Anda di halaman 1dari 29

5

BAB II
TEORI DASAR

2.1 Genesa Emas

Emas merupakan mineral berharga yang bersifat lunak dan mudah ditempa,
kekerasannya berkisar antara 2,5-3 skala Mohs. Mineral pembawa emas
biasanya berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue minerals) [14]. Emas di
alam ditemukan dalam dua tipe, yaitu endapan primer dan endapan sekunder
(placer).

2.1.1 Endapan Primer

Endapan emas primer terbentuk akibat adanya proses magmatism. Proses


magmatism ini akan menghasilkan konsentrasi kejenuhan magma yang
bercampur dengan batuan dinding pada penurunan suhu tertentu sehingga
menghasilkan mineral-mineral logam khususnya mineral pembawa emas
(unsur Au). Proses konsentrasi antara magma dengan batuan dinding ini
dinamakan proses hidrotermal. Larutan hidrotermal adalah cairan dengan
temperatur tinggi (1000 sampai 5000C) sisa pendinginan magma yang mampu
mengubah dan membentuk mineral-mineral tertentu. Secara umum cairan
sisa kristalisasi magma tersebut bersifat silika yang kaya alumina, alkali dan
alkali tanah yang mengandung air dan unsur-unsur volatile [15]. Larutan
hidrotermal terbentuk pada fase akhir dari siklus pembekuan magma dan
umumnya terakumulasi pada zona lemah yang membentuk urat-urat
hidrotermal atau tersebar pada batuan.

2.1.2 Endapan Sekunder (placer)

Endapan emas sekunder terbentuk akibat proses oksidasi dan sirkulasi air
yang terjadi pada endapan emas primer. Proses tersebut dapat menyebabkan
terlepasnya mineral emas dan terendapkan kembali pada rongga-rongga
batuan atau pori batuan. Butiran-butiran emas pada endapan sekunder
6

cenderung lebih besar dibandingkan dengan butiran endapan primer [16].


Proses erosi yang terjadi pada endapan emas primer menghasilkan endapan
emas placer/aluvial. Endapan ini dapat dijumpai berupa tanah dari batuan asal
yang sudah lapuk, endapan fluviatile, dan endapan pantai.

2.2 Mineralisasi Hidrotermal

Mineralisasi merupakan suatu proses pembentukan mineral-mineral di dalam


bumi yang berkaitan dengan aktivitas magmatic. Mineral-mineral yang larut
dalam keadaan panas terdorong oleh tekanan hidrotermal mengalir melalui
zona-zona lemah dan terendapkan di struktur batuan yang temperaturnya sudah
berkurang [17]. Proses mineralisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor
pengontrol, meliputi [15]:
1. Larutan hidrotermal yang berfungsi sebagai larutan pembawa mineral;
2. Zona lemah yang berfungsi sebagai tempat mengalirnya larutan
hidrotermal;
3. Tersedianya ruang pengendapan;
4. Terjadinya reaksi kimia dari batuan induk (host rock) dengan larutan
hidrotermal yang memungkinkan terjadinya pengendapan mineral;
5. Adanya konsentrasi larutan yang cukup tinggi untuk mengendapkan
mineral.

Larutan hidrotermal dapat diartikan sebagai larutan panas (100 sampai 5000C)
yang umumnya dihasilkan melalui proses magmatism, namun dapat juga
dihasilkan melalui air connate, air meteoric, ataupun air dengan kandungan
mineral yang mengalami proses pemanasan di dalam bumi [15]. Model
konseptual endapan mineral sistem hidrotermal dapat di lihat pada Gambar 2.1.
7

Gambar 2. 1 Model konseptual sistem endapan mineral hidrotermal [18].

Endapan mineral sistem hidrotermal berdasarkan temperatur dan kedalaman


dibagi menjadi 3 yaitu endapan hypothermal, endapan mesothermal, dan
endapan epitermal [19].
1. Hypothermal
Endapan hypothermal terbentuk pada wilayah yang cukup dalam (3000-15000
m) dan tekanan tinggi serta temperatur berkisar antara 300 hingga 500 0C.
Asosiasi mineral yang umum ditemukan pada endapan hypothermal antara
lain, Cassiterite, wolframite, molybdenum, urat emas-kuarsa, urat tembaga-
turmalin, dan urat timbal-turmalin. Logam yang dapat diekstraksi dari endapan
hypothermal terdiri dari tembaga (Cu), molybdenum (Mo), timah (Sn), tungsten
(W), emas (Au), dan timah (Pb).
2. Mesothermal
Endapan mesothermal terbentuk pada kedalaman (1200-4500 m), tekanan, dan
temperatur menengah. Temperatur pembentukan mineral berkisar antara 200
hingga 3000C. Barang tambang yang dapat ditemukan antara lain tembaga
(Cu), seng (Zn), emas (Au), dan timah (Pb).
3. Epitermal
Endapan epitermal terbentuk di dekat permukaan hingga kedalaman 1500
meter dan pada temperatur 50 hingga 2000C. Mineral terendapkan di batuan
sedimen atau batuan beku, terutama yang berasosiasi dengan batuan intrusi
dekat permukaan biasanya disertai oleh sesar, kekar.
8

2.3 Alterasi Hidrotermal

Larutan hidrotermal dapat mengubah sifat fisik dan komposisi kimiawi batuan
yang dilaluinya, proses ini disebut alterasi hidrotermal. Alterasi hidrotermal
merupakan proses yang kompleks karena melibatkan perubahan mineralogi,
kimiawi dan tekstur. Perubahan tersebut tergantung pada karakteristik batuan
samping, sifat kimia larutan, kondisi tekanan, temperatur pada saat reaksi
berlangsung, konsentrasi dan lama aktivitas hidrotermal. Faktor-faktor tersebut
saling terkait, tetapi dalam alterasi hidrotermal sistem epitermal temperatur dan
sifat kimia larutan memegang peranan penting [4]. Klasifikasi mineral alterasi
yang terbentuk di lingkungan epitermal berdasarkan pH asam dan netral serta
temperatur pembentukannya ditunjukkan oleh Gambar 2.2 [20].

