BAB I
PENCEMARAN PEARAIAN UMUM
Pencemaran Perairan 1
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
dan Bali, sebagaimana tercermin pada konsentrasi penduduk dan pertanian yang
tinggi di pulau-pulau tersebut.
Pencemaran Perairan 2
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 3
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 4
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 5
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 6
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat
bertoleransi terhadap pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas
acidophila mampu bertahan pada pH =1 dan algae Euglena pada pH 1,6.
Oksigen terlarut (DO)
Tanpa adanya oksegen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak
dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa
organic dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi
fotosintesa algae. Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak
efisien, karena oksigen yang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk
proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air
tergantung pada temperature dan tekanan atmosfir. Berdasarkan data-data
temperature dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air pada 250C dan
tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, 1985). Kadar oksigen terlarut yang
tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia. Ikan dan organisme
akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dengan jumlah cukup banyak.
Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme. Keberadaan logam berta yang
berlebihan di perairan akan mempengaruhi system respirasi organisme akuatik,
sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan
konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih menderita (Tebbut, 1992
dalam Effendi, 2003).
Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh
proses fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar
daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut
dapat melebihi kadar oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi.
Sedangkan pada malam hari, tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus
berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi
harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum terjadi
pada sore hari dan minimum pada pagi hari.
Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)
Dekomposisi bahan organic terdiri atas 2 tahap, yaitu terurainya bahan
organic menjadi anorganik dan bahan anorganik yang tidak stabil berubah menjadi
bahan anorganik yang stabil, misalnya ammonia mengalami oksidasi menjadi nitrit
atau nitrat (nitrifikasi). Pada penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap
pertama ynag berperan, sedangkan oksidasi bahan anorganik (nitrifikasi) dianggap
sebagai zat pengganggu. Dengan demikian, BOD adalah banyaknya oksigen yang
Pencemaran Perairan 7
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 8
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
mengandung larutan pekat dan berwarna gelap akan mengurangi penetrasi sinar
matahari ke dalam air. Sehingga proses fotosintesa tanaman dalam air akan
terganggu. Jumlah oksigen terlarut dalam air menjadi berkurang, kehidupan
organisme dalam air juga terganggu. Terjadinya endapan di dasar perairan akan
sangat mengganggu kehidupan organisme dalam air, karena endapan akan menutup
permukaan dasar air yang mungkin mengandung telur ikan sehingga tidak dapat
menetas. Selain itu, endapan juga dapat menghalangi sumber makanan ikan dalam
air serta menghalangi datangnya sinar matahari. Pembentukan koloidal terjadi bila
buangan tersebut berbentuk halus, sehingga sebagian ada yang larut dan sebagian
lagi ada yang melayang-layang sehingga air menjadi keruh. Kekeruhan ini juga
menghalangi penetrasi sinar matahari, sehingga menghambat fotosintesa dan
berkurangnya kadar oksigen dalam air
Bahan Buangan Organic Dan Olahan Bahan Makanan
Bahan buangan organic umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau
terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga bila dibuang ke perairan akan
menaikkan populasi mikroorganisme. Kadar BOD dalam hal ini akan naik. Tidak
tertutup kemungkinan dengan berambahnya mikroorganisme dapat berkembang
pula bakteri pathogen yang berbahaya bagi manusia. Demikian pula untuk buangan
olahan bahan makanan yang sebenarnya adalah juga bahan buangan organic yang
baunya lebih menyengat. Umumnya buangan olahan makanan mengandung protein
dan gugus amin, maka bila didegradasi akan terurai menjadi senyawa yang mudah
menguap dan berbau busuk (misal. NH 3 ).
Bahan Buangan Anorganik
Bahan buangan anorganik sukar didegradasi oleh mikroorganisme, umumnya
adalah logam. Apabila masuk ke perairan, maka akan terjadi peningkatan jumlah
ion logam dalam air. Bahan buangan anorganik ini biasanya berasal dari limbah
industri yag melibatkan penggunaan unsure-unsur logam seperti timbal (Pb), Arsen
(As), Cadmium (Cd), air raksa atau merkuri (Hg), Nikel (Ni), Calsium (Ca),
Magnesium (Mg). Kandungan ion Mg dan Ca dalam air akan menyebabkan air
bersifat sadah. Kesadahan air yang tinggi dapat merugikan karena dapat merusak
peralatan yang terbuat dari besi melalui proses pengkaratan (korosi). Juga dapat
menimbulkan endapan atau kerak pada peralatan. Apabila ion-ion logam berasal
dari logam berat maupun yang bersifat racun seperti Pb, Cd ataupun Hg, maka air
yang mengandung ion-ion logam tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia, air
tersebut tidak layak minum.
