Anda di halaman 1dari 3

LAMBANG “TUT WURI HANDAYANI”

(Mohamad Fatkhurohman)

Dalam Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara (selanjutnya kita


sebut KHD) beliau mengemukakan adagium yang sekarang ini sangat
terkenal, Ing Ngarsa sung tuladha (ketika di depan harus memberikan
teladan), ing madya mangun karsa (ketika di tengah-tengah harus
membangun kemauan dan cita-cita), tut wuri handayani (ketika di
belakang harus memberikan dorongan dan dukungan). Semboyan ini
diakui sebagai dasar/pondasi bagi pendidikan di Indonesia. Inilah salah
satu falsafah pendidikan yang orisinil dari tanah air kita.
Adagium itu dikemukakan oleh seorang bangsawan yang begitu
dekat dengan rakyat kecil, berani membela nasib bangsanya. Ya, KHD
adalah seorang bangsawan. Nama kecilnya adalah Raden Mas Soewardi.
Beliau adalah putra dari Kanjeng Pangeran Soerjaningrat, putra
mahkota di Istana Pakualaman Yogyakarta (yang belakangan dicabut
karena beliau terserang penyakit mata dan mengalami kebutaan).
Bersaudara kandung dengan Raden Mas Iskandar, yang kelak berganti
nama menjadi Soerjapranata (Suryapranata). Keduanya sama-sama
“pendekar” bagi rakyat kebanyakan. Saya pernah membaca buku yang
saying sekali saya lupa judulnya, yang menceritakan bahwa kedua
bersaudara kandung itu selalu bersama-sama dalam membela nasib
rakyat kecil. Tetapi dengan cara yang berbeda. Raden Mas Soewardi
dengan pembawaan yang halus dan diplomatis, sementara Raden Mas
Iskandar, sang kakak yang akan mengambil alih peran jika dipandang
masalah itu tidak bisa dialusi dan harus dengan kekuatan. Kelak di
kemudian hari, keduanya oleh pemerintah Republik Indonesia diangkat
sebagai pahlawan nasional karena demikian besar jasanya bagi
kemerdekaan Indonesia. Raden Mas Soewardi kemudian diangkat
sebagai Bapak Pendidikan di Indonesia, dan tanggal kelahirannya selalu
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
KHD diangkat sebagai Menteri Pengajaran pada Kabinet
Presidensil Rebublik Indonesia pertama di awal merdeka. Kementerian
yang mengurusi bidang pendidikan ini mengalami beberapa kali
pergantian nomenklatur mulai dari Departemen Pengajaran (1945 -
1951), Departemen Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1951 -
1959), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1967 - 1999),
Departemen Pendidikan Nasional (1999 - 2011), Kementerian Pendidikan
Nasional (2011 - 2021) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi (2021 - sekarang). Di era 1959 – 1966, Kementerian ini
berstatus menteri muda dengan 3 orang Menteri Muda Pengajaran
Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada 6 September 1977 ditetapkan sebuah lambang yang saat ini
kita kenal sebagai lambang “Tut Wuri Handayani” sebagai lambang
resmi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lambang ini
terpampang di kantor-kantor yang mengurusi pendidikan dan tercetak
pada surat-surtat resminya. Salah satu bagian dari lambang itu adalah
adagium berbunyi “Tut Wuri Handayani” di bagian atas. Adagium ini
adalah bagian dari adagium yang dikemukakan oleh KHD sebagai
panduan dasar dalam mendidik.
Muncul pertanyaan di benak saya, mengapa adagium yang
tertulis pada lambang Kementerian Pendidikan hanya Tut Wuri
Handayani saja? Bukankan tiga kalimat itu adalah satu rangkaian
ajaran falsafah yang luhur dari KHD yang diakui sebagai bapak
pendidikan dan ketiganya tdk dapat dipisahkan? Macam-macam
penafsiran saya. Ada apa dengan kalimat Ing ngarsa sung tuladha dan
ing madya mangun karsa yang memang disadari atau tidak kedua
kalimat itu memiliki “bobot” -dalam tanda kutip- lebih berat jika
diejawantahkan dalam sikap nyata?
Terserah apa tanggapan anda mengenai makna “bobot” yang saya
katakan tadi. Monggo panjenengan saja bagaimana menafsirkan. Jika
anak saya yang bertanya akan hal tersebut, saya akan jawab begini: itu
hanya karena masalah teknis saja. Tempatnya terlalu sempit untuk
menuliskan semua kalimat. Atau, jika dituliskan semua tampak terlalu
rame dan kurang simpel. Jika anak saya menanyakan, bukankah bias
dirancang tulisannya lengkap? Saya akan menjawab, itu sama saja
dengan kita mengatakan kun fayakuun untuk menggambarkan daya
cipta yang dimiliki oleh Gusti Allah. Sekalipun tidak dikatakan lengkap
Innamaa amruhu idzaa arodaa syaian ayyaquula lahuu kun fayakuun
maka akan dimaknai lengkap sebagaimana jika kita lmenyebut
kalimatnya dengan lengkap.
Ya, harapan saya hal itu bukan pada masalah nilai falsafahnya.
Jika lambang kementerian lain sudah mengalami perubahan,
mungkinkah suatu saat lambang kementerian yang mengurusi masalah
pendidikan (saat ini adalah Kemendikbudristek) diubah dengan
menyempurnakan adagium yang tertulis di sana? Dilengkapi menjadi 3
kalimat secara utuh. Sungguh jika hal ini terjadi, artinya harus terjadi
perubahan filosofis dan mendasar. Pemikiran ini adalah pemikiran iseng
saya saja, bukan sesuatu yang ilmiah. Jadi tidaklah perlu anda
risaukan. (Fat)

Anda mungkin juga menyukai