Anda di halaman 1dari 75

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

BAB I
PENCEMARAN PEARAIAN UMUM

Pembangunan yang dilakukan besar-besaran di Indonesia dapat


meningkatkan kemakmuran namun disisi lain hal ini juga dapat membawa dampak
negatif terhadap lingkungan hidup. contoh kasus yang paling hangat adalah kasus
buyat di Sulawesi. Dampak yang diakibatkan dari pencemaran lingkungan yang
disinyalir dari buangan proses sebuah industri pertambangan dimana
mengakibatkan rusaknya ekosistem ( pencemaran terhadap ikan dan perairan ) serta
mengakibatkan sejumlah penyakit dimasyarakat sekitar. Jadi yang dimaksud
dengan pencemaran lingkungan menurut UU. RI No. 4 tahun 1992 adalah
masuknya / dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain
kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan
manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas menurun sampai ketingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan jadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi
sesuai peruntukannya.
Indonesia menyebut negerinya sebagai Tanah Perairan Kita, yang berarti
“Tanah dan Perairan Kita”. Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia,
memiliki suatu wilayah seluas 1,91 juta km2 yang tersebar di 17.508 pulau. Pulau-
pulau tersebut, dan enam lautan yang memisahkannya, terletak di suatu wilayah
berukuran kira-kira 2.000 kilometer dari utara ke selatan, dan lebih dari 5.000 km
dari timur ke barat.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di
dunia (setelah Cina, India dan Amerika Serikat), dengan jumlah penduduk
sebanyak 203 juta jiwa (sensus tahun 2000). Duapertiga berdiam di pulau Jawa,
yang menurut sejarah merupakan pusat kekuatan ekonomi dan politik di Indonesia.
Terdapat 309 kelompok etnik yang berbeda-beda. Disebabkan oleh
keanekaragaman kebudayaan yang sangat besar ini, maka semboyan negara
tersebut adalah Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “Persatuan dalam
Keanekaragaman”. Secara administratif Indonesia terbagi dalam 30 propinsi, dua
daerah istimewa, dan daerah khusus Ibukota Jakarta. Hampir 60 persen dari daratan
Indonesia berhutan dan suatu bagian yang signifikan juga bergunung dan
bergunung api. Ada lebih dari 500 gunung api di Indonesia (112 di pulau Jawa
saja), diantaranya 129 masih tetap aktif. Kegiatan gunung berapi selama berabad-
abad telah menimbulkan suatu tingkat kesuburan tanah yang tinggi di pulau Jawa

Pencemaran Perairan 1
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

dan Bali, sebagaimana tercermin pada konsentrasi penduduk dan pertanian yang
tinggi di pulau-pulau tersebut.

Gambar 1 : Sumber Perairan yang dapat Diperbaharui Dalam Suatu Konteks


Global
Indonesia menerima curah hujan yang melimpah dan memiliki kira-kira 6
persen dari sumber perairan segar di dunia. Hal ini ekivalen dengan kira-kira 2.530
km3 sumber perairan yang dapat diperbaharui setiap tahun (lihat Tabel 5),
walaupun distribusinya sangat berbeda diantara berbagai pulau. Di pulau Jawa,
dimana berdiam sekitar 60 persen dari jumlah penduduk, ketersediaan perairan
rata-rata per tahun adalah sekitar 1.750 m3 per kapita, dan didistribusi tidak sama
rata baik secara geografis maupun secara musim.29 Sumber perairan tanah terbatas
dan digunakan untuk tujuan rumah tangga, kotamadya dan industri. Jumlah sumber
perairan yang dapat diperbaharui per kaptia (termasuk aliran sungai dan aliran
perairan tanah dan curah hujan di negara tersebut) adalah 13.709 m3 dalam tahun
1999.30 Ini lebih tinggi dari rata-rata dunia, tetapi lebih rendah daripada beberapa
negara Asia Timur lain seperti Kamboja dan Lao PDR. Kualitas perairan Indonesia
semakin memburuk. Penyediaan perairan yang aman adalah terbatas di Indonesia,
dan akses ke perairan bersih akan berkurang karena tingkat-tingkat polusi yang
meningkat - yang menjurus kepada kerusakan ekologis dan estetis maupun
peningkatan masalah kesehatan yang berkaitan dengan perairan.

Pencemaran Perairan 2
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Sumber : Database dari Indikator Pembangunan Dunia


* Angka – angka 1998
Salah satu masalah yang timbul dari pembanguanan yang pesat dan taraf
hidup yang meningkat adalah meningkatnya produksi limbah. Pertumbuhan
industri, intensifikasi pertanian dan peningkatan penyediaan kebutuhan penduduk
menyisakan bahan-bahan buangan yang besar, seperti limbah indutri, pertanian,
kesehatan dan rumah tangga. Tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat,
limbah-limbah tersebut akan mencemari lingkungan dan membahayakan
kehidupan disekitarnya. Disamping oleh berbagai limbah, pencemaran dapat pula
disebabkan oleh bahan baku limbah, contohnya minyak dan produk hidrokarbon
lainnya. Umumnya hal itu terjadi karena kecelakaan kapal dilaut dan sebagainya.
Yang perlu menjadi perhatian kita adalah kenyataan bahwa pada akhirnya sebagian
besar dari limbah dan bahan pencemar itu akan mencapai dilaut. Secara alami
bahan-bahan tersebut akan mengalami proses degradasi dan pada akhirnya menjadi
zat hara kembali. Masalahnya adalah kecepatan proses degradasi sering jauh lebih
lambatdari proses kemasukan. Akibatnya terjadi proses penumpukan yang dapat
membahayakan kehidupan organisme maupun kesehatan manusia.
Perairan merupakan sumber daya alam yang dapat di perbaharui , sumber
daya alam ini harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan
ekosistem. Perairan merupakan kebutuhan utama seluruh makhluk hidup. Bagi
manusia selain untuk minum, mandi dan mencuci, perairan bermanfaat juga:
sebagai sarana transportasi, sebagai sarana wisata/rekreasi, sebagai sarana
irigasi/pengperairanan, sebagai PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Perairan).
Penyebab terjadinya pencemaran lingkungan sebagian besar disebabkan oleh
tangan manusia. Pencemaran perairan adalah pencemaran yang terjadi di
perperairanan seperti sungai, kali, danau, laut, perairan tanah, dan sebagainya.

Pencemaran Perairan 3
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Alam memiliki kemampuan untuk mengembalikan kondisi perairan yang telah


tercemar dengan proses pemurnian atau purifikasi alami dengan jalan pemurnian
tanah, pasir, bebatuan dan mikro organisme yang ada di alam sekitar kita. Jumlah
pencemaran yang sangat masal dari pihak manusia membuat alam tidak mampu
mengembalikan kondisi seperti semula. Alam menjadi kehilangan kemampuan
untuk memurnikan pencemaran yang terjadi. Sampah dan zat seperti plastik, DDT,
deterjen dan sebagainya yang tidak ramah lingkungan akan semakin memperparah
kondisi pengrusakan alam yang kian hari kian bertambah parah.
Diantara sekian banyak bahan pencemar air ada yang beracun dan berbahaya
dan dapat menyebabkan kematian. Telah anda pelajari bahwa bahan pencemar air
antara lain ada yang berupa logam-logam berat seperti arsen (As), kadmium (Cd),
berilium (Be), Boron (B), tembaga (Cu), fluor (F), timbal (Pb), air raksa (Hg),
selenium (Se), seng (Zn), ada yang berupa oksida-oksida karbon (CO dan CO 2 ),
oksidaoksida nitrogen (NO dan NO 2 ), oksida-oksida belerang(SO 2 dan SO 3 ), H 2 S,
asam sianida (HCN), senyawa/ion klorida, partikulat padat seperti asbes,
tanah/lumpur, senyawa hidrokarbon seperti metana, dan heksana.Bahan-bahan
pencemar ini terdapat dalam air, ada yang berupa larutan ada pula yang berupa
partikulat-partikulat, yang masuk melalui bahan makanan yang terbawa ke dalam
pencernaan atau melalui kulit. Bahan pencemar unsur-unsur di atas terdapat dalam
air di alam ataupun dalam air limbah. Walaupun unsur-unsur diatas dalam jumlah
kecil diperlukan dalam makanan hewan maupun tumbuhtumbuhan, akan tetapi
apabila jumlahnya banyak akan bersifat racun, contoh tembaga (Cu), seng (Zn) dan
selenium (Se) dan molibdium esensial untuk tanaman tetapi bersifat racun untuk
hewan. Air merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan di muka bumi terutama
bagi manusia. Oleh karena itu apabila air yang akan digunakan mengandung bahan
pencemar akan mengganggu kesehatan manusia, menyebabkan keracunan bahkan
sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian.
Bahan pencemar yang menumpuk dalam jaringan tubuh dapat meracuni
organ tubuh tersebut, sehingga organ tubuh tidak bisa berfungsi lagi dan dapat
menyebabkan kesehatan terganggu bahkan dapat sampai mati. Selain bahan
pencemar air seperti tersebut di atas ada juga bahan pencemar berupa bibit penyakit
(bakteri/virus) misalnya bakteri coli, disentri, kolera, typhus, para typhus, lever,
diare dan bermacammacam penyakit kulit. Bahan pencemar ini terbawa air
permukaan seperti air sungai dari buangan air rumah tangga, air buangan rumah
sakit, yang membawa kotoran manusia atau kotoran hewan.

Pencemaran Perairan 4
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Sumber Pencemaran Air

Banyak penyebab sumber pencemaran air, tetapi secara umum dapat


dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu sumber kontaminan langsung dan tidak
langsung. Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA sampah,
rumah tangga dan sebagainya. Sumber tak langsung adalah kontaminan yang
memasuki badan air dari tanah, air tanah atau atmosfir berupa hujan (Pencemaran
Ling. Online, 2003). Pada dasarnya sumber pencemaran air berasal dari industri,
rumah tangga (pemukiman) dan pertanian. Tanah dan air tanah mengandung sisa
dari aktivitas pertanian misalnya pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfir
juga berasal dari aktifitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan
hujan asam. Pengaruh bahan pencemar yang berupa gas, bahan terlarut, dan
partikulat terhadap lingkungan perairan dan kesehatan manusia dapat ditunjukkan
secara skematik sebagai berikut :

Indikator pencemaran air


Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya
perubahan atau tanda yang dapat diamati yang dapat digolongkan menjadi :

Pencemaran Perairan 5
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

1. Pengamatan secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan


tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya
perubahan warna, bau dan rasa
2. Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan
zat kimia yang terlarut, perubahan pH - Pengamatan secara biologis, yaitu
pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam
air, terutama ada tidaknya bakteri pathogen.
Indikator yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau
konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan
oksigen biokimia (Biochemiycal Oxygen Demand, BOD) serta kebutuhan oksigen
kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD). pH atau Konsentrasi Ion Hidrogen
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH sekitar
6,5 – 7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH
di bawah pH normal, maka air tersebut bersifat asam, sedangkan air yang
mempunyai pH di atas pH normal bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan
industri akan mengubah pH air yang akhirnya akan mengganggu kehidupan biota
akuatik. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahab pH dan
menyukai pH antara 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi
perairan , misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH yang rendah. Pengaruh
nilai pH pada komunitas biologi perairan dapat dilihat pada table di bawah ini :

Pencemaran Perairan 6
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat
bertoleransi terhadap pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas
acidophila mampu bertahan pada pH =1 dan algae Euglena pada pH 1,6.
Oksigen terlarut (DO)
Tanpa adanya oksegen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak
dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa
organic dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi
fotosintesa algae. Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak
efisien, karena oksigen yang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk
proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air
tergantung pada temperature dan tekanan atmosfir. Berdasarkan data-data
temperature dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air pada 250C dan
tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, 1985). Kadar oksigen terlarut yang
tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia. Ikan dan organisme
akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dengan jumlah cukup banyak.
Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme. Keberadaan logam berta yang
berlebihan di perairan akan mempengaruhi system respirasi organisme akuatik,
sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan
konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih menderita (Tebbut, 1992
dalam Effendi, 2003).
Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh
proses fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar
daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut
dapat melebihi kadar oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi.
Sedangkan pada malam hari, tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus
berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi
harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum terjadi
pada sore hari dan minimum pada pagi hari.
Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)
Dekomposisi bahan organic terdiri atas 2 tahap, yaitu terurainya bahan
organic menjadi anorganik dan bahan anorganik yang tidak stabil berubah menjadi
bahan anorganik yang stabil, misalnya ammonia mengalami oksidasi menjadi nitrit
atau nitrat (nitrifikasi). Pada penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap
pertama ynag berperan, sedangkan oksidasi bahan anorganik (nitrifikasi) dianggap
sebagai zat pengganggu. Dengan demikian, BOD adalah banyaknya oksigen yang

Pencemaran Perairan 7
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk memecah


(mendegradasi) bahan buangan organic yang ada dalam air menjadi karbondioksida
dan air. Pada dasarnya, proses oksidasi bahan organic berlangsung cukup lama.
Menurut Sawyer dan Mc arty, 1978 (Effendi, 2003) proses penguraian bahan
buangan organic melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme atau oleh bakteri
aerobic.
Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada
dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara
biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organic tersebut akan
dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen
(oxidizing agent) menjadi gas CO 2 dan gas H 2 O serta sejumlah ion chrom. BOD,
perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan
pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20
mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L dan pada
limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L (UNESCO,WHO/UNEP, 1992).
Komponen Pencemaran Air
Saat ini hampir 10 juta zat kimia telah dikenal manusia, dan hampir 100.000
zat kimia telah digunakan secara komersial. Kebanyakan sisa zat kimia tersebut
dibuang ke badan air atau air tanah. Sebagai contoh adalah pestisida yang biasa
digunakan di pertanian, industri atau rumah tangga, detergen yang biasa digunakan
di rumah tangga atau PCBs yang biasa digunakan pada alat-alat elektronik. Erat
kaitannya dengan masalah indikator pencemaran air, ternyata komponen
pencemaran air turut menentukan bagaimana indikator tersebut terjadi. Menurut
Wardhana (1995), komponen pencemaran air yang berasal dari industri, rumah
tangga (pemukiman) dan pertanian dapat dikelompokkan sebagai bahan buangan:
Padat, organic dan olahan bahan makanan, berupa panas, anorganik, zat kimia,
cairan berminyak.
Bahan Buangan Padat
Yang dimaksud bahan buangan padat adalah adalah bahan buangan yang
berbentuk padat, baik yang kasar atau yang halus, misalnya sampah. Buangan
tersebut bila dibuang ke air menjadi pencemaran dan akan menimbulkan pelarutan,
pengendapan ataupun pembentukan koloidal. Apabila bahan buangan padat
tersebut menimbulkan pelarutan, maka kepekatan atau berat jenis air akan naik.
Kadang-kadang pelarutan ini disertai pula dengan perubahan warna air. Air yang

Pencemaran Perairan 8
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

mengandung larutan pekat dan berwarna gelap akan mengurangi penetrasi sinar
matahari ke dalam air. Sehingga proses fotosintesa tanaman dalam air akan
terganggu. Jumlah oksigen terlarut dalam air menjadi berkurang, kehidupan
organisme dalam air juga terganggu. Terjadinya endapan di dasar perairan akan
sangat mengganggu kehidupan organisme dalam air, karena endapan akan menutup
permukaan dasar air yang mungkin mengandung telur ikan sehingga tidak dapat
menetas. Selain itu, endapan juga dapat menghalangi sumber makanan ikan dalam
air serta menghalangi datangnya sinar matahari. Pembentukan koloidal terjadi bila
buangan tersebut berbentuk halus, sehingga sebagian ada yang larut dan sebagian
lagi ada yang melayang-layang sehingga air menjadi keruh. Kekeruhan ini juga
menghalangi penetrasi sinar matahari, sehingga menghambat fotosintesa dan
berkurangnya kadar oksigen dalam air
Bahan Buangan Organic Dan Olahan Bahan Makanan
Bahan buangan organic umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau
terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga bila dibuang ke perairan akan
menaikkan populasi mikroorganisme. Kadar BOD dalam hal ini akan naik. Tidak
tertutup kemungkinan dengan berambahnya mikroorganisme dapat berkembang
pula bakteri pathogen yang berbahaya bagi manusia. Demikian pula untuk buangan
olahan bahan makanan yang sebenarnya adalah juga bahan buangan organic yang
baunya lebih menyengat. Umumnya buangan olahan makanan mengandung protein
dan gugus amin, maka bila didegradasi akan terurai menjadi senyawa yang mudah
menguap dan berbau busuk (misal. NH 3 ).
Bahan Buangan Anorganik
Bahan buangan anorganik sukar didegradasi oleh mikroorganisme, umumnya
adalah logam. Apabila masuk ke perairan, maka akan terjadi peningkatan jumlah
ion logam dalam air. Bahan buangan anorganik ini biasanya berasal dari limbah
industri yag melibatkan penggunaan unsure-unsur logam seperti timbal (Pb), Arsen
(As), Cadmium (Cd), air raksa atau merkuri (Hg), Nikel (Ni), Calsium (Ca),
Magnesium (Mg). Kandungan ion Mg dan Ca dalam air akan menyebabkan air
bersifat sadah. Kesadahan air yang tinggi dapat merugikan karena dapat merusak
peralatan yang terbuat dari besi melalui proses pengkaratan (korosi). Juga dapat
menimbulkan endapan atau kerak pada peralatan. Apabila ion-ion logam berasal
dari logam berat maupun yang bersifat racun seperti Pb, Cd ataupun Hg, maka air
yang mengandung ion-ion logam tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia, air
tersebut tidak layak minum.

Pencemaran Perairan 9
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Bahan Buangan Cairan Berminyak


Bahan buangan berminyak yang dibuang ke air lingkungan akan mengapung
menutupi permukaan air. Jika bahan buangan minyak mengandung senyawa yang
volatile, maka akan terjadi penguapan dan luas permukaan minyak yang menutupi
permukaan air akan menyusut. Penyusutan minyak ini tergantung pada jenis
minyak dan waktu. Lapisan minyak pada permukaan air dapat terdegradasi oleh
mikroorganisme tertentu, tetapi membutuhkan waktu yang lama. Lapisan minyak
di permukaan akan mengganggu mikroorganisme dalam air. Ini disebabkan lapisan
tersebut akan menghalangi diffusi oksigen dari udara ke dalam air, sehingga
oksigen terlarut akan berkurang. Juga lapisan tersebut akan menghalangi masuknya
sinar matahari ke dalam air, sehingga fotosintesapun terganggu. Selain itu,
burungpun ikut terganggu, karena bulunya jadi lengket, tidak dapat mengembang
lagi akibat kena minyak.
Bahan Buangan Berupa Panas (polusi thermal)
Perubahan kecil pada temperatur air lingkungan bukan saja dapat menghalau
ikan atau spesies lainnya, namun juga akan mempercepat proses biologis pada
tumbuhan dan hewan bahkan akan menurunkan tingkat oksigen dalam air.
Akibatnya akan terjadi kematian pada ikan atau akan terjadi kerusakan ekosistem.
Untuk itu, polusi thermal inipun harus dihindari. Sebaiknya industri-industri jika
akan membuang air buangan ke perairan harus memperhatikan hal ini.

