Anda di halaman 1dari 14

Alkisah, dahulu kala. Terdapat desa yang bernama “Desa Jirah”.

Desa itu kaya akan hasil tani


yang melimpah serta memiliki pemandangan yang sangat indah. Desa ini masih termasuk ke
dalam wilayah Kerajaan Daha.
Jauh di ujung desa, terdapat sebuah pondok tua yang terpisah jauh dari penduduk lain.
Pondok tua itu dikelilingi oleh hutan jati, hingga membuatnya begitu gelap walaupun di siang
hari.
Pondok itu ditinggali oleh seorang janda bernama Ki Rangda atau biasa dijuluki warga desa
sebagai “Calon Arang” dan seorang anak gadisnya yang bernama Ratna Manggali.
Ki Rangda memiliki sifat yang sinis, hingga penduduk pun enggan untuk sekedar berkunjung.
Berbanding terbalik dengan anaknya, Ratna Manggali. Ratna memiliku sifat yang ramah dan
juga lemah lembut.
(Di Rumah)
Ki Rangda: “Ratna, dimana sesajen ibu?”
Ratna: “Bukankah sesajen itu sudah ibu taruh di ruang doa? Kalau ibu mau membakar dupa,
nanti aku ambilkan.”
Ki Rangda: “Kamu memang anak yang sangat baik Ratna, Ibu bangga memiliki anak
sepertimu. Sayangnya nasihmu belum juga mujur nak, harusnya di usiamu ini kamu sudah
menikah. Tapi sampai sekarang belum juga ada pemuda yang melamarmu.”
Ratna: (Tertawa canggung) “Jangan pikirkan itu bu, aku masih bahagia tinggal bersama ibu.
Aku ijin keluar sebentar ya bu.”
(Ratna keluar rumah lalu melamun)
Sifat Ki Rangda yang selalu bermusuhan dengan orang lain, membuat para lelaki enggan
untuk mendekati ratna manggali.
(Di luar rumah)
Warga 1: “Hey, kau lihat itu? Ada Ratna Manggali disana.”
Warga 2: “Mengapa dia termenung? Ayo kita hampiri dia.”
(Warga 1 dan 2 menghampiri Ratna)
Warga 1: “Permisi nona manis, maaf mengganggu. Apa ada yang sedang mengganggu
pikiranmu?”
Warga 2: “Kami melihatmu melamun sejak tadi.”
Ratna : “Ah tidak, aku tidak apa-apa tuan.”
(Ki Rangda keluar rumah)
Ki Rangda: “HEI SEDANG APA KALIAN?! APA KALIAN SEDANG MENGGODA
ANAKKU?!”
(Warga 1 dan 2 Panik)
Warga 1: (Gugup) “Ah t-tidak ki, kita hanya berkunjung sebentar. Kalau begitu kami ijin
pulang ki.”
Warga 2: “Betul apa katanya ki, kami duluan ya ki.”
(Warga 1 dan 2 langsung pergi)
Ki Rangda: (menghela nafas) “Hahh, dasar pemuda kurang kerjaan. Ratna. Jangan biarkan
penggangu itu datang kemari lagi. Ibu ingin lanjut berdoa.”
Ratna: (menunduk) “Baik bu.”
(Di ruang ritual, Ki Rangda sedang berdoa)
Semenjak kematian suaminya yang meninggal karena terkena ilmu hitam, semenjak itu pula
Ki Rangda menyembah Patung Dewi Durga untuk mendapat kesaktian supaya bisa membalas
dendam. Meskipun ia tidak tahu harus membalas dendam kepada siapa, karena pembunuh
suaminya tidak pernah diketahui.
(Calon arang selesai ritual)
(Di luar rumah)
Dendam kesumat ibunya membuat Ratna Manggali harus menanggung derita. Di kala
suasana hati ibunya sedang buruk maka ia akan memarahi Ratna, tapi berbeda di saat suasana
hatinya sedang baik maka ia akan mengobrol dengan Ratna membicarakan tentang masa
depan.
Ki Rangda: “Nak, kapan ya ada pemuda yang datang meminangmu. Ibu sudah tua, ibu takut
tidak bisa menjagamu lagi.”
