Anda di halaman 1dari 4

KONFLIK IRAN DAN AMERIKA SERIKAT

Pada awal tahun 2020, Iran melakukan serangan kepada Amerika Serikat dengan
meluncurkan puluhan rudal ke markas tantara AS yang ada di Irak. Penyerangan ini
merupakan serangan balasan atas serangan drone Amerika Serikat yang menewaskan
mayor jendral Qasem Soleimani. Iran juga mengatakan akan memberikan serangan yang
“lebih menghancurkan” jika Amerika melancarkan serangan lebih lanjut.

Iran dan Amerika Serikat merupakan negara yang sudah berada dalam konflik
cukup lama. Awal keretakan hubungan Kerjasama antara Iran dan Amerika Serikat
dimukai sejak kemenangan revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Karena hal ini, raja Iran
saat itu, Mohammed Reza Pahlevi, yang didukung AS terpaksa meninggalkan Iran karena
revolusi rakyat Iran yang memrotes berbagai kebijakan rezim monarkinya. Kemudian raja
Reza digantikan oleh pemimpin revolusi, Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini dan Iran
berubah menjadi Republik Islam Iran.

Sejak saat itu, ketegangan-ketegangan diantara keduanya dimulai. Pada masa awal
revolusi Iran, AS diduga berupaya melakukan sabotase yang kemudian dibalas oleh para
pemuda Iran dengan menyandera warga negara AS yang berada di kedutaan besar AS di
Teheran selama 444 hari (4 November 1979- 20 Januari 1981). Akibat penyanderaan itu,
AS memutuskan hubungan diplomasi dengan Iran dan pada tanggal 4 November 1979,
presiden AS saat itu, Jimmy Carter, membekukan semua harta kekayaan Iran yang berada
di wilayah hukum AS.

Iran merupakan salah satu negara yang termasuk dalam deretan negara yang
mengembangkan nuklir dengan tujuan pengembangan energi. Dan pada tahun 1953, Iran
yang mendapat dukungan penuh dari AS melalui perjanjian Kerjasama nuklir sipil
sebagai bagian dari program “atom for peace”. Perjanjian itu kemudian dilanjutkan oleh
pemerintah Iran dengan membangun pusat penelitian nuklir di universitas Teheran pada
tahun 1959 yang diresmikan pada tahun 1967 dan dioperasikan oleh AEOI (atomic energy
organization of Iran). Kemudian pada 1 Juli 1968, Iran menandatangani perjanjian NPT
(Non-Proliferation Treaty) yang kemudian diratifikasi oleh parlemen Iran pada 5 Maret
1970.
Namun selanjutnya, Iran dicurigai oleh negara-negara Barat seperti Amerika
Serikat dan Uni Eropa bahwa Iran telah berupaya mengembangkan program nuklirnya
untuk tujuan militer. Dan Amerika yang dulu pernah mendukung rogram nuklir Iran,
justru menjadi negara yang sangat menentang keberadaan nuklir Iran di Kawasan Timur
Tengah dan sangat aktif bersuara untuk menuntut Iran mengehentikan program nuklirnya.

Amerika Serikat melakukan ini untuk karena merasa khawatir akan timbulnya
rezim pembangkang seperti Irak dan Taliban yang secara vocal menentang kabijakan
Amerika Serikat. Apalagi Iran sebagai negara yang secara potensial sangat mampu dan
berpeluang melakukan transformasi dari nuklir energi menjadi program nuklir senjata.
Amerika-pun melakukan berbagai cara untuk menghentikan pengembangan nuklir Iran,
diantaranya:

1. Amerika menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran. Sanksi ini meliputi sector
otomotif, logam mulia, bahan makanan, perdagangan, sector migas, dan bank sentral.
Dan akibat sanksi ini, nilai mata uang Iran jatuh lebih dari 100% yang mengakibatkan
terjadinya kenaikan harga barang domestic Iran secara signifikan.
2. AS berdiplomasi dengan negara lain untuk ikut memberikan sanksi ekonomi terhadap
Iran, terutama negara Eropa sebagai sekutu AS. AS mengancam dan memblokir pasar
AS terhadap perusahaan Eropa apabila Eropa tidak ikut memberikan sanksi ekonomi
terhadap iran.
3. AS menggunakan Organisasi Internasional PBB untuk memberikan sanksi kepada
Iran. AS merupakan negara yang sangan penting di PBB karena merupakan salah satu
penyumbang dana yang besar di PBB, sehingga AS memiliki posisi strategis untuk
mengontrol resolusi dan kebijakn di PBB.

