Anda di halaman 1dari 34

1

Secret Admirer
[Exclusive Chapter and Special Chapter]
Written by Ejey

2
SEAN

Aku segera menjalankan motorku melewati berbagai macam kendaraan


sesaat setelah Anna memberiku Alamat tempat Zora berada. Tidak ada
yang lebih mengerikan dibanding membayangkan tubuhnya yang penuh
dengan darah karena terluka, lecet di berbagai bagian tubuhnya, dan
jangan lupa dengan lebam-lebam. Darahku mendidih membayangkan
hal itu.

Naomi masih tidak mau mengakui kesalahannya. Aku benar-


benar tidak habis pikir dengan jalan pikir wanita itu. Dirinya jelas-jelas
sudah memanipulasi Zora, berbuat semaunya, dan bahkan melibatkan
Zora yang sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan semua akar
masalah ini.

Aku-lah yang duluan menyukai Zora. Aku yang mendesaknya


untuk menerimaku. Zora tidak ada hubungannya dengan semua yang
terjadi. Dia hanya korban dari kegilaan Naomi. Begitu pula denganku.

Setelah melewati lalu lintas yang gila dengan kecepatan yang di


atas rata-rata, aku benar-benar sampai di Gedung yang tua dan
terbengkalai, Anna benar-benar menggunakan kemampuan dan
keahliannya yang terpendam di bidang IT. Aku berhutang banyak
padanya.

Tanpa ada keraguan, aku memasuki Gedung tua itu, dan berharap
melihat Zora dalam keadaan baik-baik saja. Aku benar-benar akan mati

3
jika melihatnya terluka karena aku. Tentu saja semua ini karena aku.
Dia tidak akan berada disini jika tidak memiliki hubungan apa-apa
denganku. Tetapi aku menyayanginya.

Gedung gelap bahkan di siang hari itu mengeluarkan bau seperti


barang yang sudah lama tidak terpakai ditambah dengan lantainya yang
berdebu membuat kesannya benar-benar membuat orang-orang tidak
akan mau untuk memasuki Gedung ini. Aku sendiri sudah jalan cukup
jauh, tetapi belum ada tanda-tanda aku melihat keberadaan Zora.

Aku berharap Anna tidak salah memberiku Alamat.

Suara sebuah kursi yang tertendang mengeluarkan gema suara di


Gedung kosong ini. Aku berlari secepat mungkin ke sumber suara
sampai suara teriakan dari orang yang sedari tadi aku cari terdengar.

“Sean! Jangan! Keluar!” Zora jelas menyuruhku untuk berlari


keluar, itu terdengar jelas dari teriakannya. “Keluar! Cari bantuan!”
teriaknya lagi, aku berada sepuluh kaki dari tempat dia terikat. Dan aku
jelas melakukan sebaliknya alih-alih mengikuti ucapannya yang
menyuruhku untuk keluar dan kembali meninggalkannya sendirian.

Zora terduduk lemas di lantai berdebu itu dengan tali manila


tebal yang melilit di tubuhnya. Rambut hitamnya berantakan tidak
karuan, matanya sembab karena menangi—aku meyakini, sudut
bibirnya yang berdarah dan lengan dan kakinya yang lecet. Sesuai
dengan bayanganku. Dia terluka. Karenaku.

Tanpa berpikir jernih lagi, aku berlari ke arahnya dan


membantunya keluar dari lilitan tali itu, setelahnya aku memegang
kedua pipinya, dan berusaha memeriksa apakah ia masih memiiki luka
lain yang tidak bisa aku lihat dari jauh, dan setelah memastikan tidak
ada luka lain, aku mengusap air matanya yang kembali keluar dengan
tanganku secara lembut.

4
Aku menariknya ke dalam pelukanku, menenangkannya. Tetapi
tangisnya semakin pecah saat berada di dalam pelukanku. Aku tahu dia
sangat ketakutan.

Dan gilanya aku baru menyadari bahwa sedari tadi di tempat aku
menemukan Zora, aku tidak menemukan orang lain kecuali Zora, tetapi
jelas aku mendengar suara kursi yang tertendang sebelumnya.

“Zora… dia—”

“Naomi,” potong Zora cepat diiringi dengan isak sisa tangisnya.


Dia sudah tahu ternyata. “Dan Angga,” lanjutnya.

Aku tertegun mendengar nama Angga keluar dari mulut Zora.


Aku berharap Angga yang dia maksud bukanlah Angga yang selama ini
kukenal. “Angga?” aku memastikan.

“Sean, dia Angga. Dia… ada yang aneh sama dia. Dia kayak bukan
Angga yang gue kenal, dia… brutal.”

Tidak salah lagi. Zora benar-benar memaksudkan Angga yang


selama ini menjadi teman baikku dengan Rehan. Angga yang terkenal
humoris diantara kami semua tidak mungkin melakukan hal seperti
ini—aku awalnya berpikir seperti itu, tetapi pikiranku berubah menjadi
‘Apa hubungannya Angga dengan Naomi? Mereka saling mengenal?
Bagaimana—’

“SEAN!” sebuah teriakan yang menusuk indra pendengaranku


membuyarkan isi kepalaku. Aku berbalik dan menemukan Angga dalam
keadaan yang berantakan, rambutnya berantakan, kantung mata yang
hitam. Sosok Angga yang belum pernah kulihat sebelumnya.

“Naomi tulus sama lo, dia beneran sayang sama lo, dia bahkan
gak pernah ngelihat cowok lain selain lo, tapi kenapa lo malah jadian
sama Zora? Kenapa lo malah tinggalin dan nyakitin dia? Gue gak bisa
lihat dia kecewa gitu, lo gak boleh lakuin semua ini, Naomi berhak
dengan yang lebih baik.”

5
“Angga, lo kenapa? Gue gak ngerti.”