Gambar 2. 2 Pembagian mineral alterasi yang terjadi di lingkungan epitermal berdasar derajat
keasaman dan temperatur pembentukan [20].
9

Proses hidrotermal pada keadaan kesetimbangan tertentu akan menghasilkan


kumpulan mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral. Tipe-tipe
alterasi berdasarkan himpunan mineral dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Tipe-tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral [21].

Mineral
Tipe Alterasi Mineral Utama Keterangan
Penyerta

Albit
Kuarsa
Klorit Temperatur 200-
Propylitic Kalsit 300oC, salinitas
Epidote beragam, pH
Pirit mendekati netral,
Karbonat permeabilitas rendah
Lempung/illite
Oksida besi
Smectite Pirit Temperatur 100-
Argillic Montmorillonite Klorit 300oC,

Illite-smectite Kalsit salinitas rendah,

Kaolinite Kuarsa pH asam-netral.

Chalcedon
Advanced
Kaolinite Cristobalite Temperatur 180oC
Argillic
Alunite Kuarsa pH asam
(low temperature)
Pirit

Kuarsa
Advanced Argillic Pirofilit Temperatur 250-
(high Tourmaline
Diaspore 350oC,
temperature)
Enargit
Andalusit pH asam
Luzonit

Klorit
Adularia Temperatur lebih dari
Potassic Epidote 300oC, salinitas tinggi,
Biotite
Pirit dekat dengan batuan
Kuarsa intrusi.
Illite-sericite

Kuarsa Anhydrite Temperatur 230 –


Phyllic
Sericite Pirit 400oC,

Pirit Kalsit salinitas beragam,


10

Rutile pH asam – neutral,


zona permeable pada
batas urat.

Sericite (illite)
Sericite Pirit
Kuarsa -
Illite-sericite
Muskovit

Pirit
Silicification Kuarsa
Illite-sericite -
Adularia

Garnet
Temperatur 300 –
Piroksen Wolastonit 700oC,
Skarn
Amfibol Klorit salinitas tinggi,
Epidote Biotite umum pada batuan
samping karbonat.
Magnetit

2.4 Endapan Epitermal

Endapan epitermal merupakan endapan yang terbentuk akibat proses


hidrotermal dekat permukaan dengan temperatur antara 50o-200oC dan tekanan
yang relatif rendah. Ciri-ciri endapan epitermal ditunjukkan oleh Tabel 2.2.

Tabel 2. 2 Ciri-ciri endapan epitermal [22]

Kedalaman Permukaan sampai 1000 meter

Temperatur
50°– 300°C (biasanya 170° – 250°C).
pembentukan

Meteoric, meskipun beberapa komponen dapat


Asal fluida
berasal dari magmatic.

Urat tipis sampai yang besar, stockwork,


Bentuk endapan
sebaran, penggantian.

Open space filtering, crustification, colloform


Tekstur bijih
banding, struktur comb, breksia.
11

Au, Ag, (As, Sb), Hg, [Te, Tl, Ba, U], (Pb, Zn,
Unsur bijih
Cu).

Silicification, advance argillic,


Alterasi
montmorillonite/illite, adularia, propylitic.

Kuarsa chalcedonic berbutir halus, kuarsa


Ketampakan umum pseudomorph setelah kalsit, breksia akibat
hydraulic fracturing.
Endapan epitermal terbagi menjadi dua jenis, yaitu sulfidasi rendah dan
sulfidasi tinggi [18]. Batasan kedua sistem tersebut didasarkan pada bilangan
redoks (reduksi-oksidasi) unsur sulfur (S) dalam larutan mineralisasi. Sistem
sulfida tinggi terjadi ketika unsur S dalam larutan mineralisasi mempunyai
bilangan redoks mendekati +4 (misalnya senyawa SO2). Sistem sulfida rendah
memiliki unsur S yang mendekati pH netral umumnya memiliki bilangan redoks
terendah -2 (misalnya senyawa H2S). selain itu, kedua sistem ini dibedakan
berdasarkan tipe alterasi dan mineraloginya.

2.4.1 Epitermal Sulfida Tinggi

Sistem epitermal sulfida tinggi terbentuk dalam suatu sistem magmatic


hydrothermal yang didominasi oleh fluida hidrotermal asam. Mineralisasi
pada sistem ini dijumpai dalam bentuk vugy quartz dengan kontrol struktur
berupa sesar secara regional atau intrusi subvolcanic. Kedalaman formasi
batuan sekitar 500-2000 meter dengan temperatur 100˚C-320˚C. Sistem
epitermal sulfida tinggi dicirikan dengan hadirnya mineral alterasi kuarsa-
alunite-pyrophyllite-dickite-illite-kaolinite serta mineral bijih berupa pirit,
enargite-luzonite.

2.4.2 Epitermal Sulfida Rendah

Sistem epitermal sulfida rendah terbentuk dalam suatu sistem geotermal yang
memiliki pH cenderung netral. Tatanan tektonik dari endapan epitermal
sulfida rendah umumnya terdapat pada volcanic island, busur magmatik pada
batas lempeng dan continental volcanic dengan regime struktur extensional
12

dan strike-slip. Kedalaman zona endapan atau formasi batuan sekitar 0-1000
meter dengan temperatur formasi 50˚C-300˚C. Sistem epitermal sulfida
rendah dicirikan dengan mineral alterasi kuarsa-adularia-sericite-calcite pada
lingkungan sulfur rendah dan biasanya perbandingan emas dan perak relatif
tinggi. Adularia merupakan mineral khas hasil alterasi yang hanya dijumpai
pada tipe sulfida rendah. Endapan bijih epitermal sulfida rendah sebagian
besar mempunyai jenis mineralisasi berupa vein atau stockwork yang sifatnya
berasosiasi dengan chalcedonic silika dengan atau tanpa adularia [18]. Batuan
dinding yang dijumpai pada tipe ini umumnya berupa batuan kal-alkali atau
andesitic kal-alkali kalsit, rhyolite, dacite dan rhyodacite. Model konseptual
endapan mineral sistem epitermal sulfida rendah ditunjukkan oleh Gambar
2.3.