Bahan Buangan Zat Kimia


Bahan buangan zat kimia banyak ragamnya, tetapi dalam bahan pencemar air
ini akan dikelompokkan menjadi :
a. Sabun
Adanya bahan buangan zat kimia yang berupa sabun (deterjen, sampo dan
bahan pembersih lainnya) yang berlebihan di dalam air ditandai dengan timbulnya
buih-buih sabun pada ermukaan air. Sebenarnya ada perbedaan antara sabun dan
deterjen serta bahan pembersih lainnya. Sabun berasal dari asam lemak (stearat,
palmitat atau oleat) yang direaksikan dengan basa Na(OH) atau K(OH),
berdasarkan reaksi kimia berikut ini :

Pencemaran Perairan 10
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Sabun natron (sabun keras) adalah garam natrium asam lemak seperti pada contoh
reaksi di atas. Sedangkan sabun lunak adalah garam kalium asam lemak yang
diperoleh dari reaksi asam lemak dengan basa K(OH). Sabun lemak diberi pewarna
yang menarik dan pewangi (parfum) yang enak serta bahan antiseptic seperti pada
sabun mandi. Beberapa sifat sabun antara lain adalah sebagai berikut : a. Larutan
sabun mempunyai sifat membersihkan karena dapat mengemulsikan kotoran yang
melekat pada badan atau pakaian b. Sabun dengan air sadah tidak dapat
membentuk busa, tapi akan membentuk endapan (C 17 H 35 COO) 2 Ca) dengan reaksi:

c. Larutan sabun bereaksi basa karena terjadi hidrolisis sebagian. Sedangkan


deterjen adalah juga bahan pembersih sepeti halnya sabun, akan tetapi dibuat dari
senyawa petrokimia. Deterjen mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sabun,
karena dapat bekerja pada air sadah. Bahan deterjen yang umum digunakan adalah
dedocylbenzensulfonat. Deterjen dalam air akan mengalami ionisassi membentuk
komponen bipolar aktif yang akan mengikat ion Ca dan/atau ion Mg pada air
sadah. Komponen bipolar aktif terbentuk pada ujung dodecylbenzen-sulfonat.
Untuk dapat membersihkan kotoran dengan baik, deterjen diberi bahan pembentuk
yang bersifat alkalis. Contoh bahan pembentuk yang bersifat alkalis adalah natrium
tripoliposfat. Bahan buangan berupa sabun dan deterjen di dalam air lingkungan
akan mengganggu karena alasan berikut : a. Larutan sabun akan menaikkan pH air
sehingga dapat menggangg kehidupan organisme di dalam air. Deterjen yang
menggunakan bahan non-Fosfat akan menaikkan pH air sampai sekitar 10,5-11 b.
Bahan antiseptic yang ditambahkan ke dalam sabun/deterjen juga mengganggu
kehidupan mikro organisme di dalam air, bahkan dapat mematikan c. Ada sebagian
bahan sabun atau deterjen yang tidak dapat dipecah (didegradasi) oleh mikro
organisme yang ada di dalam air. Keadaan ini sudah barang tentu akan merugikan
lingkungan. Namun akhir-akhir ini mulai banyak digunakan bahan sabun/deterjen
yang dapat didegradsi oleh mikroorganisme
b. Bahan pemberantas Hama
Pemakaian bahan pemberantas hama (insektisida) pada lahan pertanian
seringkali mekiputi daerah yang sangat luas, sehingga sisa insektisida pada daerah
pertanian tersebut cukup banyak. Sisa bahan insektisida tersebut dapat sampai ke
air lingkungan melalui pengairan sawah, melalui hujan yang jatuh pada daerah
pertanian kemudian mengalir ke sungai atau danau di sekitarnya. Seperti halnya
pada pencemaran udara, semua jenis bahan insektisida bersifat racun apabila

Pencemaran Perairan 11
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

sampai kedalam air lingkungan. Bahan insektisida dalam air sulit untuk dipecah
oleh mikroorganisme, kalaupun biasanya hal itu akan berlangsung dalam waktu
yang lama. Waktu degradasi oleh mikroorganisme berselang antara beberapa
minggu sampai dengan beberapa tahun. Bahan insektisida seringkali dicampur
dengan senyawa minyak bumi sehingga air yang terkena bahan buangan
pemberantas hama ini permukaannya akan tertutup lapisan minyak
c. Zat Warna Kimia
Zat warna dipakai hampir pada semua industri. Tanpa memakai zat warna,
hasil atau produk industri tidak menarik. Oleh karena itu hampir semua produk
memanfaatkannya agar produk itu dapat dipasarkan dengan mudah. Pada dasarnya
semua zat warna adalah racun bagi tubuh manusia. Oleh karena itu pencemaran zat
warna ke air lingkungan perlu mendapat perhatian sunggh-sungguh agar tidak
sampai masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum. Ada zat warna tertentu
yang relatif aman bagi manusia, yaitu zat warna yang digunakan pada industri
bahan makanan dan minuman, industri farmasi/obat-obatan. Zat warna tersusun
dari chromogen dan auxochrome. Chromogen merupakan senyawa aromatic yang
berisi chromopore, yaitu zat pemberi warna yang berasal dari radikal kimia, misal
kelompok nitroso (-NO), kelompok azo (-N=N-), kelompok etilen (>C=C<) dan
lain lain. Macam-macam warna dapat diperoleh dari penggabungan radikal kimia
tersebut di atas dengan senyawa lain. Sedangkan auxochrome adalah radikal yang
memudahkan terjadinya pelarutan, sehingga zat warna dapat mudah meresap
dengan baik ke dalam bahan yang akan diberi warna. Contoh auxochrome adalah –
COOH atau –SO 3 H atau kelompok pembentuk garam –NH 2 atau –OH. Zat warna
dapat pula diperoleh dari senyawa anorganik dan mineral alam yang disebut
dengan pigmen. Ada pula bahan tambahan yang digunakan sesuai dengan
fungsinya, misalnya bahan pembentuk lapisan film (misal, bahan vernis, emulsi
lateks), bahan pengencer (misal, terpentin, naftalen), bahan pengering (missal, Co,
Mn, naftalen), bahan anti mengelupas (missal, polihidroksi fenol) dan bahan
pembentuk elastic (misal, minyak). Berdasarkan bahan susunan zat warna dan
bahan-bahan yang ditambahkan, dapat dimengerti bahwa hampir semua zat warna
kimia adalah racun. Apabila masuk ke dalam tubuh manusia dapat bersifat
cocarcinogenik, yaitu merangsang tumbuhnya kanker. Oleh sebab itu, pembuangan
zat kimia ke air lingkungan sangatlah berbahaya. Selain sifatnya racun, zat warna
kimia juga akan mempengaruhi kandungan oksigen dalam air mempengaruhi pH
air lingkungan, yang menjadikan gangguan bagi mikroorganisme dan hewan air.
d. Zat radioaktif

Pencemaran Perairan 12
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Tidak tertutup kemungkanan adanya pembuangan sisa zat radioaktif ke air


lingkungan secara langsung. Ini dimungkinkan karena aplikasi teknologi nuklir
yang menggunakan zat radioaktif pada berbagai bidang sudah banyak
dikembangkan, sebagai contoh adalah aplikasi teknologinuklir pada bidang
pertanian, kedokteran, farmasi dan lain lain. Adanya zat radioaktif dalam air
lingkungan jelas sangat membahayakan bagi lingkungan dan manusia. Zat
radioaktif dapat menimbulkan kerusakan biologis baik melalui efek langsung atau
efek tertunda.
Dampak Pencemaran Air Bersih
Polusi air dapat merugikan kesehatan manusia, perikanan dan pertanian, dan
menimbulkan biaya kesehatan dan ekonomi yang bersangkutan (lihat Tabel 12).
Polusi air juga mengancam ekosistem melalui eutrofikasi dan bertanggung jawab
atas hilangnya spesies tumbuhan dan hewan. Penggunaan air tercemar
menyebabkan sejumlah penyakit termasuk diare, hepatitis, tifus, trachoma dan
infeksi cacing tambang. Pengaruh pencemaran air pada kesehatan terutama
diakibatkan oleh kontaminasi air minum, mandi dan masak oleh kotoran manusia.
Selain itu penyakit terbawa air juga ditularkan dari berbagai jalan fecal-oral.
Implikasinya adalah bahwa penyebaran penyakit ini juga tergantung pada
kebiasaan hygiene pribadi - dimana tingkat kebersihan seringkali berhubungan
dengan tersedianya air yang aman digunakan. Menerapkan temuan Survei
Kesehatan Rumah Tangga bahwa 12 persen kematian disebabkan oleh diare pada
8,2 juta penduduk Jakarta, Bank Dunia mengestimasi bahwa nilai ekonomi dari
pengurangan kematian sebanyak 55-60 persen (3.800-4.200 kematian dihindari
setiap tahun62) adalah sekitar $215-315 juta.
Biaya Ekonomi dan Risiko Potensial bagi Akuakultur
Budidaya air payau di pantai utara Jawa selain mencemarkan juga semakin
terancam pencemaran. Di tahun 1992, banyak importir Jepang mulai menjajaki
pilihan pemasok lain setelah sisa-sisa antibiotik ditemukan pada udang windu
(black tiger prawn) Indonesia. Sejak itu ada indikasi bahwa episode kontaminasi
akuakultur telah terjadi berulangkali di pulau-pulau lain, sehingga industri udang
Indonesia semakin memprihatinkan.

Pencemaran Perairan 13
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

BAB II
PENCEMARAN LAUT

1. Air Laut
Air laut adalah air dari laut atau samudera. Air laut memiliki kadar
garam rata-rata 3,5%. Artinya dalam 1 liter (1000 mL) air laut terdapat 35
gram garam (terutama, namun tidak seluruhnya, garam dapur/NaCl).
Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar 3,5 %,
air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah
di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya bagian dari
Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana suhu tinggi dan
sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari
sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi. Air
laut memiliki kadar garam karena bumi dipenuhi dengan garam mineral
yang terdapat di dalam batu-batuan dan tanah. Contohnya natrium, kalium,
kalsium, dll. Apabila air sungai mengalir ke lautan, air tersebut membawa
garam. Ombak laut yang memukul pantai juga dapat menghasilkan garam
yang terdapat pada batu-batuan. Lama-kelamaan air laut menjdai asin
karena banyak mengandung garam. (http://id.wikipedia.org/wiki/Air_laut).
Pada mulanya orang berfikir bahwa dengan melihat luasnya lautan,
maka semua hasil buangan sampah dan sisa- sisa industri yang berasal dari
aktifitas manusia di daratan seluruhnya dapat di tampung oleh lautan tanpa
membuat suatu akibat yang membahayakan. Bahan pencemar yang masuk
ke dalam lautan akan diencerkan dan kekuatan mencemarnya secara
perlahan- lahan akan diperlemah sehingga membuat mereka menjadi tidak
berbahaya. Dengan makin cepatnya pertumbuhan penduduk dunia dan
makin meningkatnya lingkungan industri mengakibatkan makin banyak
bahan- bahan yang bersifat racun yang dibuang ke laut dalam jumlah yang
sulit untuk dapat dikontrol secara tepat. Pencemaran laut merupakan suatu
ancaman yang benar- benar harus ditangani secara sungguh- sungguh.
Banyak kecelakaan dilautan yang menyebabkan tercecernya bahan- bahan
yang bersifat racun dalam jumlah yang sangat besar.

Pencemaran Perairan 14
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Pengaruh kerusakan pantai akibat pencemaran umumnya dapat


ditanggulangi secara cepat. Tetapi lain halnya apabila hal tersebut terjadi
dilautan bebas. Hal yang memprihatinkan adalah karena bahan- bahan
pencemar tersebut secara pelan tetapi pasti akan tertumpuk di laut. Dalam
keadaan ekstrim, mereka akan meracuni fitoplankton (sebagai produser
utama didalam sistem rantai makanan yang terjadi di laut bebas). Hancurnya
organisme ini akan membuat laut menjadi semakin tidak subur.
a) Ciri Habitat Air Laut
1) Variasi temperatur atau suhu tinggi
2) Kadar garam / salinitas / tingkat keasinan tinggi
3) Penetrasi dari cahaya matahari tinggi
4) Ekosistem tidak terpegaruh iklim dan cuaca alam sekitar
5) Aliran atau arus laut terus bergerak karena perbedaan iklim, temperatur dan
rotasi bumi
6) Habitat di laut saling berhubungan / berkaitan satu sama lain
7) Komunitas air asin terdiri dari produsen, konsumen, zooplankton dan
dekomposer.
b) Karbon di laut
Konsentasi DIC permukaan laut "saat ini" (1990-an) (dari the GLODAP
climatology) Laut mengandung sekitar 36.000 gigaton karbon, dimana
sebagian besar dalam bentuk ion bikarbonat. Karbon anorganik, yaitu
senyawa karbon tanpa ikatan karbon-karbon atau karbon-hidrogen, adalah
penting dalam reaksinya di dalam air. Pertukaran karbon ini menjadi penting
dalam mengontrol pH di laut dan juga dapat berubah sebagai sumber
(source) atau lubuk (sink) karbon. Karbon siap untuk saling dipertukarkan
antara atmosfer dan lautan. Pada daerah upwelling, karbon dilepaskan ke
atmosfer. Sebaliknya, pada daerah downwelling karbon (CO 2 ) berpindah dari
atmosfer ke lautan. Pada saat CO 2 memasuki lautan, asam karbonat
terbentuk:
CO 2 + H 2 O ⇌ H 2 CO 3

Reaksi ini memiliki sifat dua arah, mencapai sebuah kesetimbangan kimia.
Reaksi lainnya yang penting dalam mengontrol nilai pH lautan adalah pelepasan

Pencemaran Perairan 15
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

ion hidrogen dan bikarbonat. Reaksi ini mengontrol perubahan yang besar pada
pH:

H 2 CO 3 ⇌ H+ + HCO 3 −
Pencemaran laut di dunia menyebabkan kerusakan pada lingkungan dan
kehidupan bawah laut. Pada tahun 2008, para penyelam mengangkat 219.528 lebih
(99.57 ton) sampah dan benda-benda bekas dari 1.000 mil luas laut rata-rata satu
penyelam mengangkat 25 ton sampah dan benda-benda bekas. Setiap menit dalam
satu hari, ada satu juta tas plastik digunakan dan hampir tiga juta ton plastik
serentak diproduksi untuk membuat botol minuman setiap tahunnya. Hampir 80%
pencemaran laut disebabkan oleh plastik. Di beberapa daerah di samudra,
perbandingan untuk plastik dan plankton adalah 6:1 (6 banding 1). Diperkirakan
46.000 potong sampah plastik mengapung di setiap satu mil dari samudra 70% dari
sampah plastik itu di perkirakan akhirnya akan tenggelam. Plastik tidak mudah
untuk di uraikan. Saat sampah plastik masuk ke laut, dibutuhkan bertahun-tahun
untuk di uraikan terurai secara perlahan menjadi potongan kecil yang akhirnya
menjadi debu plastik. Botol aluminium membutuhkan waktu 100 tahun untuk dapat
terurai dan plastik pegangan yang di pakai untuk menjual enam kaleng bir
sekaligus membutuhkan waktu 450 tahun untuk dapat terurai. Botol kaca seperti
botol soda membutuhkan waktu 1 juta tahun untuk terurai di alam bebas. Telah
dilaporkan ada lebih dari 260 jenis hewan laut di seluruh dunia yang terjerat dan
memakan sisa-sisa tali pancing, jala dan sampah-sampah laut lainnya. Diperkirakan
100.000 mamalia laut termasuk lumba-lumba, paus, anjing laut, dan penyu laut
terancam dengan banyaknya sampah dan benda-benda bekas yang masuk ke laut
tiap tahunnya. Dan 86% dari populasi penyu laut terkena dampak buruk dari
pencemaran laut. Lebih dari satu juta populasi burung laut mati karena pencemaran
laut setiap tahunnya.
c) Oksigen Terlarut (Do)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen sama dengan DO) dibutuhkan oleh
semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang
kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu,
oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam
proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu
proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam
perairan tersebut (SALMIN, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara,
tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan

Pencemaran Perairan 16
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. ODUM (1971)
menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin
rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan
permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air
dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya
kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis
semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk
pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik Keperluan organisme
terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya.
Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan
tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan
yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut (WARDOYO,
1978).
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan
nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen
terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (SWINGLE,
1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak
boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat
kejenuhan sebesar 70 % (HUET, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan
oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut
(ANONIMOUS, 2004). Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator
kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan
reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan
biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi
aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik
dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan
kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan
mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien
dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut
sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan
secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan
air buangan industri dan rumah tangga. Sebagaimana diketahui bahwa oksigen
berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi
senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga
sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu,
seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia

Pencemaran Perairan 17
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

beracun rnenjadi senyawa lain yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena
peranannya yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke
lingkungan umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya.
d) Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen
yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi
aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan
oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses
oksidasi (PESCOD,1973). Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk
menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting
untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya
penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran
banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut
menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang
harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh
yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari
oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan atau sampel tersebut
juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga
supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting
diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ±
9 ppm pads suhu 20°C (SAWYER & MC CARTY, 1978).
Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacam-
macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon
dioksida (CO 2 ) dan air (H 2 O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu
prosedur oksidasi dimana organisme hidup bertindak sebagai medium untuk
menguraikan bahan organik menjadi CO 2 dan H 2 O. Reaksi oksidasi selama
pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas biologis dengan kecepatan reaksi
yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi dan suhu. Karenanya
selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan pada 20°C yang
merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis, waktu yang diperlukan untuk
proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organik terurai menjadi CO 2 dan
H 2 O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya dilaboratoriurn, biasanya
berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa selama waktu itu persentase
reaksi cukup besar dari total BOD. Nilai BOD 5 hari merupakan bagian dari total
BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan 70 - 80% dari nilai BOD total (SAWYER &
MC CARTY, 1978). Penentuan waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi
kemungkinan hasil oksidasi ammonia (NH 3 ) yang cukup tinggi. Sebagaimana

Pencemaran Perairan 18
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

diketahui bahwa, ammonia sebagai hasil sampingan ini dapat dioksidasi menjadi
nitrit dan nitrat, sehingga dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD. Reaksi kimia
yang dapat terjadi adalah :


2NH 3 +3 O 2 2NO 2 + 2 H+ + + 2 H 2 O

2NO 2 + O 2 2 NO 3

Oksidasi nitrogen anorganik ini memerlukan oksigen terlarut, sehingga perlu


diperhitungkan. Dalam praktek untuk penentuan BOD yang berdasarkan pada
pemeriksaan oksigen terlarut (DO), biasanya dilakukan secara langsung atau
dengan cara pengenceran. Prosedur secara umum adalah menyesuaikan sampel
pada suhu 20°C dan mengalirkan oksigen atau udara kedalam air untuk
memperbesar kadar oksigen terlarut dan mengurangi gas yang terlarut, sehingga
sampel mendekati kejenuhan oksigen terlarut. Dengan cara pengenceran
pengukuran BOD didasarkan atas kecepatan degradasi biokimia bahan organik
yang berbanding langsung dengan banyaknya zat yang tidak teroksidasi pada saat
tertentu. Kecepatan dimana oksigen yang digunakan dalam pengenceran sampel
berbanding lurus dengan persentase sampel yang ada dalam pengenceran dengan
anggaapan faktor lainnya adalah konstan. Sebagai contoh adalah 10 % pengenceran
akan menggunakan sepersepuluh dari kecepatan penggunaan sampel 100%
(SAWYER & MC CARTY, 1978). Dalam hal dilakukan pengenceran, kualitas
aimya perlu diperhatikan dan secara umum yang dipakai aquades yang telah
mengalami demineralisasi. Untuk analisis air laut, pengencer yang digunakan
adalah standard sea water (SSW). Oerajat keasaman (pH) air pengencer biasanya
berkisar antara 6,5 - 8,5 dan untuk menjaga agar pH-nya konstan bisa digunakan
larutan penyangga (buffer) fosfat. Untuk menentukan BOD, terlebih dahulu diukur
DO nya (DO 0 hari), sementara sampel yang lainnya diinkubasi selama 5 hari pada
suhu 20°C, selanjutnya setelah 5 hari diukur DO nya (DO 5 hari).
e) Kandungan Oksigen Kimiawi (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada
dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara
biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organic tersebut akan
dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen
(oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas H2O serta sejumlah ion chrom.
Reaksinya sebagai berikut :

Pencemaran Perairan 19
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

HaHbOc + Cr 2 O 7 2- + H + → CO 2 + H 2 O + Cr 3+

Jika pada perairan terdapat bahan organic yang resisten terhadap degradasi
biologis, misalnya tannin, fenol, polisacharida dansebagainya, maka lebih cocok
dilakukan pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat
organic dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam
suasana asam, diperkirakan 95% - 100% bahan organic dapat dioksidasi. Seperti
pada BOD, perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya
kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L
dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L (UNESCO,WHO/UNEP,
1992). River et al., (1998) menyatakan bahwa bagian terbesar kontribusi beban
organik pada limbah perikanan berasal dari industri pengalengan dengan beban
COD 37,56 kg/m3, disusul oleh industri pengolahan fillet ikan salmon yang
menghasilkan beban limbah 1,46 kg COD/m3. Kemudian industri krustasea dengan
beban COD yang kecil. Perbandingan beban organik yang disumbangkan oleh
industri pengalengan, pemfiletan salmon dan krustasea adalah 74,3%, 21,6% dan
4,1%. Peneliti yang lain juga melaporkan hal yang sama dengan indikator beban
pencemar organik yang lain yang berasal dari industri pengolahan perikanan. Hal
ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Pencemaran Perairan 20
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Dalam beban cemaran organik yang tinggi terkandung senyawa nitrogen


yang tinggi yang merupakan protein larut air setelah mengalami leaching selama
pencucian, defrost dan proses pemasakan (Battistoni et al., 1992; Mendez et al.,
1992; Veranita, 2001). Limbah cair ini dikeluarkan dalam jumlah yang tidak sama
setiap harinya. Pada waktu tertentu dalam jumlah yang banyak tetapi encer
terutama mengandung protein dan garam. Pada waktu yang lain dikeluarkan
limbah cair dalam jumlah sedikit tetapi pekat yang mengandung protein dan lemak.
Beban limbah cair tersebut berbeda-beda tergantung jenis pengolahannya. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 2.

