Anda di halaman 1dari 266

Pengakuan Sertifikasi Halal

i
Secara Internasional
Halaman ini sengaja dikosongkan
PENGAKUAN SERTIFIKASI HALAL
SECARA INTERNASIONAL

Penulis:
Dr. Hj. Renny Supriyatni, S.H., M.H | Deviana, S.H., M.H | Prof. Huala Adolf |
Dr. Helza Nova Lita, S.H., M.H | Shandy Primandasetio, S.H, LL.M |
Helitha Novianty Muchtar, S.H., M.H

Reviewer:
Assoc. Prof. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.

Editor Eksternal:
Dr. Zulham, S.HI., M.Hum.

Editor Bank Indonesia:


Muhamad Irfan S, S.E., M.Sc | Kesumawati Syafei, S.H., LL.M |
Rizkaul Hasanah, S.H | Rhea Diva Carissa, S.Tr.Sos., M. Kessos

Penerbit:
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah – Bank Indonesia

Pengakuan Sertifikasi Halal


iii
Secara Internasional
PENGAKUAN SERTIFIKASI HALAL
SECARA INTERNASIONAL

ISBN: 978-623-97961-2-9

Penulis :
Dr. Hj. Renny Supriyatni, S.H., M.H
Deviana, S.H., M.H
Prof. Huala Adolf
Dr. Helza Nova Lita, S.H., M.H
Shandy Primandasetio, S.H., LL.M
Helitha Novianty Muchtar, S.H., M.H

Reviewer :
Assoc. Prof. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.

Editor Eksternal :
Dr. Zulham, S.HI., M.Hum.

Editor Bank Indonesia :


Muhamad Irfan S, S.E., M.Sc
Kesumawati Syafei, S.H., LL.M
Rizkaul Hasanah, S.H
Rhea Diva Carissa, S.Tr.Sos., M. Kessos

Penerbit :
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah – Bank Indonesia
Website : www.bi.go.id

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak buku ini dengan bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis
dari penerbit

Pengakuan Sertifikasi Halal


iv
Secara Internasional
SAMBUTAN
GUBERNUR BANK INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu'alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan


ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang dengan rahmat dan karunia-Nya
buku “Pengakuan Sertifikasi Halal secara
Internasional” ini dapat diterbitkan oleh Bank
Indonesia, bekerja sama dengan Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad).
Salawat dan salam bagi Nabi Muhammad Saw,
beserta keluarga dan para sahabat beliau, yang telah menyampaikan risalah dan
pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi kita semua.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di


dunia, memiliki peran penting dalam perdagangan produk halal global. Seiring
tren permintaan global terhadap produk halal yang semakin meningkat, peluang
pengembangan produk halal di Indonesia semakin besar. Untuk mendorong
perkembangan produk halal, perlu didukung sertifikasi halal yang diterima dan
diakui secara internasional. Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan dan
pemahaman mengenai aspek-aspek dalam rangka pengakuan internasional
terhadap sertifikasi halal Indonesia diharapkan semakin memperluas pasar
produk halal nasional.

Buku “Pengakuan Sertifikasi Halal secara Internasional ”ini disusun


oleh Bank Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas

Pengakuan Sertifikasi Halal


v
Secara Internasional
Padjadjaran serta narasumber ahli lain yang memiliki kompetensi dan
pengetahuan terkait. Berbagai aspek sertifikasi halal dijelaskan secara
komprehensif dalam buku ini, mencakup aspek pertimbangan halal dan haram
sesuai syariah, regulasi, serta praktik secara nasional maupun internasional.
Buku ini juga memuat materi mengenai pentingnya pengakuan sertifikasi halal
internasional dalam hukum perdagangan internasional.

Buku ini diharapkan dapat menambah pengayaan bahan ajar dan/atau


referensi bagi para mahasiswa fakultas hukum baik S1 maupun S2, terutama
pada mata kuliah Hukum Ekonomi, Hukum Ekonomi Islam, Hukum Ekonomi
Internasional, Hukum Dagang Internasional, dan Hukum Perjanjian
Internasional. Di samping itu, buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
para stakeholder termasuk para pengambil kebijakan terkait sertifikasi halal
dan/atau produk halal nasional.

Akhir kata, pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima


kasih kepada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Departemen Ekonomi dan
Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia, para penulis, serta seluruh pihak
yang telah mendukung penyusunan buku ini. Semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan rahmat dan rida-Nya kepada kita dalam mewujudkan Indonesia
sebagai pusat ekonomi dan keuangan syariah global .

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, November 2022

Perry Warjiyo

Pengakuan Sertifikasi Halal


vi
Secara Internasional
KATA PENGANTAR
REKTOR UNIVERSITAS PADJAJARAN

Segala puji dan syukur dipanjatkan


kehadirat Illahi Robbi, karena hingga saat
ini telah diberi berbagai kenikmatan dan
kesehatan yang menyertai aktivitas
keseharian kita. Selanjutnya, pada
kesempatan ini saya mengucapkan
terimakasih telah diberi kesempatan untuk
memberikan Kata Pengantar Pada Buku
“Pengakuan Sertifikasi Halal secara
Internasional”.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia,


memiliki potensi pangsa pasar yang meningkat untuk produk halal seiring
dengan meningkatnya kesadaran akan gaya hidup halal. Berdasarkan State of the
Global Islamic Economy Report 2021/2022, Indonesia berada di peringkat 4
(empat) dan tetap menjaga performa sebagai Top 10 di 4 (empat) sektor
unggulan yaitu makanan halal, modest fashion, Islamic finance, obat-obatan dan
kosmetik. Berdasarkan gambaran tersebut, harapan untuk menjadikan Indonesia
sebagai pusat atau destinasi halal dunia (global halal hub) dan produsen terbesar
produk halal di dunia bukan sesuatu yang mustahil.

Indonesia memiliki modal halal (halal capital) yang dapat menunjang


Indonesia dari dua sisi. Pertama, dari sisi modal religius dan demografis,
Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Artinya,
kebutuhan akan produk halal dipastikan meningkat dan semakin menantang.
Secara global, produk halal telah menjadi bagian bisnis dunia yang nilainya

Pengakuan Sertifikasi Halal


vii
Secara Internasional
sangat besar dan menjanjikan, bukan saja di kalangan masyarakat muslim tetapi
juga non-muslim. Bahkan dapat diamati bukan hanya menjadi pusat perhatian
negara-negara Islam, tetapi juga negara-negara “sekuler” atau minoritas muslim.
Kedua, modal halal lainnya adalah modal sosial dan kultural. Munculnya tren
gaya hidup halal; kreativitas masyarakat membuat aneka produk; kekayaan
kuliner dan produk unggulan atau khas daerah; daya tahan masyarakat
menghadapi kesulitan; tradisi gotong royong adalah sebagian penyangga industri
halal Indonesia yang potensial untuk ditingkatkan.

Buku yang berjudul “Pengakuan Sertifikasi Halal secara


Internasional”, dapat memberikan pengetahuan yang komprehensif mengenai
halal, khususnya mengenai sertifikasi halal baik secara nasional maupun
internasional. Buku ini telah memaparkan berbagai materi yang di antaranya
kajian hukum Islam, hukum nasional Indonesia, dan instrumen hukum
internasional, termasuk best practices di lapangan sebagai kajian yang sangat
dibutuhkan tidak hanya bagi akademisi, tapi juga praktisi, termasuk pemangku
kebijakan baik nasional maupun internasional. Tampaknya buku ini diharapkan
dapat menjadi salah satu referensi untuk penyusunan regulasi pengakuan
sertifikasi halal secara internasional, termasuk dalam penyusunan perjanjian
internasional baik secara bilateral, maupun multilateral.

Universitas Padjadjaran berperan aktif dalam mendukung ekosistem


halal di Indonesia dibuktikan dengan adanya pengembangan kajian serta
pembentukan lembaga khusus halal di Unpad. Buku mengenai Pengakuan
Sertifikasi Halal secara Internasional ini menjadi salah satu kontribusi Unpad,
khususnya Fakultas Hukum Unpad yang bekerja sama dengan Departemen
Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia untuk mendukung ekosistem
halal baik secara nasional maupun internasional. Di samping itu, penerbitan
buku ini merupakan salah satu perwujudan cetak biru kebijakan pengembangan

Pengakuan Sertifikasi Halal


viii
Secara Internasional
ekonomi dan keuangan syariah Bank Indonesia, khususnya pilar ketiga, yaitu
riset, asesmen, dan edukasi.

Akhir kata, saya sebagai Rektor Unpad sangat mengapresiasi


diterbitkannya buku yang berjudul “Pengakuan Sertifikasi Halal secara
Internasional”, semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi
pemerhati sertifikasi halal baik secara nasional maupun internasional. Aamiin
Ya Rabbal Alamiin.

Bandung, November 2022

Rina Indiastuti

Pengakuan Sertifikasi Halal


ix
Secara Internasional
KATA PENGANTAR
DUTA BESAR REPUBLIK INDONESIA UNTUK AUSTRIA DAN
SLOVENIA SERTA WAKIL TETAP REPUBLIK INDONESIA UNTUK
PBB DAN ORGANISASI INTERNASIONAL LAINNYA DI WINA

Saya menyambut baik terbitnya buku


“Pengakuan Sertifikasi Halal secara
Internasional” serta memberikan apresiasi yang
setingginya kepada Departemen Ekonomi dan
Keuangan Syariah Bank Indonesia dan Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran yang
memprakarsai lahirnya karya penting ini.

Dalam pengalaman saya selama ini, tidak


dapat dipungkiri sangat sulit mencari berbagai
bahan literatur hukum mengenai isu halal secara komprehensif dalam Bahasa
Indonesia. Buku ini menjadi mata air segar yang menghapus dahaga di tengah
gurun kering kelangkaan literatur hukum nasional mengenai isu halal.

Salah satu yang perlu diapresiasi dalam buku ini adalah luasnya area
tulisan, bukan saja menyentuh prinsip dasar hukum Islam, namun juga memuat
tulisan yang mengkaji hukum nasional dan hukum internasional mengenai isu
halal. Pembagiannya ke dalam lima bagian Bab terpisah telah mampu
mengakomodasi berbagai aspek isu halal. Tentunya, buku ini dapat menjadi batu
loncatan bagi penelitian-penelitian mengenai isu halal berikutnya.

Saya percaya, buku ini tidak hanya berguna bagi diskursus akademik,
tetapi juga bermanfaat bagi penyusun kebijakan (policy maker) di kalangan
pemerintah, para praktisi, industri dan berbagai pemangku kepentingan nasional
lainnya.

Pengakuan Sertifikasi Halal


x
Secara Internasional
Saya harap berbagai tulisan para pakar dalam buku ini dapat
memperkaya diskusi nasional dalam upaya untuk menciptakan keseimbangan
antara kebijakan untuk memberikan perlindungan konsumen di dalam negeri
atas produk halal melalui mandatory halal certificate, namun di saat yang sama
juga memfasilitasi kelancaran market access tanpa melanggar aturan hukum
perdagangan internasional, khususnya dalam ketentuan World Trade
Organization (WTO).

Isu sertifikasi halal bukan saja penting karena merupakan mandat dari
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, namun
juga telah memberi kontribusi dalam jurisprudensi internasional di WTO
khususnya kasus Measures Concerning the Importation of Chicken Meat and
Chicken Products (DS484) antara Indonesia dan Brazil.

Pembahasan kerja sama isu halal terus berkembang dalam berbagai


proses negosiasi free trade agreement (FTA) atau comprehensive partnership
agreement (CEPA). Pemerintah Indonesia juga terus mendorong penyusunan
perjanjian bilateral mengenai mutual recognition agreement (MRA) baik
pengakuan sertifikasi halal maupun pengakuan akreditasi halal. Lahirnya buku
ini akan memperkaya referensi Indonesia untuk perundingan-perundingan
tersebut.
Jakarta, November 2022

Damos Dumoli Agusman

Pengakuan Sertifikasi Halal


xi
Secara Internasional
DAFTAR ISI

SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA ........................i

KATA PENGANTAR REKTOR UNIVERSITAS


PADJAJARAN ............................................................................ iii

KATA PENGANTAR DUTA BESAR REPUBLIK


INDONESIA UNTUK AUSTRIA DAN SLOVENIA ................vi

BAB I PENGATURAN HALAL MENURUT HUKUM


ISLAM DAN HUKUM POSITIF ............................... 1
A. Halal Menurut Ketentuan Hukum Islam ........................... 1
B. Halal Menurut Peraturan Perundang-undangan
(Hasil Ijtihad) ...................................................................... 26
C. Ekosistem Halal dan Potensi Ekonomi Halal ................... 50

BAB II STUDI KOMPARATIF


PENGATURAN SERTIFIKASI HALAL ............... 68
A. Pengatuan Sertifikasi Halal ........................................ 68
B. Peran Pemerintah dalam Penyelenggaraan
Sertifikasi Halal di Indonesia ...................................... 96
C. Perbandingan Penyelenggaraan Sertifikasi
Halal ............................................................................. 114

BAB III PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN


INTERNASIONAL ................................................. 128
A. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan
Internasional ............................................................... 130
B. Standardisasi dan Standar/Syarat Hal dalam
Perdagangan Internasional (WTO) ......................... 142
C. Standar Halal dalam Hukum WTO ......................... 144
D. Prospek Pengaturan Sertifikasi Halal dalam
Hukum Perdagangan Internasional ......................... 150

Pengakuan Sertifikasi Halal


xii
Secara Internasional
BAB IV PENERAPAN PRINSIP EKONOMI SYARIAH
DALAM HUKUM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL ................................................ 157
A. Perdagangan Internasional dalam
Hukum Islam .............................................................. 157
B. Penerapan Prinsip Syariah pada Kontrak
Perdagangan Internasional ....................................... 163
C. Penerapan Prinsip Ekonomi Syariah pada
Pembayaran Internasional Melalui Letter of
Credit (L/C) ................................................................. 174
D. International Best Practises ........................................ 179

BAB V PENGATURAN DAN PENGAKUAN


SERTIFIKASI HALAL INTERNASIONAL ....... 201
A. Pemberlakuan Sertifikasi Halal dan Hambatan
Teknis dalam Perdagangan (Technical Barrier
to Trade) ............................................................................. 201
B. Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian
Bilateral Pengakuan Sertifikasi Halal ............................. 215
C. Pengaturan dan Sertifikasi Halal Regional .................. 225

Pengakuan Sertifikasi Halal


xiii
Secara Internasional
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB I

PENGATURAN HALAL
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Penulis: Dr. Hj. Renny Supriyatni, S.H., M.H

Tulisan dalam bab ini menjelaskan mengenai halal dalam perspektif hukum Islam, ketentuan
halal selalu diperbandingkan dengan kata haram. Hukum Islam bersumberkan Kitab suci
al-Qur’anul Karim, sunah Rasulullah Saw., ijtihad, ijma’ (para ulama), dan qiyas, serta
prinsip-prinsip hukum lainnya. Sumber-sumber hukum Islam dapat dibagi kedalam 2 (dua)
kelompok dasar hukum, yaitu: dasar/dalil naqliyah, yang terdiri dari al-Qur’an dan hadis
serta dasar/dalil aqliyah atau ra’yu, yang merupakan hasil daya pikir (ijtihad) berupa
peraturan perundang-undangan. Pada bagian akhir tulisan terdiri atas: ekosistem halal &
potensi ekonomi halal. Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang sebagian besar
menganut ajaran agama Islam. Masyarakat muslim merupakan pangsa pasar utama di
negeri ini, dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam, maka sudah
sewajarnya mendapat perhatian yang khusus dari pemerintah. Islam sebagai agama
ketuhanan yang sempurna (Q.S. Al-Maidah (5):3) memandang konsep tersebut sebagai
konsep halal dan haram dalam perspektif yang jelas sebagai bagian dari syariat Islam.

A. Halal Menurut Ketentuan Hukum Islam


Pertanyaan yang muncul diawali dengan apa itu halal dan mengapa penting?
Halal merupakan hal yang fundamental bagi konsumen Muslim sehingga sudah
selayaknya hak konsumen/pengguna/pemakai atas produk halal dijamin oleh
pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Bagaimana cara
konsumen Muslim mendapat jaminan bahwa produk yang dikonsumsi adalah
halal? Suatu produk dijamin kehalalannya jika telah melalui proses sertifikasi
halal berdasarkan fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
menyatakan bahwa produk tersebut halal sesuai dengan syariat Islam. Hal ini
merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada
kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang, yaitu Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Data menunjukkan populasi Muslim di dunia mencapai 28,68% dari
populasi dunia atau sekitar 2,18 miliar penduduk, sedangkan menurut data

Pengakuan Sertifikasi Halal


1
Secara Internasional
sensus penduduk BPS 2010 populasi Muslim di Indonesia sebesar 87,18% dari
total 237.641.326 penduduk Indonesia dan merupakan populasi Muslim terbesar
di dunia.1 Berdasarkan data tersebut tentu permintaan pasar terhadap produk
halal terus meningkat. Halal menjadi isu yang sangat sensitif di Indonesia seiring
perkembangan lembaga dan bisnis halal global. Gambaran tersebut dapat dilihat
pada posisi Indonesia dalam sektor industri halal global tahun 2021/2022,
Indonesia berada di peringkat 4 (empat) dan masuk ke dalam peringkat top 15
terbesar di dunia di beberapa sektor industri halal. Peningkatan ini di antaranya
didorong oleh meningkatnya investasi Luar Negeri (LN) ke Indonesia,
sebagaimana terlihat pada gambar berikut: 2

Gambar 1.1 Peringkat Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia di


Dunia
Sumber: State of the Global Islamic Economy Report 2021/2022

1
Lilik Fatmawati, “Persyaratan dan Prosedur Sertifikasi Halal”, diakses melalui
http://diskopukm.jatimprov.go.id/public/uploads/1573705029_SERTIFIKASI%20HALAL.pdf
?msclkid=602bc503cefe11ecbf55b4230334a4fb
2
MUI, 2009, Urgensi Sertifikasi Halal dalam Ijma’ Ulama, Keputusan Ijtima’ Ulama, Komisi
Fatwa Se Indonesia III, hlm. 259. Lihat pula, M. Khairi ZM., Peluang Implementasi Sertifikasi
Halal terhadap Daya Saing Provinsi Jabar, FGD Halal Padjadjaran, Unpad, Bandung, Kamis,
28 April 2016, Slide 1. Lihat pula, No Name, 2019, Pengantar Sertifikasi Halal dan Sistem
Jaminan Halal, Materi Pelatihan Jaminan Produk Halal, Unpad, Bandung, Slide 4. Lihat pula,
Ro’fah Setyowati, 2020, Ketua Umum APPHESI, Bali, Slide. 5

Pengakuan Sertifikasi Halal


2
Secara Internasional
Bagi umat Islam, mengonsumsi barang/produk dan jasa/pelayanan yang
halal merupakan suatu kebutuhan yang mutlak karena merupakan perintah
dalam agama Islam, tidak hanya bersifat anjuran tapi merupakan kewajiban yang
harus dilakukan oleh umat Islam.3 Ajaran Islam melihat makanan dan minuman
serta pelayanan/jasa yang halal sebagai faktor yang amat penting bagi kehidupan
umat manusia, di samping ibadah-ibadah lainnya. Masyarakat Muslim Indonesia
merupakan pangsa pasar utama di negeri ini, dengan jumlah penduduk yang
mayoritas beragama Islam, maka sudah sewajarnya mendapat perhatian yang
khusus dari pemerintah. Hak-hak mereka sebagai konsumen, barang/produk dan
jasa/pelayanan sudah selayaknya dijamin oleh pemerintah melalui berbagai
produk peraturan perundang-undangan. Masyarakat Muslim Indonesia mulai
menyadari bahwa banyak barang/produk dan jasa/pelayanan lainnya yang
diragukan kehalalannya karena mereka tidak menemukan petunjuk yang
menandakan bahwa kebutuhannya itu halal dikonsumsi dan digunakan. Apabila
umat Islam merasa tidak terpenuhi hak konstitusionalnya berupa perlindungan
hukum adanya jaminan kehalalan pangan, makanan dan minuman yang
dikonsumsi dan produk jasa lain yang digunakan akan berdampak luas bagi
perekonomian nasional.
Perspektif hukum Islam, ketentuan halal selalu dibandingkan dengan
ketentuan haram. Sebelum menjelaskan ketentuan halal dan haram dalam hukum
Islam, penting untuk menjelaskan bahwa hukum Islam bersumber dari al-Qur'an,
sunah, ijmā’, qiyās, serta prinsip dan kaidah hukum Islam lainnya. Berdasarkan

3
Reny Supryatni, “Eksistensi dan Tanggung jawab Majelis Ulama Indonesia dalam Penrapan
Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal Produk Pangan di Indonesia”, Jurnal Ilmu Ekonomi
Syariah, Vol. III, No. 2, Juli 2011, hlm. 332. Lihat pula, Bahrul, “Halal Pelindung Akidah
Umat”, (http://www.pkesinteraktif.com/lifestyle/halal/111-halal-pelindung-akidah-umat.html),
diakses 17 September 2021.

Pengakuan Sertifikasi Halal


3
Secara Internasional
sumbernya, dasar/dalil hukum Islam bersumber dari 2 (dua) kelompok dasar
hukum, yaitu:4
1. dasar/dalil naqliyah, yaitu al-Qur’an dan hadis; dan
2. dasar/dalil ‘aqliyah atau ra’yu, merupakan hasil daya pikir (ijtihad) untuk
merumuskan ketentuan hukum mu’āmalat (duniawi) yang belum ditetapkan
dalam dalil naqliyah.
Sebagaimana Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitab al-Risālah fī Ushūli
al-Fiqh, bahwa hukum Islam bersumber dari al-Qur’an, hadis, ijmā’, dan qiyās.
Hal tersebut bersandarkan pada al-Qur'an Surat An-Nisa’ [4]:59 yang
terjemahan lengkapnya, sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan
Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Berdasarkan ayat tersebut, selanjutnya Imam Syafi’i menjelaskan
sebagai berikut:
1. kalimat “taatilah Allah dan taatilah Rasul” dalam ayat tersebut merujuk
kepada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam;
2. kalimat “ulil amri di antara kamu” merujuk kepada ijmā’ sebagai sumber
hukum Islam; dan
3. kalimat “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya)”,
menunjuk kepada qiyās sebagai sumber hukum Islam.
Penjelasan tentang sumber hukum Islam tersebut, juga dijelaskan dalam
beberapa hadis Rasulullah Saw yang menjadi landasan hukum, antara lain:5

4
Mohamad Daud Ali, 1999, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 68.
5
Sulaiman Abdulah, 2007, Sumber Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 82-83. Lihat pula,
Saidus Sahar, 1996, Asas-asas Hukum Islam, Alumni, Bandung, hlm 31-32.

Pengakuan Sertifikasi Halal


4
Secara Internasional
1. rasullulah Saw bersabda ”Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, tidak
sekali-kali kamu sesat sesudahnya, yakni: Kitabullah dan Sunnahku”;
2. rasulullah Saw bersabda ”Bila kamu berijtihad dan ternyata benar akan
berpahala dua dan kalaupun salah akan berpahala satu”;
Pada uraian selanjutnya dari tulisan ini akan dibahas pengertian halal
berdasarkan al-Qur’an, hadis, dan ijtihād,6 namun demikian akan ditinjau
terlebih dahulu halal dari segi etimologi. Halal secara etimologi berarti
melepaskan ikatan, dibolehkan, tidak dilarang menurut hukum agama.7
Ensiklopedia Hukum Islam menjelaskan, halal adalah segala sesuatu yang
menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya atau sesuatu yang
boleh dikerjakan menurut syari’at.8 Sedangkan ṭayyib yang sering disandingkan
dengan kata halal artinya bermutu dan tidak membahayakan kesehatan. Ajaran
Islam mengharuskan manusia mengonsumsi makananan dan minuman serta jasa
yang halal dan ṭayyib, artinya yang sesuai dengan tuntunan agama dan bermutu
serta tidak merusak kesehatan.9 Kata “halal” berasal dari kata “ḥalālan” (Bahasa
Arab) dengan asal kata “ḥalla” yang bermakna lepas atau tidak terikat. Ḥalālan
berarti hal-hal yang dibolehkan dan dapat dilakukan karena telah bebas atau
tidak terikat dengan ketentuan yang melarangnya. Halal menurut pengertian
bahasa adalah perkara atau perbuatan yang dibolehkan, diharuskan, diizinkan

6
Ijtihad merupakan usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap
kemampuan yang ada (optimal), dilakukan oleh ahli hukum fiqaha/mujtahid yang memenuhi
syarat, dengan menggunakan akal pikiran untuk menemukan hukum yang belum jelas atau belum
ada ketentuannya, baik dalam Qur’an maupun Hadis” dalam Renny Supriyatni, 2010, Pengantar
Hukum Islam, Dasar-dasar dan Aktualisasinya dalam Hukum Positif, Widya Padjadjaran,
Bandung, hlm. 45.
7
Mochtar Effendy, 2001, Ensiklopedia dan Filsafat,Universitas Sriwijaya, Palembang hlm. 285.
Lihat pula, Sapta Nirwandar, 2017, Halal Lifestyle, Tren & Peluang Bisnis, Gramedia, Jakarta,
hlm. 34.
8
Abdul Azis Dahlan, et.al, 1996, Ensiklopedia Hukum Islam, Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta,
hlm. 505-506. Lihat pula, Fitriah Setia Rini, 2020, Bahan Halal dan Proses Produk Halal,
Kemenag R.I, Jakarta, hlm. 3-4.
9
www.halalmuibali.or.id, diakses pada 20 September 2021. Lihat pula, Slamet Ibrahim S,
Konsep Halal-Haram dan Perkembangan Sertifikasi Halal di Indonesia, dalam Workshop yang
diselenggarakan Salman ITB, Bandung, 27-28 April 2019, Slide 7.

Pengakuan Sertifikasi Halal


5
Secara Internasional
atau dibenarkan syariat Islam. Sedangkan “haram” adalah kebalikan dari “halal”
yang mempunyai arti perkara atau perbuatan yang dilarang atau tidak
diperbolehkan oleh syari’at Islam. Konsep halal dan haram dalam syariat Islam
mencakup ibadah, akidah, muamalah, akhlak, proses dan barang.
Halal dapat diartikan juga hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena
bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya atau
berarti sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. 10
Sedangkan kata “haram” yaitu suatu perintah yang tidak boleh dilaksanakan,
apabila dilaksanakan berdosa, dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. 11
Konsumsi dalam konsep Islam, mengharuskan manusia untuk memakan
makanan yang halal dan menyehatkan (ḥalālan ṭayyiban), seperti yang
tercantum dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah [2]:168 yang artinya: “Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi….”, dan
al-Qur’an Surat al-Baqarah [2]:172 “Hai orang-orang yang beriman, makanlah
di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan padamu. Dan bersyukurlah
pada Allah jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah”. Selanjutnya
dalam al-Qur’an Surat an-Nahl [16]:114 “Makanlah oleh kamu sekalian apa-apa
yang telah diberikan oleh Allah kepada kamu sekalian yang halal lagi baik, dan
syukurilah olehmu nikmat Allah jika kamu sekalian hanya akan mengabdi
kepada-Nya” dan al-Qur’an Surat al-Maidah [5]:88 “Makanlah oleh kamu
sekalian makanan yang telah diberikan oleh Allah kepada kamu yang halal lagi
baik dan bertakwalah kepada Allah, Zat yang kamu sekalian beriman kepada-
Nya”.

10
Mohammad Jauhar, 2009, Makanan Halal Menurut Islam, Lintas Pustaka, Jakarta, hlm.102.
11
Abu Muhamad Ivan dan Anwar Abu Bakar, 2008, Tuntunan Shalat Lengkap, Fajar Utama
Madani, Bandung, hlm. 2. Reny Supryatni, 2011, Op.cit, hlm. 334.

Pengakuan Sertifikasi Halal


6
Secara Internasional
Pengertian halal secara etimologis berarti boleh,12 sedangkan pengertian
secara terminologisnya haram berarti segala sesuatu yang diperintahkan oleh
syarak untuk meninggalkannya dan bagi yang melanggarnya akan mendapatkan
sanksi hukum.13 Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa istilah halal
mengandung konotasi segala sesuatu yang diperbolehkan menurut ajaran Islam,
sedangkan yang dimaksud dengan haram adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang
dilarang menurut ajaran Islam. Perspektif ajaran Islam, mengonsumsi dan
menggunakan benda yang halal, suci dan baik (ḥalālan ṭayyiban) merupakan
kewajiban bagi setiap umat-Nya. Menurut hukum Islam, secara garis besar
perkara (benda) haram terbagi menjadi dua:14
1. haram secara fisik (li żātihi), suatu benda diharamkan oleh agama, yaitu
yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an seperti khamar, babi, bangkai dan
sebagainya;
2. haram dari cara mendapatkannya (li gairihi), dimana bendanya halal (tidak
haram) namun cara penanganan atau memperolehnya tidak dibenarkan oleh
ajaran Islam, yaitu makanan atau barang yang didapatkan dengan cara yang
haram seperti mencuri, korupsi, menipu, judi dan sebagainya.
Islam menuntut umatnya untuk mengikuti, memakai, dan
mempraktikkan hal-hal yang halal dalam kehidupan sehari-harinya. Akan tetapi,
Islam juga mengharuskan umat Muslim untuk menghindari dan melarang hal-
hal yang haram. Beberapa hal yang harus diperhatikan antara halal dan haram
sebagai berikut:15

12
Sa’dy Abu Jaib, 1988, al-Qomus al-Fiqhy Lughatan wa Isthilāahan, Cet. III, Dār al-Fikr,
Damaskus, hlm. 99. Lihat pula Ali bin Muḥammad Al-Jurjāni, tanpa tahun, al-Ta’rifāt, Al-
Haramain, Singapura –Jeddah, hlm. 92.
13
Ibid, hlm. 86.
14
MUI, 2009, Op.cit, hlm. 255-257. Lihat pula, MUI, 2010, Himpunan Fatwa MUI, Jakarta,
hlm. 17.
15
Mohammad Jauhar, Op.cit, hlm. 33-34. Lihat pula, Renny Supriyatni, 2010, Op.cit, hlm. 54-
55.

Pengakuan Sertifikasi Halal


7
Secara Internasional
1. harām: tidak sah secara hukum;
2. makrūh: tidak dianjurkan;
3. masbūḥ: diperkirakan;
4. jāiz /Makrūh: mungkin tapi tidak dianjurkan;
5. jāiz/Maqbūl: diterima;
6. mustaḥab: disukai, disarankan, atau diharapkan sekali;
7. halāl: sah secara hukum.
Selanjutnya hukum Islam telah menetapkan prinsip-prinsip dasar tentang
konsep halal dan haram yang diformulasikan melalui kaidah hukum Islam,
diantaranya:16
1. Asal Sesuatu yang Diciptakan Allah adalah Halal dan Mubah
Konsep pertama adalah “asal segala sesuatu adalah halal dan mubah, dan tidak
ada yang haram kecuali apa yang disebutkan oleh naṣ yang ṣaḥīḥ dan tegas dari
pembuat syari’at (syāri’) yang mengharamkannya”. Tidak ada satupun yang
haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syāri' (Allah) yang
mengharamkannya. Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justru karena ada
sebab dan hikmat. Dengan demikian arena haram dalam syari’at Islam itu
sebenarnya sangat sempit dan arena halal sangat luas, sedangkan sesuatu yang
tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu
halal dan mubah. Mubah adalah pekerjaan yang boleh dilaksanakan atau
ditinggalkan, keduanya tidak berdosa.17 Salah satu dasar yang mendukung
prinsip ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Bazzar dimana
Rasulullah Saw bersabda, yang artinya:

16
Muhammad Yusuf Qardhawi, 1993, Halal dan Haram dalam Islam, PT Bina Ilmu, Jakarta,
hlm. 2 dan 31. Lihat pula, Abdul Azis Dahlan, et.al, 1996, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta:
Ikhtiar Baru van Hoeve, hlm. 505-506. Lihat pula, Mohammad Jauhar, Op.cit, hlm.27-28. Slamet
Ibrahim S, Op.cit, Slide 10-11.
17
Abu Muhammad Ivan dan Anwar Abu Bakar, Loc. Cit.

Pengakuan Sertifikasi Halal


8
Secara Internasional
“Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa
yang diharamkan-Nya adalah haram; sedang apa yang didiamkan-Nya
adalah dimaafkan (diperkenankan). Oleh karena itu terimalah perkenan
dari Allah itu, karena sesungguhnya Allah tidak akan pernah lupa sama
sekali.”
Pada dasarnya, semua hal (di luar Ibadah dan akidah) dibolehkan. Selain
itu tidak ada yang haram, kecuali apa yang dilarang Allah SWT dalam al-Qur’an
atau dilarang dan diterangkan oleh Sunah Rasulullah Saw. Apabila tidak ada
ketentuan (al-Qur’an dan hadis) yang tegas melarang atau mengharamkan, maka
hal tersebut tetap halal.18 Hal ini sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
a. al-Qur’an Surat al-Baqarah [2]:29 yaitu “Dialah Allah yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu……”;
b. al-Qur’an Surat al-Jasiyah [45]:13 “Dan Dia telah menundukkan untukmu
apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya”;
c. al-Qur’an Surat al-Baqarah [2]:168 “Hai sekalian manusia makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”.

2. Menghalalkan dan Mengharamkan adalah Hak Allah Semata


Konsep kedua, dikatakan bahwa hanya Allah yang berhak menetapkan mana
yang halal mana yang haram, sedangkan peran ulama adalah sebatas
merumuskan dan menjabarkan lebih lanjut apa-apa yang dihalalkan atau
diharamkan Allah. Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk
menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan
manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama
maupun duniawinya. Al-Qur’an juga mengecam kepada orang-orang musyrik
yang berani mengharamkan dan menghalalkan sesuatu tanpa izin Allah.

18
Slamet Ibrahim S, Op.cit, Slide 10. Lihat pula, Mohammad Jauhar, Op.cit, hlm. 27-28.

Pengakuan Sertifikasi Halal


9
Secara Internasional
Berdasarkan Firman Allah SWT dalam salah satu ayat-Nya, para ahli
fiqih mengetahui dengan pasti bahwa hanya Allah yang berhak menentukan
halal dan haram. Baik dalam kitab-Nya (al-Qur’an) ataupun melalui
perkataan/ucapan Rasul-Nya (Sunah). Para ahli fiqih sedikitpun tidak
berwenang menetapkan hukum syara' mengenai hal ini boleh dan hal ini tidak
boleh. Tugasnya tidak lebih hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan
haram. Suatu jawaban yang tegas dari Allah SWT ketika Nabi Muhammad Saw
ditanya tentang masalah halal dalam Islam, jawabannya adalah yang baik-baik
(ṭayyiban). Segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya baik dan layak
untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena pengaruh tradisi, maka
hal itu dipandang baik, bagus, dan halal (ṭayyib). Beberapa ayat al-Qur’an yang
menjelaskan hal tersebut yaitu:19
a. al-Qur’an Surat al-Maidah [5]:87-88 “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan
yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya”;
b. al-Qur’an Surat al-Maidah [5]:4 “Mereka bertanya kepadamu
(Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, ”Yang
dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang
ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk
berburu…”;20
c. al-Qur’an Surat al-Maidah [5]:96 “Dihalalkan bagimu binatang buruan dan
makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu…”;

19
Mohammad Jauhar, Op.cit, hlm. 27-28. Lihat pula, Slamet Ibrahim S, Op.cit, Slide 14.
20
Mohammad Jauhar, Ibid, hlm. 27-28. Lihat pula Slamet Ibrahim S, Op.cit, Slide 12-13.

Pengakuan Sertifikasi Halal


10
Secara Internasional
d. al-Qur’an Surat al-An’am [6]:119 “…Padahal sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu”;
e. al-Qur’an Surat an-Nahl [16]:116 “Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini
haram” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung”;
f. al-Qur’an Surat Yunus [10]:59 “Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah
kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.” Katakanlah, “Apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu
mengada-ada atas nama Allah?”;
g. al-Qur’an Surat al-Baqarah [2]:219 “Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi, katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada
manfaatnya...”.
Selanjutnya Islam mengecam orang yang menyatakan mana yang halal
dan mana yang haram atas dasar kewenangan sendiri. Demikian pula orang yang
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, sama dengan
perbuatan syirik seperti yang dilakukan bangsa Arab penyembah berhala di masa
Jahiliyah. Bahkan mereka mengharamkan baḥīrah, sā’ibah, waṣīlah dan ḥām.21

21
Baḥīrah: Unta betina yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta
betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil
air susunya. Sā’ibah: Unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran suatu nazar. Seperti,
jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka dia biasa
bernazar akan menjadikan untanya sā’ibah apabila maksud atau perjalanannya berhasil dan
selamat. Waṣīlah: Seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan
betina, maka yang jantan ini disebut waṣīlah tidak boleh disembelih dan diserahkan kepada
berhala. Ḥām: Unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat
membuntingkan unta betina sepuluh kali. Perlakuan terhadap baḥīrah, sā’ibah, waṣīlah, dan ḥām
ini adalah kepercayaan Arab Jahiliyah.

Pengakuan Sertifikasi Halal


11
Secara Internasional
Penjelasan konsep-konsep dasar yang digunakan adalah firman Allah SWT di
dalam hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim, sebagaimana termaktub
dalam hadis-hadis, sebagai berikut:
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dengan sikap
yang lurus. Lalu datanglah setan kepada mereka, lantas membelokkan
mereka dari agama mereka, dan mengharamkan atas mereka apa yang
telah Kuhalalkan buat mereka, serta menyuruh mereka
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang Aku tidak menurunkan
keterangan padanya.”

Penjelasan konsep kewenangan penetapan halal dan haram juga


termaktub dalam beberapa hadis sebagai berikut:
a. Salman Al-Farisi berkata, “Rasulullah Saw ditanya tentang minyak samin,
keju dan bulu, beliau bersabda: halal adalah yang dihalalkan Allah dalam
Kitab-Nya, haram adalah apa yang diharamkanNya dalam KitabNya,
sedang yang tidak disebut dalam keduanya maka dibolehkan”.22
b. “Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya dan yang
haram adalah apa yang Allah larang. Dan termasuk apabila Dia diam berarti
dibolehkan sebagai bentuk kasih sayang-Nya ”.23

3. Mengharamkan yang Halal akan Mengakibatkan Timbulnya


Keburukan dan Bahaya
Konsep ketiga adalah larangan atas sesuatu dikarenakan keburukan dan
bahayanya, sebaliknya menghalalkan sesuatu karena manfaatnya. Segala sesuatu
yang menimbulkan bahaya adalah haram, sebaliknya segala sesuatu yang
menimbulkan manfaat adalah halal. Sesuatu yang bahayanya lebih besar
daripada manfaatnya adalah haram, sedangkan sesuatu yang manfaatnya lebih
besar adalah halal. Demikian pula Allah SWT menghalalkan dan mengharamkan

22
HR. Ibnu Majah, Baihaki, Hakim dan Tirmidzi
23
HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah

Pengakuan Sertifikasi Halal


12
Secara Internasional
sesuatu dengan alasan tertentu, semuanya untuk kebaikan manusia. Allah SWT
tidak menghalalkan apapun kecuali apa yang baik dan tidak mengharamkan
apapun kecuali yang buruk. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah SWT
sebagai berikut:24
a. al-Qur’an Surat al-A’raf [7]:33 “Katakanlah: Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-
adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.
b. al-Qur’an Surat al-A’raf [7]:157 ”......dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka yang buruk...”.
c. al-Qur’an Surat al-Maidah [5]:5 “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-
baik...”.

4. Apa yang Membawa Kepada yang Haram adalah Haram


Konsep keempat yaitu apapun yang menyebabkan kepada yang haram, maka
termasuk haram. Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat menjadi
perantara dan membawa kepada yang haram. Islam mengharamkan zina, maka
segala hal yang dapat menghantarkan kepada perzinaan seperti berpakaian yang
tidak menutup aurat, berkhalwat (bertemunya dua lawan jenis di tempat khusus
dan suatu jalan keliru), pergaulan bebas, pornografi, dan lain-lain juga
diharamkan. Itulah sebabnya maka para fuqaha menetapkan prinsip “apa saja
yang membawa kepada yang haram, maka ia adalah haram.”
Sehubungan dengan hal tersebut, Islam juga menetapkan bahwa dosa
perbuatan haram tidak terbatas pada pelakunya saja, namun juga terhadap semua

24
Mohammad Jauhar, Op.cit, hlm. 27-28. Lihat Pula, Op.cit, Slide 15.

Pengakuan Sertifikasi Halal


13
Secara Internasional
orang yang turut andil dalam proses perbuatannya, baik dengan tenaga, materi
maupun moral. Terhadap masalah khamar misalnya, Rasulullah Saw melaknat
peminumnya, pemerahnya, penghidangnya, yang diberi hidangan, yang
memakan hasil usaha khamar, dan lain-lain. Menurut kaidah fiqih sesuatu yang
dapat menghantarkan kepada yang haram, maka menjadi haram hukumnya (Mā
adda ilā al-ḥarāmi fahuwa ḥarāmun). Islam menutup semua jalan dan cara yang
menghantarkan kepada yang haram. Bahkan larangan tersebut mencakup hal-hal
yang mendukung terlaksananya perbuatan haram misalnya:25
a. islam mengharamkan zina dan seks luar nikah dan sekaligus mengharamkan
hal-hal yang dapat menghantarkan pada zina ataupun seks luar nikah
(berkhalwat, pergaulan bebas, pornoaksi, dan lain-lain);
b. islam melarang riba, Nabi Muhammad Saw melaknat orang yang
membayarnya, orang yang dibayar dan orang yang menjadi saksinya.

5. Halal Tidak Memerlukan yang Haram


Konsep kelima, Islam tidak mengharamkan sesuatu atas penganutnya kecuali
diganti dengan yang lebih baik untuk mengatasi kebutuhannya. Islam
mengharamkan penganutnya melakukan riba, dan menggantinya dengan
perniagaan yang menguntungkan. Selain itu, Islam melarang berpura-pura
memperlihatkan yang haram menjadi halal. Apalagi menyebut yang haram
dengan nama lain, mengubah bentuknya dan tetap menjaga esensi keharamannya
adalah hal yang dilarang dan tidak dapat dibenarkan dalam Islam sebagaimana
dinyatakan dalam beberapa hadis berikut yang artinya:26 Rasulullah Saw
bersabda “Sekelompok orang akan menghalalkan orang mabuk dengan memberi
istilah yang lain” (HR. Ahmad). Selain itu, Rasulullah Saw juga bersabda “Akan

25
Slamet Ibrahim S, Op.cit, Slide 16. Lihat pula, Mohammad Jauhar, Op.cit, hlm. 27-28.
26
Mohammad Jauhar, Ibid, hlm. 27-28. Lihat pula, Slamet Ibrahim S, Op.cit, Slide 17.

Pengakuan Sertifikasi Halal


14
Secara Internasional
datang zaman di mana orang memakan riba dan menyebutnya perdagangan”
(HR. Bukhari-Muslim).

6. Niat yang Baik Tidak Dapat Menghalalkan yang Haram


Konsep keenam adalah niat baik tidak dapat mentolerir hal yang haram. Sesuatu
yang haram tetap saja haram walaupun dalam mencapai yang haram tersebut
dikandung niat yang baik, tujuan yang mulia dan sasaran yang dianggap tepat.
Islam tidak ridha menjadikan yang haram sebagai jalan untuk mencapai tujuan
yang terpuji, sebagai contoh Islam tidak memperkenankan keuntungan
penjualan khamar untuk pembangunan masjid. Tujuan yang mulia harus dicapai
dengan cara yang benar. Hal tersebut dapat dilihat dari hadis yang artinya
sebagai berikut:27
dan “Jika seseorang menumpuk hartanya dengan cara yang haram dan
kemudian Nabi Saw bersabda “Amalan itu tergantung pada niatnya”
(HR. Bukhari), beramal dari hartanya itu, maka tidak ada pahala baginya
dan dosanya masih tersisa” (HR. Ibnu Khazimah, Ibnu Hibban, dan
Hakim dari Abu Hurairah).
Kedua hadis tersebut bermakna bahwa perbuatan yang halal
dilaksanakan oleh orang dengan niat yang baik dan bersih, maka perbuatannya
dinilai sebagai ibadah. Tetapi tidak demikian untuk hal yang telah diharamkan.
Walaupun niatnya baik, tujuannya luhur serta maksudnya mulia jika yang
dilakukannya adalah hal yang haram, maka perbuatannya itu tetap haram.

7. Menjauhkan Diri dari Syubhāt karena Takut Terjatuh dalam Haram


Konsep ketujuh yakni hal-hal yang meragukan harus dijauhi atau dihindari.
Sebagaimana Islam mengharamkan segala sarana dan prasarana yang membawa
kepada yang haram, maka Islam juga mengharamkan bersiasat untuk melakukan

27
Mohammad Jauhar, Ibid, hlm. 27-28. Slamet Ibrahim S, Op.cit, Slide 18.

Pengakuan Sertifikasi Halal


15
Secara Internasional
sarana dan prasarana baik tampak maupun tersembunyi. Sebagaimana dikatakan
dalam al-Qur'an dan hadis yang artinya sebagai berikut:28
a. al-Qur’an Surat Al-An’am [6]:119 “…Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu…”.
b. “sesungguhnya sesuatu yang halal sudah jelas, dan yang haram pun
sudah jelas, diantara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas
(syubhāt), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bagian
yang halal ataukah yang haram? Maka barangsiapa yang menjauhinya
karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan
selamat, dan barangsiapa mengerjakan sedikitpun daripadanya hampir-
hampir ia akan jatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang
menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir
akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah
larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah semua yang
diharamkan” (Hadis HR. Bukhari, Muslim dan Tirmizi, dan HR. ini
adalah lafal Tirmizi).

8. Keadaan yang Terpaksa Membolehkan yang Terlarang


Konsep kedelapan yakni keadaan yang terpaksa membolehkan yang terlarang.
Hal demikian merupakan kondisi atau keadaan darurat memperbolehkan hal
yang dilarang/haram. Tidak ada keringanan dalam Islam terhadap segala sesuatu
yang telah diharamkan, kecuali keringanan bagi orang yang dalam keadaan
darurat. Pengecualian kedaruratan tersebut tidak berlaku berdasarkan genetik
keturunan, seperti keturunan nabi, raja, atau ulama sekalipun, namun
pengecualian kedaruratan berlaku diantaranya untuk mempertahankan jiwa.
Selain itu syari’at Islam memudahkan, mengurangi tekanan dan meringankan

28
Mohammad Jauhar, Ibid, hlm. 27-28. Slamet Ibrahim S, Op.cit, Slide 19.

Pengakuan Sertifikasi Halal


16
Secara Internasional
beban kehidupan. Namun demikian meskipun terpaksa oleh keadaan darurat,
seseorang tidak mesti menyerah dia harus tetap berusaha bertahan hidup dengan
yang halal dan terus mencari cara untuk mendapatkan yang halal agar tidak
terbiasa pada yang haram. Kaidah fiqih menyatakan sebagai berikut:29
a. dalam keadaan darurat perbuatan yang dilarang oleh syari’at boleh
dilakukan (al-ḍarūrātu tubīḥu al-mahẓūrāt);
b. sesuatu yang dibolehkan karena keadaan darurat hanya diberlakukan
sekedar mengatasi kesulitan tertentu.

9. Bersiasat terhadap Hal yang Haram adalah Haram


Konsep kesembilan yakni sebagaimana halnya Islam mengharamkan segala
sesuatu yang membawa kepada yang haram berupa sarana-sarana yang tampak,
maka Islam juga mengharamkan bersiasat untuk melakukannya dengan sarana-
sarana yang tersembunyi. Islam juga telah mengharamkan seluruh perbuatan
yang dapat membawa kepada haram, dengan cara-cara yang tampak, begitupula
semua siasat (policy). Beberapa hadis Nabi menjelaskan yang artinya, sebagai
berikut:
a. “sungguh akan ada satu golongan dari umatku yang menganggap halal
minum arak dengan memberikan nama lain;” (HR. Ahmad)
b. “akan datang suatu masa dimana manusia menganggap halal riba dengan
nama jual beli;” (HR. Ibnul Qayyim)
c. “janganlah kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi dan jangan kamu
menganggap halal terhadap larangan-larangan Allah walaupun dengan
siasat (helah/menipu) yang paling kecil” (HR. Abu Abdilan bin Bathah
dengan sanad yang baik, disahkan juga oleh Tirmidzi).

29
Muhammad Yusuf Qardhawi, Op.cit, hlm. 35-37 & 42-46. Slamet Ibrahim S, Op.cit, Slide 20.
Mohammad Jauhar, Ibid, hlm. 27-28.

Pengakuan Sertifikasi Halal


17
Secara Internasional
10. Sesuatu yang Haram Berlaku untuk Semua Orang
Konsep kesepuluh yakni dalam mengharamkan sesuatu Islam tidak pandang
bulu, tidak ada keringanan bagi sebagian orang kecuali dalam keadaan darurat.
Haram dalam pandangan syariat Islam mempunyai ciri menyeluruh dan berlaku
untuk semua orang. Tidak ada sesuatu yang dilarang untuk orang kulit hitam,
tetapi halal untuk orang kulit putih. Tidak ada keringanan (rukhṣah) yang
diberikan kepada suatu tingkatan atau suatu golongan yang dengan atas nama
rukhṣah mereka bisa berbuat jahat yang dikendalikan oleh hawa nafsunya.
Mereka yang berbuat demikian itu sering menamakan dirinya pendeta, pastur,
raja, dan orang suci. Bahkan, tidak seorang Muslim pun yang mempunyai
keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu hukum haram untuk orang
lain, tetapi halal buat dirinya sendiri. Terkait dengan keumuman larangan
(haram) yang berlaku untuk semua orang tersebut, Rasulullah Saw bersabda
yang artinya:
“Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri,
pasti akan kupotong tangannya.” (HR. Bukhari).

11. Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama


dengan Syirik
Konsep kesebelas yakni Islam adalah agama yang teguh dalam akidah dan
tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal lapangan pekerjaan dan perundang-
undangan. Namun segala perbuatan yang mengharamkan sesuatu yang halal,
atau sebaliknya menghalalkan sesuatu yang memang diharamkan, merupakan
perbuatan syirik. Allah menyebutkan kedua sifat yang tersebut dalam salah satu
hadis qudsi Rasulullah Saw yang artinya:
“Aku ciptakan hamba-hamba-Ku ini dengan sikap yang lurus, tetapi
kemudian datanglah setan kepada mereka. Setan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka
sesuatu yang aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya

Pengakuan Sertifikasi Halal


18
Secara Internasional
mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak
turunkan keterangan padanya.” (HR. Muslim)
Salah satu yang telah diakui oleh Islam adalah, apabila Islam telah
mengaharamkan sesuatu, maka waṣilah dan cara apapun yang dapat membawa
kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Para ulama ahli fiqih
membuat suatu kaidah: apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka
itu adalah haram, tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara
langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang
yang bersekutu dengan dia baik melalui harta ataupun sikap, masing-masing
mendapat dosa sesuai keterlibatannya itu.30 Berdasarkan pada kaidah tersebut di
atas, jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya ada empat:

a. Bangkai
Kategori bangkai ialah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk
hewan yang matinya tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan
buas, kecuali yang sempat disembelihnya (sebagaimana ketentuan dalam Surat
Al-Ma’idah [5]:3). Bangkai yang boleh dimakan berdasarkan hadis yaitu
bangkai ikan dan belalang.

b. Darah
Sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir (dalam al-Qur’an Surat Al-
An’am [6]:145), yang dimaksud adalah segala macam darah termasuk yang
keluar pada waktu penyembelihan (mengalir), sedangkan darah yang tersisa
setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan.
Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa, kebolehannya
didasarkan pada hadis.

30
Yusuf Qardhawi, Op.cit, hlm. 23-25 & 35.

Pengakuan Sertifikasi Halal


19
Secara Internasional
c. Daging babi
Kebanyakan ulama sepakat menyatakan bahwa semua bagian babi yang dapat
dimakan haram, sehingga baik dagingnya, lemaknya, tulangnya, termasuk
seluruh produk yang mengandung bahan babi. Hal ini tertuang dalam Keputusan
Fatwa MUI bulan September 1994 tentang keharaman memanfaatkan babi dan
seluruh unsur-unsurnya.

d. Binatang yang disembelih dengan Menyebut Nama Selain Allah


Seluruh bahan dan turunan binatang yang disembelih dengan menyebut nama
selain Allah, haram hukumnya dimakan. Demikian juga terhadap semua produk
yang mempergunakan bahan dan turunan binatang yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah, haram hukumnya dikonsumsi. Pemberlakuan
ketentuan ini praktis seperti berlakunya pada bangkai dan babi.
Selain mengenai makanan, ada pula minuman yang diharamkan. Semua
minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan yaitu
khamar, yaitu minuman yang memabukkan. Sifat mengacaukan akal itulah yang
dijadikan patokan dan dicontohkan dalam al-Qur’an yaitu membuat orang
menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan. Dasar hukum dalam al-Qur’an,
di antaranya:
a. al-Qur’an Surat An-Nisa [4]:43, yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
b. al-Qur’an Surat Al-Maidah [5]:3, yang artinya: “Diharamkan bagimu
memakan bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas
nama selain Allah, tercekik, yang dipukul, yang jatuh ditanduk, yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”.
c. al-Qur’an Surat Al-An’am [6]:145, yang artinya: “Katakanlah, tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku sesuatu yang

Pengakuan Sertifikasi Halal


20
Secara Internasional
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena
sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Penyayang”
d. al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]:219, yang artinya: “Mereka bertanya
kepadamu tentang khamar dan judi, katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar
daripada manfaatnya …”
e. al-Qur’an Surat Al- Baqarah [2]:173, yang artinya: “Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
f. al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]:185, yang artinya: “…Dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa) maka (wajib
menggantikannya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari hari
yang lain…”.
g. al-Qur’an Surat Al-Maidah [5]:3, yang artinya: “…Tetapi barangsiapa
terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah
Maha Pengampun dan maha Penyayang”.
h. al-Qur’an Surat An-Nisa [4]:28, yang artinya: “Allah hendak memberikan
keringanan kepadamu dan manusia diciptakan bersifat lemah”.
Selain itu, terdapat salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan
Abu Daud dari Abdullah bin Umar, yang artinya: “Setiap yang memabukkan
adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan.”

Pengakuan Sertifikasi Halal


21
Secara Internasional
Penjelasan Rasulullah tersebut menyatakan bahwa batasan khamar
didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya, bahannya sendiri dapat apa saja.
Mengenai sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci lagi oleh Umar bin
Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
“Kemudian daripada itu, wahai manusia! sesungguhnya telah diturunkan
hukum yang mengharamkan khamar. Ia terbuat dari salah satu lima
unsur: anggur, korma, madu, jagung dan gandum. Khamar itu adalah
sesuatu yang mengacaukan akal.”
Pembahasan terkait halal dan haram tersebut di atas, selalu tidak terlepas
dari istilah istiḥālah. Secara bahasa, istiḥālah berarti berubahnya sesuatu dari
tabiat asal atau sifat awal menjadi sifat yang baru yang berbeda dengan sifat
asalnya. Secara sederhana istiḥālah dapat disebut sebagai perubahan suatu
tabi’at atau sifat asal suatu benda, seperti perubahan substansi najis menjadi
substansi yang lain (al Mawsuah al Fiqhiyyah Juz III). Perubahan dapat terjadi
secara alami atau proses lain seperti fisik, kimia atau biologi. Menurut kaidah
fiqih: “Hukum itu berputar pada illatnya. Jika illat itu ada maka hukum itu ada,
begitu sebaliknya jika illat itu tidak ada maka hukum itu tidak ada”. Bahkan
suatu najis yang berubah dengan proses istiḥālah menjadi zat lain yang baru
(sifat-sifat najisnya telah hilang) dihukumi sebagai suci.31 Fenomena yang dapat
dijadikan contoh istihalah tersebut, yaitu:
a. khamar (minuman beralkohol) berubah menjadi cuka;
b. kotoran sapi yang sudah berubah menjadi pupuk atau humus;
c. tulang atau kulit babi diekstraksi lalu diubah menjadi gelatin;
d. kulit bangkai kambing yang sudah disamak.
Pembahasan istiḥalah terhadap halal dan haram dalam pandangan
mazhab-mazhab di Indonesia, menurut pengamatan dan analisis penulis, tidak
terlalu banyak perbedaan yang signifikan. Demikian pula halnya pandangan,

31
Ibrahim Slamet, Op.cit, Slide 22-23. Lihat pula, BI, 2020, Ekosistem Industri Halal, hlm. 13-
15.

Pengakuan Sertifikasi Halal


22
Secara Internasional
penghayatan, dan persepsi terhadap ketentuan syari’at yang masih bersifat
umum (belum dirinci ketentuannya), walaupun terdapat perbedaan antar
kelompok umat Islam di Indonesia, namun tidak sampai pada tingkat
perselisihan, perbedaan tersebut terbatas hanya pada hukum muamalah dan tidak
terhadap tauhid dan aqidah. Menurut Muchtar Adam,32 munculnya mazhab
dalam Islam disebabkan perbedaan teknis pemahaman, beda kualitas dan
kapasitas intelektual pada masing-masing pendiri serta pengikut mazhab
tersebut. Menurut Rasulullah Saw, perbedaan demikian itu adalah bagaikan
rahmat bagi umat Islam untuk berlomba-lomba mencari kebaikan.
Fuqaha berpendapat bahwa perbedaan mazhab bukan sebagai
perselisihan, namun sebagai proses mencari kebenaran yang hakiki. Perbedaan
mazhab muncul disebabkan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan dalam al-
Qur’an yang tidak dijelaskan secara rinci. Perbedaan mazhab tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, sepanjang tetap berasaskan al-Qur’an dan hadis. Perbedaan
tersebut hanya dalam cara mencari kebenaran hakiki, terhadap bagaimana
sebaiknya dilakukan umat untuk melaksanakan sesuatu syari’at yang masih
bersifat umum dan belum atau tidak dijabarkan baik dalam al-Qur’an maupun
hadis.33
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor
munculnya mazhab-mazhab karena perbedaan kemampuan penghayatan,
lingkungan hidup yang berbeda dari masing-masin1g imam mazhab, terutama
karena perbedaan penafsiran terhadap masalah belum diatur secara tegas dalam
al-Qur’an maupun hadis. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi munculnya
mazhab-mazhab, disebabkan perbedaan latar belakang, struktur masyarakat,
lingkungan hidup, tata nilai antara wilayah yang sejatinya sangat berbeda dengan
wilayah dimana wahyu-wahyu illahi diturunkan. Jadi karena jarak waktu dan

32
E. Abdurrahman, Perbandingan Madzhab, Sinar Baru, Bandung, 1991, hlm. 16-17.
33
E. Abdurrahman, Op.cit, hlm. 19-20. Renny Supriyatni B., 2011, Op.cit, hlm 60.

Pengakuan Sertifikasi Halal


23
Secara Internasional
jarak geografis, yaitu antara turunnya wahyu yang belum sempat diketahui
penyebar, begitu juga tempat lahirnya wahyu-wahyu serta hadis dengan wilayah
pengembangan Islam dahulu.
Kembali kepada persoalan halal dan haram, bahwa segala sesuatu yang
diharamkan adalah pengecualian, sehingga jumlahnya sangatlah sedikit.
Walaupun demikian, perkembangan teknologi dapat menyebabkan proses
pengolahan, distribusi hingga pada penyajian pada produk yang halal
terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan. Di samping memang terdapat
produk-produk yang masih belum jelas status kehalalannya (syubhat). Untuk
mengetahui status kehalalan pada produk olahan tersebut tentu membutuhkan
dukungan ilmu teknologi di bidang pangan, guna mengetahui dan mengurai
komposisi produk.
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali berpandangan, bahwa dalam
konsep istiḥālah, tidak ada benda najis yang dapat berubah menjadi suci kecuali
tiga hal:34
1. arak dan tempatnya akan menjadi suci ketika telah berubah menjadi cuka
dengan sendirinya;
2. kulit bangkai selain babi dan anjing menjadi suci setelah disamak;
3. sesuatu yang telah berubah menjadi binatang karena terjadi kehidupan baru
(al-Fiqhul Islami, Juz I).
Pendapat kedua mazhab tersebut dalam satu pandangannya,35 bahwa
benda najis tidak berubah menjadi suci dengan istihalah selain arak yang
berubah menjadi cuka dengan sendirinya. Proses perubahan benda najis yang
terjadi karena pembakaran sehingga menjadi abu atau menjadi asap hukumnya
tetap najis (al Mughni, Juz 1). Mazhab Hambali menegaskan kembali bahwa

34
Bank Indonesia, 2020, Op.cit, hlm. 14-15.
35
Ibrahim Slamet, Loccit. Bank Indonesia, Loccit.

Pengakuan Sertifikasi Halal


24
Secara Internasional
najis tidak akan menjadi suci dengan istiḥalah, selain pada kasus khamar dan
segumpal darah yang berubah menjadi hewan yang hidup.36
Ulama Syafi’iyah dan sebagian ulama Hambali, menyatakan bahwa najis
aini terutama bahan yang berasal dari babi tidak dapat menjadi suci dengan
istiḥalah yang diintervensi oleh manusia melalui proses fisika, kimia dan
biologi. Demikian pula ulama mazhab Hanafi menyatakan jika benda najis telah
berubah dari sifat asalnya karena menjadi benda yang baru (istiḥālah) maka
menjadi suci, seperti khamar berubah menjadi cuka, najis yang terbakar menjadi
abu, lemak terkena najis yang telah dijadikan sabun.37 Ulama Hanafiyah dan
Malikiyah menyatakan bahwa najis zat (aini) dapat menjadi suci dengan
istiḥālah, walaupun itu berasal dari babi yang haram.
Pendapat di antara fuqaha (ahli fiqih), disikapi Majelis Ulama Indonesia
dengan menetapkan bahwa bahan-bahan atau senyawa-senyawa yang terbukti
berasal dari babi dan bangkai, sekalipun telah berubah menjadi senyawa baru
hukumnya tetap haram. Selain diharamkan karena faktor internal juga dilarang
mengonsumsi segala sesuatu disebabkan faktor eksternal (li gharihi/di luar zat
bahan). Hal tersebut, dapat dicontohkan sebagai berikut:38
a. mengonsumsi hasil korupsi, kejahatan, kemaksiatan atau pelanggaran
syariat lainnya (Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2]:188; al-Qur’an Surat an-
Nisa [4]:29; al-Qur’an Surat al-Baqarah [2]:275; al-Qur’an Surat al-
Baqarah [2]:278-279, dan hadis Nabi Saw [HR. Muslim No.2783]);
b. pola konsumsi yang berlebihan (Al-Qur’an Surat Al-A’raf [7]:31; al-Qur’an
Surat al-Isra [17]:26-27);
c. tercampur dengan barang yang najis atau materi yang diharamkan.