Pencemaran Perairan 9
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 10
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Sabun natron (sabun keras) adalah garam natrium asam lemak seperti pada contoh
reaksi di atas. Sedangkan sabun lunak adalah garam kalium asam lemak yang
diperoleh dari reaksi asam lemak dengan basa K(OH). Sabun lemak diberi pewarna
yang menarik dan pewangi (parfum) yang enak serta bahan antiseptic seperti pada
sabun mandi. Beberapa sifat sabun antara lain adalah sebagai berikut : a. Larutan
sabun mempunyai sifat membersihkan karena dapat mengemulsikan kotoran yang
melekat pada badan atau pakaian b. Sabun dengan air sadah tidak dapat
membentuk busa, tapi akan membentuk endapan (C 17 H 35 COO) 2 Ca) dengan reaksi:
Pencemaran Perairan 11
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
sampai kedalam air lingkungan. Bahan insektisida dalam air sulit untuk dipecah
oleh mikroorganisme, kalaupun biasanya hal itu akan berlangsung dalam waktu
yang lama. Waktu degradasi oleh mikroorganisme berselang antara beberapa
minggu sampai dengan beberapa tahun. Bahan insektisida seringkali dicampur
dengan senyawa minyak bumi sehingga air yang terkena bahan buangan
pemberantas hama ini permukaannya akan tertutup lapisan minyak
c. Zat Warna Kimia
Zat warna dipakai hampir pada semua industri. Tanpa memakai zat warna,
hasil atau produk industri tidak menarik. Oleh karena itu hampir semua produk
memanfaatkannya agar produk itu dapat dipasarkan dengan mudah. Pada dasarnya
semua zat warna adalah racun bagi tubuh manusia. Oleh karena itu pencemaran zat
warna ke air lingkungan perlu mendapat perhatian sunggh-sungguh agar tidak
sampai masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum. Ada zat warna tertentu
yang relatif aman bagi manusia, yaitu zat warna yang digunakan pada industri
bahan makanan dan minuman, industri farmasi/obat-obatan. Zat warna tersusun
dari chromogen dan auxochrome. Chromogen merupakan senyawa aromatic yang
berisi chromopore, yaitu zat pemberi warna yang berasal dari radikal kimia, misal
kelompok nitroso (-NO), kelompok azo (-N=N-), kelompok etilen (>C=C<) dan
lain lain. Macam-macam warna dapat diperoleh dari penggabungan radikal kimia
tersebut di atas dengan senyawa lain. Sedangkan auxochrome adalah radikal yang
memudahkan terjadinya pelarutan, sehingga zat warna dapat mudah meresap
dengan baik ke dalam bahan yang akan diberi warna. Contoh auxochrome adalah –
COOH atau –SO 3 H atau kelompok pembentuk garam –NH 2 atau –OH. Zat warna
dapat pula diperoleh dari senyawa anorganik dan mineral alam yang disebut
dengan pigmen. Ada pula bahan tambahan yang digunakan sesuai dengan
fungsinya, misalnya bahan pembentuk lapisan film (misal, bahan vernis, emulsi
lateks), bahan pengencer (misal, terpentin, naftalen), bahan pengering (missal, Co,
Mn, naftalen), bahan anti mengelupas (missal, polihidroksi fenol) dan bahan
pembentuk elastic (misal, minyak). Berdasarkan bahan susunan zat warna dan
bahan-bahan yang ditambahkan, dapat dimengerti bahwa hampir semua zat warna
kimia adalah racun. Apabila masuk ke dalam tubuh manusia dapat bersifat
cocarcinogenik, yaitu merangsang tumbuhnya kanker. Oleh sebab itu, pembuangan
zat kimia ke air lingkungan sangatlah berbahaya. Selain sifatnya racun, zat warna
kimia juga akan mempengaruhi kandungan oksigen dalam air mempengaruhi pH
air lingkungan, yang menjadikan gangguan bagi mikroorganisme dan hewan air.
d. Zat radioaktif
Pencemaran Perairan 12
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 13
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
BAB II
PENCEMARAN LAUT
1. Air Laut
Air laut adalah air dari laut atau samudera. Air laut memiliki kadar
garam rata-rata 3,5%. Artinya dalam 1 liter (1000 mL) air laut terdapat 35
gram garam (terutama, namun tidak seluruhnya, garam dapur/NaCl).
Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar 3,5 %,
air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah
di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya bagian dari
Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana suhu tinggi dan
sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari
sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi. Air
laut memiliki kadar garam karena bumi dipenuhi dengan garam mineral
yang terdapat di dalam batu-batuan dan tanah. Contohnya natrium, kalium,
kalsium, dll. Apabila air sungai mengalir ke lautan, air tersebut membawa
garam. Ombak laut yang memukul pantai juga dapat menghasilkan garam
yang terdapat pada batu-batuan. Lama-kelamaan air laut menjdai asin
karena banyak mengandung garam. (http://id.wikipedia.org/wiki/Air_laut).
Pada mulanya orang berfikir bahwa dengan melihat luasnya lautan,
maka semua hasil buangan sampah dan sisa- sisa industri yang berasal dari
aktifitas manusia di daratan seluruhnya dapat di tampung oleh lautan tanpa
membuat suatu akibat yang membahayakan. Bahan pencemar yang masuk
ke dalam lautan akan diencerkan dan kekuatan mencemarnya secara
perlahan- lahan akan diperlemah sehingga membuat mereka menjadi tidak
berbahaya. Dengan makin cepatnya pertumbuhan penduduk dunia dan
makin meningkatnya lingkungan industri mengakibatkan makin banyak
bahan- bahan yang bersifat racun yang dibuang ke laut dalam jumlah yang
sulit untuk dapat dikontrol secara tepat. Pencemaran laut merupakan suatu
ancaman yang benar- benar harus ditangani secara sungguh- sungguh.
Banyak kecelakaan dilautan yang menyebabkan tercecernya bahan- bahan
yang bersifat racun dalam jumlah yang sangat besar.
Pencemaran Perairan 14
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Reaksi ini memiliki sifat dua arah, mencapai sebuah kesetimbangan kimia.