Angga tertawa sarkas mendengar ucapanku. “Bagian mana lagi


yang gak lo ngerti, Sean? Lo mau gue jelasin dari awal, sedetail-detailnya
ke lo? Gitu?”

“Ya.” Dengan cepat aku menjawabnya. Tentu aku ingin


mendengar semuanya.

“Sean, semua bentuk dm, ancaman, terror, semuanya gue.


Naomi? Dia bahkan gak tersentuh. Emang benar dia sediain ruangan
yang isinya cuma foto sialan lo doang, tapi dia gak berbuat apa-apa
selain itu, dia bahkan gak lakuin apa-apa selain koleksi foto-foto lo di
ruangan itu,” Angga menjelaskan.

“Dia gak pantas dapat semua prasangka buruk lo, emang benar
Naomi juga ada di balik semua ini, karena dia alasan gue lakuin semua
ini.”

“Kenapa? Kenapa lo harus lakuin ini karena dia?”

“GUE SAYANG SAMA DIA SEAN!” teriak Angga lagi yang kini
terdengar diikuti dengan nada frustasi. “Gue suka dia sejak masih SMP,
iya gue satu SMP sama dia, deket dan akrab sampai gue harus gak satu
SMA sama dia, beruntung orang tua gue pindah ke dekat rumah dia, dan
hubungan gue sama Naomi tetap berteman baik-baik aja. Tapi setelah
di kenal lo, dia berubah, dia benar-benar cuma cerita tentang lo doang,
gue tahu dia jatuh cinta sama lo, tapi gue masih taruh harapan sama
dia.”

Angga… aku bahkan tidak menyangka dia memiliki sisi ini.

“Terus kenapa lo bertingkah dan bersikap seakan-akan gak kenal


sama Naomi pas pertama kali ketemu dia bareng gue?” aku kembali
mengajukan pertanyaan.

“Gue yang minta dia bersikap seolah-olah gak kenal sama gue,
biar rencana gue gak terbongkar.”

6
“Rencana?”

“Menurut lo kenapa gue mau berteman dan bersahabat sama lo


walaupun kita beda fakultas? Karena pure mau temenan sama lo? Engga
Sean, gue mau kenal baik sosok yang berhasil bikin Naomi mabuk cinta,
tapi apa yang gue dapat? Orang itu malah nyakitin orang yang gue
sayang dan tulus sayang sama dia.”

Aku menarik tangan Zora dan menggenggamnya dengan erat


untuk berada dan bersembunyi di balik tubuhku yang masih lebih tinggi
darinya saat mata Angga menatap sosok Zora yang berdiri ketakutan.

“Zora gak ada hubungannya sama semua ini, kenapa lo harus


sangkut pautin dia sama semua ini?”

“Dia juga penyebab semua ini, Sean. Kalau aja lo gak ketemu
sama dia, kalau aja dia gak datang dan ada di hidup lo, lo gak bakal
nyakitin hati dan perasaan Naomi, dia harusnya gak ada diantara lo
sama Naomi—”

“Gak ada apa-apa antara gue sama Naomi, bukan salah Zora kalau
dia yang berhasil narik perhatian gue, dia gak datang di Tengah-tengah
antara gue sama Naomi, karena sejak awal gue gak pernah anggap
Naomi lebih dari teman. Dan gue gak nyangka dia ada perasaan lebih ke
gue.” Potongku cepat.

Aku benar-benar meluruskan dan memperjelas bahwa hanya


Naomi yang menyukaiku, dan aku tidak pernah tahu dia menyimpan
dan memiliki perasaan seperti itu padaku.

“Brengsek!” tinju Angga mengenai tepat di wajahku.

Dan tentu aku membalasnya. Dan balasanku jauh lebih keras


dibandingkan pukulannya. Aku benar-benar tidak menyangka akan
berada pada fase perkelahian fisik dengan orang yang benar-benar aku
anggap sahabat.

7
Aku meninju Angga sampai tubuhnya tersungkur ke belakang.
Aku kemudian berjalan mendekatinya dan menarik kerah bajunya.
“Yang tadi buat lo karena berani ngelukain Zora,” ucapku sebelum
melanjutkan pukulan keduaku, kemudian aku berkata, “Yang ini karena
lo berani ngejebak dan ngelibatin Zora,” kemudia aku melanjutkan
pukulanku lagi, “Dan yang ini karena semua ancaman sampah lo,” dan
baru saja aku berniat kembali melayangkan tinjuku, Zora berhasil
menangkap tanganku dan menahannya.

“Jangan, lo bisa bunuh dia,” cegah Zora.

Mataku yang tadi dihalangi kabut amarah perlahan menjadi jelas


kembali. Aku melihat ke arah Angga dengan wajahnya yang sudah
penuh dengan darah karena pukulanku, dia terlihat lemah.

Tidak lama, langkah lari dari dua orang mulai terdengar


mendekat dan muncullah sosok Rehan dan Anna yang terkejut melihat
Angga tersungkur lemah kemudian beralih menatap Zora yang juga
sedang terluka sedang memeluk lenganku. Namun tatapanku masih
fokus melihat Angga yang sudah pingsan sehingga tidak merasakan
kehadiran Rehan dan Anna.

“Lo berdua gak apa-apa?” tanya Anna panik sambil berlari


mendekati Zora.

“Sean,” panggil Rehan saat sudah berada di hadapanku. “Gue yang


bakal urus dia dari sini, sekarang lo obatin luka lo juga, pelipis lo luka,”
ucapnya sambil merogoh sesuatu dari saku celananya. “Lo pakai mobil
Anna dulu, sekalian bawa Zora keluar, dia ketakutan.”

Mendengar nama Zora, aku mengembalikan fokusku pada


seorang gadis yang sedang berdiri tidak jauh berada di belakangku yang
kini sudah tidak memeluk lenganku, dan terlihat getaran kecil di jari-
jarinya. Dia masih terkejut. Hatiku sakit melihatnya ketakutan seperti
itu.

