Anda di halaman 1dari 7

PENDEKATAN PERUNDANG-UNDANGAN (STATUTE

APPROACH) DALAM PENELITIAN HUKUM

1. DINAMIKA PERKEMBANGAN METODE PENELITIAN HUKUM

Dalam metode penelitian hukum menurut Prof. Dr.Soerjono Soekanto, SH., MA[1] terdiri dari penelitian
hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif terdiri dari
penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan hukum.
Sedangkan penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum dan
efektifitas hukum dalam dinamika sosial kemasyarakatan. Untuk itu hukum seringkali dihubungkan dengan
dinamika kemasyarakatan yang sedang dan akan terjadi.

Namun berbeda menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LLM[2] yang menyatakan bahwa
penelitian socio-legal research (penelitian hukum sosiologis) bukan penelitian hukum. Menurut beliau
penelitian hukum sosiologis maupun penelitian hukum hanya memiliki objek yang sama, yakni hukum.
Penelitian hukum sosiologis hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dan hukum hanya dipandang
dari segi luarnya saja, dan yang menjadi topik seringkali adalah efektifitas hukum, kepatuhan terhadap
hukum, implementasi hukum, hukum dan masalah sosial atau sebaliknya. Untuk itu hukum selalu
ditempatkan sebagai variabel terikat dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang
sebagai variabel bebas.[3] Dalam Penelitian hukum sosiologis untuk menganalisis hipotesa diperlukan data,
sehingga hasil yang diperoleh adalah menerima atau menolak hipotesis yang diajukan.

Berbeda menurut beliau dengan penelitian hukum, yang bukan mencari jawaban atas efektifitas hukum, oleh
sebab itu beliau menyatakan bahwa dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah hipotesis, variabel bebas,
data, sampel atau analisis kualitatif dan kuantitatif, yang diperlukan hanya pemahaman tentang Undang-
Undang yang ditelaah. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan sehingga
hasilnya memberikan preskripsi mengenai apa seyogianya.

Hemat saya tidak perlu harus saling menyalahkan antar satu dan yang lainnya. Namun yang pasti perdebatan
tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi
belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan
besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[4] Itulah yang kemudian berdampak kepada
perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di
Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan
Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-
Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von
Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[5] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman
pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan
perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum
positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral
positif (positive morality).[6]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-
anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[7] Kelsen juga menerangkan
bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni
sebagai kenyataan,[8] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap
itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan
rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[9], yakni sistem hukum
pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran
pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum
(perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum
(hierarki norma hukum Kelsen). Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua, bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi
perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan
dan pemberlakuan hukum.[10] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir
hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan
hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[11]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo,
Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[12] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan
dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[13] Hukum lahir dan berkembang seiring
dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Seperti gejala-
gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan
kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.
[14]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum
(kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana
rekayasa sosial,[15] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu
untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya,
mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di
gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri
hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum)
sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum
yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan
hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum
yang efektif.

2. PENDEKATAN DALAM PENELITIAN HUKUM NORMATIF

Terlepas dari perdebatan diatas, namun dalam tulisan ini akan menjelaskan tentang pendekatan-pendekatan
yang digunakan dalam metode penulisan hukum normatif, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis
terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan
berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan penelitian hukum. Penelitian hukum normatif ini adalah
suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum
dari segi normatifnya.[16]

Pada umumnya pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan Penelitian hukum normatif adalah
terdiri dari 5 (lima) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan Kasus (case
approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).[17] Pendekatan perundang-undangan
(statute approach) merupakan penelitian yang mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. Pendekatan perundang-
undangan (statute approach) biasanya di gunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam
penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan baik dalam
tataran teknis atau dalam pelaksanaannya dilapangan. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua
peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang
dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari
konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-Undang
yang satu dengan Undang-Undang yang lain.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan jenis pendekatan dalam penelitian hukum yang
memberikan sudut pandang analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari aspek
konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya, atau bahkan dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung
dalam penormaan sebuah peraturan kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan. Sebagian besar jenis
pendekatan ini dipakai untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan penormaan dalam suatu
perundang-undangan apakah telah sesuai dengan ruh yang terkandung dalam konsep-konsep hukum yang
mendasarinya. Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika
menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan
pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.