Pencemaran Perairan 21
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

2. Pencemaran Minyak di Laut


Saat ini industri minyak dunia telah berkembang pesat, sehingga kecelakaan-
kecelakaan yang mengakibatkan tercecernya minyak dilautan hamper tidak bisa
dielakkan. Kapal tanker mengangkut minyak mentah dalam jumlah besar tiap
tahun. Apabila terjadi pencemaran miyak dilautan, ini akan mengakibatkan minyak
mengapung diatas permukaan laut yang akhirnya terbawa arus dan terbawa ke
pantai. Contoh kecelakaan kapal : Torrey canyon dilepas pantai Inggris 1967
menyebabkan kurang lebih 100. 000 burung mati, Showa maru di selat Malaka
pada tahun 1975, Amoco Cadiz di lepas pantai Perancis 1978. Pencemaran minyak
mempunyai pengaruh luas terhadap hewan dan tumbuh- tumbuhan yang hidup
disuatu daerah. Minyak yang mengapung berbahaya bagi kehidupan burung laut
yang suka berenang diatas permukaan air. Tubuh burung akan tertutup minyak.
Untuk membersihkannya, mereka menjilatinya. Akibatnya mereka banyak minum
minyak dan mencemari diri sendiri. Selain itu, mangrove dan daerah air payau juga
rusak. Mikroorganisme yang terkena pencemaran akan segera menghancurkan
ikatan organik minyak, sehingga banyak daerah pantai yang terkena ceceran
minyak secara berat telah bersih kembali hanya dalam waktu satu atau dua tahun.
Minyak mentah dan minyak olahan adalah senyawa kompleks hidrokarbon
yang mempunyai ribuan variasi senyawa. Keragaman senyawa minyak
menghasilkan keragaman kualitas fisik kimia. Komposisi dan karakteristik minyak
telah dideskripsikan secara rinci (Jokuty, et al., 2000). Pengetahuan mengenai
karakteristik minyak, dan karakteristik laut, adalah prasyarat untuk dapat

Pencemaran Perairan 22
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

memprediksi kelakuan tumpahan minyak di laut dan perlakuan pemulihan


pencemaran. Keragaman karakteristik minyak dan pengalaman kejadian
pencemaran minyak di laut menunjukkan bahwa metodologi pemulihan
pencemaran bersifat site-specific (Xueqing et al., 2001). Ini adalah suatu tantangan
dalam upaya pemulihan pencemaran minyak di laut diperlukan pre-studi setempat
untuk menetapkan teknologi pemulihan yang tepat. Teknologi pemulihan dapat
dilakukan baik secara fisik kimiawi, biologis, maupun kombinasinya. Perbedaan
penerapan teknologi pemulihan memerlukan metode pemantauan dan evaluasi
yang sesuai. Kesesuaian antara pre-studi, penerapan teknologi, dan pemantauan
berikut evaluasinya akan menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien dalam
pemulihan pencemaran minyak di laut.
a) Karakteristik Minyak
Sifat fisik minyak yang mempengaruhi kelakuan minyak di laut dan
pemulihannya, yang penting adalah densitas, viskositas, titik ubah (pour point), dan
kelarutan air. Densitas diekspresikan sebagai specific gravity dan American
Petroleum Institute (API) gravity. Specific gravity adalah rasio berat massa minyak
dan berat massa air pada temperature tertentu. API gravity dinyatakan dalam angka
10° pada air murni 10°C. API gravity dapat dihitung dari specific gravity
menggunakan formula: AP Gravity (o) = (141,5/Specific Gravity 10oC) – 131,5
(Xueqing et al., 2001). Minyak mentah mempunyai specific gravity dalam rentang
0.79 -1.00 (setara dengan API 10 - 48). Densitas minyak adalah penting untuk
memprediksi kelakuan minyak di air. Viskositas adalah sifat yang menunjukkan
ketahanan dalam perubahan bentuk dan pergerakan. Viskositas rendah berarti
mudah mengalir. Faktor viskositas adalah komposisi minyak dan temperature.
Viskositas ini adalah penting untuk memprediksi penyebaran minyak di air. Titik
ubah adalah tingkat temperature yang mengubah minyak menjadi memadat atau
berhenti mengalir. Titik ubah minyak mentah bervariasi antara –57°C sampai
32°C. Tititk ubah ini adalah penting untuk prediksi kelakuan minyak di air dan
penetapan strategi pembersihan dari lingkungan. Kelarutan minyak dalam air
adalah rendah sekitar 30 mg/L (NAS, 1985) dan tergantung kepada komposisi
kimia dan temperature. Besaran kelarutan itu dicapai oleh minyak aromatic dengan
berat molekul kecil seperti benzene, toluene, ethylbenzene, dan xylene (BTEX).
Sifat kelarutan ini adalah penting untuk prediksi kelakuan minyak di air, proses
bioremediasi, dan ekotoksisitas minyak. Karakteristik kimia minyak adalah
berbeda untuk minyak mentah dan minyak olahan. Senyawa baru dapat muncul
dalam minyak olahan, yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak mentah.

Pencemaran Perairan 23
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Minyak mentah mengandung senyawa hidrokarbon sekitar 50–98 % dan


selebihnya senyawa non-hidrokarbon (sulfur, nitrogen, oxygen, dan beberapa
logam berat) (Leahy and Colwell, 1990). Selanjutnya minyak diklasifikasikan
berdasarkan kelarutan dalam pelarut organic, yaitu: 1) Hidrokarbon jenuh.
Termasuk dalam kelas ini adalah alkana dengan struktur CnH 2 n +2 (aliphatics) dan
CnH 2 n (alicyclics), dimana n > 40. Hidrokarbon jenuh ini merupakan kandungan
terbanyak dalam minyak mentah. 2) Hidrokarbon aromatic. Termasuk dalam kelas
ini adalah monocyclic aromatics (BTEX) dan polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAHs: naphthalene, anthracene, dan phenanthrene). PAHs bersifat karsinogen,
atau dapat ditransformasi oleh mikroba menjadi senyawa karsinogen, sehingga
menjadi senyawa penting dalam penjagaan kualitas lingkungan. 3) Resin.
Termasuk di sini adalah senyawa polar berkandungan nitrogen, sulfur, oksigen
(pyridines dan thiophenes), sehingga disebut pula sebagai senyawa NSO. 4)
Asphalt. Termasuk di sini adalah senyawa dengan berat molekul besar dan logam
berat nickel, vanadium, dan besi. Tentu saja variasi komposisi minyak mentah
adalah berbeda di berbagai tempat, itulah sebabnya teknologi remediasi bersifat
site-specific. Minyak olahan seperti gasoline, kerosene, minyak jet, dan lubricant
adalah produk olahan minyak mentah melalui proses catalytic cracking dan
fractional distillation. Sebagai hasil olahan, minyak olahan mempunyai sifat fisik
kimia berbeda dengan minyak mentah. Minyak olahan mempunyai kandungan
minyak mentah dan senyawa hidrokarbon tak jenuh seperti olefins (alkenes dan
cycloalkenes) dari proses catalytic cracking. Kandungan olefins adalah cukup besar
sampai 30% dalam gasoline dan sekitar 1% dalam jet fuel (NAS, 1985).
b) Kelakuan Minyak Di Laut
Saat minyak terekspose ke lingkungan laut, minyak akan segera berubah
sifat-sifat fisik kimia dan biologis. Perubahan sifat ini akan mengubah/menentukan
strategi remediasi. Proses perubahan sifat fisik meliputi:
1) Perluasaan. Perluasan ini mungkin merupakan proses terpenting selama awal
ekspose minyak dalam air, sepanjang titik ubah minyak adalah lebih rendah
dibanding temperature sekitar. Proses ini akan memperluas sebaran minyak
sehingga meningkatkan perpindahan massa melalui proses evaporasi,
pelarutan dan biodegradasi.
2) Evaporasi. Proses ini dapat diandalkan untuk menghilangkan fraksi minyak
dengan kandungan toksik dan berat molekul rendah. Evaporasi alkana (<
C15) dan aromatic berlangsung antara 1-10 hari (Xueqing et al., 2001).
Faktor lingkungan yang mempengaruh evaporasi adalah angin, gelombang

Pencemaran Perairan 24
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

air dan temperature. Evaporasi menyebabkan minyak tertinggal dalam air


mengalami peningkatan densitas dan viskositas.
3) Pelarutan. Proses ini tidak signifikan dari sudut perpindahan massa tetapi
penting dalam proses biodegradasi. Aromatik dengan berat molekul kecil dan
bersifat paling toksik adalah paling larut air dibanding senyawa minyak
lainnya (NAS, 1985). Kecepatan pelarutan dipengaruhi oleh proses foto-
oksidasi dan proses biologis.
4) Foto-oksidasi. Dalam kondisi aerobic dan terpapar sinar matahari, minyak
aromatic dapat ditransformasi menjadi senyawa lebih sederhana. Senyawa
lebih sederhana ini (hydroperoxides, aldehydes, ketones, phenols, dan
carboxylic acids) bersifat lebih larut air sehingga meningkatkan laju
biodegradasi tetapi lebih toksik (Nicodem et al. 1997).
5) Dispersi. Penyebaran ini terjadi karena proses gradient konsentrasi dengan
membentu formasi emulsi minyak-air (butiran minyak dalam kolom air)
sehingga memperluas permukaan butir minyak. Emulsi minyak-air dapat
terjaga dengan agitasi (angin dan gelombang adalah contoh agitasi alamiah),
atau dengan penambahan dispersan.
6) Emulsifikasi. Emulsifikasi adalah proses perubahan status dari butiran
minyak dalam air menjadi butiran air dalam minyak (disebut juga chocolate
mousse). Bahan asphaltic dapat meningkatkan emulsifikasi. Tetapi
emulsifikasi akan mempersulit pembersihan minyak.
7) Lain-lain. Termasuk di sini adalah proses adsorpsi minyak pada zat padat air,
sedimentasi dan formasi butir tar. Berbeda dengan proses fisik kimia sebagai
perpindahan massa antar media lingkungan, proses biodegradasi adalah
proses perpindahan massa dari media lingkungan ke dalam massa mikroba
(menjadi bentuk terikat dalam massa mikroba) sehingga minyak hilang dari
air.
Hasil proses biodegradasi adalah umumnya karbondioksida dan metana yang
kurang berbahaya dibanding minyak pada besaran konsentrasi yang sama. Mikroba
yang mampu menguraikan minyak adalah tersedia di alam laut yaitu sekitar 200
spesies bacteria, ragi dan fungi. Bacteria terpenting adalah Achromobacter,
Acinetobacter, Alcaligenes, Arthrobacter, Bacillus, Brevibacterium,
Cornybacterium, Flavobacterium, Nocardia, Pseudomonas, Vibrio; ragi dan fungsi
adalah Aspergillus, Candida, Cladosporium, Penicillium, Rhodotorula,
Sporobolomyces, Trichoderma (Leahy and Colwell, 1990). Penting dipahami
bahwa mikroba pengurai minyak adalah tidak bekerja secara individu spesies tetapi

Pencemaran Perairan 25
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

konsorsium multi spesies. Berdasarkan kemampuan proses biodegradasi, potensi


senyawa minyak yang dapat diuraikan oleh mikroba adalah sebagai berikut:
1) Hidrokarbon jenuh. Umumnya nalkanes siap untuk diuraikan mikroba
menjadi alcohol, aldehydes, atau fatty acid. Branched alkanes dan
Cycloalkanes adalah sulit diuraikan mikroba (Atlas, 1995).
2) Aromatik. Umumnya aromatic sulit terurai biologis tetapi aromatic dengan
berat molekul rendah (naphthalene) dapat terurai biologis (Prince, 1993).
3) Resin dan asphalt. Senyawa ini mempunyai sturktur kompleks dan sulit
diuraikan secara biologis, tetapi dalam konsentrasi rendah dapat terurai
biologis secara cometabolisme (Leahy and Colwell, 1990).
c) Pengaruh minyak terhadap kehidupan organisme
Menurut Mitchell (1970), pengaruh kontaminasi minyak terhadap komunitas
organisme bervariasi dari kecil sekali (ngegligable) sampai kemusnahan
(catastrophic). Hal ini disesabkan oleh beberapa faktor (Straughan 1972) :

1) Tipe/jenis dan dosis minyak Minyak mengandung banyak sekali komponen


kimia yang berbeda, yang daya larutnya dan daya racunnya juga lain.
Komponen aromatik cenderung lebih mudah larut dan menyebar dibanding
yang lainnya.
2) Metoda pencucian minyak Seringkali bahan pencuci yang digunakan untuk
mencuci (dispersant) juga beracun, sehingg daya racun minyak menjadi
bertambah.
3) Kondisi Oceanografis Arus, ombak, suhu, formasi pantai, ikut menentukan
pencampuran, pengenceran dan distribusi minyak.
4) Kondisi Meteorologis Angin mempengaruhi pergerakan dan pencampuran
minyak dalam air laut, sehingga daya racun minyak menjadi berkurang.
Selain itu meningkatkan pencampuran minyak dengan sedimen yang ada di
pantai.
5) Kondisi Biota Respons organisme dalam suatu komunitas terhadap minyak
berbeda-beda, tergantung oleh banyak factor : Morfologi tubuh, Jenis
biota, Reproduksi, Tingkah laku atau cara makan, Stadia, sangat
menentukan daya racun minyak terhadap organisme tersebut. Stadia larva
dan masa pertumbuhan dan pergantian kulit merupakan stadia atau masa
yang lebih peka terhadap bahan pencemar. Stadia larva 10-100 kali lebih
peka dibandingkan stadia dewasa.
6) Adanya cemaran minyak sebelumnya

Pencemaran Perairan 26
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

7) Adanya bahan pencemar lain


d) Pengendalian Pencemaran Minyak
Pemulihan ekosistem berdasarkan kelakuan pencemar minyak dapat
dilakukan dengan pendekatan risiko jejaring pencemar (Vik et al., 2001). Berikut
ini diketengahkan beberapa contoh pendekatan pemulihan ekosistem berdasar
pengendalian risiko. Pengendalian pencemaran pada tempat kejadian. Risiko
penyebaran pencemaran dan perluasan dampak dapat ditekan maksimal.
Pendekatan ini mengarahkan teknologi pemulihan diterapkan di tempat
pencemaran (in-situ remediation). Pemulihan setempat dapat dilakukan untuk
wilayah pesisir, termasuk lahan basah, muara, pantai dan laut lepas yang dapat
terjangkau. Pengendalian media perjalanan pencemar. Pemompaan air laut adalah
contoh pengendalian perjalanan pencemar dan dilanjutkan dengan pemulihan di
luar tempat (exsitu remediation). Penutupan sediment pantai, injeksi oksigen dan
bahan kimia ke dalam air laut adalah contoh pengendalian perjalanan pencemar
dengan pemulihan setempat (insitu remediation). Pengendalian penerima
pencemar. Ini dilakukan dengan cara modifikasi akses bagi penerima pencemar
potensial. Beberapa contoh adalah pengalihan jalur transport menjauh tempat
kejadian pencemaran, pelindung bagi petugas pemulih ekosistem, larangan
konsumsi hewan laut dalam radius 25 km dari kejadian pencemaran.
i. Remediasi Fisik Kimia
Remediasi fisik kimia adalah efektif untuk tujuan jangka pendek/segera yaitu
melokalisasi dan mengambil semaksimal mungkin tumpahan minyak dari laut.
Remediasi fisik yang telah dipraktekkan secara umum adalah:
1) Booming and skimming. Booms digunakan untuk melokalisasi dan
mengendalikan pergerakan minyak. Skimmer digunakan untuk
mengambil minyak.
2) Wiping dengan absorben. Bahan hidrofobik digunakan untuk menyeka
minyak dari permukaan air.
3) Mekanis. Peralatan mekanis digunakan untuk mengumpulkan dan
pembuangan sediment tercemar minyak. Ini terutama dilakukan di
daerah pantai.
4) Pencucian. Pencucian menggunakan air dingin bertekanan rendah sampai
air panas bertekanan tinggi.

Pencemaran Perairan 27
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

5) Relokasi sediment dan tilling. Pemindahan sediment tercemar minyak ke


tempat lain atau pencampuran dengan sediment lain. Cara ini analog
dengan pengenceran pencemar.
6) Pembakaran setempat. Pembakaran tempat tercemar minyak biasanya
dilakukan bersamaan dengan substrat mudah terbakar (tumbuhan kering,
sampah kering). Ini terutama untuk kawasan pesisir.
Remediasi kimia yang telah dipraktekkan secara umum adalah:
1) Dispersants. Kandungan surfaktan digunakan untuk mendispersi minyak
menjadi butiran dalam air. Butiran minyak mempunyai total luas
permukaan butiran luas sehingga mempercepat proses lanjutan. Cara ini
dipakai secara rutin di banyak Negara, terutama jika menghadapi kendala
remediasi fisik (Lessard and Demarco, 2000).
2) Demulsifiers. Bahan ini digunakan untuk memutus emulsi minyak-air
guna mempercepat disperse alamiah.
3) Solidifiers. Bahan ini digunakan untuk meningkatkan polimerisasi
minyak sehingga minyak menjadi stabil, meminimalkan penyebaran, dan
meningkatkan efektivitas remediasi fisik.
4) Surface film chemicals. Bahan pembentuk film (Film-forming agents)
digunakan untuk mencegah minyak tertarik ke substrat laut lepas, dan
untuk meningkatkan pembuangan minyak terikat pada permukaan alat
pencuci bertekanan. Remediasi fisik kimia bersifat remediasi jangka
pendek dan tidak tuntas (perpindahan massa antar media lingkungan),
hanya sekitar 10 – 15 % pencemar dapat dipindahkan dari media laut
(OTA, 1990).
ii. Bioremediasi
Untuk penuntasan remediasi diperlukan penghilangan dari media secara
biologis (bioremediasi). Bioremediasi digunakan saat peristiwa tumpahan
minyak Exxon Valdez yang mencemari laut tahun 1989 (Bragg et al., 1994).
Bioremediasi didefinisikan sebagai teknologi yang menggunakan mikroba
untuk mengolah pencemar melalui mekanisme biodegradasi alamiah (intrinsic
bioremediation) atau meningkatkan mekanisme biodegradasi alamiah dengan
menambahkan mikroba, nutrien, donor electron dan/atau akseptor elektron
(enhanced bioremediation) (USEPA, 2001). Nutrien terpenting adalah N dan P.
Donor electron adalah methanol atau asam laktat untuk proses anaerobic.
Akseptor electron adalah oksigen, atau untuk anaerobic adalah besi dan nitrat.

Pencemaran Perairan 28
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Perubahan fisik saat minyak terekspose ke lingkungan laut akan menentukan


proses bioremediasi, yang terutama adalah:
1) Evaporasi. Proses ini terutama untuk minyak volatile seperti benzene and
smaller n-alkanes. Evaporasi menghasilkan luas permukaan minyak dan
menguntungkan bagi mikroba untuk menghilangkan senyawa toksik
tersebut.
2) Pelarutan. Proses ini tidak signifikan dari sudut perpindahan massa tetapi
penting dalam proses biodegradasi. Mikroba berada dalam air lebih
mudah kontak dengan minyak terlarut.
3) Dispersi. Formasi emulsi minyak-air memperluas permukaan butir
minyak sehingga memudahkan mikroba untuk memproses minyak.
Formasi emulsi ini merupakan proses penting dalam penghilangan
hidrokarbon oleh bacteria dan fungi (Singer and Finnerty, 1984). Tetapi
emulsi minyak-air dengan penambahan dispersan tidak efektif untuk
proses biodegradasi minyak, karena adanya tambahan zat organic
dispersan.
4) Emulsifikasi. Emulsifikasi pembentukan chocolate mousse akan
mengurangi luas permukaan minyak sehingga menurunkan proses
biodegradasi.
Butir tar sebagai agregat besar akan menghambat akses mikroba (Leahy
and Colwell, 1990). Keefektifan bioremediasi ditentukan oleh kondisi
lingkungan. Kondisi lingkungan ini digunakan untuk pengambilan keputusan
tempat bioremediasi, baik di tempat (in-situ) atau di luar tempat (ex-situ).
Kondisi lingkungan yang terutama adalah:
1) Temperatur. Pada temperature rendah maka viskositas minyak
meningkat dan volatilitas senyawa toksik menurun sehingga akan
menghambat proses bioremediasi (Atlas, 1995). Hidrokarbon rantai
pendek alkanes lebih mudah larut pada temperature rendah. Pada
temperature tinggi, aromatic lebih mudah larut (Focht and Westlake,
1987). Secara umum laju biodegradasi umumnya meningkat dengan
peningkatan temperature sampai batas tertentu. Laju tinggi biodegradasi
minyak di laut dapat dicapai pada temperature 15 - 20°C (Bossert and
Bartha, 1984).
2) Oksigen. Ketersediaan oksigen adalah penting dalam proses biodegradasi
hidrokarbon jenuh dan aromatic (Cerniglia, 1992). Tetapi metabolisme
hidrokarbon secara anaerobic dapat berhasil baik untuk hidrokarbon

Pencemaran Perairan 29
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

aromatic (BTEX) (Head and Swannell, 1999). PAHs dan alkanes dapat
didegradasi dalam kondisi anaerobic (Caldwell et al., 1998).
3) Nutrients. Saat minyak tumpah ke laut, suplai karbon ke dalam air laut
meningkat. Pada saat itu air laut terdapat ketimpangan komposisi
nutrient (C meningkat tajam sehingga C/N/P menjadi membesar
melebihi komposisi normal bagi kebutuhan mikroba). Untuk
memanfaatkan mikroba maka diperlukan penambahan nutrient N dan P
pada tingkat proporsi C/N/P sebelum tertumpah minyak. Secara teoretis
150 mg nitrogen dan 30 mg phosphor diperlukan mikroba untuk konversi
1 g hidrokarbon menjadi sel baru (Rosenberg and Ron, 1996).
4) pH dan salinitas. Kebanyakan bacteria heterotrof dan fungi menyukai pH
netral dan fungi masih toleran terhadap pH rendah. Berbagai studi
menghasilkan fakta bahwa biodegradasi minyak akan lebih cepat dengan
peningkatan pH dan kecepatan optimum pada pH alkalin (Focht and
Westlake, 1987). Perubahan salinitas dapat mempengaruhi biodegradasi
melalui perubahan populasi mikroba dan laju metabolisme hidrokarbon
akan menurun 3.3 to 28.4% dengan peningkatan salinitas.
iii. Fitoremediasi
Salah satu proses pemulihan lingkungan tercemar dengan
menggunakan tumbuhan telah dikenal luas, yaitu fitoremediasi
(phytoremediation). Fitoremediasi dapat dilakukan di wilayah pesisir,
terutama kejadian pencemaran minyak atau pembuangan residu minyak
berada di lahan basah pesisir. Proses fitoremediasi secara umum dibedakan
berdasarkan mekanisme fungsi dan struktur tumbuhan. USEPA (1999, 2005)
dan ITRC (2001) secara umum membuat klasifikasi proses sebagai berikut:
1) Fitostabilisasi (phytostabilization). Akar tumbuhan melakukan
imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi, mengadsorpsi pada
permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan dalam zone akar.
Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat
anorganik yang terkandung minyak yaitu sulfur, nitrogen, dan beberapa
logam berat (sekitar 2 - 50 % kandungan minyak (Leahy and Colwell,
1990).
2) Fitoekstraksi atai fitoakumulasi (phytoextraction atau
phytoaccumulation). Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya
ditranslokasi ke dalam organ tumbuhan. Proses ini adalah cocok
digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik seperti pada proses
fitostabilisasi.