8
“Tolong beresin sisanya, Han. Gue bakal bawa Zora pulang,”
ucapku pada Rehan kemudian menarik Zora keluar dari Gedung itu dan
dengan perlahan menjalankan mobil Anna meninggalkan Gedung
tersebut.

Selain suara radio yang terus mengeluarkan suara nyanyian dari


lagi-lagu random, baik aku maupun Zora tidak mengeluarkan sepatah
kata-pun.

9
ZORA

Aku berusaha merangkai semua kejadian sedari awal sejak Sean mulai
meninggalkan Gedung tua itu. Berniat untuk berbicara secara baik-baik
dengan pengagum rahasia Sean yang aku kira selama ini adalah seorang
wanita dan orang yang sebenarnya tidak ku kenal, ternyata orang
tersebut adalah pria yang selama ini berada di dekatku, bahkan di dekat
sekalipun.

Aku sedang meminum kopi pesananku saat Angga datang


mengejutkanku dan memaksaku untuk membantunya mencari
ponselnya di dalam mobilnya, dan ternyata ia membiusku dan saat
tersadar aku sudah melihat diriku berada di dalam tempat asing dan
dengan tubuh yang terlilit dengan tali.

Aku berusaha berbicara secara baik-baik dengan Angga tetapi


emosi sudah tidak terbendung di matanya. Dia bukan sosok Angga yang
suka membuat humor di antara Rehan dan Sean.

Tubuhku terluka karena berusaha melepaskan diri dari lilitan tali


yang besar dan kasar. Aku ketakutan setengah mati saat Angga
menendang kursi karena frustasi. Beruntung setelah menendang kursi
itu, Angga meninggalkanku sendiri.

10
“Zora,” panggil Sean dan berhasil membuyarkan semua
ingatanku mengenai hal-hal mengerikan yang baru saja aku lalui. Aku
merasa lega dan takut saat melihat Sean menemukanku. Aku lega
karena aku melihat harapan bantuan, tetapi takut dia akan terluka
karena mencoba untuk menyelamatkanku.

“Kita ke rumah aku dulu ya? Buat bersihin luka kamu,” ucapnya.

Awalnya aku ingin menolak karena aku merasa aku harus segera
berlindung di bawah selimutku, tetapi membayangkan Ibuku melihat
aku pulang dengan keadaan luka yang belum diobati pasti membuatnya
khawatir.

“Gak apa-apa?” Sean kembali memastikan karena tidak kunjung


mendengar jawaban dariku.

“Iya,” jawabku pada akhirnya.

Kami kembali saling diam satu sama lain, namun kali ini Sean
menggenggam tanganku yang berada di atas pahaku, dan satu
tangannya lagi memegang kendali mobil.

Sean tidak banyak berkata-kata, ia lebih memilih untuk


menenangkanku dalam diam dibandingkan dengan kata-kata. Dan aku
menyukainya. Aku sedang tidak berada pada keadaan yang ingin
berbicara dan menjelaskan secara detail hal yang menimpaku kepada
siapapun. Tetapi Sean, tanpa aku mengatakannya pun ia sudah tahu
bahwa aku belum bisa menceritakan semuanya.

Aku tidak akan melepaskan pria ini dari hidupku.

Aku tidak akan menyerah atas dirinya.

Bahkan jika pengagum rahasianya yang lain akan bermunculan.


Aku akan mempertahankan apa yang menjadi milikku.

Bahkan pria ini sekalipun.

11
Sean hanya memarkirkan mobil Anna di halaman rumah. Tidak
ada mobil Ayahnya, dan aku berasumsi sendirian bahwa saat ini
rumahnya sedang kosong. Tidak apa-apa, kami hanya akan
membersihkan Lukaku dan Sean akan kembali mengantarku pulang.

“Duduk disini, aku ambil kotak P3K dulu di atas,” ucapnya


memintaku untuk duduk di sofa empuk di ruang tamu rumahnya yang
besar.

Ini bukan kali pertama aku ke rumah Sean disaat keadaan


rumahnya sedang kosong. Rumahnya memang sering kosong dan lebih
sering ditinggali Sean sendiri karena Ibu dan Ayahnya yang seorang
pengusaha dituntut pekerjaan untuk selalu melakukan perjalanan luar
negeri.

Sean datang dengan membawa kotak P3K di tangan kirinya dan


segelas air minum di tangan kanannya. “Minum.” Ia menyodorkan gelas
berisi air itu, dan aku menerimanya.

Dengan pelan Sean menarik halus lenganku agar bisa melihat


dengan jelas luka-luka lecet akibat aku yang berusaha melepaskan diri
dari lilitan tali yang kasar dan besar. Aku mendengarnya meringis saat
mengamati luka-lukaku.

Ia mulai membersihkan luka-lukaku dan tidak lupa


memberikannya salep untuk mempercat penyembuhannya. “Maaf ya,”
ucapnya tiba-tiba.

“Kenapa?” aku bertanya, karena seingatku alih-alih membuat


kesalahan, pria itu-lah yang menyelamatkanku. Aku tidak mengerti
ucapan maafnya itu ia tujukan untuk hal apa.

“Kamu luka karena aku,” jawabnya lemas.

“Kamu? Kalau aku gak salah ingat, Angga yang udah lilit aku pakai
tali dan aku luka karena berusaha buat lepasin diri dari tali itu sampai

12
lengan aku luka,” aku menjelaskan. Tanpa sadar aku tidak lagi
menggunakan kata lo-gue dengan Sean. Kupikir akan menggelikan,
ternyata ini tidak seburuk itu.

