A. PENDAHULUAN
Didalam International Health Regulation (IHR) 2005 terdapat 8 kapasitas inti yang
harus dimiliki oleh setiap negara yaitu : surveilans dan respon, yang merupakan dua
kapasitas kapasitas inti minimal yang harus dilaksanakan dalam rangka deteksi dini, prevent
dan respon terhadap ancaman masalah Kesehatan masyarakat. Hal ini dituangkan dalam
visi Global Health Security Agenda (GHSA) untuk perlindungan dan keamanan global dari
ancaman penyakit infrksi, dimana surveilans dan respon berperan dalam hal pencegahan
dan mitigasi akibat dari Kejadian Luar Biasa (KLB) yang berhubungan dengan pathogen
berbahaya serta deteksi dini untuk memutuskan mata rantai penularan pada manusia dan
mengurangi dampak ekonomi, politik dan keamanan akibat KLB.
Meningkatnya mobilisasi manusia dan barang saat ini telah mendorong semakin
besarnya factor risiko penularan penyakit lintas dan antar negara seperti H5N1, H7N9,
MersCov, Ebola, COVID-19 dan Monkeypox serta ditemukannya laporan dari unit pelayanan
Kesehatan mengenai beberapa jenis penyakit baru yang belum diketahui.
B. TUJUAN
1. Umum :
Tersusunnya norma, standart, SOP dan kriteria dalam penyelenggaraan
epidemiologi penyakit tular vector, khususnya Demam Berdarah Dengue (DBD).
2. Tujuan khusus :
a. Menurunkan frekuensi KLB penyakit tular vector DBD
b. Menurunnya angka kesakitan penyakit tular vector DBD
c. Menurunnya angka kematian penyakit tular vector DBD
d. Menurunnya periode waktu KLB penyakit tular vector DBD
e. Membatasi wilayah yang terdampak KLB penyakit tular vector DBD
2
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
C. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, tentang Kesehatan.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit
Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan.
D. PENGERTIAN
1. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan
atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah/ wilayah dalam
krun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus kepada terjadinya
wabah. (Permenkes 1501 Tahun 2010).
2. Kriteria KLB. Suatu daerah atau wilayah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila
memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada suatu daerah.
b.
3. Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Meliputi : penyelidikan Epidemiologi;
penatalaksanaan penderita, yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan,
perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; pencegahan dan
pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat KLB/ Wabah;
penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya penanggulangan lainnya, mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1501/ Menkes/Per/2010.
4. Norma Penyelenggaraan Epidemiologi adalah aturan ataupun ketentuan yang sifatnya
mengikat suatu kelompok orang didalam masyarakat. Norma penyelenggaraan
epidemiologi adalah mempelajari kejadian dan distribusi masalah, yang berkaitan dengan
kesehatan beserta determinant, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dan
distribusi tersebut yang wajib mencakup tiga dimensi klasik variabel
epidemiologi: waktu , tempat , dan orang.
3
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
4
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
penyakit tular Vektor, termasuk penyakit-penyakit zoonotik yang potensial dapat menyerang
manusia.
Setiap area sekitar manusia harus diupayakan untuk dikaitkan dengan pemenuhan
standar baku mutu untuk Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit, yang
meliputi paling sedikit adalah :
1. Angka kepadatan Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit sesuai standar baku mutu.
2. Habitat perkembangbiakan Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit sesuai standar baku
mutu.
1. Beberapa Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit yang diketahui; antara lain :
a. Nyamuk
Nyamuk merupakan serangga kecil dan ramping, yang tubuhnya terdiri tiga bagian
terpisah, yaitu kepala (caput), dada (thorax), dan abdomen. Pada nyamuk betina,
antena mempunyai rambut pendek dan dikenal sebagai antena pilose. Pada
nyamuk jantan, antena mempunyai rambut panjang dan dikenal sebagai antena
plumose.
Nyamuk mempunyai sepasang sayap berfungsi sempurna, yaitu sayap bagian
depan. Sayap belakang tumbuh mengecil (rudimenter) sebagai halter dan
berfungsi sebagai alat keseimbangan. Nyamuk menghisap darah manusia; dan
dalam perilakunya tersebut dapat menyebabkan penularab berbagai penyakit;
antara lain adalah : Malaria, Demam Berdarah, Chikunya, Filariasis.
b. Lalat
Lalat termasuk ke dalam kelas serangga, mempunyai dua sayap, merupakan
kelompok serangga pengganggu dan sekaligus sebagai serangga penular penyakit;
karena memasuki kehidupan manusia dengan menghinggapi makanan, minuman,
dll. Berikut ini beberapa bakteri yang sering dibawa oleh lalat dan patut untuk
diwaspadai: Salmonella typhosa Spesies Salmonella yang lain E. coli Shigella
dysenteriae.