Reaksi lainnya yang penting dalam mengontrol nilai pH lautan adalah pelepasan
Pencemaran Perairan 15
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
ion hidrogen dan bikarbonat. Reaksi ini mengontrol perubahan yang besar pada
pH:
H 2 CO 3 ⇌ H+ + HCO 3 −
Pencemaran laut di dunia menyebabkan kerusakan pada lingkungan dan
kehidupan bawah laut. Pada tahun 2008, para penyelam mengangkat 219.528 lebih
(99.57 ton) sampah dan benda-benda bekas dari 1.000 mil luas laut rata-rata satu
penyelam mengangkat 25 ton sampah dan benda-benda bekas. Setiap menit dalam
satu hari, ada satu juta tas plastik digunakan dan hampir tiga juta ton plastik
serentak diproduksi untuk membuat botol minuman setiap tahunnya. Hampir 80%
pencemaran laut disebabkan oleh plastik. Di beberapa daerah di samudra,
perbandingan untuk plastik dan plankton adalah 6:1 (6 banding 1). Diperkirakan
46.000 potong sampah plastik mengapung di setiap satu mil dari samudra 70% dari
sampah plastik itu di perkirakan akhirnya akan tenggelam. Plastik tidak mudah
untuk di uraikan. Saat sampah plastik masuk ke laut, dibutuhkan bertahun-tahun
untuk di uraikan terurai secara perlahan menjadi potongan kecil yang akhirnya
menjadi debu plastik. Botol aluminium membutuhkan waktu 100 tahun untuk dapat
terurai dan plastik pegangan yang di pakai untuk menjual enam kaleng bir
sekaligus membutuhkan waktu 450 tahun untuk dapat terurai. Botol kaca seperti
botol soda membutuhkan waktu 1 juta tahun untuk terurai di alam bebas. Telah
dilaporkan ada lebih dari 260 jenis hewan laut di seluruh dunia yang terjerat dan
memakan sisa-sisa tali pancing, jala dan sampah-sampah laut lainnya. Diperkirakan
100.000 mamalia laut termasuk lumba-lumba, paus, anjing laut, dan penyu laut
terancam dengan banyaknya sampah dan benda-benda bekas yang masuk ke laut
tiap tahunnya. Dan 86% dari populasi penyu laut terkena dampak buruk dari
pencemaran laut. Lebih dari satu juta populasi burung laut mati karena pencemaran
laut setiap tahunnya.
c) Oksigen Terlarut (Do)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen sama dengan DO) dibutuhkan oleh
semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang
kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu,
oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam
proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu
proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam
perairan tersebut (SALMIN, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara,
tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan
Pencemaran Perairan 16
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. ODUM (1971)
menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin
rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan
permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air
dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya
kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis
semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk
pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik Keperluan organisme
terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya.
Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan
tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan
yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut (WARDOYO,
1978).
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan
nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen
terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (SWINGLE,
1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak
boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat
kejenuhan sebesar 70 % (HUET, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan
oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut
(ANONIMOUS, 2004). Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator
kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan
reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan
biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi
aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik
dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan
kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan
mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien
dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut
sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan
secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan
air buangan industri dan rumah tangga. Sebagaimana diketahui bahwa oksigen
berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi
senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga
sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu,
seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia
Pencemaran Perairan 17
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
beracun rnenjadi senyawa lain yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena
peranannya yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke
lingkungan umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya.
d) Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen
yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi
aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan
oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses
oksidasi (PESCOD,1973). Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk
menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting
untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya
penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran
banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut
menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang
harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh
yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari
oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan atau sampel tersebut
juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga
supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting
diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ±
9 ppm pads suhu 20°C (SAWYER & MC CARTY, 1978).
Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacam-
macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon
dioksida (CO 2 ) dan air (H 2 O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu
prosedur oksidasi dimana organisme hidup bertindak sebagai medium untuk
menguraikan bahan organik menjadi CO 2 dan H 2 O. Reaksi oksidasi selama
pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas biologis dengan kecepatan reaksi
yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi dan suhu. Karenanya
selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan pada 20°C yang
merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis, waktu yang diperlukan untuk
proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organik terurai menjadi CO 2 dan
H 2 O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya dilaboratoriurn, biasanya
berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa selama waktu itu persentase
reaksi cukup besar dari total BOD. Nilai BOD 5 hari merupakan bagian dari total
BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan 70 - 80% dari nilai BOD total (SAWYER &
MC CARTY, 1978). Penentuan waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi
kemungkinan hasil oksidasi ammonia (NH 3 ) yang cukup tinggi. Sebagaimana
Pencemaran Perairan 18
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
diketahui bahwa, ammonia sebagai hasil sampingan ini dapat dioksidasi menjadi
nitrit dan nitrat, sehingga dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD. Reaksi kimia
yang dapat terjadi adalah :
–
2NH 3 +3 O 2 2NO 2 + 2 H+ + + 2 H 2 O
–
2NO 2 + O 2 2 NO 3
Pencemaran Perairan 19
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
HaHbOc + Cr 2 O 7 2- + H + → CO 2 + H 2 O + Cr 3+
Jika pada perairan terdapat bahan organic yang resisten terhadap degradasi
biologis, misalnya tannin, fenol, polisacharida dansebagainya, maka lebih cocok
dilakukan pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat
organic dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam
suasana asam, diperkirakan 95% - 100% bahan organic dapat dioksidasi. Seperti
pada BOD, perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya
kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L
dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L (UNESCO,WHO/UNEP,
1992). River et al., (1998) menyatakan bahwa bagian terbesar kontribusi beban
organik pada limbah perikanan berasal dari industri pengalengan dengan beban
COD 37,56 kg/m3, disusul oleh industri pengolahan fillet ikan salmon yang
menghasilkan beban limbah 1,46 kg COD/m3. Kemudian industri krustasea dengan
beban COD yang kecil. Perbandingan beban organik yang disumbangkan oleh
industri pengalengan, pemfiletan salmon dan krustasea adalah 74,3%, 21,6% dan
4,1%. Peneliti yang lain juga melaporkan hal yang sama dengan indikator beban
pencemar organik yang lain yang berasal dari industri pengolahan perikanan. Hal
ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Pencemaran Perairan 20
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 21
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 22
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 23
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 24
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 25
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 26
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 27
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 28
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 29
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
aromatic (BTEX) (Head and Swannell, 1999). PAHs dan alkanes dapat
didegradasi dalam kondisi anaerobic (Caldwell et al., 1998).