Sean tampak terkejut mendengarku tidak berkata lo-gue lagi


dengannya, tetapi ia memilih untuk menutupi keterkejutannya dan
kembali berbicara. “Kalau bukan karena aku, kamu gak bakal diculik
sama Angga,” ucapnya dengan menatap mataku dalam-dalam.

Ya Tuhan… aku sangat menyayangi pria ini.

Tangan Sean terulur untuk menyentuh luka di sudut bibirku.


Sentuhannya sangat lembut. Nyaris lembut sampai aku hampir tidak
merasakan sentuhan jarinya di bibirku.

13
SEAN

Melihatnya terluka karena terlibat denganku membuat hatiku sakit. Aku


tidak tahu apa yang akan terjadi lagi jika Zora tetap berhubungan
denganku. Aku tidak bisa menempatkannya lagi di dalam bahaya. Aku
harus mengakhirinya.

“Aku gak bisa bikin kamu dalam bahaya lagi, Zora,” ucapku
dengan nada rendah. Aku sendiri hampir tidak mengenali suaraku.
“Kamu lebih aman tanpa aku,” sambungku berat.

“…Apa?” suara ragu Zora terdengar.

“Aku pikir kayaknya kita sampai disini aja, kamu gak boleh dalam
bahaya lagi, apalagi karena aku. Kamu pantas dengan yang lebih baik,
yang gak bakalan bikin kamu dalam bahaya kayak aku.” Tanda tidak
terima terpampang jelas di wajah Zora.

“Gak! Aku gak mau!” tolaknya tegas.

“Zora…”

“Aku gak mau menyerah sama kamu.” Kini Zora yang


menggenggam erat tanganku dan memaksaku untuk menatap matanya,
sedari tadi aku hanya menunduk karena tidak berani untuk menatap
matanya langsung. Aku takut aku akan gagal dalam pendirianku. “Kita

14
bisa lewatin ini sama-sama, Sean. Kamu, aku, Kita.” Caranya
memperjelas kata kita seakan-akan mengartikan bahwa hubungan kami
benar-benar nyata.

“Semuanya karena aku, aku yang mengacau Zora.”

“Semua yang terjadi benar-benar diluar kendali kamu, insiden


penculikan dan lainnya adalah hal-hal diluar kendali kamu, tapi kamu
datang dan selamatin aku adalah hal yang berbeda, karena itu benar-
benar di dalam kendali kamu,” ucapnya sambil memegang wajahku.

Disini dirinya yang terluka. Tapi dia memilih tersenyum untuk


menenangkanku.

“Resiko dalam bahaya kalau kamu bareng aku terus,” aku


mengingatkan.

Zora kembali menampakkan senyum menenangkannya. “Aku


mengambil resiko itu,” ucapnya tanpa ragu. “Lagipula…” lanjutnya.
“Aku tidak akan dalam bahaya kalau bersamamu.”

Deg… ucapannya adalah illegal.

Aku menangkup wajahnya dan memberikan kecupan lembut di


keningnya.

Benar. Aku tidak bisa menyerah atas hubungan ini. Jika aku
melakukannya, maka yang kulakukan hanyalah menyabotase diriku
sendiri, berenang melawan arus. Seharusnya aku melepaskannya,
membiarkan diriku tenggelam mengikuti arus.

Kalau saja Zora akan berada dalam bahaya jika terus memiliki
hubungan denganku. Maka biarkan saja, aku yang akan memberikannya
perlindungan yang tidak akan bisa diberikan orang lain. Aku yang akan
menjaganya.

“Maaf,” gumamku.

“Buat apa lagi?”

15
“Karena udah nyuruh kamu buat putus sama aku, padahal aku
juga bakalan tersiksa.” Kekehan ringan keluar dari mulut kecilnya.

Aku merasa mataku mulai memanas, akupun memilih untuk


menyandarkan wajahku di lekukan lehernya yang jenjang. Aku tidak
ingin membuatnya melihatku menangis.

Dan aroma jeruk dari tubuhnya menyeruak hingga masuk ke


indra penciumanku.

16
ZORA

Saat wajahnya bertemu dengan leherku, kelembapan pun terasa. Aku


menyadari bahwa Sean sedang menangis. Aku tidak menyangka ia akan
menangis. Ia menyembunyikan wajah menangisnya dariku, tapi tidak
bisa menyembunyikan fakta bahwa ia sedang menangis karenaku.

“Baiklah, ku maafkan.” Aku sebenarnya tidak merasa Sean harus


meminta maaf akan hal tersebut. Tetapi karena pria itu meminta maaf
dan kemudian menangis, aku tidak ada pilihan lain selain menerima
permintaan maafnya yang tulus itu.

Kupikir berkencan dengan sahabat dari saudaraku sendiri adalah


salah satu hal yang mengerikan dan tidak seru. Tetapi berbeda dengan
apa yang kurasakan saat bersama Sean.

Awalnya kupikir hubunganku dengan Sean tidak akan bertahan


lama, tetapi saat ini aku sadar, akulah yang tidak ingin hubungan ini
berakhir dengan cepat.

Aku menariknya menjauh dari tubuhku. “Baiklah, sekarang mari


kita lihat separah apa luka di pelipis kamu,” ucapku mengingatkan
bahwa saat ini bukan hanya aku yang terluka. Tetapi dirinya juga.

“Aku gak apa-apa, luka goresan doang, bentar juga sembuh.”

17
“Tetap aja ahrus dibersihin biar gak infeksi,” debatku.

Aku mengambil kotak P3K yang sedari tadi berada di sisi kiri
Sean, dan mulai mensterilkan lukanya. Memang tidak parah, tapi tetap
saja semua jenis luka apalagi luka kemudian mengeluarkan darah perlu
untuk dibersihkan.

“Jangan lupa minum antibiotik juga ya,” aku kembali


mengingatkan.

“Jangan lupa juga minum antibiotik ya, sayang.”