Gambar 2. 3 Model konseptual endapan mineral sistem epitermal sulfida rendah [23]

Karakter fluida pengontrol sistem sulfida rendah bersifat salinitas rendah, pH


mendekati netral, kandungan sulfida dan mineral logam dasar (base metal)
rendah. Karakteristik endapan epitermal sulfida rendah dapat dilihat pada
Tabel 2.3.
13

Tabel 2. 3 Karakteristik umum endapan emas epitermal sulfida rendah [18].

Sulfida Rendah

Didominasi oleh urat hasil bukaan,


Bentuk
stockworks, penggantian bijih
endapan
kecil

Tekstur Urat, cavity filling, urat breksi

Pirit, emas, sfalenite, galena


Mineral bijih
(arsenopyrite)

An, Ag, Zn, Pb (Cu, Sb, As, Hg,


Logam
Se)

Sistem sulfida rendah ini sebagian besar berasosiasi dan didominasi oleh
alterasi lempung, diantaranya sebagai berikut:
1. Silicification biasanya terdapat bersama mineral bijih sebagai generasi
multiple dari kuarsa dan Chalcedon yang umumnya disertai dengan
adularia dan kalsit. Silicification dalam urat biasanya diapit oleh sericite-
illite- kaolinite.
2. Alterasi argillic (kaolinite-illite-montmorillonite-smectite) biasanya
terbentuk berdampingan dengan urat.
3. Alterasi advance argillic dapat terbentuk di sepanjang bagian atas zona
mineralisasi.
4. Alterasi propylitic dijumpai pada bagian yang lebih dalam dan menjauhi
urat.

2.5 Metode Magnetik

Metode magnetik merupakan metode yang sering digunakan dalam eksplorasi


pendahuluan. Prinsip dasar metode ini adalah mengamati variasi intensitas
medan magnet permukaan bumi yang disebabkan oleh adanya distribusi benda
termagnetisasi di bawah permukaan bumi. Metode magnetik umumnya
digunakan untuk menentukan sifat kemagnetan suatu batuan, serta sangat
efektif untuk menentukan struktur geologi bawah permukaan [24].
14

2.5.1 Prinsip Dasar Kemagnetan

Prinsip dasar metode magnetik yang harus dipahami, diantaranya sebagai


berikut:
A. Gaya Magnet
Dasar dari metode magnetik adalah gaya Coulomb antara dua buah kutub
magnetik p1 dan p2 yang terpisah sejauh r dalam bentuk vektor gaya. dan
memiliki muatan [24]. Gaya magnetik dinyatakan dengan persamaan berikut:

1 𝑝1 𝑝2
𝐹= 𝑟̂ ............................................ (2.1)
𝜇0 𝑟 2

Dimana 𝐹 adalah Gaya Coulomb (N), r adalah jarak antara kutub p2 dan p1
(m), p1 dan p2 adalah kuat kutub yaitu banyaknya muatan magnet (C), dan 𝜇0
adalah permeabilitas medium dalam ruang hampa (𝜇0 = 1).

B. Kuat Medan Magnet


Kuat medan magnet (H) adalah besarnya medan magnet pada suatu titik
akibat adanya kuat kutub yang berada sejauh r dari titik p tersebut. Kuat
medan magnet didefinisikan sebagai gaya persatuan kuat kutub magnet [24].

𝐹 𝑝1
𝐻= = 𝑟̂ ........................................ (2.2)
𝑝2 𝜇0 𝑟 2

Dimana H adalah kuat medan magnet (A/m) dan p1, p2 adalah muatan 1 dan
2 dari monopole magnet (Coloumb).

C. Momen Magnet
Pada kenyataannya, kutub-kutub magnet selalu muncul berpasangan (dipole)
dimana dua kutub berkekuatan +p dan –p dipisahkan oleh jarak 2l, maka
momen magnetik didefinisikan dengan persamaan berikut:

𝑚 = 2𝑙𝑝𝑟1 .................................................. (2.3)


15

Dimana m adalah momen magnet (m.C), p adalah kutub magnet (m), r1 adalah
arah dari unit vektor dari kutub negatif ke kutub positif, dan l adalah jarak
antara dua kutub (m).

D. Intensitas Magnetik
Magnetisasi disebut juga intensitas kemagnetan (𝑀). Intensitas kemagnetan
didefinisikan sebagai tingkat kemampuan menyearahkan momen-momen
magnetik dalam medan magnetik luar, dapat juga dinyatakan sebagai momen
magnetik persatuan volume [24].

𝑚 2𝑙𝑝𝑟1
𝑀= = ............................................ (2.4)
𝑉 𝑉

Dimana M adalah intensitas magnetik (A/m), m adalah momen magnet dipole


(Am2), dan V adalah volume (m3).

E. Suseptibilitas Kemagnetan
Suseptibilitas kemagnetan (k) merupakan tingkat kemampuan suatu benda
untuk termagnetisasi [24]. Suseptibilitas dituliskan dengan persamaan
berikut:

𝑀 = 𝑘 × 𝐻 ................................................ (2.5)

Dimana k adalah suseptibilitas batuan, M adalah intensitas magnetik (A/m)


H adalah kuat medan magnet (A/m).

Harga suseptibilitas sangat penting dalam pencarian benda anomali karena


sifat magnetik berbeda-beda untuk setiap jenis mineral dan batuan.

F. Induksi Magnetik
16

Medan magnet yang terukur oleh magnetometer adalah medan magnet


induksi dan termasuk efek magnetisasinya, yang dinyatakan oleh persamaan
berikut:

𝐵 = 𝜇0 (𝐻 + 𝑀) ............................................ (2.6)
𝐵 = 𝜇0 (𝐻 + 𝑘𝐻) ........................................... (2.7)
𝐵 = 𝜇0 (1 + 𝑘)𝐻 ............................................ (2.8)

dimana,

𝜇 = 𝜇0 (1 + 𝑘)................................................ (2.9)

maka persamaannya menjadi:

𝐵 = 𝜇𝐻 ............................................... (2.10)

Dimana H dan M memiliki arah yang sama seperti kasus pada umumnya.
Satuan SI untuk B adalah tesla = 1 Newton/Ampere meter = 1 Wb/ m2 [24].