Pencemaran Perairan 30
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

3) Rizofiltrasi (rhizofiltration). Akar tumbuhan mengadsorpsi atau


presipitasi pada zone akar atau mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar
ke dalam akar. Proses ini digunakan untuk bahan larutan yang
mengandung bahan organic maupun anorganik (Mangkoedihardjo,
2002).
4) Fitodegradasi atau fitotransformasi (phytodegradation atau
phytotransformation). Organ tumbuhan menguraikan polutan yang
diserap melalui prosesmetabolisme tumbuhan atau secara enzimatik.
5) Rizodegradasi (rhizodegradation atau enhanced rhizosphere
biodegradation atau phytostimulation atau plant-assisted bioremediation
atau degradation). Polutan diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang
diperkuatatausinergis oleh ragi, fungi, dan zat-zat keluaran akar
tumbuhan (eksudat) yaitu gula, alcohol, asam. Eksudat itu merupakan
makanan mikroba yang menguraikan polutan maupun biota tanah
lainnya. Proses ini adalah tepat untuk dekontaminasi zat organic.
6) Fitovolatilisasi (Phytovolatilization). Penyerapan polutan oleh tumbuhan
dan dikeluarkan dalam bentuk uap cair ke atmosfer. Kontaminan bisa
mengalami transformasi sebelum lepas ke atmosfer. Kontaminan zat-zat
organic adalah tepat menggunakan proses ini.

iv. Prestudi dan Pemantauan


Pre-studi dan pemantauan minimum yang diperlukan meliputi hal-hal
di bawah ini. Predictive hazard assessments. Kajian ini merupakan langkah
awal untuk penetapan teknologi remediasi. Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui secara prediktif kelakuan minyak di air laut baik mengenai
sebaran konsentrasi minyak di media air, udara, zat padatatausediment dan
biota. Model kajian ini dapat digunakan multi media fugacity model atau
release from the technosphere, dan masih banyak model yang dapat
dikembangkan (OECD, 1989). Treatability study. Kajian ini merupakan
kelanjutan dari predictive hazard assessments. Setelah diketahui sebaran
konsentrasi minyak di media lingkungan maka besaran konsentrasi minyak
di tiap media diuji dengan teknik remediasi fisik, kimia, mikrobiologis, dan
tumbuhan. Biodegradation study. Kajian ini merupakan pendalaman
treatability study khususnya teknik bioremediasi. Terdapat pendekatan kajian
bioremediasi yaitu:

Pencemaran Perairan 31
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

1) Bioaugmentasi. Prinsipnya adalah mikroba pengurai minyak


ditambahkan ke lingkungan dimana telah tersedia mikroba dari berbagai
spesies dan terkontaminasi minyak. Penambahan mikroba pengurai
minyak adalah untuk memperpendek fase adaptasi mikroba yang ada
sehingga saat mulai proses bioremediasi dapat dipercepat (Hozumi et al.
(2000).
2) Biostimulasi. Prinsipnya adalah mikroba pengurai minyak yang telah ada
dalam lingkungan terkontaminasi minyak distimulasi aktivitasnya
dengan penambahan nutrient. Penambahan nutrient diperlukan untuk
meningkatkan laju bioremediasi. Nutrien utama yang diperlukan adalah
ammonia N dan P (Jackson and Pardue, 1999).
Microbiological study. Studi mikrobiologis ditetapkan menjadi 2
bagian yaitu:
1) Perubahan komunitas mikroba. Komunitas mikroba (bacteria, ragi,
fungi) perlu diketahui untuk media tak tercemar dan media tercemar
minyak. Tinjauan ini diperlukan untuk menetapkan kelayakan remediasi
di tempat (in-situ) atau di luar tempat (ex-situ).
2) Isolasi dan karakterisasi mikroba yang mampu menguraikan minyak.
Tinjauan ini diperlukan untuk menetapkan bioaugmentasi.
Phytotechnological study. Studi teknologi pemulihan menggunakan
tumbuhan disesuaikan dengan struktur dan fungsi tumbuhan serta
karakteristik minyak. Tumbuhan uji adalah tumbuhan pesisir seperti Cattail
dan Mangrove. Fungsi pemantauan didasarkan kepada maksud penggunaan
pemantauan, yaitu:
1) Pemantauan retrospektif. Pemantauan retrospektif adalah pemantauan
yang hasil-hasilnya digunakan untuk melakukan koreksi atau
jastifikasiataupembenaran terhadap predictive hazard assessments dan
penerapan teknologi. Keduanya dipantau secara danatauatau
menggunakan indikator fisik, kimia dan biologis.
2) Pemantauan prospektif. Pemantauan prosepektif adalah pemantauan
yang hasil-hasilnya digunakan untuk melakukan prediksi. Uji
ekotoksisitas merupakan contoh pemantauan prospektif. Salah satu
indicator tingkat toksisitas organic adalah rasio BOD atau COD. Hasil
pemantauan rasio BOD atau COD makin meningkat menunjukkan
tingkat toksisitas menurun.

Pencemaran Perairan 32
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

3. Pencemaran Logam Berat


Logam- logam berat yang masuk kedalam tubuh hewan umumnya tidak
dikeluarkan lagi dari tubuh mereka. Karena itu logam- logam cenderung untuk
menumpuk di dalam tubuhnya. Sebagi akibatnya logam- logam tersebut akan terus
berada di sepanjang rantai makan. Hal ini disebabkan oleh karena predator pada
satu trofik level makan mangsa mereka dari trofik yang lebih rendah yang telah
tercemar (ikan dimakan oleh manusia). Disini terlihat bahwa kandungan
konsentrasi logam berat terdapat lebih tinggi pada tubuh hewan yang letaknya lebih
tinggi didalam tropik level. Jadi predator tingkat tinggi (dengan umur lebih
panjang) lebih banyak menumpuk logam berat. Logam berat merupakan istilah
yang digunakan untuk menamai kelompok metal dan metalloid dengan densitas
lebih besar dari 6 g/cm3. Cd, Cr, Cu, Hg, Ni dan Pb. Zn merupakan logam berat
yang seringkali dihubungkan dengan adanya masalah pencemaran dan toksisitas.
Nama lain logam berat atau heavy metal yaitu 'Trace metal", tetapi ini tidak bisa
digunakan. Tidak seperti pencemar organik (organo halides), logam berat terjadi
dalam pembentukan batuan dan pertambangan mineral sehingga ada "range” atau
kisaran normal dari "Background concentration" pada tanah, sedimen, air dan
organisme hidup. Pencemaran memberikan kontribusi sehingga konsentrasi
menjadi lebih tinggi dari "background concentration" Konsentrasi Background
value (BV) dapat digunakan untuk melihat "Enrichment Factor" (EF) :

Konsentrasi di Lokasi Tercemar


EF = x100%
Konsentrasi log am di BV

a) Sifat-Sifat Fisik- Biokimiawi Logam Berat


Beberapa elemen dari grup ini diperlukan oleh sebagian organisme hidup
dalam konsentrasi kecil tetapi sangat essensial untuk kehidupan, tetapi jika
berlebihan menyebabkan toksisitas. Logam-logam Cu, Mn, Fe dan Zn jika terjadi
defisiensi menyebabkan penyakit baik pada hewan maupun tumbuhan. Cu, Cr, Se
dan I untuk hewan dan B dan Mo untuk tanaman. Hampir semua mikronutrien
memiliki peran sebagai penyusun enzym dan protein-protein penting lain yang
terlibat dalam pathway atau siklus metabolik.
b) Sumber-sumber logam berat
Sumber-sumber geokimiawi, menyusun satu persen dari kerak bumi,
Sedangkan makroelemen menyusun sembila puluh sembilan persen.

Pencemaran Perairan 33
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Sumber-sumber logam berat yaitu dari : Sumber Geokimiawi, dari Pertanian :


Pupuk : Cd, Cr, Mo, Pb, U dan Zn, pestisida : Cu, As, Hg, Pb, Mn dan Zn,
"Dessicant" : As untuk kapas, pengawetan kayu : As dan Cu, limbah dari produksi
ternak : Cu dan As, kompos di tambah dengan pupuk hewan : Cd, Cu, Ni, Pb, Zn
dan As, Lumpur buangan : Cd, Ni, Cu, Pb dan Zn, dan korosi logam : Zn, Cd, Gas
dari proses pembakaran pada kendaraan bermotor: Pb pada pembakaran batubara
meningkatkan konsentrasi beberapa logam termasuk Uranium (U) dimana emisi
yang melebihi batas dapat menyebabkan pencemaran radioaktif. Atmosphere
(Udara) di tambah dengan Hydrosphere (air), Ketiadaan mikronutrien akan
menyebabkan disfungsi metabolik yang mengakibatkan penyakit. Elemen-elemen
yang tidak mempunyai kepentingan secara biokimiawi disebut "non essensial
element". Contohnya “non-essential element” adalah As, Cd, Hg, Pb, Po, Sb, Ti
dan U yang menyebabkan toksisitas pada konsentrasi yang melebihi ambang batas
tetapi tidak menyebabkan "deficiency disorder" pada konsentrasi rendah seperti
mikronutrien.
c) Pengaruh Logam Berat Terhadap Ekosistem Laut
Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik sungai ataupun laut akan
mengalami proses-proses seperti pengendapan, adsorpsi dan absorpsi oleh
organisme-organisme perairan. Prosi (1979) menyatakan bahwa pemindahan logam
berat kedalam organisme dapat dipengaruhi pula oleh kebiasaan organisme dalam
cara memakan makanannya (feeding habit), yaitu sebagai berikut: Phytophagus
(misal : Gastropoda, Crustacea), filter feeding (misal : Zooplankton, barnacle, dan
bivalva), Sediment feeding (misal: Polychaeta dan oligochaeta), detritus feeding
(misal : gastropoda, isopoda dan amphipoda), carnivorous (misal : Zooplakton,
Polychaeta, gastropoda, Crustacea, larva serangga air tawar dan ikan), sedangkan
pengaruh logam berat terhadap organisme-organisme tersebut atas dasar daya
racunnya dibagi menjadi 2 yaitu : yang bersifat lethal atau mematikan lebih dari
LC50 (median lethal concentration), yang bersifat sublethal Pengaruh sublethal
dibedakan atas tiga macam :
1. Menghambat pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi, menyebabkan
terjadinya perubahan morfologi dan merubah tingkah laku organisme.
2. "Minamata Disease“ (oleh Hg) menyebabkan kelemahan otot, kehilangan
penglihatan, ketidakseimbangan fungsi otot dan kelumpuhan. Selain itu
juga meracuni janin dan merusak sistem syaraf pusat.
3. "Itai-itai Disease" menyebabkan nyeri atau nyilu pada tulang,
mempengaruhi kehamilan, lactasi, ketidakseimbangan internal sekresi,

Pencemaran Perairan 34
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

penuaan, kekurangan kalsium, Pb (plumbum)/Lead menyerang system


syaraf pusat dan peripheral mental ”retardation" anak-anak dengan gejala-
gejala : ataxia, coma dan convulsion (gangguan pada pergerakan).

4. Pecemaran Samapah Di Laut


Sampah yang mengandung kotoran minyak juga dibuang kelaut melalui
sistem daerah aliran sungai (DAS). Sampah-sampah ini kemungkinan mengandung
logam berat dengan konsentrasi yang tinggi. Tetapi umumnya mereka kaya akan
bahan-bahan organik, sehingga akan memperkaya kandungan zat-zat makanan
pada suatu daerah yang tercemar yang membuat kondisi lingkungan menjadi lebih
baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Aktifitas pernafasan dari organisme ini
membuat makin menipisnya kandungan oksigen khususnya pada daerah estuarin.
Hal tersebut akan berpengaruh besar pada kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan
yang hidup disitu. Pada keadaan yang paling ekstrim, jumlah spesies yang ada
didaerah itu akan berkurang secara drastis dan dapat mengakibatkan bagian dasar
dari estuarin kehabisan oksigen. Sehingga mikrofauna yang dapat hidup disitu
hanya dari golongan cacing saja. Jenis-jenis sampah kebanyakan termasuk
golongan yang mudah hancur dengan cepat, sehingga pencemaran yang
disebabkannya tidak merupakan suatu masalah besar diperairan terbuka.
5. Pencemaran Pestisida di Laut
Kerusakan yang disebabkan oleh pestisida adalah bersifat akumulatif.
Mereka sengaja ditebarkan ke dalam suatu lingkungan dengan tujuan untuk
mengontrol hama tanaman atau organisme-organisme lain yang tidak diingini.
Idealnya pestisida ini harus mempunyai spesifikasi yang tinggi yaitu dapat
membunuh organisme-organisme yang tidak dikehendaki tanpa merusak hewan
lainnya. Beberapa pestisida yang dipakai kebanyakan berasal dari suatu grup bahan
kimia yang disebut Organochloride. DDT termasuk dalam grup ini. Pestisida jenis
ini termasuk golongan yang mempunyai ikatan molekul yang sangat kuat dimana
molekul-molekul ini kemungkinan dapat bertahan di alam sampai beberapa tahun
sejak mereka mulai dipergunakan. Hal itu sangat berbahaya karena dengan
digunakannya golongan ini secara terus menerus akan membuat mereka
menumpuk di lingkungan dan akhirnya mencapai suatu tingkatan yang tidak dapat
ditolerir lagi dan berbahaya bagi organisme hidup didaerah tersebut. Hewan
biasanya menyimpan organochloride di dalam tubuh mereka. Beberapa organisme
air termasuk ikan dan udang ternyata menumpuk bahan kimia didalam jaringan
tubuhnya.

Pencemaran Perairan 35
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

a. Daya Larut dan Daya Urai Pestisida


Dalam penggunaan Pestisida, tidak semua bahan kimia yang digunakan
mencapai organisme sasaran, sehingga sisanya akan hilang ke lingkungan, terbawa
aliran air ke sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Dalam tubuh ikan daya serap
setiap organ terhadap pestisida tidak sama. Demikian pula daya larut setiap
pestisida dalam setiap organ juga tidak sama. Lemak, gonad, gelembung renang
(gall blader), hati, pyloric, ceca, kulit, otak, dan ginjal cenderung mempunyai daya
serap pestisida lebih tinggi dibandingkan organ-organ tubuh lainnya. Dalam hal ini
jenis pestisidanya adalah DDT. Untuk dieldrin konsentrasinya cenderung naik di
organ otak, gonad, lemak. Adapun konsentrasi lindane disetiap organ cenderung
menurun terus dengan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa daya urai setiap
pestisida berbeda dan lindane mempunyai daya tahan yang relatif lemah.
b. Pengaruh Pestisida Terhadap Kehidupan Organisme Air
Penumpukan pestisida dalam jaringan tubuh, bersifat racun dan dapat
mempengaruhi sistem syaraf pusat. Bahan aktifnya selain bisa membunuh
organisme perairan (ikan) juga dapat merubah tingkah laku ikan dan menghambat
perkembangan telur moluska dan juga ikan. Daya racun berkisar dari rendah-tinggi.
Moluska cenderung lebih toleran terhadap racun pestisida dibandingkan dengan
Crustacea dan teleostei (ikan bertulang sejati).
6. Limbah Domestik dan Industri
Berkembangnya agroindustri hasil perikanan selain membawa dampak
positif yaitu sebagai penghasil devisa, memberikan nilai tambah dan penyerapan
tenaga kerja, juga telah memberikan dampak negatif yaitu berupa buangan limbah.
Limbah hasil dari kegiatan tersebut dapat berupa limbah padat dan limbah cair.
Terlepas dari usaha-usaha untuk mendaur ulang (recycle) dan penggunaan ulang
(re-use) limbah sisa produksi tersebut, limbah cair yang dibuang ke badan air
masih mengandung nutrien organik yang cukup tinggi. Kandungan nutrien organik
yang tinggi ini apabila berada dalam badan air akan menyebabkan eutrofikasi pada
perairan umum, yang kemudian akan menyebabkan kematian organisme yang
hidup dalam air tesebut, pendangkalan, penyuburan ganggang dan bau yang tidak
nyaman. Masalah pencemaran lingkungan akibat limbah industri pertanian
termasuk industri perikanan sudah lama diwaspadai. Pemerintah Indonesia sudah
mulai bersikap tegas dengan dikeluarkannya peraturan bahwa semua industri di
Indonesia harus menangani limbahnya terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan
bebas. Hal ini telah diatur dalam beberapa peraturan yaitu: PP No. 20/1990 tentang

Pencemaran Perairan 36
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

pengendalian pencemaran air; SK Menteri KLH tahun1988 dan beberapa peraturan


daerah masingmasing. Untuk memenuhi persyaratan ini perlu dipilih metode
penanganan limbah yang tepat dan cocok dengan sifat limbah industri yang
bersangkutan. Oleh karena itu karakteristik limbah yang akan diberi perlakuan
(treatment) perlu diketahui terlebih dahulu. Sifat-sifat limbah industri pengolahan
buah dan sayuran akan berbeda dengan industri pengolahan daging sapi, unggas,
susu dan hasil laut/perairan. Kaji ulang ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui
sampai seberapa jauh limbah cair industri perikanan berpotensi dalam mencemari
lingkungan, teknologi yang digunakan untuk mengolah limbah cair yang dihasilkan
dan kemungkinan pengembangannya sesuai dengan kemajuan penelitian yang
sudah dicapai. Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang
tinggi. Tingkat pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat
tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah. Menurut
River et al., (1998) jumlah debit air limbah pada efluen umumnya berasal dari
proses pengolahan dan pencucian. Setiap operasi pengolahan ikan akan
menghasilkan cairan dari pemotongan, pencucian, dan pengolahan produk. Cairan
ini mengandung darah dan potongan-potongan kecil ikan dan kulit, isi perut,
kondensat dari operasi pemasakan, dan air pendinginan dari kondensor.
Limbah adalah limbah cair yang berasal dari masyarakat urban, termasuk di
dalamnya limbah kota municipal) dan aktivitas industri, yang masuk ke sistem
saluran pembuangan kota. Pada umumnya limbah domestik mengandung sampah
padat (berupa tinja, dan cair yang berasal dari rumah tangga). Menurut GESAMP
(1976) limbah domestik mempunyai 5 sifat utama yaitu :
1) Mengandung bakteri, parasit dan kemungkinan virus, dalam jumlah
banyak, yang sering terkontaminasi dalam kerang-kerangan dipesisir laut.
2) Mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi, sehingga BOD
(Biological Oxygen Demand) biasanya tinggi
3) Padatan (organik dan anorganik) yang mengendap di dasar perairan.
Komponen organik akan terurai secara biologis, sebagai akibatnya
kandungan oksigen berkurang
4) Kandungan unsur hara, terutama komponen fosfor dan nitrogen tinggi
sehingga sering menyebabkan terjadinya eutrofikasi.
5) Mengandung bahan-bahan terapung, berupa bahan-bahan organik dan
anorganik dipermukaan air atau berada dalam bentuk suspensi. Kondisi ini
sering mengurangi kenyamanan dan menghambat laju fotosintesis, serta
mempengaruhi proses pemurnian alam (self purification).

Pencemaran Perairan 37
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Berdasarkan sifat-sifat sumber bahan pencemar yang ada


diperairan,dikategorikan berasal dari perairan pesisir atau laut. Dalam banyak hal,
limbah industri tersebut walaupun sudah diproses di IPAL (Instalansi Pengolahan
Limbah) kualitasnya masih jelek (nilainya masih diatas baku limbah cair yang telah
ditetapkan). Dalam beberapa kasus menunjukkan bahwa limbah industri tidak atau
sulit larut dalam air. Beberapa diantaranya secara langsung meracuni kehidupan
perairan seperti Cyanida, phenol, dll atau bisa secara tak langusng misalnya
melalui turunnya oksigen untuk perombakan bahan-bahan organik. Berdasarkan
sifat fisik, kimia air limbah, tingkah lakunya diperairan dan pengaruhnya terhadap
organisme, jenis limbah industri ada lima sebagai berikut :
1) Bahan-bahan organik terlarut: bahan beracun,tahan urai dan biodegradabel
2) Bahan -bahan anorganik : unsur-unsur hara
3) Bahanorganik tidak larut: minyak
4) Bahan-bahan anorganik yang tidak larut. Contohnya logam berat.
5) Bahan-bahan radioaktif.
7. Rekomendasi dan Pengendalian Pencemaran Laut

a) Kebijakan Pengendalian Pencemaran Laut

Menurut PP NO 19 Tahun 1999 adalah Llingkungan laut beserta


sumber daya alamnya berdasarkan Wawasan Nusantara merupakan salah
satu bagian lingkungan hidup yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, berfungsi sebagai ruang bagi kehidupan Bangsa; bahwa pengelolaan
lingkungan laut beserta sumber daya alamnya bertujuan untuk memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan
hidup makhluk hidup lainnya baik masa sekarang maupun masa yang akan
datang; bahwa meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut
maupun pemanfataan laut beserta sumber daya alamnya dapat
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut yang
akhirnya menurunkan mutu serta fungsi laut sehubungan dengan hal
tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tetnang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusahaan Laut.

Ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis


beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Pencemaran laut adalah

Pencemaran Perairan 38
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau


komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu
dan/atau fungsinya. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
di dalam air laut. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut. Kerusakan
laut adalah perubahan fisik dan/atau hayati laut yang melewati
kriteria baku kerusakan laut. Kriteria baku kerusakan laut adalah
ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan laut
yang dapat ditenggang. Status mutu laut adalah tingkatan mutu laut
pada lokasi dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan baku mutu
air laut dan/atau kriteria baku kerusakan laut. Perlindungan mutu
laut adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut
tetap baik. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah
setiap upaya atau kegiatan pencegahan dan/atau penanggulangan
dan/atau pencemaran dan/atau perusakan laut. Pembuangan
(Dumping) adalah pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha
dan/atau kegiatan dan/atau benda lain yang tidak terpakai atau
daluwarsa ke laut. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan,
Limbah cair adalah sisa dari proses usaha dan/atau kegiatan yang
berwujud cair, Limbah padat adalah sisa atau hasil samping dari
suatu usaha dan/atau kegiatan yang berwujud padat termasuk
sampah.Perlindungan Mutu Laut diatur dalam Bab II Pasal 1 sampai
dengan Pasal 8.
Dalam Kepmen LH No. 179 Tahun 2004 Tendang Baku Mutu
air Laut adalah menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut perlu
dilakukan upaya pengendalian terhadap kegiatankegiatan yang dapat
mencemari dan atau merusak lingkungan laut, sebagai salah satu
sarana pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan
laut, perlu ditetapkan Baku Mutu Air Laut, dalam melaksanakan

Pencemaran Perairan 39
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999


tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut,
Penetapan Baku Mutu Air Laut ditetapkan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup dengan mempertimbangkan masukan dari
Menteri lainnya, dengan memperhatikan implementasi di lapangan.
b) Pencegahan Pencemaran Laut
1) Angkat sampah-sampah dan benda-benda bekas yang kita lihat selama kita
menyelam atau pergi ke pantai.
2) Yang paling sering di temukan pada saat pembersihan pantai dan laut
adalah puntung rokok. selalu perbiasakan untuk tidak membuang puntung
rokok keluar dari kapal.
3) Perbiasakan untuk menggunakan barang-barang yang bisa di daur ulang.
4) kurangi pembelian produk yang menggunakan bahan plastik.
5) Perhatikan segala sesuatu yang kita beli dan hindari pengemasan yang
berlebihan.
6) Perbanyak fasilitas daur ulang sampah dan benda-benda bekas di daerah
kita.
7) Jangan tinggalkan tali pancing, jala atau sisa sampah dari kegiatan
memancing di laut.
8) Jagalah agar sampah plastik dan sampah-sampah lainnya agar tidak
bertebaran di tanah dan dasar laut.
9) Pastikan saluran air/irigasi dan pantai bebas dari sampah.

Pencemaran Perairan 40
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

BAB III
PENCEMARAN SUNGAI

Sungai merupakan tempat pembuangan akhir limbah cair dari berbagai


kegiatan manusia, sebelum akhirnya dialirkan ke danau atau laut. Sistem drainase
kota dimulai dari permukiman, perdagangan dan drainase alami alirannya akan
berakhir di sungai. Kondisi ini akan mengakibatkan semua bahan pencemar yang
terlarut dalam bentuk limbah cair akan masuk kedalam aliran sungai. Besarnya
bahan pencemar yang masuk ke sungai akan berpengaruh terhadap kualitas air
sungai. Pada titik tertentu akan mengakibatkan terjadinya pencemaran. Untuk
mencegah terjadinya pencemaran air sungai perlu dilakukan upaya pengendalian.
Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran air sungai adalah
memelihara sungai agar tetap memiliki kemampuan untuk mereduksi dan
membersihkan bahan pencemar yang masuk kedalamnya. Upaya ini diantaranya
berupa pengaturan jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang ke sungai.
Pengaturan jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang ke sungai didasarkan atas
kajian ilmiah tentang daya tampung beban pencemaran pada sungai dimaksud. Hal
ini dilakukan untuk memastikan bahwa bahan pencemar yang dibuang ke sungai
tidak melampaui kemampuan air sungai untuk membersihkan sendiri. Kemampuan
air untuk membersihkan diri secara alamiah dari berbagai kontaminan dan
pencemar dikenal sebagai swa pentahiran atau self purification (Imholf, 1979).
Penentuan daya tampung beban pencemaran sungai (badan air) merupakan
kewenangan pemerintah melalui keputusan Bupati / Walikota atau Gubernur atau
Presiden, sesuai dari kondisi sungai tersebut. Pemerintah Kabupaten / Kota
memiliki kewenangan untuk menetapkan daya tampung beban pencemaran pada
sungai yang berada di wilayahnya (Pasal 18 (3) dan Pasal 20 (a) PP No. 82 Tahun
2001). Sesuai UU No.7 Tahun 2004 Pasal 16 (b) dan Pasal 23 (1) Pemerintah
Kabupaten / Kota memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam hal
pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian
pencemaran air (sungai) di wilayahnya. Bahan pencemar dalam limbah cair yang
berasal dari rumah tangga, permukiman dan perkotaan pada umumnya berupa
>70% bahan organik (Metcalf & Eddy, 1979). Bahan pencemar dalam limbah cair
yang dapat didegradasi secara alamiah melalui peristiwa swa pentahiran adalah
bahan organik juga (Linsley, et al, 1995). Atas dasar alasan ini, maka penentuan
daya tampung beban pencemaran pada badan air (sungai) lebih dititik beratkan
pada zat organik. Untuk menentukan besarnya daya tampung beban pencemaran
organik secara tetap dan pasti pada badan air (sungai) sangat sulit dilakukan. Hal

Pencemaran Perairan 41
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

ini karena banyak sekali variabel yang mempengaruhi kemampuan air sungai untuk
melakukan swa pentahiran, diantara debit, kecepatan, jumlah pencemar, suhu,
cuaca, musim, bentuk aliran dan oksigen terlarut. Oleh karena itu yang dapat
dilakukan adalah menentukan estimasi daya tampung beban pencemaran organik.

Untuk mencegah terjadinya pencemaran air sungai, di perlukan suatu hukum


atau aturan yang mengontrol kualitas air sungai. Peraturan juga dapat diberlakukan
terhadap industei sebelum membuang air limbah ke permukaan air sungai,
sehingga dapat meningkatkan jumlah dan kualitas sarana penanganan air limbah.
Permasalahan Dalam Pengendalian Pencemaraan Air Sungai Bayaknya
pembuangan limbah pabrik yang membuang ke sungai tanpa memproses
penetralan air limbah terlebih dahulu dikarenakan kurangnya fasilitas dan
pemotongan untuk beban biaya produksi. Kurangnya kesadaran Masyarakat dalam
pembuangan limbah rumah tangga seperti membuang sampah ke dalam sungai,
membuat saluran pembuangan limbah rumah ke sungai.

1. Sumber dan komposisi air limbah


Djabu, dkk, (1991) menyebutkan bahwa sumber air limbah pada dasarnya
berasal dari dometik, industri dan rembesan. Sumber domestik meliputi air limbah
yang berasal dari daerah perumahan, permukiman, perdagangan, perkantoran dan
fasilitas rekreasi. Menurut Asdak (2002) sumber pencemaran dapat dekelompokan
menjadi point source dan non point source. Point source adalah tempat-tempat
yang menjadi sumber pencemaran yang diketahui secara pasti, misalnya : limbah
yang berasal dari pabrik kimia. Non point source adalah pencemaran yang berasal
dari area luas seperti pertanian, perdesaan atau permukiman yang tidak tersedian
system riool secara khusus. Apabila tidak tersedia data tentang kapasitas air limbah
domestik, maka untuk keperluan perencanaan diperkirakan 150-380 liter / orang /
hari (Metcalf dan Eddy, 1979). Menurut Tchobanoglus (Linsley dan Franzini,
1995) volume air limbah juga dapat diperkirakan dari total penggunaan air bersih
yakni berkisar antara 60-75% volume air bersih. Jumlah pemakaian air bersih
minimal untuk keperluan rumah tangga diperkirakan 100 liter/orang/hari (Irianto
dan Waluyo , 2004). Komposisi air limbah domestik terdiri dari air dan partikel
padat terlarut berupa zat organik (protein, karbohidrat dan lemak) dan zat
anorganik. 70% partikel terlarut merupakan bahan organik. Menurut Djabu, dkk.
(1991) zat organik adalah suatu senyawa yang tersusun dari senyawa atau
kombinasi Carbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O 2 ), bersama dengan Nitrogen
(N). Dalam beberapa kasus elemen yang penting seperti Sulfur, Phospor, Iron dan

Pencemaran Perairan 42
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

lain - lain juga ada. Zat organik dalam air atau air limbah dalam bentuk Protein,
Karbohidrat, serta minyak dan lemak. Zat lain yang ada dalam air limbah dapat
berupa garam, mineral renik, pestisida dan logam. Menurut Linsley dan Franzini
(1995) keberadaan bahan organik dalam air diketahui menggunakan parameter
BOD (Biological Oxygen Demand sama dengan Kebutuhan oksigen untuk oksidasi
biologis), COD (Chemical Oxygen Demand sama dengan kebutuhan oksigen untuk
oksidasi kimiawi), TOC (Total Organik Carbon sama dengan Karbon organik
total), ThOD (Theoritical Oxygen Demand sama dengan kebutuhan oksigen
teoritis). Sanropie, dkk (1984) mengatakan bahwa kehadiran zat organik dalam air
dapat ditentukan dengan mengukur angka Permanganat (KMnO 4 sama dengan
Kalium Permanganat). Konsentrasi zat organik (BOD) dalam air sesuai dengan
kelas dan peruntukkan badan air adalah seperti di tersebut pada tabel : .....

Peruntukkan badan air masing-masing kelas menurut PP No.82 Tahun 2001


Pasal 8 adalah sebagai berikut :
1) Kelas satu, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air
baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu
air yang sama dengan kegunaan tersebut.
2) Kelas dua, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
3) Kelas tiga, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut.

Pencemaran Perairan 43
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

4) Kelas empat, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk


mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
2. Swa pentahiran (self purification) dalam Badan Air
Air limbah baik yang diolah ataupun yang tidak diolah apabila masuk ke
badan air akan mengalami tekanan oleh ekosistem air. Tekanan tersebut berupa
pengurangan atau penghilangan bahan pencemar oleh berbagai proses yang ada
dalam air. Proses ini meliputi pengenceran secara fisik, penyebaran dan
pengendapan, reaksi kimia, adsorbsi, Penguraian secara biologis dan stabilisasi.
Proses-proses tersebut pada dasarnya merupakan sifat alamiah air yang memilki
kemampuan untuk membersihkan atau menghancurkan berbagai kontaminan dan
pencemar yang dibawa air limbah. Kemampuan air untuk membersihkan diri
secara alamiah dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal sebagai swa
pentahiran (Imholf, 1979). Penguraian bahan pencemar secara biologis ataupun
secara biokimia yang terjadi pada badan air melalui dua cara yakni aerob dan
anaerob. Cara aerob merupakan proses penguraian bahan pencemar oleh jasadrenik
yang membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup, sedangkan anaerob tidak
memerlukan oksigen. Kedua cara ini akan memperoleh hasil yang sama yaitu air
menjadi bersih. Perbedaannya, pada kondisi aerob air kelihatan bersih, tidak
berbau, hewan dan tumbuhan air dapat hidup normal. Sebaliknya pada kondisi
anaerob air tampak hitam dan kotor, berbau busuk, hewan dan tumbuhan air mati.
Hal seperti ini dapat menimbulkan gangguan, dan juga proses anaerob lebih lambat
dibanding aerob. Pada umumnya proses anaerob yang terjadi pada badan air tidak
dapat diterima oleh masyarakat, sehingga pengertian swa pentahiran hanya
digunakan untuk proses penguraian bahan pencemar dalam kondisi aerob (Fair,
1956). Bahan pencemar organik dalam air atau air limbah akan diuraikan oleh
jasadrenik menjadi Karbon Dioksida (CO 2 ), Ammonia (NH 3 ) dan sel baru. Bakteri
juga perlu respirasi dan melakukan sintesa untuk kelangsungan hidupnya. Pada
reaksi respirasi berlangsung proses oksidasi dimana 1 unit biomassa yang
dioksidasi membutuhkan 1,42 unit O 2 (Benefild L.D. & Randal CW, 1980). Dalam
stochiometri reaksi oksidasi dan sintesis sel adalah sebagai berikut :

Pencemaran Perairan 44
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Plankton yang ada pada badan air diyakini sangat berperan dalam proses swa
pentahiran. Knoop (dalam Imholf, 1979) mengemukakan bahwa plankton berperan
menaikkan kadar oksigen terlarut dalam air. Kapasitas swa pentahiran akan
meningkat apabila terjadi pertumbuhan plankton yang melimpah. Keseimbangan
oksigen terlarut juga akan berpengaruh pada biota dalam air. Organisme tingkat
tinggi pada badan air selalu membutuhkan terpeliharanya kondisi aerob. Ikan dan
biota air lainnya hanya dapat hidup pada kondisi kadar oksigen terlarut (DO sama
dengan disolved oxygen) dalam air di atas 3-4 mg/lt. Agar kadar DO dapat terus
terjaga di atas 3-4 mg/lt. seringkali diperlukan aerasi buatan, terutama ketika
kondisi sangat darurat. Asupan oksigen terlarut secara alamiah terjadi melalui
fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air, aerasi dalam bentuk riak gelombang
dan terjunan dari aliran air dan masuknya gas oksigen dari udara (Phelps dalam
Imholf (1979). Kadar DO juga ditentukan oleh adanya berbagai proses yang ada
dalam badan air, meliputi : (a). oksidasi biologis dari pembusukan material karbon
organik oleh bakteri dan fungi, (b). oksidasi ammonia dan nitrogen organik
menjadi nitrat (nitrifikasi), (c). sediment oxygen demand, dimana oksigen
dibutuhkan oleh lapisan atas endapan organik didasar badan air, (d). respirasi algae
dan tumbuhan air pada malam hari, (e). oksidasi bahan kimia yang ada dalam air,
(f). cuaca yang akan berpengaruh pada kelarutan oksigen dari atmosfer. Menurut
Linsley dan Franzini (1995) tingkat kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh
temperatur udara lingkungan setempat. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air akan
selalu menuju ke keseimbangan sesuai temperatur udara, sebagaimana
diperlihatkan pada tabel 2.2. Kadar oksigen terlarut yang ditunjukkan pada tabel
tersebut bukan merupakan batas relatif, tetapi merupakan kadar maksimal sesuai
dengan tempertur.

Pencemaran Perairan 45
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Temperatur Konsentrasi Oksigen Terlarut


No
(oC) (mg/l)
1 0 14.5
2 5 12.7
3 10 11.3
4 15 10.1
5 20 9.2
6 25 8.4
7 30 7.7
8 40 6.8
Sumber : Linsley dan Franzini (1995)
Kecepatan aliran air yang tinggi dapat menimbulkan olakan atau percikan air
apabila menabrak benda yang tegar. Kecepatan aliran air yang tinggi juga dapat
menimbulkan pusaran air yang kuat apabila menjumpai belokan saluran. Olakan
air, percikan air dan pusaran air yang kuat akan menimbulkan efek aerasi. Aerasi
pada air sungai merupakan peristiwa yang sangat menguntungkan. Aerasi akan
menyebabkan pengikatan Oksigen (O 2 ) di udara oleh air, sehingga dapat
meningkatkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air sungai. Sebagai gambaran
tentang pengaruh kecepatan air terhadah tingkat penyerapan oksigen oleh air,
Prodjopangarso (1985) pernah melakukan penelitian percobaan tentang korelasi
antara kecepatan air dengan tingkat penyerapan oksigen dalam air.
3. Debit Aliran Air Sungai dan DAS
Black (Asdak, 2002) mengemukakan bahwa pola aliran sungai antara lain
berbentuk percabangan pohon (denritic), pola segi empat (rectangular), trellis,
annular dan radial. Pola aliran ini mempengaruhi besarnya debit puncak dan lama
waktu berlangsungnya debit puncak. Lebih lanjut Asdak (2002) menyebutkan
bahwa menurut literature geologi pola aliran (sistem) sungai diklasifikasikan
sebagai sistem aliran influent, effluent dan intermittent. Sistem aliran sungai
influent adalah aliran sungai yang memasok air tanah. Sistem aliran sungai effluent
adalah aliran sungai berasal dari air tanah. Sungai yang masuk dalam kategori
aliran effluent biasanya akan mengalir sepanjang tahun (perennial). Sistem aliran
sungai intermittent adalah aliran sungai yang terjadi hanya pada saat segera setelah
adanya hujan besar. Aliran jenis intermittent umumnya menjadi sumber air
musiman (perched water table). Kedudukan aliran sungai dapat diklasifikasikan
secara sistematik berdasarkan urutan DAS (daerah aliran sungai) berdasarkan

Pencemaran Perairan 46
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

percabangan sungai. Setiap aliran sungai yang tidak bercabang disebut sub-DAS
orde pertama. Sungai yang berada di bagian hilirnya yang hanya menerima aliran
sungai sub-DAS orde pertama disebut sub-DAS orde kedua, demikian seterusnya.
Klasifikasi seperti ini mengacu pada sistem klasifikasi menurut Horton. Sistem
klasifikasi Horton dimulai dari orde pertama, orde kedua dan seterusnya sesuai
dengan bertambahnya jumlah cabang aliran sungai. Semakin besar orde dari sub-
DAS menunjukkan semakin luas wilayah DAS dan semakin banyak percabangan
aliran sungai yang dimiliki. Sub-DAS orde pertama yang berada di hulu sungai
memiliki fungsi perlindungan seluruh bagian DAS, terutama dari segi perlindungan
fungsi tata air.
Karakteristik DAS dan iklim akan berpengaruh pada hidrograf aliran.
Sherman (Asdak, 2004) adalah orang yang memperkenalkan metode UHG (unit
hidrograf) untuk memperkirakan dan menelusuri debit aliran sungai yang dikaitkan
dengan kondisi DAS dan curah hujan. Debit aliran sungai merupakan informasi
yang amat penting untuk pengelolaan sungai. Gordon (Asdak, 2004)
mengemukakan tentang teknik pengukuran debit aliran di lapangan dapat
dilakukan melalui empat kategori, yaitu :
1) Pengukuran volume air sungai. Pengukuran debit dengan cara ini, biasanya
dilakukan untuk keadaan aliran sungai lambat. Teknik pengukuran debit
dengan cara ini dipandang paling akurat, terutama untuk debit aliran lambat
seperti pada mataair. Cara pengukurannya dengan menentukan waktu yang
diperlukan untuk mengisi kontainer yang telah diketahui volumenya.
Besarnya debit aliran dihitung dengan rumus berikut :
Q = V .t.
Dimana :
Q = Debit air (m3/dt)
V = volume air (m3)
t = waktu (dt)

2) Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan luas


penampang melintang. Pengukuran kecepatan aliran biasanya dengan
bantuan alat ukur current meter atau dengan pendekatan velocity area
methode. Pengukuran kecepatan aliran yang paling sederhana adalah dengan
metode apung (float methode). Caranya adalah dengan meletakkan benda
yang tidak tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu,

Pencemaran Perairan 47
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

kemudian dicatat waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak tersebut.


Besarnya kecepatan aliran ditentukan dengan persamaan dibawah ini :

Vpermk = L / t
Dimana :
V permk = Kecepatan aliran di permukaan (m/dt)
L = jarak antara dua titik pengamatan (m)
t = waktu perjalanan benda apung (dt)

Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang baik, maka jarak antara dua titik
pengamatan sekurang-kurangnya yang memberikan waktu perjalanan selama
20 detik. Pemilihan tempat pengukuran sebaiknya pada bagian sungai yang
relatif lurus.