36
Manshur bin Yunus al-Buhuty, Syarh Muntaha’ al-Iradat: Daqaiq Uli an Nuha li Syarh
Muntaha, Juz I
37
Fiqih al Islami, Juz I ; Badai’u al-shanai, Juz I
38
Bank Indonesia, Loccit.

Pengakuan Sertifikasi Halal


25
Secara Internasional
Pada penjelasan sebelumnya bisa dipahami, bahwa segala sesuatu yang
diharamkan adalah pengecualian, sehingga jumlahnya sangatlah sedikit. Kendati
demikian berkembangnya teknologi pengolahan menjadikan banyak produk
yang tadinya halal namun dalam proses pengolahan, penyajian atau bahkan
dalam proses distribusi tercampuri atau berinteraksi dengan materi yang
diharamkan. Oleh karena itu, berlaku kaidah: ”Apabila berkumpul yang halal
dan yang haram (pada sesuatu), unsur yang haramlah yang dimenangkan
(sesuatu itu menjadi haram)”. Bahkan, perkembangan teknologi memunculkan
banyak kemudahan sekaligus menghadirkan produk-produk yang masih belum
diketahui secara jelas status kehalalannya (syubhat). Demikian pula fenomena
yang diisyaratkan dalam hadis (lā ya’rifuhunna kaṡirun min al-nās), sehingga
memerlukan kajian para pakar yang tidak hanya memahami kaidah halal haram
tapi juga memahami perkembangan ilmu dan teknologi terlebih ilmu material.
Sebaiknya sikap seorang Muslim terhadap segala sesuatu yang syubhat adalah
meninggalkannya.

B. Halal Menurut Peraturan Perundang-undangan (Hasil Ijtihad)


Penerapan syari’at Islam di bidang jaminan produk halal, haruslah dilihat
sebagai bagian integral dari penerapan syari’at Islam pada bidang lainnya. Hal
ini dikarenakan yang ingin dicapai adalah transformasi masyarakat dari
masyarakat yang berbudaya lama menjadi masyarakat yang berbudaya Islami,
maka nilai-nilai Islam harus diinternalisasi dalam kehidupan masyarakat yang
beragama Islam. Dengan kata lain Islam menjadi budaya masyarakat Muslim
Indonesia. Syariah atau syari’at dalam al-Qur’an dan dalam bahasa Arab berarti
“jalan” (ṭarīq-sabīl-syarī’), cara (manhaj) dan yang semakna dengannya.
Dengan demikian syariah dimaknai sebagai “jalan dan cara” Islam menuju Allah
terdiri atas tiga jalur, yaitu jalur ibadah (‘ibādah), etika (akhlāqiyyāt) dan hukum

Pengakuan Sertifikasi Halal


26
Secara Internasional
muamalah (al-ahkām al-mu’āmalah).39 Kata syarī’ah secara harfiah artinya
“jalan ke tempat mata air atau tempat yang dilalui air sungai”. Penggunaannya
dalam al-Qur’an diartikan sebagai jalan yang jelas membawa kemenangan atau
jalan raya kehidupan yang baik. Menurut Mahmud Syaltut dalam buku al-Islām
‘Aqīdah wa Syarī’ah, mendefinisikan syariah sebagai peraturan yang diturunkan
Allah kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya,
dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dengan kehidupan. Di sisi lain
syariah tidak bisa terlepas dari aqidah, karena keduanya memiliki hubungan
interdependensi atau ketergantungan. Akidah tanpa syariah tidak menjadikan
pelakunya Muslim sejati, demikian juga akidah tanpa syariah adalah sesat.40
Memperhatikan penjabaran syariah pada paragraf sebelumnya, maka
syariah dapat diartikan sebagai nilai-nilai keagamaan yang berfungsi
mengarahkan kehidupan manusia. Syariat yang dimaksud menurut para ahli ilmu
uṣūl fiqh, adalah firman Allah yang ditujukan kepada Muslim yang mukallaf atau
cakap dan bertanggung jawab, merupakan perintah, larangan, dan kebebasan
memilih. Zarkowi Soejoeti mengutip dari al-Madkhal lī Dirāsah al-Fiqh al-
Islāmy tulisan Yusuf Musa mengemukakan perbedaan fiqh dengan syarī’ah
dalam tiga aspek; pertama, perbedaan ruang lingkup cakupannya. Dalam
perbedaan ini, syarī’ah lebih luas cakupannya daripada fiqh. Syarī’ah meliputi
seluruh ajaran agama yakni mencakup keyakinan, akhlak, dan hukum bagi
perbuatan, sedangkan fiqh hanya mengenai perbuatan saja. Kedua, perbedaan
pada subjeknya. Syarī’ah, subjeknya Syāri’ adalah Allah SWT, fiqh subjeknya
manusia atau al-faqīh. Syarī'ah sebagai ciptaan Allah SWT bersifat sempurna
(absolut), universal, dan abadi kebenarannya, sedangkan fiqh dapat berubah
sesuai dengan pemahaman faqīh karena faktor sosio-kultural dan konteks

39
Muhamad Said Al-Asmawi, 2012, Penerapan Syariat Islam dalam Undang-undang, Belajar
dari Pengalaman Mesir, Referensi, Jakarta, hlm. 11.
40
Mahmud Syaltut, 1996, al-Islām ‘Aqīdah wa Syarī’ah, Kairo: Dār al-Qalam, Kairo, hlm 12.
Lihat pula, Renny Supriyatni, Op.cit, hlm. 18-19.

Pengakuan Sertifikasi Halal


27
Secara Internasional
historisnya. Ketiga, perbedaan pada mula-mula digunakannya kedua kata
tersebut dalam istilah teknis. Kata syarī’ah telah digunakan sejak awal sejarah
Islam. Kata syarī’ah disebut lima kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam: al-Qur’an
Surat asy-Syura [42]:13 dan 21; al-Qur’an Surat al-A’raf [7]:163, al-Qur’an
Surat al-Maidah [5]:48; dan al-Qur’an Surat al-Jatsiyah [45]:18. Adapun kata
fiqh sebagai istilah teknis baru digunakan setelah lahirnya ilmu-ilmu keagamaan
Islam pada abad kedua hijriyah.41
Selanjutnya menurut Agustianto, secara yuridis penerapan
hukum/syariah Islam di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan tegas
menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, pada
dasarnya mengandung tiga makna, yaitu:42
1. negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau
melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau
melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang
memerlukannya;
3. negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang
melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham
atheisme).
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata “menjamin”

41
Muhammad Yusuf Musa, al-Madkhal lī Dirāsah al-Fiqh al-Islāmi, Cet 3, Dār al-Kitāb al-
Arabi, Kairo, hlm 7-10.
42
Agustianto, “Politik Hukum dalam Ekonomi Syariah”, www.kasei.com, diakses 20 September
2021.

Pengakuan Sertifikasi Halal


28
Secara Internasional
mengandung makna bahwa negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya
agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama
dan kepercayaannya tersebut. Sebenarnya, melalui ketentuan Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945, seluruh syari’at Islam khususnya yang menyangkut bidang-bidang
hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan formal oleh
kaum Muslimin baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan jalan
diadopsi dalam hukum positif nasional.
Keadaan demikian menuntut adanya kepastian hukum dan jaminan halal
bagi konsumen, khususnya masyarakat Islam sebagai konsumen terbesar
terhadap pangan dan produk serta jasa lainnya. Posisi sosial masyarakat Islam
yang demikian, menjadi salah satu dasar mengapa diperlukan pengaturan dan
penataan jaminan produk halal di dalam suatu undang-undang. Undang-undang
itulah yang akan mengatur mekanisme sertifikasi dan pengawasan jaminan
produk halal, kepastian lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan
pemeriksaan, pengawasan, serta sertifikasi jaminan halal. Pengaturan demikian
adalah memberikan kepastian hukum dan menyediakan perlindungan hukum
kepada masyarakat Islam. Umat Islam perlu memperoleh perlindungan atas
ketenteraman dan keamanan batin dalam menjalankan sebagian aturan agama
yang menjadi keyakinannya. Ketenteraman dan keamanan merupakan hak dari
masyarakat. Salah satu fungsi hukum yang penting adalah menjamin tegaknya
keadilan. Keadilan dapat digambarkan sebagai keseimbangan yang membawa
ketenteraman bagi setiap orang yang jika diusik atau dilanggar akan
menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.
Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) (UUD 1945)
menetapkan kewajiban konstitusional negara untuk melindungi hak warga
negaranya guna melaksanakan keyakinan dan ajaran agama tanpa ada hambatan
dan gangguan yang dapat mengganggu tumbuhnya kehidupan beragama di
Indonesia. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 tersebut menyatakan sebagai berikut:

Pengakuan Sertifikasi Halal


29
Secara Internasional
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Demikian pula di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
dalam menjalankan hak asasi dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Menurut Juhaya S. Pradja43 dalam bahasa ilmu hukum Islam, proses dari
syarī’ah ke tasyrī’44 hingga taqnīn45 mesti dilakukan secara berkesinambungan,
terencana, dan bertahap. Perwujudan materi hukum Islam di masing-masing
negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam beragam. Keragaman itu
sendiri merupakan identitas hukum Islam sebagai produk ijtihād. Tidaklah heran
isi peraturan perundang-undangan di setiap negara berpenduduk mayoritas Islam
berbeda antara satu dengan lainnya. Hal tersebut menampakkan adanya “benang
merah” yang menyatukan hukum Islam yang berlaku di masing-masing negara
tersebut. Hukum Islam kini dapat dinyatakan sebagai bagian dari sistem hukum
nasional, yang mencerminkan keinginan masyarakat Islam dan sekaligus
penerimaan sebagai konsekuensi logis, umat Islam Indonesia terikat dan harus
taat pada hukum yang berlaku. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis
melakukan kajian terhadap permasalahan aktualisasi dan penemuan Hukum
Islam melalui peraturan-peraturan dalam bidang jaminan produk halal (JPH).

43
Juhaya S. Pradja, 2005, Syariat Islam Revitalisasi Psychological Effect Hukum Islam dalam
Kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia, Makalah, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung,
hlm. 2. Lihat pula Renny Supriyatni, 2010, Op.cit, hlm. 45.
44
Tasyri’ adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari wahyu dan
sunnah.
45
Taqnin: Undang-undang

Pengakuan Sertifikasi Halal


30
Secara Internasional
Sejarah singkat sertifikasi halal untuk produk pangan di Indonesia
diawali dari penelitian Dr. Tri Susanto (Universitas Brawijaya) tahun 1988
bersama mahasiswanya yang menghasilkan penemuan bahwa terdapat makanan
dan minuman yang mengandung komplemen lemak babi, seperti gelatin maupun
lemak babi. Temuan tersebut akhirnya menjadi masalah nasional karena
penjualan produk mengalami penurunan sebesar 20 - 30%. Penelitian tersebut
juga dikaji oleh Asosiasi Cendekiawan Muslim Al-Falah Jawa Timur yang
kemudian menimbulkan kegoncangan bagi umat Muslim yang meluas ke
provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Manajemen produk makanan yang
terbukti mengandung bahan turunan yang mengandung babi tersebut kemudian
berupaya untuk menghilangkan keresahan masyarakat dengan menarik secara
serentak produknya di seluruh Indonesia serta meminta maaf dan memberikan
ganti rugi kepada pedagang dengan total nilai Rp55 miliar.46
Tahun 1989, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memecahkan masalah
tersebut dengan mendirikan lembaga studi tentang makanan dan obat-obatan
yang dikenal dengan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika
47
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). LPPOM MUI dibentuk sebagai
lembaga yang secara khusus bertugas untuk mengaudit produk-produk yang
dikonsumsi oleh konsumen Muslim di Indonesia. Lembaga ini mengawasi
produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan sertifikat halal
sehingga produk yang telah memiliki sertifikat halal tersebut dapat diberi label
halal pada produknya. Artinya produk tersebut secara proses dan kandungannya
telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran
agama Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan tidak

46
Kontroversi halal dan haram, www.halalguide.com., diakses 23 September 2021. AY
Anggreani, Fakultas Hukum, Unnisula, 2019. Sukoso sebagai Kepala Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal BPJPH. Peraturan Terbaru Tentang Jaminan Produk Halal, Seminar
Jaminan Produk Halal, Salman ITB, Bandung, 10 Juli 2019, Slide 3.
47
LPPOM MUI, www.halalmui.go.id., diakses pada tanggal 23 September 2021.

Pengakuan Sertifikasi Halal


31
Secara Internasional
mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen
Muslim. Pada tahun 1989, sertifikasi halal masih bersifat sukarela. Dalam
melaksanakan fungsinya LPPOM-MUI melakukan penelitian terhadap beberapa
produk makanan, seperti susu, mie, snack dan lain sebagainya. Hasilnya telah
ditemukan bahwa produk-produk tersebut mengandung gelatin, shortening,
lecithin dan lemak yang kemungkinan berasal dari babi.
Tahapan terakhir dari sejarah pengaturan sertifikasi halal di Indonesia
yakni lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal (UUJPH), Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang
Implementasi Jaminan Produk Halal, dan Peraturan Pemerintah Nomor 39
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Walaupun
sebelum terbitnya UUJPH, beberapa Fatwa MUI tentang produk halal telah
terbit, diantaranya Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa
Halal, dan Fatwa Nomor 01 Tahun 2011 tentang Penetapan Produk Halal, namun
sampai saat ini peraturan dan fatwa-fatwa tersebut belum tersosialisasi dengan
efektif.49 Konsideran UUJPH mewajibkan negara memberikan perlindungan dan
jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.
Pasal 1 ayat (1) UUJPH menyatakan bahwa produk adalah barang
dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk
kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang
dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Selanjutnya PP 31/2019
menjelaskan bahwa barang yaitu makanan, minuman, obat, kosmetik, produk
kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang
dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan jasa
merupakan usaha yang terkait dengan barang dan mata rantainya

49
Renny Supriyatni, et.al. 2020, Perlindungan Hukum terhadap Jaminan atas Produk Halal dari
Sudut Pandang Hukum Islam, Basic Themes Toward Halal Sustainabilility Management, Hasil
Kajian Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Dipenoorodan dan Pusat Penyelidikan Halalan
Thayyiban University Sutan Syari li, Brunai Darusalam, hlm. 19.

Pengakuan Sertifikasi Halal


32
Secara Internasional
(penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,
penjualan, dan penyajian).
Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) UUJPH menjelaskan bahwa produk halal
adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Produk
halal yang dimaksud adalah makanan, minuman, obat, kosmetik, dan lain-lain
yang tersusun dari unsur yang halal, dan telah melalui proses produksi produk
halal yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariah. Pernyataan halal
tersebut dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang
dikeluarkan oleh MUI, dengan kriteria:50
1. tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi;
2. semua bahan yang berasal dari hewan halal disembelih menurut tata cara
syari'at Islam;
3. semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan dan transportasinya tidak digunakan untuk babi. Jika pernah
digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya terlebih dulu harus
dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari'at Islam;
4. semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar;
5. semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan dan tempat transportasi tidak digunakan untuk babi atau barang
tidak halal lainnya, tempat tersebut harus terlebih dahulu dibersihkan
dengan tata cara yang diatur menurut syariat Islam.
Uraian tersebut di atas memiliki relevansi dengan ketentuan Pasal 1 ayat
4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK). UUPK menjelaskan bahwa barang adalah setiap benda, baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan

50
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Perdana Media Group, Jakarta,
hlm. 111.

Pengakuan Sertifikasi Halal


33
Secara Internasional
maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Pengaturan sertifikasi halal secara jelas tertuang dalam Pasal 4 UUJPH,
yang menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Sementara ketentuan Pasal 26
UUJPH mengatur bahwa:
1. pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan
yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20
dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal;
2. pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan
keterangan tidak halal pada Produk.
Sertifikasi halal diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang diterbitkan oleh MUI
dengan menyatakan kehalalan suatu produk berdasarkan syariat Islam, setelah
melalui proses audit yang dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Sedangkan Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah suatu pengelolaan terpadu
terhadap bahan, proses, produk, sumberdaya manusia, dan prosedur untuk
menghasilkan produk halal dan menjamin kehalalannya secara konsisten dan
berkelanjutan.
Ketentuan kewajiban bersertifikat halal bagi semua produk sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 UUJPH, mulai berlaku sejak 5 (lima) tahun setelah terbitnya
UUJPH, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) UUJPH. Jika
berpijak pada waktu disahkannya UUJPH, maka pemberlakuan ketentuan Pasal
4 UUJPH seharusnya telah dimulai sejak 17 Oktober 2019. Selain itu,
Pemerintah membantu Usaha Kecil Mikro (UKM) dalam waktu 5 tahun untuk
memenuhi standar halal. UKM yang memenuhi standar halal harus segera
mendapatkan sertifikasi halal.

Pengakuan Sertifikasi Halal


34
Secara Internasional
Penjelasan yang berkaitan dengan proses tersebut, dilaksanakan melalui
tahapan-tahapan, sebagai berikut:
1. produk yang sudah bersertifikasi halal saat 17 Oktober 2019 dan masih
berlaku sertifikasinya dihimbau meregristrasi ke BPJPH dengan mengirim
copy sertifikat;
2. produk belum melakukan sertifikasi halal dan memenuhi serta berkeinginan
mendapatkan sertifikasi halal, proses aplikasinya ke BPJPH dengan
ketentuan yang ada di BPJPH; dan
3. registrasi dimaksudkan untuk mempermudah pendataan dan
memberitahukan masa perpanjangan. (UU No. 33 Tahun 2014 Pasal 42 b).
Terkait dengan biaya sertifikasi halal, Pasal 44 UUJPH mengatur bahwa
pembiayaan dilakukan sebagai berikut:
1. biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan
permohonan sertifikat halal;
2. dalam hal pelaku usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi
halal dapat difasilitasi oleh pihak lain; dan
3. ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Sebelum berlakunya proses sertifikasi halal di BPJPH, MUI telah
mengatur proses dan prosedur sertifikasi halal bagi perusahaan atau pelaku usaha
yang ingin mendapatkan sertifikat dan label halal sebagai berikut:51

51
www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/39/1328/page, diakses 20
November 2021

Pengakuan Sertifikasi Halal


35
Secara Internasional
Gambar 1.2 Alur Proses Sertifikasi Halal di LPPOM-MUI

1. perusahaan mengajukan permohonan kepada LPPOM MUI. Permohonan


sertifikasi halal dapat pula dilakukan melalui pendaftaran secara online
melalui website LPPOM-MUI (http://e-lppommui.org/) dan membayar
biaya pendaftaran serta biaya akad sertifikasi halal senilai Rp1.500.000,00-
Rp2.000.000,00. Selanjutnya, perusahaan/pelaku usaha melengkapi seluruh
syarat kelengkapan dokumen, meliputi: daftar bahan, daftar produk/daftar
menu, fotocopy ktp, fotocopy izin usaha dan perusahaan sebagaimana
tercantum dalam buku pedoman persyaratan sertifikasi halal, yaitu HAS
23000;
2. LPPOM MUI akan melakukan tahap pemeriksaan yang dilakukan oleh
Auditor Halal LPPOM MUI. Dalam hal ini auditor melakukan penelitian
terhadap perusahaan terkait bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong,
melalui analisis lab untuk mendapatkan kepastian tentang bahan halal yang
digunakan pada produk perusahaan tersebut. Apabila mengandung bahan

Pengakuan Sertifikasi Halal


36
Secara Internasional
haram maka tidak dapat disertifikasi, tetapi apabila memenuhi sistem
jaminan halal maka proses dapat dilanjutkan;
3. Komisi Fatwa MUI melakukan pembahasan di rapat Komisi Fatwa MUI
berdasarkan laporan hasil pemeriksaan yang dihadiri oleh ketua fatwa, dan
direktur lembaga pemeriksa. Apabila rapat tersebut menentukan bahwa
persyaratan tidak terpenuhi maka perusahaan pemohon akan memperoleh
audit memorandum dan harus melengkapi kekurangan dokumen, sedangkan
ketika persyaratan terpenuhi maka Komisi Fatwa MUI akan mengeluarkan
Surat Keputusan Fatwa untuk diterbitkannya sertifikat halal;
4. perusahaan/pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal
melanjutkan proses pencantuman logo halal pada produk kemasan tersebut.
Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
sertifikasi halal serta menyukseskan program 10 juta produk bersertifikat halal,
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, Kementerian/Lembaga, Pemda
dan mitra BPJPH lainnya hadir untuk membantu penguatan pelaku usaha mikro
dan kecil melalui program Sertifikat Halal Gratis (sehati) tahun 2022. Program
layanan sertifikasi halal gratis (SEHATI) oleh BPJPH hadir dalam layanan
kategori pernyataan pelaku usaha (self declare). Berikut daftar persyaratan
sertifikasi halal gratis bagi pelaku usaha kecil kategori self-declare:52
1. produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan
kehalalannya;
2. proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana;
3. memiliki hasil penjualan tahunan (omset) maksimal Rp 500 juta yang
dibuktikan dengan pernyataan mandiri dan memiliki modal usaha sampai
dengan paling banyak Rp 2 miliar rupiah;
4. memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB);

52
BPJPH, “Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI)”, http://sehati.halal.go.id/#cta diakses pada 2
November 2022

Pengakuan Sertifikasi Halal


37
Secara Internasional
5. memiliki lokasi, tempat, dan alat proses produk halal (PPH) yang terpisah
dengan lokasi, tempat, dan alat proses produk tidak halal;
6. memiliki atau tidak memiliki surat izin edar (PIRT/MD/UMOT/UKOT),
Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk produk makanan/minuman
dengan daya simpan kurang dari tujuh hari atau izin industri lainnya atas
produk yang dihasilkan dari dinas/instansi terkait.
7. memiliki outlet dan/atau fasilitas produksi paling banyak 1 (satu) lokasi;
8. secara aktif telah berproduksi satu tahun sebelum permohonan sertifikasi
halal;
9. produk yang dihasilkan berupa barang (bukan jasa atau usaha restoran,
kantin, catering, dan kedai/rumah/warung makan);
10. bahan yang digunakan sudah dipastikan kehalalannya. Dibuktikan dengan
sertifikat halal, atau termasuk dalam daftar bahan sesuai Keptusan Menteri
Agama Nomor 1360 Tahun 2021 tentang Bahan yang dikecualikan dari
Kewajiban Bersertifikat Halal;
11. tidak menggunakan bahan yang berbahaya;
12. telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk halal;
13. jenis produk/kelompok produk yang disertifikasi halal tidak mengandung
unsur hewan hasil sembelihan, kecuali berasal dari produsen atau rumah
potong hewan/rumah potong unggas yang sudah bersertifikasi halal;
14. menggunakan peralatan produksi dengan teknologi sederhana atau
dilakukan secara manual dan/atau semi otomatis (usaha rumahan bukan
usaha pabrik);
15. proses pengawetan produk yang dihasilkan tidak menggunakan teknik
radiasi, rekayasa genetika, penggunaan ozon (ozonisasi), dan kombinasi
beberapa metode pengawetan (teknologi hurdle);
16. melengkapi dokumen pengajuan sertifikasi halal dengan mekanisme
pernyataan pelaku usaha secara online melalui SIHALAL.

Pengakuan Sertifikasi Halal


38
Secara Internasional
Adapun proses sertifikasi halal kategori self declare tidak dikenakan biaya,
sedangkan untuk kategori regular dikenakan biaya sebesar Rp. 300.000 untuk
pendaftaran dan penetapan kehalalan produk serta Rp. 350.000 untuk biaya
pemeriksaan kehalalan produk oleh LPH. Berikut adalah alur proses sertifikasi
halal BPJPH:53

Gambar 1.3 Alur Proses Sertifikasi Halal BPJPH

1. Pelaku usaha melakukan permohonan pendaftaran dengan dokumen


pelengkap: data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan
bahan yang digunakan, pengolahan produk, dan dokumen system jaminan
produk halal.
2. BPJPH akan memeriksa kelengkapan dokumen dalam 2 hari kerja
3. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) akan menguji kehalalan produk dalam 15
hari kerja
4. MUI akan menetapkan kehalalan produk melalui siding fatwa halal dengan
rentang waktu 3 hari kerja
5. Penerbitan sertifikasi halal oleh BPJPH dilakukan dalam 1 hari kerja

Produk yang beredar di masyarakat saat ini belum semua terjamin


kehalalannya. Hal tersebut dikarenakan tingkat kesadaran dan pendidikan
konsumen yang relatif rendah, serta etos bisnis yang tidak benar, seperti bisnis

53
BPJPH, “Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI)”, http://sehati.halal.go.id/#cta diakses pada 2
November 2022

Pengakuan Sertifikasi Halal


39
Secara Internasional
yang bertujuan memperoleh keuntungan semata-mata, bisnis tidak memiliki
nurani, dan lain sebagainya.54 Dalam hal ini, perlindungan konsumen harus
mendapat perhatian yang penting, karena membanjirnya berbagai produk baik
dari luar maupun yang dihasilkan di Indonesia tidak dapat dihindari, sejalan
dengan pesatnya pertumbuhan di bidang perdagangan. Faktor penting sebagai
penyebab lemahnya konsumen, menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN), adalah sebagai berikut:55
1. masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya;
2. belum terkondisinya masyarakat konsumen karena memang sebagian
masyarakat ada yang belum tahu akan hak-haknya dan kemana haknya
dapat disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar
barang dan jasa sewajarnya;
3. belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang
mempunyai kemauan untuk menuntut hak-haknya;
4. proses peradilan yang rumit dan waktu yang berkepanjangan.
Adapun pengaturan mengenai kehalalan suatu produk pada saat ini
belum menjamin kepastian hukum dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai
penerapan peraturan tentang jaminan halal. Para pihak dibutuhkan perannya
masing-masing sesuai dalam Pasal 53, 54, 55 UUJPH, diantaranya:
1. Penyelenggara JPH, bentuk kegiatannya antara lain:
a. Sosialisasi JPH
b. Mengawasi produk yang beredar.
2. peran pengaduan dan pelaporan ke BPJPH;
3. berhak mendapat penghargaan;
4. diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA).

54
Neni Sri Imaniyati, 2002, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam, Mandar Maju, Bandung, hlm.
161.
55
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk.
Pantai Rei, Jakarta, 2005, hlm. 42.

Pengakuan Sertifikasi Halal


40
Secara Internasional
Sertifikasi dan labelisasi halal dilakukan untuk memberikan kepastian
status kehalalan suatu produk.56 Bagi konsumen, terutama konsumen Muslim,
keuntungan dari sertifikat halal sudah jelas, mengetahui sebuah produk telah
bersertifikat halal berarti keamanan dan ketenangan batin dalam mengkonsumsi
dan menggunakan produk tersebut. Konsumen mendapat kepastian dan jaminan
bahwa produk tersebut tidak mengandung sesuatu yang tidak halal dan juga
diproduksi dengan cara yang halal. Selain itu, jaminan kualitas dan mutu akan
berjalan beriringan untuk melindungi kepentingan konsumen serta mewujudkan
ketenangan berproduksi bagi pelaku usaha atau produsen. Berdasarkan paparan
di atas, dapat diketahui bahwa kehalalan makanan, minuman, obat, kosmetik dan
produk lainnya bagi umat Islam Indonesia yang semula hanya diatur secara
normatif dalam kitab-kitab fiqh, kini telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang merupakan paradigma baru dalam pengaturan kehalalan produk.
Dengan demikian, maka tanggung jawab atas kehalalan produk makanan,
minuman, obat, kosmetik dan produk lainnya tidak hanya menjadi tanggung
jawab individu dan tokoh agama semata, melainkan juga menjadi tanggung
jawab Pemerintah.
Hukum Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran agama
Islam, yakni merupakan sumber hukum yang penting untuk dilembagakan di
Indonesia. Secara empirik, hukum Islam merupakan hukum yang hidup (the
living law) dalam masyarakat Indonesia. Islam sebagai agama mayoritas
penduduk di Indonesia telah memengaruhi ketentuan hukum positif di Indonesia.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagai

56
Jakarta Islamic Centre, “Sertifikasi Halal untuk Tentramkan Konsumen”, (http://www.info-
jic.org/berita-mainmenu-26/islamjakarta-mainmenu-34/1054-sertifikasi-halal-untuk-
tenteramkan-konsumen), diungkapkan Lukmanul Hakim, Wakil Dirut LPPOM MUI, pada
Republika di Jakarta.

Pengakuan Sertifikasi Halal


41
Secara Internasional
landasan yuridis produk halal, dijadikan sebagai payung hukum jaminan produk,
sertifikasi dan labelisasi pangan halal antara lain:57
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 21 huruf
d terdapat kata “ketentuan lainnya”. Dalam penjelasan ayat tersebut
dinyatakan: bahwa yang dimaksud dengan ketentuan lainnya misalnya,
“kata atau tanda halal yang menjamin bahwa makanan dan minuman
dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan
halal”.
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 8 ayat (1) huruf h menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak
memenuhi ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal
yang dicantumkan dalam label. Undang-undang ini juga menggariskan
penerapan ketentuan produk secara halal sebagaimana kehalalan yang
dinyatakan dalam label untuk menciptakan kepastian hukum dan
perlindungan kepada masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan
produk halal.
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pada Pasal 30 ayat
(2) disebutkan bahwa “label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya keterangan mengenai nama produk, daftar bahan yang
digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang
memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia,
“keterangan tentang halal” dan tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa”.
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal,
dicantumkan Pasal 26 ayat (1) pelaku usaha yang memproduksi produk dari
bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud

57
Hasil edit Penulis terhadap Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama RI, Jakarta, 2003, hlm. 27 – 28.

Pengakuan Sertifikasi Halal


42
Secara Internasional
dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan
sertifikat halal. Dijelaskan pula pada ayat (2), Pelaku Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan “keterangan tidak halal” pada
produk. “Keterangan tidak halal” yang dimaksud adalah pernyataan tidak
halal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari produk. Keterangan
dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan.
5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Pangan
Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang yang memproduksi atau
memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat
Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib
mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label. Selanjutnya pada
Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang
ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan
saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut”.
Dalam penjelasan ayat tersebut, lembaga keagamaan dimaksud adalah
Majelis Ulama Indonesia.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Implementasi Jaminan
Produk Halal. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan peraturan
pelaksanaan tentang Jaminan Produk Halal di Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Sebagaimana tercantum pada Pasal 26 ayat (1) pelaku usaha yang
memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari
mengajukan permohonan sertifikat halal.
7. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 280/MenKes/Per/XI/1976, Pasal
2 Ayat (1). Pada wadah atau bungkus makanan yang diproduksi di dalam

Pengakuan Sertifikasi Halal


43
Secara Internasional
negeri maupun yang berasal dari impor yang mengandung bahan yang
berasal dari babi harus dicantumkan tanda peringatan berupa gambar dan
tulisan “Mengandung Babi”.
8. Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No.
4271/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang Pencantuman
tulisan label “Halal” pada Label Makanan.
9. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.924/MenKes/SK/VIII/1996,
menyebutkan bahwa Persetujuan Pencantuman tulisan “Halal” diberikan
oleh Dirjen POM (Pengawasan Obat dan Makanan) berdasarkan fatwa dari
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
10. Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30
Nevember 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan
Penetapan Pangan Halal. Pasal 10 ayat (2); Nomor Sertifikasi Halal dan
Tulisan “Halal” dengan huruf Arab dan huruf Latin.
11. Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 519 Tahun 2001 Tanggal 30
Nevember 2001 tentang Lembaga Pelaksanaan Pemeriksaan Pangan Halal.
Pasal 1; menunjuk MUI sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan
yang dinyatakan halal yang dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bentuk-bentuk upaya menjaga
keamanan dari pengaruh teknologi terhadap kehalalan suatu produk, terdapat
prinsip-prinsip dan kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Prinsip Produk Makanan
Kriteria halal pada makanan yang ditetapkan oleh LPPOM MUI bersifat
umum dan sangat berkaitan dengan persoalan teknis pemeriksaan.
Memeriksa suatu makanan, senantiasa berdasarkan pada standar, berawal
dari bahan baku utama, bahan tambahan, bahan penolong, proses produksi,

Pengakuan Sertifikasi Halal


44
Secara Internasional
dan jenis kemasannya. 58 Dalam prinsip tersebut mengenal makanan haram.
Keharaman tersebut dapat disebabkan oleh jenis hewannya (babi, binatang
buas), asal produk, cara penyembelihannya, darah, produk olahan serta
produk tambahan atau produk turunannya.
2. Prinsip Produk Minuman59
Kaidah yang berlaku untuk produk minuman tidak memiliki spesifikasi
tersendiri. Kaidah hukum Islam yang berlaku untuk produk minuman
meliputi empat faktor, yaitu: memabukkan, membahayakan, najis, dan
terkontaminasi dengan bahan yang haram atau najis.
3. Prinsip Produk Obat-obatan60
Dunia obat-obatan berkembang cepat seiring dengan perkembangan
keanekaragaman penyakit. Terdapat beberapa obat-obatan yang ditemukan
mengandung unsur babi dalam bahan utama, bahan tambahan, dan bahan
penolongnya. Selanjutnya ditemukan bahwa adanya penggunaan embrio
dan organ manusia serta penggunaan alkohol dalam obat-obatan seperti
insulin, heparin, kapsul, dan alkohol.
4. Prinsip Produk Kosmetik61
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 220/MenKes/Per/X/76,
kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, diletakkan,
dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan, dimasukkan ke dalam,
dipergunakan pada badan manusia dengan maksud untuk membersihkan,
memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa dan tidak termasuk
golongan obat.

58
Sofyan Hasan, 2004, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Aswaja Presindo, Yogyakarta,
hlm.
225
59
Sofyan Hasan, Ibid, hlm. 235
60
H. Mashudi, 2015, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk
Halal, Pustaka Pelajar, hlm. 110
61
H. Mashudi, Ibid, hlm. 111

Pengakuan Sertifikasi Halal


45
Secara Internasional
Sehubungan dengan Peraturan Menteri Kesehatan tersebut di atas,
LPPOM MUI lebih menjelaskan titik kritis bahan kosmetik yang berasal
dari hewani, antara lain: kolagen, berasal dari jaringan kulit hewan (babi,
biri-biri, sapi dan kambing), plasenta (berasal dari rahim ketika masa hamil),
Linolin (sejenis minyak atau lemak yang biasanya berasal dari hewan).
Selain bahan kosmetik berasal dari hewani, terdapat bahan yang berasal dari
manusia, antara lain: keratin (berasal dari rambut manusia), Albumin
(berasal dari serum darah manusia), dan Asam Hilaluronat (berasal dari
cairan mata dan tali janin).
Selanjutnya, masalah prinsip-prinsip tanggung jawab pelaku usaha,
secara umum dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability Based on
Fault)62
Prinsip tersebut menyatakan bahwa seseorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan
yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai
pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok, yaitu:
a. adanya perbuatan;
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita; dan
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Kesalahan yang dimaksud adalah unsur yang bertentangan dengan
hukum. Pengertian bertentangan dengan hukum, tidak hanya bertentangan
dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam
masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima

62
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hlm. 93

Pengakuan Sertifikasi Halal


46
Secara Internasional
karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi
pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah
harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.
2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (Presumption of
Liability)63
Dalam prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability principle), sampai tergugat dapat membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi, beban pembuktiannya pada prinsip ini
terletak dan terbebani pada tergugat.
3. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability)64
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah prinsip
tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang
menentukan. Namun, ada pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeure.
Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa
kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang
agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak
adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan
kesalahannya. Pada absolute liability, dapat saja tergugat yang dimintai
pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut
(misalnya saja dalam kasus bencana alam).
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan
konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya
produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen.
Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut
asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang

63
Ibid, hlm. 94-95.
64
Ibid, hlm. 96

Pengakuan Sertifikasi Halal


47
Secara Internasional
dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan 3
(tiga) hal:
a. melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul
tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk;
b. ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi
standar pembuatan obat yang baik;
c. menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).
4. prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)65
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh para pelaku usaha untuk dicantumkan
sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Misalnya, dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang ingin
dicuci/cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),
maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali
harga satu rol film baru.
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila
ditetapkan secara sepihak oleh para pelaku usaha. UUPK menjelaskan
bahwa seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal
pertanggungjawabannya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang jelas.
5. Prinsip Tanggung Jawab Produk (Product Liabilty)
Menurut Agnes M. Toar, bahwa prinsip ini sebagai tanggung
jawab pelaku usaha karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Prinsip

65
Ibid, hlm. 97-98

Pengakuan Sertifikasi Halal


48
Secara Internasional
tanggung jawab produk dapat dikategorikan ke dalam hal yang
berhubungan dengan:66
a. proses produksi, yaitu menyangkut tanggung jawab pelaku usaha atas
produk yang dihasilkannya bila menimbulkan kerugian bagi
konsumen. Misalnya menyangkut tanggung jawab atas kualitas
produk, tanggung jawab atas produk yang cacat, baik cacat desain
maupun cacat produk dan sebagainya;
b. promosi niaga/iklan, yaitu menyangkut tanggung jawab pelaku usaha
atas promosi niaga/iklan tentang ikhwal produk yang dipasarkan, atau
berkaitan dengan iklan yang menyesatkan bila menimbulkan kerugian
bagi konsumen;
c. praktik perdagangan yang tidak jujur, seperti persaingan curang,
pemalsuan, penipuan, dan memiliki itikad tidak baik.
Penjelasan Pasal 2 UUPK, Penjelasan Pasal 2 UUJPH, dan Penjelasan
Pasal 2 UU Pangan menunjukkan bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal
dan penyelenggaraan pangan berasaskan:
1. Asas Perlindungan
Asas ini dimaksudkan bahwa dalam menyelenggarakan jaminan produk
halal, harus bertujuan untuk melindungi masyarakat Muslim.
2. Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal,
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
3. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum ini mewajibkan penyelenggaraan jaminan produk
halal agar bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan
suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.

66
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia
Indonesia, Bogor, hlm. 65

Pengakuan Sertifikasi Halal


49
Secara Internasional
4. Asas Akuntabilitas dan Transparansi
Melalui asas ini, setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan
jaminan produk halal harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Asas Efektivitas dan Efisiensi
Asas ini dimaksudkan bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal
dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya
guna serta meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan
cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau.
6. Asas Profesionalitas
Asas tersebut bermaksud bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal
dilakukan dengan mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi
dan kode etik.

C. Ekosistem Halal dan Potensi Ekonomi Halal


1. Ekosistem Halal Secara Umum (Ruang Lingkup)
Ekosistem merupakan rangkaian teratur unsur halal yang merupakan kesatuan
utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
dan produktivitas.67 Sistem diartikan sebagai suatu keseluruhan yang kompleks,
suatu susunan hal atau bagian yang saling berhubungan. Sedangkan halal
merupakan perbuatan yang dibolehkan, diharuskan, diizinkan atau dibenarkan
dalam syari’at Islam. Dengan demikian, ekosistem halal adalah suatu
keseluruhan rangkaian unsur yang teratur atas perbuatan yang dibolehkan,
diharuskan, diizinkan atau dibenarkan syari’at Islam”.

67
Zulkifli dan Jimmy P, 2012, Kamus Hukum, Dictionary of Law, Grahamenia Press, Surabaya,
hlm. 154.

Pengakuan Sertifikasi Halal


50
Secara Internasional
Ekosistem halal dikatakan pula, merupakan suatu tatanan kesatuan
secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur yang mendukung dalam
produksi halal, yaitu merupakan mata rantai aktivitas produksi halal yang saling
berhubungan yang saling mempengaruhi. Ekosistem ini dibentuk dari supply
chain yang menghubungkan satu titik ke titik lainnya dan memiliki nilai
sehingga merupakan satu mata rantai yang terhubung satu dengan lainnya yang
membentuk nilai (value). Ekosistem tersebut juga harus mampu
menghubungkan seluruh komponen inti dan pendukung industri halal dari hulu
ke hilir. Ekosistem halal mencakup produksi barang dan jasa, dan dapat
melingkup infrastruktur, pemerintah dan manusia.68 Selain itu, suatu produk
dikatakan halal menurut syariat, jika memenuhi kriteria, sebagai berikut:69
a. halal semua bahannya;
b. halal cara memperolehnya;
c. halal dalam memprosesnya (termasuk penyembelihan);
d. halal dalam pengemasannya;
e. halal dalam pengangkutannya;
f. halal dalam penyimpanannya; dan
g. halal dalam penyajiannya.
Secara ideologis, khususnya bagi umat Islam persoalan produk makanan
bukan hanya harus sehat, melainkan juga harus halal. Persoalan makanan bagi
umat Islam selain harus memperhatikan aspek kesehatan, juga harus sesuai
dengan tuntunan syari’at. Makanan sehat adalah makanan yang mengandung
gizi cukup dan seimbang, sesuai dengan kebutuhan konsumen, tidak berlebihan
atau berkekurangan, tidak melampaui batas yang wajar, aman dan tidak
menyebabkan penyakit, juga aman secara duniawi dan ukhrawi. Keamanan

68
Bank Indonesia, Ekosistem Industri Halal, 2020, Departemen Ekonomi dan Keuangan
Syariah,
Jakarta, hlm. 74.
69
Slamet Ibrahim, Op.cit, Slide 36.

Pengakuan Sertifikasi Halal


51
Secara Internasional
pangan (food safety) ini secara implisit dinyatakan dalam al-Qur’an Surat Al-
Maidah [5]: 88 dan al-Baqarah [2]: 172-173.
Sertifikasi halal dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan
suatu produk sehingga dapat menentramkan batin para konsumen yang
mengonsumsinya.70 Bagi konsumen Muslim, keuntungan dari sertifikat halal
sudah jelas, mengetahui sebuah produk telah bersertifikat halal berarti
keamanan dan ketenangan batin dalam mengkonsumsi dan menggunakan
produk tersebut. Konsumen mendapat kepastian dan jaminan bahwa produk
tersebut tidak mengandung sesuatu yang tidak halal dan juga diproduksi dengan
cara yang halal. Selain itu, jaminan kualitas dan mutu akan berjalan beriringan
untuk melindungi kepentingan konsumen dan dalam usaha mewujudkan
ketenangan berproduksi bagi produsen. Dengan demikian, dapat dijelaskan
bahwa sertifikasi halal memberikan nilai tambah, baik bagi konsumen karena
mengetahui status produk, maupun bagi produsen karena produknya diminati
pasar.
Proses produksi halal bagi pelaku usaha harus dilakukan secara
menyeluruh dan mendalam. Disebut menyeluruh karena melibatkan setiap
tahapan proses produksi, dan disebut mendalam karena melibatkan setiap
kebijakan proses produksi hingga evaluasi kebijakan proses produksi. Guna
memenuhi proses produksi halal tersebut, sejumlah kriteria sistem jaminan halal
wajib diterapkan, yaitu: 71
a. kebijakan halal;
b. tim manajemen halal;

70
Jakarta Islamic Centre, “Sertifikasi Halal untuk Tentramkan Konsumen”, (http://www.info-
jic.org/berita-mainmenu-26/islamjakarta-mainmenu-34/1054-sertifikasi-halal-untuk-
tenteramkan-konsumen), diungkapkan Lukmanul Hakim, Wakil Dirut LPPOM MUI, pada
Republika di Jakarta. Lihat pula, Renny Supriyatni, 2020, Op.cit, hlm. 20.
71
No Name, Pengantar Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal, pada Pelatihan Sistem
Jaminan Halal dan Jaminan Produk Halal, Padjadjaran Halal Center, Unpad, Bandung, 2019.
Slide 31.

Pengakuan Sertifikasi Halal


52
Secara Internasional
c. pelatihan;
d. bahan;
e. produk;
f. fasilitas produksi;
g. prosedur tertulis untuk aktivitas kritis;
h. kemampuan telusur;
i. penanganan produk yang tidak memenuhi kriteria;
j. audit internal;
k. kaji ulang manajemen.

Perlindungan hukum terhadap produk halal bagi konsumen Muslim


sangat penting di Indonesia, mengingat mayoritas konsumen di Indonesia
beragama Islam. Konsumen Muslim sudah selayaknya mendapatkan
perlindungan atas barang dan/atau jasa yang sesuai syari’at. Pandangan Islam
dalam mengonsumsi dan/atau menggunakan produk barang maupun jasa yang
halal lagi baik, merupakan manivestasi dari ketakwaan diri kepada Allah SWT.
Pelaku usaha wajib memiliki sertifikat halal atas produk yang
diperdagangkannya untuk membuktikan dan memberikan jaminan kepastian
hukum bagi konsumen.
Pasal 1 angka 1 UUPK menjelaskan bahwa perlindungan konsumen
merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan Pasal 1 angka 2 UUPK
mengatur bahwa konsumen, ialah setiap orang pemakai barang atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, oang lain,
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.72
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris) atau
consument/konsument (Belanda). Consumer atau consument lawan kata dari

72
Renny Supriyatni, 2020, Op.cit, hlm. 23

Pengakuan Sertifikasi Halal


53
Secara Internasional
producer, dapat bermakna setiap orang yang menggunakan barang atau produk.
Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen
kelompok mana pengguna tersebut, Black’s Law Dictionary mendefinisikan
konsumen adalah one who consumes, individuals who purchase, use, maintain
and dispos of products and services, and users of the final product.73 Apabila
diterjemahkan secara bebas, maka konsumen adalah seseorang yang
mengonsumsi, seseorang yang membeli, menggunakan, membayar dan
memakai suatu produk dan jasa, sebagai pengguna akhir dari suatu produk.
Kamus Bahasa Inggris-Indonesia menerjemahkan consumer sebagai pemakai
atau konsumen.74 Sehingga konsumen dapat diartikan setiap orang yang
mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu
kegunaan tertentu. Pengertian setiap orang dalam batasan di atas baik orang
dalam arti alamiah maupun orang dalam arti hukum (manusia dan badan
hukum). Kemudian yang dimaksud dengan mendapatkan secara sah dalam
batasan tersebut adalah diperolehnya barang atau jasa itu dengan cara-cara yang
tidak bertentangan dengan hukum atau melawan hukum.
Masalah perlindungan konsumen yang telah menjadi konsensus
internasional mencakup beberapa bidang yang bukan sekedar merupakan
kebijaksanaan dan kesejahteraan sosial belaka, melainkan mencakup pula aspek
kebijaksanaan ekonomi, teknologi, medis serta hukum sehingga merupakan
bagian dari suatu kesatuan yang terpadu. Enam bidang yang tercakup dalam
perlindungan konsumen tersebut, adalah:75
a. keselamatan fisik;

73
Henry Black Campbell, 1991, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing
company, St.Paul, Minnosseta, hlm. 550.
74
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 8.
75
Penuntun Umum Pendidikan Konsumen (PUPK), yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri
Negara Urusan Wanita, Jakarta, Tanpa Tahun, hlm.19-24. Lihat pula, Renny Supriyatni, 2020,
Op.cit, hlm.22

Pengakuan Sertifikasi Halal


54
Secara Internasional
b. peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomi konsumen;
c. standar untuk keselamatan dan kualitas barang dan/atau jasa;
d. pemerataan fasilitas bagi kebutuhan pokok akan barang dan/atau jasa;
e. program pendidikan dan penyebaran informasi;
f. pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman dan obat-
obatan.
Aktor penyelenggaraan perlindungan konsumen dapat dilakukan oleh
berbagai unsur dan pihak, namun untuk memastikan aktor perlindungan
konsumen dalam penyelenggaraannya dapat lihat pada unsur berikut, yaitu:76
a. Perlindungan oleh pemerintah.
Dua cara pemerintah melindungi masyarakat konsumen, yakni melalui
peraturan perundang-undangan dan melalui standardisasi.
b. Perlindungan oleh konsumen itu sendiri.
Konsumen sebagai pemakai barang dan jasa mampu memilih barang dan
atau jasa sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
c. Perlindungan oleh organisasi konsumen.
Konsumen yang mengadukan keluhannya, kemudian tidak mendapat
tanggapan yang baik maka konsumen dapat minta bantuan organisasi
konsumen, misalnya melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI).
d. Perlindungan oleh pelaku usaha.
Salah satu perlindungan yang sama pentingnya dengan berbagai
perlindungan konsumen lainnya, ialah perlindungan dari pelaku usaha
sendiri. Kesadaran pelaku usaha akan kewajibannya untuk menaati
peraturan merupakan upaya lain yang sangat penting untuk mencapai
keberhasilan usaha perlindungan terhadap konsumen.

76
Renny Supriyatni, 2020, Loccit, hlm. 22-23. Lihat pula, Penuntun Umum Pendidikan
Konsumen (PUPK), Ibid, hlm.19-24.

Pengakuan Sertifikasi Halal


55
Secara Internasional
2. Potensi Ekonomi Halal
Saat ini, kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan
kolektif suatu negara-bangsa. Keunggulan suatu negara diukur berdasarkan
tingkat kemajuan ekonominya, dan ukuran derajat keberhasilan menjadi sangat
penting bagi kehidupan suatu bangsa. Dalam melakukan aktifitas ekonomi,
manusia sebagai anggota masyarakat memerlukan suatu pola atau aturan yang
sama dengan anggota masyarakat di wilayah lainnya.77 Oleh karena diperlukan
untuk memberikan suatu kemudahan dan keadilan dalam bertransaksi, biasanya
dilandasi atas pengetahuan dan tradisi setempat, serta adanya kesepakatan kedua
belah pihak.
Kebutuhan terhadap hukum yang mengatur dan memelihara hubungan
masyarakat, bermanfaat untuk kepentingan bersama. Pengetahuan terhadap
hukum didapatkan melalui telaah dengan akal pikiran yang diilhami oleh
kejadian atau fakta empiris, maupun hasil telaah dari Kitab Suci (ajaran Islam).78
Sejalan dengan hal tersebut, eksistensi keimanan (agama) dalam perilaku
ekonomi manusia menjadi titik krusial yang perlu dipahami untuk membedakan
konsep ekonomi Islam (halal) dengan konsep ekonomi sekuler. Faktor-faktor
tersebut pula yang membuat praktik-praktik ekonomi Islam berbeda dengan
sekuler.
Hal tersebut sejalan dengan Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang
menyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” serta pada alinea
keempat yaitu Sila Pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Uraian

77
Juhaya S. Pradja, 2015, Ekonomi Syariah, Pustaka Setia, Bandung, hlm. 39.
78
Muhamad Nejatullah Siddiqi, 2005, Teaching Islamic Economics, Scientific Publishing
Centre_King Abdul Azis University, Jeddah, Saudi Arabia, hlm. 6-7. Dikutip dari Renny
Supriyatni, 2018, Sistem Bagi Hasil Dengan Mekanisme Pembagian Untung dan Rugi, Dapat
Memberi Keadilan bagi Nasabah & Bank Syariah, Unpad Press, hlm. 11-12. lihat pula, Frank
E. Vogel & Samuel L. Hayes, III (Penerjemah: M. Sobirin Asnawi at. al.), 2007, “Hukum
Keuangan Islam, Konsep, Teori dan Praktik (Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and
Return)”, Cet. I, Nusamedia, Bandung, hlm. 23.

Pengakuan Sertifikasi Halal


56
Secara Internasional
tersebut di atas menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang
religius, yang terinternalisasi dengan nilai-nilai ketuhanan dan pengakuan akan
adanya hukum positif yang berasal dari Tuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Islam mengandung aqidah dan syariah sudah sempurna dalam mengatur
muamalah79 , termasuk muam’ālah māliyah atau al-iqtiṣād (ekonomi). Ekonomi
dalam perspektif Islam salah satu hal yang harus diperjuangkan walaupun
memiliki berbagai hambatan. Hal tersebut juga sejalan dengan potensi ekonomi
syariah yang dimiliki Indonesia sebagai berikut:80

Gambar 1.5 Potensi Ekonomi Syariah di Indonesia


Sumber: diolah penulis

Potensi pengembangan ekonomi syariah nasional salah satunya telah


didorong oleh Bank Indonesia melalui berbagai program pengembangan yang
dilakukan berdasarkan Blueprint Pengembangan Ekonomi dan Keuangan
Syariah Bank Indonesia yang terdiri dari 3 (tiga) pilar sebagai berikut:

79
Jafril Khalil, 2019, Ekonomi Islam, Perkembangan dan Masa Depannya di Indonesia, Seminar
Ekonomi Syariah, FE Unpad, Bandung, Slide 2.
80
Ahmad Rafiki, PhD, 2019, Modal Manusia di Industri Halal, Seminar Nasional Ekonomi
Islam, Universitas Medan Area, Medan, Slide 3.

Pengakuan Sertifikasi Halal


57
Secara Internasional
a. Pilar 1: Pemberdayaan Ekonomi Syariah. Pilar ini merupakan strategi utama
pengembangan ekosistem halal value chain yang meliputi pengembangan
sektoral usaha syariah melalui penguatan seluruh kelompok pelaku usaha
baik besar, menengah, kecil, maupun mikro, serta kalangan lembaga
pendidikan Islam seperti pesantren.
b. Pilar 2: Pendalaman Pasar Keuangan Syariah. Pilar ini bertujuan untuk
meningkatkan sumber pembiayaan syariah untuk perekonomian, baik
melalui keuangan komersial maupun sosial syariah, ataupun integrasi
keduanya. Dalam hal ini termasuk pula dukungan penguatan tata kelola
sektor keuangan sosial syariah untuk efektivitas implementasi.
c. Pilar 3: Penguatan Riset, Asesmen dan Edukasi. Pilar ini bertujuan untuk
meningkatkan literasi dan pemahaman masyarakat terhadap ekonomi dan
keuangan syariah. Pilar ini mencakup kegiatan sosialisasi dan komunikasi.
Strategi pada pilar ketiga ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi
dalam menyiapkan sumber daya insani yang handal, profesional, dan
berdaya saing internasional. Tujuan lain yang tidak kalah penting adalah
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat melalui berbagai program
sosialisasi yang menyeluruh dan terintegrasi baik melalui pelaksanaan
Festival Ekonomi Syariah (FESyar) di berbagai wilayah yang berskala
regional nasional, maupun penyelenggaraan Indonesia Sharia Economic
Festival (ISEF) yang berskala internasional.

Pengakuan Sertifikasi Halal


58
Secara Internasional
Gambar 1.6 Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah
Bank Indonesia

Gambar 1.7 Posisi Keuangan Syariah di Indonesia


Paralel dengan potensi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia
sebagaimana pada Gambar 1.5 dan 1.7, maka dapat disimpulkan bahwa jaminan

Pengakuan Sertifikasi Halal


59
Secara Internasional
produk halal juga memiliki potensi yang cukup besar untuk berkembang di
Indonesia. Bukan saja karena penduduknya mayoritas beragama Islam, namun
karena politik hukum Indonesia mendukung untuk memberikan jaminan
konstitusi kepada warga negaranya untuk mengkonsumsi produk halal, jaminan
tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan itu pula, dapat disimpulkan bahwa ekosistem halal dan
potensi ekonomi halal akan tumbuh berkembang di Indonesia didukung oleh
fakta empiris masyarakat Indonesia yang memberikan ruang besar bagi
perkembangan sertifikasi halal.

Pengakuan Sertifikasi Halal


60
Secara Internasional
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Hukum Islam
Al-Qur’an
Al-Hadis

Buku
Abdurrahman, E., Perbandingan Madzhab, Sinar Baru, Bandung, 1991.

Al-Asmawi, Muhamad Said, 2012, Penerapan Syariat Islam dalam Undang-


Undang, Belajar dari Pengalaman Mesir, Referensi, Jakarta.

Ali, Mohamad Daud, 1999, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo, Persada, Jakarta.

Al-Jurjani, Ali bin Muhammad, tanpa tahun, Al-Ta’rīfāt, Al-Haramain,


Singapura –Jeddah.

Anshori, Abdul Gafur, 2008, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun
2008, Rafika Adhitama, Bandung.

Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Tazkia
Cendekia, Gema Insani, Jakarta.

Arifin, Zainul, 1999, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang,Tantangan


dan Prospek, Alvabet, Jakarta.

As-Sayis, Muhammad Ali, 1953, Tafsir Ayat Ahkam, Misra, Ali Assabais.

Bank Indonesia, 2020, Ekosistem Industri Halal, Departemen Ekonomi dan


Keuangan Syariah, Jakarta

Campbell, Henry Black, 1991, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West
Publishing company, St. Paul, Minnosseta.

Dahlan, Abdul Azis, et. al, 1996, Ensiklopedia Hukum Islam, Ikhtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta.

Effendy, Mochtar, 2001, Ensiklopedia dan Filsafat, Universitas Sriwijaya,


Palembang.

Pengakuan Sertifikasi Halal


61
Secara Internasional
Hasan, M. Ali, 2003, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta

Hasan, Sofyan, 2004. Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Aswaja Presindo,
Yogyakarta.

Hosen, Ibrahim, 1986, Apa Itu Judi?, Institut Ilmu Al-Quran. Jakarta.

Imaniyati, Neni Sri, 2002, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam, Mandar Maju,
Bandung.

Ivan, Abu Muhamad dan Anwar Abu Bakar, 2008, Tuntunan Shalat Lengkap,
Fajar Utama Madani, Bandung.

Jaib, Sa’dy Abu, 1988, Al-Qāmūs Al-Fiqhy Lughatan wa Isṭilāhan, Cet. III, Dar
al-Fikr, Damaskus.

Jauhar, Mohammad, 2009, Makanan Halal Menurut Islam, Lintas Pustaka,


Jakarta.

Keller dan Kotler, 2007, Manajemen Pemasaran dan Produk, PT. Indeks,
Jakarta.

Konoras, Abdurrahman, 2017, Jaminan Produk Halal di Indonesia, Rajawali


Press, Depok.

Majelis Ulama Indonesia, 2009, Urgensi Sertifikasi Halal dalam Ijma’ Ulama,
Keputusan Ijtima’ Ulama, Komisi Fatwa Se Indonesia III, MUI, Jakarta.

Mannan, M.A., 1993, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, PT. Dana Bhakti
Wakaf, Edisi Lisensi, Yogyakarta.

Mashudi, H., 2015. Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat Terhadap


Sertifikasi Produk Halal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Musa, Muhammad Yusuf, al-Madkhal li Dirāsah al-Fiqh al-Islāmi, Dar al-Kitab


al-Arabi, Cet3. Kairo.

Nirwandar, Sapta, 2017, Halal Lifestyle, Tren dan Peluang Bisnis, Gramedia,
Jakarta.

Otoritas Jasa Keuangan, Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah


Indonesia 2020-2025.

Pengakuan Sertifikasi Halal


62
Secara Internasional
Pradja, Juhaya S., 2015, Ekonomi Syariah, Pustaka Setia, Bandung.

Qardhawi, Muhammad Yusuf, H. Mu’ammal Hamidi (Alih bahasa), 1993,


Halal dan Haram dalam Islam, PT Bina Ilmu, Jakarta.

Sahar, Saidus, 1996, Asas-asas Hukum Islam, Alumni, Bandung,

Siahaan, N.H.T., 2005, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan


Tanggung Jawab Produk, Pantai Rei, Jakarta.

Siddiqi, Muhammad Nejatullah, 2005, Teaching Islamic Economics, Scientific


Publishing Centre- King Abdulaziz University, Jeddah, Saudi Arabia.