3) Nutrients. Saat minyak tumpah ke laut, suplai karbon ke dalam air laut
meningkat. Pada saat itu air laut terdapat ketimpangan komposisi
nutrient (C meningkat tajam sehingga C/N/P menjadi membesar
melebihi komposisi normal bagi kebutuhan mikroba). Untuk
memanfaatkan mikroba maka diperlukan penambahan nutrient N dan P
pada tingkat proporsi C/N/P sebelum tertumpah minyak. Secara teoretis
150 mg nitrogen dan 30 mg phosphor diperlukan mikroba untuk konversi
1 g hidrokarbon menjadi sel baru (Rosenberg and Ron, 1996).
4) pH dan salinitas. Kebanyakan bacteria heterotrof dan fungi menyukai pH
netral dan fungi masih toleran terhadap pH rendah. Berbagai studi
menghasilkan fakta bahwa biodegradasi minyak akan lebih cepat dengan
peningkatan pH dan kecepatan optimum pada pH alkalin (Focht and
Westlake, 1987). Perubahan salinitas dapat mempengaruhi biodegradasi
melalui perubahan populasi mikroba dan laju metabolisme hidrokarbon
akan menurun 3.3 to 28.4% dengan peningkatan salinitas.
iii. Fitoremediasi
Salah satu proses pemulihan lingkungan tercemar dengan
menggunakan tumbuhan telah dikenal luas, yaitu fitoremediasi
(phytoremediation). Fitoremediasi dapat dilakukan di wilayah pesisir,
terutama kejadian pencemaran minyak atau pembuangan residu minyak
berada di lahan basah pesisir. Proses fitoremediasi secara umum dibedakan
berdasarkan mekanisme fungsi dan struktur tumbuhan. USEPA (1999, 2005)
dan ITRC (2001) secara umum membuat klasifikasi proses sebagai berikut:
1) Fitostabilisasi (phytostabilization). Akar tumbuhan melakukan
imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi, mengadsorpsi pada
permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan dalam zone akar.
Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat
anorganik yang terkandung minyak yaitu sulfur, nitrogen, dan beberapa
logam berat (sekitar 2 - 50 % kandungan minyak (Leahy and Colwell,
1990).
2) Fitoekstraksi atai fitoakumulasi (phytoextraction atau
phytoaccumulation). Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya
ditranslokasi ke dalam organ tumbuhan. Proses ini adalah cocok
digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik seperti pada proses
fitostabilisasi.
Pencemaran Perairan 30
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 31
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 32
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 33
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 34
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 35
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 36
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 37
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 38
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 39
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 40
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
BAB III
PENCEMARAN SUNGAI
Pencemaran Perairan 41
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
ini karena banyak sekali variabel yang mempengaruhi kemampuan air sungai untuk
melakukan swa pentahiran, diantara debit, kecepatan, jumlah pencemar, suhu,
cuaca, musim, bentuk aliran dan oksigen terlarut. Oleh karena itu yang dapat
dilakukan adalah menentukan estimasi daya tampung beban pencemaran organik.
Pencemaran Perairan 42
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
lain - lain juga ada. Zat organik dalam air atau air limbah dalam bentuk Protein,
Karbohidrat, serta minyak dan lemak. Zat lain yang ada dalam air limbah dapat
berupa garam, mineral renik, pestisida dan logam. Menurut Linsley dan Franzini
(1995) keberadaan bahan organik dalam air diketahui menggunakan parameter
BOD (Biological Oxygen Demand sama dengan Kebutuhan oksigen untuk oksidasi
biologis), COD (Chemical Oxygen Demand sama dengan kebutuhan oksigen untuk
oksidasi kimiawi), TOC (Total Organik Carbon sama dengan Karbon organik
total), ThOD (Theoritical Oxygen Demand sama dengan kebutuhan oksigen
teoritis). Sanropie, dkk (1984) mengatakan bahwa kehadiran zat organik dalam air
dapat ditentukan dengan mengukur angka Permanganat (KMnO 4 sama dengan
Kalium Permanganat). Konsentrasi zat organik (BOD) dalam air sesuai dengan
kelas dan peruntukkan badan air adalah seperti di tersebut pada tabel : .....