3) Pengukuran debit dengan menggunakan bahan pewarna yang dialirkan dalam


aliran sungai. Pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia, pewarna
atau radioaktif sering digunakan untuk jenis sungai yang memiliki aliran airnya
tidak beraturan (turbulence). Menurut Church (Asdak, 2004) bahan kimia,
pewarna atau radioaktif yang digunakan harus memenuhi syarat mudah larut
dalam aliran air sungai, bersifat stabil, mudah dikenali pada konsentrasi
rendah, tidak meracuni biota air dan tidak memberi dampak negatif yang
permanen serta harganya relative murah / ekonomis.
4) Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir dan
flume. Pengukuran debit dengan cara ini biasanya digunakan untuk tujuan
jangka panjang, yaitu dengan pembuatan bangunan pengukur debit (flume atau
weir) Diantara beberapa teknik pengukuran debit yang ada, pengukuran debit
aliran yang sederhana adalah menggunakan rumus kontinyuitas. Debit aliran
(Q) dipertoleh dengan mengalikan kecepatan aliran (V) dengan luas
penampang melintang (A), secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
Q = A.V.
Dimana :
Q = debit (m3/dt)
A = luas penampang basah (m2)
V = kecepatan aliran (m/dt)

Pencemaran Perairan 48
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Kecepatan aliran (V) yang diperoleh biasanya bukan kecepatan aliran rata-
rata, tetapi kecepatan aliran maksimum dalam sungai, maka kecepatan yang
mendekati keadaan sesungguhnya harus dikalikan dengan angka tetapan
(konstanta). Konstanta dimaksud adalah 0,75 untuk keadaan dasar sungai yang
kasar atau 0,85 untuk keadaan dasar sungai yang lebih halus. Menurut Hewlett
(Asdak, 2004) debit sesungguhnya adalah 20-25% dari debit hasil perhitungan
dengan persamaan. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memperkirakan
debit empiris menggunakan persamaan empiris dari manning. Cara ini dikenal
sebagai slope-area methode. Bentuk persamaan Manning (Asdak, 2004) adalah
untuk memperoleh angka kecepatan pada saluran terbuka. Adapun rumusnya
sebagai berikut :
V = (1/n) r 2/3 s 1/2
V = kecepatan aliran (m/dt), r = jari-jari hidrolik (m), s = kemiringan permukaan
air, dan n = angka koefisien kekasaran Manning. Apabila data kecepatan (V) di
atas ketahui dan luas penampang melintang juga diketahui, maka selanjutnya dapat
dihitung debit aliran(Q) menggunakan persamaan Q = A.V.
4. Daya Tampung Beban Pencemaran
Sumber pencemar di sungai diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumber titik
dan non sumber titik. Sumber titik menunjukkan buangan polutan yang
ditimbulkan oleh sumber spesifik atau lokasi tertentu. Sedangkan non Sumber titik
menunjukkan polusi yang dikoleksi, ditrasportasi serta dibuang lewat limpasan air
pada suatu kawasan. Sering juga disebut sumber area atau sumber
menyebar(James, 2003). Tata guna lahan merupakan bagian penting yang
mempunyai pengaruh pada kualitas air sungai. Kemampuan daya tampung air
sungai yang telah ada secara alamiah terhadap pencemaran perlu dipertahankan
untuk meminimalkan terjadinya penurunan kualitas air sungai (Marfai Aris, 2004).
Beban cemaran suatu sungai dapat diidentifikasi berdasarkan kadar BOD dalam
air, di mana semakin tinggi BOD maka air sungai semakin tercemar. Akumulasi
BOD dari sumber pencemar akan menimbulkan beban cemaran terhadap
kemampuan sungai untuk pulih kembali. Menurut PP No. 82 tahun 2001 Daya
tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu sumber air untuk
menerima masukan pencemaran tanpa menyebabkan air tersebut tercemar.
Sedangkan beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang
terkandung dalam air atau limbah. Pencemaran air dapat terjadi akibat adanya
unsur/zat lain yang masuk ke dalam air, sehingga menyebabkan kualitas air
menjadi turun. Dan sejalan dengan itu pula dilakukan pemantauan kadar cemaran

Pencemaran Perairan 49
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

BOD dengan cara mengambil contoh-contoh air sungai yang diperiksakan di


laboratorium. Pemantauan dengan cara ini memilikikelemahan yaitu tidak
terpantaunya kadar cemaran BOD sepanjang sungai. Hasil pemeriksaan akan
akurat apabila contoh air diambil pada selang jarak tertentu yang cukup rapat dan
dalam interval waktu tertentu dengan selisih waktu tidak terlalu lama, yang
dilakukan secara kontinyu atau periodical Untuk mengatasi masalah tersebut
dilakukan metode lain yaitu dengan menggabungkan cara di atas dengan suatu
piranti lunak, yaitu dengan menggunakan model untuk mensimulasikan kadar BOD
di sepanjang Sungai Gung sehingga dapat diketahui daya tampung beban cemaran
BOD Sungai Gung terhadap baku mutu BOD kelas sungai sesuai PP No. 82 Tahun
2001.

Daya tampung beban pencemaran organik pada badan air (sungai) pada
dasarnya adalah kemampuan maksimum dari badan air tersebut untuk dapat
melakukan swa pentahiran. Swa pentahiran yang dimaksud adalah dalam kondisi
tersedia oksigen (aerob), sehingga bergantung pada kondisi dan proses yang
menentukan kadar oksigen terlarut dalam air. Daya tampung beban pencemaran
organik pada badan air juga dipengaruhi oleh fluktuasi volume atau debit air yang
ada dan bahan pencemar yang masuk kedalamnya. Daya tampung beban
pencemaran diartikan sebagai kemampuan air pada suatu sumber air atau badan air
untuk menerima beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi
cemar (KEPMENLH No. 110 Tahun 2003). Menurut Djabu, dkk. (1991) beban
pencemaran (L) adalah konsentrasi bahan pencemar (C) dikalikan kapasitas aliran
air (Q) yang mengandung bahan pencemar. Artinya adalah jumlah berat pencemar
dalam satuan waktu tertentu, misalnya kg/hari. Beban pencemaran dapat ditulis
dalam persamaan sebagai berikut :

Pencemaran Perairan 50
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Pencemaran Perairan 51
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

5. Dampak terhadap kehidupan biota air


Banyaknya zat pencemar pada air limbah akan menyebabkan menurunnya
kadar oksigen terlarut dalam air tersebut. Sehingga akan mengakibatkan kehidupan
dalam air yang membutuhkan oksigen terganggu serta mengurangi
perkembangannya. Selain itu kematian dapat pula disebabkan adanya zat beracun
yang juga menyebabkan kerusakan pada tanaman dan tumbuhan air. Akibat
matinya bakteri-bakteri, maka proses penjernihan air secara alamiah yang
seharusnya terjadi pada air limbah juga terhambat. Dengan air limbah menjadi sulit
terurai. Panas dari industri juaga akan membawa dampak bagi kematian organisme,
apabila air limbah tidak didinginkan dahulu.
Diantara sekian banyak bahan pencemar air ada yang beracun dan berbahaya
dan dapat menyebabkan kematian. Telah anda pelajari bahwa bahan pencemar air
antara lain ada yang berupa logam-logam berat seperti arsen (As), kadmium (Cd),
berilium (Be), Boron (B), tembaga (Cu), fluor (F), timbal (Pb), air raksa (Hg),
selenium (Se), seng (Zn), ada yang berupa oksida-oksida karbon (CO dan CO2),
oksidaoksida nitrogen (NO dan NO2), oksida-oksida belerang(SO2 dan SO3), H2S,
asam sianida (HCN), senyawa/ion klorida, partikulat padat seperti asbes,
tanah/lumpur, senyawa hidrokarbon seperti metana, dan heksana.Bahan-bahan
pencemar ini terdapat dalam air, ada yang berupa larutan ada pula yang berupa
partikulat-partikulat, yang masuk melalui bahan makanan yang terbawa ke dalam
pencernaan atau melalui kulit. Bahan pencemar unsur-unsur di atas terdapat dalam
air di alam ataupun dalam air limbah. Walaupun unsur-unsur diatas dalam jumlah
kecil diperlukan dalam makanan hewan maupun tumbuhtumbuhan, akan tetapi
apabila jumlahnya banyak akan bersifat racun, contoh tembaga (Cu), seng (Zn) dan
selenium (Se) dan molibdium esensial untuk tanaman tetapi bersifat racun untuk
hewan. Air merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan di muka bumi terutama
bagi manusia. Oleh karena itu apabila air yang akan digunakan mengandung bahan
pencemar akan mengganggu kesehatan manusia, menyebabkan keracunan bahkan
sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian. Bahan pencemar yang
menumpuk dalam jaringan tubuh dapat meracuni organ tubuh tersebut, sehingga
organ tubuh tidak bisa berfungsi lagi dan dapat menyebabkan kesehatan terganggu
bahkan dapat sampai mati. Selain bahan pencemar air seperti tersebut di atas ada
juga bahan pencemar berupa bibit penyakit (bakteri/virus) misalnya bakteri coli,
disentri, kolera, typhus, para typhus, lever, diare dan bermacammacam penyakit
kulit. Bahan pencemar ini terbawa air permukaan seperti air sungai dari buangan
air rumah tangga, air buangan rumah sakit, yang membawa kotoran manusia atau
kotoran hewan.

Pencemaran Perairan 52
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

6. Dampak terhadap kesehatan

Peran air sebagai pembawa penyakit menular bermacam-macam antara lain :


 air sebagai media untuk hidup mikroba pathogen
 air sebagai sarang insekta penyebar penyakit
 jumlah air yang tersedia tak cukup, sehingga manusia bersangkutan tak
dapat membersihkan diri
 air sebagai media untuk hidup vector penyakit

Ada beberapa penyakit yang masuk dalam katagori water-borne diseases,


atau penyakit-penyakit yang dibawa oleh air, yang masih banyak terdapat di
daerah-daerah. Penyakit-penyakit ini dapat menyebar bila mikroba penyebabnya
dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Sedangkan jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air
antara lain, bakteri, protozoa dan metazoa.

7. Dampak terhadap estetika lingkungan

Dengan semakin banyaknya zat organic yang dibuang ke lingkungan


perairan, maka perairan tersebut akan semakin tercemar yang biasanya ditandai
dengan bau yang menyengat disamping tumpukan yang dapat mengurangi estetika
lingkungan. Masalah limbah minyak atau lemak juga dapat mengurangi estetika.
Selain bau, limbah tersebut juga menyebabkan tempat sekitarnya menjadi licin.
Sedangkan limbah detergen atau sabun akan menyebabkan penumpukan busa yang
sangat banyak. Inipun dapat mengurangi estetika.
8. Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Sungai
Permasalahan Dalam Pengendalian Pencemaraan Air Sungai Bayaknya
pembuahan limbah pabrik yang membuah ke sungai tanpa memproses penetralan
air limbah terlebih dahulu dikarenakan kurangnya pasilitas dan pemotongan untuk
beban biaya produksi. Kurangnya kesadaran Masyarakat dalam pembuangan
limbah rumah seperti membuang sampah kedalam sungai, membuat saluran
pembuangan limbah rumah ke sungai.

Pencemaran Perairan 53
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Penanganan sumberdaya untuk pemanfaatannya memerlukan data dasar


sebagai pangkal otak. Demikian pula halnya dengan pengelolaan DAS. Data dasar
(baseline data) ialah sekumpulan keterangan hakiki tentang suatu masalah (matter)
yang relevan dengan watak (nature) masalah itu. Data itu dapat berupa ciri
(characteristic) atau terukur (measureable). Mutu tidak dapat diamati atau diukur
secara langsung, karena ditentukan oleh saling tindak sejumlah sifat, dan hanya
dapat diketahui, dirasakan atau dinilai dari akibat atau perwujudan (manifestation)
yang ditimbulkan. Yang dimaksud dengan akibat atau perwujudan ialah
tindakannya dalam mempengaruhi kecocokan sumberdaya (DAS, lahan) bagi suatu
penggunaan tertentu. Taraf kepentingan nisbi tiap sifat yang menentukan suatu
mutu tertentu, bergantung pada keadaan lingkungan (Brinkman dan Smyth, 1973).
Misalnya, erodibilitas tanah sebagai mutu ditentukan bersama oleh faktor-faktor
kemiringan dan panjang lereng, permeabilitas tanah, dan kemantapan struktur
tanah. Taraf kepentingan nisbi permeabilitas tanah menjadi menonjol dalam
lingkungan iklim basah. Dalam lingkungan iklim kering, yang mana erosi angin
menjadi bentuk erosi pokok, tinggal kemantapan struktur tanahlah yang menjadi
faktor yang menonjol. Erosivitas hujan bersama dengan erodibilitas tanah
menentukan mutu lahan yang disebut kerentanan lahan terhadap erosi air. Macam
mutu yang lain antara lain kesuburan tanah, iklim, kebersihan air, keterlindasan
(trafficability), dan keramah tamahan penduduk. Mutu dapat diharkatkan dengan
sebutan (buruk, sedang, baik) atau dengan nilai tertentu (scoring).
Data dasar untuk pengelolaan DAS terdiri atas ciri dan mutu semua anasir
atau gatra DAS yang penting dalam menentukan kemampuan (capability) DAS.
Macam data yang sekurang-kurangnya harus dikumpulkan ialah:
(1) Neraca air makro (menurut iklim) dan neraca mikro (atau neraca lengas tanah
menurut hidrologi lahan).
(2) Erosivitas hujan dan erodibilitas tanah, untuk daerah-daerah beriklim kering,
erosivitas hujan diganti dengan erosivitas angin.
(3) Keadaan iklim hayati, yang mencakup agihannya menurut tinggi tempat dan
kedudukan topografi.
(4) Proses fluvial dalam geomorfologi (erosi, sedimentasi, hidrolika sungai,
pembentukan delta, dataran banjir, dataran interfluvial, dataran estuarin,
bentukan morfologi destruktif, seperti lembah, peneplain, morfologi karst,
dsb).
(5) Kemampuan lahan untuk pertanian, baik produktivitas maupun
potensialitasnya.

Pencemaran Perairan 54
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

(6) Tataguna lahan kini dan produktivitasnya, termasuk tataguna sumberdaya air
kini.
(7) Ketercapaian wilayah dan keterlintasan.
(8) Kerapatan dan distribusi penduduk, laju pertambahan penduduk, mata
pencaharian, kemampuan usaha, tingkat pendapatan dan kekayaan keluarga,
tingkat kesehatan, dan mobilitas penduduk.
(9) Rata-rata dan distribusi luas lahan milik atau garapan dan tingkat penerapan
teknologi.
Dari analisa dan penilaian data dasar akan diperoleh pengetahuan,
kesimpulan atau petunjuk tentang :
(1) Tingkat peluang dan prospek pengembangan.
(2) Beberapa alternatif arah dan bentuk pengembangan, termasuk pertimbangan
kerjasama dengan DAS tetangga dengan maksud saling mengisi.
(3) Macam dan jumlah masukan yang diperlukan.
(4) Prioritas penanganan segi-segi persoalan, baik untuk menyiapkan keadaan dan
suasana yang serasi bagi memulakan (start) pembangunan yang sebenarnya,
maupun untuk pentahapan pembangunan secara bernalar menurut tempat dan
waktu.
Dari macam ragam data dasar yang diperlukan dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan DAS harus dikerjakan secara multidisiplin. Yang diartikan dengan
multidisiplin ialah suatu titik tolak pandangan atau sikap, atau kerangka
pendekatan, yang memadukan berbagai bidang pengetahuan yang relevan dengan
watak dan kelakuan masalah, menjadi satu sistem analitik. Agar supaya sistem
analitik ini dapat berfungsi efektif, tiap-tiap bidang pengetahuan yang menjadi
unsur-unsurnya diberi kedudukan tertentu di dalam kerangka kerja. Unsur-unsur
tersebut dapat diurutkan pada garis gerak analisa sesuai dengan pertimbangan
hirarki tertentu. Dengan jalan ini suatu unsur memperoleh masukan dari unsur lain
yang berkedudukan hirarki lebih tinggi dan pada gilirannya, unsur yang tersebut
pertama tadi memberikan masukan kepada unsur berikutnya yang berkedudukan
hirarki lebih rendah. Sistem analitik seperti ini mempunyai struktur bertingkat.
Biasanya pengumpulan data dasar dan analisa kualitatif fisik berada pada tingkat
atas (langkah kerja pertama), dan memberikan masukan kepada analisa sosial-
ekonomi dan pengharkatan kuantitatif yang berada pada tingkat bawah (langkah
kerja kedua). Maka system analisa seperti ini disebut pula “pendekatan bertingkat
dua”. Dapat pula analisa semua gatra dikerjakan secara berdampingan (hirarki
tunggal), dan sistemnya dinamakan “pendekatan sejajar” (ILRI, 1977).

Pencemaran Perairan 55
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

Kedua macam pendekatan itu masing-masing mempunyai kelebihan dan


kekurangan. Pendekatan bertingkat atau bertahap bersifat lebih terarah, memiliki
urutan kegiatan yang jelas tanpa langkah-langkah yang saling berhimpitan. Dengan
demikian ia bersifat lebih fleksibel dalam hal penganggaran penghasilan kegiatan
survai dan pengumpulan data pada hal-hal yang langsung diperlukan untuk analisa
dan pengharkatan. Penghampiran sejajar sering menghambat analisa tuntas
mengenai kemampuan menyeluruh (ultimate capability) suatu sumberdaya, karena
terjerat dalam pertimbangan sosial-ekonomi yang membuat batasan tempat dan
waktu. Dengan demikian prospek mutlak suatu sumberdaya tidak terungkapkan.
Untuk keperluan pengharkatan lahan, FAO dan International Institute for Land
Reclamation and Improvement (ILRI), memilih pendekatan bertahap (ILRI, 1977).
Penulis juga memperoleh pengalaman yang memuaskan dalam menerapkan
penghampiran bertahap ini. Bidang sosial-ekonomi boleh saja ditangani pada tahap
pertama kegiatan bersama-sama dengan bidang fisik, asal saja terbatas pada
pengumpulan data dasar. Dalam menghubungkan asas kepaduan disiplin dengan
pengelolaan DAS, Martin (1970) dalam kata pengantarnya untuk Symposium on
The Interdisciplinary Aspects of Watershed Management di Montana State
University mengemukakan bahwa “…professional from the many different
disciplines will … work in concert to bring about total watershed managenent”.

Pencemaran Perairan 56
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

BAB IV
PECEMARAN DANAU

Danau dapat tercemar dari berbagai hal, misalnya pestisida, pupuk,


sedimentasi berlebihan, sampah akibat aktivitas manusia, limbah cperairan,
limbah radioaktif, panas buangan dan lain-lain. Pemenfaatan danau untuk
budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung juga dapat
menyebabkan pencemaran. Hal itu kurangnya perhatian pada daya tampung
limbang ke perperairanan. Sebagai akibatnya, degradasi lingkunganpun
terjadi, terutama terjadi umbalan (upwelling). Ikan-ikan dalam danau dapat
mengalami kamatian massal. Selain itu, penumpukan limbah organik dari
usaha budidaya akan mempercepat proses eutrofikasi. Pada tahap awal,
eutrofikasi hampir dapat dipastikan meningkatkan produksi ikan terutama
diperperairanan mengalir. Akan tetapi, eutrofikasi mendatangkan akibat-
akibat serius, diantaranya deplesi oksigen akibat respirasi bakteri dan
tumbuhan. Kekurangan oksigen ternyata lebih sulit diatasi oleh ikan
daripada perubahan suhu. Eutrofikasi, dengan demikian dapat menyebabkan
daerah pemijahan ikan yang biasa berpijah diperperairanan yang agak
dalam, ledakan populasi alga (alga bloom), dan hancurnya kehidupan
invertebrata bentik yang digunakan sebagai makanan. Bentos yang
merupakan Bottom Feeder memang biasanya mengalami kerugian akibat
adanya eutrofikasi. Meskipun mungkin ada sedikit keuntungan bagi bentos,
keuntungan itu biasanya kalah dari kerugiannya yaitu efek alga bloom yang
menghalangi cahaya matahari dan mengurangi produktivitas dilapisan dasar.
Alga bloom juga dapat meracuni perperairanan jika yang tumbuh adalah
spesies-spesies yang berpotensi menghasilkan toksik misalnya, Anabaena,
Minrocystis, dan Nodularia.
Hal yang perlu dicatat adalah bahwa danau yang berukuran lebih kecil
kemungkinan tingkat pencemarannya lebih besar. Hal itu disebabkan danau
yang lebih besar tingkat pencemaran dan pelarutan limbah juga tinggi.
Keberadaan arus juga dapat mengeluarkan limbah dari dalam danau dengan
cukup cepat. Salah satu parameter penting dalam penelitian polusi danau
dan kalkulasi dinamika nutrien adalah waktu retensi hidrolik yaitu waktu
yang diperlukan oleh keseluruhan perairan dalam danau untuk melewati