Sayang. Kupu-kupu beterbangan di perutku. Ini pertama kalinya


Sean memanggilku dengan sebutan itu. Aku berharap pipi ku tidak
memerah karena ucapannya.

“Kenapa diam saja sayang? Kamu gak mau minum antibiotik


juga?” ucap Sean dengan mengulum senyumnya.

Aku tahu dia menyadari bahwa aku pipiku memerah.

“Jangan.”

“Apanya? Bicara yang jelas dong, biar aku bisa ngerti.” Lihatlah
dia bertindak seperti tidak mengetahui apa-apa tetapi sebenarnya ia
mengetahuinya. Wajahnya tidak bisa berbohong.

Aku menekan kapas yang kuberi obat antiseptik ke atas lukanya


sampai ia meringis kecil. “Jangan panggil sayang gitu.”

“Kenapa?” Serius saja, dia masih bertanya?! “Apa salahnya


memanggil pacar sendiri dengan sebutan sayang? Atau kamu mau ganti
pakai yang lain? Mau apa? Sweetheart? Baby? Babe? Marshmallow?”

“Marshmallow?”

“Untuk seseorang yang semanis marshmallow kayak kamu,


emang salah manggil marshmallow?”

18
Aku memukul bahunya. Ada apa dengan Sean sekarang? Seperti
bukan Sean pada biasanya. Tetapi tidak apa-apa, aku bisa merasakan
dengan benar bahwa hubungan kami mulai berkembang.

“Berhenti Sean,” ucapku sambil menyembunyikan wajahku di


dadanya. Dan gelak tawanya terdengar, Sean pun mengelus lembut
kepalaku dan mengecup pelan puncaknya.

“Oke, tapi aku serius, kamu juga harus minum antibiotik ya?”
ucapnya saat tawanya sudah mulai mereda.

Aku masih menyembunyikan wajahku yang memerah di dadanya


saat aku mengangguk mengerti.

Saat suasana yang tenang, aku bisa mendengar detak jantung


Sean yang berdetak cepat. Rupanya dia juga gugup. Sedari tadi sibuk
menggodaku, dan lihatlah dia. Menyembunyikan perasaan gugupnya
sendiri.

Sean memainkan rambutku yang terurai saat aku melepaskan


pelukanku padanya. Diam. Dia hanya memainkan rambutku dan
menatapku dalam-dalam.

“Sean.”

“Ya, Marshmallow?”

“Aku harus pulang, kalau Rehan udah sampai rumah dan gak
ngeliat aku di rumah, dia bakalan berisik.”

“Biarin aja,” balasnya acuh. Seolah tidak terganggu kalau Rehan


mencariku, dan ia masih asik dengan memainkan rambutku. “Kamu
juga bisa nginap disini.”

“Jangan gila kamu!” pekikku terkejut dengan ucapannya.

“Wow, aku cuma bercanda,” ia menatapku geli.

19
“Aku pulang sendiri,” putusku, namun dengan cepat Sean
menarikku kembali untuk duduk disampingnya saat aku baru saja
berdiri dari dudukku.

“Mau kemana?”

“Pulang.”

“Sendirian?”

“Iya.”

Sean menyentil pelan keningku. “Jangan gila kamu, aku yang


antar.”

20
SEAN

Aku memutuskan ketemu dengan Naomi untuk menyelesaikan kesalah-


pahaman diantara kami. Aku akan meluruskannya agar Naomi tidak
salah paham lagi, dan benar-benar mengakhirinya. Aku meminta Zora
untuk ikut masuk, tapi ia memilih untuk menungguku di dalam mobil.
Itu artinya ia tidak ingin aku berlama-lama berbincang dengan Naomi.
Baiklah.

Naomi datang dan duduk dengan canggung di depanku. Wajar


jika ia merasa canggung, aku sudah bersikap seakan-akan semua yang
terjadi adalah tindakannya, tanpa mengetahui faktanya terlebih dahulu.

“Gue udah dengar semuanya dari Angga, maaf. Gue gak tahu lo
punya perasaan gitu ke gue.” Aku membuka percakapan. Lagipula aku
memang harus meminta maaf padanya.

Naomi menghelah nafas berat sebelum mulai berbicara, “Gue juga


minta maaf udah berlebihan suka ke lo, gue tahu lo udah punya pacar,
tapi dalam diri gue yang lain, gue masih yakin kalau lo sama gue masih
ada kesempatan, gue salah, gue tahu dan gue minta maaf.”

“Lo gak salah karena suka sama gue, itu manusiawi, lo gak bisa
nyangkal perasaan lo, tapi lo bisa kendaliin.” Aku menahan ucapanku

21
selanjutnya. “Lo deserve better, Naomi. Lo harus mulai melihat dunia
luar, lihat disekitar lo, orang yang benar-benar sayang sama lo mungkin
ada di dekat diri lo sendiri.”

Dia tahu orang yang kumaksud adalah Angga.

Hanya orang bodoh yang tidak menyadari betapa besar perasaan


Angga terhadap Naomi.

Naomi tersenyum pahit. Tentu sakit jika orang yang kita sukai
meminta kita untuk melihat orang lain. Tapi tidak ada yang bisa
kulakukan untuk menyembuhkan patah hatinya. Aku juga memiliki
seseorang yang hatinya harus aku jaga.

“Gue gak nyesal suka sama lo, Sean,” ucapnya pelan. “Gue iri sama
Zora karena bisa dapetin lo, Zora sama lo sama-sama pantas buat
dapetin satu sama lain.”

“Lo juga harus temuin seseorang, yang sama-sama pantas dapetin


satu-sama lain.” Aku benar-benar berharap yang terbaik pada Naomi.

“Gue tahu gue gak bisa nahan lo lama-lama disini kan?”