Siwi, Kristiyanti, Celina Tri, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,


Jakarta, 2008.

Sjahdeni, Sutan Remy, 2005, Perbankan Islam; dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia. PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Supriyatni, Renny, 2010, Pengantar Hukum Islam, Dasar-dasar dan


Aktualisasinya dalam Hukum Positif, Widya Padjadjaran, Bandung.

_______, 2010, Pengantar Hukum Islam, Dasar-dasar dan Aktualisasinya


dalam Hukum Positif, Widya Padjadjaran, Bandung.

_______, 2013, Peran Bank Syariah dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia,


Books Terrace & Library, Bandung.

_______, 2013, Pengantar Perbankan Syariah di Indonesia, Books Terrace &


Library, Bandung.

_______, 2018, Sistem Bagi Hasil dengan Mekanisme Pembagian Untung dan
Rugi, dapat Memberi Keadilan bagi Nasabah dan Bank Syariah, Unpad
Press. Bandung.

_______, Renny Supriyatni, et.al. 2020, Perlindungan Hukum terhadap


Jaminan atas Produk Halal dari Sudut Pandang Hukum Islam, Basic
Themes Toward Halal Sustainabilility Management, Hasil Kajian
Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Dipnegorodan Pusat
Penyelidikan Halalan Thayyiban University Sutan Syarif Ali, Brunai
Darusalam.

Pengakuan Sertifikasi Halal


63
Secara Internasional
Sutedi, Adrian, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Bogor, Ghalia Indonesia.

Syaltut, Mahmud, 1996, al-Islām ‘Aqīdah wa Syarī’ah, Dār al-Qalam. Kairo.

Vogel, Frank E. dan Samuel L. Hayes, III (Penerjemah: M. Sobirin Asnawi at.
al.), 2007, Hukum Keuangan Islam, Konsep, Teori dan Praktik (Islamic
Law and Finance: Religion, Risk, and Return), Cet. I, Nusamedia,
Bandung.

Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Perdana Media


Group. Jakarta.

Zulkifli dan Jimmy P., 2012, Kamus Hukum, Dictionary of Law, Grahamenia
Press, Surabaya.

Jurnal

Renny Supriyatni, “Tanggung Jawab Bank Syariah dalam Penerapan Prinsip


Kehati-hatian dan Good Corporate Governance”, Jurnal Ilmu Syariah
Ahkam, Volume XII, Nomor 1, Januari 2012.

______, “Legal Perspectve on the Supporting Role of Human Resource in the


Islamic Banking Industry in Indonesia”, International Journal of
Criminology and Sociology, Vol. 10, 2021.

_______, “Eksistensi dan Tanggung jawab Majelis Ulama Indonesia dalam


Penrapan Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal Produk Pangan di
Indonesia”, Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, Al Iqtishad, Vol. III, No. 2, Juli 2011.

Makalah, Seminar, Laporan, Himpunan, dan Sumber Lain

Dinar Standard, State of the Global Islamic Economy Report 2021/2022.

Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama RI, 2003,
Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Jakarta.

Iljas, Achyar, 2015, Prinsip-prinsip Dasar Sistem Ekonomi Islam, Seminar


Tentang Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran,
Bandung.

Pengakuan Sertifikasi Halal


64
Secara Internasional
Johnsson, David J. “Islamic Economics and Shariah Law: A Plan For World
Domination”, diakses 1 Oktober 2021.

Kantor Menteri Negara Urusan Wanita, Tanpa Tahun, Penuntun Umum


Pendidikan Konsumen (PUPK), Jakarta.

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2018, Masterplan


Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, Jakarta.

Khalil, Jafril, 2019, Ekonomi Islam, Perkembangan dan Masa Depannya di


Indonesia, Seminar Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi Universitas
Padjadjaran, Bandung.

Majelis Ulama Indonesia, 2009, Urgensi Sertifikasi Halal dalam Ijma’ Ulama,
Keputusan Ijtima’ Ulama, Komisi Fatwa Se-Indonesia III.

Majelis Ulama Indonesia, 2010, Himpunan Fatwa MUI, Jakarta.

Muchlasin, Moch., 2016, Peresmian Asosiasi Pengajar dan Peneliti Hukum


Ekonomi Islam Indonesia Universitas Padjadjaran, Seminar Nasional
Universitas Padjadjaran.

No Name, 2019, Pengantar Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal, Materi
Pelatihan Jaminan Produk Halal, Unpad, Bandung.

Otoritas Jasa Keuangan, Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia


2021.

Otoritas Jasa Keuangan, Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah


Indonesia 2020-2025.

Pradja, Juhaya S., 2005 “Syariat Islam Revitalisasi Psychological Effect Hukum
Islam Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia”, Makalah,
UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.

Prodi Hukum dan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,


serta Asosiasi Pengajar dan Peneliti Hukum Ekonomi Islam Indonesia
(APPHEISI), 2018, Penataran Dosen Hukum Ekonomi Islam Indonesia,
Fakultas Hukum UII Yogyakarta.

Rafiki, Ahmad, 2019, Modal Manusia Di Industri Halal, Seminar Nasional


Ekonomi Islam, Universitas Medan Area, Medan.

Pengakuan Sertifikasi Halal


65
Secara Internasional
Rini, Fitriah Setia, 2020, Bahan Halal dan Proses Produk Halal, Kementerian
Agama RI, Jakarta.

S, Slamet Ibrahim, 2019, Konsep halal-haram dan perkembangansertifikasi


halal di Indonesia, Workshop Salman ITB, Bandung.

Sukoso, 2019, Peraturan Terbaru Tentang Jaminan Produk Halal, Seminar


Jaminan Produk Halal, Salman ITB, Bandung.

Supriyatni, Renny, at.al., 2019, Prospek dan Kesiapan Sumber Daya Manusia
Islami (SDMI) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI) dalam Industri Keuangan Bank Syariah (IKBS), HIU-
RKDU, Unpad, Bandung.

_______, 2020, Perbankan Syariah dalam Hukum Positif, sebagai Upaya


Optimalisasi Kepatuhan Syariah(Syariah Compliance), Pengabdian Pada
Masyarakat di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 03, Jalan kiliningan,
Bandung.

_______, 2021, Perbankan Syariah dalam Hukum Positif, sebagai Upaya


Optimalisasi Kepatuhan Syariah (Syariah Compliance), PPM-RKDU, FH
Unpad, Bandung.

ZM., M. Khairi, Peluang Implementasi Sertifikasi Halal terhadap Daya Saing


Provinsi Jabar, FGD Halal Padjadjaran, Unpad, Bandung, Kamis, 28
April 2016.

Internet

Agustianto, “Politik Hukum dalam Ekonomi Syariah”, www.kasei.com

Bahrul, “Halal Pelindung Akidah Umat”, http://www.pkesinteraktif.com/


lifestyle/halal/111-halal-pelindung-akidah-umat.html

BPJPH, “Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI)”, http://sehati.halal.go.id/#cta

Kemendagri, “Data Kependudukan Juni 2022”


https://gis.dukcapil.kemendagri.go.id/peta

Kementerian Koperasi dan UKM RI, “Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil,
Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2018 – 2019”,
https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1650868533_SANDINGAN
_DATA_UMKM_2018-2019%20=.pdf

Pengakuan Sertifikasi Halal


66
Secara Internasional
Kontroversi Halal dan Haram, www.halalguide.com.

LPPOM MUI, www.halalmui.go.id.

Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal Untuk Tentramkan Konsumen”,


(http://www.info-jic.org/berita-mainmenu-26/Islamjakarta-mainmenu-
34/1054-sertifikasi-halal-untuk-tenteramkan-konsumen

OJK, “Statistik Perbankan Syariah Juli-2022”,


https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-
perbankan-syariah/Pages/Statistik-Perbankan-Syariah---Juli-2022.aspx

www.halalmuibali.or.id.

“What is Islamic Finance?”, www.worldbank.org.

Zamir Iqbal, “Islamic Financial System”, www.worldbank.org.

Pengakuan Sertifikasi Halal


67
Secara Internasional
BAB II

STUDI KOMPARATIF
PENGATURAN SERTIFIKASI HALAL
Penulis: Deviana, S.H., M.H

Tulisan dalam bab ini membahas studi komparatif pengaturan sertifikasi halal. Di dalamnya
terdapat pembahasan mengenai pengaturan sertifikasi halal di Indonesia, yang terdiri dari
penyelenggaraan sertifikasi halal di Indonesia, sejarah sertifikasi halal di Indonesia, dasar
hukum, kelembagaan sertifikasi halal di Indonesia sebelum lahirnya Undang-undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan produk halal maupun setelah terbitnya Undang-
undang tersebut. Selanjutnya, terdapat bahasan mengenai peran pemerintah dalam
penyelenggaraan sertifikasi halal di Indonesia. Bagian akhir dalam tulisan ini merupakan
penjelasan penyelenggaraan sertifikasi halal di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura,
Thailand, Jepang dan Australia.

A. Pengaturan Sertifikasi Halal di Indonesia

Kehalalan produk menjadi kebutuhan wajib bagi setiap konsumen Muslim. Baik
itu produk berupa makanan, obat-obatan maupun barang-barang konsumsi
lainnya. Seiring besarnya jumlah pengeluaran konsumen yaitu mencapai $184
Milliar pada tahun 2020, Indonesia disebut sebagai pasar konsumen halal
terbesar di dunia.81 Halal saat ini bukan hanya penting untuk konsumen Muslim
namun juga penting untuk konsumen global, karena kehalalan produk
mencerminkan kualitas produk tersebut.83
Allah memerintahkan manusia untuk mengonsumsi makanan dan
minuman yang halal sekaligus juga baik. Al-Qur’an surat al-Ma’idah [5]:88
menyebutkan:
‫ُك وُمو كو كق كز َّا ِمم وا كُُكَو‬
ِ ‫ابَِّّيَم وا ول ََل‬
‫و‬ ِ ‫كانَ َّاِكَؤو َِّ َّه ْو َمت ك َز وََِِّّا‬
‫ُو واوقِتكَو‬

81
Indonesia Halal Lifestyle Centre & Dinar Standard, 2021, Indonesia Halal Market Report
2021/22
83
Rokshana Shirin Asa, “An Overview of the Developments of Halal Certification Laws in
Malaysia, Singapore, Brunei and Indonesia”, Jurnal Syariah, Vol. 27, No, 2019, hlm. 173-200.

Pengakuan Sertifikasi Halal


68
Secara Internasional
Artinya: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah
telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya.
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada hambanya agar mereka
makan rezeki yang halal dan baik, yang telah dikaruniakan kepada mereka. 84
Halal di sini mengandung pengertian halal bendanya dan halal cara
memperolehnya 85, sedangkan baik adalah dari segi kemanfaatannya, yaitu yang
mengandung manfaat dan maslahat bagi tubuh, mengandung gizi, vitamin,
protein dan sebagainya. Makanan tidak baik selain tidak mengandung gizi, juga
jika dikonsumsi akan merusak kesehatan.
Pada zaman sekarang yang diikuti perkembangan teknologi, proses
pengolahan makanan, minuman, kosmetika dan obat telah melibatkan proses
yang kompleks dan mengandung aneka ragam bahan sehingga penetapan
kehalalan suatu produk halal tidaklah mudah.86 Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang pangan dewasa ini menyebabkan semakin rumitnya
menentukan produk mana yang halal dan mana yang haram.87 Produk-produk
pangan olahan yang semakin banyak beredar juga membutuhkan penetapan
kehalalan yang tidak hanya dilihat dari bahan bakunya saja, tetapi juga
mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

84
Ahmad al-Syarbāsi, 1981, Al-Mu’jam al-Iqtiṣādi al-Islāmi, Dār al-Jailīl,) hlm. 119. Lihat juga
Ahmad H Shakr, 1996, Understanding Halal Food, Fallacies and Facts, Foundation for Islamic
Knowledge, Lombard, hlm. 23.
85
Salwa, S., Md Sawari, Ghazali, M.A., and Jumahat T, “Determinants of Consumer Demeanors
with Regard to Halal Food”, International Journal of Information, Business and Management,
Vol 12 No. 2, 2020, hlm. 179-184. Retrieved from https://search.proquest.com/scholarly-
journals/determinants-consumer-demeanors-with-regard-halal/docview/2348381387/se-
2?accountid=17242
86
Idris, S.H., Abdul Majeed, A.B. and Chang, L.W, 2020, Beyond Halal: Maqasid al-Shari’ah
to Assess Bioethical Issues Arising from Genetically Modified Crops, Sci Eng Ethics, hlm. 1463–
1476. https://remote-lib.ui.ac.id:2116/10.1007/s11948-020-00177-6
87
Fuseini, A., Hadley, P. and Knowles, T., “Halal Food Marketing: an Evaluation of UK Halal
Standards”, Journal of Islamic Marketing, 2020. https://remote-lib.ui.ac.id:2116/10.1108/JIMA-
02-2020-0037

Pengakuan Sertifikasi Halal


69
Secara Internasional
pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Oleh karena itu, dibutuhkan
pengetahuan yang memadai terkait pedoman atau standar hukum Islam.
Gaya hidup, budaya, agama, diet dan pola hidup sehat biasanya
dicerminkan melalui makanan yang dikonsumsi. Bagi komunitas Muslim, aspek
utama memilih makanan adalah kehalalannya, di mana komunitas Muslim
mengikuti prinsip al-Qur’an dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi.
Jarang terjadi pemalsuan untuk makanan berupa daging bagi komunitas Muslim
dikarenakan daging yang akan dikonsumsi adalah daging yang segar dan
dikenali tekstur dan bentuknya.88
Masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk dalam sistem
perdagangan internasional mendapat perhatian, selain untuk memberikan
perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia, sekaligus juga
sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi sistem pasar bebas dalam
kerangka ASEAN-AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi
Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan
internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang
didukung oleh organisasi internasional berpengaruh seperti World Health
Organization (WHO), Food and Agriculture Organization of the United Nations
(FAO), dan World Trade Organization (WTO).
Bahkan gaya hidup halal saat ini sedang melanda dunia. Tidak hanya
menggejala pada negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi
juga negara berpenduduk mayoritas non Muslim. Perusahaan berskala global
juga saat ini telah menerapkan sistem halal. Sebut saja seperti Japan Airlines,
Singapore Airlines, Qantas, American Airlines, yang menyediakan menu halal
(Moslem meal). Gejala halal juga merambah negara Amerika, Australia, Jepang,
Cina, India, dan negara-negara Amerika Latin.

88
Vandendriessche, F, “Meat Products in the Past, Today and in the Future”, Meat Science
Journal, Vol. 78, No. 2, hlm. 104–113

Pengakuan Sertifikasi Halal


70
Secara Internasional
Bagi masyarakat Muslim Indonesia pengetahuan tentang halal dan haram
mengenai sebuah produk adalah hal yang sangat penting. 89 Dengan adanya label
halal, masyarakat Muslim dapat memastikan produk mana saja yang boleh
mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan mencantumkan label halal
pada kemasannya.90 Masyarakat Muslim harus punya hak untuk mengetahui
bahwa suatu produk memiliki label halal atau tidak, khususnya setiap produk
yang beredar di Indonesia. Dengan adanya hak untuk mengetahui kehalalan
produk, dapat dipastikan keterjaminan produk yang diedarkan di Indonesia tidak
hanya aman, juga sebagai rasa mawas diri masyarakat Muslim terhadap produk-
produk yang dipasarkan. Namun begitupun dalam perjalanannya, masyarakat
Muslim mempunyai persepsi yang berbeda dalam memutuskan membeli suatu
produk. Sebagian ada yang tidak memedulikan kehalalan suatu produk, dan ada
pula sebagian lainnya memegang teguh pada prinsip bahwa suatu produk harus
ada label halalnya. 91
Sertifikat halal diterbitkan oleh BPJPH berdasarkan Fatwa Halal Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang berupa pernyataan kehalalan suatu produk yang
sesuai dengan syari’at Islam. Pencantuman label halal pada kemasan produk
didasarkan pada sertifikat halal yang diterbitkan oleh BPJPH. Dengan kata lain,

89
Bahkan di negara minoritas Muslim sekalipun produk halal penting untuk diatur. Li An Thio
menjelaskan, untuk mengakomodasi minoritas, ras, dan agama dalam masyarakat perlu perhatian
baik solusi konstitusional maupun non konstitusional, karena akan membangun ekonomi dalam
kerangka persatuan nasional. Li-ann Thio, 2010, “Constitutional Accommodation of the Rights
of Ethnic and Religious Minorities in Plural Democracies: Lessons and Cautionary Tales From
Southeast Asia”, Pace University School of Law, Pace International Law Review, hlm. 100-
101.
90
Muhammad Mufli, 2006, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 279.
91
Syaiful Amri, M. Jamil, Ardiansyah, “Analisis Yuridis Kewenangan Majelis Ulama Indonesia
dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal”, Fakultas Syari‘ah dan Hukum UIN Sumatera
Utara Medan, diakses 7 Desember 2020.

Pengakuan Sertifikasi Halal


71
Secara Internasional
sertifikat halal merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk
mencantumkan label halal.92
Era perdagangan bebas membuat Indonesia menjadi tujuan perdagangan
produk-produk asing. Sertifikasi halal merupakan hal yang penting dalam
peredaran produk di Indonesia. Sementara itu, pada era perdagangan bebas ini
sertifikasi halal dinilai masih belum memadai dan meyakinkan, karena masing-
masing negara memiliki lembaga sendiri untuk memberikan sertifikasi halal.
Banyaknya barang makanan impor dari negara lain juga memberikan
kekhawatiran bagi masyarakat Muslim di Indonesia. Sebagai salah satu contoh,
pada produk makanan dari Malaysia walaupun telah terdapat logo halal
Malaysia, namun masyarakat Muslim Indonesia tidak tahu bagaimana proses
sertifikasi halal di Malaysia dan negara-negara lain.93
Menurut laporan Mastercard dan Crescent Rating, pada 2022 populasi
umat Islam atau muslim sudah mencapai 2 miliar orang dan tersebar di sekitar
200 negara. Mayoritas atau 67% penganut agama Islam berada di kawasan Asia,
13,8% diantaranya berada di wilayah ASEAN. 94 Selain itu, Indonesia disebutkan
sebagai Top 10 Countries with the Most Muslims oleh World Muslim Population
Review.95
Merujuk pada Indicator Score Breakdown for top 15 Ranking Countries
dalam Global Islamic Economy Report tahun 2020/21, Malaysia memperoleh
peringkat pertama dan Indonesia memperoleh peringkat keempat terkait sektor

92
Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
93
Dian Ihsan Siregar, “BPOM Ragukan Peredaran Produk Halal di Perdagangan Bebas MEA”,
http://ekonomi.metrotvnews.com/mikro/yNLy1p2b-bpom-ragukan-peredaran-produk-halal-di-
perdagangan-bebas-mea, diakses 5 Desember 2020.
94
Databoks, “Ada 2 Miliar Umat Islam di Dunia, Mayoritasnya di Asia”,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/15/ada-2-miliar-umat-islam-di-dunia-
mayoritasnya-di-asia diakses pada 2 November 2022
95
World Population Review, “Muslim Majority Countries 2022”,
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/muslim-majority-countries diakses pada 2
November 2022

Pengakuan Sertifikasi Halal


72
Secara Internasional
pangan/makanan halal. Selain itu, Thailand juga menerapkan insentif untuk
mendorong investor masuk pada industri pangan, yang merupakan kesempatan
baik untuk memperluas industri pangan halal.97 Hal tersebut menunjukkan
bahwa mayoritas negara ASEAN membutuhkan industri pangan halal untuk
memenuhi kebutuhan pangan negaranya. Potensi tersebut dapat dijadikan
sebagai salah satu bentuk kerja sama regional dalam rangka Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA).98
Untuk memastikan bahwa industri makanan telah memenuhi persyaratan
produksi halal, maka diperlukan verifikasi dan validasi untuk produksi halal
tersebut. Sertifikat dan pelabelan diperlukan untuk menunjukkan kepada
konsumen dan pembeli bahwa produk tersebut diproduksi sesuai dengan metode
sertifikasi halal.99 Logo halal merupakan salah satu atribut100 yang dipergunakan
dalam pemilihan produk bagi masyarakat Muslim di ASEAN. Penyeragaman
logo/label sertifikasi halal untuk wilayah ASEAN dan logo atau identitas negara
di mana produk dijual merupakan faktor penting yang harus dilakukan,
keseragaman logo halal ASEAN dan logo halal negara akan mereduksi dan
mengurangi kebingungan konsumen terhadap suatu produk bahan makanan.

1. Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia


Sejarah sertifikasi halal di Indonesia, seperti yang sudah dijelaskan di BAB I,
bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir. Tri Susanto, Dosen
Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur pada sekitar tahun 1990an.

97
Standard, Dinar & Salaam Gateway, “Global Islamic Economy Report 2020/21”,
https://www.salaamgateway.com/specialcoverage/SGIE20-21
98
Ibid.
99
M. Van der Spiegel, H. J. van Der Fels-Klerx, P. Sterrenburg, S. M. Van Ruth, IMJ. Scholtens-
Toma and E. J. Kok, 2012, Halal Assurance In food Supply Chain: Verification of Halal
certificates Using Audits and Laboratory Analisis, Trends in Food Science & technology 27,
hlm. 109-119
100
Shafiq, A, Haque, A.K.M. and Omar, A, “Multiple Logos and malay’s beliefs: a case of Mix
Signal”, International Food Research Journal, Vol 22 No. 4, 2015, hlm. 1727-1735

Pengakuan Sertifikasi Halal


73
Secara Internasional
Penelitian dilakukan terhadap beberapa produk makanan, seperti susu, mie,
snack dan lain sebagainya. Penelitian ini menemukan bahwa produk-produk
tersebut mengandung gelatin, shortening, lecithin dan lemak yang kemungkinan
berasal dari babi. Penelitian ini kemudian dimuat dalam Buletin Canopy yang
diterbitkan oleh Ikatan Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
Malang pada bulan Januari 1988. Buletin ini tersebar luas ke beberapa wilayah
di Jawa Timur. Kemudian penelitian ini juga dikaji oleh Asosiasi Cendekiawan
Muslim Al-Falah Jawa Timur. Berawal dari kajian asosiasi inilah kemudian
timbul kegoncangan yang merebak di tengah kaum Muslimin di Provinsi Jawa
Timur dan terus meluas ke provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Maka
terjadilah demo besar-besaran yang dilancarkan warga Muslim Indonesia yang
memprotes adanya bahan-bahan dari babi pada berbagai produk tersebut. Protes
kaum Muslimin seperti ini baru pertama kali terjadi sejak Republik Indonesia
merdeka tahun 1945.
Aksi protes ini menunjukkan tingginya kesadaran kaum Muslimin
terhadap haramnya makanan yang mengandung babi dan turunannya. Di masjid-
masjid, para khatib jum’at mengingatkan agar kaum Muslimin berhati-hati untuk
tidak terjebak mengonsumsi makanan yang diharamkan, demi menjaga aqidah
dan identitas mereka sebagai Muslim.
Protes ini berimbas pada guncangnya perekonomian nasional bahkan
terancam lumpuh. Masyarakat menjauhi produk-produk yang diisukan
mengandung babi, walaupun belum dibuktikan secara ilmiah. Hasil produk
nasional turun hingga mencapai lebih dari 30% dari produksi normal. Bahkan
produsen mie terbesar saat itu yang biasanya memproduksi sedikitnya 40 juta
dus per bulan, turun hingga mencapai 50% sehingga hanya maksimum
berproduksi 20 juta dus per bulan. Penjualan es krim, susu, kecap, biskuit, dan
lain-lain turun drastis. Imbas dari berbagai isu ini juga mendera para pedagang
kecil, seperti para pedagang sate yang dicurigai menggunakan kecap yang

Pengakuan Sertifikasi Halal


74
Secara Internasional
mengandung babi. Dana yang diperlukan untuk mengembalikan citra produk
begitu tinggi, tragedi nasional isu lemak babi ini begitu mengguncang
ketenangan batin umat Islam, menyudutkan dunia industri pangan, serta
mengguncang stabilitas ekonomi dan politik nasional.
Momen inilah yang menjadi babak awal terbentuknya Lembaga
Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM MUI). Sebagai lembaga yang didirikan oleh MUI, LPPOM bertugas
untuk menjaga ketenteraman batin umat Islam dalam mengonsumsi makanan,
obat dan kosmetika melalui pemeriksaan produksi halal. LPPOM MUI
melakukan kajian untuk memberikan masukan kepada MUI dalam memutuskan
kehalalan suatu produk. Untuk mendukung tugas ini, LPPOM MUI merekrut
tenaga peneliti yang juga bertugas sebagai auditor dari berbagai bidang keahlian
yang diperlukan seperti teknologi pangan, teknik industri, kimia, biokimia,
farmasi, dan lain sebagainya. Dukungan kajian kehalalan ini juga diperoleh dari
berbagai kampus, misalnya sejak tahun 1993 MUI bekerja sama dengan Institut
Pertanian Bogor (IPB). Masukan dari LPPOM MUI yang melakukan penelitian
dalam bentuk audit terhadap produk, kemudian dilaporkan kepada Komisi Fatwa
MUI untuk menjadi dasar dalam penetapan fatwa halal suatu produk. Sehingga
jelas bahwa tugas LPPOM MUI adalah melakukan penelitian dan bukan
merupakan badan fatwa.
Mengingat pentingnya fatwa ini dan tanggung jawab yang besar di
hadapan Allah SWT kelak, maka Sertifikat Halal yang dikeluarkan MUI
ditandatangani oleh tiga pihak. Pihak Pertama: Direktur LPPOM MUI sebagai
penanggung jawab atas penemuan dan kajian fakta di lapangan serta di lokasi
produksi. Pihak Kedua: Ketua Komisi Fatwa MUI sebagai penanggung jawab
atas kehalalan produk pangan, obat dan kosmetika. Pihak Ketiga: Ketua Umum
MUI sebagai penanggung jawab dalam mensosialisasikan fatwa kepada kaum
Muslimin.

Pengakuan Sertifikasi Halal


75
Secara Internasional
LPPOM MUI juga mewakili Ketua MUI bekerja sama dengan Menteri
Agama dan Menteri Kesehatan dalam mencantumkan logo halal pada produk
makanan dan minuman yang halal. Saat ini izin pencantuman logo halal pada
kemasan produk retail terdapat pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI
(BPOM RI) yang merupakan organisasi otonom yang bertanggung jawab kepada
Presiden. Keterkaitan kerja antara BPOM dengan MUI adalah bahwa BPOM
hanya akan mengizinkan pencantuman logo halal jika perusahaan telah terbukti
memiliki produk halal yang dibuktikan dengan telah memiliki sertifikat halal
yang dikeluarkan oleh MUI.
Kerja sama luar negeri diwujudkan dengan pengakuan MUI terhadap
sertifikat halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal di Asia, Eropa,
Amerika dan Australia yang saat ini jumlah mencapai sekitar 39 lembaga.
Sebelum mengakui suatu lembaga sertifikasi di luar negeri, MUI melakukan
penelitian mendalam terhadap lembaga tersebut baik dari sisi kapabilitas
manajerial maupun syariah.
Sejalan dengan masa berlakunya sertifikat halal yang dikeluarkan MUI
selama 2 (dua) tahun, banyak pertanyaan dari masyarakat terkait dengan
konsistensi kehalalan dari produk yang dihasilkan selama masa berlakunya
sertifikat halal tersebut. Bisa saja suatu ketika produsen mengganti bahan
maupun fasilitas produksi sehingga status kehalalan dari produk berubah
menjadi tidak halal. Untuk menjawab hal ini, LPPOM MUI mewajibkan kepada
semua pemegang sertifikat halal maupun perusahaan yang mengajukan untuk
sertifikasi halal, untuk mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal (SJH) di
perusahaannya. Sistem Jaminan Halal adalah sistem manajemen terintegrasi
yang disusun, diterapkan dan dipelihara untuk mengatur bahan, proses produksi,
produk, sumber daya manusia dan prosedur dalam rangka menjaga
kesinambungan proses produksi halal, sesuai dengan persyaratan LPPOM MUI.

Pengakuan Sertifikasi Halal


76
Secara Internasional
Sebagai bukti pelaksanaan dari Sistem Jaminan Halal di perusahaan, perusahaan
wajib membentuk Tim Manajemen Halal yang memiliki kewenangan untuk
menyusun, mengelola, dan mengevaluasi sistem Jaminan Halal. Tim ini
dibentuk dari berbagai divisi yang terlibat dalam aktivitas kritis, seperti divisi
pembelian, riset dan pengembangan, quality control, pergudangan, produksi dan
lain-lain. Semua tim yang terlibat dalam aktivitas kritis wajib memiliki
kompetensi yang dibutuhkan dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga
kehalalan bahan maupun proses produksi dan fasilitas yang digunakan agar
produk berstatus halal sebagaimana yang akan diklaim perusahaan untuk
diketahui konsumennya.101 Penyelenggaraan sertifikasi halal setelah lahirnya
Undang-undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH)
menjadi wewenang Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang
dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal
(JPH).

2. Dasar Hukum Penyelenggaraan Sertifikasi Halal


Dasar hukum penyelenggaraan sertifikasi halal diatur dalam beberapa ketentuan
perundang-undangan di Indonesia, yakni :
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan;
c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
d. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal;
e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
f. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan;

101
Aji Jumiono, 2012, Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia, Jakarta.

Pengakuan Sertifikasi Halal


77
Secara Internasional
g. Keputusan Menteri Agama Nomor 518/2001 tentang Pedoman dan Tata
Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal;
h. Keputusan Menteri Agama Nomor 519/2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal;
i. Keputusan Menteri Agama Nomor 525/2001 tentang Penunjukan
Perusahaan Umum Percetakan Uang RI sebagai Pelaksana Pencetakan
Label Halal.

3. Kelembagaan Lembaga Sertifikasi Halal di Indonesia


a. Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Sertifikasi halal sebelum lahirnya UUJPH dilaksanakan oleh LPPOM MUI.
Lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis proses
produksi pangan, obat-obatan, dan kosmetika, pengkajian terhadap proses
produksi tersebut dilakukan untuk menjamin kepastian bahwa produk aman
dikonsumsi berdasarkan kriteria halal dan baik dari sisi kesehatan. Selain itu,
LPPOM MUI juga dapat memberikan rekomendasi tentang kehalalan produk,
merumuskan ketentuan standar halal, memberikan bimbingan proses produksi
halal, dan melaksanakan layanan informasi halal kepada masyarakat.
Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari
pemerintah/negara, agar MUI berperan aktif dalam meredakan kasus lemak babi
di Indonesia pada tahun 1988. LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari
1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat
posisi LPPOM MUI dalam menjalankan fungsi sertifikasi halal, pada tahun 1996
ditandatangani Nota Kesepakatan Kerja sama antara Departemen Agama,
Departemen Kesehatan dan MUI. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul
dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan
KMA 519 Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal

Pengakuan Sertifikasi Halal


78
Secara Internasional
serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat
halal.
Dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI melakukan
kerja sama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM),
Kementerian Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah
Perguruan Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB),
Universitas Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda, UIN, Universitas
Wahid Hasyim Semarang, serta Universitas Muslim Indonesia Makassar.102
Selain mengadakan sertifikasi halal di tingkat nasional, LPPOM MUI
juga mengadakan kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal di berbagai
belahan dunia melalui Dewan Halal Dunia (World Halal Council, WHC) yang
dirintis sejak tanggal 6 Desember 1999. Tema besar yang diangkat dewan ini
adalah masalah standarisasi halal termasuk prosedur maupun sertifikasinya,
mengingat organisasi yang mengeluarkan sertifikat di berbagai negara memiliki
prosedur dan standar yang berbeda-beda. Sebagai langkah awal, WHC
menerapkan sertifikasi dan standarisasi halal yang digunakan di Indonesia.
WHC berniat mengajukan standar halal kepada lembaga internasional WTO
(World Trade Organization). Kantor WHC berkedudukan di Jakarta dan saat ini
WHC memiliki anggota sebanyak 35 lembaga sertifikasi halal dari 19 negara.
b. Setelah Lahirnya Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014
Undang-undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH) dan
membawa babak baru yang pelaksanaannya bersifat mandatory serta dilakukan
oleh pemerintah. Penyelenggaraan JPH oleh pemerintah merupakan bentuk
hadirnya negara dalam menjalankan amanat konstitusi akan kepastian hukum

102
MUI, “Sejarah LPPOM MUI”, https://halalmui.org/mui14/main/page/sejarah-lppom-mui

Pengakuan Sertifikasi Halal


79
Secara Internasional
atas produk yang dikonsumsi. Setelah lahirnya UUJPH, kewenangan sertifikasi
produk halal yang sebelumnya dilakukan oleh LPPOM MUI beralih ke lembaga
pemerintah di bawah Kementerian Agama yaitu Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH). Adapun masa berlaku sertifikat pada masa sebelum
UUJPH adalah 2 tahun, dan setelah berlakunya UUJPH di bawah kewenangan
BPJPH, sertifikat tersebut berlaku 4 tahun yang memiliki jaminan kepastian
hukum yang kuat dan terdapat sanksi pidana bagi pelaku usaha yang tidak
menjaga kehalalan produk yang telah tersertifikasi.
Meskipun sudah menjadi kewenangan BPJPH, kewenangan MUI tetap
penting dan strategis. MUI menjadi Lembaga yang berwenang untuk
memberikan fatwa penetapan kehalalan produk yang kemudian disampaikan
kepada BPJPH sebagai dasar untuk penerbitan sertifikasi halal.
Pasal 6 UUJPH mengatur kewenangan BPJPH dalam penyelenggaraan
JPH, yaitu:
1) merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
2) menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
3) menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
4) melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
5) melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
6) melakukan akreditasi terhadap LPH;
7) melakukan registrasi Auditor Halal;
8) melakukan pengawasan terhadap JPH;
9) melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
10) melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang
penyelenggaraan JPH.
c. Penyelenggaraan Sertifikasi Halal oleh BPJPH
BPJPH dalam melaksanakan kewenangan penyelenggaraan Jaminan
Produk Halal melaksanakan kerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga

Pengakuan Sertifikasi Halal


80
Secara Internasional
terkait. Kerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga ini didasarkan pada
keterkaitan fungsi, tugas dan kewenangan dari kementerian dan/atau lembaga
terkait dengan penyelenggaraan sertifikasi halal yang akan dilaksanakan oleh
BPJPH. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (penelitian tahun 1) telah
dirumuskan keterkaitan-keterkaitan kementerian dan/atau lembaga yang
mempunyai fungsi, tugas dan kewenangan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan jaminan produk halal.
Pada tingkat regional, perhatian negara-negara lain mengenai produk
makanan halal (halal food) sangat besar. Negara Singapura melalui Majelis
Ugama Islam Singapura (Islamic Religious Council of Singapore) telah
mengembangkan MUIS Halal Certification Standard melalui penerapan General
Guidelines for the Development, Implementation and Management of Halal
System. Setiap tahun terjadi peningkatan signifikan pensijilan halal (sertifikasi
halal) yang diajukan pelaku usaha kepada MUIS. Hal itu disebabkan antara lain
karena dukungan dan peningkatan kesadaran tentang potensi industri makanan
halal, konsumen yang memilih produk halal, serta pertumbuhan ekspor makanan
ke negara Islam. Fakta lain dapat dikemukakan bahwa untuk tujuan ekspansi
ekspor daging ke negara-negara berpenduduk Muslim, Australia telah memiliki
kurang lebih 6 lembaga sertifikasi halal, di antaranya adalah Australian Halal
Authority. Australia juga mempunyai sistem produk halal untuk penyembelihan
daging sehingga nilai ekspor daging Australia ke negara-negara Islam di
kawasan Timur Tengah semakin meningkat.103
Demikian pula perhatian Kerajaan Malaysia terhadap produk halal
dilaksanakan dengan pembentukan Bahagian Kajian Makanan dan Barangan
Gunaan Islam, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), pada tahun 2003.

Kembar, A, “Dampak Makanan Halal pada Perilaku”,


https://www.academia.edu/7154920/MAKALAH_DAMPAK_MAKANAN_HALA_PADA_P
ERILAKU

Pengakuan Sertifikasi Halal


81
Secara Internasional
Namun demikian dari segi pengaturan, Malaysia sudah memiliki ketentuan
berkaitan dengan produk halal sejak tahun 1971 dengan keluarnya Surat
Kenyataan Halal.
Demi penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia, BPJPH harus
dapat mengintegrasikan fungsi, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh
kementerian dan/atau lembaga tersebut, agar dapat melaksanakan
kewenangannya dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia.
Koordinasi terkait dengan pengaturan kelembagaan diperlukan agar tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan antara kementerian dan/atau lembaga terkait
dengan BPJPH.
Lebih detail mengenai koordinasi fungsi, tugas dan kewenangan
lembaga-lembaga terkait dalam pelaksanaan Sertifikasi Halal oleh BPJPH
adalah sebagai berikut:
1) Kementerian Perdagangan
Hubungan koordinasi BPJPH dengan Kementerian Perdagangan terkait
dengan peredaran barang dan jasa. Pelaksana kerja sama ini adalah
Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Direktorat
Standardisasi dan Pengendalian Mutu, Direktorat Pemberdayaan
Konsumen, dan Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa. Sebagai
pihak yang memiliki kewenangan terkait dengan peredaran barang dan/atau
jasa oleh pelaku usaha, Kementerian Perdagangan dapat menentukan
kewajiban bagi para pelaku usaha yang ada di Indonesia maupun produk
dari luar negeri yang akan masuk ke Indonesia harus melaksanakan
sertifikasi dan labelisasi halal.
Tugas Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga
adalah menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
pemberdayaan konsumen, standardisasi perdagangan dan pengendalian
mutu barang, tertib ukur, dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa di

Pengakuan Sertifikasi Halal


82
Secara Internasional
pasar, serta pengawasan kegiatan perdagangan. Fungsi Direktorat Jenderal
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga adalah:104
a) perumusan kebijakan di bidang pemberdayaan konsumen,
standardisasi perdagangan dan pengendalian mutu barang, tertib
ukur, pengawasan barang beredar dan/atau jasa di pasar, serta
pengawasan kegiatan perdagangan;
b) pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan konsumen,
standardisasi perdagangan dan pengendalian mutu barang, tertib
ukur, dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa di pasar, serta
pengawasan kegiatan perdagangan.
c) penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang
pemberdayaan konsumen, standardisasi perdagangan dan
pengendalian mutu barang, tertib ukur, pengawasan barang beredar
dan/atau jasa di pasar, serta pengawasan kegiatan perdagangan.
d) pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang
pemberdayaan konsumen, standardisasi perdagangan dan
pengendalian mutu barang, tertib ukur, dan pengawasan barang
beredar dan/atau jasa di pasar, serta pengawasan kegiatan
perdagangan.
e) pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pemberdayaan
konsumen, standardisasi perdagangan dan pengendalian mutu
barang, tertib ukur, dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa
di pasar, serta pengawasan kegiatan perdagangan.
f) pelaksanaan administrasi direktorat jenderal perlindungan
konsumen dan tertib niaga.
g) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh menteri.

Tugas dari Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu adalah


melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi,
serta evaluasi dan pelaporan di bidang standardisasi dan pengendalian mutu.
Fungsi Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu adalah:105
a) penyiapan perumusan kebijakan di bidang perumusan dan
penerapan standar, bimbingan dan sarana mutu, verifikasi mutu,

104
Pasal 76 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 08/M-DAG/PER/2/2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan
105
Pasal 90 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 08/M-DAG/PER/2/2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan

Pengakuan Sertifikasi Halal


83
Secara Internasional
pembinaan dan evaluasi jabatan fungsional penguji mutu barang
dan kelembagaan standardisasi.
b) penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang perumusan dan
penerapan standar, bimbingan dan sarana mutu, verifikasi mutu,
pembinaan dan evaluasi jabatan fungsional penguji mutu barang
dan kelembagaan standardisasi.
c) penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang perumusan dan penerapan standar, bimbingan dan sarana
mutu, verifikasi mutu, pembinaan dan evaluasi jabatan fungsional
penguji, mutu barang dan kelembagaan standardisasi.
d) penyiapan pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan supervisi
di bidang perumusan dan penerapan standar, bimbingan dan sarana
mutu, verifikasi mutu, pembinaan dan evaluasi jabatan fungsional
penguji mutu barang dan kelembagaan standardisasi.
e) penyiapan evaluasi dan pelaporan di bidang perumusan dan
penerapan standar, bimbingan dan sarana mutu, verifikasi mutu,
pembinaan dan evaluasi jabatan fungsional penguji mutu barang
dan kelembagaan standardisasi.
f) pelaksanaan urusan tata usaha kepegawaian, keuangan, dan rumah
tangga direktorat.
Tugas Direktorat Pemberdayaan Konsumen adalah melaksanakan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan pedoman, norma,
standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi
pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan konsumen. Fungsi
Direktorat Pemberdayaan Konsumen adalah:106
a) penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisa perlindungan
konsumen, pelayanan pengaduan konsumen, bimbingan konsumen
dan pelaku usaha, fasilitasi kelembagaan, dan pembinaan jejaring
perlindungan konsumen.
b) penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang analisa perlindungan
konsumen, pelayanan pengaduan konsumen, bimbingan konsumen
dan pelaku usaha, fasilitasi kelembagaan, dan pembinaan jejaring
perlindungan konsumen.
c) penyiapan penyusunan pedoman, norma, standar, prosedur, dan
kriteria di bidang analisa perlindungan konsumen, pelayanan

106
Pasal 86 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 08/M-DAG/PER/2/2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan

Pengakuan Sertifikasi Halal


84
Secara Internasional
pengaduan konsumen, bimbingan konsumen dan pelaku usaha,
fasilitasi kelembagaan, dan pembinaan jejaring perlindungan
konsumen.
d) penyiapan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan di bidang analisa perlindungan konsumen, pelayanan
pengaduan konsumen, bimbingan konsumen dan pelaku usaha,
fasilitasi kelembagaan, dan pembinaan jejaring perlindungan
konsumen.
e) pelaksanaan urusan tata usaha kepegawaian, keuangan, dan rumah
tangga direktorat dan pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh
direktur jenderal.

Tugas Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa adalah


melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi,
serta evaluasi dan pelaporan di bidang pengawasan barang beredar dan jasa.
Fungsi Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa adalah:107
a) penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengawasan produk
logam, mesin dan elektronika, pengawasan produk hasil
pertanian, kimia dan aneka, pengawasan jasa, analisa kasus
perlindungan konsumen dan bimbingan operasional Petugas
Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK), serta penegakan
hukum perlindungan konsumen.
b) penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan produk
logam, mesin dan elektronika, pengawasan produk hasil
pertanian, kimia dan aneka, pengawasan jasa, analisa kasus
perlindungan konsumen dan bimbingan operasional Petugas
Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) dan penegakan hukum
perlindungan konsumen.
c) penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria di
bidang pengawasan produk logam, mesin dan elektronika,
pengawasan produk hasil pertanian, kimia dan aneka,
pengawasan jasa, analisa kasus
perlindungan konsumen dan bimbingan operasional Petugas

107
Pasal 98 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 08/M-DAG/PER/2/2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan

Pengakuan Sertifikasi Halal


85
Secara Internasional
Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil-Perlindungan Konsumen (PPNS-PK), serta penegakan
hukum perlindungan konsumen.
d) penyiapan pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi di bidang pengawasan produk logam, mesin dan
elektronika, pengawasan produk hasil pertanian, kimia dan aneka,
pengawasan jasa, bimbingan operasional Petugas Pengawas
Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil -
Perlindungan. Konsumen (PPNS-PK), serta penegakan hukum
perlindungan konsumen.
e) penyiapan evaluasi dan pelaporan di bidang pengawasan produk
logam, mesin dan elektronika, pengawasan produk hasil
pertanian, kimia dan aneka, pengawasan jasa, bimbingan
operasional Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-
PK), serta penegakan hukum perlindungan konsumen.
f) pelaksanaan urusan tata usaha kepegawaian, keuangan, dan
rumah tangga Direktorat.

2) Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)


Tugas Utama BPOM berdasarkan Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103
Tahun 2001 adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Kepala
BPOM Nomor 14 Tahun 2014, Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan di bidang pengawasan obat dan
makanan, yang meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika,
psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen
serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya.
Fungsi Utama BPOM berdasarkan Pasal 68 Keputusan Presiden
Nomor 103 Tahun 2001, mencakup:
a) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
pengawasan obat dan makanan.
b) pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan
makanan.

Pengakuan Sertifikasi Halal


86
Secara Internasional
c) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM.
d) pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap
kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan
makanan.
e) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di
bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata
laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian,
perlengkapan dan rumah tangga.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun 2014,


fungsi Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM adalah:
a) penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan.
b) pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan
penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika zat
adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan
bahan berbahaya.
c) pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian dan penilaian
mutu produk secara mikrobiologi.
d) pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi.
e) pnvestigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum.
f) pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi
tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
g) pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen.
h) evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan.
i) pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan.
j) pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan
Pengawas Obat Dan Makanan, sesuai dengan bidang tugasnya.

Kewenangan BPOM berdasarkan Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor


103 Tahun 2001 adalah :
a) penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya.
b) Pperumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung
pembangunan secara makro.
c) penetapan sistem informasi di bidangnya.
d) penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat adiktif)
tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman peredaran obat
dan makanan.

Pengakuan Sertifikasi Halal


87
Secara Internasional
e) pemberi izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan
industri farmasi.
f) penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan
pengawasan tanaman obat.

3) Kementerian Perindustrian
Kementerian Perindustrian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di
bidang perindustrian dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugasnya,
Kementerian Perindustrian menyelenggarakan fungsi:108
a) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang
perindustrian.
b) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
kebijakan di bidang perindustrian.
c) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang perindustrian.
d) pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Kementerian Perindustrian.
e) pembinaan dan pemberian dukungan administrasi di lingkungan
Kementerian Perindustrian.
f) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab Kementerian Perindustrian.

4) Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan bertugas untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan negara untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara. Fungsi Kementerian Keuangan di
antaranya adalah:109
a) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang
penganggaran, pajak, kepabeanan dan cukai, perbendaharaan,
kekayaan negara, perimbangan keuangan, dan pengelolaan
pembiayaan dan risiko.

108
Pasal 5 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Perindustrian
109
Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian
Keuangan

Pengakuan Sertifikasi Halal


88
Secara Internasional
b) perumusan, penetapan, dan pemberian rekomendasi kebijakan
fiskal dan sektor keuangan.
c) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Keuangan.
d) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab Kementerian Keuangan.
e) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian
Keuangan.
f) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
urusan Kementerian Keuangan di daerah.
g) pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
h) pelaksanaan pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi kompetensi di
bidang keuangan negara; dan
i) pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan.

Selanjutnya, terdapat Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian


Keuangan yang bertugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas dan investasi,
pembinaan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), dan
akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Fungsi dari Direktorat Jenderal
Perbendaharaan adalah:110
a) perumusan kebijakan di bidang pelaksanaan anggaran, pengelolaan
kas dan investasi, pembinaan pengelolaan keuangan Badan Layanan
Umum, serta akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah.
b) pelaksanaan kebijakan di bidang pelaksanaan anggaran, pengelolaan
kas dan investasi, pembinaan pengelolaan keuangan Badan Layanan
Umum, serta akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah.
c) penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas dan investasi, pembinaan
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum, serta akuntansi dan
pelaporan keuangan pemerintah.

110
Pasal 25 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian
Keuangan

Pengakuan Sertifikasi Halal


89
Secara Internasional
d) pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pelaksanaan
anggaran, pengelolaan kas dan investasi, pembinaan pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum, serta akuntansi dan pelaporan
keuangan pemerintah
e) pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang
pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas dan investasi, pembinaan
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum, serta akuntansi dan
pelaporan keuangan pemerintah.
f) pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
g) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri Keuangan.

Selanjutnya karena BPJPH berbentuk BLU maka konsep Pengelolaan


Keuangan BLU tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. BLU adalah instansi di lingkungan
Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas.
Ditjen Perbendaharaan c.q. Direktorat PPK BLU memberikan
bimbingan, asistensi, dan konsultasi dalam penyusunan tarif/pola tarif,
menyelenggarakan pembahasan pengkajian usulan tarif/pola tarif, dan
menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan mengenai
penetapan usulan tarif/pola tarif instansi PK BLU. Bimbingan teknis berupa
pemberian bimbingan dalam rangka penyusunan persyaratan administratif
bagi satuan kerja (satker) yang akan mengajukan usulan menjadi satker yang
menerapkan PK BLU dan bimbingan teknis bagi Satker yang telah
menerapkan PK BLU seperti pembuatan Rencana Bisnis dan Anggaran
(RBA), tarif dan remunerasi. Ditjen Perbendaharaan melakukan pembinaan
secara langsung antara lain:
a) memberikan arahan terkait dengan pengelolaan keuangan BLU;

Pengakuan Sertifikasi Halal


90
Secara Internasional
b) menindaklanjuti permasalahan yang dihadapi Satker BLU, dengan cara
melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait; dan
c) menyelenggarakan helpdesk sebagai sarana bagi Satker BLU dalam
menyampaikan berbagai permasalahannya terkait dengan implementasi
PK BLU.
Mengenai penetapan tarif, Satker BLU yang dibina oleh Direktorat PPK
BLU terbagi menjadi 3 (tiga) rumpun yakni rumpun barang/jasa yang terdiri
dari lingkup pendidikan dan lingkup kesehatan, rumpun pengelola dana,
rumpun pengelola kawasan. Memerhatikan bahwa Satker BLU yang dibina
oleh Direktorat PPK BLU tersebut berbeda di dalam karakteristiknya, hal
ini menyebabkan terjadi perbedaan di dalam usulan tarif layanan, baik
terhadap jenis, bentuk, nilai, satuan usulan tarif layanan, perbedaan di dalam
pencantuman analisa 4 (empat) asas/faktor pengusulan tarif sebagaimana PP
No. 23 tahun 2005, perbedaan di dalam penggunaan metode perhitungan
unit cost, perbedaan di dalam penetapan sistem kelas di dalam tarif layanan.

5) Kementerian Pertanian
Tugas Kementerian Pertanian berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2015 adalah menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanian untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas,
Kementerian Pertanian menyelenggarakan fungsi: 111
a) perumusan dan penetapan kebijakan di bidang penyediaan
prasarana dan sarana pertanian, peningkatan produksi padi, jagung,
kedelai, tebu, daging, dan pertanian lainnya, serta peningkatan nilai
tambah, daya saing, mutu, dan pemasaran hasil pertanian;
b) pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan prasarana dan sarana
pertanian, peningkatan produksi padi, jagung, kedelai, tebu,

111
Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2021 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian

Pengakuan Sertifikasi Halal


91
Secara Internasional
daging, dan pertanian lainnya, serta peningkatan nilai tambah, daya
saing, mutu, dan pemasaran hasil pertanian;
c) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
urusan di bidang penyediaan prasarana dan sarana pertanian,
peningkatan produksi padi, jagung, kedelai, tebu, daging, dan
pertanian lainnya, serta peningkatan nilai tambah, daya saing,
mutu, dan pemasaran hasil pertanian;
d) pelaksanaan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang
pertanian;
e) penyelenggaraan penyuluhan dan pengembangan sumber daya
manusia di bidang pertanian;
f) koordinasi dan pelaksanaan diversifikasi dan pemantapan
ketahanan pangan;
g) pelaksanaan perkarantinaan pertanian dan pengawasan keamanan
hayati;
h) pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif pada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Kementerian Pertanian;
i) pembinaan dan pemberian dukungan administrasi di lingkungan
Kementerian Pertanian;
j) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab Kementerian Pertanian; dan
k) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian
Pertanian.

6) Komite Akreditasi Nasional dan Badan Standardisasi Nasional


Komite Akreditasi Nasional (KAN) mempunyai tugas menetapkan
akreditasi dan memberikan pertimbangan dan saran kepada Badan
Standardisasi Nasional (BSN) dalam menetapkan sistem akreditasi dan
sertifikasi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud diatas,
KAN menyelenggarakan fungsi:112
a) penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang akreditasi dan
sertifikasi sesuai dengan sistem akreditasi dan sertifikasi yang
ditetapkan BSN;
b) penyusunan rencana dan program nasional di bidang akreditasi;
c) pelaksanaan asesmen atas permohonan akreditasi;

112
Badan Standardisasi Nasional, “Tentang BSN”,
https://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/20183/tentang-bsn

Pengakuan Sertifikasi Halal


92
Secara Internasional
d) pelaksanaan proses akreditasi lembaga sertifikasi, lembaga
inspeksi, lembaga pelatihan dan laboratorium;
e) penetapan, perpanjangan, perluasan, pengurangan, penundaan dan
pencabutan akreditasi kepada lembaga sertifikasi, lembaga
inspeksi, lembaga pelatihan dan laboratorium;
f) pemberian pertimbangan dan saran kepada BSN dalam
menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi;
g) penyusunan dan pengembangan sistem akreditasi dan sertifikasi
nasional;
h) pelaksanaan evaluasi kegiatan akreditasi dan sertifikasi;
i) pelaksanaan kerja sama internasional di bidang akreditasi dan
sertifikasi;
j) pelaksanaan peran aktif dalam menyelesaikan permasalahan yang
timbul pada tingkat nasional dan internasional, maupun dengan
negara lain di bidang akreditasi dan sertifikasi;
k) pelaksanaan tugas lain yang diberikan presiden dan kegiatan lain
yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan akreditasi dan
sertifikasi.

Selanjutnya fungsi BSN di antaranya adalah:113


a) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
standardisasi nasional;
b) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BSN;
c) fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di
bidang standardisasi nasional;
d) penyelenggaraan kegiatan kerja sama dalam negeri dan
internasional di bidang standardisasi; dan
e) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di
bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan
tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum,
persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, BSN mempunyai


kewenangan:
a) penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
b) perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung
pembangunan secara makro;
penetapan sistem informasi di bidangnya;

113
Ibid

Pengakuan Sertifikasi Halal


93
Secara Internasional
c) kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu:
(1) perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang
standardisasi nasional;
(2) perumusan dan penetapan kebijakan sistem akreditasi lembaga
sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium;
(3) penetapan Standar Nasional Indonesia (SNI);
(4) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidangnya; dan
(5) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidangnya.

Selanjutnya, MUI mendukung penuh lembaga pemeriksa halal yang


beroperasi di Indonesia, diakreditasi KAN. Dengan akreditasi oleh KAN, sistem
penjaminan halal di Indonesia berpotensi besar untuk memperoleh pengakuan
internasional. Selain itu, MUI juga sepakat jika persyaratan sistem jaminan halal
yang sudah ditetapkan oleh MUI, diadopsi menjadi Standar Nasional Indonesia
(SNI). Dengan demikian, lembaga pemeriksa halal yang beroperasi di berbagai
kota di Indonesia, memiliki sistem dan prosedur yang sama dalam menerbitkan
sertifikat halal.
Menurut Ketua LPPOM MUI 2020, lembaga pemeriksa halal,
semestinya memiliki sistem yang sama. Sebab jika tidak, berpotensi
menimbulkan konflik horizontal antar lembaga penjamin halal. Selain itu,
produk halal yang berbeda-beda sistemnya juga sulit diterima pasar global. Saat
ini terdapat 63 organisasi massa/ormas yang tercatat di MUI. Artinya, jika
masing-masing menerapkan sistem halal yang berbeda-beda, maka satu produk
pun juga harus di tes di ke-63 ormas tersebut.
Standardisasi halal menjadi momentum yang tepat untuk mengatasi
berbagai potensi masalah terkait dengan penetapan halal. Label halal semestinya
tidak hanya bisa diterima di pasar domestik, namun juga di internasional. Oleh
karenanya, lembaga pemeriksa halal semestinya memiliki sistem yang sama dan
diakreditasi oleh KAN. Saat ini KAN telah menandatangani perjanjian dengan

Pengakuan Sertifikasi Halal


94
Secara Internasional
badan akreditasi negara lain, sehingga label halal yang dikeluarkan di Indonesia,
juga bisa diterima internasional.
Selain itu, akreditasi menunjukkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)
merupakan lembaga yang kompeten. Apabila terjadi masalah dengan label halal,
KAN bisa bertindak untuk memfasilitasi penyelesaian masalah tersebut. Sejauh
ini, KAN telah mengakreditasi sekitar 1200 laboratorium dan lembaga
sertifikasi. Sampai saat ini, KAN mengaku tidak mengalami masalah terkait
kegiatan akreditasi tersebut. Bahkan, kementerian lain yang mengembangkan
sistem sertifikasinya menjadi SNI, sukses mendorong keberterimaan produk di
pasar. Sebagai contoh, sistem ekolabel yang dikembangkan Kementerian
Lingkungan Hidup berhasil diadopsi menjadi SNI. Begitu pula dengan
Kementerian Kehutanan. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang
diadopsi menjadi SNI, berhasil mendorong produk kayu Indonesia diterima
pasar internasional.114
Saat ini MUI mengklaim telah berpengalaman selama 24 tahun
mengeluarkan sertifikat halal serta terdapat 43 lembaga di negara-negara yang
115
telah mengacu kepada sistem yang dibuatnya. Dengan diadopsinya sistem
tersebut ke dalam SNI dan LPH diakreditasi, standar halal akan lebih bisa lebih
diterima di pasar internasional. Di samping itu, dengan disahkannya Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian,
diharapkan dapat memfasilitasi sebuah sistem jaminan halal di Indonesia dengan
mempersatukan berbagai organisasi masyarakat yang ada di Indonesia terutama
terkait dengan masalah penjaminan halal.
Dengan adanya UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian tersebut,
maka Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), di bidang sertifikasi halal disebut

114
Badan Standardisasi Nasional, “MUI Dukung Lembaga Pemeriksa Halal diakreditasi KAN”,
https://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/5443
115
Ibid

Pengakuan Sertifikasi Halal


95
Secara Internasional
sebagai LPH, memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari
BSN, juga kesempatan untuk mendapatkan sertifikasi SNI di bidang halal.
Regulasi tersebut sejatinya lebih menguntungkan pengelolaan sertifikasi halal di
Indonesia, karena lebih memperkuat standardisasi, akreditasi dan sertifikasi
penyelenggaraan dan pengelolaan sertifikasi halal.

B. Peran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Sertifikasi Halal di


Indonesia

Masing-masing negara Islam, negara dengan mayoritas berpenduduk Islam,


bahkan negara sekuler sekalipun memiliki badan sertifikasi halal. Terdapat juga
negara yang tidak memiliki badan sertifikasi halal, namun bekerja sama dengan
badan sertifikasi halal lainnya untuk mendapatkan sertifikat halal. Peran
pemerintah terhadap badan penyelenggara sertifikasi halal tersebut, berbeda
antar masing-masing negara. Arab Saudi tercatat sebagai negara yang
memberikan persyaratan yang sangat ketat untuk mengeluarkan sertifikat halal.
Sementara itu, karena Jepang tidak memiliki badan sertifikasi halal sendiri,
perusahaan-perusahaan Jepang bekerja sama dengan Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia (JAKIM), Japan Muslim Association (JMA), Islamic Center Japan,
Japan Halal Association (JHA), atau organisasi lain demi mendapatkan sertifikat
halal untuk produknya.124
Pengaturan sertifikasi halal di Indonesia terus berkembang, terakhir
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ketentuan tersebut mengatur bahwa pelaku usaha UMK dapat melakukan self
declare tentang kehalalan produknya, namun self declare sebagaimana
dimaksud memiliki kriteria tertentu dan harus melalui proses dan standar yang

124
Sugiyama, Shigehiko, “Consideration of the Nature of Halal and Food Safety: In Order to
Greet the Tourist from ASEAN Countries”, JAFIT International Tourism Review, 21, 2014, hlm.
129-136. in Japanese)

Pengakuan Sertifikasi Halal


96
Secara Internasional
ditetapkan BPJPH. Selanjutnya terdapat perbedaan pula terkait waktu penerbitan
sertifikasi halal di mana sebelumnya UU JPH mengatur waktu penerbitan adalah
7 (tujuh) hari setelah keputusan halal diterima oleh MUI, menjadi hanya 1 (satu)
hari sesuai UU Cipta Kerja. Terkait penerbitan sertifikasi halal tersebut juga
terdapat perubahan, bahwa apabila MUI belum mengeluarkan fatwa halal dalam
jangka waktu yang ditentukan maka BPJPH bisa langsung menerbitkan (auto
halal), dan yang terakhir terkait pelaku usaha UMK maka UU memberikan
pembebasan biaya melalui program self declare.
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan
dalam filsafat hukum Islam adalah konsep al-maṣlaḥah yang menegaskan bahwa
hukum Islam disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan
umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama, yaitu dengan
memformulasikan kaidah (teori hukum), di mana ada maslahat, di sana terdapat
hukum Allah.125
Secara etimologis, al-maṣlaḥah dapat berarti kebaikan, kemanfaatan,
kepantasan, kelayakan, keselarasan, kegunaan dan kepatutan, benefit, dan
interest.126 Lawan kata al-maṣlaḥah adalah al-mafsadah atau juga al-maḍarrah
yang artinya kerusakan.127 Secara terminologi beberapa ulama usul fiqh telah
memberi muatan makna terhadap al-maṣlaḥah sebagai upaya mewujudkan
kemanfaatan dan menghindari kemudharatan (jalbu al-maṣali ḥ wa dar’u al-
mafāsid). Bahwa al-maṣlaḥah identik dengan al-khair (kebajikan), al-naf’
(kemanfaatan), dan al-ḥusn (kebaikan). Al-Syatibi mengungkapkan bahwa

125
Zulham, 2018, Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk
Halal, Kencana, Jakarta
126
Mohammad Hashim Kamali, 1998, Principles of Islamic Jurisprudence, Ilmiah Publisher
Sdn, Kuala Lumpur, hlm. 267
127
Kemanfaatan tersebut dapat bersifat duniawi maupun ukhrawi, yang pada dasarnya
mengambil manfaat dan menghindari keburukan maupun kerusakan. ‘ Abd Al-Karīm bin ‘Ali
Muḥammad Al-Namlati, selanjutnya disebut Namlati, 1999, Al-Muhazzab fī ‘ilmi Uṣūli al-Fiqhi
al-Muqāran, Maktabah Rusydi, Riyāḍ, hlm. 1003.