Tempat yang disukai lalat rumah untuk meletakkan telur adalah manur, feses,
sampah organik yang membusuk dan lembab. Adapun lalat hijau berkembang biak
di bahan yang cair atau semi cair yang berasal dari hewan, daging, ikan, bangkai,
5
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
sampah hewan, dan tanah yang mengandung kotoran hewan. Lalat hijau juga
meletakkan telur di luka hewan dan manusia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga
menyatakan bahwa ada banyak penyakit yang disebabkan oleh makanan dihinggapi
lalat, seperti: Disentri, Diare, Demam tifoid atau tipes, Kolera, Infeksi mata, Infeksi
kulit.
c. Kecoa
Sebagai vector mekanik bagi beberapa mikro organisme patogen, sebagai inang
perantara bagi beberapa spesies cacing. Penyakit yang ditularkan olehKecoa dapat
menyebabkan timbulnya reaksi-reaksi alergi seperti dermatitis, Streptococcus,
Salmonella dan lain-lain. Kecoa berperan dalam penyebaran beberapa
penyakit antara lain : Disentri, Diare, Cholera (Kolera), Virus Hepatitis A, Polio
pada anak-anak.
d. Pinjal
Pinjal termasuk dalam kelas Insecta. Pinjal bertelur kurang lebih 300-400 butir
selama hidupnya. Pinjal betina meletakkan telurnya di antara rambut maupun di
sarang tikus. Secara umum, ciri-ciri pinjal adalah tidak bersayap, kaki yang kuat
dan panjang, mempunyai mata tunggal, tipe menusuk dan menghisap darah,
segmentasi tubuh tidak jelas (batas antara kepala-dada tidak jelas, berukuran 1,5-
3,5 mm dan metamorfosis sempurna (telur, larva, pupa, dewasa). Pes atau sampar
(plague) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis.
Seseorang dapat terkena penyakit ini jika digigit pinjal (sejenis serangga) yang
terpapar bakteri Y. Pestis, setelah serangga tersebut menggigit hewan yang
terinfeksi.
e. Tikus
Semua jenis tikus komensal berjalan dengan telapak kakinya. Tikus Rattus
norvegicus (tikus got) berperilaku menggali lubang di tanah dan hidup di lubang
tersebut. Rattus rattus tanezumi (tikus rumah) tidak tinggal di tanah tetapi di
semak-semak dan atau di atap bangunan. Mus musculus (mencit) selalu berada di
dalam bangunan, sarangnya bisa ditemui di dalam dinding, lapisan atap (eternit),
kotak penyimpanan atau laci. Tikus termasuk binatang nokturnal yang aktif keluar
pada malam hari untuk mencari makan. Tikus dikenal sebagai binatang
kosmopolitan yaitu menempati hampir di semua habitat. Beberapa penyakit yang
6
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
7
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
Dengan sosialisasi dan penjelasan yang terstruktur dan massive kepada masyarakat,
diharapkan timbul kesadaran dan motivasi masyarakat tentang bahayanya Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit; sehingga ikut berperan dalam peengendalian dan
pencegahannya.
8
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
pada mukosa, perdarahan gusi atau hematoma pada daerah suntikan, melena dan
hati membengkak. Tanda perdarahan yang tidak tampak dapat diperiksa dengan
melakukan tes Torniquet (Rumple Leede). Bintik merah dikulit sebagai manifestasi
pecahnya kapiler darah dan disertai tanda-tanda kebocoran plasma yang dapat
dilihat dari pemeriksaan laboratorium adanya peningkatan kadar hematokrit
(hemokonsentrasi) dan/atau hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan pemeriksaan
radiologis adanya efusi pleura atau ascites. Pada panas hari ke 3 – 5 merupakan
fase kritis dimana pada saat penurunan suhu dapat terjadi sindrom syok dengue.
Panas tinggi mendadak, perdarahan dengan trombositopenia(trombosit <
100.000/mm3) dan hemokonsentrasi atau kenaikan hematokrit lebih dari 20 %
cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Banyak teori
patogenesis namun belum dapat dipahami sepenuhnya mengapa infeksi dengue
pada seseorang dapat menimbulkan gejala ringan sebaliknya pada yang lainnya
menimbulkan syok. Teori yang banyak dianut adalah teori infeksi sekunder dan
adanya reaksi imunitas didalam tubuh seorang penderita.
Sindrom Renjatan Dengue (SRD) ialah kasus DBD yang masuk dalam derajat III dan
IV dimana terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat
dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (≤ 20 mmHg) atau hipotensi yang ditandai
dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah sampai terjadi
syok/renjatan berat (tidak terabanya denyut nadi maupun tekanan darah).
Expanded Dengue Syndrom (EDS) adalah demam dengue yang disertai manifestasi
klinis yang tidak biasa (unusual manifestation) yang ditandai dengan kegagalan
organ berat seperti hati, ginjal, otak dan jantung.
b. Etiologi
Virus dengue termasuk dalam famili flaviviridae. Terdapat 4 tipe virus dengue
penyebab DBD yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Di Indonesia yang terbanyak
adalah tipe virus Den-1 dan Den-3.
9
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
a. Masa Inkubasi
Terdapat masa inkubasi ekstrinsik dan masa inkubasi intrinsik. Masa inkubasi
ekstrinsik merupakan periode waktu perkembangbiakan virus dalam kelenjar liur
nyamuk sampai dapat menularkan pada manusia yang berkisar 8 – 10 hari. Masa
inkubasi intrinsic merupakan periode waktu perkembangbiakan virus di dalam tubuh
manusia sejak masuk sampai timbulnya gejala penyakit yang berkisar 4 - 6 hari.