Ratna: (tersenyum) “Ibu tenang saja, lagipula Ratna belum mau meninggalkan ibu sendirian
disini. Ratna ingin menjaga dan merawat ibu.”
KI Rangda: (terharu) “Bagaimanapun ibu sudah tua, ibu harap kamu mendapat lelaki yang
bisa menjaga kamu sebaik ibu.”
Ratna: (mengangguk) “Ini sudah malam bu, lebih baik kita masuk.”
(Ratna dan Ki Rangda masuk ke rumah)
Suatu hari datanglah seorang pemuda dari desa bagian barat, yang bernama I Made Widiasta.
Dia merupakan pemuda yang sealiran dengan Ki Rangda, ia datang dengan niat untuk
mengadu ilmu dengan Ki Rangda.
(Di pinggir sungai)
Widiasta: “Dimana ya rumah Ki Rangda, aku sudah mencari sejak tadi tapi tidak kunjung
ketemu.”
Lalu, Widiasta melihat Ratna yang sedang menyuci baju di sungai
Widiasta: “Sebaiknya aku bertanya kepada gadis itu.”
(Widiasta menghampiri Ratna)
Widiasta: “Permisi nona.”
Ratna: (Gugup) “Ah iya tuan, ada yang bisa kubantu?”
Widiasta: “Apakah kamu tahu dimana Ki Rangda tinggal?”
Ratna: “Rumah itu berada di tengah hutan jati, ada keperluan apa anda sampai harus bertemu
dengan Ki Rangda?”
Widiasta: “Saya harus menyampaikan amanat dari guru saya.”
Ratna: “Oh kalau begitu tunggu sebentar ya, kebetulan setelah itu saya pulang kesana.”
(Selesai menyuci)
Ratna: “Mari tuan, saya sudah selesai.”
Merekapun pergi ke rumah Ki Rangda, dengan rasa canggung Ratna Manggali selalu berjalan
di belakang Widiasta karena tidak terbiasa berjalan bersama seorang lelaki.
Sesampainya di rumah, Ratna langsung memanggil ibunya yang sedang bersemedi.
Ratna: “Ibu..ada utusan Dewi Durga yang ingin menyampaikan sesuatu kepada ibu.”
Buyarlah semedi Ki Rangda, dengan perasaan jengkel. Ki Rangda pun langsung keluar dari
ruang doa nya.
Ki Rangda: “Ada apa? Siapa yang mencariku? Mengganggu waktuku bersemedi saja.”
Ratna: “Anu bu, ada utusan dari Dewi Durga yang datang untuk menyampaikan sesuatu.”
Ki Rangda: “Dimana dia?”
Ratna: “Dia ada di luar bu.”
(Di luar rumah)
Ki Rangda: “Apa kau mencariku?”
Widiasta: “Betul ki, ada sesuatu yang harus ku sampaikan.”
Ki Rangda:” Apa itu?”
(Mengeluarkan kotak)
Widiasta: “Ini ada pemberian jimat dari guru, saya harap anda mau menerimanya.”
Ki Rangda: (menerima kotak) “Tentu dengan senang hati aku akan menerimanya.”

Rasa jengkel Ki Rangda seketika hilang ketika mengetahui bahwa ada seorang pemuda yang
sealiran dengannya. Hal itu membuat ki Rangda berharap widiasta dapat menjadi
menantunya.
Ki Rangda: "Dari pada kau harus menempuh perjalanan jauh'lagi , lebih baik kau tinggal
disini untuk sementara"
Widiasta:" Apa itu tidak merepotkan anda?"
Ki Rangda:" Tidak justru aku merasa senang. Lagi pula aku tahu kalau dirimu tertarik pada
putriku"
Widiasta:" Hahahaha, tidak heran jika orang sesakti dirimu dapat mengetahuinya"
Ki Rangda:" Kau harus sedikit berusaha untuk mendapatkannya karena putriku adalah gadis
yang pemalu"
Widiasta:" Tenang saja Ki akan ku perjuangkan cintaku"

Sejak saat itu hubungan widiasta dan Ratna manggali semakin akrab.
