Arah peningkatan ekonomi di era Gus Dur juga sangat baik. Tak cuma PNS yang
merasakan kenaikan gaji hingga tiga kali lipat, rakyat Indonesia juga merasakan
pertumbuhan ekonomi yang baik di era Gus Dur. Pertumbuhan ekonomi yang berada di
minus 3 saat ditinggalkan Habibie, tumbuh hingga ke 4,9 persen di tahun 2000. Yang
lebih penting, pertumbuhan ekonomi ini dibagi merata. Sebelum krisis ekonomi 1997,
indeks ketimpangan atau rasio gini sangat tinggi.
Gus Dur yang tak menginginkan kesenjangan jadi akar konflik sosial, berhasil
menurunkan rasio gini hingga 0,31, atau terendah dalam 50 tahun terakhir.Terdekat
dengan pencapaian ini hanya era Soeharto pada 1993 dengan gini ratio 0,32. Bedanya,
Soeharto perlu 25 tahun untuk menurunkan gini ratio hingga ke angka ke 0,32 (1993).
Sedangkan Gus Dur hanya perlu kurang dari dua tahun untuk menurunkan koefisien gini
ratio dari 0,37 (1999) ke 0,31 (2001). Pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur
(Abdurrahman Wahid) dari 1999 hingga 2001, Indonesia mengalami tantangan ekonomi
yang signifikan, termasuk krisis moneter dan politik.
Sebagian besar pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut dipengaruhi oleh
upaya pemulihan dari krisis ekonomi Asia 1997-1998.Presiden Gus Dur memerintah
dalam situasi yang kompleks, dengan banyak faktor yang memengaruhi pertumbuhan
ekonomi, seperti penurunan nilai tukar rupiah, inflasi tinggi, dan ketidakstabilan politik.
Upaya pemulihan ekonomi melibatkan reformasi kebijakan, termasuk restrukturisasi
sektor keuangan dan peningkatan transparansi.Meskipun demikian, pertumbuhan
ekonomi pada masa pemerintahan Gus Dur tidak mencapai tingkat yang diharapkan, dan
tantangan internal dan eksternal terus mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.
Sebagian besar evaluasi terhadap dampak pemerintahan Gus Dur terfokus pada aspek
politik dan sosial lebih dari pada pencapaian ekonomi yang substansial.

2.3 Panggaran Perekonomian Indonesia Era Presiden Gus Dur


Saat era Gus Dur yang diawali dengan permasalahan politik antara DPR dan IMF
yang dibuktikan dengan pembangunan jalan tol hanya sepanjang 5,5 kilometer. Seperti
yang kita ketahui perselisihan antara Gus Dur dengan DPR diawali dengan kasus
Buloggate dan Bruneigate yang meluncurkan dana sebesar 35 miliar kepada oknum
tertentu, pada kasus Buloggate dan pemberian hadiah sejumlah uang dari pihak Sultan
Brunei Darussalam kepada Gus Dur. Banyaknya isu politik sosial saat itu membuat
beberapa investor enggan untuk memberikan investasi kepada Indonesia yang membuat
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 12.000 per dolar AS pada tahun 2001.
Selain perselisihan dengan DPR, perselisihan dengan IMF juga memperburuk kondisi
perekonomian Indonesia, di mana Gus Dur saat itu menerapkan amendemen UU No.23
tahun 1999 mengenai Bank Indonesia. Kebijakan ini diberikan kepada otonomi daerah
yang berisikan kebebasan meminjam uang dari luar negeri yang berdampak pada
terhambatnya pembangunan infrastruktur. Meski Gus Dur telah melakukan beberapa
tindakan yang berupaya untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur melalui
desentralisasi fiskal dengan mengadakan program pengembangan kecamatan, proyek
pedesaan, dan lain-lain nyatanya kebijakan tersebut belum mampu menekan angka
pengangguran di Indonesia. Selain pembangunan jalan Tol hanya sepanjang 5,5
kilometer, terjadi pembatalan sejumlah infrastruktur di antaranya Tol Cikampek hingga
Palimanan (Cikapali) dan Jalan Tol Layang Becakayu.
