Busalangga Timur)
Desa Busalangga Timur merupakan salah satu desa yang secara administratif berada di
kecamatan Rote Barat Laut, kab. Rote Ndao. Desa ini terdiri dari enam dusun yaitu Dusun Koli,
Dilabisak, Oni’eal, Longgo, Nggefa, dan Feobuen. Kondisi Lingkungan alam di desa berupa tanah
persawahan/perkebunan sayur, tanah pemukiman warga, dan tanah lain yang ditumbuhi pohon-
pohon seperti lontar, kelapa, jati, lantoro, dan aneka jenis pohon yang lainnya. Ada satu danau
(danau Koli) yang berfungsi sebagai sumber air untuk mengairi sawah dan juga kebun sayur milik
warga serta menjadi tempat minum bagi berbagai jenis ternak seperti sapi, kerbau, kuda, domba
Kondisi alam sangat dipengaruhi oleh musim yang terjadi di pulau Rote yakni musim hujan
saat musim hujan, maka lingkungan alam terasa hijau karena pohon-pohon akan menumbuhkan
tunas dan daun. Namun lainya halnya pada musim panas/kemarau, udara akan terasa panas, pohon-
1
Wawancara Dengan Ha Kepala Desa Busalangga Timur
pohon mengalami keguguran daun dan juga kondisi tanah akan menjadi gersang. Hal di ini sebab
Paul G.Tamelan dan Harijono dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Kabupaten Rote
Ndao merupakan lokasi terselatan Indonesia secara klimatologi termasuk dalam daerah dengan
lahan kering beriklim kering, yang dipengaruh angin musin yang cukup kencang dengan kecapatan
angin 14knot/jam, tekanan udara rata-rata 966,7 milibar. Musim hujan di daera ini relatif pendek
yaitu dari bulan Desember s/d Maret dengan curah hujan berdasarkan atlas curah hujanrata-rata
500-1000 mm dibandingkan dengan data BMG Kabupaten Rote Ndao selama 13 tahun terakhir
sebesar 1.534,56 mm/tahun, rata-rata curah hujan bulanan 129,81 mm, jumlah hari curah hujan
97,2 hari dengan durasi 40 menit, curah hujan maksimum selama 13 tahun terakhir sebesar 139,1
mm pada tanggal 24 januari 2008. Temperatur berkisar antara 23,6 derajat-27 derajat, selama tiga
tahun terakhir suhu udara terus meningkat dimana suhu mimimum 17,0 deraja dengan suhu
Sebagian besar jemaat bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini didukung oleh tekstur
tanah dan air yang mendukung untuk lahan pertanian dan perkebunan sayur. Masyarakat memiliki
tradisi bertani yang rutin dilakukan berdasarkan musim yang terjadi. Pada musim hujan
(November-Maret) mereka akan berfokus pada garapan sawah untuk menamam padi hingga
memanen. Sedang pada musim panas/kemarau (April-Oktober) mereka akan berfokus pada
garapan kebun dengan menanam aneka jenis sayur. Sehingga ekonomi jemaat bertumpuh pada
2
Paul G.Tamelan Dan Harijono, Pemenuhan Kebutuhan Air Minum Penduduk, Ternak Dan Pertanian Di
Daerah Pedesaan Lahan Kering Beriklim Kering Pulau Rote , Jurnal Ilmiah Teknologi Fst Undana Vol.13, No.1,
Edisi Mei 2019 Hal 40-41
hasil sawah dan kebun. Hasil sawah dan kebun akan digunakan untuk konsumsi sehari-hari
keluarga dan juga jual untuk biaya hidup dan juga biaya pendidikan anak.
Dalam mengolah tanah (sawah dan kebun), para petani sangat terbantu oleh mesin-mesin
pertanian. Beberapa tahun terakhir ini pemerintah gencar memberikan bantaun alat pertanian
(alsintan) bagi petani. Bantuan tersebut antara lain: Traktor, Mesin Pompa Air, Mesin Diesel dan
alsintan lainnya. Bahkan ada juga bantuan bibit seperti padi, jagung dan aneka jenis sayur lainnya.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa, mayoritas warga desa Busalangga Timur berprofesi
sebagai petani. Pola bertani dalam periodisasi dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Musim hujan dimanfatkan untuk mengelolah sawah dengan menanam padi. Sedangkan musim
kemarau, dimanfaatkan untuk mengolah sawah dan kebun untuk menanam aneka sayuran.