(Widiasta dan Ratna gandengan tangan di dalam rumah)
Widiasta:"(dalam hati) Beruntungnya aku bisa mendapatkan gadis secantik Ratna manggali,
hahahaha"
( Ki Rangda melihat dari dalam rumah )
Ki Rangda:" (dalam hati) Sepertinya rencana ku berhasil"

Berita kedekatan widiasta dan Ratna manggali tersebar luas ke penjuru desa. Banyak pemuda
yang tak suka dengan berita itu, lantaran sifat widiasta yang suka menggoda wanita lain.
Warga 1:" Kalian tahu? Kudengar si pemabuk widiasta itu semakin dekat dengan Ratna
manggali"
Warga 2:" Tidak mungkin aku tidak tahu, hampir satu desa membicarakan mereka."
Warga 3:" Bahkan aku dengar dengar katanya mereka akan menikah "
Warga 4:" Tidak bisa dibiarkan,kita harus memberikan pelajaran kepada si widiasta"
Warga 1:" Kamu benar, wanita sebaik Ratna manggali tidak boleh mendapatkan lelaki seperti
widiasta, dia harus diberi pelajaran" ( semua warga mengangguk)

Keesokan harinya dua orang gadis sedang berbincang ria setelah pulang menyuci dari sungai
Warga pr 1:"Sepertinya kita sudah lama tidak berkumpul dengan kawan kita, si Ratna
Manggali"
Warga pr 2:" Kamu benar, semenjak ayahnya meninggal ibunya menjadi sangat protektif
kepada"
Warga pr1:"Hmm, aku rindu saat kita bermain bersama dulu"
Warga pr2:"Kau ingat tidak saat kita dulu pulang sehabis menyuci di sungai, lalu Ratna saat
itu tidak melihat jalan sampai dirinya jatuh ke lumpur "
Warga pr1:" Hahaha tentu saja aku ingat, bahkan kita jadi harus kembali ke sungai lagi
karena cucian dia akan kita tercebur ke lumpur"
Warga pr2:"Hahaha, dia benar-benar menangis sangat kencang saat itu."
Warga pr1 : "Huh, benar-benar masa kecil yang indah."

Di waktu yang sama datang widiasta dalam keadaan terhuyung-huyung akibat minum arak.
Warga pr2 : (sinis) "Kau liat si widiasta itu, dia seperti orang gila"
Warga pr1 : " Hmm kau benar, tapi sepertinya ia berbahaya."
(Widiasta datang menghampiri warga perempuan itu)
Widiasta: (sambil mabuk) "Hai gadis2 cantik, kalian mau kemana?"
Warga pr2 : (ketus) "Tidak usah ikut campur urusan orang"
Widiasta: "Hai, kenapa ketus sekali cantik? (Sambil ngegodain)
Warga pr1 : "Jangan macam-macam kau, hanya pendatang tapi kurang ajar"
Widiasta: "Daripada marah-marah, lebih baik kalian bersenang-senang dengan ku (sambil
mau merangkul perempuan)
Warga pr2 : "Kurang ajar”
(Tampar widiasta)
Warga pr1 :"Kelakuan mu seperti binatang. Orang seperti Ki rangda pun pasti tidak sudi
punya menantu seperti mu
Warga pr2 :"Lebih baik kita beritahu Ki Rangda"
Widiasta: "Hahaha, coba saja kalau bisa, kalau kalian nekat akan kubunuh kalian."
Tak jauh dari sana terdapat warga lain yang melihat keributan itu, warga pun langsung datang
menghampiri nya
Warga 1 : "Kau itu laki-laki, tidak harus nya seperti itu kepada perempuan."
Warga 2 :"Jaga sikapmu kalau tidak mau di usir."
Warga 3 : "Hah, dasar pembuat onar"
Warga 4 : "Kita hajar saja seperti rencana kita kemarin"
Widiasta : "Wah berani-beraninya kalian mengganggu waktu kesenangan ku"
Warga 1 : "Minggir gadis-gadis, ini urusan kami"
(Widiasta dihajar warga)
(Widiasta bangkit)
Widiasta : "Huh hanya itu kah kemapuan kalian??" (widiasta sembari berubah)
Warga 1 : "Pantas saja orang tua itu merestui mu, ternyata kamu sama sesat nya seperti dia"
Warga 2 : " Hajar dia jangan sampai iblis itu membuat onar"
Warga 3 : " Ayo kita habisi dia"
Warga 4 : "Ayo"
(Mereka semua berantem)
(Widiasta lengah)
Warga 2 : " Aku memegang nya, cepat hajar dia"
(Widiasta di gebukin)
Warga 1 : "Akhir nya mati juga iblis ini"
Warga 3 : "Lebih baik buang dia ke sungai"
Warga 4 : "Betul, ayok angkat"
Dibawah lah widiasta ke sungai untuk di hanyutkan. Tidak jauh dari sana ada gadis lain yang
melihat widiasta telah di abisi oleh warga
Warga pr3 : "Apa yang harus kita lakukan?"