2.5.2 Medan Magnet Bumi

Medan magnet bumi terbentuk karena adanya aktivitas dari inti dalam bumi
yang terdiri dari unsur-unsur logam dan radioaktif. Adanya medan magnet
bumi tidak lepas dari aktivitas rotasi bumi dan arus konveksi. Medan magnet
bumi terkarakterisasi oleh elemen medan magnet bumi yang dapat diukur,
yaitu arah dan intensitas kemagnetannya. Elemen-elemen medan magnet
bumi dapat dilihat pada Gambar 2.4.
17

Gambar 2. 4 Elemen medan magnetik bumi [24].

1. Deklinasi (D), yaitu sudut yang dibentuk antara utara geografis dengan
utara magnetik dihitung dari utara menuju timur.
2. Inklinasi (I), yaitu sudut yang dibentuk antara medan magnetik total
dengan bidang horizontal yang dihitung dari bidang horizontal menuju
bidang vertikal ke bawah.
3. Intensitas total (F), yaitu besar dari vektor medan magnetik total.
4. Intensitas Horizontal (H), yaitu besar dari medan magnetik total pada
bidang horizontal.

Medan magnet bumi terdiri dari 3 bagian, yaitu medan magnet utama, medan
magnet luar dan medan magnet anomali [7].
1. Medan Magnet Utama (main field)
Pengaruh medan utama magnet bumi sekitar 99 % dan variasinya terhadap
waktu sangat lambat dan kecil. Medan magnet utama bersumber dari dalam
inti bumi. Medan magnet utama berubah terhadap waktu sehingga untuk
menyeragamkan nilai-nilai medan utama dibuat standar nilai yang disebut
dengan International Geomagnetic Reference Field (IGRF) yang
diperbaharui tiap lima tahun sekali. Nilai IGRF tersebut diperoleh dari hasil
18

pengukuran rata-rata pada daerah luasan sekitar satu juta kilometer yang
dilakukan dalam waktu satu tahun.
2. Medan Magnet Luar (external field)
Medan magnet luar bersumber dari luar bumi dan merupakan hasil ionisasi di
atmosfer yang ditimbulkan oleh sinar ultraviolet dari matahari, karena sumber
medan luar ini berhubungan dengan arus listrik yang mengalir dalam lapisan
terionisasi di atmosfer, maka perubahan medan ini terhadap waktu jauh lebih
cepat. Sumbangan medan luar ini terhadap medan magnet bumi hanya sebesar
1% dari medan total.
3. Medan Magnet Anomali
Medan magnet anomali adalah medan magnet yang berada dekat dengan
permukaan bumi akibat dari adanya batuan-batuan yang memiliki sifat
magnet. Dalam survei metode magnetik yang menjadi target dari pengukuran
adalah variasi medan magnetik yang terukur di permukaan (anomali
magnetik).

2.5.3 Koreksi Data Magnetik

Koreksi data magnetik bertujuan untuk mendapatkan anomali magnetik yang


bebas dari pengaruh medan magnet lain. Secara umum koreksi-koreksi yang
dilakukan dalam survei magnetik meliputi:
A. Koreksi Harian (Diurnal)
Koreksi harian digunakan untuk menghilangkan medan magnet eksternal
(matahari) yang terekam pada saat pengukuran. Koreksi ini merupakan
penyimpangan nilai medan magnetik bumi akibat adanya perbedaan waktu
dan efek radiasi matahari dalam satu hari. Waktu yang dimaksudkan harus
mengacu atau sesuai dengan waktu pengukuran data medan magnet di setiap
titik lokasi pengukuran yang akan dikoreksi. Jika variasi harian bernilai
positif maka dilakukan operasi pengurangan dan jika bernilai negatif makan
dilakukan operasi penjumlahan yang dapat dituliskan dalam persamaan:

(𝑡𝑛 −𝑡𝑎𝑤𝑎𝑙 )
𝐻𝑉ℎ = (𝑡 (𝐻𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝐻𝑎𝑤𝑎𝑙 )..................... (2.11)
𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 −𝑡𝑎𝑤𝑎𝑙 )
19

dimana HVh adalah variasi harian yang merupakan pengaruh medan magnet
luar (Tesla), tn adalah waktu pada titik N (s), tawal adalah Waktu awal (s), takhir
adalah waktu akhir (s), Hawal adalah nilai medan magnet di titik awal (Tesla),
dan Hakhir adalah Nilai medan magnet di titik akhir (Tesla).

B. Koreksi IGRF
Medan magnet utama bumi selalu berubah setiap waktu sehingga untuk
menyeragamkan nilai-nilai medan utama dibuat standar nilai yang disebut
dengan International Geomagnetic Reference Field (IGRF). Koreksi IGRF
merupakan koreksi untuk menghilangkan pengaruh medan magnet utama
bumi.

2.5.4 Anomali Magnetik

Medan magnetik anomali merupakan medan magnet akibat adanya distribusi


batuan dengan sifat kemagnetan tertentu yang bebas dari pengaruh medan
magnetik lain. Medan magnetik Anomali dapat diperoleh dengan persamaan
berikut:

𝛥𝐻 = 𝐻𝑂𝑏𝑠 − 𝐻𝐼𝐺𝑅𝐹 ± 𝐻𝑉ℎ ................................... (2.12)

dimana ΔH adalah beda anomali medan magnet (Tesla), HObs adalah Medan
magnet observasi atau medan magnet total bumi (Tesla), dan HIGRF adalah
Medan magnet utama/IGRF (Tesla).