Pekerjaan ini telah dilakukan secara periodik dalam rentan waktu selama satu tahun.
Curah hujan yang rendah di wilayah Rote, berdampak juga bagi Desa Busalangga Timur.
Dampak tersebut nyata dalam ketersediaan air bagi pengelolah kebun pada musim kemarau. Untuk
memenuhi suplai air untuk menyiram aneka sayur, maka salah satu jalan keluar adalah melalukan
penggalian sumur bor menggunakan alat berat (eksavator) di setiap kebun dan sawah warga.
Ukuran sumur bor sangat bervariasi. Semakin besar dan dalam sebuah sumur bor, maka daya
tampung air semakin besar. Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi bertambahnya jumlah
sumur bor
Warga desa Busalangga Timur, mulai mengenal pengelolahan tanah sudah dari turun-
temurun dan cara siram. Awalnya masyarakat menyiram sayuran dengan metode konvesional yaitu
memikul menggunakan pikulan (Bahasa daerah lelepak). Kemudian dengan perkembangan
zaman, proses siram menggunakan alat-alat modern (Motor air, dinamo air dan mesin Diesel).
Sedangkan dalam mengelolah tanah persawahan, awalnya masyarakat masih menggunakan tenaga
manusia untuk membajak dan memanen hasil sawah, namun dengan perkembangan zaman
perkerjaan dilakukan menggunakan alat-alat pertanian seperti traktor dan mesin rontok padi.
Beberapa tahun terakhir ini, banyak sekali masyarakat Desa Busalangga Timur mendapat
bantuan Alsintan dari pihak pemerintah Kabupaten Rote Ndaao dan bantuan Aspirasi dari Anggota
DPRI Pusat melalui Kementerian Pertanian. Bantuan tersebut antara lain: Traktor, Mesin Pompa
Perubahan cara siram dan bantuan alsintan dari pemerintah berdampak pada meluas lahan
pertanian dan perkebunan. Masyarakat semakin gencar membuka lahan baru. Maka tidaklah
mengherankan luar lahan untuk perswahan/perkebunan semakin besar. Bahkan derah padang
rumput di beberapa wilayah yang biasanya menjadi tempat suplai makanan bagi ternak (sapi, kuda,
dan kerbau) telah beralih fungsi menjadi sawah/ kebun. Hal ini menimbulkan masalah baru, sebab
dengan berkurangnya suplai makanan bagi ternak, maka tidak jarang ternak-ternak tersebut masuk
ke kebun/sawah warga dan merusakan serta memakan hasil kebun dan sawah yang ada.
Fenomena bertambahnya jumlah sumur bor telah berlangsung beberapa tahun belakangan
ini. Metode penggalian yang dulu dengan tenaga manusia, beralih ke tenaga alat berat, semakin
mempermudah pekerjaan warga. Namun hal ini bukanlah tidak membawa dampak. Ada dampak
3
Wawancara Dengan DM, Anggota DPRD Kab. Rote Ndao periode 2019-2024
positif dan negatif yang menyertai. Dampak positif dirasakan adalah ketersediaan air baku di
kebun. Namun ada juga dampak negatif yang ditimbulkan yaitu: terjadi kekeringan di danau koli
yang berdampak pada kekeringan di sumur konsumsi pada hampir semua warga Desa dan
berdampak juga bagi ketersediaan air bagi bagi untuk konsumsi ternak (sapi, kerbau, dan kuda).
Keadaan mulai terjadi sekitar bulan agustus hingga awal November disetiap tahunnya. Padahal
menurut cerita salah satu tokoh adat bahwa pada tahun 1960-an debit air di danau koli sangat
banyak dan tidak pernah mengalami kekeringan namun keadaan ini berubah di awal tahun 2000-
an hingga saat ini, setiap tahun danau tersebut mengalami kekeringan. Dampak dari kekeringan itu
Menurut laporan perkembangan air dunia, PBB meramalkan bahwa sekitar pertengahan
abad ini, diperkirakan paling pesimis 7 miliar orang di 60 negara akan mengalami kelangkaan air,
menurut perkiraan paling otomatis 2 miliar orang di 48 negara. Hampir 98% air di bumi adalah air
asin, tidak baik untuk dikonsumsi manusia. Kurang dari 1% dari total air bersih untuk kita.