Pendekatan historis (historical approach) adalah pendekatan yang digunakan untuk mengetahui nilai-nilai
sejarah yang menjadi latar belakang serta yang berpengaruh[18] terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
sebuah peraturan perundang-undangan. Pendekatan historis (historical approach) ini banyak digunakan untuk
meneliti dan menelaah tentang sejarah kaitannya dengan pembahasan yang menjadi topik dalam pembahasan
dalam penelitian hukum. Biasanya peneliti menginginkan kebenaran tidak hanya berdasar pada kebenaran
yang bersifat dogmatik, akan tetapi menginginkan kebenaran yang bersifat kesejarahan yang terkandung
dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini dilakukan dalam kerangka untuk memahami filosofi
aturan hukum dari waktu ke waktu, serta memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi
aturan hukum tersebut. Cara pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan
pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi.

Pendekatan Kasus (case approach) adalah salah satu jenis pendekatan dalam penelitian hukum normatif yang
peneliti mencoba membangun argumentasi hukum dalam perspektif kasus konkrit yang terjadi dilapangan,
tentunya kasus tersebut erat kaitannya dengan kasus atau peristiwa hukum yang terjadi di lapangan. Untuk itu
biasanya jenis pendekatan ini tujuannya adalah untuk mencari nilai kebenaran serta jalan keluar terbaik
terhadap peristiwa hukum yang terjadi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Pendekatan ini dilakukan
dengan melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus
yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal
pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu
keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.

Pendekatan perbandingan (comparative approach) merupakan jenis pendekatan yang peneliti mencoba untuk
membandingkan baik dengan negara-negara lain maupun dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi
dalam satu negara. Untuk itu dalam penelitian ini dikenal dengan 2 Pendekatan perbandingan (comparative
approach), yakni pendekatan perbandingan makro (macro comparative approach) serta pendekatan
perbandingan mikro (microcomparative approach).[19] Pendekatan perbandingan makro (macro
comparative approach) digunakan untuk membandingkan suatu kejadian atau peristiwa hukum yang terjadi
diberbagai negara, sedangkan pendekatan perbandingan mikro (microcomparative approach) hanya
membandingkan dalam suatu negara tertentu dalam periode waktu tertentu.

3. PENGGUNAAN PENDEKATAN PERUNDANG-UNDANGAN ( STATUTE APPROACH)


DALAM PENELITIAN HUKUM

Sesuai dengan tugas yang diberikan kepada kelompok kami, bahwa ditugaskan untuk menelaah pendekatan
penelitian hukum dari segi pendekatan perundang-undangan (statute approach). Terdapat beberapa hal yang
akan menjadi fokus dalam penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam penelitian
hukum, diantaranya adalah :

1. Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara peraturan perundang-undangan


antara yang satu dengan yang lainnya,[20] baik yang berbentuk vertikal (hierarki perundang-undangan)
ataupun horizontal (perundang-undangan yang sederajat). Keserasian tersebut, yakni tidak ada pertentangan
antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu dengan yang lainnya saling
memperkuat ataupun mempertegas dan memperjelas. Dengan demikian pembuatan peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dengan tidak terlepas dari tiga
landasan atau dasar pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni; landasan filosofis, landasan yuridis,
dan landasan sosiologis.[21]

 Horizontal

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi suatu
bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut
vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.[22]

Dalam penelitian ini maka yang ditelaah adalah peraturan perundang-undangan suatu bidang tertentu,
didalam perspektif hierarkisnya. Sudah tentu bahwa telaah ini juga harus didasarkan pada fungsi masing-
masing perundang-undangana tersebut, sehingga taraf keserasiannya akan tampak dengan jelas. Misalnya,
suatu Peraturan Pemerintah yang setingkat lebih rendah dari undang-undang merupakan peraturan yang
diciptakan untuk menjalankan atau menyelenggarakan undang-undang.[23]

Dengan demikian dapat pula kita tinjau sebab-sebab terjadinya kasus yang dihadapi sepanjang mengenai
hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah.[24]

 Vertikal

Jenis penelitian ini sebagaimana dikutip dari Prof. Soerjono Soekanto[25] bertujuan untuk menggungkap
kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai
keserasian antara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama. Didalam penelitian
mengenai taraf sinkronisasi secara horizontal ini, mula-mula harus terlebih dahulu dipilih bidang yang akan
diteliti.[26] Setelah bidang tersebut ditentukan, misalnya bidang pemerintahan daerah, maka dicarilah
peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur segala aspek tentang pemerintahan daerah
tersebut. Aspek-aspek tersebut merupakan suatu kerangka untuk menyusun klasifikasi peraturan perundang-
undangan yang telah diseleksi, untuk kemudian dianalisa. Dari hasil analisa akan dapat terungkap, sampai
sejauh mana taraf sinkronisasi secara horizontal dari pelbagai macam peraturan perundang-undamgan yang
mengatur bidang pemerintahan daerah ini.