Pencemaran Perairan 43
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 44
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Plankton yang ada pada badan air diyakini sangat berperan dalam proses swa
pentahiran. Knoop (dalam Imholf, 1979) mengemukakan bahwa plankton berperan
menaikkan kadar oksigen terlarut dalam air. Kapasitas swa pentahiran akan
meningkat apabila terjadi pertumbuhan plankton yang melimpah. Keseimbangan
oksigen terlarut juga akan berpengaruh pada biota dalam air. Organisme tingkat
tinggi pada badan air selalu membutuhkan terpeliharanya kondisi aerob. Ikan dan
biota air lainnya hanya dapat hidup pada kondisi kadar oksigen terlarut (DO sama
dengan disolved oxygen) dalam air di atas 3-4 mg/lt. Agar kadar DO dapat terus
terjaga di atas 3-4 mg/lt. seringkali diperlukan aerasi buatan, terutama ketika
kondisi sangat darurat. Asupan oksigen terlarut secara alamiah terjadi melalui
fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air, aerasi dalam bentuk riak gelombang
dan terjunan dari aliran air dan masuknya gas oksigen dari udara (Phelps dalam
Imholf (1979). Kadar DO juga ditentukan oleh adanya berbagai proses yang ada
dalam badan air, meliputi : (a). oksidasi biologis dari pembusukan material karbon
organik oleh bakteri dan fungi, (b). oksidasi ammonia dan nitrogen organik
menjadi nitrat (nitrifikasi), (c). sediment oxygen demand, dimana oksigen
dibutuhkan oleh lapisan atas endapan organik didasar badan air, (d). respirasi algae
dan tumbuhan air pada malam hari, (e). oksidasi bahan kimia yang ada dalam air,
(f). cuaca yang akan berpengaruh pada kelarutan oksigen dari atmosfer. Menurut
Linsley dan Franzini (1995) tingkat kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh
temperatur udara lingkungan setempat. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air akan
selalu menuju ke keseimbangan sesuai temperatur udara, sebagaimana
diperlihatkan pada tabel 2.2. Kadar oksigen terlarut yang ditunjukkan pada tabel
tersebut bukan merupakan batas relatif, tetapi merupakan kadar maksimal sesuai
dengan tempertur.
Pencemaran Perairan 45
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 46
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
percabangan sungai. Setiap aliran sungai yang tidak bercabang disebut sub-DAS
orde pertama. Sungai yang berada di bagian hilirnya yang hanya menerima aliran
sungai sub-DAS orde pertama disebut sub-DAS orde kedua, demikian seterusnya.
Klasifikasi seperti ini mengacu pada sistem klasifikasi menurut Horton. Sistem
klasifikasi Horton dimulai dari orde pertama, orde kedua dan seterusnya sesuai
dengan bertambahnya jumlah cabang aliran sungai. Semakin besar orde dari sub-
DAS menunjukkan semakin luas wilayah DAS dan semakin banyak percabangan
aliran sungai yang dimiliki. Sub-DAS orde pertama yang berada di hulu sungai
memiliki fungsi perlindungan seluruh bagian DAS, terutama dari segi perlindungan
fungsi tata air.
Karakteristik DAS dan iklim akan berpengaruh pada hidrograf aliran.
Sherman (Asdak, 2004) adalah orang yang memperkenalkan metode UHG (unit
hidrograf) untuk memperkirakan dan menelusuri debit aliran sungai yang dikaitkan
dengan kondisi DAS dan curah hujan. Debit aliran sungai merupakan informasi
yang amat penting untuk pengelolaan sungai. Gordon (Asdak, 2004)
mengemukakan tentang teknik pengukuran debit aliran di lapangan dapat
dilakukan melalui empat kategori, yaitu :
1) Pengukuran volume air sungai. Pengukuran debit dengan cara ini, biasanya
dilakukan untuk keadaan aliran sungai lambat. Teknik pengukuran debit
dengan cara ini dipandang paling akurat, terutama untuk debit aliran lambat
seperti pada mataair. Cara pengukurannya dengan menentukan waktu yang
diperlukan untuk mengisi kontainer yang telah diketahui volumenya.
Besarnya debit aliran dihitung dengan rumus berikut :
Q = V .t.
Dimana :
Q = Debit air (m3/dt)
V = volume air (m3)
t = waktu (dt)
Pencemaran Perairan 47
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Vpermk = L / t
Dimana :
V permk = Kecepatan aliran di permukaan (m/dt)
L = jarak antara dua titik pengamatan (m)
t = waktu perjalanan benda apung (dt)
Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang baik, maka jarak antara dua titik
pengamatan sekurang-kurangnya yang memberikan waktu perjalanan selama
20 detik. Pemilihan tempat pengukuran sebaiknya pada bagian sungai yang
relatif lurus.
Pencemaran Perairan 48
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Kecepatan aliran (V) yang diperoleh biasanya bukan kecepatan aliran rata-
rata, tetapi kecepatan aliran maksimum dalam sungai, maka kecepatan yang
mendekati keadaan sesungguhnya harus dikalikan dengan angka tetapan
(konstanta). Konstanta dimaksud adalah 0,75 untuk keadaan dasar sungai yang
kasar atau 0,85 untuk keadaan dasar sungai yang lebih halus. Menurut Hewlett
(Asdak, 2004) debit sesungguhnya adalah 20-25% dari debit hasil perhitungan
dengan persamaan. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memperkirakan
debit empiris menggunakan persamaan empiris dari manning. Cara ini dikenal
sebagai slope-area methode. Bentuk persamaan Manning (Asdak, 2004) adalah
untuk memperoleh angka kecepatan pada saluran terbuka. Adapun rumusnya
sebagai berikut :
V = (1/n) r 2/3 s 1/2
V = kecepatan aliran (m/dt), r = jari-jari hidrolik (m), s = kemiringan permukaan
air, dan n = angka koefisien kekasaran Manning. Apabila data kecepatan (V) di
atas ketahui dan luas penampang melintang juga diketahui, maka selanjutnya dapat
dihitung debit aliran(Q) menggunakan persamaan Q = A.V.