Sebagian besar air segara itu tersimpan dalam salju dan kutub es. 5 Dari laporan PBB kita
mendapatkan informasi bahwa kelangkaan air bersih sudah merupakan kenyataan. Perubahan
iklim karena pemanasan global yang akhir-akhir kita alami turut meningkatkan kelangkaan air
1. Menurunnya sumber air, permukaan air bawah tanah, daerah-daerah rawa dan teluk
4
Wawancara dengan MM, tua adat desa Busalangga Timur
5
Unep, 2002, Perkiraan Lingkungan Global.
6
Pbb, 2003, Laporan Pembangunan
3. Konflik-konflik lintas batas
Maude Barlow dalam artikel mengatakan bahwa jumlah air semakin menyusut untuk
mencukupi kebutuhan manusia. Walapun bumi melimpah dengan air, namun sebagian besar tidak
bisa diminum. Di seluruh muka bumi, 12% masyarakat mengonsumsi 85% total air dari persediaan
air yang dapat dikonsumsi. Masyarakat dunia yang berjumlah 12% itu tinggal di negara-negara
Manajemen sumber daya air merupakan salah satu faktor penting yang diperlukan untuk
berkembang. The Dublin Principles yang ditetapkan pada tahun 1992 menyampaikan beberapa isu
1. Air adalah sumber yang berarti dan rentan, esensial untuk memelihara keberlanjutan
2. Pembangunan dan manajemen sumber daya air harus didasarkan pada suatu
7
Judith G. Lim & Mutiara Andalas Sj, Roh Allah Melayang-Layang Di Atas Air, (Jakarta: Bpk Gunung
Mulia, 2022), 13
8
Maude Barlow, Water As Commodity-The Wrong Prescription, The Institute For Food And
Develompment Polici, Backgrounder, Summer 2001, Vol.7, No.3
4. Air memiliki nilai ekonomi dan setiap penggunaannya, dan harus dimerngerti sebagai
“barang” ekonomi. 9
pentingnya air dalam kehidupan dan seluruh aktivitas manusia dan sebagai barang
Christopher Wright membuka tulisannya yang berkaitan dengan etika “Ekonomi dan
Tanah” dengan kalimat, segala kekayaan manusia pada dasarnya bergantung pada yang telah
dipercayakan leh Allah kepada kita dalam lapisan kerak bumi yang bekelimpahan. 11 Kesadaran
demikian sebenarnya perlu dimiliki oleh semua umat manusia, sehingga Sumber Daya Manusia
yang ada di sekitar hidup manusiapun sebenarnya adalah suatu kekayaan alam yang dipercayakan
kepada manusia. menguasai alam tidak mengeksploitasi atau melakukan kerja-kerja ekstrasi alam
demi pemenuhan keinginan diri sendiri, dan mengorban banyak orang.12 Banwiratma dan
Widyatmadja mengatakan bahwa sedikitnya ada empat fungsi sumber daya alam yang selama ini
diabaikan, pertama, fungsi pengaturan secara ekologis (ecological regulatori functio). Lingkungan
mempunyai fungsi mengatur kondisi (keadaan). Kedua, fungsi “untuk” memelihara (ecological
maintaining function). Ketiga, fungsi pemurni secara ekologis atau fungsi untuk memurnikan
9
Wahdi Handayani & Augustinus Ignatius Kristijanto, “Narasi Air Dan Perempuan Dalam Teknologi
Daur Ulang Limbah Batik Di Masaran Sragen,” Dalam Ekofeminisme Ii, Narasi Iman, Mitos, Air & Tanah, Ed.
Dewi Candraningrum, (Yogyakarta: Jalasutrea, 2014), 254
10
Wahdi Handayani & Augustinus Ignatius Kristijanto, “Narasi Air Dan Perempuan Dalam Teknologi
Daur Ulang Limbah Batik Di Masaran Sragen,” Dalam Ekofeminisme Ii, Narasi Iman, Mitos, Air & Tanah, Ed.
Dewi Candraningrum, (Yogyakarta: Jalasutrea, 2014), 254
11
Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 1995), 67
12
Surya Samudera Giamsjah, “Menamai Dan Menguasai: Mengayomi, Bukan Mengeksploitasi”, Dalam
Roh Allah Melayang-Layang Di Atas Air. Ed. Judith G. Lim & Mutiara Andalas Sj, , (Jakarta: Bpk Gunung Mulia,
2022), 171
lingkungan atau keadaan (ecological recovery function). Keempat, fungsi informasi.