Pengakuan Sertifikasi Halal


97
Secara Internasional
tujuan syariat diturunkan adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat
manusia, baik di dunia maupun akhirat secara bersama-sama.128
Mewujudkan maslahat merupakan tujuan utama hukum Islam (syari’at)
karena tujuan al-syāri’ meletakkan al-maṣlaḥah untuk melahirkan kebaikan
(kemanfaatan) dan terhindarnya keburukan (mafsadah), pada akhirnya tercipta
kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia. Konsep al-maṣlaḥah bertujuan
dan juga sebagai inti dari upaya memelihara dan memperhatikan tujuan-tujuan
hukum Islam (maqāṣid al-syarī’ah).129 Dengan demikian, hukum Islam berdiri
di atas fondasi al-maṣlaḥah sehingga muncul beberapa metode pengambilan
hukum (istinbāṭ al-ḥukm) yang bersumber dari dan bermuara kepada al
maslahah.130 Abu Zahra juga mengungkapkan bahwa tujuan hakiki hukum Islam
adalah al-maṣlaḥah, tidak satupun hukum yang disyariatkan dalam al-Qur’an
dan Sunah melainkan untuk kemaslahatan.131
Selanjutnya pengertian halal berarti “melepaskan” dan “tidak terikat”.
Secara etimologi, halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena
bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan syara’ yang melarangnya
atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan
ukhrawi.132 Dengan demikian produk halal yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah keseluruhan hasil produksi yang memenuhi syarat kehalalan yang
ditetapkan oleh syariat Islam.134

128
Abū Isḥāq Ibrāhīm al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūli al-Syarī’ah, Juz II , Dār Kutub al-
‘Ilmiyah, Beirūt, hlm. 168.
129
Asafri Jaya Bakri, 1996, Konsep Maqashid Syariah Menurut Syatibi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 168.
130
Asmawi, 2010, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana
Khusus di Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, hlm. 4
131
Muḥammad Abū Zahra, 1958, Uṣūl al-Fiqh, Dār al-Fikri al-‘Arabī, Mesir , hlm. 366.
132
Louis Ma’luf, 1986, Al-Munjid fī al-Lugah, Dar El-Machreq Sarl Publisher, Beirut-Lebanon,
hlm. 146.
134
Zulham, 2018, Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk
Halal, Kencana, Jakarta

Pengakuan Sertifikasi Halal


98
Secara Internasional
Kata “hukum Islam (al-ḥukm al-Islāmi) atau Islamic Law135 memiliki
makna cukup luas dan dapat mengacu kepada beberapa istilah yaitu syariah136,
uṣūl al-fiqh137, maupun al-fiqh.138 Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa
syariat adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk
hambanya agar diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya
sesama manusia.139 Jasser Auda menyebutkan bahwa kata syariat di dalam al-
Qur’an berarti menunjukkan jalan hidup (way of life), secara tegas ia
menyebutkan “my translation of word shariah to mean a way of life”. Menurut
Auda, kata syār’i adalah nama bagi Allah yang bermakna “The Legislator” dan
tidak bisa digunakan bagi manusia kecuali Nabi ketika ia menyampaikan risalah
Allah.140
Al-Ghazali menjelaskan bahwa makanan dalam agama dapat
diumpamakan seperti fondasi pada bangunan. Jika fondasi itu kokoh dan kuat,
maka bangunan pun akan berdiri tegak dan kukuh. Sebaliknya jika fondasi itu
rapuh dan bengkok, bangunan pun akan runtuh dan ambruk. Al-Ghazali
menjelaskan urgensi makanan halal yaitu setiap manusia berkewajiban untuk
mencari makanan halal. Atas pandangan tersebut, penulis menambahkan bahwa
Al-Ghazali mengaitkan kewajiban mencari makanan halal dengan kewajiban
menuntut ilmu. Hal ini berarti bahwa kewajiban mencari makanan halal dapat

135
Abdur Rahman Ibn Salih al-Mahmood, 2003, Man Made Laws vs Shari’ah,
2003,International Islamic Publishing House, Saudi Arabia, hlm. 375.
136
Secara etimologi, kata syariah berarti “jalan” menuju ke tempat (sumber) air, secara
terminologi syariah adalah apa yang digariskan atau ditentukan oleh Allah dalam agama untuk
pengaturan hidup para hambaNya. Rifyal Kabah, 1999, Hukum Islam di Indonesia,, Universitas
Yarsi, Jakarta, hlm. 12
137
‘Abd al-Wahāb Khallāf, 2002, ‘Ilmu Uṣūlu al-Fiqhi, Maktabah Da’wah al-Islāmiyah, Al-
Azhar, hlm. 12
138
Imran Ahsan Khan Nyazee, 2002, Theories of Islamic Law, the Methodology of Ijtihad, The
Other Press, Kuala Lumpur, hlm. 20-22
139
Hasbi Ash-Siddieqy, 2001, Filsafat Hukum Islam, Pustaka Rizqi Putra, Semarang, hlm. 29
140
Jasser Auda, 2008, Maqasih Syariah as Philosophy of Islamic Law, The International Institute
of Islamic Thought, London, hlm. 57

Pengakuan Sertifikasi Halal


99
Secara Internasional
bermakna sebagai upaya mengetahui kehalalan makanan dengan ilmu
pengetahuan, sehingga pada prosesnya harus diuji dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi, atau dikenal sebagai sertifikasi.141
Untuk menggali ‘illah al-ḥukm produk makanan halal, perlu
menguraikan kembali beberapa ayat yang menjelaskan tujuan makanan halal, di
antaranya yang terdapat dalam al Qur’an surat al Maidah [5]:4 dan 5. Penulis
berpendapat bahwa makanan yang halal adalah makanan yang baik (ṭayyib),
dengan demikian makanan yang baik dan/atau memberikan kebaikan tersebut
menjadi al-maṣlaḥah al-mu’tabarah yang terkandung di balik norma perintah
mengonsumsi makanan halal.142
Makanan yang halal memberikan kemanfaatan bagi konsumen. Bagi
seorang Muslim, orientasi hidup adalah tercapainya takwa, untuk mencapainya
harus dengan syariat, dan syariat memiliki tujuan yang senantiasa harus dirawat
yaitu maqāṣid al-syarī’ah, sedangkan makanan yang halal dan baik menjadi
prasyarat mencapai takwa. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa makanan
halal adalah baik dan memberikan kebaikan terhadap terselenggaranya maqāṣid
al-syarī’ah. Terwujudnya maqāṣid al-syarī’ah menjadi landasan filosofi
perintah mengonsumsi makanan halal, karena makanan halal adalah makanan
yang baik (ṭayyib). Makanan halal yang baik dan memberikan kebaikan bagi
peningkatan kualitas (dan tidak mengacaukan apalagi merusak) maqāṣid al-
syarī’ah, dalam hal ini adalah five primary goals of shariah (al-ḍarāriyah al-
khamsah) yaitu bahwa perintah mengonsumsi makanan halal karena
memberikan kebaikan dan bermanfaat serta tidak merusak dan membahayakan
untuk menjaga: agama, hidup, akal, keturunan, dan harta.

141
Al-Ghazali, 2007, Rahasia Halal-Haram, Hakikat Batin Perintah dan Larangan Allah,
Terjemahan Iwan kurniawan, Mizania Pustaka, Bandung, hlm. 12-15
142
Zulham, 2018, Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk
Halal, Kencana, Jakarta, hlm. 161

Pengakuan Sertifikasi Halal


100
Secara Internasional
Kewajiban mengonsumsi makanan halal diatur di dalam al-Qur’an,
Hadis, Ijma,143 Qiyas144 bahkan dalam bentuk fatwa ulama yang diputuskan
berdasarkan sumber-sumber Hukum Islam tersebut. Pada sisi lain, kewajiban
mengonsumsi makanan halal disebutkan dengan kata (lafaz) perintah yang
berbeda, yakni “kulū” yang berarti “makanlah”. Berdasarkan alasan tersebut
penulis memfokuskan pembahasan terhadap al-aḥkām al-khamsah, lima kaidah
hukum atau the five values. Penulis menganggap bahwa wajib adalah doktrin
syāri’ (lawgiver) yang menuntut dan memaksa subyek hukum (mukallaf) untuk
melakukan suatu perbuatan melalui dalil yang tegas dan pasti, yang ditetapkan
dengan lafaz yang bermakna wajib atau sejenisnya, di mana pelakunya akan
mendapatkan pahala, sedangkan bagi yang meninggalkannya akan mendapat
dosa, bahkan bagi yang meninggalkan perbuatan yang telah ditetapkan dengan
al-dalīl al-qaṭ’i (definitive rulings) akan dikafirkan.
Selanjutnya, terkait regulasi di Indonesia, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 amandemen keempat dinyatakan: ”Negara Indonesia adalah negara
hukum.” Prinsip ini semula (sebelum amandemen) dimuat dalam Penjelasan. 145
Berdasarkan uraian tersebut, maka sudah seharusnya hubungan antara
pemerintah dengan rakyatnya diatur oleh hukum. Secara normatif, landasan
sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

143
Ijma: kesesuaian pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia
144
Dalam mazhab Syafi, qiyas menempati urutan keempat dalam sumber hukum Islam sesudah
al-Qur’an, hadist dan ijma
145
Menurut Bagir Manan, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Prinsip ini semula dimuat dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945 dengan kalimat: “Indonesia
ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
belaka (machtsstaat). ” Di samping itu ada prinsip yang lain yang erat dengan negara hukum
yang juga dimuat dalam Penjelasan: “Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum
dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).” Prinsip ini mengandung
makna ada pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan
kekuasaan tidak terbatas. Dengan ketentuan baru ini, maka dasar sebagai negara berdasarkan
atas hukum mempunyai sifat normatif, bukan sekedar asas belaka. Bagir Manan, 2004,
Perkembangan UUD 1945, FH UI Press, Jakarta, hlm. 54.

Pengakuan Sertifikasi Halal


101
Secara Internasional
Keadilan dalam pembangunan sistem ekonomi Indonesia merupakan titik tolak,
proses dan tujuan sekaligus yang harus dicapai. Bab XIV Pasal 33 UUD 1945
amandemen keempat merupakan pasal mengenai perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial.
Menurut Sri Edi Swasono,146 kesejahteraan sosial adalah bagian yang tak
terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Kesejahteraan sosial yang terdapat
dalam UUD 1945 berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara
pada peningkatan kesejahteraan sosial. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang
mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa
mengabaikan kepentingan individu orang per orang. Pasal 33 UUD 1945 adalah
pasal restrukturisasi ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural
ekonomi.
Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial,
yang berarti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan
yang Maha Esa, sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk
mewujudkan suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial). Keadilan
sosial tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan manusia sebagai
makhluk yang beradab (sila kedua). Manusia pada hakikatnya adalah adil dan
beradab, yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap
Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap
lingkungan alamnya.
Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai suatu negara
kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap warganya dan seluruh tumpah
darah, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan warganya (tujuan
khusus). Adapun tujuan dalam pergaulan antar bangsa di masyarakat
internasional bertujuan ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan

146
Sri Edi Swasono, 2005, Sistem Ekonomi Indonesia dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
dalam Kancah Globalisasi, Sains, Bogor, hlm. 29

Pengakuan Sertifikasi Halal


102
Secara Internasional
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pengertian ini
menjustifikasi negara Indonesia sebagai negara kebangsaan yang berdasar
keadilan sosial dalam melindungi dan menyejahterakan warganya. Demikian
pula dalam pergaulan internasional, Indonesia berprinsip dasar pada
kemerdekaan serta keadilan dalam hidup masyarakat. Konsekuensinya sebagai
suatu negara hukum yang berkeadilan sosial, maka negara Indonesia harus
mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia, yang tercantum dalam Pasal
27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
Sebagai negara yang berkeadilan, maka negara berkewajiban melindungi hak-
hak asasi warganya, sebaliknya warga negara berkewajiban menaati peraturan
perundang-undangan, sebagai manifestasi keadilan legal dalam hidup bersama.
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 Amandemen ke-4 tampaknya relevan
digunakan dalam rangka penyelenggaraan perekonomian Indonesia yang
berasaskan kekeluargaan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945
Amandemen ke-4, maka pelaku ekonomi di Indonesia, yaitu koperasi, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta, dalam mengelola
usahanya haruslah selalu berlandaskan asas kekeluargaan.
Swasono menjelaskan pola hubungan antara era globalisasi dengan
sistem ekonomi Indonesia sebagaimana berikut:147
”Saat ini dalam perkembangan globalisasi, ternyata tidak makin mudah
menyajikan pemahaman tentang adanya sistem ekonomi Indonesia.
Kaum akademisi Indonesia terkesan makin mengagumi globalisasi yang
membawa perangai kemenangan sistem kapitalisme barat. Sikap kaum
akademisi semacam ini ternyata membawa pengaruh besar terhadap
sikap kaum elit politik muda Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen
terhadap sistem ekonomi Indonesia dan ideologi kerakyatan yang
melandasinya. Pemahaman akan sistem ekonomi Indonesia bahkan
mengalami suatu pendangkalan tatkala sistem komunisme Uni Soviet
dan Eropa Timur dinyatakan runtuh.”

147
Sri Edi Swasono, “Sistem Ekonomi Indonesia”, www.indonesiaindonesia.com/f/8803-
sistem-ekonomi-indonesia, makalah, diakses pada 21 September 2020.

Pengakuan Sertifikasi Halal


103
Secara Internasional
Bagi Bangsa Indonesia, pembangunan ekonomi saat ini diharapkan
mampu mengemukakan dan melaksanakan sistem ekonomi Indonesia sesuai
dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu untuk mencapai kesejahteraan
sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa mengabaikan hak
dan tanggung jawab terhadap masyarakat.
Menurut Sri Edi Swasono148, globalisasi dengan pasar bebasnya memang
berperangai kapitalisme dalam wujud barunya. Pemikiran ini tidak dimaksudkan
untuk secara khusus mengemukakan tentang hal-hal mengapa globalisasi perlu
diwaspadai namun perlu dicatat bahwa globalisasi terbukti telah menumbuhkan
inequality yang makin parah, melahirkan the winner-take-all society (adigang,
adigung, aji mumpung), tentu tergantung bagaimana memerankan diri sebagai
subyek (bukan obyek) dalam ikut membentuk wujud globalisasi. Disimpulkan
oleh Sri Edi Swasono, kepentingan nasional harus tetap diutamakan tanpa
mengabaikan tanggung jawab global, yang dituju adalah pembangunan
Indonesia, bukan sekedar pembangunan di Indonesia.
Menurut Sunaryati Hartono, 149 hukum harus memegang peranan yang
penting bagi sukses tidaknya pelaksanaan suatu rencana pembangunan ekonomi
dan pembangunan masyarakat pada umumnya. Sunaryati Hartono
menambahkan hukum haruslah membuka jalan dan menyalurkan kehendak dan
kebutuhan masyarakat ke arah tujuan yang dikehendaki.
Saat pertama digagas rencana pembangunan melalui Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) Tahun 1973, upaya merancang pembangunan bidang hukum diatur
dalam Bab 27 GBHN 1973. Dinyatakan dengan tegas bahwa pembangunan
bidang hukum dalam Negara Hukum Indonesia adalah berdasarkan atas
landasan sumber tertib hukum negara, yaitu cita-cita hukum serta cita-cita moral

148
Ibid.
149
Sunaryati Hartono, Op Cit, hlm. 8.

Pengakuan Sertifikasi Halal


104
Secara Internasional
yang luhur, meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang
dipadatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Dumairy,150 dikenal pengelompokan sistem ekonomi dalam
masyarakat yang dianut oleh suatu negara menjadi 4 sistem ekonomi.
Pembahasan Sistem Ekonomi dimaksudkan sebagai Sistem Hukum Ekonomi
sebagaimana dikemukakan di atas. Adanya pengelompokan Sistem Hukum
Ekonomi tersebut dikenal dengan: Sistem Hukum Ekonomi Tradisional, Sistem
Hukum Ekonomi Pasar, Sistem Hukum Ekonomi Komando dan Sistem Hukum
Ekonomi Campuran.
Lebih lanjut Dumairy menjelaskan bahwa berdasarkan pengelompokan
tersebut, maka dapat dikenali yang satu dengan yang lainnya dari ciri-ciri yang
dipraktikkan dalam menjalankan Sistem Hukum Ekonomi berdasarkan yang
dikenal dalam masyarakat.151 Sistem Hukum Ekonomi disebut sebagai Sistem
Hukum Ekonomi Tradisional, apabila dalam praktik sistem hukum ekonomi
masih sangat terikat kepada adat-istiadat, kebiasaan, dan nilai budaya setempat.
Sistem Hukum Ekonomi Pasar memberikan kebebasan kepada masyarakat
secara perseorangan untuk memilih dan melakukan usaha sesuai dengan
keinginan dan keahlian. Pada Sistem Hukum Ekonomi Komando maka seluruh
kegiatan ekonomi dilakukan melalui rencana yang diatur serta dilaksanakan oleh
pemerintah secara terpusat. Sedangkan Sistem Hukum Ekonomi Campuran,
memiliki ciri Sistem Hukum Ekonomi yang merupakan gabungan dari Sistem
Hukum Ekonomi Liberal dan Sosialis.152
Dumairy menjelaskan153 bahwa Indonesia mengklaim menganut Sistem
Hukum Ekonomi Pancasila. Pancasila sebagai sumber hukum, maka dalam

150
Dumairy, Op Cit, hlm. 30
151
Ibid.
152
Ibid.
153
Dumairy, Op Cit, hlm. 30.

Pengakuan Sertifikasi Halal


105
Secara Internasional
pembahasan Sistem Ekonomi Pancasila dimaksudkan sebagai Sistem Hukum
Ekonomi Pancasila. Sistem Hukum Ekonomi Pancasila tidak mempraktikkan
hal-hal berikut: Pertama, sistem free fight liberalism karena dapat menimbulkan
eksploitasi (penindasan atau pemerasan) terhadap manusia dan bangsa lain.
Kedua, sistem etatisme, yaitu negara beserta aparatur negara bersifat dominan
sehingga akan mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit
ekonomi di luar sektor negara. Ketiga, pemusatan kekuatan ekonomi pada
seseorang atau suatu kelompok tertentu dalam bentuk monopoli yang merugikan
masyarakat.154
Arfin Hamid berpendapat,155 bahwa dalam kaitannya dengan pandangan
di atas, Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar melaksanakan
pembangunan pada aspek ideologis berjalan seimbang dengan pembangunan
lainnya. Arfin Hamid menambahkan, namun tidak demikian yang terjadi pada
bangsa ini, kini potret ideologis yang dianut belum terbentuk secara utuh,
bagaikan bayi dalam kandungan yang masih berusia lima bulan. Dijelaskan
olehnya, secara retoris, memang selalu didengungkan oleh setiap orde penguasa
bahwa bangsa ini menganut dan berideologi Pancasila, tidak mencaplok salah
satu ideologi yang ada di dunia. Namun, potret dan profil ideologi yang
dimaksud itu belum juga tampak hingga saat ini. Sebaliknya, yang muncul
adalah kesenjangan ideologis, berupa penampakan sikap dan pola perilaku yang
korup, kolusi, dan nepotisme. Padahal idealnya, bangsa ini telah memiliki
karakteristik sendiri yang seluruhnya terakumulasi dalam Pancasila. Pancasila
sebagai satu-satunya sumber inspirasi dan aspirasi bangsa, pada tahun 1988 telah
mencapai puncak perjuangan pemantapan ideologi bangsa dengan
ditempatkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berbangsa dan

154
Ibid.
155
Arfin Hamid, 2007, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor, Cetakan I, hlm. 3

Pengakuan Sertifikasi Halal


106
Secara Internasional
bernegara (Asas Tunggal Pancasila). Meskipun realitasnya belakangan ini selalu
menghadapi cobaan disintegrasi bangsa dari Sabang sampai Merauke.
Pada akhirnya Arfin Hamid menyimpulkan bahwa gambaran kesuksesan
minimal yang telah diraih bangsa ini adalah terbentuknya opini publik bahwa
ideologi bangsa adalah Pancasila, paling tidak secara formal telah terpatri di
setiap sanubari anak bangsa. Meskipun secara implementatif bangsa ini masih
sangat tidak konsisten terhadap nilai-nilai substantif dari ideologi yang telah
terpatri itu. Perilaku sebagian besar penguasa bangsa ini masih berseberangan
dengan nilai-nilai (values) Pancasila, demikian pula sebagian besar rakyat tidak
berdaya atas perilaku menyimpang dari makna ideologis tersebut.156
Lebih lanjut menurut Arfin Hamid, sistem Hukum Ekonomi Pancasila
dikenal pula sebagai sistem demokrasi ekonomi. Dalam demokrasi ekonomi,
dicirikan sistem ekonomi yang berasal dari rakyat, serta dilakukan oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Adapun dalam sistem demokrasi ekonomi dimaksudkan dalam
praktiknya Sistem Hukum Ekonomi yang mengikutsertakan peran aktif rakyat
atau dikenal juga sebagai Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam sistem ini, sudah
seharusnya pemerintah berperan menciptakan iklim perkembangan dunia usaha
yang sehat bagi pertumbuhan ekonomi.157
Menurut Mubyarto,158 dalam Sistem Hukum Ekonomi Pancasila terdapat
kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku ekonomi
yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila, dengan tujuan akhir
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya
Mubyarto menambahkan bahwa etika Pancasila adalah landasan moral dan
kemanusiaan yang dijiwai semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan,

156
Ibid.
157
Ibid.
158
Mubyarto, “Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila di Tengah Praktek Liberalisasi Ekonomi
di Indonesia”, Artikel - Th. I - No. 11 - Januari 2003

Pengakuan Sertifikasi Halal


107
Secara Internasional
yang semuanya bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Intisari
Pancasila (Eka Sila) menurut Bung Karno adalah gotong royong atau
kekeluargaan, sedangkan dari segi politik Trisila yang diperas dari Pancasila
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme), sosio-nasionalisme, dan
sosio-demokrasi.159
Menurut Sri Edi Swasono,160 pemikiran Sistem Ekonomi Pancasila
sampai sekarang masih terus berlangsung, hal ini tercermin dari perkembangan
pemikiran tentang Sistem Ekonomi Pancasila. Selanjutnya Sri Edi Swasono
berpendapat bahwa pergulatan pemikiran tentang Sistem Ekonomi Pancasila
pada hakikatnya merupakan dinamika penafsiran tentang pasal-pasal ekonomi
dalam UUD 1945. Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, yang dimaksud dengan
cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah
barang dan jasa yang vital bagi kehidupan manusia, dan tersedia dalam jumlah
yang terbatas. Lebih lanjut ditambahkan, tinjauan terhadap vital tidaknya suatu
barang tertentu terus mengalami perubahan sesuai dengan dinamika
pertumbuhan ekonomi, peningkatan taraf hidup dan peningkatan permintaan.
Dengan demikian, penafsiran pasal-pasal di ataslah yang banyak mendominasi
pemikiran Sistem Ekonomi Pancasila. Pemikiran tentang Sistem Ekonomi
Pancasila sudah banyak, namun ada beberapa yang perlu dibahas secara rinci
karena para ekonom tersebut merupakan the founding fathers dan juga tokoh-
tokoh ekonomi yang ikut mewarnai sistem ekonomi Indonesia.
Menurut Dumairy,161 krisis ekonomi menunjukkan kegagalan Sistem
Kapitalis yang saat ini banyak dipergunakan di berbagai negara. Sistem Hukum
Ekonomi Islam sebagai pilihan alternatif mulai digali untuk diterapkan sebagai

159
Ibid.
160
Sistem Ekonomi Indonesia, http://www.remo-xp.com/, diakses 6 Desember 2020
161
Dumairy, Islam dan Ekonomi, Artikel, 2 Desember 2020.

Pengakuan Sertifikasi Halal


108
Secara Internasional
sistem hukum perekonomian yang baru. Sistem Hukum Ekonomi Islam
mempunyai perbedaan yang mendasar dengan sistem hukum ekonomi yang lain.
Dalam sistem hukum ekonomi Islam terdapat nilai moral dan nilai ibadah
dalam setiap kegiatannya. Prinsip ekonomi Islam adalah adanya kebebasan
individu, hak terhadap harta, ketidaksamaan ekonomi dalam batasan, kesamaan
sosial, keselamatan sosial, larangan menumpuk kekayaan, larangan terhadap
institusi anti-sosial, serta kebajikan individu dalam masyarakat. Konsep
ekonomi Islam mengambil suatu kaidah terbaik antara kedua pandangan yang
ekstrim (kapitalis dan komunis) dan mencoba untuk membentuk keseimbangan
di antara keduanya (kebendaan dan rohaniah). Keberhasilan Sistem Hukum
Ekonomi Islam tergantung kepada penyesuaian yang dapat dilakukan di antara
keperluan kebendaan dan keperluan rohani/etika yang diperlukan manusia.162
Nilai-nilai universal dari hukum adat yang hidup dalam masyarakat
Indonesia merupakan salah satu hal yang amat mendukung untuk pengembangan
industri halal. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang sangat universal, dengan
mengajarkan hal muamalah (hubungan sosial), hak dan kewajiban semua
manusia adalah sama.163 Menurut hemat penulis, sistem hukum ekonomi Islam
juga memiliki kesesuaian dengan Pancasila yang pada akhirnya dapat
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya terkait dengan peran pemerintah, dapat penulis jelaskan
terlebih dahulu bahwa secara politis, hubungan antara Islam dan negara telah
lama masuk dalam ranah perdebatan para pemikir tata negara Islam. Paradigma
integralistik berpandangan bahwa penyelenggaraan negara didasarkan atas
“kedaulatan Ilahi” (divine sovereignty), karena kedaulatan berasal dan berada di

162
Ibid.
163
Ibid, hlm. 197.

Pengakuan Sertifikasi Halal


109
Secara Internasional
“tangan” Tuhan.164 Pandangan ini juga mengilhami lahirnya gerakan
fundamentalisme. Pendukung paradigma ini di antaranya al-Ghazali, Ibnu
Khaldun, Muhammad Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi,
Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardawi. Sedangkan paradigma simbiotik
berpandangan bahwa agama membutuhkan negara untuk berkembang, dan
negara membutuhkan agama untuk membimbing etika, moral dan spiritual.165
Paradigma simbiotik ini tokohnya antara lain: Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad
Ibn Habib al-Mawardi dan Muhammad Hussein Haikal. Penulis berpendapat
bahwa hubungan antara agama dan negara adalah substantif, yaitu proses
internalisasi substansi nilai, prinsip, dan kaidah Islam sebagai pendukung moral
dan spiritual agama.
Dari sejumlah peran negara yang diajukan oleh para pemikir Islam di
atas, dapat disimpulkan bahwa negara dalam perspektif Islam bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan negara (welfare state) melalui perlindungan, hak,
kebebasan, dan kewajiban yang diberikan kepada penduduknya. Gagasan
kesejahteraan negara sebagaimana dimaksud, sesungguhnya bermakna
kesejahteraan bagi warga negaranya pula. Gagasan peran negara dalam
menciptakan kesejahteraan negara dalam perspektif Islam tersebut, tentu saja
secara substantif dilandasi dengan nilai, prinsip dan kaidah Islam.
Perspektif konstitusi Indonesia, peran pemerintah sesungguhnya telah
dapat dilihat dan telah terserap pada proses penyusunan Undang-Undang Dasar
1945. Penyusunan konstitusi Indonesia dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
berkembang dan hidup di masyarakat, dan nilai-nilai tersebut diabstraksikan ke
dalam konstitusi dengan konsensus oleh the founding fathers. Demikian juga
suasana kebatinan penyusun konstitusi tersebut juga memengaruhi pandangan

164
M. Din Syamsudin, 2000, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, hlm. 58
165
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


110
Secara Internasional
filosofis, sosiologis, politis, yuridis dan historis ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam konstitusi, maka untuk memahami konstitusi secara utuh dan
peran negara perspektif konstitusi Indonesia, harus pula memahami nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat serta suasana kebatinan perumus konstitusi (the
founding fathers).
Dialog yang terjadi dalam sidang BPUPKI sebagaimana yang diutarakan
oleh Soekarno, M Yamin, dan M Hatta menginginkan pendirian negara yang
sejahtera (welfare state) bagi penduduknya. Demikian juga perspektif konstitusi
Indonesia, peran negara diorientasikan untuk mencapai tujuan nasional
sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Prinsip perlindungan,
kesejahteraan, mencerdaskan, ketertiban dan perdamaian, selain menjadi
kewajiban negara untuk menyelenggarakannya juga merupakan hak yang harus
diberikan kepada warga negara, adalah refleksi dari prinsip kesejahteraan
negara.
Muhammad Akbar Khan berpendapat bahwa setiap negara wajib
berperan untuk melindungi semua hak dan kebebasan individu yang
fundamental tersebut, yang diturunkan dari al-ḍarūriyah alkhamsah yaitu: (1)
negara harus menjamin setiap Muslim melaksanakan agamanya sesuai dengan
tujuan pertama; (2) negara harus menjamin keamanan dan kesejahteraan semua
manusia di bawah pemerintahannya; (3) negara harus menyediakan dan
memfasilitasi kondisi untuk pertumbuhan pikiran yang sehat; (4) negara harus
menciptakan kondisi untuk sistem keluarga yang sehat; dan (5) akhirnya negara
harus menjamin kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan.166
Dari perspektif hukum Islam, mengonsumsi makanan halal adalah
perintah yang hukumnya wajib. Hal ini karena ayat-ayat yang menjadi dalil
mengonsumsi makanan halal tersebut, diformulasikan dalam bentuk perintah

166
Muhammad Akbar Khan, “The Role of Islamic State in Consumer Protection”, Journal of
Islamic Research, Vol 8, 2011, hlm 33.

Pengakuan Sertifikasi Halal


111
Secara Internasional
dan setiap perintah bertujuan untuk mewajibkan (al-amru li alwujūb) sedangkan
sebaliknya larangan bertujuan untuk mengharamkan (al-nahyu li al-taḥrīm).167
Ibnu Qayyim mengajukan kaidah “perubahan fatwa (hukum) dan
perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, kondisi, niat dan adat
istiadat (tagayyuru al fatwā wa ikhtilāfuhā biḥasbi tagayurri al-azminati wa al-
amkinati wa al-ahwāli wa al-awa’idi). Bahwa kaidah ini bertujuan untuk
memberikan kemaslahatan (utility/benefit) bagi kehidupan manusia, di mana
hukum dapat berubah berdasarkan zaman, tempat, kondisi dan kebiasaannya
agar manusia dapat keluar dari kemafsadatan dan mudaratnya (risk).168
Selanjutnya, terkait dengan perubahan yang besar dalam berbagai bidang
industri halal seperti misalnya perkembangan zaman, kondisi, teknologi,
konsumen yang sudah tidak dapat lagi menguji dan mengevaluasi kehalalan
produk secara visible, maka pada situasi seperti ini maka hukum Islam harus
melakukan perubahan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari
kemudaratan, sebagaimana dengan kaidah yang diajukan oleh Ibnu Qayyim
yaitu tagayyuru al fatwā wa ikhtilāfuhā biḥasbi tagayurri al-azminati wa al-
amkinati wa al-ahwāli wa al-awa’idi.
Demikian pula dengan kelembagaan sertifikasi halal, yang sebetulnya
bukan sebuah kewajiban dalam hukum Islam. Namun, karena konsumen Muslim
tidak dapat mengevaluasi, memvalidasi, dan menguji kehalalan produk secara
langsung, maka pembentukan kelembagaan menjadi wajib dikarenakan
perubahan zaman dan kondisi. Hingga penulis berkesimpulan bahwa
keseluruhan uraian tersebut, yaitu uraian tentang kaidah-kaidah uḥūliyah yang
disistematisasi sedemikian rupa dan diterapkan pada sertifikasi dan labelisasi
produk halal, menjustifikasi dan membenarkan adanya peran pemerintah

167
Ibn al-‘Arabi, 2003, Aḥkāmu al-Qur’ān, Juz II, Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, Bairūut, hlm. 164-
165.
168
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, 2000, Panduan Hukum Islam, Terjemahan Asep Saifullah FM,
Pustaka Azzam, Jakarta, hlm. 459-460

Pengakuan Sertifikasi Halal


112
Secara Internasional
terhadap sertifikasi halal. Penjelasan ini menjadi alasan mengapa negara dalam
hal ini pemerintah, harus berperan terhadap sertifikasi halal guna melindungi
konsumen Muslim dan mewujudkan kesejahteraan sosial.
Selanjutnya, berdasarkan “mufakat nasional” pada Sidang Tahunan MPR
tanggal 1 Agustus 2002, akhirnya Pasal 29 UUD 1945 dinyatakan tetap berlaku
dan tidak terjadi perubahan.169 Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa walaupun pemegang kedaulatan negara Indonesia adalah rakyat, namun
bukan berarti bahwa “suara rakyat” dapat mengalahkan “suara Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Dalam negara Pancasila, kedaulatan rakyat harus sesuai dan tidak
bertentangan dengan sila-sila Pancasila.
Soekarno juga memberi pendapat bahwa dasar mufakat, perwakilan dan
permusyawaratan adalah tempat terbaik untuk memelihara agama.170 Di lain
pihak, Qadri Azizy menyebutnya dengan eklektisisme hukum nasional, bahwa
hukum nasional yang mencakup tiga elemen sumber hukum dengan kedudukan
seimbang (hukum adat, hukum barat dan hukum Islam) tetap dituntut agar
demokratis yang mencerminkan kompetisi bebas dan kemungkinan terjadinya
eklektisisme bukan pemaksaan dari rezim tertentu untuk menerapkan salah satu
sumber hukum tertentu.171
Menurut para penulis, negara dalam hal ini pemerintah, memiliki
kewajiban terhadap kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk dan
beribadah menurut agamanya masing-masing dan itu dilaksanakan dengan
segala upaya untuk pemenuhan hak-hak warga negara dalam menjalankan
agamanya. Termasuk hak mengonsumsi makanan halal bagi Muslim, melalui

169
Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku VIII,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 393, 594
170
Tauqifurrahman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Prenada Media,
Jakarta, hlm. 217-218
171
Qadri Azizy, 2002, Eklektisisme Hukum nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, Gama Media, Yogyakarta, hlm. 172, 252

Pengakuan Sertifikasi Halal


113
Secara Internasional
keseluruhan peraturan perundang-undangan yang substansinya mengatur
kepentingan (almaṣlaḥah) konsumen Muslim, dan negara dalam hal ini
pemerintah, harus berperan terhadap sertifikasi halal guna melindungi konsumen
Muslim dan mewujudkan kesejahteraan sosial.

C. Perbandingan Penyelenggaraan Sertifikasi Halal

1. Penyelenggaraan Sertifikasi Halal di Malaysia


Penyelenggaraan sertifikasi dan labelisasi halal di Malaysia dilaksanakan oleh
(Jabatan Kemajuan Islam Malaysia) JAKIM. Kedudukan JAKIM berada di
bawah Perdana Menteri langsung (full under government), yaitu di bawah Prime
Ministry Department yang langsung berkedudukan di bawah Yang Dipertuan
Agong atau Sultan. Sertifikasi halal di Malaysia dimulai sejak tahun 1974,
Undang-undang pertama tahun 1975 yaitu Trade Description Act. Awalnya yang
menangani mengenai sertifikasi halal di tingkat Federal adalah JAKIM, dan di
tingkat state adalah Jabatan Agama Islam Melaka (JAIM), kemudian baru pada
tahun 2005 hingga 2010 dilakukan sinkronisasi kelembagaan, sehingga saat ini
yang berwenang menangani sertifikasi halal adalah JAKIM.
Di Malaysia tidak ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk memeriksakan
produknya untuk disertifikasi, tetapi apabila pelaku usaha yang sebetulnya
belum mendapat sertifikasi halal namun sudah menggunakan logo halal, maka
dia harus membuktikan bahwa produknya halal. Apabila ternyata produknya
tidak halal, maka pelaku usaha harus membayar uang penalty sebesar RM 1,5
juta dan kasus tersebut dapat diajukan ke Mahkamah Trade.
Perolehan sertifikasi halal, dari mulai pengajuan sampai penerbitan
sertifikasi halal di Malaysia rata-rata menghabiskan waktu selama 1 (satu) bulan,
dengan jangka waktu maksimal 6 bulan. Biaya ditanggung oleh kerajaan, namun
pelaku usaha dikenai charge yang besarnya akan berbeda-beda tergantung

Pengakuan Sertifikasi Halal


114
Secara Internasional
industrinya. Untuk industri kecil dan menengah dikenai RM 100 per tahun,
sementara untuk multinational company sekitar RM 400 per tahun.172
JAKIM memainkan peran yang sangat penting untuk melindungi
konsumen Muslim di Malaysia dan menjadi tanggung jawab JAKIM untuk
menjamin produk yang beredar sudah tersertifikasi halal. JAKIM harus
memastikan status halal produk pada setiap tahap dan pada setiap proses yang
terlibat dengan melakukan audit pada bahan baku, proses, sampai produk jadi ke
tangan konsumen. JAKIM membutuhkan reputasi dan kredibilitas lembaga
sertifikasi halal asing sebagai perwakilan JAKIM untuk
memantau/memverifikasi status halal dari bahan baku dan produk dengan
tanggung jawab dan integritas. Pengakuan JAKIM didasarkan pada kemampuan
lembaga sertifikasi halal asing yang mematuhi prosedur dan pedoman JAKIM.
Sampai bulan Februari 2019, JAKIM telah bekerja sama dengan 78 lembaga
sertifikasi asing pada 45 negara di seluruh dunia. Berbeda dengan negara
Belanda dan Amerika, Malaysia dalam pelaksanaan sertifikasi halal menganut
paham ahlu al-sunah wa al-jamā’ah khususnya madzhab Imam Syafi’i.173

2. Penyelenggaraan Sertifikasi Halal di Brunei Darussalam


Negara Brunei Darussalam memiliki Brunei “Guideline for Use of the Brunei
Halal Brand” yang dibuat oleh Jawatan Kuasa Pembangunan Standard Halal
Kebangsaan dan Garis Panduan untuk Makanan Halal yang mengatur mengenai
prosedur sertifikasi halal. Dinyatakan di dalam guidelines tersebut bahwa
apabila ada pelaku usaha yang melanggar peraturan di dalam guidelines tersebut
akan dikenai sanksi, yaitu berupa denda tidak melebihi $ 8000 atau dihukum
penjara maksimal 2 (dua) tahun. Kesalahan-kesalahannya berupa masih

172
Wawancara dengan JAKIM, 2017.
173
Bank Indonesia, 2020 Ekosistem Industri Halal, Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah
Bank Indonesia, Jakarta

Pengakuan Sertifikasi Halal


115
Secara Internasional
menggunakan label halal yang sudah lewat masa waktunya, menghalangi
pegawai penguatkuasa, kegagalan mematuhi perintah dan lain-lain.
Brunei Darussalam juga memiliki Akta Daging Halal (Penggal 183) serta
aturan-aturan di bawahnya, seperti perintah Aturan-Aturan Daging Halal
Pindaan (2008). Di dalam Akta Daging Halal ini dinyatakan beberapa syarat
penting, seperti soal pengimporan daging halal yaitu daging tersebut harus
diimpor dari negara-negara yang bebas dari penyakit-penyakit berbahaya. Di
dalam Bab 5 Pasal 4 akta ini menyatakan bahwa “Apabila sijil halal dikeluarkan
berkaitan dengan mana-mana daging, tanda halal hendaklah dipamerkan pada
daging tersebut oleh pembekal, tanda halal hendaklah terus dipamerkan semasa
daging tersebut dijual”. Apabila pelaku usaha melanggar ketentuan ini maka
hukumannya adalah penjara maksimal 1 tahun dan denda maksimal $ 4000, dan
jika kesalahan kedua adalah penjara maksimal 2 tahun atau denda maksimal $
8000 dan Mahkamah berhak membatalkan sertifikasi halal.

3. Penyelenggaraan Sertifikasi Halal di Singapura


Singapura memberikan wewenang sertifikasi halal kepada Majelis Ugama Islam
Singapura (MUIS).174 Pengaturan ini tertuang dalam Administration of Muslim
Law Act 1966 (AMLA). Peraturan dalam AMLA memberikan kuasa penuh
penyelenggaraan sertifikasi halal hanya kepada MUIS, tidak kepada lembaga
atau badan lainnya. Pasal 88A (5) AMLA menyatakan bahwa apabila pelaku
usaha yang belum lulus sertifikasi halal telah menggunakan label halal
sebelumnya di dalam produknya, maka akan dikenakan denda maksimal
SGD10.000 atau penjara maksimal 12 bulan. MUIS juga memiliki kuasa untuk

174
Zulzaidi Bin Mahmod, 2011, Pelaksanaan Pemantauan dan Penguatkuasaan Undang-
Undang Produk Halal di Malaysia: Kajian Terhadap Penyalahgunaan Logo Halal, Tesis,
Jabatan Syariah dan Undang-Undang Akademi Pengajian Islam, University Malaya, Kuala
Lumpur, hlm 152.

Pengakuan Sertifikasi Halal


116
Secara Internasional
membatalkan kelulusan sertifikasi halal kepada pelaku usaha apabila gagal
mematuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
MUIS juga menggunakan The Singapore MUIS Halal Standards (SMHS)
yang terdiri dari General Guidelines for the Handling and Processing of Halal
Food (MUIS-HC-S001) dan General Guidelines for the Development and
Implementation of a Halal Quality Management System (MUIS-HC-S002).
Kedua komponen ini adalah yang berkaitan dengan masalah agama dan prosedur
di dalam sertifikasi halal di Singapura.

4. Penyelenggaraan Sertifikasi Halal di Thailand


Untuk membuktikan negaranya ramah terhadap wisatawan Muslim, pemerintah
Thailand serius dalam menyediakan makanan halal di sejumlah restoran dan
rumah makan. Proses sertifikasi halal tersebut dilakukan dengan prosedur yang
ketat sesuai dengan syariah Islam. President of The Foundation of Islamic Center
of Thailand, Pakorn Priyakorn mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan
sertifikasi halal, produk masakan akan diuji secara ketat di laboratorium salah
satu perguruan tinggi di Thailand. Proses tersebut dimulai dari sampel makanan,
bahan makanan, zat-zat yang terkandung di dalamnya, hingga tempat makanan
tersebut berasal. Semuanya akan dilakukan pemeriksaan di laboratorium sampai
benar-benar bisa dipastikan semuanya halal, baru kemudian dapat dikeluarkan
sertifikasi halal. Tidak hanya halal, makanan yang diperiksa di laboratorium
tersebut juga harus bisa dipastikan kesehatannya. Dengan demikian, makanan
tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan al-Qur’an, yakni “halalan
toyyiban” atau halal dan baik.175

175
Bank Indonesia, 2020, Ekosistem Industri Halal, Departemen Ekonomi dan Keuangan
Syariah: Jakarta

Pengakuan Sertifikasi Halal


117
Secara Internasional
Hingga saat ini terdapat 3 (tiga) lembaga yang melakukan sertifikasi
halal di Thailand yaitu Halal Science Center,176 Halal Standard Institute of
Thailand, dan The Central Islamic Committee of Thailand (CICOT). CICOT
bertanggung jawab dalam penentuan klaim produk halal. Standar produk halal
harus sesuai dengan syariah Islam dan standar internasional. CICOT juga
bertanggung jawab dalam pelabelan produk dengan logo halal dan menjadi
Badan Akreditasi Halal untuk mengakreditasi Badan Sertifikasi Halal, serta
mengoordinasi dan mengawasi unit-unit yang terkait dengan urusan jaminan
halal agar sesuai dengan standar halal.
Saat ini, CICOT masih mempunyai banyak tantangan dalam penerbitan
sertifikasi halal di Thailand. Hal ini salah satunya disebabkan karena CICOT
belum mempunyai unit laboratorium dan auditor ahli tersendiri. CICOT masih
membutuhkan pihak lain dalam menerbitkan sertifikasi halal, biasanya pihak
lain tersebut terdiri dari ahli pangan dan ahli kimia dari Universitas. Semua
keperluannya dibantu oleh Pusat Halal Sains di Universitas Chulalongkorn.
Keterlibatan banyak pihak membuat CICOT memerlukan waktu yang lebih lama
untuk menerbitkan sertifikat halal sejak permohonan diajukan. 177

5. Penyelenggaraan Sertifikasi Halal di Jepang


Lembaga sertifikasi halal di Jepang dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu
organisasi non-profit, organisasi keagamaan, dan bentuk organisasi lainnya.
Sertifikasi produk halal pertama kali didirikan pada tahun 1986, dikelola oleh
Japan Muslim Association (JMA). JMA pada dasarnya adalah asosiasi agama
Islam di Jepang, sehingga dalam pelaksanaan sertifikasi halal tidak berorientasi
pada profit. Sampai saat ini di Jepang terdapat 9 (sembilan) organisasi penjamin

176
Terdapat di dua kampus yaitu Chulalongkorn University dan Prince of Songkla University at
Pattani.
177
Bank Indonesia, 2020, Ekosistem Industri Halal, Departemen Ekonomi dan Keuangan
Syariah: Jakarta, Hlm. 190

Pengakuan Sertifikasi Halal


118
Secara Internasional
halal di antaranya adalah Japan Muslim Association (JMA), Japan Halal
Association (JHA), Nippon Asia Halal Association (NAHA), Muslim
Profesional Japan Association (MPJA), Japan Halal Unit Association (JHUA),
Japan Islamic Trust (JIT), Malaysia Halal Industry Develompent Corporation,
Islamic Center Japan, Kyoto Halal Council. Semua lembaga tersebut
mempunyai logo masing-masing untuk menyatakan status halal suatu produk.
Sebanyak 6 (enam) organisasi halal di Jepang sudah bekerja sama dengan
JAKIM Malaysia. JAKIM telah melakukan sertifikasi terhadap 67 organisasi
penjamin halal di 49 negara. JMA dan JHA telah tersertifikasi sebelumnya oleh
JAKIM. Empat organisasi penjamin halal lainnya (NAHA, MPJA, JHUA, JIT)
baru tersertifikasi oleh JAKIM sejak Februari 2017. Sedangkan Malaysia Halal
Industry Development Corporation, Islamic Center Japan, dan Kyoto Halal
Council belum tersertifikasi oleh JAKIM. Dua lembaga penjamin halal yang
telah tersertifikasi oleh MUI adalah Japan Muslim Association dan Muslim
Profesional Japan Association. Pada negara berpenduduk minoritas Muslim
seperti Jepang, penerapan ekosistem halal menjadi tantangan tersendiri.
Walaupun demikian, industri halal di Jepang menunjukkan perkembangan yang
signifikan. 178
Akan tetapi, dibandingkan dengan negara Asia timur lainnya, Jepang
terlambat dalam mengakomodir pasar industri halal, dikarenakan mayoritas
penduduk tidak beragama non Muslim, sehingga Jepang tidak banyak
memberikan perhatian terhadap perkembangan industri halal. Penduduk Muslim
di Jepang hanya sekitar 0,14 % dari populasi penduduk Jepang. Namun, konsep
halal akhir-akhir ini mulai tumbuh di Jepang. Halal menjadi topik baru yang
sedang digencarkan. Konsep halal di Jepang tidak hanya mencakup makanan

178
Bank Indonesia, 2020, Ekosistem Industri Halal, Departemen Ekonomi dan Keuangan
Syariah: Jakarta Hlm. 187

Pengakuan Sertifikasi Halal


119
Secara Internasional
dan minuman, akan tetapi telah banyak diterapkan pada sektor lain, meliputi
kosmetik, pakaian, obat-obatan, bahkan paket wisata dapat disertifikasi halal.179
Halal mulai banyak dibahas pada media nasional, seperti surat kabar dan
TV. Halal bukan lagi hanya menjadi kebutuhan dasar umat Islam. Halal sudah
menjadi kebutuhan sehari-hari di Jepang dan menguntungkan bagi pebisnis
khususnya pada bidang pariwisata. Pemerintah Jepang berupaya untuk
memperluas sektor pariwisata halal dengan harapan dapat meningkatkan jumlah
pengunjung dari negara-negara Asia Tenggara khususnya sasaran umat Islam
yang pertumbuhan ekonominya berkembang secara signifikan dalam beberapa
tahun terakhir.180

6. Penyelenggaraan Sertifikasi Halal di Australia


Makanan dengan sertifikasi halal mendapatkan tempat tersendiri di rumah
makan, tempat pemotongan daging atau ternak di Australia. Beberapa rumah
makan dan rumah potong daging memasang logo halal untuk meyakinkan
konsumen tentang sertifikasi yang telah mereka dapatkan. Ketua Halal
Certification Authority Australia, Mohamed El-Mouelhy181 menerangkan bahwa
sertifikasi halal hanya diberikan kepada perusahaan jasa makanan yang telah
memenuhi standar kesehatan dan ajaran Islam. Jumlah penduduk Muslim di
Australia hanya sekitar 2,2 persen, ini artinya bahwa 98 persen lainnya adalah
non-Muslim. Umat Muslim mengalami kesulitan yang cukup menjadi perhatian
yaitu mendapatkan makanan dan minuman halal. Bermula dari kesulitan umat
Muslim ini, Australian Federation Islamic Council (AFIC) bersama-sama
dengan organisasi Islam lainnya, mendirikan lembaga penerbit sertifikasi halal,

179
Ibid
180
Ibid
181
Wawancara dengan Mohamed El Mouelhy pada September 2017

Pengakuan Sertifikasi Halal


120
Secara Internasional
baik untuk rumah makan (restaurant) maupun rumah pemotongan hewan
(abatoir).182
Saat ini Australia memiliki beberapa lembaga penerbit sertifikasi halal,
meskipun jumlahnya tidak banyak. Penerbit tersebut antara lain Association
Federation of Islamic Council (AFIC), Al-Iman Islamic Society, Islamic
Coordinating Council of Victoria (ICCV), Otoritas Sertifikat Halal Australia,
Australian Halal Food Service, Adelaide Mosque Islamic Society of South
Australia, Perth Mosque Incorporated, Islamic Association of Katanning, dan
Geraldton. Di antara penerbit sertifikasi halal tersebut di Australia, terdapat
penerbit yang telah diakui oleh beberapa organisasi Islam di dunia. Di antaranya
MUI Indonesia, Singapura, Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
Termasuk, beberapa rumah pemotongan hewan, seperti Adelaide Islamic
Mosque Society, Supreme Islamic Council of Halal Meat in Australia, ICCV,
dan Perth Mosque Inc. Lembaga-lembaga inilah yang memberikan sertifikasi
halal pada rumah-rumah makan di Australia.
Departemen Pertanian Australia memiliki daftar organisasi Islam yang
memiliki Approved Arrangement (AA) untuk mengesahkan daging halal guna
diekspor ke berbagai negara. Peraturan pemerintah Australia mengenai
sertifikasi halal hanya berlaku untuk para produsen yang menyediakan daging
untuk di ekspor ke berbagai negara. Sementara sebagian besar daging ini
mungkin hanya dijual dan berakhir di pasar domestik. Penyedia sertifikasi yang
hanya melayani pasar Australia tidak mematuhi peraturan pemerintah manapun,
artinya bahwa tidak ada peraturan pemerintah mengenai daging yang akan dijual
di pasar domestik.
Terdapat 3 (tiga) lembaga terkait dengan penyediaan daging dan produk
olahan daging halal untuk di ekspor ke negara luar, yaitu diantaranya 1)

182
Republika.co.id, diakses pada 10 November 2021.

Pengakuan Sertifikasi Halal


121
Secara Internasional
perusahaan yang melakukan kegiatan penyediaan daging dan produk olahan
daging halal, 2) Approved Islamic Organization (AIO) yaitu lembaga sertifikasi
halal yang telah disetujui oleh pemerintah Australia berdasarkan persetujuan dari
negara tujuan ekspor, dan 3) pemerintah yang berada dibawah Department
Agriculture Fisheries and Forestry (DAFF) atau tepatnya AQIS. 183

183
“Proses Organisasi Muslim di Australia Melakukan Sertifikasi Halal”,
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/18713/8.%20BAB%20IV.pdf?sequenc
e=9&isAllowed=y

Pengakuan Sertifikasi Halal


122
Secara Internasional
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abu Isḥaq Ibrahim al-Syaṭibi, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūli al-Syarī’ah, Juz II , Dar


Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut

Al-‘Arabi, Ibn, 2003, Aḥkāmu al-Qur’ān, Juz II, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
Beirut

Al-Ghazali, 2007, Rahasia Halal-Haram, Hakikat Batin Perintah dan Larangan


Allah, Terjemahan Iwan kurniawan, Mizania Pustaka, Bandung

Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, 2000, Panduan Hukum Islam, Terjemahan Asep


Saifullah FM, Pustaka Azzam, Jakarta

Al-Mahmood, Abdur Rahman Ibn Salih, 2003, Man Made Laws vs Shari’ah,
2003, International Islamic Publishing House, Saudi Arabia

Ash-Siddieqy, Hasbi, 2001, Filsafat Hukum Islam, Pustaka Rizqi Putra,


Semarang

Asmawi, 2010, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan


Pidana Khusus di Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, Jakarta

Auda, Jasser, 2008, Maqasih Syariah as Philosophy of Islamic Law, The


International Institute of Islamic Thought, London

Azizy, Qadri, 2002, Eklektisisme Hukum nasional, Kompetisi antara Hukum


Islam dan Hukum Umum, Gama Media, Yogyakarta

Bakri, Asafri Jaya, 1996, Konsep Maqashid Syariah Menurut Syatibi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta

Bank Indonesia, 2020 Ekosistem Industri Halal, Departemen Ekonomi dan


Keuangan Syariah, Jakarta

Girindra, Aisjah, 2005, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, LPPOM MUI,


Jakarta

Hamid, Arfin, 2007, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia,


Ghalia Indonesia, Bogor, Cetakan I

Pengakuan Sertifikasi Halal


123
Secara Internasional
Kamali, Mohammad Hashim, 1998, Principles of Islamic Jurisprudence, Ilmiah
Publisher Sdn, Kuala Lumpur

Kabah, Rifyal, 1999, Hukum Islam di Indonesia,, Universitas Yarsi, Jakarta

‘Khallāf, Abd al-Wahāb, 2002, ‘Ilmu Uṣūlu al-Fiqhi, Maktabah Da’wah al-
Islāmiyah, Al-Azhar

Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945,


Buku VIII, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta

Ma’luf, Louis, 1986, Al-Munjid fī al-Lugah, Dar El-Machreq Sarl Publisher,


Beirut-Lebanon

Mufli, Muhammad, 2006, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi


Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Namlati, 1999, Al-Muhazzab fī ‘ilmi Uṣūli al-Fiqhi al-Muqāran, Maktabah


Rusydi, Riyāḍ

Nyazee, Imran Ahsan Khan, 2002, Theories of Islamic Law, the Methodology of
Ijtihad, The Other Press, Kuala Lumpur

Shakr, Ahmad H, 1996, Understanding Halal Food, Fallacies and Facts,


Foundation for Islamic Knowledge, Lombard

Swasono, Sri Edi, 2005, Sistem Ekonomi Indonesia dalam Pemberdayaan


Ekonomi Rakyat dalam Kancah Globalisasi, Sains, Bogor

Syahuri, Tauqifurrahman, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum,


Prenada Media, Jakarta

Syamsudin, M. Din, 2000, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat


Madani, Logos Wacana Ilmu, Jakarta

Zahra, Muḥammad Abū, 1958, Uṣūl al-Fiqh, Dār al-Fikri al-‘Arabī, Mesir

Zulham, 2018, Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim terhadap


Produk Halal, Kencana, Jakarta

Jurnal, laporan, Penelitian

al-Syarbāsi, Ahmad, 1981, Al-Mu’jam al-Iqtiṣādi al-Islāmi, Dār al-Jailīl

Pengakuan Sertifikasi Halal


124
Secara Internasional
Asa, Rokshana Shirin “An Overview of the Developments of Halal Certification
Laws in Malaysia, Singapore, Brunei and Indonesia”, Jurnal Syariah, Vol.
27, No, 2019

Fuseini, A., Hadley, P. and Knowles, T., “Halal Food Marketing: an Evaluation
of UK Halal Standards”, Journal of Islamic Marketing, 2020

Idris, S.H., Abdul Majeed, A.B. and Chang, L.W, Beyond Halal: Maqasid al-
Shari’ah to Assess Bioethical Issues Arising from Genetically Modified
Crops, Sci Eng Ethics, 2020

Indonesia Halal Lifestyle Centre & Dinar Standard, 2021, Indonesia Halal
Market Report 2021/22

Khan, Muhammad Akbar, “The Role of Islamic State in Consumer Protection”,


Journal of Islamic Research, Vol 8, 2011

Mubyarto, “Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila di Tengah Praktek


Liberalisasi Ekonomi di Indonesia”, Artikel - Th. I - No. 11 - Januari 2003

Salwa, S., Md Sawari, Ghazali, M.A., and Jumahat T, “Determinants of


Consumer Demeanors with Regard to Halal Food”, International Journal
of Information, Business and Management, Vol 12 No. 2, 2020

State of the Global Islamic Economy Report 2021/2022, Dinar Standard, 2022

Sugiyama, Shigehiko, “Consideration of the Nature of Halal and Food Safety:


In Order to Greet the Tourist from ASEAN Countries”, JAFIT
International Tourism Review, 21, 2014, in Japanese

Shafiq, A, Haque, A.K.M. and Omar, A, “Multiple Logos and malay’s beliefs: a
case of Mix Signal,” International Food Research Journal, Vol 22 No. 4,
2015

Thio, Li-ann, “Constitutional Accommodation of the Rights of Ethnic and


Religious Minorities in Plural Democracies: Lessons and Cautionary Tales
From Southeast Asia”, Pace University School of Law, Pace International
Law Review, 2010

Vandendriessche, F, “Meat Products in the Past, Today and in the Future”, Meat
Science Journal, Vol. 78, No. 2

Pengakuan Sertifikasi Halal


125
Secara Internasional
Zulzaidi Bin Mahmod, 2011, Pelaksanaan Pemantauan dan Penguatkuasaan
Undang-Undang Produk Halal di Malaysia: Kajian Terhadap
Penyalahgunaan Logo Halal, Tesis, Jabatan Syariah dan Undang-Undang
Akademi Pengajian Islam, University Malaya, Kuala Lumpur

Peraturan

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 08/M-


DAG/PER/2/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Perdagangan

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Organisasi dan


Tata Kerja Kementerian Perindustrian

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2021 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2020 tentang


Kementerian Keuangan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Internet

Badan Standardisasi Nasional, “MUI Dukung Lembaga Pemeriksa Halal


diakreditasi KAN”, https://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/5443

Databoks, “Ada 2 Miliar Umat Islam di Dunia, Mayoritasnya di Asia”,


https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/15/ada-2-miliar-
umat-islam-di-dunia-mayoritasnya-di-asia

Kompas.com, "GMTI Umumkan Daftar Destinasi Wisata Halal Terbaik Dunia


2021, Indonesia Turun Peringkat",
https://travel.kompas.com/read/2021/07/15/221518827/gmti-umumkan-
daftar-destinasi-wisata-halal-terbaik-dunia-2021-indonesia-
turun?page=all.

Siregar, Dian Ihsan, “BPOM Ragukan Peredaran Produk Halal di Perdagangan


Bebas MEA”, http://ekonomi.metrotvnews.com/mikro/yNLy1p2b-bpom-
ragukan-peredaran-produk-halal-di-perdagangan-bebas-mea.

Pengakuan Sertifikasi Halal


126
Secara Internasional
Syaiful Amri, M. Jamil, Ardiansyah, “Analisis Yuridis Kewenangan Majelis
Ulama Indonesia dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal”,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara Medan.

Swasono, Sri Edi, “Sistem Ekonomi Indonesia”,


www.indonesiaindonesia.com/f/8803-sistem-ekonomi-indonesia,
makalah.