“Naomi… jadi kita—”

“Tetap berteman dengan normal tanpa rasa canggung?” Naomi


memotong. “Entahlah, kita bisa aja tetap temenan, kalau canggung…
harusnya bisa hilang perlahan gak sih?”

Keren.

Dia menangani semuanya dengan keren.

“Minumannya biar gue yang bayar,” ucap Naomi lagi sebelum


benar-benar menghilang dari pandanganku.

Akupun ikut keluar dari café dan mendekati mobilku yang


terparkir dan ada Zora di dalamnya. Kaca mobilku tidak terlalu gelap
sehingga aku bisa melihat sekilas Zora dari luar, ia sedang bermain
game di ponselnya—sangat fokus sampai tidak menyadari kehadiranku.

22
Dengan tersenyum geli, aku mengetuk kaca jendela dan akhirnya
ia bisa mengalihkan fokusnya dari ponselnya. Ia menurunkan kaca
mobil dan menyambutku dengan senyum yang cerah. “Udah daritadi?”
tanyanya, aku menggeleng.

“Main game apa sih? Fokus banget kayaknya.” Aku memaksa


kepalaku masuk melalui jendela agar dapat melihat apa yang
sebenarnya Zora lakukan dengan ponselnya.

“Tadi Rehan telepon.” Ya. Sejak kemarin aku belum berbicara


dengan Rehan. Jadi aku tidak tahu-menahu mengenai Angga.

“Kenapa?”

“Angga… Rehan gak laporin Angga ke polisi, dia nunggu


Keputusan kamu, lagipula kata Rehan saat ini kamu yang paling
dirugikan dengan gangguan yang Angga akibatkan.”

Polisi… Angga… sahabat. Bukan. Mantan sahabat, lebih tepatnya.


Aku tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini. Melaporkan
orang yang kuanggap sahabat pada polisi karena perilakunya yang
menganggu.

“Gimana? Kamu udah bikin Keputusan?”

“Iya.”

“Gimana? Kamu mau laporin Angga?” ada nada cemas di suara


Zora.

Aku berjalan mengitari dan masuk ke dalam mobil dan duduk


dibalik kemudi. Tanpa menjawab aku mengacak-acak rambut Zora.
“Tidak, dia udah bicarain alasan dia ngelakuin itu, dia gak bakal ganggu
aku lagi, aku gak berniat ngasih dia efek jera dari dalam penjara.”

Senyum bangga terukir di bibir Zora. Aku tahu, ia pun berharap


aku tidak membiarkan Angga masuk ke dalam penjara, dan berharap
aku memiliki cara lain untuk membuat Angga menyadari perilakunya.
Zora memang seperti itu.

23
Dia adalah Zora-ku.

Dan aku adalah Sean-nya.

“Mau aku kabarin Rehan tentang Keputusan kamu?” tanyanya


memastikan.

Aku kembali menggeleng. “Engga usah, biar aku aja yang kabarin
dia.”

Banyak hal-hal yang tidak terduga di umurku yang ke 22 ini. Aku


jatuh cinta, kemudian mendapat pesan dari pengagum rahasia—yang
ternyata adalah temanku sendiri, mendapatkan cinta seseorang yang
tidak kubalas, dan tentu mendapatkan cinta seseorang yang bisa aku
balas lebih besar dari perasaan cintanya padaku.

“Aku cinta kamu, Zora.” Mendengar pernyataan cintaku yang tiba-


tiba membuat Zora tersentak.

“Apa?”

“Aku cinta kamu, sampai gila rasanya,” aku melanjutkan. “Aku


khawatir kehidupan cintamu akan berakhir bersamaku. Kau tidak apa-
apa dengan itu?”

“Kamu bisa janji sama aku kalau kita itu nyata?” Zora balik
bertanya.

“Tentu saja, aku berjanji. Katakan apa yang kamu mau Zora?”

Zora mendekatkan wajahnya ke telingaku dan membisikkan


sesuatu yang membuat jantungku berdegup kencang. “Aku suka nama
belakangmu, Sean Daviandra. Aku mau itu.”

Aku berusaha mengontrol nafasku agar setiap kata yang akan


keluar akan terdengar dengan jelas. “Apa itu kata lain dari aku juga
cinta kamu, Sean?”

“Aku bakal simpan itu sampai saat yang tepat.”

Wanita ini membunuhku.

24
Dan juga menyelamatkanku.

Aku bisa gila karena permainan Tarik ulurnya. Tapi aku tidak bisa
menghilangkannya. Itu adalah ciri khas Zora. Bukan Zora jika tidak
bermain Tarik ulur denganku.

“Kamu benar-benar bikin aku gila, Zora.” Aku menariknya untuk


mengecup keningnya kemudian mengacak-acak rambutnya lagi.

Ia tidak suka rambutnya berantakan. Dia akan menampakkan


wajah kesalnya seketika jika rambutnya berantakan.

Dan aku suka melihatnya kesal.

Itu karena dia akan terlihat seperti Zora.

Zora-ku.

25
EPILOG

ZORA

Satu tahun kemudian.

“Ayo Zora, cepat tekan Enter.” Sean terus menerus memintaku menekan
enter untuk melihat pengumuman kelulusanku pada salah satu
universitas ternama yang menyediakan program studi fashion design
yang benar-benar menjadi mimpiku semenjak dulu.

Di hari ulang tahun Sean yang ke-23 bertepatan dengan hari


pengumumanku, karena itu saat ini aku sedang berada di ruang tamu
rumahnya dengan Ibunya yang sibuk memasak untuk acara ulang tahun
Sean secara kecil-kecilan. Sekaligus untuk acara selamat karena Sean
berhasil meluncurkan Perusahaan start-up nya sendiri.

“Aku takut, Sean! Kalau aku gak lulus gimana dong? Masa harus
nunggu setahun lagi?” aku merengek dan sekaligus menggila karena
penasaran setengah mati dengan hasilnya tetapi, tidak memiliki
keberanian untuk mengeceknya.

