Anda di halaman 1dari 2

Kata orang, “menikmati rasa pahit lebih baik, dari pada mengkhayalkan rasa manis yang tak

pernah terwujudkan”.

Kurasa kutipan sederhana itu ada benarnya, untuk apa membuang-buang waktu hanya
untuk mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin?

Dulu, itulah kutipan yang selalu kupegang sebagai tempat bertumpu, menetapkan hatiku
sehingga meredupkan segala keraguan didalamnya. Hingga suatu ketika, sikancil itu datang
mengambil perannya dalam kisahku.

Tetap bijak dimanapun ia berpijak,

Sagara Biantara, bukan nama yang asing ditelinga para penghuni sekolah kami. Memiliki
segudang prestasi membawa nya mendapatkan gelar bintang sekolah, ia juga dikenal
dengan suaranya yang dapat memikat hati siapa pun. Sainganku dari jaman Majapahit
sampai sekarang.

Aku selalu menganggap Sagara Biantara sebagai sainganku, meski kami tidak pernah
melakukan interaksi secara langsung. Nilai kami selalu beda tipis, dan nilaiku selalu nyaris
sempurna, tapi Sagara selalu berada diatasku.

Ashana, atau biasa dianggil “Asha”.

Hobiku menulis. Bukan, bukan tipe yang begitu pandai menulis, Cuma menceritakan sekilas
tentang hari ini dan meluapkan isi kepalaku. Kertas menjadi temanku untuk berbagi, bahkan
kujadikan sarana bertukar pikiran dengan diriku sendiri.

Selain hobi menulis, aku juga suka membaca, terutama novel Tere Liye. Aku sudah
mengoleksi beberapa bukunya, dan salah satunya adalah yang sedang kucari-cari saat ini.

“oh, itu tadi gue kasih ke anak kelas sebelah, sha” jawabnya

“hah?! Gimana ceritanya bisa sampe kesebelah sih?” tanyaku. Buku yang awalnya hanya
kupinjamkan pada teman sebangku ku, kini entah telah berapa kali berganti tangan. Dan
teman ku ini adalah orang yang kutanyai buku ku itu.

“iya-iya, sorry ya..” ucapnya, sambil menggaruk kepalanya, meminta maaf.

“ke siapa emangnya?” tanyaku lagi.

“Itu loh.. tadi si Bian yang minjem sama gue” jawabnya.

“oh.. yaudah deh, aku samperin dulu bocahnya” ujarku, sambil berjalan menuju kelasnya
Bian.

Anda mungkin juga menyukai