T.N, “Proses Organisasi Muslim di Australia Melakukan Sertifikasi Halal”,


http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/18713/8.%20BA
B%20IV.pdf?sequence=9&isAllowed=y

World Population Review, “Muslim Majority Countries 2022”,


https://worldpopulationreview.com/country-rankings/muslim-majority-
countries.

Pengakuan Sertifikasi Halal


127
Secara Internasional
BAB III

PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN


INTERNASIONAL
Penulis: Prof. Huala Adolf

Tulisan ini membahas prinsip-prinsip dan standar dalam hukum perdagangan internasional
mengenai sertifikasi halal. Prinsip yang terkait adalah standardisasi produk. Tulisan ini
mengkaji norma hukum perdagangan internasional dalam Perjanjian WTO mengenai
sertifikasi halal. Tulisan juga mengkaji sengketa terkait sertifikasi halal: (1) sengketa ayam
Brazil – Indonesia (DS 484); dan (2) sengketa lisensi impor Selandia Baru dan AS melawan
Indonesia (DS 477 – 478). Bagian akhir tulisan ini berupaya memprediksi prospek
pengaturan sertifikasi halal dalam hukum perdagangan internasional.

Hukum perdagangan internasional mengatur hubungan di antara subyek-


subyek hukum (pelaku atau aktor) di bidang perdagangan yang sifatnya lintas
batas negara (internasional). Sejak abad pertengahan hingga akhir abad ke-19,
subyek hukum pelaku perdagangan internasional adalah perusahaan dagang
(swasta). Bidang atau objek perdagangan internasional mencakup bidang
tradisional, yaitu perdagangan barang.
Dalam perkembangannya kemudian, subyek hukum negara masuk ke
dalam perdagangan internasional, dimana selanjutnya negara mendirikan badan
usahanya (Badan Usaha Milik Negara/BUMN). Negara juga menetapkan
peraturan perundang-undangan, termasuk syarat-syarat perdagangan mengenai
produk apa yang dapat dan tidak dapat masuk ke dalam negerinya. Negara
menetapkan syarat-syarat perdagangan berupa syarat kesehatan, syarat
perlindungan moral, standar produk, dan lain-lain.
Transaksi obyek perdagangan berkembang cepat. Transaksi tidak semata
di bidang barang saja, namun masuk ke bidang-bidang lainnya seperti jasa,
misalnya telekomunikasi, pariwisata, keuangan atau perbankan. Sektor lainnya

Pengakuan Sertifikasi Halal


128
Secara Internasional
yang kemudian tercakup ke dalam sektor perdagangan ini adalah hak atas
kekayaan intelektual, investasi dan isu-isu sosial terkait perdagangan.
Hukum utama yang mengatur sektor perdagangan internasional adalah
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947. Dalam
perkembangannya, pada 1994, GATT diambil alih dan dileburkan ke dalam
World Trade Organization (WTO).
Pengaturan penting GATT yang menjiwai seluruh perjanjian lampiran
WTO adalah prinsip-prinsip perdagangan internasional. Prinsip yang telah
diterima pada tahun 1947 dijadikan prinsip yang terus menjiwai norma-norma
atau aturan dalam perjanjian lampiran WTO, termasuk perjanjian lampiran
utama WTO yaitu GATT (1947 dan 1994), General Agreement on Trade in
Services (GATS), Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights and
Counterfeit Goods (TRIPs), Trade Related Investment Measures (TRIMs) dan
Dispute Settlement Understanding.
GATT dan perjanjian-perjanjian WTO berupaya mengatur semua sektor
perdagangan di dunia. Namun dalam perkembangannya terutama pada akhir-
akhir ini timbul perkembangan penting dalam perdagangan internasional,
terutama perdagangan oleh negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim.
Negara-negara Arab dan negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan
mengeluarkan syarat, kebijakan atau sertifikasi halal untuk produk impor yang
masuk ke dalam negerinya.
Ketentuan, syarat atau sertifikasi halal untuk produk (perdagangan
internasional) tidak diatur secara spesifik dalam WTO (termasuk di dalamnya
GATT). Permasalahannya adalah, apabila tidak diatur secara spesifik, apakah
ada ketentuan dalam WTO yang dapat digunakan untuk memberi legalitas
perdagangan dengan syarat atau sertifikasi halal.
Dalam menganalisis sumber hukum WTO, bagian ini akan memaparkan
terlebih dahulu prinsip-prinsip perdagangan internasional. Alasan diangkatnya

Pengakuan Sertifikasi Halal


129
Secara Internasional
WTO sebagai instrumen utama tulisan ini, karena WTO dan perjanjiannya telah
diterima negara-negara di dunia sebagai ‘konstitusi’ hukum perdagangan
internasional, baik oleh negara anggotanya atau negara non-anggota. Perjanjian
WTO mensyaratkan, setiap muatan perjanjian multilateral yang bertentangan
dengan ketentuan perjanjian WTO, maka perjanjian WTO-lah yang berlaku.
Bunyi ketentuan inilah yang menunjukkan bahwa perjanjian WTO
berkedudukan lebih tinggi dari ketentuan perdagangan internasional lainnya
(‘Konstitusi’). Ketentuan Pasal XVI:3 Perjanjian WTO menyatakan: “In the
event of a conflict between a provision of this Agreement and a provision of any
of the Multilateral Trade Agreements, the provision of this Agreement shall
prevail to the extent of the conflict”.
Tulisan ini menerapkan metode yuridis normatif. Kajian utama pada
tulisan ini adalah norma substantif dalam GATT dan WTO. Tulisan ini juga
menganalisis norma hukum yang termuat dalam putusan Dispute Settlement
Body (DSB) WTO. Bagian akhir tulisan menganalisis prospek pengenaan syarat
atau standar halal dalam hukum perdagangan internasional. Penulisan bagian ini
menggunakan pendekatan kualitatif.

A. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional

Sebagai lembaga perdagangan internasional, GATT berpedoman pada tujuh


prinsip utama. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah: 1) Most-Favoured Nation;
2) National Treatment; 3) Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif, 4)
Perlindungan melalui Tarif; 5) Transparansi, 6) Perlakuan Khusus bagi Negara
Sedang Berkembang; dan 7) Standardisasi Produk.195

195
Sarjana pada umumnya hanya memasukkan 6 prinsip utama di atas. Tulisan ini mengusulkan
prinsip ketujuh, yaitu perlakuan khusus bagi negara sedang berkembang, semata-mata karena
ketentuan ini telah menjadi ketentuan yang umum yang tercantum dalam berbagai perjanjian
perdagangan multilateral, khususnya Perjanjian WTO. Frider Roessler memperkenalkan hanya
3 prinsip, yakni: prinsip non-discrimination, prinsip open-market, dan prinsip fair-trade

Pengakuan Sertifikasi Halal


130
Secara Internasional
1. Most-Favoured-Nation
Prinsip most-favoured-nation (MFN) ini termuat dalam Pasal I GATT. Prinsip
ini adalah prinsip yang paling dasar dalam GATT. 196 Prinsip ini menyatakan
bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-
discriminative. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk
memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan
kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.197
Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa
syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau
yang diajukan kepada semua anggota GATT. 198 Oleh karena itu, suatu negara
tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau
melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prinsip ini tampak antara lain
dalam Pasal 4 perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPS)
dan tercantum pula dalam Pasal 2 perjanjian mengenai Jasa (GATS).
Most-favoured-nation atau prinsip non-diskriminasi meletakkan
kewajiban yang juga diberlakukan terhadap bea masuk dan sejenisnya yang
terkait dengan kegiatan ekspor-impor. Prinsip ini berlaku pula terhadap aturan-
aturan dalam negeri suatu negara mengenai perpajakan dan bea masuk lainnya.

(Roessler, Frieder, “The Scope, Limits and Function of the GATT Legal System,” 8 World
Economy 287-288 (1985) dan Simon Lester et.al., 2012, World Trade Law: Texts, Materials and
Commentary, Hart Publishing, Oxford, Part IV, hlm. 231-326. Sedangkan WTO
memperkenalkan prinsip MFN, National Treatment, tariff reductions and bindings, prinsip tariff
preferred. World Trade Organization, 1998, The Multilateral Trading System: 50 Years of
Achievement, Geneva, Switzerland, hlm. 7-10.
196
Pieter Van den Bossche, 2006, The Law and Policy of the World Trade Organization,
Cambridge, New York, hlm. 309.
197
Cf. Olivier Long, 1987, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System,
Martinus Nijhoff Publishers, hlm. 8-11. Lester menyatakan tarif sebagai sarana revenue raising.
Simon Lester et.al., Op.cit., hlm 258.
198
Gunther Jaenicke, General Agreement on Tariffs and Trade (1948), dalam Bernhard (ed).,
1983, Encyclopedia of Public International Law, Instalment 5, hlm. 22. Namun demikian prinsip
ini tidak berlaku terhadap transaksi-transaksi komersial di antara anggota GATT yang secara
teknis bukan merupakan impor atau ekspor ‘produk-produk’ seperti pengangkutan internasional,
pengalihan paten, lisensi dan hak-hak tak berwujud lainnya atau aliran modal.

Pengakuan Sertifikasi Halal


131
Secara Internasional
Berdasarkan prinsip ini, suatu negara anggota dapat menuntut untuk
diperlakukan sama terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara
anggota lain.
Ada beberapa pengecualian terhadap prinsip MFN ini, sebagian ada yang
ditetapkan dalam pasal-pasal GATT. Sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam
putusan-putusan dalam konferensi-konferensi GATT, melalui suatu
penanggalan (waiver) dan prinsip-prinsip GATT berdasarkan Pasal XXV.
Pengecualian yang dimaksud adalah:
a. keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier traffic
advantage), tidak boleh dikenakan terhadap anggota GATT lainnya
(Pasal VI);
b. perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada
(misalnya kerjasama ekonomi dalam‘British Commonwealth’; the
French Union (Perancis dengan negara-negara bekas koloninya);
dan Benelux (Benelux Economic Union), tetap boleh terus
dilaksanakan namun tingkat batas preferensinya tidak boleh
dinaikkan (Pasal I ayat 2-4); anggota-anggota GATT yang
membentuk suatu Customs Union atau Free Trade Area yang
memenuhi persyaratan Pasal XXIV tidak harus memberikan
perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya. Untuk negara-
negara yang membentuk pengaturan-pengaturan preferensial
regional dan bilateral yang tidak memenuhi persyaratan Pasal
XXIV, dapat membentuk pengecualian dengan menggunakan
alasan ‘penanggalan’ (waiver) terhadap ketentuan GATT.
Penanggalan dapat pula dilakukan atau diminta oleh suatu negara
anggota. Menurut prinsip ini, suatu negara ketika ekonominya atau
keadaan perdagangannya dalam keadaan yang sulit, dapat memohon
pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT;
c. pemberian preferensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk
impor dari negara yang sedang berkembang atau negara-negara
yang kurang beruntung (least developed) melalui fasilitas
Generalised System of Preference (sistem preferensi umum).199

199
Gunther Jaenicke, Op.cit., hlm. 23. Pemberian GSP secara resmi diberikan sejak tahun 1971
oleh negara maju, terutama oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa. Uraian lebih lanjut mengenai
GSP ini dapat dilihat dalam Huala Adolf, “Aspek-aspek Hukum Mengenai Generalized System
of Preferences (GSP) Menurut Hukum Uni Eropa,” Jurnal Hukum Internasional UNPAD, 1:2,
2002, hlm. 87-102.

Pengakuan Sertifikasi Halal


132
Secara Internasional
Konsep pengecualian lainnya disebut dengan ketentuan ‘pengamanan’
(safeguard rule). Pengecualian ini mengakui bahwa suatu pemerintah, apabila
tidak mempunyai upaya lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk
sementara waktu industri dalam negerinya.
Pengaturan safeguard ini yang diatur dalam Pasal XIX memperbolehkan
kebijakan demikian, namun hanya dipakai dalam keadaan-keadaan tertentu saja.
Negara anggota dapat membatasi atau menangguhkan suatu konsesi tarif pada
produk-produk yang diimpor dalam suatu jumlah (kuantitas) yang meningkat,
karena dapat menyebabkan kerusakan serius (serious injury) terhadap produsen
dalam negeri.

2. National Treatment
Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT. Menurut prinsip ini,
produk suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan
sama seperti halnya produk dalam negeri. 200 Prinsip ini sifatnya berlaku luas,
juga berlaku terhadap semua jenis pajak dan pungutan (sah) lainnya. Berlaku
pula terhadap peraturan perundang-undangan dan persyaratan-persyaratan
(hukum) yang memengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi
atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga
memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya
atau kebijakan administratif atau legislatif. 201
Prinsip national treatment dan prinsip MFN merupakan prinsip sentral
dalam GATT.202 Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidang-
bidang perdagangan yang kelak lahir di dalam perjanjian putaran Uruguay,

200
Olivier Long, 1987, Op.cit., hlm. 9.
201
Ibid.
202
Namun demikian, WTO melihat prinsip national treatment sebagai pelengkap terhadap
prinsip MFN. World Trade Organization, 1999, General Agreement on Tariffs and Trade,
Switzerland, hlm. 9.

Pengakuan Sertifikasi Halal


133
Secara Internasional
misalnya prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 Perjanjian TRIPs. Kedua prinsip
diberlakukan pula dalam Pasal 17 the General Agreement on Trade in Service
(GATS). Dalam GATS, negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk
memberlakukan perlakuan yang sama (MFN treatment) terhadap jasa-jasa atau
para pemberi jasa dari suatu negara dengan negara lainnya.

3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif


Prinsip larangan restriksi kuantitatif merupakan rintangan terbesar terhadap
GATT. Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun
(misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor
atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk impor atau ekspor)
dilarang oleh Pasal IX, karena praktik demikian mengganggu perdagangan yang
jujur/adil (fair trading).
Restriksi kuantitatif belakangan ini tidak begitu meluas di negara maju.
Namun produk tekstil, logam, dan beberapa produk tertentu yang kebanyakan
berasal dari negara-negara sedang berkembang, sering sekali masih terkena
rintangan ini.
Kendatipun demikian, pelaksanaan praktik restriksi kuantitatif dalam hal
tertentu dapat dilakukan untuk:
a. mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor;
b. melindungi pasar dalam negeri, khususnya yang menyangkut produk
pertanian dan perikanan;
c. mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya
impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam negeri sebagai upaya
untuk melindungi, misalnya terancamnya produksi dalam negeri;
d. melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII).
Meskipun demikian, restriksi tersebut tidak boleh diterapkan di luar yang
diperlukan untuk melindungi neraca pembayarannya. Restriksi itu pun secara

Pengakuan Sertifikasi Halal


134
Secara Internasional
progresif harus dikurangi, bahkan dihilangkan apabila tidak dibutuhkan kembali.
Pengecualian ini telah diperluas pada negara-negara yang sedang berkembang,
sehingga dapat memberlakukan restriksi kuantitatif untuk mencegah terkurasnya
valuta asing (devisa) mereka, disebabkan adanya permintaan impor yang
diperlukan bagi pembayaran, atau karena mereka sedang mendirikan bahkan
memperluas produksi dalam negerinya.
Penerapan pengecualian ini tidaklah bebas tanpa batas, namun negara
berkembang perlu terlebih dahulu mengonsultasikan (menginformasikan)
kepada negara-negara anggota lainnya. Bagi kepentingan negara berkembang
ini, GATT menyediakan forum konsultasi secara reguler. Agenda konsultasi
diadakan dengan negara yang mengajukan restriksi impor guna melindungi
neraca pembayarannya. Menurut Pasal XIII GATT, restriksi kuantitatif ini,
meskipun diperbolehkan, tidak boleh diterapkan secara diskriminatif.

4. Prinsip Perlindungan Melalui Tarif


Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap
industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk). Prinsip
GATT melarang upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tarif commercial
measures) di luar tarif.203
Perlindungan melalui tarif ini menunjukkan dengan jelas tingkat
perlindungan yang diberikan. Tingkat tarif dipandang masih memungkinkan
kompetisi yang sehat.204 Sebagai kebijakan untuk mengatur masuknya barang
ekspor dari luar negeri, pengenaan tarif ini masih dibolehkan dalam GATT.
Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk
melindungi industri dalam negerinya. Perlindungan melalui tarif juga untuk

203
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, GATT dan Uruguay Round, Seri Informasi
Perdagangan Internasional No. 14, 1993/1994, hlm. 3.
204
Olivier Long, Op.cit., hlm. 10.

Pengakuan Sertifikasi Halal


135
Secara Internasional
menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan. Meskipun dibolehkan,
penggunaan tarif ini tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya
saja, pengenaan atau penerapan tarif tidak boleh diskriminatif. Pengenaan tarif
tunduk pada komitmen tarif GATT/WTO.
Komitmen tarif ini adalah tingkat tarif dari suatu negara terhadap suatu
produk tertentu. Tingkat tarif ini menjadi komitmen negara yang sifatnya
mengikat. Suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif,
maka negara tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang telah ia
sepakati, kecuali diikuti dengan negosiasi mengenai pemberian kompensasi
dengan mitra-mitra dagangnya (Pasal XXVII). Negosiasi tarif di antara negara-
negara, merupakan salah satu tugas atau fungsi GATT (yang juga sekarang
dilanjutkan oleh WTO). Tujuan GATT antara lain adalah berupaya menurunkan
tingkat tarif ke titik atau level yang serendah-rendahnya.
Ketika GATT terbentuk pada tahun 1948 sampai dengan disahkannya
perjanjian hasil Putaran Uruguay, tingkat tarif yang diterapkan negara-negara
telah turun cukup tajam. Dari rata-rata sebesar 38% di tahun 1948, pada tahun
1994 ketika GATT dilebur ke dalam WTO, telah turun menjadi sekitar 4%. Pada
putaran Uruguay, komitmen negara-negara terhadap akses pasar yang lebih
besar dicapai, antara lain, melalui penurunan suku bunga yang dilakukan oleh
lebih dari 120 negara. Komitmen negara-negara ini dituangkan dalam 22.500
halaman National Tarrif Schedules.

5. Transparansi
Seperti halnya tarif, GATT juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk
menerapkan prinsip transparansi. Prinsip ini pula yang menjadi kunci bagi
prasyarat perdagangan yang pasti (predictable). Prinsip transparansi merupakan
prinsip yang juga berperan cukup penting sebagaimana halnya prinsip MFN atau

Pengakuan Sertifikasi Halal


136
Secara Internasional
national treatment. Bahkan prinsip ini menjadi prinsip penting dalam perjanjian
WTO dan berbagai perjanjian multilateral lainnya. 205
Prinsip transparansi mensyaratkan keterbukaan atau transparansi hukum
dan perundang-undangan nasional pada praktik dan kebijakan perdagangan
suatu negara. Kewajiban negara-negara anggota untuk menerapkan prinsip
transparansi ini termuat dalam pasal X GATT. GATT mensyaratkan transparansi
dari negara-negara anggota GATT di bidang perundang-undangan dan
kebijakan-kebijakan yang dapat memengaruhi perdagangan.
Kebijakan lain yang memengaruhi biaya perdagangan antara lain biaya
masuknya barang, perpajakan atau biaya kepabeanan. Semua kebijakan
mengenai biaya ini harus jelas dan transparan, tidak boleh ada biaya lainnya yang
tersembunyi atau tidak jelas peruntukan dan pengaturannya. Prinsipnya,
pengenaan biaya ini tidak boleh menjadi beban (biaya) untuk masuknya produk.
Pasal X ayat (1) GATT mengenai transparansi di bidang hukum dan keuangan
menyatakan:
Laws, regulations, judicial decisions and administrative rulings of
general application, made effective by any contracting party, pertaining
to the classification or the valuation of products for customs purposes,
or to rates of duty, taxes or other charges, or to requirements, restrictions
or prohibitions on imports or exports or on the transfer of payments
therefore, or affecting their sale, distribution, transportation, insurance,
warehousing inspection, exhibition, processing, mixing or other use,
shall be published promptly in such a manner as to enable governments
and traders to become acquainted with them. Agreements affecting
international trade policy which are in force between the government or
a governmental agency of any contracting party and the government or
governmental agency of any other contracting party shall also be
published. The provisions of this paragraph shall not require any
contracting party to disclose confidential information which would
impede law enforcement or otherwise be contrary to the public interest

205
WTO, General Agreement on Tariffs and Trade, op.cit., hlm. 10. Paul Demaret, “The
Metamorphoses of the GATT: From the Havana Charter to the World Trade Organization,”
Columbia Journal of Transnational Law, Vol. 24, No. 1, 1995, hlm. 135

Pengakuan Sertifikasi Halal


137
Secara Internasional
or would prejudice the legitimate commercial interests of particular
enterprises, public or private.

Cukup banyak aturan dalam berbagai ketentuan perjanjian WTO yang


memuat prinsip transparansi. Ketentuan-ketentuan ini mensyaratkan negara-
negara anggotanya untuk mengumumkan pada lingkup nasional dengan
menerbitkan pada lembaran-lembaran resmi negara atau dengan cara
memberitahukannya (notifikasi) secara formal kepada WTO. Pasal 7 Sanitary
and Phytosanitary Measures (SPS) Agreement misalnya menyatakan:
“Members shall notify changes in their sanitary or phytosanitary measures and
shall provide information on their sanitary or phytosanitary measures in
accordance with the provisions of Annex B.”206

6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Sedang Berkembang


Sekitar dua pertiga negara-negara anggota GATT adalah negara sedang
berkembang. Ketika negara-negara ini masuk anggota GATT pada tahun 1950
dan 1960-an, tingkat perekonomian negara-negara ini masih berada dalam tahap
awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka, pada
tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat tiga pasal (Pasal
XXXVI-XXXVIII), ditambahkan ke dalam GATT. Tiga pasal baru dalam
bagian tersebut dimaksudkan untuk mendorong negara-negara industri
membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang.

206
Ketentuan sama termuat dalam Pasal 2.9 TBT (Technical Barriers to Trade), menyatakan:
2.9. Whenever a relevant international standard does not exist or the technical content of a
proposed technical regulation is not in accordance with the technical content of relevant
international standards, and if the technical regulation may have a significant effect on trade of
other Members, Members shall:
2.9.1. publish a notice in a publication at an early appropriate stage, in such a manner as to
enable interested parties in other Members to become acquainted with it, that they propose to
introduce a particular technical regulation.

Pengakuan Sertifikasi Halal


138
Secara Internasional
Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk
menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. Bagian ini juga melarang
negara-negara maju membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor negara-
negara sedang berkembang. Negara-negara industri juga mau menerima bahwa
mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan
atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdagangan
negara-negara sedang berkembang.
Pada waktu Putaran Tokyo 1979 berakhir, negara-negara sepakat dan
mengeluarkan putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih
menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi negara sedang berkembang
dalam perdagangan dunia (enabling clause). Keputusan ini mengakui bahwa
negara sedang berkembang adalah pelaku yang permanen dalam sistem
perdagangan dunia. Pengakuan ini juga merupakan dasar hukum bagi negara
industri untuk memberikan sistem preferensi umum (Generalized System of
Preferences/GSP) kepada negara-negara sedang berkembang.
Pada perkembangan berikutnya, semangat ketentuan Bab IV (Pasal
XXXVI-XXXVIII) telah tersebar ke berbagai perjanjian. Termasuk termuat
dalam berbagai perjanjian WTO, misalnya dalam perjanjian TRIPS, TRIMS,
GATS dan Dispute Settlement.207

7. Standardisasi Produk
Prinsip standar produk dalam hukum perdagangan internasional termuat dalam
Pasal XX GATT. Pasal ini membolehkan negara-negara anggota untuk membuat
kebijakan perdagangan di dalam negerinya, termasuk kebijakan standar di
bidang perdagangan untuk melindungi manusia, tanaman dan hewan.

207
Lihat Pasal 65 TRIPs; Pasal IV TRIMs; Pasal IV GATS dan Pasal 4 DSU.

Pengakuan Sertifikasi Halal


139
Secara Internasional
Negara anggota GATT dapat menolak masuknya produk asing, dengan
alasan tidak memenuhi standar. Standar mencakup standar yang terkait dengan
perlindungan terhadap moral publik (masyarakat), manusia, tanaman atau hewan
di dalam negerinya (termasuk perlindungan terhadap lingkungan). Pasal XX (a)
dan (b) GATT menyatakan:
Subject to the requirement that such measures are not applied in a
manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable
discrimination between countries where the same conditions prevail, or
a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement
shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any
contracting party of measures:
(a) necessary to protect public morals;
(b) necessary to protect human, animal or plant life or health.

Pasal XX GATT ini tidak menguraikan hal standar apa saja yang terkait
dengan perlindungan terhadap manusia, tanaman atau hewan. Pada praktiknya,
dengan tidak adanya batasan perlindungan itu, maka pengertiannya dapat
ditafsirkan secara luas (ekstensif). Perlindungan terhadap manusia, termasuk di
dalamnya kesehatan manusia. Perlindungan terhadap tanaman, mencakup di
dalamnya produk-produk pertanian. Perlindungan terhadap hewan, mencakup di
dalamnya keberlangsungan hidup atas hewan, termasuk apakah hewan yang
ditangkap untuk diperjualbelikan di perdagangan internasional itu akan
menyebabkan kemusnahan.
Dibolehkannya negara anggota untuk menerapkan standar tidak bebas
sifatnya, GATT mensyaratkan negara anggota dapat menerapkan kebijakan
standar, sepanjang kebijakan itu tidak menciptakan diskriminasi atau ternyata
menciptakan rintangan-rintangan yang tidak perlu (unnecessary obstacle)
terhadap produk asing. Diskriminasi maksudnya adalah standar berlaku ganda,
misalnya terhadap produk dengan standar X dari negara A dibolehkan masuk,
sedangkan produk dengan standar X yang sama dari negara B tidak dibolehkan
masuk.

Pengakuan Sertifikasi Halal


140
Secara Internasional
Pada perkembangannya, ketentuan Pasal XX GATT mengalami revisi
dalam perundingan GATT di Tokyo tahun 1979 (Tokyo Round). Pada
perundingan Tokyo ini, masalah standar masuk dalam agenda khusus di bawah
topik rintangan-rintangan teknis (technical barriers). Dalam perundingan ini,
cukup banyak negara yang mengeluarkan kepedulian mereka, karena semakin
banyaknya kebijakan negara yang menggunakan alasan standar produk untuk
menolak masuknya produk asing. Mereka menyatakan, terdapat sekitar 150
kebijakan negara yang terkait standar ini yang mereka anggap telah menghambat
masuknya produk-produk mereka ke dalam pasar negara pengimpor.208
Pada sisi lain, negara-negara anggota mengkhawatirkan adanya berbagai
pengaturan nasional di bidang standar yang berbeda-beda, antara satu negara
dengan negara lainnya. Banyaknya peraturan standar dari satu negara dengan
negara lainnya, dapat menciptakan kebingungan atau tidak harmonisnya
pengaturan di bidang ini, sehingga akan sedikit banyak menjadi hambatan serius
bagi kelangsungan dan kelancaran perdagangan internasional.
Perundingan atau Putaran Tokyo menghasilkan suatu instrumen hukum
yang cukup penting mengenai standar dalam perdagangan internasional, yaitu
Agreement on Technical Barriers to Trade. Perjanjian ini disebut pula dengan
istilah Standard Code. Instrumen ini menjadi landasan pula untuk lahirnya
perjanjian TBT (The Technical Barriers to Trade Agreement) dan SPS dalam
WTO.
Muatan Standard Code pada intinya memuat beberapa pengaturan
berikut:
a. para pihak sepakat bahwa pengaturan di bidang teknis dan standar tidak
dibuat atau diterapkan untuk menciptakan rintangan terhadap perdagangan
internasional;

208
John H. Jackson, 1995, et.al., Legal Problems of International Economic Relations, St. Paul.
Minn.: West Publishing Co., hlm. 533.

Pengakuan Sertifikasi Halal


141
Secara Internasional
b. produk-produk impor dari negara-negara anggota lainnya tidak akan
diperlakukan secara diskriminatif (non-diskriminatif);
c. apabila pengaturan teknis atau standar ternyata sudah ada pengaturan
internasional atau standar internasionalnya, maka pengaturan atau standar
internasional inilah yang akan digunakan (standar internasional);
d. guna tercapainya harmonisasi pengaturan teknis atau standar, negara-negara
anggota harus turut serta di dalam mempersiapkan dan ikut serta dalam
organisasi-organisasi internasional di bidang standar; dan
e. produk-produk yang diuji standarnya oleh negara pengimpor tidak boleh
dilakukan sedemikian rupa sehingga mempersulit atau menghambat dalam
proses pengujiannya.

B. Standardisasi dan Standar/Syarat Halal dalam Perdagangan


Internasional (WTO)
1. Standardisasi dalam TBT dan SPS
World Trade Organization memberi perhatian yang lebih serius terhadap
standar. Alasannya, karena praktik penerapan standar oleh negara anggota yang
berupa rintangan teknis terhadap perdagangan bukannya menurun, tetapi
semakin meningkat baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Praktik penerapan
standar oleh suatu negara, dipandang oleh negara lain dapat merugikan
perdagangan internasionalnya dan berpotensi sengketa.
Perundingan di bidang ini menjadi salah satu agenda penting. Isu yang
dibahasnya tidak lagi semata-mata mencakup standar di bidang teknis terhadap
perdagangan, namun cakupan perundingan meluas ke standar di bidang atau
terkait dengan kesehatan dalam perdagangan internasional. Hasil perundingan di
bidang ini menghasilkan dua instrumen penting yang kemudian dimasukkan
sebagai Lampiran IA Perjanjian WTO, yaitu:

Pengakuan Sertifikasi Halal


142
Secara Internasional
a. the Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement) atau
Perjanjian mengenai Hambatan Teknis terhadap Perdagangan; dan
b. agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS
Agreement) atau Perjanjian SPS (mengenai Sanitasi atau Kesehatan).
Dari substansi dan muatannya Perjanjian TBT (TBT Agreement) memuat
15 pasal dan 3 annex. Ketiga annex yaitu: Annex 1 memuat peristilahan atau
terminologi yang digunakan dalam perjanjian TBT; Annex 2 mengatur
kelompok ahli di bidang teknis; Annex 3 memuat aturan praktik yang baik di
dalam mempersiapkan, mengesahkan dan menerapkan standar. Sedangkan
Perjanjian SPS memuat 14 Pasal dengan 3 Annex, yaitu: Annex A memuat
definisi; Annex B memuat transparansi pengaturan SPS; dan Annex C memuat
pengawasan, inspeksi dan prosedur persetujuan di bidang SPS.
Baik Perjanjian TBT maupun Perjanjian SPS, masing-masing memuat
prinsip pengaturan yang sama. Pengaturan dalam Perjanjian TBT memuat
prinsip-prinsip pengaturan mengenai penerapan standar (bidang teknis dan
kesehatan) oleh negara-negara anggota WTO. Prinsip-prinsip pengaturan
tersebut adalah:
a. pengaturan standar tidak boleh dibuat dan diterapkan sedemikian rupa
sehingga menyebabkan rintangan yang tidak perlu terhadap perdagangan;
b. pengaturan standar tidak oleh memberikan perlakuan yang lebih
menguntungkan kepada produk dalam negerinya daripada produk impor
(prinsip perlakuan nasional atau National Treatment Principle);
c. pengaturan standar harus diterapkan berdasarkan persyaratan MFN (Most
Favoured National Treatment atau prinsip non diskriminasi) terhadap
semua produk impor dari negara mana pun juga;
d. penerapan standar harus didasarkan pada informasi atau bukti ilmiah;

Pengakuan Sertifikasi Halal


143
Secara Internasional
e. perjanjian (TBT dan SPS) mensyaratkan negara-negara anggota untuk
menerapkan atau mengadopsi standar internasional (apabila ada) dalam
membuat kebijakan standar nasionalnya; dan
f. setiap sengketa yang timbul dari penerapan standar diupayakan dilakukan
menurut ketentuan perjanjian WTO (yaitu penyelesaian melalui negosiasi
atau musyawarah hingga pembentukan panel WTO).

C. Standar Halal dalam Hukum WTO


a. Pasal XX GATT
Dari uraian di atas, terutama prinsip dan norma yang mengatur objek
perdagangan internasional, baik GATT maupun perjanjian WTO (terutama TBT
dan SPS) tidak mengatur standar halal. Namun ketentuan Pasal XX (a) GATT
tentang moral publik dapat ditafsirkan sebagai ketentuan yang dapat
menyangkut perihal halal.
Dalam kamus bahasa Inggris Oxford, kata moral berarti ”a person’s
standards of behavior or beliefs concerning what is and is not acceptable for
them to do.” Batasan ini diterjemahkan secara bebas sebagai ”tingkah laku atau
kepercayaan seseorang mengenai apa yang dapat diterima atau tidak dapat
diterima. Termasuk ke dalam pengertian ini adalah halal.209
Black’s Law memberi 2 batasan public morality: (1) sebagai cita-cita
atau pandangan moral hidup suatu masyarakat; (2) cita-cita atau tindakan suatu
individu yang berpengaruh pada orang lainnya.210 “public morality. (lSc) 1. The
ideals or general moral beliefs of a society. 2. The ideals or actions of an
individual to the extent that they affect others.”

209
Lihat batasan halal dalam Bab I di atas.
210
Henry Black, 2009, Black’s Law Dictionary, 9th.ed., Thomson Reuters, St Paul., Minnesota,
hlm. 1100.

Pengakuan Sertifikasi Halal


144
Secara Internasional
Ketentuan halal dapat dimasukkan ke dalam public moral pada ketentuan
Pasal XX (a), karena ketentuan pasal ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan public moral. Bila penafsiran secara luas (ekstensif) ini dapat diterima,211
maka ketentuan atau perjanjian pelaksana Pasal XX dapat pula berlaku untuk
standar halal. Ketentuan pelaksana ini paling tidak adalah prinsip-prinsip di
dalam pengenaan atau syarat penetapan suatu standar, termasuk standar halal
seperti prinsip-prinsip yang termuat dalam perjanjian SPS/TBT.

b. Putusan Panel DSB


1) Sengketa Ayam Brazil – Indonesia (DS 484) (2017)
Sumber hukum kedua yang dapat dijadikan sebagai landasan standar halal
adalah putusan panel badan penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body –
DSB) WTO. Kasus yang mengangkat isu halal di dalam persidangan sengketa
di hadapan DSB/WTO adalah sengketa ayam antara Brazil dan Indonesia.212
Sengketa lahir karena perdagangan produk ayam Brazil ke pasar
Indonesia mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Menurut Brazil,
penurunan ini terjadi karena pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai
kebijakan, tertulis dan tidak tertulis mengenai produk impor, termasuk kebijakan
halal atas produk impor makanan ke dalam pasar Indonesia. Dengan adanya
berbagai kebijakan ini, produsen ayam Brazil menemui kesulitan untuk
mengekspornya ke pasar Indonesia.
Brazil mengajukan gugatan kepada DSB WTO. DSB membentuk panel
penyelesaian sengketa. Dalam gugatan dan jawaban gugatan, terungkap bahwa

211
Cf., Pieter Van den Bossche berpendapat, ketentuan pasal XX GATT harus ditafsirkan secara
sempit atau restriktif (singularia non sunt extenda). Namun beliau mengakui, pendekatan
penafsiran secara sempit ini terhadap pasal XX tidak diterapkan, termasuk oleh Badan Banding
DSB WTO. Pieter Van den Bossche, 2006, Op.cit., hlm. 99.
212
Brazil – Indonesia: Indonesia – Measures concerning the Importation of Chicken Meat and
Chicken Products (DS 484). Putusan Panel dapat diakses pada website WTO: www.wto.org.

Pengakuan Sertifikasi Halal


145
Secara Internasional
pemerintah Brazil tidak mengangkat masalah standar halal sebagai masalah
hukum. Isu yang Brazil angkat adalah masalah persyaratan atas produk ayam,
terutama dikaitkan dengan pemenuhan syarat atau kebijakan Indonesia
sehubungan dengan kewajiban Indonesia mengenai syarat-syarat terkait (produk
ayam) berdasarkan GATT (terutama Pasal XI:1 GATT) dan Perjanjian SPS. 213
Tidak diangkatnya isu halal sebagai isu atau gugatan hukum,
mengisyaratkan bahwa standar halal bukanlah sebagai persoalan hukum yang
perlu diuji keabsahannya oleh panel DSB. Hal ini secara implisit pula
menunjukkan, bahwa standar halal tidak menjadi sesuatu persoalan hukum
dalam perdagangan internasional, terutama dalam sengketa ayam ini.
2) Sengketa Ketentuan Lisensi Impor Selandia Baru dan AS – Indonesia
(DS 477-478) (2021)
Sengketa ketentuan lisensi impor (Import Licensing Regime) adalah gugatan
Selandia Baru dan AS terhadap kebijakan ketentuan lisensi impor Indonesia.
Gugatan yang dialamatkan kepada panel DSB WTO, ditujukan terhadap
kebijakan Indonesia mengenai produk hortikultura, hewan dan produk hewan.
Kedua negara penggugat berpendapat, kebijakan Indonesia atas ketentuan lisensi
impor diduga menghambat masuknya produk impor produk hortikultura mereka
ke dalam pasar dalam negeri Indonesia.
Kedua negara mengungkapkan, terdapat 18 (delapan belas) kebijakan
Indonesia yang menghambat masuknya produk impor. Tujuh belas dari delapan
belas kebijakan terkait dengan ketentuan lisensi impor. Isu persyaratan halal
muncul dalam sengketa ini. Indonesia menggunakan alasan persyaratan halal
untuk produk-produk impor termasuk produk hortikultura, hewan dan produk
hewan yang menjadi pokok sengketa.214

213
Paragraf 1.2 dan 7.117 dan 7.118 Panel Report.
214
DS 477 – 478 Panel Report (2021), hlm. 20, 181.

Pengakuan Sertifikasi Halal


146
Secara Internasional
Kedua negara penggugat menekankan, bahwa mereka tidak
mempermasalahkan isu atau syarat halal yang diberlakukan Indonesia. Kedua
negara menekankan, bahwa sengketa lebih menyangkut kebijakan Indonesia
yang memperlambat (proses) penjualan, penggunaan dan transfer produk impor
hortikultura, larangan penjualan impor daging sapi dan produk lainnya di pasar
tradisional dan pasar modern. Kedua negara juga mempersoalkan kebijakan ke-
5 Indonesia (Measure 5), tentang pembatasan jumlah produk hortikultura yang
didasarkan pada kepemilikan kapasitas pengimporan importir.215
Pernyataan menarik AS mengenai tidak dipermasalahkannya isu halal
termuat dalam pembelaan AS yang menyatakan berikut:
7.1. Responding to Indonesia’s assertion that Indonesian products
are also required to have a halal label, the United States clarifies that
compliance with halal labelling or other requirements is not at issue in
this dispute: the challenged measures are restrictions on the sale, use,
and transfer of imported horticultural products; prohibition on the sale
of imported beef and other animal products in traditional or modern
markets; and limitation on the total quantities of imported horticultural
products based the importer’s ownership of storage capacity. Indonesia
has offered Indonesia arguments under the chapeau to address the
arbitrary and unjustifiable nature of these restrictions.216

Amerika Serikat menyatakan bahwa negaranya sangat menghargai syarat


atau sertifikasi halal, namun Amerika Serikat mempermasalahkan Indonesia
karena menggunakan isu ketentuan lisensi impor sebagai ketentuan yang
berupaya melindungi moral publik. Amerika Serikat mengungkapkan:217
“In the United States’ view, the fact that Halal is a public moral is not
sufficient to establish that any of Indonesia’s import licensing measures
were taken “to protect” that public moral. Further, the additional
arguments and exhibits submitted by Indonesia in its second written
submission in attempting to justify certain measures as necessary to
protect Halal requirements, are not availing. The United States holds

215
DS 477 – 478 Panel Report, hlm. 191.
216
DS 477 – 478 Panel Report, hlm. 191.
217
DS 477 – 478 Panel Report, hlm. 217.

Pengakuan Sertifikasi Halal


147
Secara Internasional
that such attempts are entirely devoted to establishing the existence of
Halal as a public moral in Indonesia, which is not in dispute. To the
contrary, the co-complainants have great respect for the observance of
Halal and duly comply with Indonesia’s Halal requirements, including
with regards to Halal certification.”

Setelah mendengar argumentasi kedua pihak, majelis Panel sependapat


dengan AS, bahwa isu halal tidak menjadi permasalahan (hukum) dalam
sengketa sekarang ini. Panel menyimpulkan bahwa argumentasi Indonesia
dalam memperkuat posisinya mengenai syarat halal ini tidak berdasar. Panel
menyatakan:218
“7.660. We therefore conclude that Indonesia has not demonstrated that
there is a relationship between Measure 5 and the protection of the
public moral of Halal. Accordingly, we find that Indonesia has not
demonstrated that Measure 5 is provisionally justified under
subparagraph (a) of Article XX of the GATT 1994.”

c. Laporan Badan Khusus WTO


1) TPRB Committee
Sumber hukum tambahan diangkat dalam tulisan ini, adalah laporan-laporan dari
badan-badan khusus seperti Trade Policy Review Body (TPRB) atau badan
pemantau kebijakan perdagangan negara anggota WTO. Laporan TPRB
dikeluarkan oleh TPRB Committee. Peninjauan ini dilakukan dalam periode
beberapa tahun sekali kepada seluruh negara anggota WTO. Peninjauan
dilakukan melalui mekanisme yang disebut dengan Trade Policy Review
Mechanism (TPRM).
Trade Policy Review Mechanism (TPRM) dalam meninjau kebijakan
negara anggota, antara lain mengenai kebijakan negara anggota, termasuk
aturan-aturan hukumnya. Peninjauan termasuk terhadap syarat halal produk

218
DS 477 – 478 Panel Report, hlm. 222.

Pengakuan Sertifikasi Halal


148
Secara Internasional
yang akan masuk ke dalam negerinya, negara yang menerapkan standar halal ini
antara lain adalah Indonesia.
Trade Policy Review Mechanism (TPRM) mengamati kebijakan
Indonesia mengenai syarat atau sertifikasi halal ini. Dalam peninjauan lembaga
TPRB ini, mereka tidak mempermasalahkan penerapan standar atau syarat halal
oleh pemerintah Indonesia. Namun lembaga ini khawatirkan terhadap penerapan
standar atau sertifikasi halal bukan karena standar nasional, atau pengaturan
hukum Indonesia. TPRM mengharapkan, standar halal yang pemerintah
Indonesia terapkan haruslah sesuai dengan standar yang dikenal dalam lingkup
internasional. TPRB mengungkapkan: “Members recalled that the adoption of
TBT and SPS measures, notably relating to halal products, horticultural
products and fresh foods, must take place in a manner that is compatible with
multilateral disciplines.219”

2) TBT Committee
Lembaga kedua yang cukup penting adalah Technical Barriers to Trade (TBT)
Committee, badan khusus yang mengawal pelaksanaan perjanjian TBT. Pada
pembahasan TBT Committee tentang kebijakan standar makanan Pakistan,
Amerika Serikat dan Uni Eropa mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap
peraturan Pakistan yang mensyaratkan wajib sertifikasi dan label halal bagi
semua produk makanan konsumen.
Amerika Serikat dan Uni Eropa mengakui arti pentingnya halal ini bagi
produk yang akan dikonsumsi rakyat Pakistan. Kedua negara mendorong
pemerintah Pakistan, agar kebijakan halal ini tidak menyebabkan rintangan bagi
perdagangan dan menyebabkan beban yang memberatkan masuknya produk.

219
https://www.wto.org/english/tratop_e/tpr_e/tp501_crc_e.htm

Pengakuan Sertifikasi Halal


149
Secara Internasional
TBT Committee mengeluarkan pandangan Amerika Serikat dan Uni Eropa
sebagai berikut:
“The United States and the European Union raised concerns with a new
regulation introduced by Pakistan, which requires mandatory labelling,
halal certification and shelf-life for all consumer food and beverage
products. While the EU and the US recognize the importance of ensuring
that products are halal for Pakistani consumers, they urged Pakistan to
develop halal policies that meet the needs of consumers without being
overly burdensome or trade prohibitive.”220

Amerika Serikat juga mendorong Pakistan untuk tidak sekedar


menerapkan standar halal menurut peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Amerika Serikat mengharapkan agar standar nasional Pakistan juga
menyesuaikan dengan ketentuan atau standar halal internasional, dengan
mengungkapkan:
“The US encouraged Pakistan to not only recognize halal certifiers
accredited by the Indonesia Halal Accreditation Forum and the
Standards and Metrology Institute for the Islamic Countries but also to
recognize halal certificates from other US-based halal certifiers
recognized by other Islamic countries.”221

D. Prospek Pengaturan Sertifikasi Halal dalam Hukum Perdagangan


Internasional
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa syarat dan standar sertifikasi halal tidak
menjadi masalah dalam hukum perdagangan internasional. Negara-negara non-
Muslim bahkan mendukung dan sangat menghormati penerapan syarat halal
untuk melindungi konsumen.
Uraian mengenai sengketa ayam (Brazil v. Indonesia), sengketa lisensi
impor (Selandia Baru dan Amerika Serikat v. Indonesia), bahkan pendapat dari
berbagai laporan lembaga kelengkapan khusus WTO, seperti TPRB Committee

220
https://www.wto.org/english/news_e/news19_e/tbt_16nov19_e.htm, diakses 7 November
2021.
221
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


150
Secara Internasional
atau TBT Committee, menunjukkan perspektif positif negara-negara terhadap
standar atau sertifikasi halal. Panel dan lembaga-lembaga kelengkapan khusus
WTO tidak mempermasalahkan syarat dan standar halal ini sebagai kebijakan
perdagangan negara.
Memang instrumen perjanjian-perjanjian WTO tidak mengatur atau
menyebut kata halal dalam instrumen hukumnya, namun terminologi halal yang
terkait dengan kepercayaan atau agama, dapatlah dipahami. Aturan-aturan
hukum perdagangan internasional, terutama WTO, mengatur kebijakan atau
pengaturan perdagangan internasional yang sifatnya universal atau multilateral.
Ketentuan-ketentuan seperti ini dimaksudkan sedemikian rupa, sehingga dapat
diterima oleh negara-negara di dunia umumnya.
Namun demikian, ketentuan syarat atau standar halal dapat ditarik dari
kata moral publik yang terdapat dalam Pasal XX (a) GATT. Dalam sengketa
ayam dan lisensi impor, negara-negara (penggugat) umumnya mengakui bahwa
Pasal XX (a) GATT mengenai syarat moral publik (public moral) mencakup
pula pengertian syarat atau standar halal.
Ketentuan mengenai prinsip-prinsip perdagangan internasional yang
berkembang dari Pasal XX (a), seyogyanya tercermin pula dalam syarat halal
ini. Perjanjian internasional, seperti termuat dalam perjanjian TBT dan
perjanjian SPS memuat prinsip-prinsip mengenai standardisasi (di atas bagian
III.C). Kedua perjanjian ini meletakkan beberapa prinsip berikut (mengenai
persyaratan standar dalam perdagangan internasional bila diterapkan pada syarat
atau standar halal):
a. penerapan standar atau persyaratan halal tidak diskriminatif;
b. persyaratan halal tidak mengakibatkan rintangan bagi perdagangan;
c. persyaratan halal tidak mengakibatkan beban biaya;
d. persyaratan halal harus transparan; dan
e. persyaratan halal mengacu kepada persyaratan (standar) internasional.

Pengakuan Sertifikasi Halal


151
Secara Internasional
1. Penerapan Persyaratan Halal Tidak Diskriminatif
Prospek penerapan standar atau syarat sertifikasi halal suatu negara haruslah
tidak diskriminatif. Penerapan syarat halal bukan semata karena alasan
kepercayaan, agama atau moral (Pasal XX (a) GATT), tetapi juga penerapan
syarat halal tidak boleh diskriminatif. Suatu negara harus memperlakukan sama
produk halal impor dengan produk halal lokal (national treatment). Syarat non-
diskriminatif juga harus diterapkan secara non-diskriminatif antara produk
impor suatu negara, dengan produk impor negara (ketiga) lain (most favoured-
nation treatment).

2. Persyaratan Halal tidak Mengakibatkan Rintangan bagi Perdagangan


Putusan panel dalam sengketa ayam dan lisensi impor, menegaskan isu
perdagangan tentang persyaratan masuknya barang impor. Dalam sengketa
ayam atau lisensi impor, Indonesia mengusung isu halal. Namun panel dalam
pertimbangan hukumnya menegaskan, syarat kebijakan suatu negara untuk
produk impor tidak dapat menjadi alasan penghambat atau menyebabkan
keterlambatan masuknya produk ke dalam suatu negara.

3. Persyaratan Halal tidak Mengakibatkan Beban Biaya


Perdagangan internasional mensyaratkan bahwa penerapan standar tidak
menjadi penghambat masuknya barang yang disebabkan meningkatnya biaya.
Pada penerapan syarat halal, biaya tambahan untuk masuknya suatu produk yang
mencakup biaya pemeriksaan atau penelitian halal, tidak mengakibatkan biaya
yang memberatkan importir.
Untuk mencegah biaya yang mungkin timbul ini, syarat pengakuan
terhadap sertifikasi halal produk impor yang telah memperoleh sertifikasi halal
di dalam negerinya, dapat dijadikan pedoman. Produk yang telah memperoleh
sertifikasi halal tidak perlu dites kehalalan untuk kedua kalinya (double

Pengakuan Sertifikasi Halal


152
Secara Internasional
certification). Langkah ini membutuhkan kesepakatan timbal balik secara
bilateral di antara negara pengekspor dan pengimpor.
Kesepakatan antara negara tentang pengakuan timbal balik syarat halal,
dapat menjadi jalan keluar untuk produk-produk dalam memperoleh sertifikasi
halal. Biaya tambahan untuk pengujian atau tes kehalalan bila terpaksa
dikenakan, haruslah serendah mungkin. Pengenaan biaya yang wajar, tidak
membebani, adalah prinsip hukum perdagangan internasional tentang pengenaan
biaya untuk masuknya suatu produk.

4. Persyaratan Halal Harus Transparan


Prinsip hukum perdagangan internasional dalam GATT, perjanjian TBT atau
perjanjian SPS, memandang transparansi sebagai salah satu prinsip terpenting
dalam hukum perdagangan internasional. Prospek standar halal harus memenuhi
syarat transparansi ini.
Ketentuan atau standar sertifikasi halal harus didasarkan pada aturan
hukum yang jelas. Aturan hukum harus dipublikasikan. Ketentuan tentang
standar atau sertifikasi halal harus diterjemahkan ke dalam bahasa internasional
(terutama bahasa Inggris). Ketentuannya harus dapat diakses oleh semua negara-
negara di dunia, termasuk perusahaan ekspor-impor. Prinsip hukum dalam
Perjanjian TBT/SPS mensyaratkan, negara yang mengeluarkan kebijakan atau
standar (termasuk standar halal) untuk menginformasikannya kepada WTO.

5. Persyaratan Halal Mengacu kepada Standar (Pengaturan)


Internasional
Prinsip perdagangan internasional mensyaratkan, negara-negara untuk tidak
mengandalkan standar atau peraturan nasionalnya. Syarat atau sertifikasi halal,
seyogianya didasarkan pada standar internasional yang berlaku. Prinsip ini
penting untuk mencegah terdapatnya berbagai standar nasional di antara negara-

Pengakuan Sertifikasi Halal


153
Secara Internasional
negara pengekspor, akan berhadapan dengan peraturan halal berbeda-beda di
antara negara-negara. Peraturan nasional yang berbeda-beda menjadi hambatan
serius dalam perdagangan internasional.
Salah satu upaya ke arah tersebut, dapat ditempuh secara bertahap.
Upaya jangka pendek berupa kesepakatan bilateral mengenai mutual halal
recognition agreement atau kesepakatan saling pengakuan halal bilateral, adalah
suatu kebijakan yang dapat ditempuh. Bila upaya bilateral berhasil, ia dapat
dijadikan contoh untuk menjalin kesepakatan bilateral dengan lebih luas dengan
banyak negara.
Bila langkah bilateral secara luas telah berhasil, upaya regional adalah
agenda selanjutnya. Upaya di regional seperti ASEAN, adalah salah satu contoh
upaya untuk mencapai kesepakatan regional yang dapat ditempuh negara-negara
anggota ASEAN. Bila langkah regional ini mencapai suatu kesepakatan
bersama, langkah ini dapat dilanjutkan ke tingkat penerimaan standar halal
internasional.

Pengakuan Sertifikasi Halal


154
Secara Internasional
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adolf, Huala, “Aspek-aspek Hukum Mengenai Generalized System of


Preferences (GSP) Menurut Hukum Uni Eropa,” Jurnal Hukum
Internasional UNPAD, 1:2, 2002

Bernhard (ed)., 1983, Encyclopedia of Public Indonesia Law, Instalment 5

Black, Henry, 2009, Black’s Law Dictionary, 9th.ed., Thomson Reuters, St


Paul., Minnesota

Bossche, Pieter Van den, 2006, The Law and Policy of the World Trade
Organization, Cambridge, New York

Brazil – Indonesia: Indonesia–Measures concerning the Importation of Chicken


Meat and Chicken Products (DS 484) (2017), www.wto.org

Jackson, John H., 1995, et.al., Legal Problems of Indonesia Economic Relations,
West Publishing Co, St. Paul. Minn.

Long, Cf. Olivier, 1987, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade
System, Martinus Nijhoff Publishers

Simon Lester et.al., 2012, World Trade Law: Texts, Materials and Commentary,
Hart Publishing, Oxford

World Trade Organization, 1999, General Agreement on Tariffs and Trade,


Switzerland

World Trade Organization, 1998, The Multilateral Trading System: 50 Years of


Achievement, Geneva, Switzerland

Jurnal

Demaret, Paul, “The Metamorphoses of the GATT: From the Havana Charter to
the World Trade Organization,” Columbia Journal of Transnational Law,
Vol. 24, Indonesia. 1, 1995

Departemen Perdagangan Republik Indonesia, GATT dan Uruguay Round, Seri


Informasi Perdagangan Internasional Indonesia. 14, 1993/1994

Pengakuan Sertifikasi Halal


155
Secara Internasional
Roessler, Frieder, “The Scope, Limits and Function of the GATT Legal System,”
8 World Economy 287-288 (1985)

Internet

World Trade Organization, “Concluding remarks by the Chairperson”,


https://www.wto.org/english/tratop_e/tpr_e/tp501_crc_e.htm

World Trade Organization, “WTO members discuss product quality, safety and
standards, debate new trade concerns”
https://www.wto.org/english/news_e/news19_e/tbt_16nov19_e.htm

Pengakuan Sertifikasi Halal


156
Secara Internasional
BAB IV

PENERAPAN PRINSIP EKONOMI SYARIAH


DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Penulis: Dr. Helza Nova Lita, S.H., M.H & Shandy Primandasetio, S.H, LL.M

Bab ini menganalisis bagaimana perdagangan internasional dalam hukum Islam termasuk
membahas pengertian, sejarah, dasar hukum dalam al-Qur’an, etika, serta nilai-nilai
universal Islam dalam perdagangan. Pada Bab ini juga dibahas penerapan prinsip syariah
pada kontrak perdagangan internasional, dan penerapan prinsip ekonomi syariah pada
pembayaran internasional melalui letter of credit (L/C). Penggunaan sistem syariah Islam
dalam kegiatan ekonomi dewasa ini, tidak hanya berkembang di negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, namun juga di belahan negara yang minoritas
beragama Islam, sehingga dalam buku ini juga dibahas Best International Practises,
bagaimana nilai-nilai ekonomi Islam juga telah banyak diimplementasi dalam aturan
maupun praktik kegiatan perdagangan internasional. Pada Bab ini juga dibahas tentang
isu halal, karena dalam perikatan Hukum Islam hal ini merupakan salah satu syarat obyek
akad yang harus dipenuhi. Pada bagian akhir bab ini dibahas halal telah menjadi trend
global, perlunya sertifikasi halal, serta juga memuat Perbandingan Sertifikasi dan
Labelisasi Produk Halal di Malaysia, Singapore, dan Indonesia

A. Perdagangan Internasional dalam Hukum Islam


Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang
cepat dan memiliki ruang lingkup bidang hukum yang cukup luas.222 Rafiqul
Islam memberi batasan perdagangan internasional sebagai “...a wide ranging,
transnational, commercial exchange of goods and services between individual
business persons, trading bodies and states.223 Dengan adanya keterkaitan erat
antara perdagangan internasional dan keuangan, Rafiqul Islam mendefinisikan
hukum perdagangan dan keuangan sebagai suatu kumpulan, aturan, prinsip,
norma, dan praktik yang menciptakan pengaturan transaksi perdagangan
internasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap
perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan. Kegiatan komersial tersebut,

222
Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm 1.
223
Rafiqul Islam dalam Huala Adolf, Ibid, hlm.7.

Pengakuan Sertifikasi Halal


157
Secara Internasional
dapat dibagi kedalam kegiatan komersial yang berada dalam ruang lingkup
hukum perdata internasional atau conflict of laws, perdagangan antar pemerintah
atau antarnegara yang diatur oleh hukum internasional publik.224
Perdagangan dalam Islam merupakan aspek ibadah muamalah yang
termasuk hubungan horizontal antar sesama manusia. Bidang ini mendapat
perhatian dan penekanan khusus dalam ekonomi Islam, karena keterkaitannya
dengan sektor riil. Perdagangan menempati peran yang penting dalam ajaran
Islam,225 bahkan sebagaimana al-Qur’an yang menyebutkan suku Quraisy
sebagai nama surat, menjelaskan bagaimana mereka melakukan perjalanan
dagang.226 Menurut Uri Rubin dalam Encyclopaedia of the Qurān, menyebutkan
bahwa Suku Quraisy menjadi pelaku perdagangan internasional yang telah
mencapai sejumlah wilayah penting peradaban pada masanya. Misi perdagangan
Quraisy telah sampai ke Bizantium di utara, Persia di timur, Ethiopia di barat,
dan Yaman di Selatan.227
Kata dagang dalam bahasa arab adalah al-tijārah ( ‫) وِ تجمُة‬, memiliki
kata dasar tajara (ُ-‫ج‬-‫ )ت‬yang bermakna berdagang, berniaga, perdagangan
perniagaan. Menurut Asfahani al-tijārah (‫ )وِ تجمُة‬memiliki makna pengelolaan
harta benda untuk mencari keuntungan (al-Asfahani, 2008).228 Kata al-tijārah
dalam al-Qur’an ditemui sebanyak delapan kali, dapat ditemui dalam surat al-
Baqarah [2]:282, an-Nisa [4]:29, at-Taubah [9]:24, an-Nur [24]:37, Fathir
[35]:29, ash-Shaf [61]:10, dan pada al-Jumu’ah [62]:11 disebut dua kali .229

224
Ibid, hlm. 8.
225
Junaidi Safitri dan Abdulmuhaimin Fakhri, “Analisis Perbandingan Pemikiran Abu ‘Ubaid
Al Qasim dan Adam Smith Mengenai Perdagangan Internasional,” Millah Vol. XVII, No. 1,
Agustus 2017, Hlm. 86
226
Ibid.
227
Ibid.
228
al-Asfahani dalam Agilistya Rahayu, “Perdagangan Internasional dalam Pandangan Islam
(Studi Kritik Terhadap Sistem Perdagangan Internasional Pada Organisasi WTO)”, Jurnal El-
Kahfi (Journal of Islamic Economic), Vol. 01 No. 02, Tahun 2020, hlm.6.
229
Baqi dalam Agilistya Rahayu, Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


158
Secara Internasional
Al-Qur’an menggunakan beberapa kata dalam Bahasa Arab yang dekat
maknanya dengan perdagangan. Kata-kata tersebut antara lain adalah hisāb,
jaza’, khasira, syirā (isytarā), qaraḍa, dan lainnya yang diulang dalam al-
Qur’an.230 Rasulullah Saw yang lahir dari Suku Quraisy, juga merupakan
keturunan keluarga pedagang, dan beliau juga seorang pedagang sebelum masa
kenabian. Beliau menjadi contoh sukses dalam perdagangan, sehingga menjadi
kepercayaan banyak pihak dalam kerjasama bisnis.231
Sejarah mencatat, bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang
pedagang sebelum masa kerasulannya. Beliau bahkan melakukan perdagangan
internasional (international trading), ketika melakukan perjalanan dagang
bersama pamannya Abu Thalib di Syam, maupun perjalanan dagang yang beliau
lakukan ketika melakukan kerjasama dagang dengan prinsip mudharabah
dengan Khadijah yang kemudian menjadi istrinya.232 Afzalur Rahman dalam
buku Muhammad a Trader, menyebutkan reputasi Rasulullah dalam dunia bisnis
demikian bagus, sehingga beliau dikenal luas di Yaman, Syiria, Yordania, Irak,
Basrah, dan kota-kota perdagangan lainnya di Jazirah Arab. Afzalur Rahman
juga mencatat, dalam ekspedisi perdagangannya Muhammad Saw telah
mengarungi 17 (tujuh belas) negara ketika itu, sebuah aktivitas perdagangan
yang luar biasa.233
Ajaran perdagangan menurut Islam dalam al-Qur’an dan sunah
Rasulullah Saw, memberikan pengaruh pada perilaku bisnis dan perdagangan
sebagai salah satu aspek kehidupan umat Islam.234 Sejarah membuktikan

230
Andrew Rippin dalam Junaidi Safitri dan Abdulmuhaimin Fakhri, Op.Cit., hlm 87.
231
Richard A. Gabriel, dalam Junaidi Safitri dan Abdulmuhaimin Fakhri, Ibid.
232
Urgensi Integrasi Ummat dalam Perspektif Islamic International Trading, https://www.iaei-
pusat.org/article/ekonomi-syariah/urgensi-integrasi-ummat-dalam-perspektif-islamic-
international-trading-1?language=id, diakses tanggal 22 November 2021.
233
Perjalanan Dagang Rasulullah, https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
digest/18/10/19/pgt3gy313-perjalanan-dagang-rasulullah, diakses tanggal 22 November 2021
234
Syed Jamal Uddin, dalam Junaidi Safitri dan Abdulmuhaimin Fakhri, Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


159
Secara Internasional
bagaimana perdagangan menjadi salah satu media dakwah yang membuat Islam
tersebar ke berbagai wilayah dunia. Melalui perdagangan pula, Islam dapat
diterima di berbagai wilayah dengan damai dan masih membekas hingga kini. 235
Dalam perkembangan hukum perdagangan internasional, nilai-nilai
hukum Islam terkait perdagangan, memiliki muatan nilai yang universal yang
mengedepankan nilai-nilai keadilan, fairness, dan memberikan perlindungan
hukum untuk semua pihak. Tentu saja hal ini tidak akan menjadi hambatan bagi
terciptanya pengaturan hukum perdagangan internasional yang mengayomi
semua pihak.
Islam didasarkan pada 4 (empat) prinsip etika yakni: kesatuan,
keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab. Sebagai contoh,
implementasi prinsip itikad baik pada transaksi keuangan syariah melalui
perbankan, didasarkan pada larangan bunga dan leverage, serta larangan
aktivitas keuangan spekulatif dalam transaksi, yang merupakan salah satu akar
penyebab krisis keuangan. Selain itu juga mendorong kegiatan bisnis yang
menghasilkan keuntungan yang sah dan adil. Dalam perbankan syariah, selalu
ada hubungan erat antara aliran keuangan dan produktivitas, yang membutuhkan
tingkat transparansi dan keterbukaan yang tinggi serta dilakukannya checks and
balances.236
Aleksancer Goldstajn memperkenalkan 4 (empat) prinsip dasar hukum
internasional:237
1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak, merupakan prinsip universal dalam
hukum perdagangan internasional. Kebebasan ini meliputi jenis-jenis
kontrak yang disepakati, termasuk dalam memilih forum penyelesaian
sengketa, serta dalam memilih hukum yang akan berlaku dalam kontrak.
Kebebasan ini tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,

235
Ziad Haider, dalam Junaidi Safitri dan Abdulmuhaimin Fakhri, Ibid.
236
M. Khan Muhammadkhan, N.H. Han, S.B. Hoi, J.H Bae, “Good Faith Principle of Contract
Law for the Islamic Banking System”, Utopía y Praxis Latinoamericana, Vol. 24, No. 5, 2019,
hlm. 239-251.
237
Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 16-17.