4. Daya Tampung Beban Pencemaran
Sumber pencemar di sungai diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumber titik
dan non sumber titik. Sumber titik menunjukkan buangan polutan yang
ditimbulkan oleh sumber spesifik atau lokasi tertentu. Sedangkan non Sumber titik
menunjukkan polusi yang dikoleksi, ditrasportasi serta dibuang lewat limpasan air
pada suatu kawasan. Sering juga disebut sumber area atau sumber
menyebar(James, 2003). Tata guna lahan merupakan bagian penting yang
mempunyai pengaruh pada kualitas air sungai. Kemampuan daya tampung air
sungai yang telah ada secara alamiah terhadap pencemaran perlu dipertahankan
untuk meminimalkan terjadinya penurunan kualitas air sungai (Marfai Aris, 2004).
Beban cemaran suatu sungai dapat diidentifikasi berdasarkan kadar BOD dalam
air, di mana semakin tinggi BOD maka air sungai semakin tercemar. Akumulasi
BOD dari sumber pencemar akan menimbulkan beban cemaran terhadap
kemampuan sungai untuk pulih kembali. Menurut PP No. 82 tahun 2001 Daya
tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu sumber air untuk
menerima masukan pencemaran tanpa menyebabkan air tersebut tercemar.
Sedangkan beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang
terkandung dalam air atau limbah. Pencemaran air dapat terjadi akibat adanya
unsur/zat lain yang masuk ke dalam air, sehingga menyebabkan kualitas air
menjadi turun. Dan sejalan dengan itu pula dilakukan pemantauan kadar cemaran
Pencemaran Perairan 49
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Daya tampung beban pencemaran organik pada badan air (sungai) pada
dasarnya adalah kemampuan maksimum dari badan air tersebut untuk dapat
melakukan swa pentahiran. Swa pentahiran yang dimaksud adalah dalam kondisi
tersedia oksigen (aerob), sehingga bergantung pada kondisi dan proses yang
menentukan kadar oksigen terlarut dalam air. Daya tampung beban pencemaran
organik pada badan air juga dipengaruhi oleh fluktuasi volume atau debit air yang
ada dan bahan pencemar yang masuk kedalamnya. Daya tampung beban
pencemaran diartikan sebagai kemampuan air pada suatu sumber air atau badan air
untuk menerima beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi
cemar (KEPMENLH No. 110 Tahun 2003). Menurut Djabu, dkk. (1991) beban
pencemaran (L) adalah konsentrasi bahan pencemar (C) dikalikan kapasitas aliran
air (Q) yang mengandung bahan pencemar. Artinya adalah jumlah berat pencemar
dalam satuan waktu tertentu, misalnya kg/hari. Beban pencemaran dapat ditulis
dalam persamaan sebagai berikut :
Pencemaran Perairan 50
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 51
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 52
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 53
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 54
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
(6) Tataguna lahan kini dan produktivitasnya, termasuk tataguna sumberdaya air
kini.
(7) Ketercapaian wilayah dan keterlintasan.
(8) Kerapatan dan distribusi penduduk, laju pertambahan penduduk, mata
pencaharian, kemampuan usaha, tingkat pendapatan dan kekayaan keluarga,
tingkat kesehatan, dan mobilitas penduduk.
(9) Rata-rata dan distribusi luas lahan milik atau garapan dan tingkat penerapan
teknologi.
Dari analisa dan penilaian data dasar akan diperoleh pengetahuan,
kesimpulan atau petunjuk tentang :
(1) Tingkat peluang dan prospek pengembangan.
(2) Beberapa alternatif arah dan bentuk pengembangan, termasuk pertimbangan
kerjasama dengan DAS tetangga dengan maksud saling mengisi.
(3) Macam dan jumlah masukan yang diperlukan.
(4) Prioritas penanganan segi-segi persoalan, baik untuk menyiapkan keadaan dan
suasana yang serasi bagi memulakan (start) pembangunan yang sebenarnya,
maupun untuk pentahapan pembangunan secara bernalar menurut tempat dan
waktu.
Dari macam ragam data dasar yang diperlukan dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan DAS harus dikerjakan secara multidisiplin. Yang diartikan dengan
multidisiplin ialah suatu titik tolak pandangan atau sikap, atau kerangka
pendekatan, yang memadukan berbagai bidang pengetahuan yang relevan dengan
watak dan kelakuan masalah, menjadi satu sistem analitik. Agar supaya sistem
analitik ini dapat berfungsi efektif, tiap-tiap bidang pengetahuan yang menjadi
unsur-unsurnya diberi kedudukan tertentu di dalam kerangka kerja. Unsur-unsur
tersebut dapat diurutkan pada garis gerak analisa sesuai dengan pertimbangan
hirarki tertentu. Dengan jalan ini suatu unsur memperoleh masukan dari unsur lain
yang berkedudukan hirarki lebih tinggi dan pada gilirannya, unsur yang tersebut
pertama tadi memberikan masukan kepada unsur berikutnya yang berkedudukan
hirarki lebih rendah. Sistem analitik seperti ini mempunyai struktur bertingkat.