Warga pr4 : "Tidak tahu, apakah kita harus menolong nya?”
Warga pr3 : "Sepertinya kita terlambat, ia seperti sudah mati”
Warga pr4 : "Tapi apa yang terjadi hingga warga menghabisinya?"
Warga pr3 : "Kita harus memberitahu Ki Rangda"
(Warga pr 3 dn 4 ke rumah kiranda)
Warga pr4 : (mengetuk pintu) "Permisi, Ki Rangda (panik)
(Ratna membuka pintu)
Ratna : "Ada apa? Mengapa kalian terlihat panik?
Warga pr3 : "Kekasih mu. Widiasta tewas terbunuh warga"
Warga pr4 : "Aku sempat mendengar mereka ingin membuang nya ke sungai"
(Ki Rangda keluar dari dalam rumah)
Ki Rangda : (marah) "Apa? Siapa yang di buang ke sungai?"
(Semua terdiam)
Ratna : (panik) "Ibu... Mereka bilang widiasta tewas di bunuh"
Ki Rangda : "APA? CALON MENANTU KU DI BUNUH?! BESAR SEKALI NYALI
MEREKA SAMPAI BERANI MENCARI MASALAH DENGAN KU? APA MEREKA
TIDAK TAU?AKU INI CALON ARANG, MANUSIA TERKUAT DI DESA INI. AKU
BERSUMPAH AKAN KUBUNUH MEREKA SEMUA."
Ratna : "Ibu, tolong sabar ibu...(menengok ke arah temannya) kalian lebih baik pulang yaa,
terima kasih telah memberitahuku"
Warga pr3 : "Tidak apa Ratna, kalo begitu kami pulang"
Warga pr4 : "Jaga diri mu Ratna”
(Warga pr 3 dan 4 pergi dari rumah Ki Rangda)
Amarahnya Ki Rangda memuncak, lalu pergilah ia ke ruang doa untuk mendapatkan
kekuatannya. Seketika wujudnya berubah menjadi Calon Arang
Ratna:" Ibu... Hentikan Bu. Tolong bersabarlah."
Ki Rangda: " Minggir kau"

Lalu Ki Rangda keluar rumah untuk memanggil anak muridnya.


Ki Rongda: " Datanglah kalian wahai murid murid ku"
( Muridnya datang)
Murid 1:" Ada apa guru?"
Ki Rangda:" Ambilah ini dan bantu aku tebarkan ke seluruh penjuru desa"
Murid 2:" Apa ada lagi selain itu?"
Ki Rangda: “Tidak ada, pastikan tidak ada rumah yang terlewat "
Murid 1 dan 2: “Baik guru”
Ki Rangda yang sudah kepalang murka, pergi bersama muridnya ke desa untuk menabur
wabah yang menjijikan. Wabah itu ditaburkan dan seketika Desa Jirah pun tertutup oleh
Kabut tebal.
Disisi lain, kabar desa jirah yang terkena wabah sudah terdengar sampai ke kerajaan Daha.
Prajurit 1:" Yang Mulia, hamba datang membawa berita buruk. Salah satu desa anda, Desa
Jirah terkena wabah."
Raja: (terkejut) Apa?! Apa itu tidak salah?? Kemarin desa itu masih baik-baik saja”
Prajurit 2: “Wabah itu datang dengan sangat cepat layaknya halilintar wahai Paduka”
Raja: (berpikir sejenak) “Baiklah, siapkan kuda aku ingin melihat kondisi desa itu”
Lalu pergilah sang raja menuju desa Jirah. Alangkah terkejutnya sang raja saat melihat desa
jirah sedang dalam kondisi yang mengenaskan.