Pengakuan Sertifikasi Halal


160
Secara Internasional
kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan persyaratan lain yang
ditetapkan masing-masing sistem hukum.
2. Prinsip Pacta Sunt Servanda, adalah prinsip yang sifatnya universal, yang
mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani
harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik).
3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase. Pengakuan
Goldstajn atas prinsip ini bahwa arbitrase dalam perdagangan internasional
adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum digunakan.
Klausul arbitrase semakin banyak digunakan dalam kontrak-kontrak
dagang. Goldstajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunaan
arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan
internasional:
“moreover, to the extent that the settlement of differences is referred to
arbitration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals
often apply criteria other than those applied in courts. Arbitrators appear
more ready to interpret rules freely, taking into account customs, usage, and
business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral
awards is generally more easy than thenforcement of foreign court decisions
is conducive to a preference for arbitration.”
4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi). Komunikasi adalah
merupakan kebebasan para pihak untuk keperluan dagang dengan siapapun
dengan melalui berbagai sarana komunikasi. Kebebasan ini sangat esensial
bagi terlaksananya perdagangan internasional.

Goldstajn menyatakan bahwa hukum perdagangan internasional


didasarkan pada prinsip-prinsip umum yang diterima di seluruh dunia, seolah-
olah hukum perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di
dunia.238
Pengertian perdagangan internasional menurut pandangan Islam adalah
proses jual beli yang terjadi antar orang dan negara, bukan antar individu dari
satu negara. Tujuan dengan adanya perdagangan internasional adalah agar
terjadinya proses pertukaran barang dan jasa, serta berbagai elemen produksi
lainnya ke beberapa negara, guna mencapai keuntungan bagi berbagai pihak
yang melakukan pertukaran.239

238
Ibid, hlm. 18.
239
Agilistya Rahayu, Loc. cit.

Pengakuan Sertifikasi Halal


161
Secara Internasional
Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an dalam semua uraiannya, termasuk
dalam bidang ekonomi, selalu memandang manusia secara utuh, sehingga al-
Qur’an memaparkan ajarannya dengan memperhatikan individu dan masyarakat.
Individu dilihat secara utuh, fisik, akal, qalbu, dan masyarakat dihadapinya
dengan menekan adanya kelompok lemah dan kuat, tetapi tidak menjadikan
mereka dalam kelas-kelas yang saling bertentangan sebagaimana halnya
komunisme, namun mendorong mereka semua untuk bekerja sama guna meraih
kemashlahatan individu tanpa mengorbankan masyarakat atau sebaliknya.240
Usaha perdagangan yang Islami mempunyai tujuan falaḥ (keuntungan
dunia akhirat), yang bersumber pada ajaran Islam, tidak semata-mata mencari
keuntungan duniawi semata sehingga nilai-nilai moral yang sarat diperhatikan
dalam perdagangan merupakan bagian penting dalam implementasinya,
termasuk nilai-nilai kejujuran, juga menghindari keuntungan dengan cara yang
menzhalimi orang lain.
Beberapa ketentuan peraturan perdagangan internasional dalam Islam,
baik dalam hal ekspor maupun impor barang atau jasa, harus menghindari
berbagai macam bentuk bahaya yang dapat membahayakan masyarakat,
khususnya masyarakat Muslim. Jenis barang yang diekspor maupun impor
merupakan barang yang diperbolehkan menurut Islam, seperti tidak dibenarkan
seorang Muslim mengekspor atau mengimpor minuman keras, yang dapat
menyebabkan muḍarat bagi kesehatan dan keselamatan manusia.241
Di samping itu juga dalam pembuatan perjanjian ekspor maupun impor,
barang atau jasa harus sesuai dengan aturan dalam Islam. Tidak dibenarkan
melakukan perjanjian yang diharamkan dalam Islam, misalnya melakukan
perjanjian yang di dalamnya terdapat unsur bunga (ribā) dan penipuan

240
Ibid
241
Ibid, hlm, 7.

Pengakuan Sertifikasi Halal


162
Secara Internasional
(gharar).242 Semua peraturan ini bukanlah sebagai penghalang dan pembatas
dalam melakukan kegiatan perdagangan antar negara, melainkan untuk menjaga
perdamaian masyarakat, khususnya masyarakat Muslim, dan menjamin
keselamatan dan keamanan setiap individunya.243
Prinsip ekonomi Islam secara universal, sangat menekankan pada prinsip
prinsip bisnis yang berkeadilan, dan menempatkan semua pada pihak dalam
posisi yang berimbang untuk mencapai keuntungan dari kedua belah pihak.
Secara prinsip hal ini tentu tidak akan ada pertentangan dengan pihak manapun,
meskipun berada dalam wilayah negara dan sistem hukum yang berbeda, karena
nilai nilai tersebut bersifat universal. Hal ini sebagaimana yang kita kenal dalam
kaitannya prinsip prinsip hukum umum yang bersifat universal, yang pasti akan
diterima oleh negara manapun yang beradab dan menjunjung nilai nilai
kemanusian dan keadilan.

B. Penerapan Prinsip Syariah pada Kontrak Perdagangan Internasional


Peran kontrak semakin penting, terutama dalam transaksi bisnis dengan pihak
luar negeri. Pembuatan kontrak internasional prosesnya lebih rumit
dibandingkan dengan pembuatan kontrak di antara pihak-pihak yang berada
dalam satu wilayah negara. Dalam transaksi bisnis lintas batas negara, pihak-
pihak yang berhubungan biasanya tidak bertemu muka secara langsung, selain
itu juga mereka memiliki nilai dan praktik sosial dan sistem hukum yang
berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman,
oleh karenanya pihak-pihak yang melakukan transaksi perdagangan
internasional harus mendefinisikan pemahaman bersamanya dalam kontrak
dengan persyaratan-persyaratan yang tertulis dan tegas.

242
Ibid.
243
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


163
Secara Internasional
1. Perjanjian pada Umumnya
Sale’s Contract adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk
melakukan perdagangan barang sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati
bersama, dimana para pihak terikat untuk melaksanakan semua kewajiban yang
disepakati. Pihak yang ingkar janji akan dikenakan sanksi dengan membayar
ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Dalam export sale’s contract, sebagai suatu perikatan antara ekportir dan
importir, harus memenuhi 3 (tiga) landasan utama suatu perjanjian, yaitu:
a. adanya kesepakatan antara kedua belah pihak secara sukarela untuk
melakukan perdagangan ekspor-impor. Kesepakatan tersebut mengandung
asas konsensus;
b. kesepakatan antara kedua pihak dimaksudkan untuk mengikat kedua belah
pihak dengan berjanji akan menjalankan semua hak dan kewajiban masing-
masing yang dituangkan dalam kontrak. Asas ini dikenal dengan asas
obligatoir;
c. kedua belah pihak bersedia memberikan ganti rugi kepada pihak lain bila
salah satu pihak tidak dapat memenuhi janjinya dalam melaksanakan
kewajiban. Asas ini disebut dengan asas penalty.
Pasal 1313 KUH Perdata pada Bab Perjanjian buku ke III, mengatur
pengertian perjanjian adalah:
“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Maksud dari pernyataan ini adalah
perbuatan yang dilakukan tersebut harus dilakukan secara sadar dan
memenuhi syarat sahnya perjanjian karena akan menimbulkan perikatan
untuk melaksanakan suatu kewajiban dalam lapangan harta kekayaan
bagi mereka yang melakukan perjanjian tersebut”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menganut asas
kebebasan berkontrak, para pihak harus memiliki itikad baik untuk
melaksanakan perjanjian, dimulai sejak perjanjian itu dibuat hingga perjanjian
itu selesai dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan yang telah diterima sebagai

Pengakuan Sertifikasi Halal


164
Secara Internasional
undang-undang. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak berdasarkan
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Selanjutnya Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menyatakan
bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, maksud dari
kalimat ini bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan kepatutan dan keadilan.
Agar suatu kontrak atau perjanjian mengikat, para pihak harus memenuhi
syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
yaitu:
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. cakap untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu; dan
d. suatu sebab yang halal.
Kesepakatan para pihak dalam perjanjian mengandung pengertian,
bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau saling menyetujui
kehendak masing-masing yang dilahirkan para pihak dengan tidak adanya
paksaan, kekeliruan dan penipuan. Selanjutnya Pasal 1321 KUH Perdata
menyebutkan, bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Cakap hukum merupakan syarat kedua dalam Pasal 1320 KUH Perdata
untuk sahnya suatu perjanjian. Cakap hukum adalah pihak yang sudah dewasa
dan mampu mempertanggungjawabkan segala tindakannya sendiri didepan
hukum. Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian, adalah orang-orang yang
belum dewasa (di bawah umur), dan mereka yang berada di bawah pengampuan.
Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat syahnya perjanjian, adalah
apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul
suatu perselisihan, barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit
harus ditentukan jenisnya. Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan, bahwa suatu

Pengakuan Sertifikasi Halal


165
Secara Internasional
perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya.
Suatu sebab yang halal, Pasal 1336 KUH Perdata menyatakan bahwa jika
tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau pun jika
ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan persetujuannya namun demikian
adalah sah. Menurut yurisprudensi yang dimaksud dengan “sebab” adalah isi
atau maksud dari perjanjian, dimana hakim dapat menguji apakah tujuan dari
perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi dari perjanjian tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Para pihak dalam pembuatan kontrak bisnis internasional memiliki
kebebasan untuk menentukan sendiri isi kontraknya. Namun dalam kebanyakan
yurisdiksi, pengadilan di banyak negara akan menegakkan sebuah kontrak jika
pihak-pihak yang melakukan kontrak telah menyepakati empat persyaratan dasar
berikut ini:
a. deskripsi barang dalam hal jenis, kuantitas, dan kualitas;
b. waktu pengiriman;
c. harga; dan
d. waktu dan cara pembayaran.
Dua persyaratan esensial yang sangat penting dalam kontrak bisnis
internasional, adalah persyaratan pembayaran dan persyaratan penyampaian.
Dalam pembayaran transaksi bisnis internasional ada beberapa pilihan mata
uang, serta cara penyampaian pembayaran tersebut.
Pada penyusunan kontrak bisnis internasional, para pihak yang terkait
dengan pelaksanaan isi kontrak, harus pula memperhatikan kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku dalam perdagangan internasional. Hukum nasional Indonesia juga
mengakui praktik kebiasaan ini. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1339
KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

Pengakuan Sertifikasi Halal


166
Secara Internasional
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-
undang”.
Ketentuan Hukum kebiasaan internasional, seperti ketentuan dalam Lex
Mercatoria, merupakan kumpulan ketentuan kebiasaan-kebiasaan para
pedagang yang berisi prinsip-prinsip dasar dalam melakukan kontrak dagang
internasional. Prinsip-prinsip Lex Mercatoria tersebut, dalam perkembangannya
dijadikan prinsip-prinsip dasar dalam menyusun ketentuan perjanjian-perjanjian
dalam bidang perdagangan internasional, antara lain dalam ketentuan-ketentuan
yang dikeluarkan oleh International Chamber of Commerce (ICC), diantaranya
adalah ketentuan Uniform Customs and Practice for Documentary Credit
International Chamber of Commerce Publication (UCP) yang mengatur tentang
transaksi pembayaran internasional yang menggunakan Letter of Credit (L/C).
Kebebasan berkontrak adalah salah satu materi yang diatur dalam Lex
Mercatoria, yakni pada Chapter IV tentang Contract Section 1: General
principles No. IV.1.1 - Freedom of contract menyebutkan: “The parties are free
to enter into contracts and to determine their contents (principle of party
autonomy)”. Dalam pelaksanaan kontrak tersebut, selanjutnya dalam lex
mercatoria principle, para pihak harus memiliki itikad yang baik untuk
melaksanakan isi kontrak sebagaimana disebutkan dalam Article 1.7. Chapter I:
“The parties must act in accordance with the standard of good faith and
fair dealing in international trade”.
Para pihak dalam central List of Lex Mercatoria Principles, Rules, and
Standard, di samping terikat untuk melaksanakan kesepakatan yang telah
mereka buat dalam kontrak, juga terikat kepada ketentuan-ketentuan praktik
kebiasaan yang berlaku, serta ketentuan-ketentuan internasional sebagaimana
yang disebutkan dalam Article tentang Usages and Practices:

Pengakuan Sertifikasi Halal


167
Secara Internasional
“The parties are bound by any usages to which they have agreed and by
any practice which they have established between themselves. Unless
agreed otherwise, they are considered to have impliedly made applicable
to their contract or its formation a usage of which the parties knew or
ought to have known and which in international trade is widely known
to, and regularly observed by, parties to contracts of the type involved in
the particular trade concerned”.

2. Perjanjian dengan Prinsip Syariah

Prinsip utama kegiatan ekonomi Islam terdiri dari larangan riba pada semua jenis
transaksi, pelaksanaan aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan (equality), keadilan
(fairness), keterbukaan (transparency), pembentukan kemitraan yang saling
menguntungkan, serta keuntungan yang didapat harus dengan cara yang halal.
Perjanjian atau akad dalam Hukum Islam memiliki konsekuensi duniawi
dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam. Secara
etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan mu’āhadah ittifā’,
aqad, dalam terjemahan bebas dapat disebut sebagai kontrak, perjanjian atau
persetujuan, yakni suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap seseorang lain atau lebih. Terkadang akad dalam istilah
dipergunakan dalam pengertian yang umum, yakni sesuatu yang diikatkan
seseorang bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain dengan kata harus. Di
antaranya adalah firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman! Penuhi (semua) kewajiban (al-Qur'an
surat al-Ma’idah [5]:1). Penuhi perjanjian Allah ketika Anda telah
menandatanganinya dan jangan melanggar sumpah Anda setelah Anda
mengonfirmasinya (al-Qur'an surat an-Nahl [16]:91)244.

244
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


168
Secara Internasional
Setiap akad ekonomi syariah, baik dalam barang, pelaku transaksi
maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal
sebagai berikut:245
a. Rukun:
1) penjual;
2) pembeli;
3) barang;
4) harga; dan
5) akad/Ijāb Qabūl.
b. Syarat:
1) barang dan jasa harus halal berdasarkan syariat Islam;
2) harga barang dan jasa harus jelas;
3) tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada
biaya transportasi; dan
4) barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
Hukum perjanjian yang dianut dalam Buku III KUH Perdata menganut
asas terbuka, yakni mengandung asas kebebasan berkontrak. Hal tersebut dapat
disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi
sebagai berikut:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.
Hukum Perikatan Islam sebagai bagian dari Hukum Islam di bidang
muamalah memiliki sifat “terbuka” yang berarti segala sesuatu di bidang
muamalah boleh dilakukan modifikasi selama tidak bertentangan atau
melanggar larangan yang sudah ditentukan dalam al-Qur’an dan Sunah Nabi
Muhammad Saw. Hal inilah yang memungkinkan Hukum Perikatan Islam dapat

245
Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press,
Jakarta, hlm. 85.

Pengakuan Sertifikasi Halal


169
Secara Internasional
mengikuti perkembangan zaman. Salah satu kaidah fiqh yang pada umumnya
dipakai dalam setiap hubungan muamalah termasuk di dalamnya transaksi bisnis
secara syariah memuat ketentuan kaidah sebagai berikut :
“Pada dasarnya segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”.
Setidaknya ada 2 (dua) istilah dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan
perjanjian, yaitu kata akad (al-‘aqdu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu)246. Kata akad (al-
‘aqdu) secara etimologis berarti perjanjian, perikatan, dan pemufakatan (al-
ittifāq). Kata ini dalam al-Qur’an digunakan dalam arti perikatan dan perjanjian.
Sedangkan kata al-‘ahdu, secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan
dan janji atau perjanjian. Kata akad lebih umum digunakan dan mempunyai daya
ikat bagi mereka yang membuat perikatan. Karena itu istilah akad dapat
disamakan dengan istilah perikatan atau verbintennis.247
Akad (al-’aqd) adalah transaksi dan kesepakatan, atau komitmen dengan
konotasi al-istīṡāq. Itu tentu tidak akan terjadi, kecuali di antara dua pihak yang
saling berakad. Adapun al-‘ahd (janji) bisa berlangsung dari satu pihak saja.
Karenanya, al-‘ahd lebih umum daripada al-‘aqd, karena tidak semua al-‘ahd
(janji) merupakan al-‘aqd (akad). Sebaliknya, semua al-‘aqd (akad) merupakan
al-‘ahd (janji). Syariah menjelaskan al-‘aqd dalam kedua maknanya sebagai al-
‘aqd dan al-‘ahd. Penjelasan syariah tentang akad, terlihat bahwa keterikatan,
komitmen dan janji itu diwujudkan dengan ijāb dan qabūl di antara kedua pihak
yang berakad.248
Dengan adanya akad, maka para pihak terikat oleh ketentuan Hukum
Islam (syari’at), berupa hak-hak dan pemenuhan kewajiban-kewajiban yang

246
Mariam Badruz zaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, PT. Citra Aditya
Bandung, hlm. 247.
247
Ibid, hlm. 248.
248
Muhammad Kamal Zubair dan Abdul Hamid, “Eksistensi Akad dalam Transaksi Keuangan
Syariah,” Jurnal Hukum Diktum, Vol. 14, No. 1, Juli 2016, hlm. 49.

Pengakuan Sertifikasi Halal


170
Secara Internasional
harus dilaksanakan. Sahnya suatu akad menurut Hukum Islam, ditentukan oleh
terpenuhinya rukun dan syarat akad tersebut. Rukun adalah suatu hal yang sangat
menentukan bagi terbentuknya sesuatu dan merupakan bagian dari sesuatu
tersebut. Rukun menurut mazhab jumhur (Maliki, Syafi'i dan Hambali),
dimaksudkan sebagai unsur-unsur yang membentuk akad, dalam hal ini adalah:
249

a. al-‘aqidain, yaitu para pihak yang terlibat langsung dengan akad;


b. mahallu al-‘aqad, yaitu obyek akad atau sesuatu yang hendak diakadkan;
dan
c. sīgatu al-‘aqad, pernyataan kalimat akad berupa ijab dan qabul.
Syarat akad secara umum dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. syarat adanya (terbentuknya) akad, jika syarat ini tidak terpenuhi akad tidak
terbentuk dan akadnya batal;
b. syarat sahnya akad, yaitu syarat jika tidak terpenuhi tidak berarti akad tidak
ada atau tidak terbentuk. Bisa saja akadnya ada dan telah terbentuk karena
syarat terbentuknya telah terpenuhi misalnya, hanya saja akad dianggap
belum sempurna dan masih memiliki kekurangan dan dalam keadaan
demikian akad tersebut ahli-ahli hukum Hanafi disebut dengan akad fāsid,
dan harus dibatalkan.
Syarat dalam akad adalah hal yang sangat berpengaruh atas keberadaan
sesuatu, tapi bukan merupakan bagian atau unsur pembentuk dari sesuatu
tersebut. Beda syarat dengan rukun terletak apakah hal tersebut merupakan
bagian inti pembentuk dari sesuatu tersebut atau tidak.
Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, suatu akad terbentuk dengan
adanya empat komponen yang harus dipenuhi, yaitu 250:

249
Wahbah Zuhaili dalam Muhammad Kamal Zubair dan Abdul Hamid, Ibid, hlm. 51.
250
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Mochzani Bachmid, “Penerapan Kepercayaan
Masyarakat Terhadap Bank Berdasarkan Akad Pembiayaan Prinsip Perbankan Syariah”, Lex
Privatum Vol. VI No. 8, Okt 2018, hlm. 104.

Pengakuan Sertifikasi Halal


171
Secara Internasional
a. dua aqid, yang dinamakan ṭarafyi al-‘aqdi atau ‘āqidain sebagai subjek
perikatan/para pihak (the contracting parties);
b. maḥallu al-‘aqdi (ma’qūd ‘alaihi), yaitu sesuatu yang diakadkan sebagai
objek perikatan (the subject matter);
c. mauḍū’u al-‘aqdi (ghāyatu al-‘aqdi), cara maksud yang dituju sebagai
prestasi yang dilakukan (the subject matter); dan
d. sīghat al-‘aqdi sebagai rukun akad (a formation).
Pada masing-masing komponen dalam rukun akad menurut T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, dapat dilihat syarat-syarat sahnya. Subjek perikatan (‘aqid)
dalam Hukum Perikatan Islam, secara praktis sama dengan subjek hukum pada
umumnya, yaitu pribadi-pribadi yang memiliki ketentuan berupa pembebanan
kewajiban dan perolehan hak. Pribadi tersebut dapat berupa manusia (syakhṣiyah
ṭabī’iyah) atau dapat juga badan hukum (syakhṣiyah i’tibāriyah ḥukmiyah).
Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum, manusia dapat dibedakan atas:
a. manusia yang dapat melakukan tindakan hukum (mukallaf); dan
b. manusia yang tidak dapat melakukan tindakan hukum (safihun). Seseorang
yang mukallaf adalah orang yang telah memiliki kedudukan tertentu
sehingga ia dibebani kewajiban-kewajiban tertentu.
Patokan atau ukuran dalam penentuan mukallaf ini biasanya dengan
ukuran baligh, yaitu telah mencapai umur tertentu sesuai ketentuan undang-
undang, atau ditandai dengan datangnya tanda-tanda kedewasaan.251 Para fuqaha
telah merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebagai
aqid, yaitu:252
a. ‘Āqil; hanya orang yang berakallah yang dapat melakukan transaksi
secara sempurna. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya
penipuan dan sebagainya, maka anak kecil (yang belum bisa

251
Ibid, hlm. 105.
252
Hamzah Ya’cub dalam Mochzani Bachmid, Ibid, hlm. 105.

Pengakuan Sertifikasi Halal


172
Secara Internasional
membedakan yang baik dan buruk) dan orang gila, tidak dibenarkan
melakukan akad tanpa kontrol dari walinya.
b. Tamyiz; sebagai tanda kesadaran, para mujtahid dari masing-masing
mazhab mengemukakan logika hukum, tentang sah atau batalnya
transaksi yang dilakukan oleh anak namun telah dapat membedakan
(mumayiz), orang buta dan orang gila.
c. Mukhtar; bebas melakukan transaksi/bebas memilih, yaitu masing-
masing pihak harus lepas dari paksaan atau tekanan. Oleh karena itu,
penjualan yang dipaksakan, penjualan terpaksa atau penjualan
formalitas tidak dibenarkan. Ini merupakan pelaksanaan dari prinsip
rela sama rela (‘an tarāḍin) berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa’
[4]:29.
d. Maḥallu al-‘aqdi; obyek perikatan, ialah benda yang berlaku
padanya hukum akad, atau disebut juga objek perikatan dalam
istilah Hukum Perdata. Misalnya benda-benda yang dijual dalam
akad jual beli (al-bai’), atau utang yang dijamin seseorang dalam
akad. Hanya benda-benda halal dan bersih (dari najis dan maksiat)
yang boleh menjadi objek perikatan.253 Adapun syarat-syarat objek
akad, yaitu:254
1) Halal menurut syara’.
2) Bermanfaat (bukan merusak atau digunakan untuk merusak).
3) Dimiliki sendiri atau atas kuasa si pemilik.
4) Dapat diserahterimakan (berada dalam kekuasaan).
5) Dengan harga jelas.
e. Mauḍū’u al-‘aqdi; prestasi, ialah tujuan akad, maksud pokok
mengadakan akad, atau dalam istilah hukum perikatan disebut
“prestasi”. Tujuan ini sesuai dengan jenis akadnya, seperti: tujuan
dalam jual beli ialah menyerahkan barang dari penjual kepada
pembeli dengan ganti/bayaran (iwaḍ), dalam hibah ialah
menyerahkan barang kepada penerima hibah (mauhūb) tanpa ganti
(iwaḍ), dan pada akad sewa (ijārah) ialah memberikan manfaat
dengan ganti (iwaḍ). Dalam KUH Perdata, hal ini merupakan suatu
prestasi (hal yang dapat dituntut oleh satu pihak kepada pihak
lainnya) yang dirumuskan dengan menyerahkan barang, melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Ahmad Azhar Basyir
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan
akad sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai beikut: 255

253
Ibid.
254
Ibid.
255
Ahmad Azhar Basyir dalam Gemala Dewi, dkk, 2005, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 69.

Pengakuan Sertifikasi Halal


173
Secara Internasional
1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas
pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan;
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya
pelaksanaan akad; dan
3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’.
f. Arkān al-‘aqdi; pernyataan kehendak, rukun akad, adalah ijab dan
kabul (serah terima). Ijab dan kabul dinamakan ṣighatu al-‘aqdi,
atau perkataan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak.
Para ulama fiqih mensyaratkan 3 (tiga) hal dalam melakukan ijab
dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut:256
1) Jalā’ul ma’nā; yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan
itu jelas, sehingga dipahami jenis akad yang dikehendaki;
2) Tawafuq, yaitu kesesuaian antara ijab dan kabul;
3) Jazmul iradataini, yaitu ijab dan kabul menunjukan kehendak
para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.

Terkait dengan isu halal, menurut perikatan dalam Hukum Islam


merupakan salah satu syarat obyek akad yang harus dipenuhi. Untuk memastikan
kehalalan suatu barang atau produk dalam perkembangan saat ini, adanya
sertifikasi halal menjadi hal penting yang harus ada untuk memberikan informasi
pada kehalalan pada barang atau produk tersebut. Melalui sertifikasi halal ini
tidak sekedar untuk digunakan sebagai informasi kehalalan suatu barang atau
produk bagi konsumen, sekaligus juga untuk menjadi informasi kehalalan suatu
produk sebagai syarat objek perikatan menurut Hukum Islam.

C. Penerapan Prinsip Ekonomi Syariah pada Pembayaran Internasional


Melalui Letter of Credit (L/C)
Salah satu hal penting dalam perjanjian ekspor-impor adalah masalah
pembayaran, karena antara eksportir dan importir tinggal berjauhan. Letter of
Credit (L/C), merupakan salah satu metode pembayaran yang paling sering
digunakan dalam perjanjian ekspor-impor. Hal ini dikarenakan L/C
menawarkan jaminan terbaik bagi pihak eksportir, bahwa barang yang dijual

256
Djamil dalam Gemala Dewi, dkk, Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


174
Secara Internasional
secara internasional akan dibayar. Jaminan ini timbul dari kenyataan bahwa
kewajiban membayar dengan L/C terletak di tangan bank pembeli bukan di
tangan pembeli.
Pada hakikatnya L/C adalah sebuah surat yang mengalihkan kelayakan
menerima kredit pembeli kepada sebuah bank. L/C dapat dianggap sebagai
jaminan berkondisi yang dikeluarkan oleh bank atas nama pembeli, ditujukan
kepada penjual untuk memastikan pembayaran, bila penjual memenuhi syarat
yang tercantum dalam L/C .
Pembukaan L/C terkait beberapa pihak, yakni: importir sebagai
opener/applicant, bank dalam negeri sebagai opening bank atau lazim juga
disebut issuing bank, koresponden bank di luar negeri yang disebut advising
bank, dan eksportir sebagai penerima L/C yang disebut beneficiary.
L/C merupakan salah satu jenis jasa transaksi perbankan internasional
yang dapat diterbitkan melalui bank yang beroperasional dengan berlandaskan
pada syariah Islam. Guna penguatan ekosistem halal, L/C syariah menjadi salah
satu cara metode pembayaran yang selaras dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Di
mana produk atau barang yang menjadi obyek jual beli, harus memenuhi syarat
halal menurut Hukum Islam, termasuk metode pembayarannya yang juga harus
sesuai atau tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
Mekanisme L/C pada bank syariah, umumnya sama seperti mekanisme
pada bank konvensional.257 Namun demikian, terdapat perbedaan mendasar
antara mekanisme bank syariah dan bank konvensional, yakni terletak pada akad
serta tidak diperbolehkan adanya bunga dalam pelaksanaannya. 258 Menurut
istilah, akad yaitu pertalian ijāb dengan qabūl sesuai syarat yang berpengaruh

257
Helza Nova Lita, 2006, Penerapam Prinsip-Prinsip Syariah pada Ketentuan Letter of Credit
(L/C) Sebagai Alat Pembayaran dalam Perjanjian Ekspor Impor dihubungkan dengan The
Uniform Customs For Documentary Credits (UCP 500), Tesis Ilmu Hukum, Universitas
Padjadjaran, hlm. 22.
258
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


175
Secara Internasional
terhadap objeknya, serta tanggung jawab masing-masing pihak, terkait dengan
penerbitan L/C tersebut.259
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.34 /DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C
Impor syariah, membolehkan bank syariah menerapkan pembiayaan dengan
penerapan L/C, yaitu:
1. wakālah bi al-ujrah adalah pelimpahan, pendelegasian wewenang
atau kuasa dari pihak pertama kepada pihak kedua, untuk
melaksanakan sesuatu atas nama pihak pertama, dan untuk
kepentingan dan tanggung jawab sepenuhnya oleh pihak pertama.
Dalam pendelegasian tersebut, ditentukan upah (ujrah/fee) atas
pelaksanaan tugas oleh pihak yang mewakili.
2. qarḍ adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali, atau dengan kata lain meminjamkan tanpa
mengharapkan imbalan.
3. murābaḥah adalah jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati.
4. salām/Istisha, salam adalah pembelian barang yang diserahkan
dikemudian hari, sementara pembayarannya dilakukan dimuka.
Istisha hampir menyerupai salām, namun pada istisha tidak wajib
mempercepat pembayaran, dan tidak ada penjelasan jangka waktu
pembuatan dan penyerahan, serta tidak adanya barang seperti itu di
pasar.
5. muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana
pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan secara muḍārabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan
bila rugi ditanggung oleh pihak pemberi modal, selama kerugian itu
bukan akibat kelalaian si pengelola.
6. musyārakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan, bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
7. hawālah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya.

259
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


176
Secara Internasional
Untuk ketentuan L/C Ekspor, DSN-MUI mengeluarkan fatwa Nomor
35/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Ekspor syariah. L/C
Ekspor syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang
diterbitkan oleh bank, untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan
pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah. L/C Ekspor
syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: wakālah bi al-ujrah,
qarḍ, muḍārabah, musyārakah, dan al-bai'.
Berdasarkan Fatwa DSN MUI Nomor 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang
Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah Akad Wakālah bi al-Ujrah dengan
ketentuan:
1. Akad Wakālah bi al-Ujrah dengan ketentuan:
a. bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
b. bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C
(issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah
dikurangi ujrah; dan
c. besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam prosentase.
2. Akad Wakālah bi al-Ujrah dan Qarḍ dengan ketentuan:
a. bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
b. bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C
(issuing bank);
c. bank memberikan dana talangan (Qarḍ) kepada nasabah eksportir
sebesar harga barang ekspor;
d. besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
e. pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan
dalam akad; dan

Pengakuan Sertifikasi Halal


177
Secara Internasional
f. antara akad wakālah bi al-ujrah dan akad qarḍ, tidak dibolehkan
adanya keterkaitan (ta’alluq);
3. Akad Wakālah bi al-Ujrah dan Muḍārabah dengan ketentuan:
a. bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam
proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;
b. bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
c. bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C
(issuing bank);
d. pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen
diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance);
e. pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat digunakan
untuk:
1) pembayaran ujrah;
2) pengembalian dana mudharabah; dan
3) pembayaran bagi hasil.
f. besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
4. Akad Musyārakah dengan ketentuan:
a. bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan
dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;
b. bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
c. bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C
(issuing bank);
d. pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen
diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); dan
e. pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat digunakan
untuk:
1) pengembalian dana musyārakah; dan

Pengakuan Sertifikasi Halal


178
Secara Internasional
2) pembayaran bagi hasil.
5. Akad al-Bai' (jual-beli) dan al-Wakālah dengan ketentuan:
a. bank membeli barang dari eksportir;
b. bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir;
c. bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada
importir; dan
d. pembayaran oleh bank penerbit L/C (issuing bank) dapat dilakukan pada
saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance).

D. International Best Practises


Pelaksanaan transaksi ekonomi berdasarkan syariah mengalami perkembangan
yang cukup tinggi, baik secara nasional maupun internasional. Penggunaan
sistem syariah dalam kegiatan ekonomi dewasa ini, tidak hanya berkembang di
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun juga di
belahan negara yang minoritas beragama Islam.
Pada dasarnya ekonomi syariah dalam perkembangannya, telah banyak
memberikan kontribusi kepada perkembangan ekonomi dunia. Bahkan beberapa
konsep ekonomi syariah ditiru oleh negara barat, seperti dalam konsep syirkah
(lost profit sharing), suftaja (bills of exchange), ḥiwālah (letter of credits),
fundūq (specialized larges cale commercial institutions and market which
developed into virtual stock exchange), yakni lembaga bisnis khusus yang
memiliki skala besar, dan pasar yang dikembangkan dalam penukaran stock yang
nyata. Demikian juga mengenai harga pasar yang menurut sistem kapitalis tidak
boleh ditetapkan oleh pemerintah atau dicampuri oleh pihak-pihak tertentu.
Salah satu rujukan yang dijadikan pedoman bagi para pihak adalah
international best practices. Pada praktiknya, banyak values dalam international
best practices yang sejalan nilai-nilai ekonomi syariah. Sehingga ekonomi
syariah seyogianya tidak dilihat sebagai trade barrier bagi perdagangan

Pengakuan Sertifikasi Halal


179
Secara Internasional
internasional, melainkan sebaliknya, yaitu sebagai jalan untuk membuka pintu
dagang ke negara dan komunitas Muslim dunia, yang pada tahun 2030
diperkirakan terdapat 79 negara dengan populasi Muslim di atas 1 juta
penduduk, dan total penduduk Muslim dunia pada tahun 2030 mencapai 2,2
miliar jiwa.260 Dengan kondisi tersebut, tentunya ekonomi syariah menjadi pasar
yang sangat menarik di tahun 2030 bagi berbagai sektor ekonomi dunia.
Prinsip-prinsip ekonomi syariah secara universal pada dasarnya dapat
diterapkan pada pengaturan hukum perdagangan internasional. Demikian juga
halnya dalam perjanjian kerjasama perdagangan internasional, ketentuan-
ketentuan dalam Lex Mercatoria sebagai dasar yang dipakai dalam pengaturan
hukum dagang internasional, termasuk dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh
ICC, sangat relevan dengan prinsip-prinsip dalam ekonomi Islam. Seperti yang
tercantum dalam Lex Mercatoria Principles, di antaranya mensyaratkan adanya
asas itikad baik dan fairness dalam perdagangan internasional (Chapter I
general Provisions), dan asas pacta sunt servanda (Chapter IV: Contract
No.IV.1.2). Asas-asas tersebut juga tercantum dalam ketentuan KUH Perdata
seperti dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.
Hukum positif Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 1338 Ayat (1)
KUH Perdata, mengatur bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sementara
batasan-batasan pembentuk undang-undang tercantum dalam Pasal 1338 Ayat
(3), Pasal 1320, Pasal 1321, dan Pasal 1337 KUH Perdata.
Hukum Perikatan Islam pada dasarnya juga menganut asas kebebasan
berkontrak. Suatu perikatan atau perjanjian baru sah dan mengikat kedua belah
pihak, apabila ada kesepakatan yang terwujud dalam dua pilar ijab (penawaran)

260
Brian J. Grim & Mehtab S. Karim, 2011, The Future of the Global Muslim Population
Projections for 2010-2030, Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life,
Washington D.C.

Pengakuan Sertifikasi Halal


180
Secara Internasional
dan kabul (penerimaan). Namun demikian, pembatasan asas kebebasan
berkontrak dalam KUH Perdata adalah berupa undang-undang buatan manusia,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Sementara pembatasan yang ada dalam
konsep syariah adalah Firman Allah SWT dalam al-Qur’an dan juga pernyataan
serta perilaku Nabi yang tertuang dalam al-Hadis.
Bentuk kerjasama ekonomi dalam Islam dapat dijadikan hubungan
kerjasama yang baik dalam perdagangan nasional maupun internasional, tidak
hanya terbatas untuk kelompok Islam semata tetapi juga di luar Islam. Bentuk
kerjasama ekonomi dalam syariat, lebih banyak dalam bentuk kerjasama dari
pada dalam bentuk kompetisi (persaingan).
Dalam mendukung terciptanya sistem ekonomi syariah, terdapat nilai-
nilai yang menjadi pedoman dalam implementasi aktivitas dan/atau prestasi
dalam ekonomi syariah agar dilakukan sesuai dengan syariat. 261 Nilai-nilai
ekonomi syariah terdiri dari:
1. kepemilikan;
2. berusaha dengan berkeadilan;
3. bekerjasama dalam kebaikan; dan
4. pertumbuhan yang seimbang.
Baik berdasarkan prinsip maupun nilai, ekonomi syariah bertujuan agar
muamalah dilakukan sesuai dengan nilai syari’at Islam yang di dalamnya
mengutamakan kebaikan untuk seluruh makhluk. Hal ini sesuai dengan syari’at
Islam yang bersifat sebagai rahmat bagi seluruh alam (raḥmatan li al-
‘ālamīn).262

261
Bank Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia, 2017, Paradigma Arus Baru Ekonomi
Indonesia. Diskusi Panel Menjelang Milad ke-42 MUI 24 Juli 2017.
262
Muhammad Syukri Salleh, “Strategizing Islamic Education”, International Journal of
Education and Research Vol. 1 No. 6 June 2013, Universiti Sains Malaysia.

Pengakuan Sertifikasi Halal


181
Secara Internasional
Gambar 4.1 Nilai-Nilai Ekonomi Syariah

1. Nilai Pertama: Kepemilikan

Kepemilikan merupakan nilai ekonomi syariah yang pertama, yaitu meyakini


bahwa segala sesuatu adalah milik Allah, berdasarkan pada al-Qur’an surat
Yunus [55]:66 dan al-Qur’an surat Ibrahim [14]:2. Manusia sebagai khalifah,
dipercaya untuk mengelola kekayaan dan sumber daya alam (al-Qur’an surat al-
Baqarah [2]:195 dan al-Qur’an surat Ali Imran [3]:180). Manusia mendapatkan
hak kepemilikan pribadi terhadap hasil usaha, tenaga dan pemikirannya, maupun
yang didapatkan dari hasil pemindahan kepemilikan berdasarkan transaksi
ekonomi maupun warisan. Islam menghormati hak kepemilikan dengan menjaga
keseimbangan hak pribadi, kolektif dan negara.
Penghormatan terhadap kepemilikan antar negara sangat jelas terlihat
pada beberapa pasal dalam United Nations Convention on Contracts for the
263
International Sale of Goods (CISG). Kewajiban bagi suatu negara untuk

263
Uncitral, United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods
(CIDG), 1980, Vienna.

Pengakuan Sertifikasi Halal


182
Secara Internasional
melindungi barang milik negara rekan bisnisnya yang berada dalam kendali atau
kedaulatan negaranya tercermin dalam Pasal 85 CISG dan klausul ke 35
Explanatory Note by the UNCITRAL Secretariat on the CISG mengenai
Preservation of the Goods. Dijelaskan lebih detil, pada umumnya dalam
perdagangan internasional, penerapan kewajiban untuk melindungi barang milik
rekan bisnis antar negara tersebut dijumpai jika terdapat keterlambatan dalam
proses pengiriman barang antar negara atau kendala terkait pembayaran. Kedua
hal tersebut menyebabkan kepemilikan barang dalam kuasa pihak penjual
(seller) dalam waktu yang cukup lama. Dalam kurun waktu tersebut, CISG
mewajibkan pihak penjual (seller) untuk menjaga barang tersebut dan
menghormati hak kepemilikian dari pihak pembeli (buyer) sampai memperoleh
kompensasi yang sesuai.
Kewajiban untuk melindungi kepemilikan barang juga berlaku secara
vice versa bagi pihak pembeli (buyer). Sebagaimana diatur dalam Pasal 86
CISG, apabila pihak pembeli menolak barang yang telah sampai di tempatnya,
maka CISG mewajibkan pihak pembeli (buyer) untuk melindungi barang
tersebut.
Selain hak kepemilikan, penghormatan terhadap keseimbangan hak
negara juga ditemukan dalam Pasal 1 CISG. Pasal ini mengatur kemungkinan
penerapan hukum salah satu negara dari dua pihak yang terlibat dalam
perdagangan internasional. Untuk menjaga keadilan antar pihak, CISG tetap
menghormati hak suatu negara untuk lebih mengedepankan pengaplikasian
hukum domestic negaranya dalam suatu kontrak perdagangan internasional.
Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (1) (b) CISG diatur adanya pilihan penerapan
CISG bagi para pihak yang menyesuaikan kondisi hukum di negaranya masing-
masing, sebagaimana kutipan berikut:
“Article 1. (1) This Convention applies to contracts of sale of goods between
parties whose places of business are in different States: …(b) when the rules of

Pengakuan Sertifikasi Halal


183
Secara Internasional
private international law lead to the application of the law of a Contracting
State.”

Penafsiran pasal di atas salah satunya oleh Petra Butler dalam Article 1
CISG – The Gateway to the CISG (2016), disebutkan bahwa Jika para pihak telah
memilih hukum domestik negara non-anggota CISG, maka para pihak telah
mengecualikan penerapan CISG. 265 Hal ini menunjukkan penghormatan CISG
terhadap hak suatu negara, khususnya dalam mengaplikasikan hukum
domestiknya dalam transaksi internasional.

2. Nilai Kedua: Berusaha dengan Berkeadilan

Nilai ekonomi syariah kedua, berusaha dengan berkeadilan. Nilai ini bermakna
bahwa manusia didorong untuk berusaha (al-Qur’an surat al-Jumuah [62]:10; al-
Qur’an surat al-Isra [17]:12; al-Qur’an surat An-Nahl [16]:14; al-Qur’an surat
al-Ankabut [29]:14) memanfaatkan segala sumber daya yang berlimpah yang
telah diciptakan Allah untuk manusia (al-Qur’an surat al-Baqarah [2]:29; al-
Qur’an surat Ibrahim [14]:34).
Selain itu, pada nilai ini juga terdapat batasan bahwa kepemilikan pribadi
tidak diperbolehkan untuk menjadi akumulasi kekayaan yang berlebihan (al-
Qur’an surat al-Humazah [104]:1-3). Namun demikian, karena manusia
mempunyai kecenderungan (inherent) cinta terhadap harta (al-Qur’an surat Ali
Imran [3]:14; al-Qur’an surat al-Fajr [89]:20; al-Qur’an surat asy-Syura [62]:27;
al-Qur’an surat al-Fajr [89]:20), maka penumpukan harta harus dikendalikan
dengan mendorong sedekah dan perniagaan (al-Qur’an surat an-Nisa [4]:29).
Sementara itu, tujuan individual atas hasil usaha ekonomi dibatasi agar tidak
berlebihan, tujuan sosial diupayakan maksimal dengan menafkahkan sebagian

265
Butler, Petra. "Article 1 CISG–The Gateway to The CISG." CISG and Latin America:
Regional and Global Perspectives Eleven International Publishing, The Hague (2016).

Pengakuan Sertifikasi Halal


184
Secara Internasional
hartanya untuk kepentingan bersama (al-Qur’an surat al-Hadid [57]:7; al-Qur’an
surat an-Nur [24]:33; al-Qur’an surat al-Baqarah [2]:267).
Dalam international best practices, penerapan nilai keadilan ini salah
satunya dapat kita temukan pada Pasal 88 CISG. Dalam pasal ini diatur bahwa
adanya hak untuk menjual barang apabila terjadi suatu kendala dalam transaksi
internasional yang menyebabkan kepemilikan barang dikuasai oleh salah satu
pihak dalam waktu yang lama. Umumnya hal ini terjadi ketika barang telah
dikirimkan ke pihak pembeli (buyer) namun ditolak oleh pihak pembeli (buyer).
Di sisi lain, pihak penjual (seller) tidak melakukan tindaklanjut dengan cepat
seperti melakukan penarikan barang sementara seiring berjalannya waktu
terdapat biaya yang harus dikeluarkan pihak pembeli (buyer) untuk menjaga
barang tersebut. Hal ini menjadi perhatian terutama jika sifat barang adalah
komoditas yang mudah rusak, seperti hasil pertanian. Atas kondisi tersebut,
Pasal 88 ayat (1) CISG memberikan kewenangan terhadap pihak yang
menguasai barang untuk melakukan penjualan barang. Untuk menyelesaikan
kendala tersebut secara adil, sejalan dengan nilai ekonomi syariah yaitu berusaha
dengan berkeadilan, maka Pasal 88 ayat (1) dan (3) CISG mengatur bahwa pihak
yang melakukan penjualan barang harus memberikan pemberitahuan kepada
pihak lainnya dan hasil penjualan harus memperhitungkan hak kedua belah
pihak.

3. Nilai Ketiga: Bekerjasama dalam Kebaikan

Nilai ekonomi syariah ketiga, bekerjasama dalam kebaikan. Islam mengatur


bahwa dalam bermuamalah harus didasari atas tujuan yang mulia, hal ini sejalan
dengan hukum positif Indonesia dimana dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
disebutkan: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal ini
bermakna perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak harus dilaksanakan
sesuai dengan kepatutan dan keadilan. Dengan demikian Indonesia sebagai

Pengakuan Sertifikasi Halal


185
Secara Internasional
negara yang menganut sistem hukum civil law, mengatur juga keberadaan asas
itikad baik dalam hukum perjanjiannya 266.
Lebih lanjut, nilai ekonomi syariah tersebut bermakna agar kegiatan
ekonomi dijalankan berdasarkan kerjasama dengan tolong menolong dalam
kebaikan (al-Qur’an surat al-Maidah [5]:2) dan berkeadilan (al-Qur’an surat
Shaad [38]:24). Kompetisi tetap didorong, namun tetap berdasarkan kerjasama
(co-operative competition) berlomba-lomba dalam kebaikan (al-Qur’an surat al-
Baqarah [2]:148; al-Qur’an surat al-Maidah [5]:48).
Nilai ini juga sejalan dengan prinsip no gharar dalam ekonomi syariah
yang dapat diartikan bahwa setiap mualalah harus dilakukan secara jelas dan
terbuka di antara para pihak, atau tidak boleh ada hal yang dirahasiakan,
contohnya pihak penjual harus menjelaskan secara detil mengenai produknya.
Nilai ini juga sejalan dengan Medina market rules yang merupakan serangkaian
aturan transaksi pasar yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Medina market
rules terdiri dari 6 (enam) ketentuan sebagai berikut:
a. kebebasan pertukaran, yaitu kebebasan agen ekonomi untuk memilih tujuan
dan rekan dagang sesuai prinsip syariah, tidak ada paksaan dalam transaksi;
b. pasar merupakan tempat pertukaran, infrastruktur pasar dan sarana
pertukaran yang lengkap dengan informasi terkait kuantitas, kualitas dan
harga diberikan secara transparan untuk menghindari ketidakjelasan atau
gharar dan minimalisasi asymmetric information;
c. campur tangan dalam proses penawaran (supply) sebelum berada di pasar
tidak diperbolehkan, karena dapat mengganggu kepentingan awal penjual
maupun pembeli (tengkulak dilarang);

266
Yuanitasari, Deviana & Kusmayanti, Hazar, “Pengembangan Hukum Perjanjian dalam
Pelaksanaan Asas Itikad Baik pada Tahap Pra Kontraktual”, Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan
Faktultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2020.

Pengakuan Sertifikasi Halal


186
Secara Internasional
d. pasar bebas, dalam hal ini tidak ada batasan area perdagangan (antar daerah,
antar negara) tanpa tarif/pajak atau pun price control;
e. kelengkapan kontrak transaksi dalam hal ini setiap kontrak harus memuat
hak dan kewajiban, pertukaran kepemilikan dan aturan lainnya secara
lengkap. Menaati kontrak dan menyampaikan kebenaran informasi
merupakan suatu keharusan; dan
f. kewenangan pihak otoritas dan penegak hukum ditegakkan untuk menjaga
kepatuhan atas aturan maupun kontrak.
Secara umum, nilai bekerja sama dalam kebaikan selain sejalan dengan
hukum positif Indonesia, juga sejalan dengan CISG. Dalam Pasal 7 ayat (1)
CISG menyatakan bahwa dalam melakukan penafsiran CISG, maka perlu
dilakukan dengan memperhatikan asas itikad baik, sebagaimana kutipan berikut:
“Article 7. (1) In the interpretation of this Convention, regard is to be
had to its international character and to the need to promote uniformity
in its application and the observance of good faith in international
trade.”
Selanjutnya, prinsip mengenai pentingnya kelengkapan kontrak
transaksi, khususnya terkait hak dan kewajiban, dapat ditemukan dalam
beberapa international best practices yang terkait perdagangan internasional,
contohnya dalam Pasal 7 Uniform Customs and Practice for Documentary
Credit International Chamber of Commerce Publication No.600 Revision 2007
(UCP 600), mengatur tanggung jawab para pihak khususnya issuing bank dan
confirming bank. Sebagai referensi, issuing bank adalah bank yang menerbitkan
L/C atas dan confirming bank berarti bank yang menambahkan konfirmasinya
pada L/C berdasarkan kuasa atau permohonan issuing bank.267 Contohnya Bank
syariah di Indonesia menerbitkan L/C dan dikonfirmasi oleh bank yang memiliki

267
Uniform Customs and Practice for Documentary Credit International Chamber of Commerce
Publication No.600 Revision 2007 (UCP 600).

Pengakuan Sertifikasi Halal


187
Secara Internasional
domisili yang sama dan dikenal oleh buyer di negara asalnya, misalnya buyer
adalah Petronas Malaysia dan confirming bank adalah CIMB Malaysia.
Ketentuan hak dan kewajiban para pihak juga dapat kita temukan dalam Pasal 4
CISG yang mengatur hak dan kewajiban dari penjual dan pembeli yang timbul
dari kontrak dagang internasional yang mereka sepakati, “This Convention
governs only the formation of the contract of sale and the rights and obligations
of the seller and the buyer arising from such a contract….”
Salah satu nilai dalam Medina market rules, yaitu setiap kontrak harus
memuat hak dan kewajiban, pertukaran kepemilikan dan aturan lainnya secara
lengkap juga sejalan dengan beberapa pasal dalam CISG. Pasal 30 CISG
mengatur mengenai kewajiban penjual, antara lain menyerahkan barang pada
lokasi yang disepakati, menyerahkan dokumen terkait kepemilikan barang yang
dipersyaratkan dalam kontrak jual beli, dan mengalihkan hak kepemilikan atas
barang, sebagaimana kutipan Article 30,”The seller must deliver the goods, hand
over any documents relating to them and transfer the property in the goods, as
required by the contract and this Convention.”
Setiap mualalah harus dilakukan secara jelas dan terbuka di antara para
pihak. Prinsip ini sudah diterapkan sejak awal mula pembentukan kontrak sesuai
dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) CISG yang menyebutkan bahwa:
“(1) A statement made by or other conduct of the offeree indicating
assent to an offer is an acceptance. Silence of inactivity does not in itself
amount to acceptance.
(2) An acceptance of an offer becomes effective at the moment the
indication of assent reaches the offeror.”

Hal ini bermakna, bahwa suatu penawaran dinyatakan diterima ketika


ada pernyataan menerima dari pihak penerima tawaran tersebut, atau dapat
dilihat dari sikap lain yang menunjukkan persetujuan atas tawaran tersebut, serta
diterima oleh pemberi penawaran. Jadi penerimaan tawaran harus dikemukakan
secara jelas baik dengan pernyataan ataupun perbuatan. Lebih lanjut, kejelasan

Pengakuan Sertifikasi Halal


188
Secara Internasional
akan barang atau menghindari gharar juga terdapat dalam Pasal 35 ayat (1)
CISG yang mengatur secara rinci mengenai kewajiban penjual, salah satunya
untuk menjamin bahwa barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi
yang ditetapkan dan disepakati dalam kontrak,268 sebagaimana kutipan Article
35, “(1) The seller must deliver goods which are of the quantity, quality and
description required by the contract and which are contained or packaged in the
manner required by the contract.”

4. Nilai Keempat: Pertumbuhan yang Seimbang

Nilai ekonomi syariah keempat, pertumbuhan yang seimbang. Nilai ini erat
kaitannya dengan tujuan ekonomi syariah untuk memberikan manfaat sebanyak-
banyaknya kepada kemanusiaan sebagai raḥmatan li al-‘ālamīn (al-Qur’an surat
al-Anbiya [21]:107, al-Qur’an surat al-Ankabut [29]:51) melalui muamalah, atau
berbagai aktivitas perekonomian. Islam mengatur bahwa pertumbuhan yang
dimaksud, tetap menjaga keseimbangan kesejahteraan spiritual dan kelestarian
alam (al-Qur’an surat al-Baqarah [2]:11,12).
Nilai ini juga sejalan dengan prinsip no ḍarar dan no ẓalim dalam
ekonomi syariah, yang dapat diartikan bahwa suatu muamalah tidak boleh
menimbulkan suatu bahaya atau kerusakan serta kezaliman, contohnya
bermuamalah yang mengakibatkan bahaya bagi makhluk lain. Hal ini karena
bertentangan dengan konsep Islam sebagai raḥmatan li al-‘ālamīn sebagaimana
terdapat pada al-Qur’an surat al-Anbiya [21]:107.
Nilai-nilai ekonomi syariah terkait keseimbangan pertumbuhan tersebut,
juga sejalan dengan mukadimah CISG, bahwa CISG memperhatikan resolusi
majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengatur: (i) adanya

268
Juwana, Himahanto, et. all., 2013, Naskah Akademik tentang Ratifikasi Konvensi PBB
Mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI, hlm. 27.

Pengakuan Sertifikasi Halal


189
Secara Internasional
kewajiban dari setiap negara untuk membantu negara berkembang, dimana hal
ini sejalan dengan tujuan ekonomi syariah untuk memberikan manfaat sebanyak-
banyaknya kepada kemanusiaan sebagai raḥmatan li al-‘ālamīn; (ii) adanya
kewajiban bagi setiap negara untuk menjaga kelestarian alam, sejalan dengan
nilai untuk tetap menjaga keseimbangan kesejahteraan spiritual dan kelestarian
alam.269
Praktik penerapan nilai-nilai ekonomi Islam dalam praktiknya, juga
digunakan dalam media pembayaran secara internasional melalui metode L/C.
Kerjasama penerbitkan L/C melalui bank syariah, dapat menjadi sarana
kerjasama yang baik untuk menerapkan nilai-nilai ekonomi Islam dalam praktik
pembayaran transaksi bisnis internasional. Kerjasama issuing bank dan advising
bank dalam penerbitan L/C, dapat lebih mengefektifkan kegiatan transaksi
pembayaran ekspor impor, mengingat terbatasnya jumlah cabang-cabang bank
dalam negeri yang beroperasional di luar negeri. Di samping itu juga, dengan
adanya kerjasama tersebut akan memperlancar transaksi L/C tanpa adanya
hambatan hukum secara berarti, mengingat bank yang meneruskan L/C tersebut
pada umumnya mengikuti ketentuan hukum nasional di mana bank itu berada.
Penerbitan L/C perlu juga memperhatikan upaya memitigasi risiko yang
kemungkinan terjadi. L/C diterbitkan atas dasar permintaan Applicant, namun
janji bayar kepada supplier menjadi kewajiban Issuing Bank sejak L/C
diterbitkan. Issuing Bank mempunyai kepentingan terhadap mitigasi risiko yang
akan dihadapi. Kemungkinan dispute akan terjadi antara kepentingan Issuing
Bank dan Applicant, Issuing Bank berhak mensyaratkan surat pernyataan dari
Applicant. Sebagai contoh dalam praktiknya, Bank Indonesia selaku Issuing
Bank selalu melakukan koordinasi dengan Applicant, Supplier/Agent Supplier,
Kementerian Keuangan cq. Direktorat Pinjaman dan Hibah, dan/atau Direktorat

269
Ibid, hlm. 50.

Pengakuan Sertifikasi Halal


190
Secara Internasional
Pengelolaan Kas Negara pada saat sebelum dilakukan pembukaan L/C. Dengan
adanya koordinasi tersebut, masing-masing pihak memahami term and
conditions dari L/C dan tatacara pembayaran sehingga Supplier tidak pernah
menolak L/C yang diterbitkan oleh Bank Indonesia270.
Prinsip-prinsip syariah juga dapat diterapkan pada L/C. Saat ini sudah
ada fatwa DSN/MUI tentang L/C Impor dan Ekspor yang dapat diterapkan bank
syariah untuk melayani transaksi permohonan L/C, baik dari importir maupun
eksportir. UCP sebagai ketentuan kebiasaan internasional yang dipakai sebagai
peraturan dalam operasional L/C. Penerbitan L/C melalui bank syariah di
Indonesia, pada umumnya juga memperhatikan ketentuan-ketentuan UCP
sebagai pengaturan operasionalnya. Sebagai contoh, dapat ditemukan dalam
praktik penerbitan L/C melalui PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk, dan PT.
Bank Syariah Mandiri, yang sekarang sudah tergabung dengan 2 (dua) bank
syariah lain yaitu BNI Syariah dan BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia
(BSI).
L/C syariah telah didefinisikan sebagai perjanjian tertulis oleh bank
penerbit, dikirim ke penerima, mengikuti instruksi pemohon, yang harus
mematuhi ketentuan dan persyaratan syariah dan harus menghindari riba dalam
setiap proses transaksinya. Bank syariah berjanji untuk melakukan pembayaran
dalam jangka waktu tertentu dengan satu syarat bahwa penerima memberikan
dokumen sesuai dengan instruksi yang disepakati pada kredit (Accounting and
Auditing organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) 2007). Secara
singkat, L/C syariah adalah suatu usaha oleh bank untuk tunduk pada kesesuaian
dokumen dengan instruksi kontrak yang diatur oleh prinsip Islam.
Negara-negara anggota ASEAN seluruhnya telah mengenal cara
pembayaran dengan menggunakan L/C ini. Namun, untuk Malaysia dan Brunei

270
Diskusi Tim BI dengan M. Syafrudin, Praktik L/C dan Bank to Bank Reimburement, hlm. 7.

Pengakuan Sertifikasi Halal


191
Secara Internasional
Darussalam lebih mengenal Islamic L/C, dimana penggunaan L/C ini dianut
dengan sistem syariah. Indonesia sendiri juga mengenal Islamic L/C, tetapi
untuk penggunaannya sendiri di Indonesia masih menggunakan L/C pada
umumnya. Sedangkan Vietnam, Myanmar, Singapura Thailand, Kamboja, dan
Laos menggunakan L/C seperti yang pada umumnya kita ketahui atau tidak ada
unsur syariahnya271.
Adapun di Yordania, karena mayoritas penduduknya adalah Muslim dan
diberikan prospek yang menjanjikan dalam sistem perbankan syariah, masa
depan bank syariah di Yordania tampaknya menjanjikan dan bisa muncul
sebagai lembaga keuangan utama di kawasan ini. Namun, untuk memastikan
kesuksesan yang berkelanjutan, bank syariah perlu memiliki tata kelola
perusahaan yang baik, berinvestasi di teknologi informasi dan inovasi untuk
meningkatkan daya saing. Mereka harus mengadopsi lebih banyak strategi untuk
mempromosikan produk dan membangun hubungan dengan pelanggan.
Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan, dan pelanggan perlu memahami
konsep keuangan syariah jauh lebih baik untuk mempercayai dan memanfaatkan
produk tersebut. Oleh karena itu, bank syariah harus bekerja lebih untuk produk
mereka dan untuk membangun hubungan yang baik antara pelanggan dan bank
syariah. Perbankan syariah di Yordania telah memainkan peran kunci dalam
pembiayaan dan kontribusi ke berbagai sektor di negara seperti perindustrian dan
pertambangan, pertanian, konstruksi, perdagangan, dan lainnya. Sebagian besar
sektor ini berada dalam kebutuhan mendesak untuk keuangan, oleh karena itu
bank syariah berkomitmen untuk memainkan peran penting dalam
pembiayaan.272

271
Indah Puji Astuti Utami, “Letter of Credit (L/C) Sebagai Cara Pembayaran Transaksi
Perdagangan Internasional Dalam Kerangka Asean Economic Community”, Privat Law, Vol. IV
No 1, 2016.
272
Emad Mohammad Al Amaren dkk, “Documentary Letter of Credit in Conventional and
Islamic Banks in Jordan”, International Journal of Multidisciplinary Science and Technology,
2020

Pengakuan Sertifikasi Halal


192
Secara Internasional
Perkembangan ekonomi syariah saat ini yang signifikan adalah industri
halal. Konsumen produk/jasa industri halal sekarang ini sudah bervariasi.
Industri halal kini semakin diminati banyak negara di dunia. Produk-produk
halal tidak hanya identik bagi kebutuhan masyarakat Muslim saja, masyarakat
non-Muslim di dunia juga mulai memilih mengkonsumsi produk halal. Artinya,
saat ini industri halal sudah menjadi trend konsumsi di seluruh dunia.
Kinerja ekspor produk halal juga menjadi salah satu faktor dalam
membaiknya perekonomian nasional. Sampai dengan Oktober 2021, ekspor
makanan halal mencapai 38,27 milliar dolar AS, tumbuh 35,60% dibanding
dengan periode yang sama (Oktober 2020).274 Apabila perkembangannya terus
didorong, industri halal akan membuka peluang dan berpotensi menjadi
pendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di masa yang akan datang.
Besarnya potensi industri halal menyebabkan negara Muslim maupun
non-Muslim berlomba-lomba mengembangkan bisnis berbasis syariah. Thailand
yang 94,63% penduduknya beragama Budha, sukses sebagai eksportir produk
pangan bersertifikasi halal terbesar di dunia. Sementara itu, Tiongkok berhasil
mengirimkan bahan sandang halal ke Timur Tengah. Jepang dan Korea Selatan
saat ini juga sangat aktif dalam mengembangkan industri halal, padahal kedua
negara tersebut mempunyai jumlah penduduk Muslim yang sangat sedikit.275
Industri ekonomi halal merupakan arus perekonomian baru yang berpotensi
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi global. Alasan banyak negara yang
mulai menggunakan produk/jasa halal karena terjamin keamanan, kebersihan,
dan kualitas pada keseluruhan rantai produksi atau proses pemenuhan jasa
tersebut.

