DISUSUN OLEH :
2019
Dosen Pembimbing :
A. Eutrofikasi
Peraian darat seperti danau, sungai dan waduk adalah rumah bagi banyak
organisme air yang saling berinteraksi. Meskipun perairan darat hanya merupakan
bagian kecil dari total air yang ada di bumi, ekosistem ini sangat berpengaruh pada
kebutuhan vital kehidupan manusia seperti irigasi, pasokan air untuk akuakultur,
pemenuhan air untuk kebutuhan rumah tangga, pembangkit listrik tenaga air,
wisata dan habitat satwa liar.
Eutrofikasi adalah suatu proses di mana suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat
cepat dibandingkan pertumbuhan yang normal. Proses ini juga sering disebut
dengan blooming. Blooming artinya mekar dengan sangat cepat. Proses ini
biasanya terjadi pada tumbuhan yang habitatnya berada di perairan khususnya
perairan air tawar seperti di danau - danau atau sungai - sungai. Eutrofikasi adalah
pengayaan (enrichment) air dengan nutrien/unsur hara berupa bahan anorganik
yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya
peningkatan produktivitas primer perairan. Unsur hara yang dimaksud
adalah nitrogen (N) dan fosfor (P). Eutrofikasi merupakan problem lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-), khususnya dalam ekosistem air
tawar. Definisi dasarnya adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya
nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika
konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L.
Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah di mana danau
mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya
biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada kondisi eutrofik.
Proses alamiah ini, oleh manusia dengan segala aktivitas modernnya, secara tidak
disadari dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade atau bahkan
beberapa tahun saja. Maka tidaklah mengherankan jika eutrofikasi menjadi
masalah di hampir ribuan danau di muka Bumi, sebagaimana dikenal lewat
fenomena algal bloom.
Ada 15 danau yang ditetapkan menjadi Danau Prioritas yakni Rawapening di Jawa
Tengah, Rawa Danau di Banten, Batur di Bali, Toba di Sumatera Utara, Kerinci di
Jambi, Manunjau dan Singkarak di Sumatera Barat Poso di Sulawesi Tengah,
Mahakam-Semayang-Jempang di Kalimantan Timur, Melintang dan Tondano di
Sulawesi Utara, Tempe dan Matano di Sulawesi Selatan, Limboto di Gorontalo,
Sentarum di Kalimantan Barat, dan Sentani di Papua
C. Danau Limboto
1. Jenis Danau
Danau yang mendapat pasokan air dari 23 sungai di sekitar DAS limboto,
dalam perkembangannya terus mengalami penurunan luas akibat sedimentasi.
Pada tahun 1900, luas danau sebesar 8.000 ha, namun saat ini hanya tinggal
2.400 ha. Danau Limboto dari tahun ke tahun luas dan tingkat kedalamannya
terus berkurang. Luas Danau Limboto pada tahun 1999 berkisar antara 1.900-
3.000 ha, dengan kedalaman 2-4 meter (Cabang Dinas Perikanan Kabupaten
Gorontalo, 2000). Pada tahun 1932, luas perairan ini mencapai 7.000 ha.
Kondisi danau yang semakin terdegradasi akibat laju sedimentasi yang tinggi
dan populasi tanaman air yang tidak terkendali menyebabkan terjadinya
pendangkalan yang berakibat pada berkurangnya luas danau dan dapat
mempengaruhi sumberdaya danau limboto salah satunya dari aspek
perikanan. Musim kemarau beberapa bulan yang lalu membuat
permukaan Danau Limboto sudah surut sekitar 200 hingga 300 meter.
akibat surutnya Danau Limboto, berbagai macam jenis ikan mati. Jumlahnya
bisa mencapai ribuan yang mati terjebak di eceng gondok. Sekarang
sangat sulit menemukan ikan-ikan tadi dijual oleh nelayan Danau Limboto di
jalan translurahan Dehuwalolo, Kecamatan Limboto. Kalaupun ada, hanya
ada dua sampai 10 ekor saja. Kelangkaan ikan khas Danau Limboto tak
terlepas dari ulah nelayan yang sering menggunakan cara instan. Selain
penyetruman, sejumlah nelayan juga masih menggunakan pukat untuk
menangkap ikan. Akibatnya, bibit-bibit ikan ikut terjala hingga memutus
pengembangbiakkan ikan-ikan itu.