Pencemaran Perairan 57
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

outflow. Waktu retensi terutama ditentukan oleh interaksi antara aliran


masuk dan morfologi cekungan. Waktu retensi suatu nutrien mungkin
berbeda dari waktu residen hidroliknya sebab sedimentasi dan recycling
terjadi pada saat yang besamaan dengan aliran keluar.
Danau tidak hanya tercemar ataupun rusak, melainkan juga
menghilang. Danau dapat menghilang karena beberapa sebab, danau
mungkin terpenuhi oleh sedimen dan berubah menjadi rawa. Pendangkalan
juga disebabkan oleh eutrofikasi yang menyebabkan organisme-oerganisme
yang hidup mati dan menumpuk. Akhirnya terbentuk habitat baru tumbuh-
tumbuhan lain dan hewn-hewan yang semakin memperparah sedimentasi
danau. Pada akhirnya danau menutu dan terbentuk gambut.
1. Pengaruh Pestisida Terhadap Perairan Danau
Bahan pencemar berupa gas, material terlarut, dan partikulat dapat
mencemari suatu sistem perairan danau melalui udara, tanah, limpasan pertanian,
dan limbah baik publik, maupun industri (Edward, 1993). Richard dan Morgan
(2002) melaporkan bahwa terjadi cemaran logam timbal dan poliklorinasi bifenil
(PCB) pada ikan di Long Lake Amerika. Konsentrasi cemarannya telah berada
pada ambang batas untuk dikeluarkan rekomendasi konsumsi ikan tersebut. Di
India juga dilaporkan terjadi bioakumulasi cemaran logam-logam berat seperti Pb,
Cu, Cr, Mg dan Mn pada ikan di daerah Kalkuta Timur dan cemaran pestisida pada
ikan Danau Kolleru. Demikian juga diketemukan adanya cemaran pestisida
golongan klor organik pada air, sedimen dan ikan di Danau Paranoa Brasilia, dan
Danau Taihu Cina (Feng, et. al. 2003; Amarareni dan Pillala, 2001; Buddhadeb et
al. 2001; Caldas, et. al.1999). Kondisi danau-danau di Indonesia juga mengalami
hal serupa, seperti dilaporkan bahwa danau Tondano Manado, kualitas airnya telah
melampui ambang batas air golongan B yaitu air untuk bahan baku air minum.
Cemaran pestisida di beberapa lokasi pengambilan sampel danau tersebut
mencapai 15,68 ppm, nilai ini jauh di atas nilai ambang batas yang diperbolehkan
yaitu 0,01 ppm sesuai PP. No. 20 Tahun 1990 (Veronica, 2002). Berdasarkan hasil
penelitian kualitas air Danau secara umum didapatkan bahwa kualitas air dapat
memenuhi standar baku mutu kelas III sesuai PP. Nomor 82 Tahun 2001. Baku
mutu kelas III adalah syarat kualitas air yang digunakan untuk tanaman,
peternakan, dan pemeliharaan ikan air tawar (Tantri-Endarini, 2004).
Penggunaan pestisida dalam menopang peningkatan produk pertanian
maupun perkebunan telah banyak membantu untuk meningkatkan produksi

Pencemaran Perairan 58
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

pertanian. Namun demikian penggunaan pestisida ini juga memberikan dampak


negatif baik terhadap manusia, biota maupun lingkungan. Erin, et. al. (2001)
mendapatkan bahwa terjadi resiko kematian janin dua kali lebih besar bagi ibu
yang saat kehamilannya berusia 3-8 minggu tinggal dekat areal pertanian
dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari daerah pertanian. Penggunaan
herbisida klorofenoksi (yang mengandung 2,4- D) telah terbukti mengakibatkan
resiko cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang bermukin
didekat daerah pertanian (Schreinemachers, 2003). Penggunaan pestisida
oleh petani di sekitar tepian Danau Pada umum tidak terelakan, data yang
diperoleh dari kelompok tani di kawasan tersebut menunjukkan bahwa
dalam setahun disemprotkan sekitar 1500 kg pestisida padat dan 140 L
pestisida cair. Pestisida fosfat-organik yang digunakan di sekitar Danau
dilaporkan oleh Wira-Maharani (2004), didapatkan bahwa 28 % petani di sekitar
Danau akan mengalami keracunan pestisida akibat terpapar saat penggunaan
pestisida. Dilaporkan pula bahwa terdapat residu cemaran pestisida klor-organik
(DDT dan klorotalonil) pada air Danau sekitar persawahan di Jawa dan Sumatra,
namun cemaran tersebut masih jauh di bawah nilai ambang batas yang diizinkan
(Putra-Manuaba, 2007). Terjadinya pencemaran pestisida terhadap lingkungan
termasuk danau disebabkan oleh beberapa hal seperti cara aplikasi, wujud pestisida
saat diaplikasikan, sifat tanah dan tanaman, volatilitas dan solubilitas pestisida,
serta iklim (Ahlrichs, et al., 1974; Waldron, 1992; Kerle, et al., 1996).
a) Proses Masukan Pestisida Ke Perairan Danau
Transfer pestisida dapat terjadi melalui 5 cara, yaitu :
1. Adsorpsi adalah terikatnya pestisida dengan partikel-partikel tanah. Jumlah
pestisida yang dapat terikat dalam tanah bergantung pada jenis pestisida,
kelembaban, pH, dan tekstur tanah. Pestisida dapat teradsorpsi dengan kuat
pada tanah berlempung ataupun tanah yang kaya bahan-bahan organik,
sebaliknya pestisida tidak dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah
berpasir. Adsorpsi pestisida yang kuat di dalam tanah mengakibatkan tidak
terjadi penguapan sehingga tidak menimbulkan pencemaran terhadap air
tanah maupun air danau (Anonim, 1996; Waldron, 1996).
2. Penguapan adalah suatu proses perubahan bentuk padat atau cair ke bentuk
gas, sehingga dalam bentuk gas bahan tersebut dapat bergerak dengan
bebas ke udara sesuai dengan pergerakan arah angin. Kehilangan akibat
penguapan ini dapat menghancurkan tanaman yang jauh dari tempat
dimana pestisida tersebut digunakan. Pestisida dapat menguap dengan

Pencemaran Perairan 59
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

mudah di samping memang pestisidanya bersifat mudah menguap, juga


sebagai akibat dari tanahnya yang berpasir dan basah. Cuaca yang panas,
kering dan berangin juga mempercepat terjadinya penguapan pestisida
(Anonim, 1996; Waldron, 1996).
3. Kehilangan pestisida saat aplikasi adalah kehilangan yang disebabkan
terbawanya pestisida oleh angin saat disemprotkan. Kehilangan ini
dipengaruhi oleh ukuran butiran semprotan, semakin kecil ukuran butiran
semakin tinggi kemungkinan untuk hilang, kecepatan angin, jarak antara
lubang penyemprot dengan tanaman target. Pestisida yang hilang atau tidak
mengenai target ini dapat membahayakan atau mengkontaminasi tanaman
lain, bahkan dapat membahayakan orang lain, ternak ataupun hewan bukan
target. Demikian juga, pestisida ini dapat mencemari danau, sungai
sehingga membahayakan biota yang ada di dalamnya (Anonim, 1996;
Waldron, 1996).
4. Limpasan akhir adalah terbawanya pestisida bersama-sama aliran air
menuju daerah yang lebih rendah. Pestisida yang terbawa ini dapat
bercampur dengan air atau terikat dengan tanah erosi yang ikut terbawa.
Banyaknya pestisida yang terbawa ini dipengaruhi oleh: kecuraman lokasi,
kelembaban tanah, curah hujan, dan jenis pestisida yang digunakan.
Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pestisida akan dapat
mencemari aliran air, sungai, danau, sumur maupun air tanah. Residu
cemaran pestisida pada permukaan air dapat membahayakan tanaman,
biota dan juga dapat mencemari air tanah (Anonim, 1996; Waldron, 1996).
5. Rembesan adalah perpindahan pestisida dalam air di dalam tanah.
Perembesan dapat terjadi keseluruh penjuru, ke bawah, atas dan samping.
Fakto-faktor yang mempengaruhi terjadinya perembesan adalah sifat-sifat
pestisida dan tanah, dan interaksi pestisida dengan air seperti saat
terjadinya hujan ataupun irigasi saat musim tanam. Proses perembesan
dapat meningkat bila pestisidanya bersifat mudah larut dalam air, tanahnya
berpasir, turun hujan saat penggunaan pestisida, dan pestisidanya
teradsorpsi dengan kuat dalam tanah (Anonim, 1996; Waldron, 1996).
b) Proses Degradasi Pestisida
Proses degradasi adalah proses terjadinya peruraian pestisida setelah digunakan,
dapat terjadi sebagai akibat adanya; mikroba, reaksi kimia, dan sinar matahari.
Prosesnya dapat terjadi setiap saat dari hitungan jam, hari, sampai tahunan
bergantung pada kondisi lingkungan dan sifat-sifat kimia pestisida (Anonim,
1996). Degradasi akibat mikroba (microbial degradation) adalah degradasi

Pencemaran Perairan 60
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair

pestisida oleh mikroorganisme seperti fungi dan bakteri. Proses degradasi oleh
mikroba ini akan mengalami peningkatan bila: temperatur, pH tanah cocok untuk
pertumbuhan mikroba, cukup oksigen, dan fertilitas tanahnya cukup baik.
1. Degradasi kimia (chemical degradation) adalah proses degradasi akibat
terjadi reaksireaksi kimia. Tipe dan kecepatan reaksi yang terjadi
dipengaruhi oleh; ikatan antara pestisida dengan tanah, temperatur dan pH
tanah.
2. Degradasi akibat sinar matahari (photodegradation) adalah degradasi
pestisida oleh adanya sinar matahari. Tingkat degradasi akibat sinar
matahari ini dipengaruhi oleh intensitas dan spektrum sinar matahari,
lamanya terpapar, dan sifat pestisida. Pestisida dapat mengalami degradasi
lebih cepat pada rumah kaca yang beratapkan plastik dibandingkan dengan
yang beratapkan kaca, karena kaca mampu menahan sinar UV lebih baik
dibandingkan plastik.

Pencemaran Perairan 61
BAB VI
PENCEMARAN AIR TANAH

Ada bukti yang menunjukkan bahwa beban dari polusi secara tidak
proporsional jatuh pada golongan miskin. Di seluruh daerah perkotaan Indonesia,
sambungan air pipa rumah tangga tetap terkait erat dengan penghasilan rumah
tangga. Dalam tahun 1992, hanya 10 persen dari rumah tangga yang mempunyai
pengeluaran kurang dari Rp. 100.000/bulan memiliki aliran air, dibandingkan
rumah tangga yang mempunyai pengeluaran lebih dari Rp.700.000/bulan. Oleh
karenanya, golongan miskin harus lebih mengandalkan sumur, penjual air dan
hidran umum. Karena air tanah semakin tercemar, dan di beberapa daerah menjadi
asin, rumah tangga tanpa sambungan ke air pipa terpaksa membeli air minum dari
para penjual pribadi dengan harga yang relatif tinggi. Dalam beberapa hal, rumah
tangga yang membeli air dari para penjual, membayar sebanyak lima puluh kali
lebih banyak per unit air daripada rumah tangga yang tersambung dengan sistem
air kotamadya. Sementara sebuah rumah tangga dengan suatu sambungan hanya
membayar antara Rp. 170-285 per meter kubik untuk air (harga tahun 1994),
sebuah rumah tangga tanpa sambungan membayar Rp.2.500 sampai 8.840 per
meter kubik, tergantung pada lokasi dan musin.50 Akses pelayanan air pipa secara
khusus adalah penting di daerah perkotaan karena alternatif (seperti air sumur)
tidak layak untuk kepadatan penduduk yang tinggi. Di daerah pedesaan, dimana air
pipa di dalam rumah malah lebih jarang, khususnya diantara golongan miskin,
rumah tangga harus menghabiskan waktu yang banyak untuk membawa air, dan
meninggalkan kegiatan ekonomi yang lain.
1) Pencemaran dari Pertambangan
Indonesia mengalami suatu ledakan pertambangan dalam tahun 1990-an,
yang memerlukan ratusan atau ribuan hektar di setiap lokasi tambang,
menghasilkan limbah sisa-sisa tambang yang meningkatkan resiko kecelakaan
yang merugikan, dan mengkontaminasi sungai dengan bahanbahan pencemar (lihat
Tabel 7). Suatu Keputusan Presiden, yang memberikan kepada pertambangan
prioritas atas semua penggunaan tanah yang lain, telah diganti oleh Undangundang
No. 41 tahun 1999 tentang Pengelolaan Hutan. Pada dasarnya Undang-undang ini
melarang pertambangan permukaan di tanah hutan negara, apapun klasifikasinya.
Secara keseluruhan, mineral dan produk-produk terkait merupakan 19% dari total
ekspor Indonesia, dengan emas sebagai pemberi penghasilan terbesar.51 Sektor
pertambangan di Indonesia terdiri atas tiga jenis tambang, masing-masing dengan

62
karakteristik yang terang dan jelas : (i) skala besar, (ii) skala menengah, dan (iii)
artisanal dan skala kecil (Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil). Dibandingkan
dengan pertambangan skala besar, yang mempunyai dampak yang relatif terbatas
terhadap lingkungan di Indonesia, operasi Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil
cenderung merupakan pembuat polusi yang besar dalam hubungan dengan
hasilnya. Operasi Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil biasanya juga sulit
untuk dipantau dan jarang memenuhi peraturan-peraturan lingkungan. Sejak krisis
ekonomi 1997, jumlah pertambangan skala menengah serta pertambangan batubara
dan emas skala kecil yang membuat polusi, telah meningkat.
2) Pertambangan Skala Besar
Operasi pertambangan skala besar memiliki potensi untuk rentan terhadap
kecelakaan besar dengan konsekuensi lingkungan negatif jangka panjang bilamana
penilaian resiko yang layak tidak dilakukan pada permulaan suatu proyek. Resiko
terbesar yang timbul dari suatu operasi pertambangan skala besar adalah tumpahan
sisa-sisa pertambangan. Sesuai dengan data global dari Program Lingkungan PBB,
United States Committee on Large Dams, dan sumber-sumber lain, telah terjadi 28
tumpahan sisa-sisa pertambangan yang besar dalam 30 tahun terakhir, atau kira-
kira satu per tahun di seluruh dunia.53 Kira-kira 50 dari 10.000 tambang skala
menengah dan skala besar yang aktif di dunia, berada di Indonesia; satu tumpahan
sisa-sisa tambang dapat membebani Indonesia suatu perkiraan US$ 100 juta untuk
pembersihan dan kompensasi (tidak termasuk biaya suatu kemungkinan kerugian
aneka ragam kehidupan atau fungsi ekologis lainnya). Suatu masalah lingkungan
paling serius berikutnya adalah penyaluran batu asam, karena pengaruhnya dapat
berlangsung beberapa dekade.
3) Pertambangan Skala Menengah
Penilaian baru-baru ini terhadap praktek lingkungan dari tambang skala
menengah menunjukkan kinerja lingkungan yang sembrono, khususnya di tambang
yang dimiliki secara domestik, yang menjurus kepada kerugian produksi dan
kerusakan lingkungan yang signifikan. Masalah lingkungan utama yang berkaitan
dengan pertambangan skala menengah termasuk :
1) pembuatan lokasi yang tidak sesuai dari pabrik persiapan batubara,
sering di tepi sungai, yang dapat menjurus kepada risiko kontaminasi
ketika limbah tumpah atau tertiup langsung ke dalam sungai; kurangnya
kolam sedimen, yang sering meluap;

63
2) daerah penerimaan yang dirancang buruk; penyebaran partikel batubara
yang halus karena kurangnya sirkuit pengumpulan batubara halus di
pabrik;
3) ARD (Pembuangan batu asam) yang signifikan dari sisa-sisa
pertambangan; dan pengelolaan buruk dari tanah lapisan atas.
Walaupun banyak perusahaan telah melakukan investasi yang perlu untuk
peralatan pengendalian polusi dan infrastruktur, perolehan kembali biaya reklamasi
melalui penanganan partikel halus batubara secara lebih baik selama penghancuran
dan pencucian, tetap merupakan suatu tantangan. Perkiraan memberi kesan bahwa
industri pertambangan skala menengah dapat mencapai suatu kinerja lingkungan
yang kuat dengan suatu pengeluaran sebesar kirakira US$ 53 juta per tahun,
termasuk biaya reklamasi yang dilakukan terus menerus. Berkaitan dengan nilai
dari hasil batubara untuk industri batubara skala menengah dalam tahun 1998 -
US$ 45 juta - biaya reklamasi jauh lebih kecil dari satu persen pendapatan kotor.
4) Pertambangan Artisanal dan Skala Kecil
Pertambangan artisanal dan skala kecil (ASM), yang digunakan untuk emas
dan batubara, dilaksanakan dengan sedikit atau tanpa kepedulian pada lingkungan.
Sekitar 349 Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil adalah lokasi pertambangan
yang legal, yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral Pertambagnan (DGN) dan
mencakup 1,8 juta hektar. Suatu jumlah Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil
yang tidak diketahui adalah ilegal dan tidak teratur.
Sampai tahun 1980-an jumlah Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil cukup
kecil; namun, suatu peningkatan yang besar dalam jumlah Pertambangan Artisanal
Dan Skala Kecil secara signifikan telah merubah situasi, sebagian besar disebabkan
oleh perolehan kembali yang lebih tinggi (5 sampai 10 kali lebih tinggi dari pada
kegiatan ekonomi tradisional) dan sebagian gangguan pada hukum dan ketertiban.
Pengaruh lingkungan utama dari Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil
termasuk erosi tanah, sedimentasi badan air, polusi mercury dan kurangnya
reklamasi tanah setelah penutupan. Dari semuanya itu, yang paling berbahaya
adalah kontaminasi mercury. Mercury tidak biodegradable dan dapat bergabung
dengan elemen-elemen lain dan membentuk racun yang paling buruk. Pembuangan
ke sungai dapat mengakibatkan suatu kerugian dramatis dari tumbuhan dan satwa
liar dalam lingkup jarak yang besar ke arah hilir. Sebagian besar daerah
Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil mempunyai usia produksi yang pendek,
biasanya kurang dari sepuluh tahun. Walaupun pertambangan skala kecil dapat
meningkatkan pendapatan daerah pedesaan dalam jangka waktu pendek,
pengandalan kepada pertambangan yang meningkat, ditambah kerusakan

64
lingkungan yang signifikan, dapat mempunyai suatu dampak yang tetap
sehubungan dengan pembangunan berkesinambungan. Potensi untuk pembangunan
yang seimbang sering tergantung pada kebiasaan menyimpan dari para resipien -
yaitu, bagaimana mereka menggunakan pendapatan yang tidak disangka-sangka
yang dihasilkan oleh kegiatan pertambangan. Alokasi dari sebagian pendapatan
tersebut untuk praktek lingkungan yang lebih baik atau reklamasi tanah,
meningkatkan prospek pembangunan lokal dalam jangka panjang.