Terhambatnya pembangunan infrastruktur era Gus Dur membuat angka
pengangguran meningkat yang semula 6,08% pada tahun 1999 menjadi 6,6% pada
tahun 2001. Selama masa pemerintahannya, Gus Dur hanya membangun jalan tol
sepanjang 5,5 km atau yang paling sedikit dibandingkan dengan presiden lain.
Pemerintahan Presiden Wahid terus mengupayakan demokratisasi dan mendorong
pembaruan pertumbuhan ekonomi dalam kondisi yang penuh tantangan. Selain kelesuan
ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik regional,
antaretnis, dan antaragama, khususnya di Aceh, Maluku, dan Irian Jaya.
Di Timor Barat, masalah pengungsi Timor Timur dan kekerasan yang dilakukan
oleh milisi pro-Indonesia telah menyebabkan banyak masalah kemanusiaan dan sosial.
Parlemen yang semakin tegas sering kali menentang kebijakan dan hak prerogatif
Presiden Wahid, sehingga berkontribusi terhadap perdebatan politik nasional yang
hidup dan terkadang penuh dendam. Pada sidang tahunan pertama MPR pada bulan
Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan penjelasan tentang kinerja
pemerintahannya. Di bawah tekanan DPR untuk meningkatkan manajemen dan
koordinasi dalam pemerintahan, ia mengeluarkan keputusan presiden yang memberikan
Wakil Presiden Megawati kendali atas penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
Pemilihan umum pada bulan Juni 1999 menghasilkan parlemen nasional, provinsi, dan
regional pertama yang dipilih secara bebas dalam lebih dari 40 tahun. Pada bulan
Oktober 1999 MPR memilih calon kompromistis, Abdurrahman Wahid (alias Gus Dur),
sebagai presiden keempat negara itu, dan Megawati Sukarnoputri, putri presiden
pertama negara itu, sebagai wakil presiden. Partai PDI-P pimpinan Megawati meraih
perolehan suara terbanyak (34%) dalam pemilu, sedangkan Golkar, partai dominan pada
era Soeharto, berada di urutan kedua (22%). Beberapa partai lain yang sebagian besar
beraliran Islam meraih saham yang cukup besar untuk bisa duduk di DPR. DPR dan
MPR, yang dulunya hanya berfungsi sebagai lembaga stempel, telah memperoleh
kekuasaan yang besar dan semakin tegas dalam mengawasi lembaga eksekutif. Hal ini
sebagian mencerminkan keinginan untuk mencegah tindakan presiden yang berlebihan
di masa lalu dan, sebagian lagi, untuk mengendalikan Wahid, yang terkadang dipandang
sebagai orang yang sangat tidak dapat diprediksi. Melalui kabinet yang ditunjuknya,
presiden tetap mempunyai kewenangan untuk menjalankan administrasi pemerintahan,
namun beberapa pengamat berpendapat perimbangan kekuasaan telah bergeser terlalu
jauh ke arah badan legislatif.memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, dan
Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden, untuk masa jabatan 5 tahun. Wahid
membentuk Kabinet pertamanya pada awal November 1999 dan Kabinet kedua yang
dirombak pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid terus mengupayakan demokratisasi dan mendorong
pembaruan pertumbuhan ekonomi dalam kondisi yang penuh tantangan. Selain kelesuan
ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik regional,
antaretnis, dan antaragama, khususnya di Aceh, Maluku, dan Irian Jaya. Di Timor Barat,
masalah pengungsi Timor Timur dan kekerasan yang dilakukan oleh milisi pro-
Indonesia telah menyebabkan banyak masalah kemanusiaan dan sosial. Parlemen yang
semakin tegas sering kali menentang kebijakan dan hak prerogatif Presiden Wahid,
sehingga berkontribusi terhadap perdebatan politik nasional yang hidup dan terkadang
penuh dendam. Pada sidang tahunan pertama MPR pada bulan Agustus 2000, Presiden
Wahid memberikan penjelasan tentang kinerja pemerintahannya. Di bawah tekanan
DPR untuk meningkatkan manajemen dan koordinasi dalam pemerintahan, ia
mengeluarkan keputusan presiden yang memberikan Wakil Presiden Megawati kendali
atas penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.Presiden Abdurrahman Wahid mulai
menjabat pada bulan Oktober 1999, dan Indonesia serta IMF kembali menandatangani
EFF pada bulan Januari 2000. Program baru ini juga memiliki serangkaian target
ekonomi, reformasi struktural, dan tata kelola.