Besarnya anomali magnetik total pada suatu titik pengamatan (P) dinyatakan
oleh persamaan berikut [25]:

̂ . ∇𝑃 ∫ 𝑴. ∇𝑄 1 𝑑𝑣 ............................ (2.13)
∆𝑇 = −𝐶𝑚 𝑭 𝑅 𝑟

dimana 𝐹̂ adalah vektor satuan arah medan magnet, 𝑀 adalah magnetisasi, 𝑟


adalah jarak dari titik 𝑃 ke elemen 𝑑𝑣 dan 𝐶𝑚 adalah konstanta yang
bergantung pada sistem satuan.
20

Sedangkan, besarnya anomali magnetik total (∆𝑇) pada sumber magnetisasi


bola pejal homogen dapat diperoleh dengan persamaan berikut:

𝜕 𝜕2 1
∆𝑇(𝑟) = − 𝜕𝐵 ∆𝑉𝛼 (𝑟) = ∆𝐽 𝜕𝛽𝜕𝛽 𝑟 ............................... (2.14)

dimana 𝑟 adalah jarak sumber observasi, ∆𝑉𝛼 adalah potensial anomali pada
arah 𝛼, ∆𝐽 adalah intensitas anomali magnetisasi, 𝛽 adalah arah medan
magnetisasi (diasumsikan seragam).

2.5.5 Reduce to Pole (RTP)

Reduce to pole adalah salah satu transformasi data magnetik untuk


menghilangkan pengaruh sudut inklinasi magnetik. Transformasi tersebut
diperlukan karena sifat dipole anomali magnetik menyulitkan interpretasi
data lapangan yang umumnya masih berpola asimetrik. Hasil dari reduce to
pole menunjukkan anomali magnetik menjadi monopole.
Persamaan yang menunjukkan hubungan antara medan potensial f dan
distribusi material s ditunjukkan sebagai berikut [25]:

𝑓(𝑃) = ∫𝑅 𝑠 (𝑄)𝜓(𝑃, 𝑄)𝑑𝑣 ................................. (2.15)

dimana R adalah material sumber, P adalah titik observasi, Q adalah titik


distribusi, dan Ψ(P,Q) adalah fungsi green. Terdapat hubungan umum dalam
domain Fourier anomali magnet yang diukur pada permukaan horizontal dan
distribusi sumber penyebab yang terletak sepenuhnya di bawah permukaan.
Adapun persamaan yang menunjukkan reduce to pole adalah sebagai berikut:

𝜃′ 𝑚𝜃′ 𝑓
𝐹[𝛹𝑡] = ....................................... (2.16)
𝜃𝑚𝜃𝑓

dimana F[Ψt] adalah hasil reduksi ke kutub, θm adalah fungsi kompleks yang
bergantung pada orientasi dipole, θf adalah fungsi kompleks yang tergantung
pada medan sekitar.
21

2.5.6 Teknik Edge Detectors (Deteksi Tepi)

Ketergantungan metode magnetik terhadap arah magnetisasi dan remanen


magnetisasi merupakan faktor yang menyebabkan interpretasi sulit
dilakukan. Selain itu bentuk sumber magnetik dan tepinya menghasilkan
anomali tidak jelas yang membuat tugas interpretasi menjadi semakin rumit.
Akibatnya, sejumlah teknik edge detectors (deteksi tepi) berdasarkan turunan
(derivative) telah diperkenalkan untuk mengatasi masalah tersebut dan untuk
menangani anomali magnetik yang kompleks. Teknik ini telah menjadi dasar
dalam menentukan batas-batas sebenarnya dari sumber magnet, karena
mereka memberikan pandangan yang komprehensif tentang anomali dan
menggambarkan bentuk sumber penyebab terlepas dari kedalamannya.
Teknik edge detectors telah banyak digunakan dalam eksplorasi geofisika,
terutama dalam pemetaan kontak geologi, patahan, dykes, dan ore bodies. Di
antara teknik-teknik tersebut adalah analytic signal dan tilt derivative [26]
[27].

Berikut merupakan pembahasan mengenai analytic signal dan tilt derivative


yang akan digunakan dalam penelitian ini:
A. Analytic Signal
Analytic signal (AS) didefinisikan sebagai akar kuadrat dari jumlah kuadrat
turunan vertikal dan horizontal dari medan magnet total. Analytic signal tidak
tergantung pada parameter medan magnet bumi (inklinasi) dan arah
magnetisasi. Analytic signal menghasilkan amplitudo maksimum berada
langsung secara simetris di atas sumber anomali magnetik [28]. Selain itu,
analytic signal sangat sensitif terhadap batas anomali sehingga, efektif
digunakan untuk menggambarkan zona batas geologi. Analytic signal mampu
menyoroti batas sumber anomali yang relatif dangkal, tetapi tidak dapat
memberikan hasil yang jelas untuk anomali yang lebih mendalam [26].

Secara matematis, analytic signal tiga dimensi dapat dihitung dengan


persamaan berikut [29]:
22

𝜕𝑇 2 𝜕𝑇 2 𝜕𝑇 2
𝐴𝑆 (𝑥, 𝑦) = √(𝜕𝑥 ) + (𝜕𝑦) + ( 𝜕𝑧 ) .......................... (2.17)

Dimana ∂T adalah intensitas magnetik total (nT), ∂x adalah turunan pertama


terhadap komponen horizontal (sumbu x), ∂y adalah turunan pertama
terhadap komponen horizontal (sumbu y) dan ∂z adalah turunan pertama
terhadap komponen vertikal (sumbu z).

