Anda di halaman 1dari 2

‘PRADUGA TAK BERSALAH’ DAN RAKYAT AWAM

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan penetapan Budi Gunawan—calon tunggal KAPOLRI yang
diajukan Presiden Jokowi ke DPR—sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh KPK. Beberapa jam
berselang, para pihak yang berkepentingan langsung berusaha menggiring opini melalui media
massa dan media sosial. Salah satu upaya penggiringan opini yang menarik adalah usaha beberapa
elit politik dalam meyakinkan rakyat awam hukum (yang tidak memahami atau perduli tentang
terminologi hukum) untuk melihat permasalahan melalui asas ‘praduga tak bersalah.’

Hal ini menarik untuk didiskusikan. Asas praduga tak bersalah—bahwa seseorang dianggap tidak
bersalah sampai dinyatakan sebaliknya oleh putusan pengadilan—adalah suatu asas yang sulit untuk
diterapkan dalam pemikiran sehari-hari. Apakah benar rakyat biasa seperti kita wajib dan perlu
untuk menerapkan asas tersebut dalam kehidupan sehari-hari? Perenungan pribadi saya menjawab:
“tidak.”

Melalui tulisan ini saya akan menjelaskan mengapa asas praduga tak bersalah bukan asas yang tepat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan, sebagai konsekuensinya, dalam memandang
penunjukan calon KAPOLRI ini.

Hakekat dan Tujuan Asas Praduga Tak Bersalah

Saya teringat dengan idiom yang menyatakan:

“…if it looks like a duck, swims like a duck, and quacks like a duck, then it probably is a duck
(jika sesuatu terlihat menyerupai bebek, berenang seperti bebek, dan bersuara seperti
bebek, maka kemungkinan benda tersebut adalah seekor bebek)…”

Cara pemikiran di atas tentunya sejalan dengan akal sehat. Bila kita memiliki cukup bukti untuk
memaknai suatu kenyataan, maka seringkali—tidak selalu, tapi sering—pemaknaan kita terbukti
pada akhirnya. Sebagai contoh, bila kita melihat seseorang mengendap-endap seraya mengambil
dompet orang lain tanpa sepengetahuan orang yang dompetnya diambil, maka kemungkinan kita
baru saja menyaksikan berlangsungnya pencurian.

Asas praduga tak bersalah, di sisi lain, meminta kita untuk tidak segera meyakini kecurigaan
tersebut. Asas praduga tak bersalah meminta kita untuk menunggu berbulan-bulan (bahkan
mungkin bertahun-tahun) sampai diterbitkannya sebuah putusan yang final dan mengikat oleh
pengadilan yang mengkonfirmasi/membantah kecurigaan kita.

Apa rasio dibalik asas yang berlawanan dengan insting manusia tersebut?

Ternyata hukum acara pidana ingin memberikan keadilan bagi terdakwa. Hukum acara pidana
memberikan beban untuk penyidik dan penuntut umum untuk mencari bukti dan membuktikan
kesalahan terdakwa—agar jangan sampai pengadilan menjatuhkan sanksi pidana bagi orang yang
sebenarnya tak bersalah.

Hal ini dikarenakan sanksi pidana di desain untuk menjadi sanksi paling berat yang dapat dijatuhkan
negara. Dengan demikian akanlah sangat tidak adil bila orang yang tidak bersalah dijatuhi sanksi
pidana. Di sini kita melihat dinamika yang jelas dan dapat dipahami—untuk menjatuhkan sanksi
paling berat, sudah sewajarnya negara memakai standar paling hati-hati agar bisa menghasilkan
keputusan yang akurat.
Selanjutnya, penerapan asas praduga tak bersalah bukannya tanpa batasan. Terbukti, saat telah
diterjemahkan menjadi norma-norma yang dapat dipraktikan dalam hukum acara pidana, asas ini
gagal dalam menghalangi tersangka dan terdakwa untuk ditahan, diborgol, dicekal dan/atau dipaksa
menghadiri persidangan. Padahal orang yang tidak bersalah seyogyanya tidak dihalangi
kebebebasannya untuk berpergian kemanapun ia mau, bukan?

Urgensi Penggunaan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Kehidupan Sehari-hari dan Alasan untuk
Tidak Menggunakannya

Refleksi di atas memiliki beberapa implikasi penting.

Pertama, asas praduga tak bersalah tercipta untuk melegitimasi sanksi pidana. Penting bagi kita
untuk menanyakan kepada diri sendiri, saat kita meyakini bahwa sang calon tunggal KAPOLRI telah
melakukan tindakan korup, apakah keyakinan tersebut kita adopsi dalam rangka menjatuhkan sanksi
pidana terhadap orang tersebut?

Jawabannya adalah tidak. Kita menyadari bahwa sebagai rakyat biasa, kita tidak memiliki
kewenangan dan diskresi untuk memenjarakan seseorang—penegak hukum terkaitlah yang
memilikinya. Kita hanya ingin mencibir, beropini, dan mengungkapkan keberatan kita atas
pengangkatan seseorang—yang terindikasi korupsi—sebagai KAPOLRI.

Kecurigaan dan keyakinan kita tentang bersalahnya calon KAPOLRI tersebut hendaknya tidak
mempengaruhi integritas persidangan yang akan dilaksanakan nanti (dan asas praduga tak bersalah
yang akan diterapkan di dalamnya). Kecurigaan dan keyakinan tersebut semata-mata didasarkan
oleh bukti-bukti yang kita miliki sampai saat ini (e.g. adanya transfer miliaran rupiah dan rekening
yang saldonya tidak wajar).

Poin kedua yang patut diperhatikan adalah, bila kita memakai proses hukum sebagai perbandingan
dalam penerapan asas praduga tak bersalah maka, sebagaimana disinggung di atas, terlihat bahwa
hukum acara pidana sendiri tidak secara murni menerapkan asas ini. Bila penyidik diberikan
kewenangan untuk menahan tersangka tindak pidana berdasarkan “kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan mengulangi
tindak pidana (Pasal 21 KUHAP),” mengapa kita dilarang untuk sekedar mencibir, beropini, dan
bahkan berdemonstrasi berdasarkan ‘kekhawatiran’ serupa?

Dengan demikian, kesimpulan yang sewajarnya dapat ditarik dari pemikiran ini adalah bahwa
tidaklah salah bagi rakyat biasa untuk menggunakan pikiran dan penalarannya sendiri dalam
memutuskan bersalah atau tidaknya seseorang berdasarkan bukti-bukti yang telah terekspos.
Pendirian ini tentunya diambil dengan tetap menghormati asas praduga tak bersalah yang akan
diterapkan dalam proses hukum yang sedang dan akan berjalan.

Anda mungkin juga menyukai