274
Bank Indonesia, 2021, Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia, Bank Indonesia,
Jakarta
275
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


193
Secara Internasional
World Halal Forum Europe yang diselenggarakan di London, Inggris
pada tanggal 10-11 November 2010. Banyak ahli hukum dihadirkan dalam
forum tersebut. Perkembangan mengenai teoritis dan praktis terkait dengan isu
utama mengenai Halal Product and Services-Going Mainsteam dibahas pada
forum tersebut, salah satunya mengenai akreditasi dan sertifikasi halal
internasional.276
Di India (2004), perkembangan kondusif tentang pelaksanaan sertifikasi
produk halal serta penerimaan positif dari masyarakat setempat terus meningkat.
Paralel dengan New Zealand (2004), sejumlah restoran sangat memperhatikan
pentingnya ketersediaan produk halal di negara tersebut, sehubungan dengan
banyaknya wisatawan dari berbagai negara Muslim. Sama seperti negara-negara
Eropa lainnya, pasar produk makanan halal sedang berkembang di Belanda,
bersesuaian dengan perundang-undangan makanan yang Islami (Islamic Food
Laws). Dikemukakan oleh Tetty Havinga, bahwa makanan halal menjadi lebih
visible ditetapkan di berbagai supermarket, rumah sakit dan sekolah sebagai
bagian mata rantai penyediaannya. Namun dinamika ini sebagai mana
disebutkannya, dikritisi oleh para penyayang binatang dan mereka yang takut
Islamisasi masyarakat Belanda (the Islamisation of Dutch Society)277.
Seiring berkembangnya era globalisasi saat ini, penetapan kehalalan
produk pangan tidaklah semudah saat teknologi belum berkembang. Dengan
demikian, diperlukan adanya suatu jaminan dan kepastian akan kehalalan produk
pangan yang dikonsumsi oleh umat Muslim. Jaminan kehalalan suatu produk
pangan dapat diwujudkan dalam bentuk sertifikat halal yang menyertai suatu

276
Yusuf Shofie, “Jaminan atas produk halal dari sudut pandang hukum perlindungan konsumen,
Jurnal Syariah LKIHI FHUI, Ed 3, 2015.
277
Tetty Havinga, “Regulating Halal and Kosher Foods: Different Arrangements between State,
Industry and Religious Actors,” Erasmus Law Review, Vol. 3, Issue 4, 2010, hlm. 241-255

Pengakuan Sertifikasi Halal


194
Secara Internasional
produk pangan, sehingga produsen dapat mencantumkan logo halal pada
kemasannya.278
Beberapa perbandingan pengelolaan sertifikasi dan labelisasi halal di
beberapa negara, di antaranya:279 (1) Malaysia, di mana Malaysia adalah negara
federal dan menetapkan Islam sebagai agama negara federasi tersebut.
Pengkajian atas sertifikasi dan labelisasi halal di Malaysia menjadi penting
dalam penelitian ini karena untuk melihat pengelolaannya langsung di negara
Islam, sekaligus Malaysia adalah tetangga Indonesia; (2) Singapura adalah
negara sekuler yang mengakui kebebasan beragama, bahkan Singapura
mengakomodasi keberadaan agama Islam secara konstitusional, di mana
“Islamic Council” diberi kewenangan untuk memberi nasihat kepada Presiden
berkaitan dengan agama Islam. Hal ini juga penting untuk menjadikan Singapura
sebagai perbandingan mengingat Singapura juga negara tetangga Indonesia

Tabel 4.1 Perbandingan Sertifikasi dan Labelisasi Produk Halal di


Malaysia, Singapura, dan Indonesia
PENEGAKAN
NEGARA KELEMBAGAAN PROSES PENGAWASAN
HUKUM
Malaysia 1. Jabatan 1. Internal Halal Badan Pengawas 1. Sanksi pidana
Kemajuan Islam Committee Pengawal Pasal 28 dan
Malaysia (IHC) Bekalan Malaysia Pasal 29 Akta
(JAKIM) 2. Penerbitan Perihal
2. Majelis Agama Sertifikat Dagangan
Islam Negeri 2011
(MAIN) 2. Penarikan
produk dari
pasar oleh
IHC
Singapura Majelis Ugama 1. Enquiry Agri-Food Bertanggung-
Islam Singapura 2. Application Veterinary jawab dikenai
(MUIS) submission Authority (AVA) denda tidak
3. Processing melebihi

278
Anton Apriyantono dan Nurbowo, 2003, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Khairul
Bayaan, Jakarta, hlm. 24.
279
Dian Maris Rahmah, 2020, Penguatan Kelembagaan Jaminan Produk Halal Untuk
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Syariah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal, Tesis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Pengakuan Sertifikasi Halal


195
Secara Internasional
4. Certification sepuluh ribu
5. Post SGD, atau
certification penjara tidak
6. Renewal melebihi 12
bulan, atau
keduanya.
Indonesia 1. BPJPH; dibawah 1. Pengajuan BPJPH Belum ada
Kementerian permohonan sanksi pidana
Agama 2. Penetapan LPH yang berlaku
2. LPH; auditor 3. Pemeriksaan apabila pelaku
halal dan pengujian usaha tidak
3. MUI; 4. Penetapan melakukan
menerbitkan kehalalan sertifikasi dan
fatwa halal produk labelisasi halal.
5. Penerbitan BPJPH hanya
sertifikat halal memberikan
6. Label halal pembinaan,
7. Pembaruan karena adanya
sertifikat halal penahapan
8. Pembiayaan untuk
mandatory
certification
yang baru akan
berlaku per
2025
Sumber: Zulham, Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk
Halal, Jakarta: Kencana, 2018. (dengan penyesuaian oleh penulis)

Sektor industri halal merupakan salah satu pengerak inti dari ekonomi
Islam, maka pengaturan sertifikasi halal menjadi penting. Urgensi pentingnya
halal ini tidak hanya untuk kepentingan umat Islam semata dalam rangka
menjalankan perintah agama, namun juga menjadi indikator universal untuk
produk dan gaya hidup.280 Meningkatnya preferensi masyarakat dunia terhadap
industri halal bukan hanya karena keyakinan atau ajaran agama, melainkan
karena produk halal mempunyai jaminan baik dari sisi kualitas, kebersihan,
kesehatan dan keamanannya.281 Namun dalam praktiknya, regulasi pemerintah

280
Gillani, Ijaz dan Khan dalam Isti Nuzulul Atiah dan Ahmad Fatoni, “Sistem Jaminan Halal:
Studi Komparatif Indonesia dan Malaysia”, Syiar Iqtishadi, Journal of Islamic Economics,
Finance and Banking, Vol. 3 No. 2, November 2019, hlm. 38.
281
Isti Nuzulul Atiah dan Ahmad Fatoni, Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


196
Secara Internasional
terkait halal belum ada keselarasan secara global dan masih tertinggal.282 Perlu
adanya penguatan regulasi halal yang mendapat pengakuan baik secara nasional
maupun internasional, mengingat penguatan pasar berbasis halal sudah menjadi
trend dalam perdagangan global saat ini. Pengakuan ini termasuk dari lembaga-
lembaga perdagangan internasional, seperti World Trade Organization (WTO),
bahwa kebutuhan halal bukanlah menjadi hambatan bagi perdagangan
internasional, bahkan dengan adanya pengakuan halal akan meningkatkan
keuntungan secara ekonomi.

282
State of the Global Islamic Economy Report, “Global Islamic Economy Ker Drivers”,
https://cdn.salaamgateway.com/special-coverage/sgie19-20/full-report.pdf, hlm. 9, diakses
tanggal 27 Oktober 2021

Pengakuan Sertifikasi Halal


197
Secara Internasional
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adolf, Huala, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank syariah dari Teori ke Praktik, Gema
Insani Press, Jakarta.

Bank Indonesia, 2021, Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia,


Bank Indonesia, Jakarta

Bank Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia, Diskusi Panel Menjelang Milad
ke-42 MUI “Paradigma Arus Baru Ekonomi Indonesia” 24 Juli 2017.

Doi, A.Rahman I. 2002, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah


(Syariah),diterjemahkan dari buku asli Syariah The Islamic Law
penerjemah Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Dewi, Gemala, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, FH UI, Jakarta, 2005.

Zaman, Mariam Badruz, dkk,2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra


Aditya Bandung.

Zulham, 2018, Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim terhadap


Produk Halal, Kencana, Jakarta.

Jurnal

Atiah, Isti Nuzulul dan Ahmad Fatoni, “Sistem Jaminan Halal: Studi Komparatif
Indonesia dan Malaysia”, Syiar Iqtishadi, Journal of Islamic Economics,
Finance and Banking, Vol.3 No.2, November 2019.

Bachmid, Mochzani, “Penerapan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Bank


Berdasarkan Akad Pembiayaan Prinsip Perbankan Syariah”, Lex
Privatum, Vol. VI/No. 8/Okt/2018.

Pengakuan Sertifikasi Halal


198
Secara Internasional
Emad Mohammad Al Amaren, Emad dkk, “Documentary Letter of Credit in
Conventional and Islamic Banks in Jordan”, International Journal of
Multidisciplinary Science and Technology, 2020.

Rahayu, Agilistya, “Perdagangan Internasional Dalam Pandangan Islam (Studi


Kritik Terhadap Sistem Perdagangan Internasional Pada Organisasi
WTO)”, Jurnal El-Kahfi (Journal of Islamic Economic), Vol. 01 No. 02,
2020.

Salleh, Muhammad Syukri, “Strategizing Islamic Education”, International


Journal of Education and Research, Universiti Sains Malaysia, Vol. 1 No.
6 June 2013

Safitri, Muhammad Junaidi dan Abdulmuhaimin Fakhri, “Analisis Perbandingan


Pemikiran Abu ‘Ubaid Al Qasim dan Adam Smith Mengenai Perdagangan
Internasional”, Millah, Vol. XVII, No. 1, Agustus 2017.

Shofie, Yusuf, “Jaminan atas produk halal dari sudut pandang hukum
perlindungan konsumen”, Jurnal Syariah LKIHI FHUI, Ed 3, 2015.

Havinga, Tetty, “Regulating Halal and Kosher Foods: Different Arrangements


between State, Industry and Religious Actors”, Erasmus Law Review, Vol.
3, Issue 4, 2010.

Yuanitasari, Deviana & Kusmayanti, Hazar, “Pengembangan Hukum Perjanjian


dalam Pelaksanaan Asas Itikad Baik pada Tahap Pra Kontraktual”, Jurnal
Ilmu Hukum Kenotariatan Faktultas Hukum Universitas Padjadjaran, 29
Juni 2020.

Zubair, Muhammad Kamal dan Abdul Hamid, “Eksistensi Akad dalam


Transaksi Keuangan Syariah,” Jurnal Hukum Diktum, Vol. 14, No. 1, Juli
2016.

Hasil Penelitian/Tugas Akhir/Laporan

Brian J. Grim & Mehtab S. Karim, 2011, The Future of the Global Muslim
Population Projections for 2010-2030, Pew Research Center’s Forum on
Religion & Public Life, Washington D.C.

Himahanto, Juwana, et. All, 2013, Naskah Akademik tentang Ratifikasi Konvensi
PBB Mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Pengakuan Sertifikasi Halal


199
Secara Internasional
Lita, Helza Nova, 2006, Penerapam Prinsip-Prinsip Syariah pada Ketentuan
Letter of Credit (L/C) sebagai Alat Pembayaran dalam Perjanjian Ekspor
Impor dihubungkan dengan The Uniform Customs For Documentary
Credits (UCP 500), Tesis Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Rahmah, Dian Maris, 2020, Penguatan Kelembagaan Jaminan Produk Halal


untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Syariah Ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Tesis Ilmu
Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Internet/Website

Fajar, Taufik, “Bappenas: Indonesia Berpeluang Jadi Pasar Produk Halal


Terbesar
Dunia”https://economy.okezone.com/read/2019/01/03/320/1999366/bapp
enas-indonesia-berpeluang-jadi-pasar-produk-halal-terbesar-dunia.

Hasbiyah, Wiwik, “Hubungan Internasional dalam Ekonomi Islam”,


https://slideplayer.info/slide/13162230.

Perjalanan Dagang Rasulullah, https://www.republika.co.id/berita/dunia-


Islam/Islam-digest/18/10/19/pgt3gy313-perjalanan-dagang-rasulullah.

State of the Global Islamic Economy Report, “Global Islamic Economy Ker
Drivers”, https://cdn.salaamgateway.com/special-coverage/sgie19-
20/full-report.pdf, hlm. 9

United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods,


https://uncitral.un.org/sites/uncitral.un.org/files/media-
documents/uncitral/en/19-09951_e_ebook.pdf

Urgensi Integrasi Ummat dalam Perspektif Islamic International Trading,


https://www.iaei-pusat.org/article/ekonomi-syariah/urgensi-integrasi-
ummat-dalam-perspektif-Islamic-international-trading-1?language=id

Pengakuan Sertifikasi Halal


200
Secara Internasional
BAB V

PENGATURAN DAN PENGAKUAN


SERTIFIKASI HALAL INTERNASIONAL
Penulis: Helitha Novianty Muchtar, S.H., M.H.

Pada bab ini penulis membahas tentang pengaturan sertifikasi halal internasional. Halal
dan produk halal tidak akan lepas dari perdagangan internasional antar negara. Barang
dari satu negara akan beredar ke negara lain melalui jalur-jalur perdagangan
internasional. Kekosongan hukum mengenai pengaturan sertifikasi halal internasional
membuat kendala tersendiri bagi negara-negara mayoritas muslim, karena beberapa
negara menilai sertifikasi halal ini menjadi hambatan dalam perdagangan internasional.
Berdasarkan hal tersebut maka bab ini juga membahas mengenai urgensi pembentukan
aturan-aturan internasional terkait sertifikasi halal dan dasar bahwa sertifikasi halal
bukanlah hambatan perdagangan tetapi menjadi satu kewajiban bagi umat muslim untuk
menerapkannya, dengan dasar Pasal XX bahwa sertifikasi halal harus diterapkan dengan
dasar untuk melindungi moral public serta untuk mematuhi hukum agama dan peraturan
agama islam. Dengan adanya bab ini diharapkan WTO akan membentuk aturan
internasional terkait sertifikasi halal dan produk halal agar perdagangan barang dan jasa
dengan syarat “halal” tidak dianggap menghambat dan pelanggaran perdagangan
internasional.

A. Pemberlakuan Sertifikasi Halal dan Hambatan Teknis dalam


Perdagangan (Technical Barrier to Trade)

Dewasa ini sertifikasi halal tidak dapat dipisahkan dari perdagangan barang dan
jasa. Perdagangan barang dan jasa sudah tidak bisa dibendung lagi dari
perdagangan antar negara (transnasional). Perdagangan lintas negara sejak
dahulu sudah dilakukan oleh masyarakat dunia, di era modern saat ini, kegiatan
perdagangan antar negara menjadi berkembang sangat cepat dan semakin bebas.
World Trade Organization (WTO) menjadi salah satu organisasi dunia yang
dibentuk, sebagai upaya negara-negara dalam mengatur lalu lintas perdagangan
internasional.
Perdagangan barang dan jasa antar negara memerlukan hukum yang
mengatur aktivitas perdagangan internasional. Hukum dasar WTO tersebut

Pengakuan Sertifikasi Halal


201
Secara Internasional
mengatur tentang nondiskriminasi: masuknya barang atau produk ke pasar;
perdagangan yang tidak adil, hubungan antara liberalisasi perdagangan dengan
nilai-nilai serta kepentingan sosial ekonomi lainnya, dan mengatur harmonisasi
perangkat hukum nasional dalam bidang-bidang tertentu.283 Negara Indonesia
telah bergabung dalam anggota WTO, tentu mengikatkan diri pada segala
ketentuan yang dituangkan dalam Marrakesh Agreement, melalui ratifikasi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Indonesia tergabung dalam WTO dan menjadi negara anggota dengan
jumlah masyarakat Muslim terbesar, banyaknya komunitas Muslim di Indonesia
sangat memengaruhi regulasi dan kebijakan negara untuk melindungi warga
negaranya. Salah satu regulasi yang dibuat pemerintah untuk masyarakat
Muslim adalah sertifikasi halal bagi produk barang dan jasa. Label halal pada
produk barang menjadi kebutuhan masyarakat Muslim di Indonesia, karena
merupakan kebutuhan asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi Indonesia.
Pemilihan makanan untuk umat Muslim telah ditentukan oleh al-Qur’an dan
Hadis, oleh sebab itu masyarakat Muslim cukup selektif dalam memilih
makanan dan produk lain yang digunakan dalam keseharian. Makanan dan
produk tersebut harus dipastikan halal dan terdapat jaminan serta keyakinan,
bahwa produk tersebut halal dan dapat dimakan atau digunakan oleh umat
Muslim.
Undang-Undang Jaminan Produk Halal resmi diundangkan pada 7
Oktober 2014 sebagai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH). Hal ini menjadikan sertifikasi
halal sebagai kewajiban (mandatory) terhadap semua barang atau jasa yang

283
Peter van den Bossche, Daniar Natakususmah, Joseph Wira Koesnaidi, 2010, Pengantar
Hukum WTO (World Trade Organization), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 3.

Pengakuan Sertifikasi Halal


202
Secara Internasional
diperjualbelikan di Indonesia. Dengan adanya UUJPH ini, dapat menimbulkan
hambatan bagi perdagangan barang atau jasa dari luar negeri yang akan
diperjualbelikan di wilayah Indonesia, karena barang yang masuk dan beredar di
Indonesia harus melalui proses sertifikasi halal. Hal ini akan menimbulkan
kesulitan dan hambatan bagi negara lain yang akan melakukan perdagangan
dengan Indonesia. Salah satu mitra dagang Indonesia yakni Uni Eropa, bahkan
menyatakan bahwa UUJPH sebagai aturan yang paling kompleks dan kejam
dibanding aturan-aturan di negara lainnya. Menurut Delegasi Uni Eropa, aturan
dalam UUJPH juga akan menimbulkan biaya untuk memproduksi dan
mengekpor produk ke Indonesia, dan hal ini menjadi hambatan perdagangan
impor mereka ke Indonesia.284
Dasar pertimbangan menilai apakah undang-undang halal merupakan
hambatan teknis perdagangan, untuk memastikan apakah undang-undang
tersebut merupakan peraturan teknis sebagaimana yang didefinisikan dalam
Lampiran 1.1 Technical Barriers to Trade (TBT). Peraturan teknis sebagaimana
yang dimaksud dalam TBT, adalah dokumen yang menetapkan karakteristik
produk atau proses terkait dan metode produksinya, termasuk ketentuan
administratif yang berlaku dan wajib dipatuhi. Ini juga dapat mencakup atau
menangani secara eksklusif persyaratan terminologi, simbol, pengemasan,
penandaan, atau pelabelan yang berlaku untuk suatu produk, proses, atau metode
produksi.285
Penentuan lebih lanjut apakah undang-undang tersebut merupakan
regulasi teknis, yurisprudensi WTO memberikan wawasan yang signifikan.

284
“Uni Eropa Kritik Undang-Undang Halal Indonesia”, http://www.zona-
halal.com/2015/03/uni- eropa-kritik-undang- undang-halal.html., diakses 28 Oktober 2021.
285
Michelle Limenta, et all, Disabling Labeling: The WTO Consistency of the Indonesian
Mandatory Halal Labeling Law, Working Paper No 2016/08. World Trade Institute, may, 2016,
https://boris.unibe.ch/97933/1/working_paper_no_8_2016_limenta_el_at.pdf.

Pengakuan Sertifikasi Halal


203
Secara Internasional
Dalam EC – Asbes286 serta beberapa kasus terkait Asbestos, tiga tingkat
ditafsirkan untuk membantu menentukan regulasi teknis. Hal yang dimaksud
adalah287:
1. tindakan tersebut berlaku untuk produk yang dapat diidentifikasi dari
kelompok produk;
2. ukuran tersebut menetapkan karakteristik produk; dan
3. kesesuaian dengan karakteristik produk yang ditetapkan dalam ukuran
adalah wajib.
Sejumlah ketentuan dalam UUJPH mensyaratkan pelabelan dan proses
sertifikasi yang memberatkan, dan berpotensi menimbulkan masalah konsistensi
dengan TBT Agreement. Mengingat sertifikasi halal memainkan peran yang
cukup penting dalam perdagangan global, ke depannya UUJPH dikhawatirkan
memiliki potensi dalam membatasi perdagangan, dan melumpuhkan hubungan
perdagangan Indonesia dengan mitra dagang WTO lainnya.
Peraturan yang dinilai dapat menimbulkan hambatan perdagangan (trade
barrier) dan mempersulit akses pasar, tentu tidak sesuai dengan aturan dan
tujuan adanya WTO sebagai organisasi perdagangan dunia. Perdagangan
internasional yang harmonis dapat terwujud apabila akses pasar yang ada bebas
dari hambatan atau barrier, baik hambatan tarif ataupun nontarif. Dalam aturan
WTO, ketentuan yang mengatur hal ini terdapat dalam General Affair on Tariffs
to Trade (GATT) 1994, General Agreement on Trade in Service (GATS),

286
EC-Asbestos adalah salah satu kasus dasar tentang produk-produk makanan dan minuman
untuk menentukan regulasi teknis masuknya barang/jasa ke satu negara, putusan panel dalam
kasus ini menjadi acuan apaakah satu kebijakan pemerintah satu negara masuk ke dalam regulasi
teknis atau tidak, Pada 24 Desember 1996, Perdana Menteri Perancis melarang masuknya
asbestos dari negara lain dengan mengeluarkan Keputusan No. 96-1133. Kanada menggugat
Keputusan Perdana Menteri Perancis tentang larangan impor asbestos dari Kanada yang efektif
berlaku mulai Januari 1997. Ekspor ini sangat penting bagi Qubec (Kanada) sebagai penghasil
asbestos.
287
Appellate Body Report, EC – Asbestos, above n. 19, at paras. 66-70.

Pengakuan Sertifikasi Halal


204
Secara Internasional
Technical Barier to Trade (TBT) Agreement dan Sanitary and Phytosanitary
(SPS) Agreement.
TBT Agreement merupakan salah satu perjanjian yang ditujukan untuk
meminimalisir adanya hambatan, terutama terkait peraturan teknis yang
memberlakukan suatu persyaratan komposisi, kualitas, keamanan, proses
produksi, label dan lain-lain, suatu produk yang diperdagangkan dalam wilayah
negara WTO.288 TBT Agreement mulai berlaku pada 1 Januari 1995, sebagai
salah satu persetujuan di bawah Annex IA dari Agreement Establishing the World
Trade Organization (WTO Agreement). WTO Agreement sendiri merupakan
dokumen akhir (final document) hasil dari Putaran Uruguay yang ditandatangani
oleh 111 (seratus sebelas) negara, pada tanggal 15 April 1994.
Uji konsistensi UUJPH terhadap TBT Agreement perlu ditelaah, untuk
menentukan apakah langkah-langkah dalam peraturan tersebut termasuk dalam
hambatan perdagangan.

1. Potensi Diskriminasi dalam Pelaksanaan UUJPH


Pasal 47 UUJPH mengharuskan dilakukannya sertifikasi kembali terhadap
produk luar negeri yang telah dibubuhkan label halal apabila tidak terdapat kerja
sama saling pengakuan. Produk halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia
wajib memiliki label halal dan mengikuti proses jaminan produk halal sesuai
dengan UUJPH.
Ketentuan UUJPH juga menyatakan bahwa produk halal dari luar negeri
tidak perlu diajukan permohonan sertifikat halalnya, sepanjang sertifikat halal
diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama
pengembangan dan/atau penilaian kesesuaian halal. Dengan kata lain, untuk
pihak yang tidak melakukan kerja sama dengan Indonesia, meskipun telah

288
Peter van den Bossche, Daniar Natakususmah, Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit., hlm. 83.

Pengakuan Sertifikasi Halal


205
Secara Internasional
memiliki label halal, maka tetap harus melaksanakan proses sertifikasi halal
sesuai dengan pengaturan UUJPH.
Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal menyatakan, bahwa
produk halal yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri
yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sertifikat halal dengan
BPJPH, tidak perlu diajukan permohonan sertifikat halal.
Label yang disyaratkan itu sendiri bukanlah label yang secara umum
membedakan produk sebagai halal, melainkan label yang telah disetujui oleh
otoritas sertifikasi halal Indonesia. Ketentuan tersebut secara sekilas dapat
mengindikasikan adanya diskriminasi. Hal ini dikarenakan meskipun produk
asing yang masuk telah bersertifikasi dan berlabel halal yang dikeluarkan
otoritas resmi suatu negara anggota WTO, produk tersebut belum dapat masuk
beredar di Indonesia jika belum tersertifikasi halal di Indonesia atau jika
sertifikasi halalnya bukan berasal dari negara yang telah memiliki kerja sama
saling pengakuan.
Tindakan tersebut secara tidak langsung, dapat memberikan kesan
adanya perbedaan perlakuan antara produk halal yang berasal dari satu negara
dengan negara lain. Sedangkan, ketentuan halal di semua negara seharusnya
sama, karena mengikuti aturan hukum yang ada di dalam al-Qur’an dan
Sunah.289 Tindakan diskrimasi tersebut tidak sejalan dengan ketentuan yang
terdapat pada Pasal 2(1) TBT Agreement yang mengatur bahwa sehubungan
dengan peraturan teknis, produk impor “shall be accorded treatment no less
favourable than that accorded to like products of national origin and to like
products originating in any other country”.290

289
Hambali, “Pemberlakuan Sertifikasi Halal Secara Wajib Terhadap Produk Asing Menurut
Persetujuan Tentang Hambatan Teknis dalam Perdagangan (Technical Barrier to Trade
Agreement)”, Nurani Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, Desember 2019, hlm. 55.
290
Pasal 2(1), Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement).

Pengakuan Sertifikasi Halal


206
Secara Internasional
Prinsip utama dari perdagangan internasional yang dinormakan dalam
GATT adalah adalah prinsip nondiskriminasi. Prinsip ini dilandasi oleh prinsip
persamaan kedudukan dalam hukum internasional (equality). Prinsip ini
melarang negara memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) dalam
melakukan aktivitas ekonomi internasionalnya. Seperti yang telah diungkapkan
dalam BAB III, prinsip nondiskriminasi ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
Prinsip Most Favoured Nation dan Prinsip National Treatment. Prinsip Most
Favoured Nation (MFN) merupakan prinsip yang terpenting dalam hukum
ekonomi internasional.291
Prinsip MFN merupakan prinsip perdagangan internasional antar negara
anggota yang harus dilakukan secara nondiskriminasi. Prinsip ini mensyaratkan
bagi suatu negara untuk tidak memberikan perlakuan diskriminasi antara barang
dan pemberi barang dari negara-negara lainnya. Sedangkan apabila prinsip
MFN melarang negara memberikan perlakuan berbeda antara negara asing yang
satu dengan negara yang lain, maka prinsip National Treatment melarang negara
memberikan perlakuan berbeda antara perusahaan nasional atau produk asing.292
Ditinjau dari prinsip MFN, sertifikasi halal dapat menjadi pelanggaran
MFN jika Indonesia menolak kerja sama kesesuaian dan pengembangan JPH,
penilaian kesesuaian, dan/atau pengakuan sertifikat halal. Implikasi dari
persyaratan kerja sama ini, bahwa Indonesia tidak dapat menolak kerja sama
dengan negara lain terkait dengan sertifikasi halal.
Halal dapat tidak dikategorikan menjadi diskriminasi jika sertifikasi halal
ini menjadi norma atau bagian dari perdagangan internasional, dari prinsip MFN
halal ini tidak dapat dikategorikan sebagai perlakuan yang diskriminasi, karena
pelaksanan label halal ini tidak hanya ditujukan pada produk dari satu negara,

291
Puja Dwi Ananda Dan Ramlan, “Prinsip Non-Diskriminasi Dalam Penerapannya Pada
Peraturan Bank Indonesia Tentang Gerbang Pembayaran Nasional,” Journal of International
Law, Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 67-89.
292
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


207
Secara Internasional
melainkan untuk semua produk dari berbagai negara yang akan masuk ke
Indonesia harus diberikan sertifikasi halal.
Prinsip National Treatment, mensyaratkan bahwa setiap negara anggota
untuk memperlakukan barang dan pemberi jasa dari negara-negara anggota
lainnya, harus sama dengan perlakuan yang diberikan terhadap barang atau
pemberi barang dari negaranya 293.
Ditinjau dari prinsip National Treatment sertifikasi halal ini tidak dapat
dikategorikan sebagai diskriminasi produk dalam negeri dan produk dari negara
lain, karena sertifikasi halal produk dalam negeri juga merupakan kewajiban dari
pelaku usaha dalam negeri. Pelaku usaha dalam negeri ketika mengeluarkan
produk, maka produk tersebut akan ditanyakan mengenai sertifikasinya dan
diharuskan menyematkan logo halal dalam produk.

2. Bersifat Terlalu Membatasi Dari yang Seharusnya (Restrictive)


Ketentuan UUJPH yang dapat dianggap membatasi adalah ketentuan tentang
kewajiban untuk mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada
kemasan produk, atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat,
dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
produk. Hal ini dinilai dapat menjadi hambatan bagi importir, terutama yang
beroperasi dalam skala lebih kecil, yang tidak memiliki sarana untuk mengubah
seluruh rantai produksi dan distribusi, agar sesuai dengan persyaratan pelabelan,
produksi, penyimpanan dan transportasi dalam UUJPH.
Ketentuan UUJPH tersebut dapat dinilai bertentangan dengan
pengaturan yang diatur Pasal 2(2) TBT Agreement, menjelaskan bahwa
‘technical regulations shall not be more trade-restrictive than necessary to fulfil
a legitimate objective, taking account of the risks non-fulfilment would create”,
yang artinya peraturan teknis tidak boleh lebih terlalu membatasi perdagangan

293
Huala Adolf, 2006, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 40.

Pengakuan Sertifikasi Halal


208
Secara Internasional
daripada yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang sah, dengan
mempertimbangkan risiko yang akan timbul jika tidak terpenuhi 294 yang
kemudian dapat menahan atau memaksa pelaku bisnis yang tidak mampu untuk
keluar dari pasar.
Perjanjian TBT sebenarnya memberikan fleksibilitas yang terbatas
kepada negara-negara anggotanya. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 2.1 Perjanjian
TBT, yang menyatakan bahwa: “Para pihak harus memastikan bahwa peraturan
dan standar teknis tidak disiapkan, diadopsi atau diterapkan dengan maksud
untuk menciptakan hambatan bagi perdagangan internasional”. Dalam hal
sertifikasi halal, ketentuan halal tidak bermaksud untuk membatasi barang-
barang impor untuk masuk ke Indonesia, hanya saja karena mayoritas
masyarakat Indonesia adalah Muslim, maka halal ini menjadi satu keharusan
bagi Muslim dan tidak dapat dikesampingkan, oleh karena itu pemerintah
membuat UUJPH dengan maksud untuk melindungi masyarakat Muslim.
Produk yang diimpor dari wilayah negara pihak manapun, harus
diberikan perlakuan sama seperti yang diberikan kepada produk sejenis yang
berasal dari negara asalnya, serta produk sejenis lainnya yang berasal dari negara
manapun, sehubungan dengan peraturan jaminan produk halal tersebut. Mereka
juga harus memastikan bahwa peraturan, standar teknis, maupun penerapannya
tidak menimbulkan hambatan terhadap perdagangan internasional.
Sifat fleksibel TBT memang membuka jalan untuk halal, tetapi pada sisi
lain sifat fleksibel ini juga menimbulkan banyak gugatan bagi Indonesia, salah
satunya adalah sengketa impor ayam dari Brazil. Hal ini menimbulkan tantangan
bagi negara untuk menyelesaikan bebannya dalam menjaga keharmonisan dalam
perdagangan internasional, dengan cara mematuhi standar internasional dan
tidak bertentangan dengan kewajiban negara untuk menjaga keamanan warga

294
Pasal 2(2), TBT Agreement.

Pengakuan Sertifikasi Halal


209
Secara Internasional
dan pasar domestiknya. Berdasarkan pengalaman Indonesia dalam menghadapi
tantangan, sebaiknya pemerintah (khususnya regulator) fokus pada konten
substantif standardisasi, khususnya konten teknis dan metode pengembangan
atau prosedur.
Kedua aspek tersebut secara khusus, dapat membantu mengatasi
tantangan penyusunan dan harmonisasi peraturan, sehingga dapat mengurangi
ketegangan dalam perdagangan. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa
perbaikan prosedur dalam menetapkan standar, dapat membantu pemerintah
untuk memiliki koordinasi nasional yang lebih baik, fokus pada masalah
prioritas dan tugas dasar tertentu, serta menciptakan koordinasi yang relevan.
Selain itu, penekanan pada isi teknis dan prosedur dasar dapat mencegah
terjadinya ketidakpastian hukum.
Memfokuskan prioritas pada aspek teknis dan pengembangan metode,
akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi harmonisasi regulasi, dan
mengurangi atau mencegah hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan
internasional. Partisipasi efektif dan efisien dari regulator dan aktor lain,
memiliki peran penting untuk memastikan bahwa standar atau peraturan yang
disusun, diselaraskan, dan ditetapkan relevan dengan regulator, pemerintah, dan
hukum nasional negara tersebut.
Fleksibilitas ini ditemukan dalam beberapa cara. Pertama, kata "relevan"
itu sendiri (Pasal 2.4 dan 5.4), memberi ruang bagi negara-negara anggota untuk
menilai bahwa standar internasional tidak relevan dengan kondisi tertentu dalam
kepentingan nasional terhadap kebijakan tertentu. Kedua, negara-negara anggota
memiliki kewajiban untuk menggunakan standar yang relevan sebagai dasar
suatu peraturan, yang artinya belum tentu wajib dalam implementasinya. Ketiga,
suatu standar dapat dianggap “tidak efektif” atau “tidak pantas”. Keempat, dalam
keadaan tertentu, anggota yang merupakan negara berkembang tidak dibebani
kewajiban untuk menggunakan standar internasional yang tidak sesuai dengan

Pengakuan Sertifikasi Halal


210
Secara Internasional
kebutuhan pembangunan, keuangan, dan perdagangan mereka. Hal ini diatur
dalam Pasal 12.4 tentang Perlakuan Khusus dan Diferensial. Selain itu,
Perjanjian TBT juga membebaskan para anggotanya untuk membentuk
peraturan domestik mereka sendiri jika didedikasikan untuk melindungi
kesehatan dan keselamatan konsumen, lingkungan, dan keamanan nasional.
Kebebasan ini sesuai dengan Pembukaan dan Pasal 2.2 Perjanjian TBT
yang menjelaskan, bahwa peraturan domestik dianggap sah dan sah meskipun
tidak sesuai dengan standar internasional, jika didedikasikan untuk persyaratan:
(i) keamanan nasional; (ii) pencegahan praktik penipuan; (iii) perlindungan
untuk kesehatan atau keselamatan manusia; (iv) kehidupan atau kesehatan
hewan atau tumbuhan atau lingkungan; (v) iklim mendasar atau faktor geografis
lainnya; dan (vi) masalah teknologi mendasar.
Negara-negara anggota tidak diharuskan menggunakan standar
internasional sebagai dasar peraturan mereka, baik untuk peraturan teknis
maupun prosedur penilaian kesesuaian, jika standar tidak akurat atau tidak
efektif dalam mencapai tingkat perlindungan yang diinginkan, sehubungan
dengan tujuan peraturan, hal ini terdapat dalam Pasal 5.4 Perjanjian TBT, 1995.
Badan Banding menentukan efektivitas standar internasional. Badan
Banding menyatakan bahwa standar tidak efektif berarti tidak memiliki fungsi,
fasilitas pemenuhan, dan hasil dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai. Hal
ini diuangkapkan dalam Laporan Panel AS, para 7, 730; para 7, 721; para 7, 116;
para 274-275; para 285-290. Artinya, ada kemungkinan standar internasional
yang telah diratifikasi oleh lembaga standardisasi nasional di negara tertentu,
dibiarkan tidak digunakan oleh regulator dan tidak diberlakukan di negara yang
bersangkutan.
Peraturan jaminan produk halal maupun penerapannya, tidak boleh
menimbulkan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional.
Setiap negara harus memastikan bahwa peraturan teknis dan standar yang

Pengakuan Sertifikasi Halal


211
Secara Internasional
diberlakukan dalam Perjanjian TBT, tidak bertujuan untuk menciptakan
hambatan perdagangan. Dengan kata lain, suatu negara tidak boleh membuat
standar yang menyebabkan hambatan yang tidak perlu terhadap kegiatan
perdagangan, suatu peraturan dapat dianggap sebagai akibat menjadi hambatan
yang tidak perlu jika pemberlakuan peraturan dibuat terlalu ketat meskipun
tujuan peraturan dapat dicapai tanpa standarisasi yang ketat tersebut.
Jaminan produk halal tidak akan dinilai terlalu ketat jika aturan halal
yang diambil dari al-Qur’an dan hadis, dinormakan dalam perjanjian
internasional terkait halal dan diadopsi menjadi hukum nasional, maka tidak
akan ada ukuran yang terlalu ketat.

3. Keseragaman Sertifikasi Halal dalam Perdagangan Internasional


Kerangka peraturan sektor halal sangat kompleks, karena bervariasi antar
wilayah dan negara. Negara-negara mayoritas Muslim mengambil pendekatan
yang berbeda dari negara-negara minoritas Muslim, dan kerangka kerja regional,
seperti untuk ASEAN atau Gulf Cooperation Council, juga sedang
dikembangkan, seperti standar dan kerangka kerja untuk 57 negara anggota
Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Seluruh lanskap regulasi pasar halal secara global terus berkembang.
Tantangan utama dalam mengembangkan kerangka peraturan pasar halal adalah
membawa sektor makanan dan minuman halal ke tingkat kepatuhan peraturan
yang sama dengan keamanan dan kualitas di sektor makanan utama. Secara
umum, kerangka peraturan terdiri dari elemen-elemen berikut:
a. definisi, pedoman dan standar;
b. audit dan sertifikasi; serta
c. akreditasi.
Definisi halal pertama yang diakui secara internasional, dari perspektif
pasar, disiapkan pada tahun 1997 oleh Codex Alimentarius Commission, sebuah

Pengakuan Sertifikasi Halal


212
Secara Internasional
badan yang didirikan oleh Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO). Hal Ini berfungsi sebagai definisi entry-level praktis untuk
pemahaman umum. Beberapa pedoman halal diterapkan atas dasar sukarela
untuk penggunaan domestik di negara tertentu, terhadap produk yang tidak
diekspor. Hal ini berperan ketika kita mempertimbangkan pasar halal domestik
bagi diaspora Muslim. Makanan halal adalah bagian dari pasar makanan global.
Secara umum, sektor makanan utama diatur dengan sangat ketat, dengan sistem
keamanan dan kualitas yang canggih dan sangat berkembang yang diciptakan
oleh negara-negara maju.
Peraturan untuk produk serta industri halal kurang berkembang di
negara-negara minoritas Muslim, hal ini membuat peraturan terkait produk halal
akan tertinggal dengan perkembangan industri makanan dan minuman. Untuk
produk-produk yang diekspor dari negara-negara minoritas Muslim, hal teknis
yang dilakukan adalah pemeriksaan produk tersebut berdasarkan kategori
minimal untuk pemeriksaan produk halal, hal ini dilakukan agar produk tersebut
dapat cepat masuk ke pasar.
Kebutuhan akan kerangka peraturan yang lebih baik menjadi sangat
penting, karena pasar produk halal telah berkembang pesat. Berbagai inisiatif
untuk pengembangan standar halal dan rencana sertifikasi, belum
dikoordinasikan oleh badan-badan perdagangan internasional. Koordinasi
sertifikasi halal mengalami kesulitan pada setiap tingkat dan jenjangnya, baik
dari organisasi Islam domestik, badan standar nasional, badan akreditasi
regional, bahkan badan global. Kesulitan tersebut karena tidak ada hierarki dan
metodologi yang disepakati untuk memandu prosesnya, serta kesenjangan antara
tingkat kompetensi yang dibutuhkan, misalnya, banyak standar ISO dan
kenyataan yang mengatur industri makanan dan minuman halal seringkali
meluas. Cara untuk menutup kesenjangan tersebut adalah melalui serangkaian

Pengakuan Sertifikasi Halal


213
Secara Internasional
inisiatif independen seperti perjanjian bilateral antar negara, bukan upaya
kolektif yang terkoordinasi.
Konsumsi produk halal adalah kewajiban bagi setiap konsumen Muslim,
maka halal dijadikan dasar oleh konsumen Muslim untuk mengambil tindakan
konsumsi. Pada gilirannya, negara yang menerapkan sertifikasi halal dapat
menggunakan Pasal XX GATT, khususnya paragraf (a), (b) dan (d), dalam
perdagangan internasional. Pasal XX menetapkan bahwa tidak ada satu pun
dalam GATT yang akan menghalangi negara anggota untuk mengambil tindakan
yang: (a) diperlukan untuk melindungi moral publik; (b) diperlukan untuk
melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan; dan (d)
diperlukan untuk menjamin kepatuhan terhadap hukum dan peraturan. Namun
negara tersebut harus memenuhi syarat-syarat dalam chapeau Pasal XX.
Dalam pelaksanaan Pasal XX diperlukan adanya uji-uji dan pembuktian
bahwa sertifikasi halal merupakan kategori perlindungan moral public dan untuk
melindungi kehidupan serta kesehatan manusia serta merupakan hal pokok
untuk memenuhi kepatuhan terhadap aturan agama. Dengan adanya pembuktian
ini akan menunjukkan bahwa peraturan sertifikasi halal bukan bertujuan untuk
menghambat perdagangan, meskipun berdasarkan beberapa yurisprudensi WTO
dasar hukum Pasal XX tidak mudah dibuktikan, tetapi upaya-upaya untuk
menegakkan dan membuat peraturan sertifikasi halal harus dilakukan untuk
kepentingan umat Islam di Indonesia khususnya dan umat Islam seluruh dunia
pada umumnya.
Indonesia memiliki hak berdaulat membatasi perdagangan untuk tujuan
kebijakan yang sah. Ini memberikan tantangan yang menarik. Di satu sisi, WTO
sudah selayaknya tidak ikut campur dalam masalah agama dan kepercayaan dan
harus mengakui otonomi regulasi yang dimiliki Indonesia sebagai negara
anggota. Sedangkan anggota WTO sepakat untuk tidak memberlakukan
langkah-langkah teknis berupa hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan.

Pengakuan Sertifikasi Halal


214
Secara Internasional
Memungkinkan bagi Indonesia untuk mengajukan argumen, bahwa
pengecualian harus diberikan pada UUJPH perspektif moral publik.
Konstruksi hukum konsumsi halal dapat dijelaskan sebagai kepentingan
hak asasi manusia, karena berhubungan langsung dengan hak asasi beragama.
Konsep public order atau kepentingan moral publik menjadi alasan penting
sebagai dasar untuk menguatkan bahwa halal bukanlah hambatan, tetapi
kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Perlindungan keyakinan agama menjadi
tujuan yang sah sebagai moral publik, hal ini tercermin dalam niat para perumus
UUJPH untuk melindungi kebebasan beragama, sebagaimana diabadikan dalam
Konstitusi Indonesia. Indonesia juga dapat menggunakan Pasal 2.2 Perjanjian
TBT295 untuk mempertahankan UUJPH, dengan alasan bahwa UUJPH tersebut
diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah, yaitu moral publik dan perlindungan
keyakinan agama.

B. Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Bilateral


Pengakuan Sertifikasi Halal

Pada era globalisasi dan revolusi industri 4.0 saat ini, hubungan antar negara
tidak bisa dibendung lagi, begitu pula dengan perdagangan barang bersertifikat
halal, di mana negara-negara di seluruh dunia melaksanaan perdagangan antar
negara. Sedangkan barang atau jasa khususnya makanan, tidak dapat dipisahkan
dari kebutuhan konsumen untuk mendapatkan makanan halal. Sehingga dalam
perdagangan barang dan jasa antar negara, diperlukan kebijakan untuk
mendukung negara-negara melaksanakan perdagangan tanpa hambatan.
Sertifkasi halal diharapkan tidak menjadi hambatan perdagangan barang
dan jasa antar negara, oleh karena itu diperlukan perjanjian antar negara untuk

295
Panel Reports, European Communities – Measures Prohibiting the Importation and Marketing
of Seal Products, WT/DS400/R and Add.1 / WT/DS401/R and Add.1, adopted 18 June 2014,
para 7.419.

Pengakuan Sertifikasi Halal


215
Secara Internasional
menjembatani perdagangan barang dan jasa bersertifikat halal. Perjanjian antar
negara dapat dilakukan secara bilateral, regional maupun multilateral, untuk
mengetahui bagaimana konsep menjembatani kepentingan negara-negara terkait
sertifikasi halal, dalam sub bab ini kita akan mengulas sedikit tentang perjanjian
internasional.
Perjanjian internasional menjadi hal penting dalam hubungan antar
negara. Melalui perjanjian internasional, setiap negara dapat menggariskan dasar
kerja sama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai
masalah demi keberlangsungan hidup masyarakat itu sendiri.296 Perjanjian
internasional merupakan sumber hukum utama dalam perdagangan antar negara,
karena perjanjian internasional merupakan instrumen yuridis yang dapat
menampung kehendak dan kesepakatan antar negara terhadap objek dan subjek
hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan
bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut, merupakan dasar hukum
internasional untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum
internasional lainnya di dunia.297
Perbuatan hukum salah satunya adalah perjanjian. Perjanjian bagi para
pihak mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Demikian pula dalam perjanjian internasional, perjanjian ini mengikat bagi para
pihak, para pihak dalam perjanjian internasional adalah subjek hukum
internasional, dalam hal ini adalah negara, ketentuan dalam perjanjian
internasional ini menjadi hukum internasional.
Perjanjian Internasional adalah salah satu sumber dari hukum
internasional yang diakui oleh masyarakat internasional, maka perjanjian
internasional dimasukkan sebagai sumber hukum internasional yang dimuat

296
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 82.
297
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


216
Secara Internasional
dalam Pasal 38(1) dari Piagam Mahkamah Internasional. Dalam perjanjian
internasional juga mengenal asas Pacta Sun Servanda yang menjelaskan, bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan mengikat dan harus ditaati.
Pengertian perjanjian internasional sendiri terdapat dalam Pasal 2(1)(a)
Konvensi Wina 1969 yang mengatur bahwa “An international agreement
concludes between states in written form and governed by international law,
whether embodied in a single instrument or in two or more instruments and
whatever its particular designation.”298
Perjanjian internasional dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan
diatur oleh hukum internasional, baik yang diwujudkan dalam satu instrumen
tunggal, atau dalam dua bahkan lebih instrumen. Pengertian perjanjian
internasional tidak hanya terdapat dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi
Wina 1986, namun juga dimuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
yaitu “Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu
yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.”299
Beberapa ahli juga memberikan pengertian dari perjanjian internasional,
sebagaimana Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa perjanjian
internasional merupakan perjanjian yang diadakan oleh anggota masyarakat
bangsa-bangsa yang mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat-akibat
hukum tertentu.300 Dilihat dari beberapa pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:301

298
Anthony Aust, 2010, Handbook of International Law, Cambridge University Press, New
York, hlm. 50.
299
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional.
300
Eddy Pratomo, 2011, Hukum Perjanjian Internasional (Pengertian, Status Hukum, dan
Ratifikasi), Alumni, Jakarta, hlm. 46.
301
Anthony Aust, Op. Cit., hlm. 51.

Pengakuan Sertifikasi Halal


217
Secara Internasional
1. perjanjian international harus berbentuk tertulis agar dapat dijadikan bukti
otentik, bahwa perjanjian tersebut memang ada dan benar merupakan hasil
dari kesepakatan para negara pihak. Biasanya kesepakatan akan dirumuskan
menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh para pihak, tetapi pada
umunya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa yang digunakan
hampir seluruh dunia yang merupakan bahasa pergaulan di dunia
international;
2. perjanjian internasional diatur oleh hukum internasional, karena perjanjian
internasional pasti membebani para pihak dengan hak dan kewajiban.
Sehingga muncul akibat hukum bagi para pihak, maka perjanjian tersebut
harus tunduk pada hukum internasional, maupun hukum perjanjian
internasional pada umumnya;
3. perjanjian internasional mempunyai objek tertentu. Pada prinsipnya setiap
perjanjian pasti memuat objek yang akan diperjanjikan, begitu juga dengan
perjanjian internasional, biasanya objek tersebut akan menjadi nama dari
perjanjian yang akan dilaksanakan, mengingat dalam perjanjian
international tidak diatur secara sistematis penggunaan nama.
Nomenklatur perjanjian internasional tidak diatur secara sistematis,
sehingga muncul banyak istilah perjanjian internasional dan cukup sulit
dibedakan makna antar istilah tersebut. Adapun istilah-istilah dalam
nomenklatur perjanjian internasional antara lain sebagai berikut: 302
1. Treaty; adalah istilah yang digunakan untuk perjanjian multilateral antar
banyak negara yang substansi perjanjian tersebut sangat penting bagi para
pihak.
2. Convention atau konvensi; merupakan perjanjian yang dihasilkan dari
pelaksanaan konferensi, biasanya bersifat sangat penting sehingga

302
Eddy Pratomo, Op., Cit. hlm. 60-61.

Pengakuan Sertifikasi Halal


218
Secara Internasional
mewajibkan negara-negara untuk turut serta dalam perjanjian tersebut,
umumnya konvensi akan berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang
mengatur suatu isu penting dan dapat berlaku secara luas. Salah satunya
konvensi di bidang lingkungan yaitu konvensi kerangka kerja PBB
mengenai perubahan iklim (UNFCCC 1992).
3. Agreement dan arrangement; kedua istilah perjanjian internasional ini
biasanya mengatur hal-hal yang sangat khusus mengenai teknis dan bersifat
administratif, maka biasanya jika perjanjian internasional menggunakan
istilah ini, maka substansi yang diatur mengenai masalah teknis dan ruang
lingkupnya tidak begitu luas.
4. Memorandum of Understanding (MoU); merupakan perjanjian
internasional yang kurang resmi (informal) sehingga bersifat non-legally
binding, namun sekarang menurut perkembangannya MoU sudah banyak
digunakan sebagai perjanjian internasional yang bersifat formal dan
mengikat. Istilah MoU biasanya digunakan untuk perjanjian internasional
berupa peraturan pelaksanaan dari suatu perjanjian internasional yang lebih
tinggi tingkatannya.
5. Declaration atau pernyataan; merupakan kesepakatan para pihak yang
hanya bersifat umum saja dan mengatur hal yang pokok-pokok saja,
sehingga pada umumnya deklarasi lebih bersifat soft law. Soft law bersifat
tidak mengikat secara hukum, akan tetapi biasanya para pihak tetap akan
mematuhi deklarasi tersebut seperti Deklarasi Rio 1992 yang telah menjadi
dasar terbentuknya perjanjian internasional salah satunya adalah UNFCCC
1992.
6. Protocol dan adjustment; protokol memiliki pengertian yang banyak
menurut J.G. Starke, protokol dapat diartikan sebagai pelengkap dari suatu
konvensi, sebagai instrumen pembantu yang bersifat independen, sebagai
treaty yang sifatnya sama dengan konvensi, dan protokol sebagai suatu

Pengakuan Sertifikasi Halal


219
Secara Internasional
dokumen yang memuat persetujuan tertentu. Sedangkan adjustment
biasanya berupa penyesuaian atau amandemen dari suatu protokol yang
sudah ada.
7. Statuta (Statute) dan piagam (Charter); dua istilah ini sama-sama digunakan
dalam perjanjian internasional yang diadakan oleh organisasi internasional,
biasanya dijadikan konstitusi atau dasar terbentuknya organisasi
internasional yang mengadakan perjanjian tersebut.
8. Modus vivendi; merupakan istilah yang digunakan dalam perjanjian
internasional yang digunakan untuk instrumen kesepakatan bersifat
sementara dan kurang resmi (informal). Biasanya para pihak yang
menggunakan perjanjian internasional dengan istilah ini akan
menindaklanjutinya dengan bentuk perjanjian internasional yang lebih
formal dan bersifat permanen.
9. Concordat; adalah istilah perjanjian internasional yang biasanya digunakan
untuk kesepakatan antara Tahta Suci dengan negara-negara lain di bidang
keagamaan.
Perjanjian bilateral biasanya merupakan hasil diplomasi negara-negara
yang akan melaksanakan kerja sama dan didasarkan pada kehendak para pihak,
sehingga hak dan kewajiban yang muncul dari perjanjian tersebut hanya
membebani negara para pihak saja. Pemberian sertifikasi halal melalui akreditasi
halal dapat diatur dalam perjanjian bilateral, meskipun isinya tidak terlalu padat,
artinya isi perjanjian bilateral ini saling mengakui akreditasi halal antar negara,
atau masing-masing negara saling memahami bahwa barang dan jasa yang
masuk harus mendapatkan sertifikasi halal terlebih dahulu sebelum
diperdagangkan. Mengingat substansinya yang dinilai teknis, sehingga
umumnya dibuat oleh negara-negara menjadi Nota Kesepahaman (MoU).
Dilihat dari definisi perjanjian internasional dan jenis-jenis perjanjian
internasional, MoU yang dibuat antar negara masuk dalam kategori perjanjian

Pengakuan Sertifikasi Halal


220
Secara Internasional
internasional, sehingga dalam implementasinya berlaku kaidah-kaidah
internasional. Salah satu unsur dalam perjanjian internasional, bahwa para pihak
yang menandatangani adalah negara yang membahas hubungan antar negara
terkait kegiatan tertentu yang dilakukan. Nota Kesepahaman (MoU) ini bersifat
publik, artinya negara sebagai pihak dan yang diatur adalah hal-hal yang bersifat
publik bukan MoU yang bersifat privat.

1. Pengakuan Sertifikasi Halal Indonesia-Uni Emirat Arab


Pengakuan sertifikasi halal antara Indonesia dengan Uni Emirat Arab (UEA)
dibangun, karena kebutuhan kedua negara untuk saling mengakui dan
membangun iklim perdagangan yang saling menguntungkan untuk kedua
negara. Produk pangan Indonesia ke pasar UEA saat ini masih terkendala karena
adanya persyaratan yang mengharuskan bahwa sertifikat halal yang diterbitkan
harus diperoleh dari lembaga sertifikasi yang diakui, yakni Emirates Authority
for Standardization and Metrology (ESMA). Sebagai tindak lanjut, Badan
Standardisasi Nasional (BSN) melalui Komite Akreditasi Nasional (KAN),
melakukan kerja sama di bidang akreditasi lembaga sertifikasi halal
dengan ESMA. Kerja sama ini dituangkan dalam MoU yang ditandatangani
oleh Ketua KAN, Bambang Prasetya, dan Director General ESMA, Abdulla
Abdelqader Al Maeeni. Jika tidak dipenuhi, maka produk Indonesia yang
diekspor ke pasar UEA seperti biskuit, mi instan, produk olahan daging, permen,
dan jelly food ingredients akan terhambat.
Perjanjian ini bertujuan mengurangi hambatan teknis perdagangan dan
memfasilitasi perdagangan bilateral, antara persatuan Uni Emirat Arab (UEA)
dan Indonesia, khususnya terkait produk halal. Dalam MoU juga dinyatakan
maksud untuk mengembangkan kerja sama teknis dalam bidang akreditasi halal.
Sesuai degan peraturan dan regulasi yang berlaku di kedua negara dan ketentuan
dalam WTO yang relevan dengan perjanjian tersebut.

Pengakuan Sertifikasi Halal


221
Secara Internasional
Ruang lingkup dalam MoU halal ini, terkait dengan kerjasama dalam
bidang akreditasi halal di Indonesia dan Uni Emirat Arab untuk Lembaga
Sertifikasi Halal.303 Kedua belah pihak dalam MoU tersebut sepakat, bahwa
kedua negara akan saling mematuhi prosedur Badan Akreditasi Halal. Kedua
belah pihak juga sepakat saling mematuhi ketentuan halal masing-masing
negara, dan melakukan peer assessment untuk memastikan pemenuhan
persyaratan halal berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak. Kerjasama
ini juga saling memberikan pelatihan kepada pelaksana sertifikasi halal di
masing-masing negara. MoU antar kedua negara ini juga berisi hal teknis
terhadap proses sertifikasi halal lembaga-lembaga yang telah diakreditasi dan
proses pembiayaan sertifikasi. MoU ini membolehkan kedua belah pihak untuk
berkoordinasi dengan institusi terkait pada tingkat nasional.