Sesungguhnya alam mempunyai kemampuan “lebih”, tetapi selama ini dilihat hanyalah sebagai
fungsi produksi. 13 Keadaan ini juga berlaku pada penggunaan air. Air hanya ditempatkan sebagai
sesuai yang peran dapat menghasilkan daya konsumsi bagi masyarakat. Sehingga manusia akan
berupaya sedemikan rupa untuk mendapatkan air demi memenuhi segala kebutuhan dan
keinginannya termasuk dengan cama penggalian sumur bor yang semakin masif dilakukan. Hal ini
merupakan solusi dalam mengatasi kekeringan bukanlah solusi yang jitu, melainkan solusi
sempurna kapitalisme. 14 Dan merupakan ciri masyarakat modern yang menjunjung tinggi
individualitas dalam dunia ekonomi.15 Memang dalam prinsip ekonomi sangat berkaitan erat
dengan keuntungan, namun menjadi problem adalah ketika keuntungan didefinisikan sebagai
“materi” dan/atau “kepuasan”, akibat penerapan prinsip tersebut tanpa memiliki wawasan etis
teologis berkaitan dengan kelestarian alam dan kehidupan di dunia ini, dampaknya akan
membahayakan. Karena jalan pikir ekonomi selalu menganggap Sumber Daya Alam (termasuk
air) dan lingkungan itu gratis, lahir anggapan bahwa bahwa manusia dapat berbuat apa saja untuk
menghasilkan produksi. Lebih lanjut Robet Borong dalam artikenya memberikan pertanyan retoris
dalam hal mengelolah alam. Ia bertanya “adakah batasan antara memanfaatkan, menggunakan,
13
J.B Banawiratm Dan Josef P. Widyatmatja (Peny), Iman, Ekonomi, Dan Ekologi, Refleksi Lintas Ilmu
Dan Lintas Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 5
14
Karen Campbel-Nelson, “Eko-Logi, Eko-Nomi, Eko-Pneuma, Oikos-Logia, Oikos-Nomia, Oikos-
Pneuma, Pelajaran, Pengelolahan, Roh Rumah”, Dalam Dalam Spiritualitas Ekoteologi Kristen Kontekstual: Buku
Penghormatan Ulang Tahun Ke-70 Pdt. (Emr.) Dr. Junus Eliud Eduard Inabuy, M.Th., Stm, Ed.Ira D. Mangilio Dan
Mesak A.P. Dethan (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2021)192-193
15
Nanci Novita Sousisa, “Sasi: Menghargai Hidup Bersama, Mengelolah Lingkungan Berkelanjutan”,
Dalam Teologi Tanah, Dalam “Teologi Tanah: Perspektif Kristen Terhadap Ketidakadilan Sosio-Ekologis Di
Indonesia, Ed. Zakaria J. Ngelow Dan Lady Paula R. Mandalika (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2022), 68
mengeksploitasi dan merusak alam? Tentu hal itu kembali kepada manusia masing-masing.
Karena di satu pihak, manusia tidak dapat menyangkali kesatuannya dengan alam, terutama dalam
realitas keterbatasannya (infinitas) manusia sebagai makhluk biologis (makan, minum, kawin,
sakit, meninggal, dll). Di pihak lain, manusia memang memiliki keunggulan dalam hal kreativitas
(pengetahuan dan kecerdasan) dan moralitas (tahu membedakan yang baik dan buruk dan bisa
memilih yang baik), dan spiritual (memiliki belas kasihan dan kemurahan, pengasih dan
penyanyang).16
Persoalan lingkungan hidup dewasa ini sudah sangat mendesak untuk ditanggulangi, oleh
karena kualitas lingkungan semakin hari semakin memburuk. Dalam sambutan dan pesan tertulis
menteri Lingkungan Hidup dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup sedunia tanggal 5
Juni 2013, disebutkan bahwa berdasarkan hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
tahun 2012 menunjukkan indeks perilaku peduli lingkungan (IPPL) di Indonesia berkisar pada
angka 0,57 (dari angka mutlak 1). Hal ini mengindikasikan masyarakat Indonesia belum
berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.17 Sikap ini pada akhir
Dalam konteks lokal misalnya, dampak negatif dari keberadaan sumur bor telah dirasakan
oleh hampir semua warga desa Busalangga Timur. Hasil wawancara dengan 10 keluarga yang
tersebar di 6 Dusun di Desa Busalangga Timur didapati jawaban yang sama. Yaitu sumur konsumsi
16
Robert Patanang Borrong, “Alam Sebagai Oikos Allah: Telaah Kritis Atas Relasi Manusia Dengan Alam
Menurut Kisah Penciptaan Dan Relevansinya Bagi Panggilan Ekologis Gereja, Dalam Buku “Berakar Dan
Bertumbuh Di Dalam Dia: Buku Penghormatan Prof. Samuel Benyamin Hakh, D.Th, Peny. Besly J. T. Messakh,
(Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2017), 168
17
Andris Noya, “Urgensi Pendidikan Lingkungan Hidup Di Sekolah Dalam Mengatasi Krisis Ekologi:
Kajian Feminisme”, Dalam Ekofeminisme Seri 1: Dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi, Dan Budaya. Ed.