Biasanya pengumpulan data dasar dan analisa kualitatif fisik berada pada tingkat
atas (langkah kerja pertama), dan memberikan masukan kepada analisa sosial-
ekonomi dan pengharkatan kuantitatif yang berada pada tingkat bawah (langkah
kerja kedua). Maka system analisa seperti ini disebut pula “pendekatan bertingkat
dua”. Dapat pula analisa semua gatra dikerjakan secara berdampingan (hirarki
tunggal), dan sistemnya dinamakan “pendekatan sejajar” (ILRI, 1977).
Pencemaran Perairan 55
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 56
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
BAB IV
PECEMARAN DANAU
Pencemaran Perairan 57
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 58
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 59
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
Pencemaran Perairan 60
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair
pestisida oleh mikroorganisme seperti fungi dan bakteri. Proses degradasi oleh
mikroba ini akan mengalami peningkatan bila: temperatur, pH tanah cocok untuk
pertumbuhan mikroba, cukup oksigen, dan fertilitas tanahnya cukup baik.
1. Degradasi kimia (chemical degradation) adalah proses degradasi akibat
terjadi reaksireaksi kimia. Tipe dan kecepatan reaksi yang terjadi
dipengaruhi oleh; ikatan antara pestisida dengan tanah, temperatur dan pH
tanah.
2. Degradasi akibat sinar matahari (photodegradation) adalah degradasi
pestisida oleh adanya sinar matahari. Tingkat degradasi akibat sinar
matahari ini dipengaruhi oleh intensitas dan spektrum sinar matahari,
lamanya terpapar, dan sifat pestisida. Pestisida dapat mengalami degradasi
lebih cepat pada rumah kaca yang beratapkan plastik dibandingkan dengan
yang beratapkan kaca, karena kaca mampu menahan sinar UV lebih baik
dibandingkan plastik.
Pencemaran Perairan 61
BAB VI
PENCEMARAN AIR TANAH
Ada bukti yang menunjukkan bahwa beban dari polusi secara tidak
proporsional jatuh pada golongan miskin. Di seluruh daerah perkotaan Indonesia,
sambungan air pipa rumah tangga tetap terkait erat dengan penghasilan rumah
tangga. Dalam tahun 1992, hanya 10 persen dari rumah tangga yang mempunyai
pengeluaran kurang dari Rp. 100.000/bulan memiliki aliran air, dibandingkan
rumah tangga yang mempunyai pengeluaran lebih dari Rp.700.000/bulan. Oleh
karenanya, golongan miskin harus lebih mengandalkan sumur, penjual air dan
hidran umum. Karena air tanah semakin tercemar, dan di beberapa daerah menjadi
asin, rumah tangga tanpa sambungan ke air pipa terpaksa membeli air minum dari
para penjual pribadi dengan harga yang relatif tinggi. Dalam beberapa hal, rumah
tangga yang membeli air dari para penjual, membayar sebanyak lima puluh kali
lebih banyak per unit air daripada rumah tangga yang tersambung dengan sistem
air kotamadya. Sementara sebuah rumah tangga dengan suatu sambungan hanya
membayar antara Rp. 170-285 per meter kubik untuk air (harga tahun 1994),
sebuah rumah tangga tanpa sambungan membayar Rp.2.500 sampai 8.840 per
meter kubik, tergantung pada lokasi dan musin.50 Akses pelayanan air pipa secara
khusus adalah penting di daerah perkotaan karena alternatif (seperti air sumur)
tidak layak untuk kepadatan penduduk yang tinggi. Di daerah pedesaan, dimana air
pipa di dalam rumah malah lebih jarang, khususnya diantara golongan miskin,
rumah tangga harus menghabiskan waktu yang banyak untuk membawa air, dan
meninggalkan kegiatan ekonomi yang lain.
1) Pencemaran dari Pertambangan
Indonesia mengalami suatu ledakan pertambangan dalam tahun 1990-an,
yang memerlukan ratusan atau ribuan hektar di setiap lokasi tambang,
menghasilkan limbah sisa-sisa tambang yang meningkatkan resiko kecelakaan
yang merugikan, dan mengkontaminasi sungai dengan bahanbahan pencemar (lihat
Tabel 7). Suatu Keputusan Presiden, yang memberikan kepada pertambangan
prioritas atas semua penggunaan tanah yang lain, telah diganti oleh Undangundang
No. 41 tahun 1999 tentang Pengelolaan Hutan. Pada dasarnya Undang-undang ini
melarang pertambangan permukaan di tanah hutan negara, apapun klasifikasinya.
Secara keseluruhan, mineral dan produk-produk terkait merupakan 19% dari total
ekspor Indonesia, dengan emas sebagai pemberi penghasilan terbesar.51 Sektor
pertambangan di Indonesia terdiri atas tiga jenis tambang, masing-masing dengan
62
karakteristik yang terang dan jelas : (i) skala besar, (ii) skala menengah, dan (iii)
artisanal dan skala kecil (Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil). Dibandingkan
dengan pertambangan skala besar, yang mempunyai dampak yang relatif terbatas
terhadap lingkungan di Indonesia, operasi Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil
cenderung merupakan pembuat polusi yang besar dalam hubungan dengan
hasilnya. Operasi Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil biasanya juga sulit
untuk dipantau dan jarang memenuhi peraturan-peraturan lingkungan. Sejak krisis
ekonomi 1997, jumlah pertambangan skala menengah serta pertambangan batubara
dan emas skala kecil yang membuat polusi, telah meningkat.