Raja: (menghelas nafas) “Padahal sedang mendekati musim panen, sekarang sawah-sawah itu
malah mengering dan mati”
Desa Jirah benar-benar dalam keadaan yang buruk, semua hasil tani bahkan hewan ternak
ikut menjadi korban wabah yang ditebarkan si Calon Arang. Setibanya di pemukiman, Sang
Raja lebih terkejut lagi ketika melihat semua penduduk terkena penyakit kulit yang sangat
menjijikkan. Melihat itu, sang raja pun mengumpulkan penduduk untuk mengetahui apa yang
terjadi.
Raja: “Wahai para penduduk, berkumpulah”
(Semua warga berkumpul)
Raja: “Katakanlah padaku, apa yang sebenarnya terjadi?”
Warga 1: “Mohon izin Yang mulia, ini semua ulah Ki Rangda”
Warga pr 5: “Betul Yang Mulia, entah apa yang terjadi padanya hingga membuat kami seperti
ini”
Warga pr 6: “Bukankah harusnya dia dihukum?”
Warga pr 5: “Betul yang dikatakannya Yang Mulia, kami tidak memiliki masalah dengannya
tapi orang tua itu seenaknya menebar wabah pada kami!”
Warga 1: “Penyihir seperti dia lebih pantas dihukum mati, Setuju??”
Semua warga: “Setuju” (Lalu warga ricuh)
Raja: “Tenanglah, aku akan memgadilinya sesuai hukum kerajaan. Lebih baik sekarang
kalian pulang dan beristirahatlah”
Setelah itu para penduduk pun pulang. Lalu tidak lama setelahnya, Ki Rangda dan Ratna
Manggali dipanggil untuk menghadap Yang Mulia Raja.
Ki Rangda mendongakkan kepalanya dengan sombong, berbeda dengan Ratna Manggali
yang hanya bisa menunduk karena malu dengan apa yang ibunya telah perbuat.
(Di kerajaan)
Raja: “Ki Rangda, mengapa kau melakukan hal keji seperti itu? Kau membuat rakyatku
menderita. Kau boleh saja memiliki ilmu hitam, tapi jangan berani-beraninya kau sakiti
rakyatku”
Ki Rangda: “Yang Mulia, kau harus tau kalau perbuatan mereka juga kejam kepada hamba
dan anak hamba”
Raja: “Memangnya apa yang rakyatku lakukan padamu?”
Ki Rangda: “Mereka dengan sadisnya membunuh calon menantuku dan membuang jasadnya
ke sungai”
Raja: (menoleh ke Ratna)“Apa benar yang dikatakan ibumu, Ratna Manggali?”
Ratna: “Ampun Baginda, yang dikatakan ibuku memang benar. Tapi apa yang dilakukan
warga juga ada benarnya”
(Ki Rangda terkejut)
Ki Rangda; “Apa?”
Ratna: “Waktu itu, hamba pernah mengikutinya dan mendapatinya tengah bermabuk-
mabukkan dan menggoda wanita. Karena itu lah para warga membunuhnya”
Ki Rangda: “Mengapa kau tidak bilang padaku?! Kau membuatku malu”
(Prajurit mau nengahin)
Ki Rangda: “Kalian jangan ikut campur urusanku kalau masih ingin hidup. Ratna, ayo
pulang!!!”
(Ki Rangda nyeret Ratna)
Ki Rangda: (melihat ke arah raja) “Kalian..tunggu pembalasanku!!”

Setelah mengucapkan sumpah serapah, Ki Rangda pun meninggalkan tempat itu. Sang Raja
memutuskan bahwa Ki Rangda harus dihukum dengan cara dibunuh.
Raja: “Kalian, malam ini pergilah ke Rumah Ki Rangda. Dan habisi dia ketika ia sedang
tertidur”
Prajurit 1: “Bukankah itu terlalu beresiko Yang Mulia?”
Raja: “Sihirnya tidak akan aktif ketika ia sedang tertidur, aku percayakan tugas ini kepada
kalian. Dengan menghabisinya, maka tidak akan ada lagi yang membuat rakyatku resah”
Prajurit 2: “Baik Yang Mulia, kami mohon izin untuk bersiap”
Raja: “Berhati-hatilah”
Prajurit 1 dan 2: “Siap Yang Mulia”
Malam harinya, kedua prajurit itu pergi ke Rumah Ki Rangda. Mereka berhasil masuk dan
berniat membuka ruang doa, tapi naasnya..