Dewi Candraningrum, (Yogyakarta: Jalasutra, 2013), 118)
mereka di rumah mengalami kekeringan dan pada akhrinya mereka harus membeli air tangki
dengan harga Rp.120.000/tengki. 18 Masing-masing rumah biasanya menghabis 4-5 tangki dalam
setahun. Keadaan ini harus mereka lakukan hingga menunggu sumur kembali tersisi di akhir Bulan
Fenomena ini menjadi bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis air padahal air
merupakan sumber kehidupan. Oleh karena itu, ada satu upaya penting dalam konteks berteologi
kita yaitu mengembangkan teologi air beserta praksis ritualnya yang lebih komprehensif tentang
air, teologi air perlu menjadi bagian dalam ajaran resmi gereja. Ada tiga hal yang mau
disampaikan. Pertama, teologi selalu bersifat kontekstual. Salah satu maknanya adalah kita tidak
dapat berteologi lepas dari respon terhadap situasi yang terjadi. Keprihatinan tentang perlakuan
manusia terhadap air seharunya membawa pada sebuah refleksi teologi yang bertanggungjawab
tentag air; sebuah re-interpretasi teologis tentang air. Air adalah sumber kehidupan, menjadi
bagian dari jati diri yang dianugerahkan Allah kepada manusia. ‘Air sebagai pemberi kehidupan”
direfleksikan oleh Yesaya sebagai keadaan yang memberi kebebasan. Yesaya 35:6 mengemukakan
“pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-
sorai, sebab pada saat ini air memancar dari padang gurun dan sungai di padang belantara”.
Refleksi Yesaya jelas sekali menyatakan bahwa air adalah sumber kegembiraan dan kebebasan.
Dengan kata lain, kehidupan sebenarnya berisikan kegembiraan dan kebebasan, dan air menjadi
bagian yang tiak terpisahkan dari itu. Sebagai “sumber kehidupan” air memberikan kegembiraan
dan kebebasan. Dengan demikian, salah satu tugas teologi yang penting adalah mengembalikan
poros relasi Allah-manusia-alam semesta. Ketiga poros ini sejak lama hanya bertumpu pada dua
18
Wawancara dengan 10 warga Desa Busalangga Timur
porof refleksi saja, yaitu Allah-manusia, sehingga ketidakseimbangan dan kesenjangan dalam
didalami oleh para teolog akademis hendaknya menjadi bagian dari diskursus gereja dan akhirnya
gereja dapat merumuskan sebuah ajaran resmi tentang air. Ketika air masuk menjadi bagian dari
ajaran dan refleksi “resmi” gereja, pada saat yang sama gereja sebenarnya menjadikan air,
mengikuti refleksi buber, sebagai “engkau” bagi gereja. sekaligus gereja menunjukkan tanggung
jawabnya terhadap air. Demikian juga porsi khotbah. Presentase khotbah yang disampaikan gereja
masih dimonopoli oleh dua tema besar, yaitu tema pertama adalah apologetik-menegaskan ajaran-
ajaran dogmatis dan tema kedua adalah kesalehan dalam kaitan dengan tindakan untuk diri sendiri
dan orang lain. Sementara itu, tema khotbah tentang lingkungan sangat sedikit, dan itupun secara
Ketiga, ketika basis kultural menjadi bagian praksis sehari-hari religiositas masyarakat
dalam merefleksikan diri dan air, gereja hendaknya tidak segan-segan mengembangkan praksis
ritual yang berhubungan dengan air. Tradisi kultural masyarakat seperti riwatan bumi sebenarnya
bisa menjadi bagian gereja untuk berteologi sekaligus menghayati praksis ritual kkultural dalam
19
Wahyu S. Wibowo, “Aku-Engkau, Aku-Air”, Dalam Roh Allah Melayang-Layang Di Atas Air. Ed.