65
BAB VI
DAMPAK PENCEMARAN TERHADAP KEHIDUPAN DI BUMI

Pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan termasuk perairan


umum sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan lingkungan secara
terpada dan tuntas. Dewasa ini lingkungan hidup sedang menjadi perhatian utama
masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia umumnya. Meningkatnya perhatian
masyarakat mulai menyadari akibat-akibat yang ditimbulkan dan kerusakan
lingkungan hidup. Sebagai contoh apabila ada penumpukan sampah dikota maka
permasalahan ini diselesaikan dengan cara mengangkut dan membuangnya ke
lembah yang jauh dari pusat kota, maka hal ini tidak memecahkan permasalahan
melainkan menimbulkan permasalahan seperti pencemaran air tanah, udara,
bertambahnya jumlah lalat, tikus dan bau yang merusak, pemandangan yang tidak
mengenakan. Akibatnya menderita interaksi antara lingkungan dan manusia yang
akhirnya menderita kesehatan. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya
merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan
sampai akhir hidupnya. Hal ini membutuhkan daya dukung lingkungan untuk
kelangsungan hidupnya.
Masalah lingkungan hidup sebenatnya sudah ada sejak dahulu, masalah
lingkungan hidup bukanlah masalah yang hanya dimiliki atau dihadapi oleh
negara-negara maju ataupun negara-negara miskin, tapi masalah lingkungan hidup
adalah sudah merupakan masalah dunia dan masalah kita semua. Keadaan ini
ternyata menyebabkan kita betpikir bahwa pengetahuan tentang hubungan antara
jenis lingkungan ini sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan
lingkungan secara terpadu dan tuntas. Masalah lingkungan hidup merupakan
kenyataan yang harus dihadapi, kegiatan pembangunan terutama di bidang industri
yang banyak menimbulkan dampak negatif merugikan masyarakat. Masalah
lingkungan hidup adalah merupakan masalah yang komplek dan harus diselesaikan
dengan berbagai pendekatan multidisipliner. Industrialisasi merupakan conditio
sine quanon keberhasilan pembangunan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi,
akan tetapi industrialisasi juga mengandung resiko lingkungan. Oleh karena itu
munculnya aktivitas industri disuatu kawasan mengundang kritik dan sorotan
masyarakat. Yang dipermasalahkan adalah dampak negatif limbahnya yang
diantisipasikan mengganggu kesehatan lingkungan.
1. Dampak Pencemaran Terhadap Manusia
Kemampuan manusia untuk mengubah atau memoditifikasi kualitas
lingkungannya tergantung sekali pada taraf sosial budayanya. Masyarakat yang
masih primitif hanya mampu membuka hutan secukupnya untuk memberi
perlindungan pada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat yang sudah maju sosial
budayanya dapat mengubah lingkungan hidup sampai taraf yang irreversible.
Prilaku masyarakat ini menentukan gaya hidup tersendiri yang akan menciptakan
lingkungan yang sesuai dengan yang diinginkannya mengakibatkan timbulnya
penyakit juga sesuai dengan prilakunya tadi. Dengan demikian eratlah hubungan
antara kesehatan dengan sumber daya sosial ekonomi. WHO menyatakan
“Kesehatan adalah suatu keadaan sehat yang utuh secara fisik, mental dan sosial
serta bukan hanya merupakan bebas dari penyakit”. Dalam Undang Undang No. 9
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. Dalam Bab 1, Pasal 2 dinyatakan
bahwa “Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan (somatik), rohani (jiwa) dan
sosial dan bukan hanya deadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan”.
Definisi ini memberi arti yang sangat luas pada kata kesehatan. Masyarakat adalah
terdiri dari individu-individu manusia yang merupakan makhluk biologis dan
makhluk sosial didalam suatu lingkungan hidup (biosfir). Sehingga untuk
memahami masyarakat perlu mempelajari kehidupan biologis bentuk interaksi
sosial dan lingkungan hidup. Dengan demikian permasalahan kesehatan
masyarakat merupakan hal yang kompleks dan usaha pemecahan masalah
kesehatan masyarakat merupakan upaya menghilangkan penyebab-penyebab secara
rasional, sistematis dan berkelanjutan.
Pada pelaksanan analisis dampak lingkungan maka kaitan antara lingkungan
dengan kesehatan dapat dikaji secara terpadu artinya bagaimana pertimbangan
kesehatan masyarakat dapat dipadukan kedalam analisis lingkungan untuk
kebijakan dalam pelaksnaan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Manusia
berinteraksi dengan lingkungan hidupnya lebih baik, walaupun aktivitas manusia
membuat rona lingkungan menjadi rusak. Hal ini tidak dapat disangkal lagi
kualitas lingkungan pasti mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Dari studi
tentang kesehatan lingkungan tersirat informasi bahwa status kesehatan seseorang
dipengaruhi oleh faktor hereditas, nutrisi, pelayanan kesehatan, perilaku dan
lengkungan. Menurut paragdima Blum tentang kesehatan dari lima faktor itu
lingkungan mempunyai pengaruh dominan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
status kesehatan seseorang itu dapat berasal dari lingkungan pemukiman,
lingkungan sosial, linkungan rekreasi, lingkungan kerja. Keadaan kesehatan
lingkungan di Indonesia masih merupakan hal yang perlu mendapaat perhatian,
karena menyebabkan status kesehatan masyarakat berubah seperti: Peledakan
penduduk, penyediaan air bersih, pengolalaan sampah, pembuangan air limbah
penggunaan pestisida, masalah gizi, masalah pemukiman, pelayanan kesehatan,
ketersediaan obat, populasi udara, abrasi pantai, penggundulan hutan dan banyak
lagi permasalahan yang dapat menimbulkan satu model penyakit. Jumlah penduduk
yang sangat besar 19.000 juta harus benar-benar ditangani. Masalah pemukiman
sangat penting diperhatikan. Pada saat ini pembangunan di sektor perumahan
sangat berkembang, karena kebutuhan yang utama bagi masyarakat. Perumahan
juga harus memenuhi syarat bagi kesehatan baik ditinjau dari segi bangungan,
drainase, pengadaan air bersih, pengolalaan sampah domestik uang dapat
menimbulkan penyakit infeksi dan ventilasi untuk pembangunan asap dapur.
Perilaku pola makanan juga mengubah pola penyakit yang timbul
dimasyarakat. Gizi masyarakat yang sering menjadi topik pembicaraan kita
kekurangan karbohidrat, kekurangan protein, kekurangan vitamin A dan
kekurangan Iodium. Di Indonesia sebagian besar penyakit yang didapat
berhubungan dengan kekurangan gizi. Ada yang kekurangan kuantitas makanan
saja (Maramus), tapi seringkali juga kualitas kurang (Kwashiorkor). Sebagian besar
penyakit yang didapat berhubungan dengan kekurangan gizi terutama terdap[at
pada anak-anak. Industrialisasi pada saat ini akan menimbulkan masalah yang baru,
kalau tidak dengan segera ditanggulangi saat ini dengan cepat. Lingkungan industri
merupakan salah satu contoh lingkungan kerja. Walaupun seorang karyawan hanya
menggunakan sepertiga dari waktu hariannya untuk melakukan pekerjaan di
lingkungan industri, tetapi pemaparan dirinya di lingkungan itu memungkinkan
timbulnya gangguan kesehatan dengan resiko trauma fisik gangguan kesehatan
morbiditas, disabilitas dan mortalitas. Dari studi yang pernah dilakukan di Amerika
Serikat oleh The National Institute of Occupational Safety and Health pada tahun
1997 terungkap bahwa satu dari empat karyawan yang bekerja di lingkungan
industri tersedia pada bahan beracun dan kanker. Lebih dari 20.000.000 karyawan
yang bekerja di lingkungan industri setiap harinya menggarap bahan-bahan yang
diketahui mempunyai resiko untuk menimbulkan kanker, penyakit paru, hipertensi
dan gangguan metabolisme lain.
Paling sedikit ada 390.000 kasus gangguan kefaalan yang terinduksi oleh
dampak negatif lingkungan industri dan100.000 kematian karena sebab
okupasional dilaporkan setiap tahun. Indonesia saat ini mengalami transisi dapat
terlihat dari perombakan struktur ekonomi menuju ekonomi industri, pertambahan
jumlah penduduk, urbanisasi yang meningkatkan jumlahnya, maka berubahlah
beberapa indikator kesehatan seperti penurunan angka kematian ibu, meningkatnya
angka harapan hidup ( 63 tahun ) dan status gizi. Jumlah penduduk terus
bertambah, cara bercocok tanam tradisional tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat. Dengan kemampuan daya pikir manusia, maka manusia mulai
menemukan mesin-mesin yang dapat bekerja lebih cepat dan efisien si dari tenaga
manusia. Peristiwa ini mulai dikenal dengan penemuan mesin uap oleh James
Waat. Fase industri ini menimbulkan dampak yang sangat menyolok selain
kemakmuran yang diperoleh juga exploitasi tenaga kerja, kecelakaan kerja,
pencemaran lenigkungan, penyakit, wabah. Pengaruh air terhadap kesehatan dapat
menyebabkan penyakit menular dan tidak menular. Perkembangan epidemiologi
menggambarkan secara spesifik peran lingkungan dalam terjadinya penyakit dan
wabah. Lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit penyakit umpama
penyakit malaria karena udara jelek dan tinggal disekitar rawa-rawa. Orang
beranggapan bahwa penyakit malaria terjadi karena tinggal pada rawa-rawa
padahal nyamuk yang bersarang di rawa menyebabkan penyakit malaria.
Dipandang dari segi lingkungan kesehatan, penyakit terjadi karena interaksi antara
manusia dan lingkungan.
Manusia memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk
kelangsungan hidupnya. Udara, air, makanan, sandang, papan dan seluruh
kebutuhan manusia harus diambil dari lingkungannya. Akan tetapi proses interaksi
manusia dan lingkungannya ini tidak selalu mendapat untuk, kadang-kadang
merugikan. Begitu juga apabila makanan atau minuman mengandung zat-zat
berbahaya bagi kesehatan. Zat tersebut dapat berupa racun asli ataupun
kontamunasi dengan mikroba patogen atau atau bahan kimia sehingga terjadinya
penyakit atau keracunan. Hal ini merupakan hubungan timbal balik antara aktivitas
manusia dengan lingkungannya. Jadi dialam ini terdapat faktor yang
menguntungkan manusia (eugenik) dan yang merugikan (disgenik). Usaha-usaha
dibidang kesehatan lingkungan ditujukan untuk meningkatkan daya guna faktor
eugenik dan mengurangi peran atau mengendalikan faktor disgenik. Secara
naluriah manusia memang tidak dapat menerima kehadiran faktor disgenik didalam
lingkungan hidupnya, oleh karena itu kita selalu berusaha memperbaiki keadaan
sekitarnya sesuai dengan kemampuannya. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan
tehnologi, lingkungan hidup akan berubah pula kualitasnya. Perubahan kualitas
lingkungan akan selalu terjadi sehingga lingkungan selalu berada dalam keadaan
dinamis. Hal ini disertai dengan meningkatnya pertumbuhan industri disegala
bidang. Perubahan kualitas lingkungan yang cepat ini merupakan tantangan bagi
manusia untuk menjaga fungsi lingkungan hidup agar tetap normal sehingga daya
dukung kelangsungan hidup di bumi ini tetap lestari dan kesehatan masyarakat
tetap terjamin. Oleh karenanya perlu ditumbuhkan strategi baru untuk dapat
meningkatkan dan memelihara kesehatan masyarakat yakni setiap aktivitas harus:
a. Didasarkan atas kebutuhan manusia.
b. Ditujukan pada kehendak masyarakat.
c. Direncanakan oleh semua pihak yang berkepentingan.
d. Didasarkan atas prinsip-prinsip ilmiah.
e. Dilaksanakan secara manusiawi.
Pada analisis dampak lingkungan yang merupakan pengkajian akan
kemungkinan timbulnya perubahan lingkungan yang terjadi akibat
kegiatan/proyek. Perubahan-perubahan lingkungan yang mencakup komponen
biofisik dan sosio ekonomi dan melibatkan komponen dampak kesehatan
masyarakat yang berada disekitar proyek.
a) Pengaruh Tidak Langsung Terhadap Manusia
Pengaruh lingkungan terhadap kesehatan ada dua cara positif dan negatif.
Pengaruh positif, karena didapat elemen yang menguntungkan hidup manusia
seperti bahan makanan, sumber daya hayati yang diperlukan untuk meningkatkan
kesejahteraannya seperti bahan baku untuk papan, pangan, sandang, industi,
mikroba dan serangga yang berguna dan lain-lainnya. Adapula elemen yang
merugikan seperti mikroba patogen, hewan dan tanaman beracun, hewan
berbahaya secara fisik, vektor penyakit dan reservoir penyebab dan penyebar
penyakit. Secara tidak langsung pengaruhnya disebabkan elemen-elemen didalam
biosfir banyak dimanfaatkan manusia untuk meningkatkan kesejahteraanya.
Semakin sejahtera manusia, diharapkan semakin naik pula derajat kesehatannya.
Dalam hal ini, lingkungan digunakan sebagai sumber bahan mentah untuk berbagai
kegiatan industri kayu, industri meubel, rotan, obat-obatan, papan, pangan,
fermentasi dan lain-lainnya.
b) Pengaruh Langsung Terhadap Manusia
Pengaruh langsung terhadap kesehatan disebabkan:
a) Manusia membutuhkan sumber energi yang diambil dari
lingkungannya yakni makanan. Makanan yang harus tersedia sangat
besar untuk kebutuhan manusia di dunia disamping masalah distribusi.
b) Adanya elemen yang langsung membahayakan kesehatan secara fisik
seperti beruang, harimau, ular dan lain-lain.
c) Adanya elemen mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit
(patogen). Mikroba ini digolongkan kedalam berbagai jenis seperti
virus, ricketssia, bakteri, protozoa, fungi dan metazoa.
d) Adanya vektor yakni serangga penyebar penyebab penyakit dan
reservoir agent penyakit. Vektor penyakit yang memegang peranan
penting dalam penyebaran penyakit nyamuk, lalat, kutu, pinyal dan
tungau.
2. Danpak Pencemaran Terhadap Ekosistem Mangrove
Meskipun tumbuhan mangrove telah beradabtasi dengan baik, untuk dapat
bertahan hidup dan berkembang dihabitat yang anaerobik, namun dalam taraf
tertentu akan mengalami penurunan ketahanan. Kemampuan banyak jenis yang
banyak bertahan, mungkin keseimbangan sistem yang ada bisa berubah. Ini berarti
terjadi keseimbangan sistem model lain. Berbicara dampak terhadap masalah
lingkungan, termasuk disisi lingkungan mangrove, perlu dibedakan dua kategori
intensitas pencemaran, yaitu kategori akut dan krinik. Dengan akut dikategorikan
terjadinya pencemaran dengan skala yang besar dan dalam waktu yang singkat.
Sedangkan yang di maksud dengan pencemaran kronik adalah terjadinya
pencemaran dalam volume kecil namun bejalan secara kontinu dalam waktu yang
lama.
a) Dampak Cemaran Minyak Terhadap Ekosistem Mangrove
Penyebab kerusakan lingkungan mangorove oleh minyak lebih mengarah ke
gangguan fisik. Dalam kategori pencemaran minyak yang akut, lapisan minyak
akan menutupi sumua sistem perakaran mangrove sehingga terjadi penyumbatan
total intisel-intisel pada akar napas. Akibatnya, pertukaran gas CO 2 di mulut-mulut
lentisel terputus. Jika hal itu terjadi maka tumbuhan manrove tersebut akan
mengalami kematian. Dari segi toksitas, komponen hidrokarbon yang berantai
pendek dan terberat molekul ringan, terutama dalam molekul aromatik, adalah
yang paling toksik. Untungnya komponen minyak ringan mudah menguap,
sehingga tidak bertahan dalam dalam suatu perairan, dengan demikian efek
buruknya tidak berkepanjangan. Pencemaran minyak kronik dapat menyebabkan
tekanan (stress) pada tumbuhan mangrove antara lain mengurangi kecepatan
tumbuh, dan penurunan produktifitas, serta sangat rentang terhadap gangguan
lainnya.
Dampak cemaran berat minyak yang ditimbukan terhadap ekosistem
mangrove adalah di awali dengan gugurnya dedaunan. Gugur daun ini terjadi
secara penuh atau parsial, tergantung pada jumlah minyak yang terperangkap pada
akan dan batang ataupun yang meresap pada substrat. Dari tajuk mengrove yang
tercemar berat rontok dalam waktu 48 hari dan meningkat 90% hingga 85 hari.
Pohon yang tercemar pada tingkat Sub-lethal, gugur dan di ikuti produksi daun
yang kecil dan acap kali tidak normal. Anakan mangrove termasuk rentan terhadap
cemaran minyak, berdasarkan beberapa penelitian melaporkan anakan Rhizopora
sangat rentan dari pada Avesenia dan Soneratia. Diduga sifat tersebut berkaitan
dengan morfologi akar napas yang berbeda.
b) Dampak Limbah Panas Terhadap Ekosistem Mangrove
Hasil penelitian pada ahli memperoleh gambaran bahwa pada dasarnya
tumbuhan mangrove tidak terlalu rentan terhadap limbah panas, hal ini
menunjukan bahwa mengrove tidak memperlihathat efek negatif dari peningkatan
suhu air sampai 400 C. Sayang sekali penelitian-penelian yang dilakukan belum
menjangkau lebih jauh terhadap jangka panjang. Berbeda halnya dengan fauna
yang berasosiasi dengan mangrove. Sampai suhu 340 C fauna mengrove masih
bertahan, apabila suhu di atas 340C jumlah jenis dan populasinya akan mengalami
penurunan.
c) Dampak Herbisida Terhadap Ekosistem Mangrove
Menurut beberapa ahli bahwa mangrove sangat rentan terhadap
herbisida.Menagapa demikian,pertanyaan ini masih belum bisa dijawab.Westing
(1975),menyarankan bahwa kerentanan tersebut mungkin disebabkan tumbuhan
mangrove sesungguhnya hidup dalam tekanan fisiologis (physiological strees)
sebagai akibat hidupnya dalam lingkungan laut.Dan dalam keadaan stees mangrove
menjadi rentan terhadap gangguan lain,misalnya hebrisida itu.Walsh
(1975),menyebut beberapa perubahan morfologis yang berkaitan dengan
keracunana herbisida pada anakan mangrove.Diantara gejalanya adalah
pengeringan pada daun,penyumbatan sistem vaskuler dan kerusakan korteks
akar.Ternayata tumbuhan mangrove tidak hanaya rontok tetapi langsung
mati.Selanjutnya komunitas mangrove ini seolah-olah tak mau bangkit kembali
sampai lebih dari enam tahun sejak penyemprotan.Cemar herbisida mungkin telah
menyebabkan sulitnya regenerasi.Ketiadaan benih akan sangat memperkecil
kemampuan rekolonisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Atlas, R.M. (1995) Petroleum biodegradation and oil spill bioremediation. Marine
Pollution Bulletin, 31, 178-182.
Bossert, I. And Bartha, R. (1984) The fate of petroleum in soil ecosystems. In Atlas
(Ed), Petroleum Microbiology, Macmillan Publishing Company, New
York, pp435-476.
Bragg, J.R., Prince, R.C., Harner, E.J., and Atlas, R.M. (1994) Effectiveness of
bioremediation for the Exxon Valdez oil spill. Nature, 368, 413-418.
Caldwell, M.E., Garrett, R.M., Prince, R.C., Suflita, J.M. (1998) Anaerobic
biodegradation of longchain n-alkanes under sulfate-reducing conditions.
Environ. Sci. Technol., 32, 2191-2195.
Cerniglia, C.E., (1992) Biodegradation of polycyclic aromatic hydrocarbons.
Biodegradation, 3, 351-368.
Edwards, R. and White, I (1999) The Sea Empress oil spill: environmental impact
and recovery Proceedings of 1999 International Oil Spill Conference.
American Petroleum Institute, Washington DC.
Foght, J.M. and Westlake, D.W.S. (1987) Biodegradation of hydrocarbons in
freshwater. In: Vandermeulen and Hrudey (Ed), Oil in Freshwater:
Chemistry, Biology, Countermeasure Technology. Pergamon Press, New
York, pp217-230.
Head, I.M. and Swannell, R.P.J. (1999) Bioremediation of petroleum hydrocarbon
contaminants in marine habitats. Current Opinion in Biotechnology, 10,
234-239.
Hozumi, T., Tsutsumi, H. and Kono, M. (2000) Bioremediation on the shore after
an oil spill from the Nakhodka in the Sea of Japan. I. Chemistry and
characteristics of the heavy oil loaded on the Nakhodka and biodegradation
tests on oil by a bioremediation agent with microbial cultures in the
laboratory. Marine Pollution Bulletin, 40, 308-314.
Interstate Technology Regulatory Cuncil (2001). Technical and regulatory
guidance document, phytotechnology. Interstate Technology Regulatory
Council USA.
Jackson, W.A. and Pardue, J.H. (1999) Potential for enhancement of
biodegradation of crude oil in Louisiana salt marshes using nutrient
amendments. Water, Air, and Soil Pollution, 109, 343-355.
Jokuty, P., Whiticar, S.P., Wang, Z., Fingas, M., Lambert, P., Fieldhouse, B., and
Mullin, J. (2000) A Catalogue of Crude Oil and Oil Product Properties.
Environmental Protection Service, Environment Canada, Ottawa, ON.
Leahy, J.G.; Colwell, R.R. (1990) Microbial Degradation of hydrocarbons in the
environment. Microbial Reviews, 53(3), 305-315.
Lessar R.R. and Demarco G. (2000) The significance of oil spill dispersants. Spill
Science & Technology Bulletin, 6(1), 59-68.
Mangkoedihardjo, Sarwoko. 2002. Waterhyacinth leaves indicate wastewater
quality. J. Biosains, 7 (1): 10-13.
National Academy of Sciences (1985) Oil in the Sea: Inputs, Fates and Effects,
National Academy Press, Washington DC.
Nicodem, D.E., Fernandes, M.C., Guedes, C.L.B., Correa, R.J. (1997)
Photochemical processes and the environmental impact of petroleum spills.
Biogeochemistry, 39, 121-138.
Anonim, 2004, Peraturan Perundang-Undangan : UU RI No.7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air dan PP No. 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Bandung,
Fokusmedia.
Anonim, 2004, Tata Cara Pengambilan Contoh Dalam Rangka Pemantauan
Kualitas Air Pada Suatu Daerah Pengaliran Sungai, SNI 03-7016-2004,
Badan Standar Nasional Indonesia.
Anonim, 2003, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun
2003 Tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran
Pada Sumber Air, Kantor MenLH R.I.
Avieni, Nini, 1999, Pengendalian Kualitas Limbah Cair di PT. Sari Husada
Dalam Hubungannya Dengan ISO 14001, Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Benton, AH & Werner, WE, 1974, Field Biology and Ecology, 3rd edition,
MCGraw Hill Book Company, New York.
Benefild L.D. & Randal CW, 1980, Biological Process & Wastewater Treatment,
New York, John Willy.
Djabu, U., Koesmantoro, H., Soeparman, Wiwoho,A., Indariwati, 1991,
Pembuangan Tinja Dan Air Limbah, Jakarta : Pusdiknakes.
Fair, GM., 1956, Sewage Treatment, New York, Willey.
Hariadi, S., Suryadiputra,INN., Widigdo, B., 1992, Limnologi, Fakultas Perikanan
Institut Pertanian Bogor.
Imhoff's, K., 1979. Handbook Of Urban Drainage And Wastewater Disposal. New
York : John Wiley & Sons.
Ismono, Djoko, 1991, Pengaruh Limbah Rumah Tangga Dan Penggelontoran Air
Dari Bendung Tirtonadi Terhadap BOD, DO Dan Kehidupan Plankton
Sebagai Indicator Perubahan Mutu Air Di Sungai Pepe, Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Linsley, RK dan Franzini, JB. 1995. Teknik Sumber Daya Air. Jilid 2 edisi III,
terjemahan Djoko Sasongko. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Marsono, BD, 1998, Teknok Pengolahan Air Limbah Secara Biologis, Media
Informasi Teknik Lingkungan (MINAT) ITS, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya.
Metcalf & Eddy, 1991, Wastewater Engineering, Treatment, Disposal, Reuse. 3rd
edition, Mc Graw Hill Book co, New York.
Parsons, J., 2005, evaluation of QUAL2E, www.epa.gov /qual2e.pdf
Prodjopangarso, H, 1985, Diktat Penyerapan O2, P4S Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
I. B. Putra Manuaba, 2009. Cemaran Pestisida Karbamat Dalam Air Danau Buyan
Buleleng Bali. Jurnal Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit
Jimbaran
Tarigan L., 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan Terhadap Kesehatan.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara

Anda mungkin juga menyukai