2) Pertambangan Skala Besar
Operasi pertambangan skala besar memiliki potensi untuk rentan terhadap
kecelakaan besar dengan konsekuensi lingkungan negatif jangka panjang bilamana
penilaian resiko yang layak tidak dilakukan pada permulaan suatu proyek. Resiko
terbesar yang timbul dari suatu operasi pertambangan skala besar adalah tumpahan
sisa-sisa pertambangan. Sesuai dengan data global dari Program Lingkungan PBB,
United States Committee on Large Dams, dan sumber-sumber lain, telah terjadi 28
tumpahan sisa-sisa pertambangan yang besar dalam 30 tahun terakhir, atau kira-
kira satu per tahun di seluruh dunia.53 Kira-kira 50 dari 10.000 tambang skala
menengah dan skala besar yang aktif di dunia, berada di Indonesia; satu tumpahan
sisa-sisa tambang dapat membebani Indonesia suatu perkiraan US$ 100 juta untuk
pembersihan dan kompensasi (tidak termasuk biaya suatu kemungkinan kerugian
aneka ragam kehidupan atau fungsi ekologis lainnya). Suatu masalah lingkungan
paling serius berikutnya adalah penyaluran batu asam, karena pengaruhnya dapat
berlangsung beberapa dekade.
3) Pertambangan Skala Menengah
Penilaian baru-baru ini terhadap praktek lingkungan dari tambang skala
menengah menunjukkan kinerja lingkungan yang sembrono, khususnya di tambang
yang dimiliki secara domestik, yang menjurus kepada kerugian produksi dan
kerusakan lingkungan yang signifikan. Masalah lingkungan utama yang berkaitan
dengan pertambangan skala menengah termasuk :
1) pembuatan lokasi yang tidak sesuai dari pabrik persiapan batubara,
sering di tepi sungai, yang dapat menjurus kepada risiko kontaminasi
ketika limbah tumpah atau tertiup langsung ke dalam sungai; kurangnya
kolam sedimen, yang sering meluap;
63
2) daerah penerimaan yang dirancang buruk; penyebaran partikel batubara
yang halus karena kurangnya sirkuit pengumpulan batubara halus di
pabrik;
3) ARD (Pembuangan batu asam) yang signifikan dari sisa-sisa
pertambangan; dan pengelolaan buruk dari tanah lapisan atas.
Walaupun banyak perusahaan telah melakukan investasi yang perlu untuk
peralatan pengendalian polusi dan infrastruktur, perolehan kembali biaya reklamasi
melalui penanganan partikel halus batubara secara lebih baik selama penghancuran
dan pencucian, tetap merupakan suatu tantangan. Perkiraan memberi kesan bahwa
industri pertambangan skala menengah dapat mencapai suatu kinerja lingkungan
yang kuat dengan suatu pengeluaran sebesar kirakira US$ 53 juta per tahun,
termasuk biaya reklamasi yang dilakukan terus menerus. Berkaitan dengan nilai
dari hasil batubara untuk industri batubara skala menengah dalam tahun 1998 -
US$ 45 juta - biaya reklamasi jauh lebih kecil dari satu persen pendapatan kotor.
4) Pertambangan Artisanal dan Skala Kecil
Pertambangan artisanal dan skala kecil (ASM), yang digunakan untuk emas
dan batubara, dilaksanakan dengan sedikit atau tanpa kepedulian pada lingkungan.
Sekitar 349 Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil adalah lokasi pertambangan
yang legal, yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral Pertambagnan (DGN) dan
mencakup 1,8 juta hektar. Suatu jumlah Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil
yang tidak diketahui adalah ilegal dan tidak teratur.
Sampai tahun 1980-an jumlah Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil cukup
kecil; namun, suatu peningkatan yang besar dalam jumlah Pertambangan Artisanal
Dan Skala Kecil secara signifikan telah merubah situasi, sebagian besar disebabkan
oleh perolehan kembali yang lebih tinggi (5 sampai 10 kali lebih tinggi dari pada
kegiatan ekonomi tradisional) dan sebagian gangguan pada hukum dan ketertiban.
Pengaruh lingkungan utama dari Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil
termasuk erosi tanah, sedimentasi badan air, polusi mercury dan kurangnya
reklamasi tanah setelah penutupan. Dari semuanya itu, yang paling berbahaya
adalah kontaminasi mercury. Mercury tidak biodegradable dan dapat bergabung
dengan elemen-elemen lain dan membentuk racun yang paling buruk. Pembuangan
ke sungai dapat mengakibatkan suatu kerugian dramatis dari tumbuhan dan satwa
liar dalam lingkup jarak yang besar ke arah hilir. Sebagian besar daerah
Pertambangan Artisanal Dan Skala Kecil mempunyai usia produksi yang pendek,
biasanya kurang dari sepuluh tahun. Walaupun pertambangan skala kecil dapat
meningkatkan pendapatan daerah pedesaan dalam jangka waktu pendek,
pengandalan kepada pertambangan yang meningkat, ditambah kerusakan
64
lingkungan yang signifikan, dapat mempunyai suatu dampak yang tetap
sehubungan dengan pembangunan berkesinambungan. Potensi untuk pembangunan
yang seimbang sering tergantung pada kebiasaan menyimpan dari para resipien -
yaitu, bagaimana mereka menggunakan pendapatan yang tidak disangka-sangka
yang dihasilkan oleh kegiatan pertambangan. Alokasi dari sebagian pendapatan
tersebut untuk praktek lingkungan yang lebih baik atau reklamasi tanah,
meningkatkan prospek pembangunan lokal dalam jangka panjang.
65
BAB VI
DAMPAK PENCEMARAN TERHADAP KEHIDUPAN DI BUMI