(BRAKK)
(Calon Arang keluar dari Ruang doa)
Ki Rangda tahu bahwa dirinya sedang dalam bahaya, karena itu ia tidak tertidur dan memilih
untuk melakukan ritual.
Ki Rangda: “Kalian kira aku sebodoh itu?”
(Prajuritnya panik)
(Ki Rangda ngebanting prajurit keluar)
Ki Rangda: “Katakan pada raja lemahmu itu, dia sendiri yang harus mengalahkanku
HAHAHAHA”
Prajurit 1: (panik) “Kita harus kembali ke kerajaan”
Prajurit 2: “Iya, aku takut raja akan dibunuh olehnya”
(Prajurit 1 dan 2 pergi sambil jalan tertatih-tatih)
Ki Rangda: “HAHAHAHA DASAR MANUSIA LEMAH!!”
Gema suara Calon Arang memecah keheningan malam, hingga sampai ke penjuru negeri.
Dan ia memanggil muridnya lagi untuk menebar teror ke seluruh penduduk hingga kerajaan.
Murid 1: “Ku pastikan hidup kalian tidak akan tenang untuk selamanya”
Murid 2: “Ini adalah balasan kalian karena membuat guru kami hidup tersiksa”
Murid 1: “HAHAHAH KALIAN HARUS MERASAKAN APA YANG DIRASAKAN
OLEH KI RANGDA SELAMA BERTAHUN-TAHUN”
Murid 2: “MANUSIA MUNAFIK, MATILAH KALIAN!!”
(Nebar wabah lagi)
Keesokan harinya, sang raja yang mengetahui bahwa teror Ki Rangda sudah sampai ke
kerajaan pun mengutus prajuritnya untuk menemui seseorang yang bisa melawan Ki Rangda.
Raja: “Kalian, temuilah Mpu Bharada. Ia adalah jalan satu-satunya untuk mengakhiri teror
ini”
Prajurit 1: “Tapi dimana ia berada sekarang?”
Raja: “Ia berada di Padepokan”
Prajurit 2: “Baik Yang Mulia, kami akan menemuinya”
Raja: “Bergegaslah, sebelum Ki Rangda memulai terornya lagi”
Kedua Prajurit itu pun pergi menemui Mpu Bharada, guru Ki Rangda dahulu sebelum
menjadi sesat seperti sekarang. Sesampainya di Padepokan, prajurit itu langsung menemui
Mpu Bharada untuk menyampaikan amanat dari Sang Raja sekaligus menceritakan apa yang
terjadi di kerajaan Daha.
Prajurit 1: “Mpu Bharada, maaf karena mengganggu waktumu. Kami adalah utusan dari Raja
Airlangga, kami datang untuk menyampaikan amanatnya”
Mpu Bharada: “Apa yang ingin disampaikan olehnya?”
Prajurit 2: “Keadaan kerajaan dan juga desa sedang kacau karena perbuatan Ki Rangda yang
menjelma menjadi Calon Arang dan menebar wabah ke seluruh penjuru desa”
Prajurit 1: “ Yang Mulia meminta tolong padamu untuk mengakhiri teror ini, karena hanya
engkaulah yang sanggup melawannya”
Mpu Bharada: “Rangda adalah muridku pada waktu dahulu, rupanya sifat keras dalam
dirinya belum juga hilang, masih sama seperti dulu. Aku akan membantu kalian, lebih baik
sekarang kalian pulang.”
Prajurit 1: “Baiklah, terimakasih mpu”
Mpu Bharada: “Ya, berhati-hatilah”
Sepulangnya para prajurit itu, Mpu Bharada memikirkan cara untuk menghentikan Ki
Rangda, mantan muridnya yang sekarang menjadi sesat. Lalu terlintas satu cara di benaknya,
dan ia berniat untuk mengutus salah satu muridnya Bahula untuk membantunya
(Bahula pas-pasan lewat)
Bahula: “Mpu, apa yang sedang kau pikirkan?”
Mpu Bharada: “Oh? Bahula? Baru aku akan memanggilmu”
Bahula: “Apa ada yang harus aku lakukan?”