B. Tilt Derivative
Tilt derivative (TDR) merupakan perbandingan antara nilai intensitas
magnetik komponen vertical derivative (VDR) terhadap nilai intensitas
magnetik komponen total horizontal derivative (THDR). Tilt derivative
memiliki tiga tingkat amplitudo yaitu positif, nol (0) dan negatif. Amplitudo
positif terletak di atas sumber anomali dan amplitudo negatif berada jauh dari
sumber anomali tersebut. Sedangkan, amplitudo nol berada di atas atau dekat
dengan tepi sumber anomali. Oleh karena itu, teknik ini dapat digunakan
untuk menentukan batas anomali dengan melakukan picking pada kontur nol
[30]. Tilt derivative ini cocok digunakan sebagai dasar analisis untuk
mengidentifikasi adanya zona-zona rekahan sebagai pengontrol mineralisasi
[31]. Tilt derivative mampu menyoroti sumber magnetik dangkal dan juga
dalam yang lebih baik daripada analytic signal [26]. Namun, semakin dalam
posisi anomali semakin banyak pergeseran batas anomali. Oleh karena itu,
benda yang lebih dalam diperkirakan memiliki lebar anomali lebih besar dari
ukuran sebenarnya. Tilt derivative ini digunakan untuk memperkuat hasil
pada analytic signal.
23

Gambar 2. 5 Geometri hubungan antara VDR, THDR, AS, dan TDR [27].

Geometri hubungan antara tilt derivative (TDR), VDR, THDR, serta analytic
signal (AS) ditunjukkan oleh Gambar 2.5. Tilt derivative dinyatakan sebagai
nilai arctangent dari perbandingan antara VDR dengan THDR. Berikut
persamaan dasar tilt derivative [25]:

𝑉𝐷𝑅
𝜃 = 𝑇𝐷𝑅 = tan−1 𝑇𝐻𝐷𝑅 ...................................... (2.18)

𝜋 𝜋
Batasan nilai dari amplitudo TDR yaitu antara rentang − 2 sampai sesuai
2

dengan sifat fungsi trigonometri arctangent. Dimana VDR dinyatakan seperti


persamaan berikut:

𝜕𝑇
𝑉𝐷𝑅 = .............................................. (2.19)
𝜕𝑧

Sedangkan total horizontal derivative (THDR) dinyatakan seperti persamaan


berikut:

𝜕𝑇 2 𝜕𝑇 2
𝑇𝐻𝐷𝑅 = √(𝜕𝑥 ) + (𝜕𝑦) .................................. (2.20)

dimana 𝜕𝑇 adalah Intensitas magnetik total (nT), 𝜕𝑥 adalah komponen


horizontal terhadap sumbu x, 𝜕𝑦 adalah komponen horizontal terhadap
sumbu y, dan 𝜕𝑧 adalah komponen vertikal terhadap sumbu z.
24

2.6 Metode Geolistrik Resistivitas dan Induced Polarization (IP)

Metode geolistrik adalah salah satu metode yang mempelajari sifat-sifat aliran
listrik di dalam bumi. Metode geolistrik resistivitas dan IP sering
dikombinasikan dalam melakukan eksplorasi mineral. Metode resistivitas dan
IP mampu menggambarkan kondisi bawah permukaan dengan resolusi yang
tinggi. Parameter yang terukur dari metode ini yaitu resistivitas dan
chargeability. Nilai resistivitas dan chargeability digunakan untuk menentukan
keberadaan urat kuarsa pembawa mineral emas.

2.6.1 Resistivitas

Resistivitas adalah kemampuan suatu material dalam menghambat aliran


listrik. Resistivitas batuan dipengaruhi oleh beberapa sifat fisis antara lain
derajat saturasi air, porositas, permeabilitas, kandungan mineral, dan formasi
batuan. Resistivitas batuan terjadi akibat adanya medan potensial dan arus
yang diinjeksi ke bawah permukaan bumi. Metode geolistrik resistivitas yaitu
metode yang mengukur nilai resistivitas batuan. Metode ini merupakan
penerapan dari Hukum Ohm. Persamaan Hukum Ohm dinyatakan sebagai
berikut:

𝑉
𝑅 = 𝐼 ................................................... (2.21)

Dengan R adalah hambatan (Ohm), V adalah beda potensial (Volt), dan I


adalah arus listrik (Ampere).

Prinsip dasarnya dari metode geolistrik adalah mengukur respons berupa


potensial pada suatu elektroda potensial akibat arus listrik yang diinjeksi ke
dalam bumi melalui elektroda arus. Oleh karena itu, perumusan teoretis
metode geolistrik didasarkan pada prinsip perhitungan potensial listrik pada
suatu medium tertentu akibat suatu sumber arus listrik di permukaan bumi.
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6. Jika arus (I) diinjeksi ke dalam
bumi yang homogen dan isotropik melalui sebuah elektroda tunggal, maka
25

arus listrik tersebut akan menyebar ke segala arah dalam permukaan-


permukaan ekipotensial pada bumi berupa permukaan setengah bola.

Gambar 2. 6 Aliran arus listrik dan bidang ekipotensial [24]

Harga potensial listrik di suatu permukaan yang dialiri arus dengan luas
setengah bola (2𝜋𝑟), dinyatakan dengan persamaan berikut:

𝐼𝜌 2𝜋𝑟𝑉
𝑉= atau 𝜌 = .................................... (2.22)
2𝜋𝑟 𝐼

dimana 𝜌 adalah resistivitas medium homogen.

Pada umumnya pengukuran metode resistivitas menggunakan dua elektroda


arus. Dimana satu elektroda bersifat positif (A) dan satu lainnya bersifat
negatif (B). sehingga persamaan harga potensial listrik menjadi:

𝐼𝜌 −𝐼𝜌 𝐼𝜌 1 1
𝑉= + 2𝜋𝑟 = ( − 𝑟 ) .......................... (2.23)
2𝜋𝑟𝐴 𝐵 2𝜋 𝑟𝐴 𝐵

dimana 𝑟𝐴 adalah jarak pada elektroda positif (A) dan 𝑟𝐵 adalah jarak pada
elektroda negatif (B).
26

Pada prinsipnya pengukuran metode resistivitas sering menggunakan empat


elektroda yang terdiri dari dua elektroda arus (A,B) dan dua elektroda
potensial (M,N), seperti yang terlihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2. 7 Konfigurasi Elektroda [24].