2. Pengakuan Sertifikasi Halal Indonesia-Chile


Faktor perdagangan menjadi dasar gagasan kerjasama pengakuan sertifikasi
halal antar negara, secara bersamaan menjadi kebutuhan negara yang
berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Indonesia. Pemerintah Republik
Indonesia dan Republik Chile menandatangani MoU di bidang Jaminan Produk
Halal (JPH). Sinergi ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan perdagangan
antara kedua negara.
Selain perdagangan, hubungan baik antara kedua negara menjadi dasar
pembentukan MoU antara Indonesia-Chile, di samping memang untuk
mengembangkan, memfasilitasi dan meningkatkan kerjasama jaminan kualitas

303
Komite Akreditasi Nasional, KAN Jalin Kerjasama dengan ESMA: Ekspor Produk
Halal ke Uni Emirat Arab Semakin Mudah, http://www.kan.or.id/index.php/8-news/127-
kan-jalin-kerjasama-dengan-esma-ekspor-produk-halal-ke-uni-emirat-arab-semakin-
mudah, diakses 4 Desember 2021.

Pengakuan Sertifikasi Halal


222
Secara Internasional
produk halal. Ruang lingkup kerja sama antara Indonesia-Chile menyatakan
bahwa para pihak dapat melakukan kerjasama dalam bidang halal, terkait:304
a. Memperkuat pengetahuan bersama tentang jaminan kualitas produk halal di
bidang teknologi, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta
penelitian dan pengembangan.
b. Penilaian kesesuaian proses penjaminan kualitas halal melalui:
1) saling pengakuan; atau
2) saling keberterimaan hasil.
c. Saling pengakuan atas sertifikat halal yang diterbitkan oleh masing-masing
lembaga akreditasi halal yang diakui oleh para peserta.
d. Promosi dan penyebaran informasi akreditasi halal, penilaian kesesuaian,
informasi komersial, dan bidang terkait lainnya yang menjadi kepentingan
bersama bagi masing-masing badan pemerintah, badan usaha publik dan
swasta.
Materi MoU merupakan hal teknis yang diatur dan diterapkan oleh kedua
negara, ruang lingkupnya mengatur hal teknis yang tidak menimbulkan norma
baru, tetapi hanya menguatkan norma dan kerjasama praktik sertifikasi halal.
Kedua negara dapat saling bertukar pengetahuan tentang jaminan produk halal,
mengingat banyak sekali aspek jaminan produk halal, mulai dari teknologi
produksi halal, hingga teknologi distribusi produk halal hingga sampai ke tangan
konsumen.
Aspek pengetahuan teknologi diperlukan untuk melakukan pemeriksaan
sertifikasi halal, karena teknologi merupakan pendukung utama pemeriksaan
produk halal, sedangkan produk adalah barang yang sulit diidentifikasi
komposisinya, sehingga diperlukan alat dan teknologi untuk memeriksa
kehalalan komposisi yang terkandung dalam produk. Pemohon sertifikasi halal

304
BPJH, MOU Indonesia-Chile, http://halal.go.id/beritalengkap/283, diakses 12 Desember
2021.

Pengakuan Sertifikasi Halal


223
Secara Internasional
diminta untuk menyatakan bahan-bahan yang terkandung di dalam produk yang
mereka ajukan, selanjutnya auditor memeriksa kembali komposisi yang
terkandung dalam produk tersebut dengan seksama. Hal ini diperlukan karena
setelah sertifikat halal diberikan, maka tanggung jawab sertifikat halal ini
terdapat pada lembaga pemberi jaminan produk halal.
Aspek kedua yang tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia,
memahami dan mengerti cara pemeriksaan sertifikasi halal. Pada aspek
pengembangan sumber daya manusia, kedua negara saling memberikan
pelatihan dan bertukar informasi tata cara pemeriksaan sertifikasi halal.
Indonesia termasuk unggul dalam sumber daya manusia di bidang pemeriksaan
sertifikasi halal, sehingga beberapa negara telah meminta masukan dan
mengadakan pelatihan sertifikasi halal dari Indonesia. Sumber daya manusia,
baik pemeriksa maupun pelaku usaha tentang pengetahuan produk halal, sangat
diperlukan dalam praktik sertifikasi halal. Dari sisi pelaku usaha, harus diberikan
pengetahuan terkait sertifikasi produk halal dan fungsinya bagi industri usaha.
Implikasi positif lainnya dari mandatory halal certification adalah
terbukanya lapangan kerja baru. Dengan kewajiban bersertifikat halal, maka
kebutuhan SDM pendukung terlaksananya jaminan produk halal tentu
jumlahnya besar. Seperti kebutuhan auditor halal yang merupakan unsur penting
dan harus ada dalam Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Auditor halal nantinya
akan menjadi profesi yang cukup menarik. Hal ini tentu akan berdampak positif
bagi perkembangan halal di Indonesia dan dunia.
Sertifikasi halal juga bisa menaikkan pamor ekspor, karena saat ini
lembaga tersebut sudah terakreditasi ISO dan bekerja sama dengan negara-
negara Muslim lain. Hal ini bisa memudahkan produk yang mengantongi
sertifikasi halal berperan di perdagangan global, karena memang target
penjualan produk bersertifikat halal harus di ekspor ke pasar global.

Pengakuan Sertifikasi Halal


224
Secara Internasional
Aspek ketiga yang juga penting adalah sarana dan prasarana sertifikasi
produk halal, di mana laboratorium pemeriksaan halal menjadi titik kunci
keberhasilan sertifikasi halal. Untuk mengembangkan sarana dan prasarana
sertifikasi halal tersebut, penelitian dan pengembangan sertifikasi halal menjadi
modal dasarnya, sehingga dapat memperluas jaringan sertifikasi halal.

C. Pengaturan dan Sertifikasi Halal Regional

1. Potensi Sertifikasi Halal ASEAN

ASEAN menjadi salah satu kekuatan ekonomi regional yang tidak dapat
dikesampingkan oleh berbagai negara di dunia. Pada tahun 2015 ASEAN telah
membangun komunitas ASEAN Economic Community (AEC) atau yang
dikenal juga sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang menjadi pasar
tunggal di kawasan Asia Tenggara.
MEA dibentuk untuk menghadapi perdagangan bebas saat ini dan
didirikan oleh para pemimpin ASEAN dan berbagai basis produksi. Milestone
tujuan pembentukan MEA di antaranya, pada tahun 2015 diberlakukannya aliran
bebas barang (free flow of goods) secara bebas, tanpa mengalami hambatan baik
tarif maupun non-tarif.
Pembentukan MEA dilakukan dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Bali
pada 7 Oktober 2003, dimana para petinggi ASEAN mendeklarasikan bahwa
MEA akan dibentuk pada tahun 2015, untuk meningkatkan daya saing ASEAN
dalam menyaingi Tiongkok dan India dalam menarik investasi asing. Penerapan
MEA 2015, merubah ASEAN menjadi sebuah pasar tunggal yang berbentuk
basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan
pembangunan ekonomi yang merata, kawasan yang terintegrasi penuh dengan
ekonomi global.305

305
ASEAN Economic Community Blueprint 2025, hlm. 7.

Pengakuan Sertifikasi Halal


225
Secara Internasional
AEC diwujudkan pada tahun 2015 yang dikenal sebagai MEA, dimana
negara-negara di kawasan ASEAN menyusun strategi untuk meningkatkan daya
saing di regional Asia Tenggara. Prioritas utama AEC adalah peningkatan daya
saing produk makanan, pertanian dan kehutanan di pasar internasional, dan
pemanfaatan serta pemberdayaan produk lokal.
MEA akan membentuk sebuah kawasan ekonomi dengan tingkat
kompetisi yang tinggi, sehingga memerlukan suatu kebijakan yang meliputi
competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR),
taxation, dan e-commerce. Tujuan dibuatnya kebijakan dalam MEA agar dapat
tercipta iklim persaingan yang adil, terdapat perlindungan konsumen, mencegah
terjadinya pelanggaran hak cipta, menciptakan jaringan transportasi yang
efisien, aman, dan terintegrasi, menghilangkan double taxation, serta
meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online. MEA akan
menjadi kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan
memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah.
Makanan halal di seluruh dunia, sebagian diperoleh melalui ekspor dari
negara-negara di ASEAN. Ada juga perdagangan makanan halal intra-ASEAN
yang substansial. Pemasok dan importir sebagian besar produk halal global
berasal dari negara-negara ASEAN, menjadikannya importir makanan halal
terbesar.306
ASEAN juga merupakan pemasok ke Timur Tengah dengan populasi
Muslim yang cukup besar. Sebagian besar kebutuhan pangan (80%) masih
diimpor. China, dengan 33 juta Muslim, adalah pasar yang potensial. China juga
mengimpor produk halal senilai 1,3 Miliar USD dari Malaysia dan tentu
menjadikan China menjadi salah satu mitra dagang utama ASEAN. Selain itu,

306
Baharudin Othman, Sharifudin Md. Shaarani, Arsiah Bahron, “The Potential of ASEAN in
Halal Certification Implementation: A Review”, Pertanika Journal of Social Sciences and
Humanities, Vol. 24, No. 1, 2016.

Pengakuan Sertifikasi Halal


226
Secara Internasional
Eropa merupakan pasar potensial yang mengalami peningkatan permintaan
produk makanan halal, dimana Prancis memiliki pasar halal terbesar sekitar 17
Miliar USD dan Inggris sekitar 4,2 Miliar USD. Eropa Timur dianggap sebagai
pasar potensial lainnya untuk produk halal.307
Negara yang menjadi pusat transit di Asia Pasifik adalah Singapura,
termasuk transit distribusi makanan halal di ASEAN dan di seluruh dunia. 308
Makanan halal dan sertifikasi halal dapat meningkatkan minat pariwisata
khususnya wisata halal di ASEAN.309 Di bidang pariwisata dan perhotelan,
pariwisata halal sudah mulai dikembangkan, dengan mengandalkan fasilitas
hotel halal, makanan halal dan layanan halal yang diperuntukkan bagi wisatawan
Muslim, wisata halal ini memiliki standar yang disesuaikan dengan ajaran
Islam.310 Menurut Global Muslim Travel Index, Wisatawan Muslim seluruh
dunia sempat meningkat secara signifikan, dari sekitar 108 juta di tahun 2013
menjadi 160 juta pada tahun 2019, meskipun angka tersebut menurun pada tahun
2020-2021 karena pandemi covid.311 Negara-negara ASEAN tentu akan masuk
dan keluar untuk menghasilkan devisa yang memadai bagi setiap negara
ASEAN. Untuk meningkatkan fasilitas masing-masing negara dan perlindungan
Muslim di ASEAN, diperlukan sistem standardisasi yang seragam di seluruh
ASEAN.

307
Ibid.
308
Hossein G.T. Olya, Amr Al-ansi, “Risk assessment of Halal Products and Services:
Implication for Tourism Industry”, Elsevier: Tourism Management, Vol. 65, April 2018.
309
Serrin Razzaq C. Michael Hall, Girish Prayag, “The Capacity of New Zealand to
Accommodate the Halal Tourism Market — Or not”, Elsevier: Tourism Management, Vol. 18,
April 2016.
310
Salman Yousa, Fan Xiucheng, “Halal Culinary and Tourism Marketing Strategies on
Government Websites: A Preliminary Analysis”, Elsevier: Tourism Management, Vol. 68,
October 2018.
311
Kompas.com, "GMTI Umumkan Daftar Destinasi Wisata Halal Terbaik Dunia 2021,
Indonesia Turun Peringkat", https://travel.kompas.com/read/2021/07/15/221518827/gmti-
umumkan-daftar-destinasi-wisata-halal-terbaik-dunia-2021-indonesia-turun?page=all. Diakses
pada 2 November 2022

Pengakuan Sertifikasi Halal


227
Secara Internasional
Praktik sertifikasi halal di ASEAN diterapkan secara berbeda dan unik.
Penerapannya berbeda antara satu negara dengan negara lain meskipun dengan
sumber hukum yang sama, karena pemerintah, badan yang ditunjuk pemerintah,
atau badan sukarela independen menjalankan penerapan sertifikasi halal di
beberapa negara ASEAN. Perbedaan dalam proses sertifikasi untuk menentukan
halal atau tidaknya suatu produk di ASEAN sangat bergantung pada kemampuan
teknologi. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi halal di negara-
negara ASEAN menemukan bahwa Malaysia,312 Indonesia, Singapura, Thailand
dan Brunei lebih maju dalam kemampuan tersebut daripada Filipina dan
Vietnam.
Saat ini, negara-negara ASEAN memiliki potensi yang sangat besar
dalam sertifikasi halal. Dalam praktiknya, terdapat empat bidang utama
sertifikasi halal, yaitu (a) acuan standar halal, (b) industri maju berbasis halal,
(c) balai pelatihan keterampilan, dan (d) sistem uji halal berbasis teknologi.
Tidak hanya fokus pada keuangan syariah dan investasi syariah, tetapi mencakup
semua aspek termasuk makanan, persediaan, obat-obatan, logistik dan banyak
produk lainnya.
ASEAN telah menjadi acuan bagi organisasi halal di seluruh dunia. Hal
ini dapat dimaklumi karena standar halal yang digunakan di banyak negara
ASEAN, menjadi acuan bagi industri di negara lain di dunia yang ingin
mendapatkan sertifikat halal. Dengan adanya inisiatif halal regional yang
ditemukan oleh Indonesia ini, Indonesia menjadi contoh sertifikasi halal bagi
negara berkembang, bahkan menjadi contoh sertifikasi halal di beberapa negara
maju, seperti Kanada dan Perancis. Perkembangan industri halal dan adanya
standardisasi untuk barang-barang yang berasal dari ASEAN, serta sertifikasi
halal yang terintegrasi, akan memberikan manfaat bagi industri halal di negara-

312
Anis Najiha Ahmad, et. al., “Overview of the Halal Food Control System in Malaysia”,
Elsevier: Food Control, Vol. 90, 2018.

Pengakuan Sertifikasi Halal


228
Secara Internasional
negara ASEAN dan pariwisata di negara-negara ASEAN. Ekspor barang yang
memiliki sertifikasi halal yang dilakukan Malaysia, merupakan salah satu
pembuktian kepada sepuluh negara (China, Singapura, Indonesia, Amerika
Serikat, Filipina, Belanda, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan India).
Meskipun spesifikasi, target, dan standar dalam hal masalah keaslian,
aturan label, dan komposisi berbeda di setiap negara, undang-undang yang
mengatur makanan Islami313 bersifat universal dan berasal dari al-Qur'an dan
Hadis. Oleh karena itu, standar yang mendasarinya serupa di semua negara di
dunia.314 Persyaratan dasar yang banyak digunakan untuk sertifikasi halal 315 di
berbagai negara adalah sebagai berikut:
a. Tidak menambahkan unsur-unsur yang dilarang dalam ajaran Islam.
b. Tidak memiliki kontak dengan zat terlarang dan kotoran selama produksi
dan transportasi.
c. Tidak disimpan di tempat atau diangkut dengan kendaraan yang dilarang
oleh ajaran Islam.
Produksi halal harus diverifikasi untuk memastikan bahwa industri
makanan telah memenuhi semua persyaratan untuk menghasilkan produk
makanan halal.316 Adanya logo halal pada setiap produk, digunakan untuk
menunjukkan kepada konsumen bahwa barang yang dibeli adalah barang yang
diproduksi sesuai dengan metode sertifikasi halal.
Logo halal merupakan salah satu atribut yang digunakan dalam
pemilihan produk bagi komunitas Muslim di ASEAN. Standardisasi logo atau

313
Jawad Alzeer, Ulrieke Rieder, Khaled Abou Hadeed, “Rational and Practical Aspects of Halal
and Tayyib in The Context of Food Safety”, Elsevier: Trends in Food Science and Technology,
Vol. 71, January 2018.
314
Khadijah Nakyinsige, Yaakob Bin Che Man, Awis Queni Sazili, “Halal Authenticity Issues
in Meat and Meat Products”, Elsevier: Meat Science, Vol. 91, Issue 3, July 2012.
315
An Nee Lau, Mohd Hafiz Jamaludin, Jan Mei Soon, “Quality Assurance and Halal Control
Points for The Food Industry”, Nutrition & Food Science, Vol. 46, Issue 4, July 2016.
316
Jie Zhao, et. al., “A Panel of SNP Markers for Meat Traceability of Halal Beef in the Chinese
Market, Elsevier: Food Control, Vol. 87, 2018.

Pengakuan Sertifikasi Halal


229
Secara Internasional
label sertifikasi halal untuk kawasan ASEAN dan logo negara tempat produk
tersebut dijual, menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Standardisasi
halal dan logo negara ASEAN akan mengurangi ketidakpastian konsumen
terhadap produk pangan.317
Pedoman Umum ASEAN tentang Penyiapan dan Penanganan Makanan
Halal (ASEAN General Guidelines on the Preparation and Handling of Halal
Food) telah mengatur standardisasi label halal untuk kawasan ASEAN, yang
dalam penerapannya dipasangkan dengan label atau logo halal dari setiap negara.
Pedoman tersebut telah mencantumkan hal-hal mendasar apa yang diperlukan
untuk sertifikasi halal pada setiap negara.318
Pedoman sertifikasi halal ASEAN diimplementasikan melalui skema
akreditasi yang beroperasi di semua negara ASEAN. Dalam praktiknya, pabrik
pengelola makanan yang berupaya diakui sebagai produsen produk makanan
halal oleh ASEAN, harus mematuhi aturan dan ketentuan yang diberikan oleh
ASEAN. Setelah akreditasi, perusahaan diizinkan untuk menggunakan logo
halal yang sama pada labelnya.
Mengacu pada pedoman yang dianut oleh ASEAN, diharuskan adanya
sistem akreditasi yang memadai yang memudahkan perusahaan-perusahaan di
kawasan untuk mendapatkan sertifikasi halal dari ASEAN dan masing-masing
negara. Sistem pendaftaran satu pintu dan satu aplikasi akan diperuntukkan bagi
perusahaan atau pelaku usaha baik dari dalam maupun luar negeri. Setiap negara
dapat menetapkan persyaratan tambahan selain persyaratan wajib yang
digariskan dalam pedoman sertifikasi halal ASEAN, tetapi pendaftaran dapat
dilakukan dengan satu aplikasi di negara anggota (one application System).

317
A. Shafiq, A.K.M. Haque, A. Omar, “Multiple Halal Logos and Malays’ Beliefs: A Case of
Mixed Signals”, International Food Research Journal, Vol. 22, No. 4, January 2015.
318
Jawad Alzeer, Ulrieke Rieder, Khaled Abou Hadeed, “Good Agricultural Practices and Its
Compatibility with Halal Standards”, Elsevier: Trends in Food Science and Technology, Vol.
102, August 2018.

Pengakuan Sertifikasi Halal


230
Secara Internasional
Sistem pendaftaran permohonan sertifikasi halal merupakan sistem
tunggal yang dirancang untuk memudahkan proses perolehan sertifikasi halal di
beberapa negara ASEAN. Sistem ini serupa dengan Patent Cooperation Treaty
(PCT), sistem pendaftaran paten yang telah diterapkan dan berhasil
meningkatkan pendaftaran paten internasional. Sistem pendaftaran permohonan
sertifikasi halal, hanya berlaku di Kantor Sertifikasi Halal di masing-masing
negara. Office menyediakan opsi pendaftaran berikut:
a. Pendaftaran di Badan Akreditasi Halal Daerah. Dalam mendaftar ke Dewan
Akreditasi Halal Daerah, jika produk sudah terdaftar (di negaranya),
perusahaan (pemohon) akan mendapatkan logo halal dari ASEAN.
b. Pendaftaran di negara mana pun. Perusahaan (pemohon) akan mendaftarkan
produk halalnya ke Kantor Sertifikasi Halal di negaranya.
Setelah pemohon mendaftar melalui Kantor Sertifikasi Halal di
negaranya, kantor akan melanjutkan:
a. verifikasi pendaftaran permohonan halal yang diminta ke negara, sesuai
dengan pedoman dan standar sertifikasi tempat Kantor Sertifikasi Halal
berada;
b. menyerahkan berkas permohonan pendaftaran halal (baik pendaftaran ke
Dewan Akreditasi Halal Regional atau pendaftaran beberapa negara) ke
Dewan Akreditasi Halal Regional; dan
c. Dewan Akreditasi Halal Regional meneruskan permohonan pendaftaran
tersebut kepada negara-negara ASEAN yang dimintakan pendaftarannya.
Setelah perusahaan atau pelaku usaha mengirimkan aplikasi pendaftaran
dari negara asalnya, Dewan Akreditasi Halal Daerah memeriksa kehalalan
produk yang permohonannya didaftarkan sesuai standar lembaga. Kemudian
menerbitkan sertifikat dan izin penggunaan logo halal ASEAN. Selain itu juga,
harus meneruskan pendaftaran sertifikasi halal ke kantor terkait di negara tempat
pendaftaran itu diminta. Setelah Balai Sertifikasi Halal yang bersangkutan

Pengakuan Sertifikasi Halal


231
Secara Internasional
melakukan pengecekan, kemudian mereka mengeluarkan sertifikat halal dan izin
penggunaan logo halal masing-masing negara, dilanjutkan dengan Dewan
Akreditasi Halal Regional menyampaikan hasilnya ke Kantor Sertifikasi Halal
dimana pendaftaran dilakukan.
Dengan kata lain, untuk sertifikasi halal di beberapa negara ASEAN,
prosedur sertifikasi halal harus dilakukan sesuai dengan persyaratan dan proses
sertifikasi di negara tersebut. Setelah pemeriksaan Balai Sertifikasi Halal selesai,
negara dapat mengirimkan hasilnya ke Lembaga Sertifikasi Halal tempat
permohonan diajukan.
Diharapkan dengan proses pendaftaran satu aplikasi dan standardisasi
logo sertifikasi halal ASEAN, para produsen makanan akan dimudahkan untuk
mendistribusikan produknya ke seluruh kawasan ASEAN. Dengan demikian,
kepentingan produsen akan terpenuhi, dan kepentingan konsumen akan terjamin
karena logo halal juga terpenuhi.
Sebagai gambaran, jika sebuah perusahaan Indonesia ingin mengajukan
permohonan pendaftaran sertifikasi halal, perusahaan tersebut dapat datang atau
pergi secara online ke Kantor Sertifikasi Halal di Indonesia. Selain itu, juga
dapat mengajukan sertifikasi halal ASEAN serta sertifikasi halal di berbagai
negara ASEAN, misalnya, jika perusahaan ingin mendapatkan sertifikasi halal
di Malaysia dan Brunei Darussalam, kemudian dapat mengisi aplikasi dan
memenuhi persyaratan tambahan yang ditetapkan di Malaysia dan Brunei
Darussalam.319
Proses menuju sistem pendaftaran produk halal satu aplikasi memerlukan
beberapa langkah multilateral, agar sertifikasi halal ASEAN dapat
dikembangkan dan diimplementasikan. Langkah paling mendasar yang harus

319
Abdul Matin bin Salman, et. al., “Halal as a Distinct Competitive Edge for Islamic Higher
Education in the Millennial Generation”, International Journal of Halal Research, Vol. 1, No.
1, December 2019.

Pengakuan Sertifikasi Halal


232
Secara Internasional
dilakukan adalah melalui perjanjian multilateral tentang produk halal yang
memuat persyaratan standar, proses registrasi, pembentukan lembaga sertifikasi
halal regional ASEAN, sistem akreditasi terintegrasi dan sistem sertifikasi halal
ASEAN. Meskipun prosesnya akan membutuhkan waktu yang relatif lama,
namun proses tersebut bukan hal yang tidak mungkin dilakukan di kawasan
ASEAN.
Kerjasama regional MEA terkait produk pangan dengan sertifikasi halal
di kawasan ASEAN, dapat dilakukan melalui kesepakatan multilateral negara-
negara ASEAN. Perjanjian tersebut meliputi hal-hal yang menyangkut
parameter penilaian standar kehalalan produk di kawasan ASEAN. Perjanjian
multilateral antar negara ASEAN mengenai sertifikasi halal dapat dirumuskan
melalui standardisasi:
a. persyaratan utama sertifikasi halal untuk setiap produk pangan di berbagai
negara ASEAN;
b. pembentukan sistem pendaftaran yang sesuai;
c. pabel halal untuk kawasan ASEAN;
d. model pemeriksaan dan pengawasan sertifikasi halal yang memadai untuk
setiap negara di kawasan ASEAN; dan
e. lembaga Sertifikasi Halal ASEAN.
Sertifikasi halal yang dipraktikkan di negara-negara ASEAN memiliki
potensi dan implikasi yang besar bagi negara-negara ASEAN untuk mendorong
kerjasama sertifikasi halal. Saat ini, setiap negara anggota ASEAN memiliki
standar dan praktik yang berbeda dalam pendaftaran sertifikasi halal. Oleh
karena itu, kerjasama antar negara ASEAN sangat penting untuk menentukan
sistem standar dan lembaga sertifikasi halal yang sesuai untuk kawasan ASEAN.
Kerjasama sertifikasi halal tidak terbatas pada satu aspek saja. Kerjasama
tersebut wajib dilakukan secara komprehensif, mencakup peran lembaga
sertifikasi, standarisasi syarat dan ketentuan berdasarkan al-Qur'an dan Hadis,

Pengakuan Sertifikasi Halal


233
Secara Internasional
serta standarisasi logo halal. Kerjasama di bidang pendaftaran sertifikasi halal
akan memudahkan tidak hanya masyarakat pada umumnya, tetapi juga
pengawasan dan sertifikasi lembaga halal di kawasan ASEAN.
Dibandingkan dengan masalah hukum dan perizinan, proses sertifikasi
halal sangat mendasar dalam praktiknya, karena konsumen melihat produk
berdasarkan label halal. Dalam praktiknya, sertifikasi halal merupakan isu
terpenting dimana standar halal, standardisasi dan kemudahan dalam
pendaftaran perlu didiskusikan dan disepakati oleh negara-negara ASEAN.320
ASEAN dapat digunakan sebagai penghubung sertifikasi halal antar negara di
dalam dan di luar ASEAN. Oleh karena itu, diperlukan standar untuk
mendapatkan label halal dan sistem pendaftaran yang terintegrasi. Hal ini
tentunya dapat menghilangkan ketidakpastian konsumen terkait produk halal di
kawasan ASEAN.
Indonesia dalam rencana kerjasama produk halal, telah menyatakan
bahwa kerjasama internasional yang paling penting terkait produk halal dapat
berupa:321
a. upaya penilaian kesesuaian, atau pengakuan sertifikat halal oleh semua
negara ASEAN terhadap sertifikat halal yang diterbitkan oleh negara
ASEAN. Dengan kata lain, upaya ini merupakan proses saling pengakuan
dan penerimaan terhadap hasil pemeriksaan sertifikasi halal;
b. kerja sama internasional dalam bentuk saling pengakuan sertifikat halal
akan dilakukan dengan LPSK asing yang telah resmi bekerja sama dengan
BPJPH. Kantor Sertifikasi Halal asing yang bekerja sama dengan BPJPH
harus didirikan atau diakui oleh pemerintah masing-masing; dan

320
Ainin Sulaiman, et. al. Sentiment Analyses of Multilingual Tweets on Halal Tourism”,
Elsevier: Tourism Management Perspectives, Vol. 34, April 2020.
321
Nur Aini Rakhmawati, et. al., “Linked Open Data for Halal Food Products”, Journal of King
Saud University - Computer and Information Sciences, Vol. 33, Issue 6, July 2021.

Pengakuan Sertifikasi Halal


234
Secara Internasional
c. importasi produk halal dengan sertifikat halal yang diterbitkan oleh
Lembaga Sertifikasi Halal asing yang bekerja sama dengan BPJPH, tidak
perlu mengajukan sertifikasi halal kepada BPJPH. Namun, mereka tetap
diwajibkan mendaftarkan produknya ke BPJPH sebelum diedarkan di
Indonesia.
Sistem pendaftaran suatu aplikasi harus didukung oleh pembentukan
Dewan Akreditasi Halal ASEAN. Plan of Action for the ASEAN Cooperation in
Halal Food menyebutkan tentang pembentukan Dewan Akreditasi Halal
regional. Rencana tersebut menyatakan, bahwa dewan memiliki kewenangan
untuk akreditasi halal bagi Kantor Sertifikasi Halal di negara-negara ASEAN.
Dewan Akreditasi Halal Daerah dapat memiliki kewenangan tambahan terkait
pendaftaran halal, yaitu:
a. pemeriksaan sertifikasi halal ASEAN;
b. pemberian logo halal ASEAN kepada pelamar yang memenuhi syarat; dan
c. bertindak sebagai katalisator pendaftaran suatu permohonan ke negara-
negara ASEAN yang dimintakan pendaftarannya.
Unifikasi sistem sertifikasi dan akreditasi produk halal regional yang
diprogramkan oleh Plan of Action for the ASEAN Cooperation in Halal Food
meliputi:
a. mengembangkan konsep catatan/proposal;
b. membentuk Dewan Akreditasi Halal regional/internasional;
c. penyusunan pedoman sertifikasi halal ASEAN sejalan dengan pedoman
sertifikasi halal nasional;
d. penyusunan prosedur, pedoman, dan checklist sertifikasi halal untuk peer
execution untuk kawasan ASEAN;
e. review (akreditasi) sistem penilaian kesesuaian, termasuk kriteria
pengakuan kesetaraan.

Pengakuan Sertifikasi Halal


235
Secara Internasional
f. menerapkan standar pangan halal ASEAN yang tersebar luas dan terbaik,
dan
g. mempraktikkan dan mengembangkan kemitraan dengan sektor swasta.
Penyatuan dan pendaftaran sertifikasi halal dalam satu aplikasi
membutuhkan waktu. Hal ini karena dimulai dengan perjanjian multilateral
terkait produk halal, pembentukan lembaga (Dewan Akreditasi Halal Daerah),
pembentukan sistem pendaftaran satu aplikasi, standardisasi persyaratan,
sertifikasi regional, regulasi dan persetujuan.
Saat ini, perjanjian bilateral antara dua negara ASEAN untuk mengakui
sertifikasi halal serta perjanjian ekspor-impor tentang distribusi makanan dan
produk halal, masih merupakan upaya antisipatif sebelum kerja sama regional.
Namun, ASEAN perlu mempercepat pelaksanaan kerja sama standardisasi
sertifikasi halal di kawasan ASEAN karena barang dan produk terus beredar di
negara-negara ASEAN, dan yang terpenting, memberikan rasa aman kepada
konsumen di negara-negara ASEAN.

2. Potensi Sertifikasi Halal di Uni Eropa (European Union)


Industri makanan halal di Eropa berkembang cukup pesat dan signifikan.
Sertifikasi halal dinilai cukup memadai untuk meningkatkan perekonomian di
Eropa. Mengingat 66,8% Muslim Eropa menyatakan, bahwa yang menjadi
prioritas konsumen Muslim saat bepergian adalah ketersediaan produk halal.
Angka tersebut menunjukkan bahwa kehalalan produk menjadi kebutuhan dasar,
dan membuatnya tersedia merupakan persyaratan dasar untuk memenangkan
hati pasar Islam.322 Produk halal tidak lagi hanya menjadi perhatian pengusaha
dan konsumen Muslim saja, namun produsen non Muslim juga tertarik untuk

322
Ibid.

Pengakuan Sertifikasi Halal


236
Secara Internasional
ikut menyediakan produk halal karena kebutuhan dan tuntutan pasar.323 Produk
halal ini tentunya sangat penting bagi pelaku usaha.
Peluang industri produk makanan halal di pasar negara-negara minoritas
Muslim juga didukung oleh pertumbuhan populasi Muslim. Jumlah orang
Muslim yang tersebar di Uni Eropa diketahui sejumlah 16 juta penduduk. 324
Produk makanan halal adalah tanda identitas yang dicadangkan untuk komunitas
Muslim. Bahkan jika populasi Muslim ini yang dipertimbangkan maka akan ada
potensi pasar yang serius. Dengan kesimpulan berikut dapat digambarkan bahwa
makanan halal juga berhubungan langsung dengan makanan sehat, semua
makanan sehat tidak halal tetapi setiap makanan halal itu sehat.
Dapat disimpulkan bahwa tidak hanya anggota Uni Eropa, tetapi 7 miliar
penduduk dunia juga membutuhkan makanan halal. Sehingga hal ini bukan
merupakan sebuah isu, mengingat makanan yang sesuai dengan peraturan
makanan halal dapat dikonsumsi tanpa adanya keraguan akan aspek
kesehatannya. Oleh karena itu, makanan halal memiliki pasar potensial di UE.
UE menyadari bahwa kepekaan umat Islam terhadap makanan halal,
secara paralel ternyata diperlukan juga bagi mereka. Kesadaran ini membuat
mereka berpikir dengan hati-hati untuk menciptakan standar halal yang
digunakan oleh negara-negara anggota, guna mempertahankan bisnis mereka
dengan tetap mempertimbangkan kelancaran perdagangan antara Muslim yang
tinggal di dalam dan di luar UE. Dunia telah dihadapkan pada orang-orang
Muslim yang kesadarannya akan halal semakin meningkat dengan
mempertanyakan apa yang mereka konsumsi. Sehingga, produksi atau pasar

323
Afshan Azam, “An empirical study on non- Muslim’s packaged halal food Manufacturers:
Saudi Arabian consumer’s purchase intention,” Journal of Islamic Marketing, Vol. 7, No. 4,
hlm. 441-460
324
Nur Aini Fitriya Ardiani Aniqoh, Metta Renatie Hanastiana, “Halal Food Industry:
Challenges and Opportunities in Europe”, Journal of Digital Marketing and Halal Industry,
Vol. 2, No. I, 2020.

Pengakuan Sertifikasi Halal


237
Secara Internasional
pangan yang tidak menjawab kebutuhan umat Islam, tidak akan menemukan
pembeli.
Tidak dapat disangkal bahwa umat Islam yang tinggal di Uni Eropa juga
memiliki hak untuk mengakses dan mengonsumsi makanan halal dan sehat,
setidaknya setara dengan umat Islam yang tinggal di negara-negara Muslim.
Sangat disayangkan bahwa Uni Eropa membutuhkan waktu yang panjang untuk
menghasilkan standar makanan halal, karena kurangnya inisiasi.
Hikmah dibalik kaum Muslimin yang mengonsumsi makanan halal,
yaitu kesadaran yang membentuk kehidupan mereka berdasarkan perintah
agama Islam. Industri makanan halal yang distandardisasi berdasarkan nilai-nilai
syariah, membantu mereka untuk mengonsumsi makanan dengan aman. Halal
secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti diperbolehkan atau halal.
Secara teknis, makanan halal dianggap halal kecuali ditentukan atau disebutkan
ketentuan halal dan haramnya dalam al-Qur'an atau Sunah Rasulullah.325
Logikanya, jika suatu zat atau makanan dilarang, seharusnya ada beberapa
penyakit atau dampak merugikan yang akan timbul. Hal ini sejalan dengan
kemampuan bertahan hidup manusia yang secara alami berpikir untuk
menjauhkan diri dari makanan yang kemungkinan menyebabkan kematian,
penyakit dan kerugian.326 Di sisi lain, penetapan kehalalan makanan yang
membutuhkan ahli dan teknis tersendiri.
Secara global, lebih dari 2,1 miliar Muslim memiliki potensi untuk
berjejaring di pasar halal, dan mereka mewakili daya beli dan potensi ekonomi
yang sangat besar. Terdapat enam negara di wilayah (sekitar Eropa) yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu Turki, Azerbaijan, Kazakstan,
Albania, Bosnia dan Kosovo. Namun jika dilihat dari segi jumlah, meskipun

325
Ahmad Hussein Sakr, 1997, A Muslim Guide to Food Ingredients, Foundation for Islamic
Knowledge, Illinois, hlm. 21.
326
M.U. Chand, 2003, Halal, Haram: The Prohibited and the Permitted Foods and Drinks, A.S.
Noordeen, Kuala Lumpur, hlm. xiii.

Pengakuan Sertifikasi Halal


238
Secara Internasional
bukan termasuk ke dalam mayoritas, Jerman justru memiliki penduduk Muslim
terbesar, kemudian Prancis dan Inggris. 327
Meskipun tidak semua penduduk Muslim mengonsumsi produk halal
dengan cara yang sama dan tidak semua mematuhi aturan agama yang ketat
dalam mengonsumsi makanan, namun pasar halal menjadi sangat penting karena
bagi konsumen non-Muslim logo halal mewakili simbol kebersihan, kualitas,
kemurnian dan keamanan. Simbol ini adalah standar dunia dan barometer yang
menentukan kualitas produk. Pasar halal di seluruh dunia mencakup sekitar 1,6
miliar konsumen Muslim dengan tingkat pertumbuhan tahunan yang cukup
besar sekitar 1,84%, di mana nilainya diperkirakan sekitar USD 635 miliar atau
sekitar EUR 4 miliar untuk Jerman dengan produk utama berupa daging segar
dan produk olahan daging. Sayangnya peningkatan permintaan terhadap produk
halal belum dapat terpenuhi secara keseluruhan, karena belum adanya lembaga
sertifikasi halal terkait di dalam negeri yang diakui sepenuhnya secara global. 328
Sertifikasi halal merupakan proses sertifikasi produk atau jasa menurut
syariat Islam. Sertifikasi halal pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada
tahun 1960-an, sebagai jaminan bagi umat Islam yang tinggal di negara non-
Muslim agar dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan ketentuan Islam.
Tidak ada definisi hukum halal dalam hukum UE, juga tidak ada aturan
hukum UE yang telah dipertimbangkan, diadopsi, dan diterapkan secara khusus
dan eksklusif untuk halal. Uni Eropa dapat bertindak hanya dalam batas-batas
kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh perjanjian, dan peraturan agama,
terutama merupakan masalah bagi negara-negara anggota di tingkat nasional.
Ketika melihat undang-undang nasional negara-negara anggota, terlepas
dari perbedaan yang ada di antara mereka, pola hubungan negara-agama Eropa

327
Ibid.
328
Nur Aini Fitriya Ardiani Aniqoh, Metta Renatie Hanastiana, “Halal Food Industry:
Challenges and Opportunities in Europe”, Journal of Digital Marketing and Halal Industry, Vol.
2, No. I, 2020.

Pengakuan Sertifikasi Halal


239
Secara Internasional
muncul, yang didasarkan pada ciri-ciri umum seperti pengakuan negara terhadap
otonomi organisasi keagamaan sehubungan dengan doktrin dan struktur internal.
Dengan demikian, komunitas Muslimlah yang menentukan apa yang halal dan
apa yang tidak, dan otoritas sekuler tidak boleh ikut campur.
Ini tidak berarti bahwa tidak ada aturan yang mengikat secara hukum
yang berlaku juga untuk halal di UE dan negara-negara anggotanya. Otoritas
sekuler tidak memiliki kompetensi eksplisit langsung dalam mengatur halal,
tetapi pada kenyataannya mereka melakukannya ketika aspek terkait
menyangkut bidang yang termasuk dalam kompetensi mereka. Seperti dalam
proses penyembelihan, penyembelihan halal seperti itu tidak diatur, tetapi
metode penyembelihan tertentu yang ditentukan oleh ritual keagamaan
(termasuk yang Islami), dicakup oleh Akta yang diadopsi untuk mendefinisikan
dan menghormati standar Eropa tentang perlindungan hewan pada saat
penyembelihan. Demikian pula, sertifikasi halal tetap menjadi tanggung jawab
organisasi Muslim, tetapi masalah pelabelan (termasuk produk halal) telah
diperdebatkan dengan hangat dalam konteks transparansi dan perlindungan
konsumen yang lebih luas.

a. The Halal Food Council of Europe (HFCE)


Konsumen terbesar di Eropa adalah Prancis dan Inggris. Di Eropa terdapat
HFCE (Dewan Makanan Halal Eropa) yang telah melakukan sertifikasi terhadap
lebih dari 400 perusahaan makanan Eropa. Hal ini diharapkan dapat
meningkatkan pertumbuhan industri makanan halal di Eropa. Industri makanan
di Eropa mulai melihat potensi makanan halal sebagai hal yang menjanjikan.
Perusahaan makanan internasional seperti Nestlé atau Unilever telah bertahun-
tahun menawarkan berbagai produk halal di berbagai negara Muslim di dunia.

Pengakuan Sertifikasi Halal


240
Secara Internasional
Pengusaha makanan di Eropa, seperti perusahaan sosis Jerman Meemken,
membuat berbagai jenis sosis sesuai dengan aturan Islam.329
HFCE terdaftar sebagai organisasi nirlaba sejak tahun 2010 di Brussel,
Belgia. HFCE adalah Lembaga Sertifikasi Halal yang didedikasikan untuk
sertifikasi halal makanan, nonmakanan, dan bahan lainnya. HFCE memberikan
sertifikasi halal untuk memenuhi persyaratan standar halal untuk rumah potong
hewan, dan berbagai bahan makanan dan nutraceutical serta produk. HFCE juga
aktif dalam layanan masyarakat yang relevan dengan pendidikan halal, amal, dan
bantuan makanan kepada negara-negara Eropa yang membutuhkan. HFCE
diakreditasi oleh Dewan Akreditasi Internasional Emirates dan diakui oleh
Emirates Authority for Standards & Metrology (ESMA), Islamic Food and
Nutrition Council of America (IFANCA), Jabatan Kemajuan Islam Malaysia
(JAKIM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Majlis Ugama Islam Singapura
(MUIS). Misi dan Tujuan dari HFCE adalah: 330
1) Mempromosikan konsep halal.
2) Membantu membuat produk halal tersedia di seluruh dunia.
3) Memperkenalkan konsep makanan halal kepada industri makanan dan
memberikan solusi terhadap kebutuhan halal konsumen.
4) Melakukan semua fungsi sertifikasi Halal sesuai dengan hukum Islam,
standar halal, dan standar internasional ISO.
5) Berkomitmen untuk mempertahankan standar tertinggi integritas, layanan
dan profesionalisme.
6) Untuk bekerja menjadi pilihan industri terkemuka untuk sertifikasi halal dan
memberikan tingkat layanan tertinggi dan bekerja dengan rajin.

329
Nur Asnawi, B. M, “Halal Products Consumption in International Chain Restaurants among
Global Moslem Consumers. International”, Journal of Emerging Markets, Vol. 13 (5), 2018,
hlm.132.
330
The Halal Food Council of Europe, Mission and Objectives, http://www.hfce.eu/index.html,
diakses 28 November 2021.

Pengakuan Sertifikasi Halal


241
Secara Internasional
7) Mempertahankan posisi HFCE sebagai Lembaga Sertifikasi Halal
internasional terkemuka.
8) Mempublikasikan artikel dan informasi yang relevan tentang makanan halal
dan aplikasinya.
9) Untuk menjawab pertanyaan dari konsumen dan produsen.
10) Untuk menyebarkan kesadaran halal kepada konsumen di seluruh dunia.
Sertifikasi Halal Produk oleh HFCE diperlukan karena dua alasan,
pertama adalah untuk meyakinkan konsumen Muslim bahwa produk makanan,
bahan, rasa, farmasi, nutraceutical, daging, produk daging olahan telah diperiksa
dan diverifikasi oleh organisasi Islam dan memenuhi kepatuhan syariah. Alasan
lainnya adalah untuk ekspor ke negara-negara Muslim, untuk memenuhi
persyaratan yang telah diatur di dalam peraturan terkait.
Salah satu metode untuk memfasilitasi kepercayaan konsumen dan
persyaratan peraturan, yaitu penggunaan logo halal HFCE. Logo halal HFCE
dilindungi kekayaan intelektual, dan hanya dapat digunakan dengan izin tertulis
dari HFCE. Sebagai bagian dari proses pemberian sertifikasi halal, HFCE
memiliki kontrak penggunaan logo HFCE oleh perusahaan. Jika klien HFCE
berhenti disertifikasi oleh HFCE, maka izin untuk menggunakan logo juga akan
dihentikan, kecuali HFCE memberikan izin tertulis.
Penerima lisensi dapat menggunakan logo halal atau tanda sertifikasi,
dilekatkan pada kemasan produk yang bersertifikat halal oleh HFCE. Logo halal
hanya dapat dipergunakan dengan syarat dan ketentuan yang sah, sebagai simbol
untuk menyampaikan informasi kepada publik bahwa produk tersebut halal
dikonsumsi. Logo dan/atau label halal yang berfungsi sebagai product
identification dan product information, harus dilindungi secara hukum dari
penggunaan yang tidak sah, dilindungi dalam hukum negara bagian, federal, dan
internasional. HFCE memiliki banyak merek yang digunakannya di seluruh

Pengakuan Sertifikasi Halal


242
Secara Internasional
dunia, HFCE memiliki hak yang sah dan dapat ditegakkan atas mereknya. Hal
ini merupakan kebijakan untuk melindungi merek tersebut.
Setiap orang yang menggunakan merek HFCE harus mematuhi hukum
dan kontrak, kode, dan standar yang berlaku. HFCE tidak mengizinkan tandanya
untuk digunakan dengan cara yang membingungkan, menyesatkan, atau
meremehkan. Dimanapun digunakan, setiap tanda HFCE harus digunakan
dengan simbol yang sesuai — ® atau ™ — setelah yang pertama dan dalam
penggunaan yang paling menonjol di setiap dokumen. Simbol harus muncul
dalam superskrip dan di sebelah kanan tanda. Logo halal harus digunakan dalam
produk sebagai penanda bahwa barang tersebut halal.

b. CEN (European Committee for Standardization)


CEN (European Committee for Standardization) menjadi salah satu jalan untuk
membuat aturan halal dan sertifikasi halal di Uni Eropa (UE). CEN masih dalam
proses mengembangkan standar halal UE. Proses ini hampir selesai, dan
bagaimana pengaruhnya terhadap pasar halal Eropa masih harus dilihat. Tidak
ada standar halal resmi di negara-negara Eropa mana pun, meskipun ada
berbagai pedoman tidak resmi yang digunakan oleh Halal Certification Body
(HCB) independent, termasuk cara penyembelihan hewan, tetapi perkembangan
sertifikasi halal di UE masih sangat terbatas. Pedoman yang dibentuk oleh
Lembaga halal independent digunakan untuk sertifikasi produk halal
penggunaan dalam negeri. Produk yang berpindah dari satu negara Eropa ke
negara lain, sering kali memerlukan verifikasi dari HCB lokal dari negara
pengimpor. Dalam beberapa kasus, beberapa sertifikat diperlukan, membuat
proses pembuatan menjadi terlalu rumit dan mahal.
Komite Eropa untuk standardisasi (CEN) adalah katalis bisnis di Eropa,
menghilangkan hambatan perdagangan bagi pemangku kepentingan Eropa,
seperti industri, administrasi publik, penyedia layanan, konsumen dan pemangku

Pengakuan Sertifikasi Halal


243
Secara Internasional
kepentingan lainnya. Misinya untuk mendorong ekonomi Eropa dalam
perdagangan global, kesejahteraan warga Eropa, dan lingkungan. Melalui
layanannya, CEN menyediakan platform untuk pengembangan standar Eropa
dan spesifikasi lainnya.
Sebanyak 31 anggota nasional CEN bekerjasama mengembangkan
standar Eropa di berbagai sektor, untuk membangun pasar internal Eropa dan
mengembangkan Eropa dalam ekonomi global. Inovasi penelitian standar
merupakan alat yang ampuh untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Lebih
dari 60 ribu pakar teknis serta federasi bisnis, konsumen, dan organisasi
kepentingan masyarakat lainnya, terlibat dalam jaringan CEN yang menjangkau
lebih dari 480 juta orang. Di beberapa negara di Eropa berdasarkan data yang
dihimpun dalam CEN:
1) ONR 142000:2009, Makanan halal - Persyaratan untuk rantai makanan
(Austria);
2) BAS 1049:2010, Makanan halal - Persyaratan dan ukuran (Bosnia dan
Herzegovina);
3) HRN BAS 1049:2010, Makanan halal - Persyaratan dan ukuran (Kroasia).
Dokumen lain yang relevan adalah:
1) CAC/CL 24-1997 Pedoman Umum Penggunaan Istilah "Halal", Komisi
Codex Alimentarius;
2) MS 1500:2009, Makanan Halal –Produksi, penyiapan, penanganan dan
penyimpanan –Umum pedoman (Malaysia); dan
3) RAL-RG 160:2009, Halal für Lebensmitteln – Begriffsbestimmungen
(Jerman).
Di Serbia, Badan Sertifikasi Produk Halal Serbia (SACHP), didirikan
oleh Islamic Community of Serbia (ICS), mengelaborasi buku “HSS 2009,
Standar Halal Serbia” dan mengusulkan untuk mengembangkan standar nasional
Serbia berdasarkan HSS 2009. Namun demikian, transparansi dalam rantai

Pengakuan Sertifikasi Halal


244
Secara Internasional
makanan halal terus berlanjut, dan konsumen harus memercayai label yang
berbeda dengan persyaratan yang berbeda. Hal ini menimbulkan kebingungan
bagi konsumen Muslim mengenai pelabelan yang berbeda dan pada akhirnya
berisiko terkena penipuan, misleading information.
Ada permintaan yang terus meningkat untuk menyeragamkan standar
halal di Eropa yang saling menguntungkan bagi industri dan konsumen, terutama
dari komunitas Muslim yang berada di Eropa. CEN berusaha merumuskan
standar halal di Eropa dalam CEN/BT WG 212 yang membahas terkait standar
halal di UE, dalam upaya pengaturannya berisi:
1) kesejahteraan hewan;
2) menghindari kontaminasi dengan makanan haram;
3) Pposedur pembersihan;
4) jalur produksi yang kompleks (misalnya dua jalur produksi, satu untuk
makanan halal dan satu untuk makanan haram, atau penggunaan jalur
produksi untuk produksi halal setelah pembersihan penuh dan terkontrol);
5) pertanian, termasuk pemberian pakan;
6) prinsip pelabelan, misalnya kredibilitas, transparansi, kejelasan;
7) penyembelihan, termasuk pemingsanan;
8) ketertelusuran;
9) penggunaan bahan, aditif, protein, vitamin, GMO (organisme yang
dimodifikasi secara genetik); dan
10) permasalahan terkait penyembelihan dan anestesi serta peraturan nasional
yang saling bertentangan dibahas dalam bagian khusus.
Pada masalah bahan yang diizinkan, aditif dan alat bantu pengolahan,
harus diakui bahwa kriteria halal dan haram dapat berbeda antar mazhab Islam,
satu bahan bisa saja haram menurut mazhab tertentu dan halal menurut mazhab
yang lain. Hal ini diperlukan untuk menjelaskan kriteria halal/haram yang tepat,
tentu saja untuk mengidentifikasi status halal/haram produk. Mengingat

Pengakuan Sertifikasi Halal


245
Secara Internasional
pendapat yang berbeda dari beberapa mazhab, Komite Teknis CEN harus
menggunakan daftar yang benar dari sumber terpercaya, misalnya dari otoritas
agama, di mana bahan-bahan yang dilarang, aditif atau alat bantu pemrosesan
terdaftar. Jika daftar seperti itu diubah, standar Eropa harus disesuaikan baik
dengan revisi atau amandemen.
CEN/BT WG 212 juga membahas perlunya verifikasi dan penilaian
kesesuaian, khususnya persyaratan lembaga sertifikasi yang melakukan
penilaian kesesuaian makanan halal serta persyaratan pada badan akreditasi.
Mengingat Standar Eropa tentang makanan halal berhubungan dengan aspek
agama, untuk beberapa klien termasuk konsumen baik pernyataan diri maupun
pihak ke-2 penilaian kesesuaian sudah cukup. Skema sertifikasi umum dapat
berguna untuk memastikan tata cara pelaksanaan sertifikasi halal antar lembaga
sertifikasi. Komite Teknis CEN juga memikirkan skema sertifikasi seperti itu,
tetapi perlu menguraikan referensi dokumen untuk sertifikasi, yaitu standar
Eropa.
Salah satu masalah utama diselesaikan untuk membuat elaborasi standar
Eropa pada (rantai) makanan halal, yaitu peraturan nasional yang berbeda antar
negara di Eropa tentang penyembelihan hewan, khususnya pemingsanan
(stuning). Pendapat umum menyatakan bahwa pemingsanan hewan dilarang,
karena sebagian besar metode anestesi adalah prosedur stun to kill, yaitu proses
penyembelihan hewan dengan dilemahkan/dipingsankan terlebih dahulu.
Peraturan nasional yang berlaku di negara-negara Eropa menjadi kendala dalam
standarisasi halal.
Pada tanggal 25 Oktober 2010, Institut Standar Austria (ASI)
mengadakan pertemuan pertama kelompok kerja baru Makanan Halal di Wina.
Anggota kelompok kerja ini yaitu para ahli dari berbagai negara, termasuk Turki
serta Bosnia dan Herzegovina. Selain itu, ini termasuk perwakilan dari
organisasi Eropa, seperti ANEC, suara konsumen Eropa dalam standardisasi,

Pengakuan Sertifikasi Halal


246
Secara Internasional
dan European Livestock and Meat Trading Union. Tugas Kelompok Kerja
(CEN/BT WG 212) adalah menganalisis kelayakan standar Eropa yang
mengatur persyaratan makanan halal.331
Pada pertemuan pertama, para anggota sepakat bahwa standar Eropa
masa depan harus mencakup semua bahan makanan dan tidak boleh terbatas
pada produk daging. Usulan memasukkan produk-produk seperti obat-obatan
dan kosmetik ditolak untuk sementara waktu. Selain itu, kelompok kerja
memutuskan untuk fokus pada seluruh rantai makanan dan tidak hanya pada
bagian-bagiannya, seperti produksi.
Pada pertemuan tersebut, para ahli kelompok kerja berbagi pengalaman
di negara mereka sendiri mengenai makanan halal, misalnya apakah negara
tersebut memiliki peraturan dan standar hukum yang berlaku, persyaratan apa
yang dikandung di dalamnya dan dokumen referensi apa saja yang digunakan
untuk sertifikasi. Apalagi mereka mulai mempersiapkan gambaran tentang
komunitas Islam dan posisinya di berbagai negara Eropa. Pokja juga bermaksud
untuk bekerja sama dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk
mengambil manfaat dari pengalamannya dalam pengembangan spesifikasi
berbasis konsensus di bidang makanan halal.
Semua upaya ini untuk mempersiapkan pengembangan standar Eropa
tentang makanan halal yang diakui oleh umat Islam, yang persyaratannya sesuai
dengan undang-undang yang berlaku dan juga dapat diterapkan oleh para pelaku
rantai pasokan makanan.

331
CEN, A European Standard on halal food?, Press Release,
ftp://ftp.cen.eu/PUB/PressReleases/HalalFood.pdf, diakses 6 November 2021.

Pengakuan Sertifikasi Halal


247
Secara Internasional
DAFTAR PUSTAKA
Buku

Aust, Anthony, 2010, Handbook of International Law, Cambridge University


Press, New York

Adolf, Huala 2006, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta

Bossche, Peter van den, Daniar Natakususmah, Joseph Wira Koesnaidi, 2010,
Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta

M.U. Chand, 2003, Halal, Haram: The Prohibited and the Permitted Foods and
Drinks, A.S. Noordeen, Kuala Lumpur

Pratomo, Eddy, 2011, Hukum Perjanjian Internasional (Pengertian, Status


Hukum, dan Ratifikasi), Alumni, Jakarta

Sakr, Ahmad Hussein, 1997, A Muslim Guide to Food Ingredients, Foundation


for Islamic Knowledge, Illinois

Jurnal, Makalah, Laporan

Alzeer, Jawad, Ulrieke Rieder, Khaled Abou Hadeed, “Good Agricultural


Practices and Its Compatibility with Halal Standards”, Elsevier: Trends in
Food Science and Technology, Vol. 102, August 2018.

Alzeer, Jawad, Ulrieke Rieder, Khaled Abou Hadeed, “Rational and Practical
Aspects of Halal and Tayyib in The Context of Food Safety”, Elsevier:
Trends in Food Science and Technology, Vol. 71, January 2018.

Ahmad, Anis Najiha, et. al., “Overview of the Halal Food Control System in
Malaysia”, Elsevier: Food Control, Vol. 90, 2018.

Aniqoh, Nur Aini Fitriya Ardiani, Metta Renatie Hanastiana, “Halal Food
Industry: Challenges and Opportunities in Europe”, Journal of Digital
Marketing and Halal Industry, Vol. 2, No. I, 2020.

A. Shafiq, A.K.M. Haque, A. Omar, “Multiple Halal Logos and Malays’ Beliefs:
A Case of Mixed Signals”, International Food Research Journal, Vol. 22,
No. 4, January 2015.

Pengakuan Sertifikasi Halal


248
Secara Internasional
Azam, Afshan, “An empirical study on non- Muslim’s packaged halal food
Manufacturers: Saudi Arabian consumer’s purchase intention,” Journal of
Islamic Marketing, Vol. 7, No. 4

Hall, Serrin Razzaq C. Michael, Girish Prayag, “The Capacity of New Zealand
to Accommodate the Halal Tourism Market — Or not”, Elsevier: Tourism
Management, Vol. 18, April 2016.

Hambali, “Pemberlakuan Sertifikasi Halal Secara Wajib Terhadap Produk Asing


Menurut Persetujuan Tentang Hambatan Teknis dalam Perdagangan
(Technical Barrier to Trade Agreement)”, Nurani Hukum: Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 2, No. 2, Desember 2019

Lau, An Nee, Mohd Hafiz Jamaludin, Jan Mei Soon, “Quality Assurance and
Halal Control Points for The Food Industry”, Nutrition & Food Science,
Vol. 46, Issue 4, July 2016.Appellate Body Report, EC – Asbestos, above
n. 19

Limenta, Michelle, et all, Disabling Labeling: The WTO Consistency of the


Indonesian Mandatory Halal Labeling Law, Working Paper No 2016/08.
World Trade Institute, may, 2016,
https://boris.unibe.ch/97933/1/working_paper_no_8_2016_limenta_el_at.p
df.

Nakyinsige, Khadijah, Yaakob Bin Che Man, Awis Queni Sazili, “Halal
Authenticity Issues in Meat and Meat Products”, Elsevier: Meat Science,
Vol. 91, Issue 3, July 2012.

Nur Asnawi, B. M, “Halal Products Consumption in International Chain


Restaurants among Global Moslem Consumers. International”, Journal of
Emerging Markets, Vol. 13 (5), 2018

Olya, Hossein G.T., Amr Al-ansi, “Risk assessment of Halal Products and
Services: Implication for Tourism Industry”, Elsevier: Tourism
Management, Vol. 65, April 2018.

Othman, Baharudin, Sharifudin Md. Shaarani, Arsiah Bahron, “The Potential of


ASEAN in Halal Certification Implementation: A Review”, Pertanika
Journal of Social Sciences and Humanities, Vol. 24, No. 1, 2016.

Pengakuan Sertifikasi Halal


249
Secara Internasional
Panel Reports, European Communities – Measures Prohibiting the Importation
and Marketing of Seal Products, WT/DS400/R and Add.1 / WT/DS401/R
and Add.1, adopted 18 June 2014

Panel Reports, European Communities – Measures Prohibiting the Importation


and Marketing of Seal Products, WT/DS400/R and Add.1 / WT/DS401/R
and Add.1, adopted 18 June 2014

Rakhmawati, Nur Aini, et. al., “Linked Open Data for Halal Food Products”,
Journal of King Saud University - Computer and Information Sciences, Vol.
33, Issue 6, July 2021.

Ramlan, Puja Dwi Ananda Dan, “Prinsip Non-Diskriminasi Dalam


Penerapannya Pada Peraturan Bank Indonesia Tentang Gerbang
Pembayaran Nasional,” Journal Of International Law, Vol. 1, No. 1, 2020

Salman, Abdul Matin bin, et. Al., “Halal as a Distinct Competitive Edge for
Islamic Higher Education in the Millennial Generation”, International
Journal of Halal Research, Vol. 1, No. 1, December 2019.

Sulaiman, Ainin, et. al. Sentiment Analyses of Multilingual Tweets on Halal


Tourism”, Elsevier: Tourism Management Perspectives, Vol. 34, April
2020.

Yousa, Salman, Fan Xiucheng, “Halal Culinary and Tourism Marketing


Strategies on Government Websites: A Preliminary Analysis”, Elsevier:
Tourism Management, Vol. 68, October 2018.

Zhao, Jie, et. al., “A Panel of SNP Markers for Meat Traceability of Halal Beef
in the Chinese Market, Elsevier: Food Control, Vol. 87, 2018.

Internet

BPJH, MOU Indonesia-Chile, http://halal.go.id/beritalengkap/283

CEN, A European Standard on halal food?, Press Release,


ftp://ftp.cen.eu/PUB/PressReleases/HalalFood.pdf

Komite Akreditasi Nasional, “KAN Jalin Kerjasama dengan ESMA: Ekspor


Produk Halal ke Uni Emirat Arab Semakin Mudah”,
http://www.kan.or.id/index.php/8-news/127-kan-jalin-kerjasama-dengan-
esma-ekspor-produk-halal-ke-uni-emirat-arab-semakin-mudah

Pengakuan Sertifikasi Halal


250
Secara Internasional
“Uni Eropa Kritik Undang-Undang Halal Indonesia”, http://www.zona-
halal.com/2015/03/uni- eropa-kritik-undang- undang-halal.html

HFCE, “The Halal Food Council of Europe, Mission and Objectives”,


http://www.hfce.eu/index.html

Undang-Undang dan Perjanjian

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional.

Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement).

Pengakuan Sertifikasi Halal


251
Secara Internasional
Penerbit:
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah
Bank Indonesia

Anda mungkin juga menyukai