Dampak krisis keuangan dan ekonomi sangat parah. Pada tahun 1998, PDB riil
mengalami kontraksi sebesar 13,7%. Perekonomian mencapai titik terendah pada
pertengahan tahun 1999, dan pertumbuhan PDB riil pada tahun tersebut lesu sebesar
0,3%. Inflasi mencapai 77% pada tahun 1998 namun melambat menjadi 2% pada tahun
1999. Nilai tukar rupiah yang sempat berada pada kisaran Rp 2.400/USD1 pada tahun
1997 mencapai Rp 17.000/USD1 pada puncak kekerasan tahun 1998, kembali ke
kisaran Rp 6.500-8.000/ Kisaran USD1 pada akhir tahun 1998. Sejak saat itu, nilai
tukarnya diperdagangkan pada kisaran Rp 6.500-9.000/USD1, dengan volatilitas yang
signifikan. Meskipun kekeringan parah pada tahun 1997-98 memaksa Indonesia untuk
mengimpor beras dalam jumlah besar, impor beras secara keseluruhan turun drastis
pada tahap awal krisis sebagai akibat dari nilai tukar yang tidak menguntungkan,
berkurangnya permintaan dalam negeri, dan tidak adanya investasi baru. Meskipun data
pengangguran yang dapat diandalkan tidak tersedia, lapangan kerja di sektor formal
mengalami kontraksi yang signifikan.
Pada bulan September 2000, prospek perekonomian Indonesia beragam. Data
perekonomian yang dirilis baru-baru ini memberikan bukti bahwa perputaran
perekonomian yang dimulai pada kuartal kedua tahun 1999 terus berlanjut dan semakin
cepat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan PDB riil tahun-ke-tahun
mencapai 4,13% pada bulan Agustus 2000. Pertumbuhan PDB yang lebih tinggi dari
perkiraan ini didorong oleh tingginya ekspor, pertumbuhan manufaktur yang solid, dan
tingginya konsumsi rumah tangga. Pada saat yang sama, tingginya harga minyak bumi
meningkatkan nilai ekspor minyak Indonesia. Seiring dengan membaiknya
perekonomian, terjadi peningkatan signifikan dalam restrukturisasi utang perusahaan,
meskipun masih ada pertanyaan mengenai kelayakan beberapa kesepakatan. Hal yang
kurang positif adalah investasi asing masih tertinggal jauh dibandingkan sebelum krisis;
rupiah telah kehilangan lebih dari 22% nilainya sejak Presiden Wahid terpilih, dan pasar
saham berada dalam rekor terendah. Sektor perbankan dan korporasi di Indonesia masih
sangat lemah. Penjualan aset oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional melambat di
tengah gejolak kepemimpinan senior badan tersebut. Reformasi sektor perbankan
terhenti. Kemajuan dalam memberantas kasus korupsi sangatlah lambat dan tidak
menentu. Perkembangan-perkembangan ini telah menggoyahkan kepercayaan sebagian
besar analis terhadap kredibilitas reformasi pemerintahan Wahid.

2.4 Inflasi Perekonomian Indonesia Era Presiden Gus Dur

Anda mungkin juga menyukai