“Gak apa-apa, gak ada kata terlambat buat nuntut ilmu, ayo di
coba dulu.” Sean mengarahkan tanganku ke bagian enter di laptopnya.

26
“Akkk! Gak mau!” Aku tidak mau bertingkah seperti anak kecil,
tapi aku benar-benar takut hasilnya tidak akan mencapai ekspektasiku.

“Gimana kalau aku dulu yang lihat, nanti hasilnya biar aku yang
kasi tau?” Sean mengusulkan dan dengan cepat aku menyetujuinya.

Aku menggeser laptop itu ke hadapan Sean, sedangkan aku


pindah kebelakang laptop. Sean dengan cepat menekan enter sesaat
setelah laptop itu beralih ke hadapannya.

Aku memandanginya dengan tatapan harap-harap cemas.

Ekspresi Sean tidak terbaca.

Aku tidak lolos. Aku pasti tidak lolos. Dan aku harus menunggu
setahun lagi untuk mendapat kesempatan itu.

“Zora… kamu…” suara Sean lemas.

“Tidak apa-apa,” ucapku diikuti dengan senyum menenangkan


yang palsu. “Aku bisa menunggu untuk tahun depan.”

“Aku tidak bisa,” ujar Sean lagi. “Mulai hari ini kamu gak bakal
punya banyak waktu buat kencan sama aku, tugas-tugas mendesain
kamu yang bakalan ambil semua waktu kamu.”

Ucapannya menyambarku seperti petir.

Aku langsung berlari ke samping Sean dan melihat laptop.

Selamat, Anda dinyatakan Lolos.

Tulisan tebal dan hitam itu terpampang jelas, tulisan itu memberi
ucapan selamat, bukan maaf.

Aku lolos! Aku lolos!

Dengan spontan aku berlari ke dalam pelukan Sean dan


menyembur telinganya dengan teriakan histeris karena masih tidak
percaya aku lolos.

27
Mungkin karena teriakanku, Ibu Sean juga keluar dari dapur dan
mendapatiku berpelukan dengan Sean. Bodohnya Sean bukan
melepaskannya namun semakin mengeratkan pelukannya.

Tapi Ibu Sean tetap mendekatiku dan bertanya dengan suara


tenang. “Apa yang terjadi, sayang?”

“Aku lolos ibu! Fashion design!” pekikku bersemangat.

Aku sudah terlalu sering berkunjung di rumah Sean sehingga


Ibunya menyuruhku memanggilnya Ibu alih-alih memanggilnya dengan
sebutan tante. Dia bilang kami sudah saling mengenal, dan Sean tidak
pernah se-serius ini dengan seorang wanita. Aku adalah wanita pertama
yang ia kenalkan pada Ibunya.

“ZORA! AKU TAHU KAMU BAKALAN SUKSES!” Ibu Sean ikut


histeris dan menarikku dari pelukan Sean untuk ia peluk.

Tidak lupa aku juga mengabari semua keluargaku. Dan mereka


semua senang atas pencapaianku.

“Aku akan punya menantu fashion designer! Apa yang aku


lakukan di masa lalu?!” celutukan Ibu Sean yang menyebutku secara
tidak langsung sebagai menantu membuat pipiku memerah di dalam
pelukannya. Beruntung Sean tidak bisa melihat wajahku yang memerah.

“Jangan panggil Zora menantu Ma, aku sama dia belum juga
nikah,” balas Sean malas.

“Kenapa tidak? Cepat atau lambat juga akan jadi menantu.”

“Oh tentu,” ucapannya terpotong kemudian ia melihat ke arahku


seakan meminta persetujuan. “Kalau dia mau terima lamaran aku
nanti.”

Sean Daviandra. Kau membuatku gila.

28
SPECIAL EXTRA CHAPTER
SEAN

Empat tahun kemudian.

Zora terlihat berbahagia di acara wisudanya. Ia mengenakan gaun yang


ia rancang sendiri. Aku membiarkannya mengambil gambar bersama
keluarga dan teman-temannya selama yang ia mau. Aku tidak mendekat
sama sekali sampai Zora sendirilah yang memanggilku untuk berfoto
bersama.

Aku menyodorkan buket bunga mawar yang dihias dengan


dandelion disekitarnya. Terlihat Anggun. Seperti pemiliknya.

“Terima kasih,” ucapnya saat menerima buket bungaku dan


memberiku kecupan singkat di pipi kanan. “Kayaknya aku gak bisa
makan malam bareng berdua sama kamu deh hari ini, mama sama papa
aku mau ngadain acara barbeque malam nanti.” Nada bersalah
terdengar di suaranya.

“Take your time, aku bisa memonopoli1 waktu kamu besok”

Ya, lagipula siapa yang mau melewatkan acara wisuda anaknya


dengan sia-sia tanpa mengadakan suatu acara?

1
Menguasai, mengambil.

29
Sehari kemudian.

Aku memutuskan untuk mengajak Zora ke rumah yang baru aku


beli. Aku merombak penuh rumah itu menjadi lebih modern. Letaknya
yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan membuat suasananya menjadi
tenang.

Aku mengajak Zora untuk memasuki rumah yang didominasi


dengan warna putih dan beige itu, rumah dengan lantai 2, dan
suasananya yang membuat siapapun merasa enggan untuk keluar
rumah.

“Cantik banget, kamu mau beli?” Dia tentu tidak tahu bahwa
rumah itu adalah milikku.

“Buat kamu.”

“Apa?”

“Hadiah…” aku merentangkan tanganku sambil berjalan


mendahului Zora. “Untuk kelulusan kamu.”