Sehingga, harga potensial pada elektroda potensial M dan N dinyatakan


dengan persamaan berikut:

𝐼𝜌 1 1
𝑉𝑀 = ( − 𝐵𝑀) ................................... (2.24)
2𝜋 𝐴𝑀
𝐼𝜌 1 1
𝑉𝑁 = ( − 𝐵𝑁) ................................... (2.25).
2𝜋 𝐴𝑁

selanjutnya, beda potensial (∆𝑉) antara kedua elektroda dapat diperoleh


dengan persamaan:

∆𝑉 = 𝑉𝑀 − 𝑉𝑁 ................................... (2.26)
𝐼𝜌 1 1 1 1
∆𝑉 = 2𝜋 (𝐴𝑀 − 𝐵𝑀 − 𝐴𝑁 + 𝐵𝑁) ......................... (2.27)

A. Konsep Resistivitas Semu


Jika medium di bawah permukaan bumi tidak homogen (tidak sejenis),
anomali yang diperoleh dari objek bawah permukaan merupakan resistivitas
semu (𝜌𝑎 ). Nilai resistivitas semu bergantung dari pemasangan elektroda atau
faktor geometri (k), selain beda potensial (∆V) yang terukur dan arus (I) yang
diinjeksi. Resistivitas semu dapat diperoleh dengan persamaan berikut:

∆𝑉
𝜌𝑎 = 𝑘 .......................................... (2.28)
𝐼
27

1 1 1
dengan 𝜌𝑎 adalah resistivitas semu (Ohm.m), 𝑘 = 2𝜋 (𝐴𝑀 − 𝐵𝑀 − 𝐴𝑁 +

1 −1
) adalah faktor geometri (m), ∆𝑉 adalah beda potensial (Volt), dan I
𝐵𝑁

adalah arus listrik (Ampere).

B. Konfigurasi Wenner
Pengukuran menggunakan konfigurasi Wenner relatif cepat dibandingkan
konfigurasi lain seperti dipole-dipole. Susunan elektroda konfigurasi Wenner
terletak dalam satu garis yang simetris terhadap titik tengah. Jarak antar
elektroda memiliki besar yang sama, yaitu 𝐴𝑀 = 𝑀𝑁 = 𝑁𝐵 = 𝑎 seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 2.8. Sehingga faktor geometri konfigurasi
Wenner dapat dirumuskan sebagai berikut:

1 1 1 1 −1
𝑘 = 2𝜋 (𝑎 − 2𝑎 − 2𝑎 + 𝑎) = 2𝜋𝑎 ..................... (2.29)

Nilai resistivitas semu pada pengukuran menggunakan konfigurasi Wenner


dapat diperoleh dengan persamaan berikut:

∆𝑉
𝜌𝑎 = 2𝜋𝑎 ........................................ (2.30)
𝐼
28

Gambar 2. 8 Geometri konfigurasi Wenner, [32].

Konfigurasi Wenner sangat baik untuk lateral profiling atau lateral mapping,
yaitu pemetaan untuk mengetahui variasi resistivitas secara lateral atau
horizontal. Hal ini dikarenakan pada konfigurasi Wenner, jarak antar
elektroda memiliki jarak yang tetap. Jarak antar elektroda arus listrik yang
dibuat tetap menghasilkan aliran arus listrik yang maksimal pada kedalaman
tertentu sehingga kontras resistivitas lateral atau horizontal dapat
diperkirakan. Penetrasi kedalaman konfigurasi Wenner dirumuskan sebagai
berikut [32] :

𝑍 = 𝑋𝐴𝐵 /3 = 𝑋𝑀𝑁 ................................... (2.31)

dimana Z adalah penetrasi kedalaman, XAB spasi elektroda arus, dan XMN spasi
elektroda potensial.

2.6.2 Induced Polarization (IP)

Metode induced polarization (IP) merupakan salah satu metode geofisika


yang memanfaatkan fenomena polarisasi karena adanya arus listrik yang
dilewatkan dalam medium. Prinsip pengukuran metode IP yaitu dengan
29

menginjeksikan arus ke dalam bumi kemudian mengamati beda potensial


yang terjadi setelah arus dimatikan. Metode IP banyak digunakan untuk
eksplorasi base metal [24]. Salah satu parameter yang terukur dari metode IP
yaitu chargeability. Chargeability tinggi merupakan indikasi keberadaan
mineral logam [11].

A. Sumber-sumber Penyebab Polarisasi


Terdapat dua mekanisme penyebab terjadinya polarisasi yaitu polarisasi
elektroda dan polarisasi membran. Penyebab polarisasi tersebut terjadi akibat
proses elektrokimia [7].
1. Polarisasi Membran
Polarisasi membran merupakan mekanisme adanya gerakan ion-ion dalam
fluida yang melewati struktur batuan. Polarisasi membran biasanya terjadi
pada batuan yang tidak mengandung mineral logam. Polarisasi ini
dipengaruhi porositas, kandungan lempung dan peranan fluida sebagai
penghantar arus. Gambar 2.9 (a) menunjukkan polarisasi membran terjadi
pada pori-pori batuan yang menyempit. Ketika arus memasuki pori-pori
tersebut, terjadi akumulasi ion positif di dekat ion negatif pada dinding
membran, sehingga ion negatif lainnya terakumulasi di seberang ion-ion
positif, sehingga terjadi pembentukan kutub-kutub. Gambar 2.9 (b)
menunjukkan polarisasi membran terjadi karena keberadaan mineral lempung
pada pori batuan. Mineral lempung yang mengandung muatan negatif
menarik muatan positif yang terdapat pada larutan elektrolit. Muatan negatif
yang tersebar pada larutan elektrolit akan menjauh dari partikel lempung.
Muatan positif yang telah terakumulasi akan menghambat elektron yang
berasal dari arus listrik yang diinjeksi saat diberikan beda potensial.
30

Gambar 2. 9 (a). polarisasi yang disebabkan oleh penyempitan pori-pori, (b). polarisasi
terjadi pada batuan yang mengandung mineral lempung [7].