Selain mendapatkan data tentang peraturan perundangan-undangan untuk bidang-bidang tertentu secara
menyeluruh dan lengkap, maka penelitian dengan pendekatan ini juga dapat menemukan kelemahan-
kelemahan yang ada pada peraturan perundangan-undangan yang mengatur bidang-bidang tertentu. Dengan
demikian peneliti dapat membuat rekomendasi untuk melengkapi kekurangan-kekurangan, menghapus
kelebihan-kelebihan yang saling tumpang tindih, memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang ada, dan
seterusnya. Hasil-hasil penelitian ini tidak hanya berguna bagi penegak hukum, akan tetapi juga bagi ilmuwan
dan pendidikan hukum.[27]

1. Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka negara berkewajiban melaksanakan
pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam sistem
hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[28]

Berbagai faktor memengaruhi produk hukum di Indonesia dianggap lebih bersifat represif (menindas)
dibandingkan responsif. Adapun prosedur pembentukan peraturan yang baik adalah sebagai berikut :

1. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat
dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

 kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

1. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus


memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis maupun sosiologis.
2. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang
benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
3. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

 keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari


perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan.

1. Sistematika Peraturan Perundang-Undangan

Dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 didasari dengan pertimbangan bahwa undang-undang
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dirasa masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan
masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 memang perlu disempurnakan, khususnya materi-materi yang terkait dengan adanya
berbagai undang-undang yang memiliki dampak penting bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.

Menurut Lampiran Undang-Undang RI No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas :[29]

1. JUDUL
2. PEMBUKAAN
3. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
4. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
5. Konsiderans
6. Dasar, Hukum
7. Diktum
8. BATANG TUBUH
9. Ketentuan Umum
10. Materi Pokok yang Diatur
11. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
12. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
13. Ketentuan Penutup
14. PENUTUP
15. PENJELASAN (Jika diperlukan)
16. LAMPIRAN (Jika diperlukan)

1. Materi Peraturan Perundang-Undangan

Pengujian peraturan perundang-undangan yang diajukan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
kebanyakan terjadi karena alasan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sesuai dengan landasan dan
asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, begitu juga dengan materi muatan peraturan perundang-
undangan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan tidak mencerminkan nilai keadilan dalam
masyarakat.

Menurut Bagir Manan, ada 3 (tiga) landasan dalam menyusun peraturan perundang-undangan, yaitu :
landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan sosiologis.[30] Disamping itu menurut Jimly Asshiddiqie
ada 5 (lima) landasan pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni :[31]

1. Landasan filosofis

Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu
masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak diarahkan

1. Landasan Sosiologis

Setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan
masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat

1. Landasan Politis

Dalam konsiderans harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma
dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang
melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan
1. Landasan Yuridis

Dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis haruslah ditempatkan dalam konsiderans
mengingat

1. Landasan Administratif

Dasar ini bersifat fakultatif sesuai dengan kebutuhan, terdapat dalam konsiderans dengan kata
memperhatikan. Landasan ini berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara
administratif.

Sedangkan asas materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:[32]

1. Pengayoman
2. Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kekeluargaan
5. Kenusantaraan
6. Bhinneka Tunggal Ika
7. Keadilan
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum

dan pemerintahan

1. Ketertiban dan kepastian hukum


2. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan

Selain itu juga terdapat materi muatan yang bersifat khas bagi suatu Undang-Undang di Indonesia
sebagaimana dirangkum oleh Maria Farida Indrati diantaranya :[33]

1. Hal yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Tap MPR


2. Hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD
3. Hal yang mengatur pembatasan dan pengurangan Hak-hak Asasi Manusia
4. Hal yang mengatur hak dan kewajiban Warga Negara
5. Hal yang mengatur pembagian kekuasaan Negara di tingkat pusat
6. Hal yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga Tertinggi/Tinggi Negara
7. Hal yang mengatur pembagian wilayah/daerah Negara
8. Hal yang mengatur menetapkan siapa warga Negara dan bagaimana cara memperoleh/kehilangan
kewarganegaraan
9. Hal lain yang oleh suatu undang-undang dinyatakan untuk diatur dengan Undang-Undang

Meskipun secara teori dan peraturan perundang-undangan telah mengatur secara tegas mengenai landasan
dan asas peraturan perundang-undangan yang baik, namun tidak jarang kita temui adanya peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan asas peraturan perundang-undangan yang baik. Alhasil,
bermunculan gugatan pengujian formil maupun materil terhadap peraturan perundang-undangan yang telah
disahkan dan diundangkan oleh pemerintah

Anda mungkin juga menyukai