Mpu Bharada: “Kau pasti pernah mendengar tentang cerita murid terdahulu yaitu Rangda, ia
sekarang membuat kekacauan di desanya dan aku harus menghentikannya”
Bahula: “Lalu apa yang bisa kubantu?”
Mpu Bharada: “Pergilah kau ke desa Jirah, hentikan amukannya”
Bahula: “Apakah kau yakin aku mampu melakukannya?”
Mpu Bharada: “Kau pasti bisa, kau hanya harus mendekati anak gadisnya. Ia sangat
menyayangi anaknya, dan kau harus menikahinya. Selama ini, para pemuda terlalu takut
untuk mendekati anak gadisnya, dan dengan kehadiranmu pasti Ki Rangda akan melunak”
Bahula: “Apakah mpu yakin dengan cara ini wabah bisa dihentikan?”
Mpu Bharada: “Aku sangat yakin, dengan hatinya yang melunak pasti ia mau mencabut
mantra-mantra kutukan itu”
Bahula: “Baiklah mpu, aku akan melakukannya”
Bahula pun pergi menuju desa Jirah, saat di sungai ia melihat seorang gadis dan ia pun
menghampiri gadis itu untuk menanyakan letak rumah Ki Rangda.
Bahula: “Permisi adik”
Ratna: (terkejut) “Siapa kau?!”
Bahula: “Ah maaf aku tidak berniat mengganggumu, apakah kau bisa mengantarku ke rumah
ki Rangda?”
Ratna: “Siapa kau? Kau bukan warga desa ini”
Ratna Manggali sangat takut kejadian yang sama terulang lagi seperti pertemuannya dulu
dengan widiasta
Bahula: “Aku bahula, murid dari Mpu Bharada”
Ratna: (Terkejut) “Mpu Bharada? Baiklah aku akan mengantarmu”
Lalu diantarlah Bahula menuju rumah Ki Rangda
Ratna: “Ini dia tuan, rumah Ki Rangda”
Bahula: “Baiklah, terima kasih sudah mengantarku”
Ratna: “Tidak masalah, aku permisi dulu, ada yang harus ku lakukan”
Lalu, Mpu Bharada pun berniat mengetuk pintu itu, tapi tiba-tiba dari dalam rumah keluar
seorang wanita tua.
Ki Rangda: “Siapa kau?! Dan apa maumu?”
Bahula: (dengan santun) “Saya bahula, murid Mpu Bharada”
Ki Rangda: “Mpu Bharada? Hahaha akhirnya ia mengirimkan anak muridnya juga. Mari
masuk anak muda, selamat datang di gubuk tua ini”
(Di dalam rumah)
Ki Rangda: “Jadi, apa tujuanmu sampai jauh-jauh kemari?”
Bahula: “Saya kemari bermaksud untuk melamar anakmu”
Ki Rangda: “Hahaha, betapa leganya dadaku ini. Akhirnya jodoh anakku telah datang, kau
memang ksatria sejati karena berani melamar anakku Hahahaha”
Bahula yang melihat perilaku Ki Rangda sedikit takut, karena jika ibunya saja seperti ini
bagaimana dengan anaknya? Mungkin lebih buruk lagi, itulah yang dipikirkan oleh Bahula
Ki Rangda: “Ratna Manggali, kemarilah, temui calon suamimu”
Tapi tidak seperti yang dibayangkan, dari kamar munculah seorang gadis cantik yang ternyata
adalah gadis yang ia temui sebelumnya. Seketika hati Bahula pun bahagia karena gadis cantik
ini adalah calon istrinya.
Selang beberapa hari kemudian, pernikahan Ratna dan Bahula pun diselenggarakan.
Pernikahannya diselenggarakan dengan sederhana di rumah Ki Rangda. Ki Rangda sangat
senang hingga melupakan dendamnya kepada penduduk.
Ki Rangda: “Berbahagialah kalian anakku”
Mpu Bharada yang mendengar kabar pernikahan Ratna dan Bahula pun turut datang.