2. Polarisasi Elektroda
Polarisasi elektroda merupakan mekanisme perbedaan konduktivitas ionik
dan elektronik karena adanya mineral logam. Polarisasi elektroda terjadi
karena terdapatnya kontak antara mineral konduktif dari batuan dan larutan
dalam pori-pori batuan. Peranan fluida dan mineral logam adalah dua hal
yang sangat dominan sebagai efek polarisasi terinduksi.

Gambar 2. 10 (a). Polarisasi pada batuan yang mengandung mineral, (b). polarisasi para
pori-pori batuan yang mengandung elektrolit [7].

Gambar 2.10 (a) menunjukkan polarisasi elektroda terjadi pada pori-pori


batuan yang mengandung mineral. Muatan positif dan negatif mengalami
pengutuban pada bidang batas antara mineral logam dengan larutan saat
dialirkan arus listrik. Gambar 2.10 (b) menunjukkan polarisasi elektroda
terjadi pada pori-pori batuan yang berisi larutan elektrolit. Ion positif
mengalir searah dengan arah aliran arus. Ion negatif mengalir berlawanan
arah dengan arah aliran arus.
31

B. Prinsip Pengukuran IP
Secara umum terdapat dua jenis tipe pengukuran metode IP yaitu pengukuran
dalam time domain dan frequency domain. Dalam penelitian ini tipe
pengukuran yang digunakan adalah time domain. Prinsip pengukuran time
domain yaitu mengamati perubahan beda potensial akibat adanya efek
polarisasi. Akibat adanya efek polarisasi, beda potensial yang terukur setelah
injeksi arus dimatikan tidak langsung menjadi nol, tetapi meluruh secara
perlahan menuju nol. Beda potensial yang terukur ketika arus diinjeksi
disebut potensial primer (Vp), sedangkan beda potensial yang terukur setelah
arus dimatikan disebut potensial sekunder (Vs).

Gambar 2. 11 Kurva peluruhan beda potensial setelah injeksi arus dimatikan [7]

Berdasarkan Gambar 2.11 parameter pengukuran time domain IP merupakan


rasio perbandingan Vs/Vp. Parameter ini lebih dikenal sebagai chargeability
dan biasanya dinyatakan dalam satuan mili-Volt per Volt atau persen.
Chargeability dapat dirumuskan sebagai berikut [7]:

𝑉
𝑀 = 𝑉𝑆 (mV/V atau %) .................................. (2.32)
𝑃
32

dimana VS merupakan tegangan yang terukur setelah arus dimatikan, VP


merupakan nilai tegangan primer ketika arus diinjeksi.

Chargeability dapat juga dihitung dengan mengintegrasikan peluruhan beda


potensial sekunder terhadap waktu dengan satuan waktu (mili sekon), seperti
yang ditunjukkan persamaan berikut:

1 𝑡2
𝑀 = 𝑉 ∫𝑡1 𝑉𝑆 (𝑡)𝑑𝑡 ........................................ (2.33)
𝑃

Dimana VS(t) merupakan peluruhan tegangan terhadap waktu.

C. Chargeability Semu
Parameter yang terukur dari pengukuran bukanlah nilai chargeability
sebenarnya tetapi nilai chargeability semu (Ma). Chargeability semu
menunjukkan lamanya proses polarisasi yang terjadi pada suatu batuan
setelah arus dimatikan. Chargeability semu merupakan rasio perbandingan
antara perubahan resistivitas semu (∆𝜌𝑎 ) dan resistivitas semu (𝜌𝑎 ).

∆𝜌𝑎
𝑀𝑎 = ................................................. (2.34)
𝜌𝑎

dimana 𝜌𝑎 adalah resistivitas semu dan ∆𝜌𝑎 merupakan perubahan resistivitas


semu.

Persamaan untuk menentukan chargeability semu untuk setiap benda


terpolarisasi di bawah permukaan dengan material yang berbeda-beda
dinyatakan oleh persamaan berikut [33]:

𝜕 log 𝜌𝑎
𝑀𝑎 = ∑𝑖 𝑀𝑖 𝐵𝑖 = ∑𝑖 𝑀𝑖 ................................... (2.35)
𝜕 log 𝜌𝑖
𝜕 log 𝜌 𝜕 log 𝜌 𝜕 log 𝜌
𝑀𝑎 = 𝑀1 𝜕 log 𝜌𝑎 + 𝑀2 𝜕 log 𝜌𝑎 + ⋯ + 𝑀𝑛 𝜕 log 𝜌𝑎 .................... (2.36)
1 2 𝑛
33

dimana 𝑀𝑖 adalah nilai total chargeability dari masing-masing material dan


𝜕 log 𝜌𝑎
𝐵𝑖 = adalah rasio perubahan resistivitas semu terhadap resistivitas
𝜕 log 𝜌𝑖

komponen tertentu.

2.7 Pemodelan Geofisika

Pemodelan geofisika terdapat dua jenis pemodelan, yaitu pemodelan maju


(forward modeling) dan pemodelan mundur (inverse modeling). Forward
modeling adalah pemodelan yang menggunakan logika matematika dan fisika
guna menggambarkan data yang terukur (theoretical data) dari model bawah
permukaan Forward modeling dibuat guna memahami perubahan anomali
terhadap setiap perubahan geometri dan nilai sifat fisis pada model yang
diberikan. Sedangkan, Inverse modeling adalah memperkirakan model bawah
permukaan berdasarkan data yang terukur. Model tersebut terdiri dari
representasi logika matematika dan fisika menggambarkan kondisi bawah
permukaan. Inverse modeling merupakan cara yang cocok digunakan untuk
memperkirakan model dengan data observasi. Untuk mencocokkan data
tersebut dapat dinyatakan dengan fungsi objektif yang merupakan fungsi selisih
theoretical data dengan observation data. Secara umum proses inversi linear
dapat dituliskan sebagai berikut:

𝑑 = 𝐺. 𝑚 ...................................................... (2.37)

dimana G adalah matriks kernel (N x M) yang memetakan sumber anomali


menjadi data observasi, dengan N adalah jumlah data dan M adalah jumlah
parameter model.

Anda mungkin juga menyukai