Judith G. Lim & Mutiara Andalas Sj, , (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2022),86-87
DAFTAR PUSTAKA
Andris Noya, “Urgensi Pendidikan Lingkungan Hidup Di Sekolah Dalam Mengatasi Krisis
Ekologi: Kajian Feminisme”, Dalam Ekofeminisme Seri 1: Dalam Tafsir Agama,
Pendidikan, Ekonomi, Dan Budaya. Ed. Dewi Candraningrum, Yogyakarta: Jalasutra,
2013
Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama, Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 1995
J.B Banawiratm Dan Josef P. Widyatmatja (Peny), Iman, Ekonomi, Dan Ekologi, Refleksi Lintas
Ilmu Dan Lintas Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Judith G. Lim & Mutiara Andalas Sj, Roh Allah Melayang-Layang Di Atas Air, Jakarta: Bpk
Gunung Mulia, 2022
Karen Campbel-Nelson, “Eko-Logi, Eko-Nomi, Eko-Pneuma, Oikos-Logia, Oikos-Nomia, Oikos-
Pneuma, Pelajaran, Pengelolahan, Roh Rumah”, Dalam Dalam Spiritualitas Ekoteologi
Kristen Kontekstual: Buku Penghormatan Ulang Tahun Ke-70 Pdt. (Emr.) Dr. Junus
Eliud Eduard Inabuy, M.Th., Stm, Ed.Ira D. Mangilio Dan Mesak A.P. Dethan, Jakarta:
Bpk Gunung Mulia, 2021
Maude Barlow, Water As Commodity-The Wrong Prescription, The Institute For Food And
Develompment Polici, Backgrounder, Summer 2001, Vol.7, No.3
Nanci Novita Sousisa, “Sasi: Menghargai Hidup Bersama, Mengelolah Lingkungan
Berkelanjutan”, Dalam Teologi Tanah, Dalam “Teologi Tanah: Perspektif Kristen
Terhadap Ketidakadilan Sosio-Ekologis Di Indonesia, Ed. Zakaria J. Ngelow Dan Lady
Paula R. Mandalika, Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2022
Paul G.Tamelan Dan Harijono, Pemenuhan Kebutuhan Air Minum Penduduk, Ternak Dan
Pertanian Di Daerah Pedesaan Lahan Kering Beriklim Kering Pulau Rote , Jurnal Ilmiah
Teknologi Fst Undana Vol.13, No.1, Edisi Mei 2019
PBB, 2003, Laporan Pembangunan
Robert Patanang Borrong, “Alam Sebagai Oikos Allah: Telaah Kritis Atas Relasi Manusia
Dengan Alam Menurut Kisah Penciptaan Dan Relevansinya Bagi Panggilan Ekologis
Gereja, Dalam Buku “Berakar Dan Bertumbuh Di Dalam Dia: Buku Penghormatan
Prof. Samuel Benyamin Hakh, D.Th, Peny. Besly J. T. Messakh, Jakarta: Bpk Gunung
Mulia, 2017
Surya Samudera Giamsjah, “Menamai Dan Menguasai: Mengayomi, Bukan Mengeksploitasi”,
Dalam Roh Allah Melayang-Layang Di Atas Air. Ed. Judith G. Lim & Mutiara Andalas
Sj, , Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2022
Unep, 2002, Perkiraan Lingkungan Global.
Wahdi Handayani & Augustinus Ignatius Kristijanto, “Narasi Air Dan Perempuan Dalam
Teknologi Daur Ulang Limbah Batik Di Masaran Sragen,” Dalam Ekofeminisme Ii,
Narasi Iman, Mitos, Air & Tanah, Ed. Dewi Candraningrum, Yogyakarta: Jalasutrea,
2014
Wahyu S. Wibowo, “Aku-Engkau, Aku-Air”, Dalam Roh Allah Melayang-Layang Di Atas Air.
Ed. Judith G. Lim & Mutiara Andalas Sj, Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2022