10
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
d. Epidemiologi
Penyakit Demam berdarah merupakan masalah kesehatan dunia termasuk Indonesia
dan sering menyebabkan KLB diberbagai wilayah dengan jumlah kasus dan kematian
yang cukup tinggi. DBD pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 di
Jakarta dan Surabaya dengan total kasus sebanyak 58 kasus (Angka Kesakitan,
Incidence rate (IR): 0,05 per 100.000 penduduk) dengan 24 kasus meninggal (Angka
kematian, Case fatality rate (CFR) : 41,3%). Dengan meningkatnya sarana
transportasi dan urbanisasi, saat ini kasus DBD ditemukan di seluruh provinsi dan
lebih dari 450 kabupaten/kota.
11
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
penemuan dini kasus yang diikuti dengan tatalaksana kasus yang benar, termasuk
monitoring secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya kebocoran plasma
berlebihan. Sementara upaya pencegahan diarahkan pada upaya pemutusan mata
rantai penularan manusia-nyamuk-manusia dengan pemberantasan habitat
perkembangbiakan nyamuk (breeding places), atau membunuh nyamuk dewasa
terinfeksi.
1) Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap laporan adanya penderita DBD,
terutama apabila terjadi peningkatan kejadian atau adanya kematian akibat DBD.
Pada daerah yang selama beberapa waktu tidak pernah ditemukan kasus DBD,
maka adanya satu kasus DBD perlu dilakukan penyelidikan epidemiologi.
Disamping upaya penegakan diagnosis, penyelidikan epidemiologi ditujukan
pada penemuan kasus lain disekitar penderita, kasus indeks, serta sumber dan
cara penularan. Penyelidikan epidemiologi juga ditujukan kepada identifikasi
adanya nyamuk penular DBD, tempat perindukan dan distribusinya.
Penyelidikan epidemiologi dapat menentukan kemungkinan peningkatan dan
penyebaran kasus DBD serta kesiapsiagaan penanggulangan KLB di Puskesmas,
Rumah Sakit, dan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, serta
kemungkinan peningkatan Sistem Kewaspadaan Dini KLB DBD. KLB DBD
dinyatakan telah berakhir apabila selama 14 hari keadaan telah kembali kepada
jumlah normal tanpa ada kematian karena DBD atau DD. Skrining awal
menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) Dengue → lihat pedoman
pencegahan dan pengendalian DBD
12
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
13
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
14
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
v. Penyuluhan
Penyuluhan dapat dilakukan oleh segenap tenaga kesehatan yang
dikoordinasikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
c) Evaluasi Pelaksanaan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase (coverage)
pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini dilakukan
dengan melakukan kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang
direncanakan untuk pengabutan, larvasidasi dan penyuluhan. Pada
kunjungan tersebut dilakukan wawancara apakah rumah sudah dilakukan
pengabutan, larvasidasi dan pemeriksaan jentik serta penyuluhan.
d) Evaluasi Hasil penanggulangan KLB
Penilaian ini ditujukan untuk mengetahui dampak upaya penanggulangan
terhadap jumlah penderita dan kematian DBD. Penilaian epidemiologis
dilakukan dengan membandingkan data kasus/ kematian DBD sebelum dan
sesudah penanggulangan KLB. Data-data tersebut digambarkan dalam grafik
harian, mingguan atau bulanan, serta dibandingkan pula dengan keadaan
tahun sebelumnya pada periode yang sama. (dalam bentuk laporan).
g. Formulir-formulir
15
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
16
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
17
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
F. REFERENSI
1. Ali Sulaiman dan Julitasari. Panduan Praktis Hepatitis A. Yayasan Penerbitan IDI, Maret
2000.
2. Beaver, PC., R.C. Jung, and E.W. Cupp. Clinical Parasitology, Lea & Febiger,
Philadelphia. 1984.
3. Bres, P., Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Kejadian Luar Biasa Petunjuk
Praktis, Gajah Mada University Press, Cetakan pertama, 1995, Yogjakarta.
4. Brunei.www.isid.org
5. Chin, James, Control of Communicable Diseases Manual , American Public Health
Association, 17th Editions, 2000, Washington
6. Christie AB, 1980. Infection Deseases :Epidemiology Epidemiology and Clinical
Practice.
18
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
19
Penyusunan Norma, Standart, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor-DBD
G. PENUTUP
Penyusunan Norma, Standar, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi ini
dibuat sebagai Pedoman dalam Pelaksanaan Epidemiologi Penyakit Tular Vektor, khususnya
Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru
dan Fasilitas Kesehatan baik Puskesmas maupun Rumah Sakit yang ada di Kota Banjarbaru.
Harapannya, Norma, Standar, SOP dan Kriteria Penyelenggaraan Epidemiologi
Penyakit Tular Vektor, khususnya Demam Berdarah Dengue (DBD) ini dapat bermanfaat
dan dipergunakan dalam pelaksanaan program.
20