Mpu Bharada: “Lama tidak berjumpa, Ki Rangda”
Ki Rangda: “Mpu? Ada perlu apa sampai datang jauh kemari”
Mpu Bharada: “Aku kesini untuk menjenguk anak muridku (nengok ke arah Bahula)
Bahula, ikut aku sebentar”
(Mpu Bharada dan Bahula ngejauh)
Mpu Bharada: “Bahula, aku ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu. Dan tugasmu
sudah selesai, setelah ini biarkan aku yang mengambil alih”
Bahula: “Baiklah mpu”
Kehadiran Bahula membuat rasa dendam Ki Rangda berkurang, bahkan Ki Rangda sudah
jarang menyembah Patung Dewi Durga. Mpu Bharada pun sering membimbing Ki Rangda
agar Ki Rangda kembali ke jalan yang benar.
Suatu malam, Ratna mengajak Ki Rangda untuk membicarakan sesuatu.
Ratna: “Bu, bisakah mulai sekarang ibu tidak menyembah Patung sesat itu lagi dan kembali
ke jalan yang benar? Aku sudah menikah dan suamiku akan menjagaku, ibu tidak perlu ilmu
hitam itu lagi”
Ki Rangda hanya terdiam mendengar permintaan anaknya
Ki Rangda: “Aku tidak bisa berjanji, karena aku sudah terikat dengan Patung itu dan aku
harus terus menyembahnya”
Ratna: “Apa ibu tidak takut jika nanti Tuhan menghukum ibu? Aku tidak pernah meminta
apapun pada ibu, namun untuk kali ini aku mohon turutilah permintaanku bu”
Ki Rangda hanya terdiam dan meninggalkan Ratna menuju kamarnya
Ki Rangda: “Apa aku harus menuruti permintaannya? Tapi Dewi Durga bisa murka kepadaku
jika aku ingkar kepadanya. Tapi..Ratna, aku tak pernah melihatnya memohon padaku sampai
seperti itu. Apa yang harus ku lakukan?”

Ki Rangda pun tertidur setelah lama merenung, saat tertidur ia bermimpi dihampiri oleh
Calon Arang. Calon Arang itu sangat marah kepada Ki Rangda karena Ki Rangda telah lalai
dengan kewajibannya menyembah Dewi Durga.
Keesokan harinya, Ki Rangda jatuh sakit. Dan saat membuka mata terdapat Mpu Bharada di
sebelahnya sedang berdoa.
Ki Rangda: “Mpu”
Mpu Bharada: (Berhenti berdoa) “Kau sakit, apa kau butuh sesuatu?”
Ki Rangda: “Aku merasa kalau ajalku sudah dekat, tapi aku tidak ingin mati sebagai pendosa,
tolong sucikan aku”
Mpu Bharada: “Aku bisa menyembuhkanmu”
Ki Rangda: “Tidak, aku sudah cukup lelah untuk hidup. Aku ingin beristirahat”
Mpu Bharada: “Baiklah, jika itu maumu”
(Mpu Bharada bersihin Ki Rangda dari dosa2nya)
Setelah disucikan, keadaaan Ki Rangda semakin memburuk, dengan susah payah Ki Rangda
meminta Mpu Bharada untuk memanggil Ratna.
Ki Rangda: “T-tolong, panggil Ratna kemari”
Mpu Bharada kemudian memanggil Ratna, tak lama kemudian datanglah Ratna bersama
Bahula.
Ratna: (mau nangis) “Ibu..apa yang terjadi padamu?”
Ki Rangda: “Nak, ajalku sebentar lagi akan datang. Berjanjilah pada ibu kau akan hidup
dengan baik”
Ratna: “Tidakkk!!! Ibu masih bisa sembuh”
Ki Rangda: (menggeleng) “Tugasku sudah selesai untuk menjagamu, Bahula kemarilah”
(Bahula ngedeket)
Bahula: “I-ya bu?”
Ki Rangda: “Tugasku sudah selesai, sekarang giliranmu untuk menjaganya. Jagalah dia
sebaik aku menjaganya, jangan biarkan anakku sampai tersakiti”
Bahula: “Aku berjanji akan menjaganya dengan jiwa dan ragaku”
Ki Rangda: “Ratna, ibu pergi ya”
Ratna: “Tidakkkk!!! Ibu!! (Histeris)
Bersamaan dengan kepergian Ki Rangda, berakhirlah teror Calon Arang. Hujan pun turun
meluruhkan wabah di desa Jirah, pada akhirnya desa itu pun kembali tentram seperti semula.
Dan kisah Calon Arang ini pun berakhir.

Anda mungkin juga menyukai