Mata Zora terbelalak karena terkejut. “Jangan gila Sean! Aku


sudah senang karena bungamu kemarin, rumah ini terlalu… besar. Aku
gak bisa terima ini.”

“Gimana dong? Masa aku harus tinggal sendirian disini?”

“Kamu bisa ajak orang tua kamu buat tinggal disini,” usul Zora.

“Aku udah beli rumah dan mobil baru buat mereka, jadi sekarang
aku beli rumah buat calon istriku—” ucapanku terpotong. “Tentu kalau
dia mau terima aku.”

Aku merogoh sebuah kotak kecil yang di dalamnya berisi ratusan


juta ribu rupiah. Aku kemudia berlutut di hadapannya dan membuka
kotak kecil itu, Zora menutup mulutnya dengan kedua tangan saat aku
berlutut dan mengeluarkan cincin. Aku yakin dia sama sekali tidak
memikirkan hal ini. Dia tidak menyangkanya. Aku tidak pernah
menyinggung masalah pernikahan selama kami berpacaran.

30
“Zora, nikah yuk?”

Zora terkekeh dengan ucapanku untuk melamarnya. Tapi dia


paham bahwa aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku.

“Ya! Ya! Ya! Ya! Beribu-ribu kali YA!” ucapnya diikuti isak tangis
bahagia.

Tanpa ragu aku memakaikan cincin itu ke dalam jari langsingnya.

“Mama papa udah tahu? Rehan?” Zora bertanya padaku, tapi


tatapannya tetap mengarah ke arah cincinnya. Selama berpacaran Zora
selalu menolak untuk diberikan hadiah mahal, dan mengharapkan
sesuatu yang sederhana dan berarti.

Kali ini aku ingin membuatnya mewah dan berarti.

“Aku minta izin duluan sama mama papa kamu, sama Rehan juga.
Abis itu ke mama papa aku, semuanya dengan gampang bilang iya dan
boleh, jadi gak ada alasan buat aku nunda lagi.”

“Aku kira kamu gak ada pikiran buat nikah.” Sudah kuduga.

“Zora, kamu pernah bilang kalau kamu gak lolos di universitas,


kamu bakal nunggu setahun lagi buat daftar kan?” aku memastikan,
Zora mengangguk membenarkan. “Sebenarnya aku juga kepikiran,
kalau kamu terus nunda kuliah kamu, berarti waktu aku buat lamar
kamu juga ikut tertunda, itu karena aku gak mau lamar kamu pas kamu
lagi sibuk sama perkuliahan.”

Zora melingkarkan lengannya di leherku setelah mendengar


penjelasanku. “Gak ada alasan buat aku gak cinta sama kamu, Sean.”

Aku memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mendengar kata


itu keluar dari mulutnya.

“Aku cinta kamu, Sean Daviandra. Terima kasih sudah


menunggu.”

Aku menariknya ke dalam pelukanku.

31
Kupikir aku tidak akan sejauh ini mencintai Zora.

Tetapi aku lepas kendali dan membiarkan diriku mencintai Zora


sedalam-dalamnya.

Zora-ku…

Dan aku sebagai Sean-nya.

TAMAT

32
THANKS TO

Selalu dan akan selamanya yang menjadi pertama, kepada Allah SWT.
yang benar-benar kasi aku kesempatan lain untuk meluangkan hobi dan
mimpi aku… Aku selalu percaya dengan kekuatan doa dan usaha, tidak
pernah sekalipun aku merasa sia-sia karena telah berdoa. Allah
memberiku kemampuan untuk di asah, kegemaran untuk dilakukan,
waktu yang berharga, dan cinta yang luar biasa. Tidak ada kata yang
bisa mengekspresikan rasa terima kasihku pada Allah SWT.

Kedua, buat orang tua aku, mama… papa… selalu mengatakan


untuk lakukan sesuatu yang kamu suka selama hal itu positif,
menghargai semua proses aku, menghargai semua usaha aku, walaupun
gak semua usaha aku berbuah baik, tetapi kalimat semangat dan positif
dari mereka selalu memberi dorongan kuat. Aku mencintai mereka.
Tidak ada manusia lain yang bisa mengalahkan rasa cintaku pada mama
papa aku.

Ketiga, buat my coolest sister! I got u girl!!!!!! My supportive friend-


sister ever!!!! I’ll never forget your spirit!!!! Dan buat kakak cowok aku…
semoga kita memiliki banyak komunikasi kedepannya.

Keempat, buat sahabat gila aku!!! Susah, senang, sedih, dia udah
dengar semua keluh kesah aku, aku merasa senang bisa ketemu dan
berteman sama dia, aku bersyukur dia ada di hidup aku… pertemanan
yang sudah berjalan kurang lebih 5 tahun… aku berdoa dan berharap
akan bertahan lama.

DANNNN YANG GAK KALAH SPECIAL: EYDER

Big thanks to All Eyder, mau yang baca sampai special extra
chapter ini dan yang engga, eyder semua ada tempat tersendiri di hati
aku!! Mendapat dukungan sebanyak ini dengan karya yang belum besar
bikin aku berpikir buat terus bekerja keras kedepannya, sampai aku
bisa membalas semua cinta Eyder terhadap karya-karya aku. Karena
tanpa Eyder, karyaku juga bukan apa-apa dan tidak berarti apa-apa.

33
Aku bakalan terus berusaha untuk bikin cerita luar biasa untuk
memenuhi ekspektasi Eyder! Pastinya aku udah mikir matang-matang
untuk cerita selanjutnya, aku berharap Eyder juga berharap cerita ini
publish secepatnya!!! Tunggu aku Eyder! Aku bakalan kembali dengan
cerita yang gak kalah seru dengan cerita sebelumnya.

“Dia mencintainya… bahkan saat semuanya menentang. Bahkan


keadaan.”

[Coming Soon – 1st Series]

34

Anda mungkin juga menyukai