Lalu pada tanggal 14 Juli 2015, setelah melalui negosiasi tingkat tinggi, AS
Bersama negara-negara P5+1 (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, China, Russia+ Jerman)
akhirnya bersedia menandatangani kesepakatan nuklir JCPOA (Joint Comprehensive
Plan of Actions). Dibawah kesepakatan ini, Iran berjanji akan membatasi program
nuklirnya sampai pada level tertentu. Dan sebagai kompensasinya, AS dan negara Barat
lainnya bersedia mengehentikan berbagai sanksi ekonomi terhadap Iran. Tetapi perjanjian
ini ditentang oleh banyak politisi partai Republik. Bahkan, Ketika Donald Trump
berkampanye, ia berjanji akan mengakhiri perjanjian tersebut jika menang dalam pemilu
presiden 2016.

Pada tahun 2018, Donald Trump terpilih sebagai presiden AS. Trump menepati
janjinya dengan mengumumkan mundurnya AS dari JCPOA pada 8 Mei 2018 dan
mengan cam akan menerapkan sanksi ekonomi yang lebih keras pada Iran. Kemudian
pada tanggal 7 Agustus 2018, pemerintahan Trump menerapkan embargo tahap pertama
yang melarang semua perusahaan AS untuk berbisnis dengan Iran di bidang aeronautika,
mobil, karpet, hingga emas. Kamudian pada November 2018, sanksi tahap kedua yang
berupa pembatasan Kerjasama industry minyak dan perbankan diterapkan. Akibatnya,
perekonomian Iran terdampak sangat buruk.

Dan manuver Trump berlanjut pada tanggal 8 April 2019, Ketika ia mengumukan
bahwa militer Iran, Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC) sebagai organisasi teroris
asing (Foreign Terrorist Organization-FTO). Ini adalah pertama kalinya AS secara resmi
menetapkan militer negara lain sebagai “kelompok teroris”. Dengan pernyataan tersebut,
segala aliran keuangan dan perjalanan yang terkait dengan IRGC pun menjadi terlarang
dan bisa dikenai sanksi. Kemudian Iran merespon manuver tersebut dengan
mendeklarasikan AS sebagai “negara sponsor terorisme” dan militer AS yang berada di
Kawasan Timur Tengah sebagai “Kelompok teroris”.

Dan puncaknya adalah Ketika komandan pasukan Quds pada garda revolusi Iran,
Mayor Jendral Qasem Soleimani dibunuh pihak Amerika Serikat di Baghdad, Irak. Iran
pun meradang dan mengancam akan melakukan serangan balas dendam. Tetapi tidak
hanya serangan balas dendam, Iran juga memutuskan untuk mengabaikan Batasan
pengayaan nuklir dalam perjanjian 2015.

Konflik antara Iran dan Amerika Serikat in itidak mungkin mampu diselesaikan
kecuali dengan menyamakan persepsi politik dan kebijakan AS. Hal ini dibuktikan
dengan terbuktinya Iran tidak mengembangkan nuklir ditolak oleh AS. Artinya, AS akan
selalu menolak apapun informasi yang benar dari aktifitas nuklir Iran dikarenakan
persepsi dan kebijakan politik Iran yang tidak searah dengan AS.
DAFTAR PUSTAKA

Sundari, Rio. (2020). “Strategi Amerika Serikat Dalam menekan Pengembangan Nuklir
Iran”, Frequency of International relations, 1(2): 315-338.

TanBrani, Dio., Wakidi., & M, Syaiful. (2017). “Kebijakan Politik Luar Negri Amerika
Serikat Terhadap Program Nuklir Republik Islam Iran”. Diakses pada: 07 Oktober
2020.

Rachmadianti, Amanda., Kusuma, Sugianto., & Prabhawati, Adhinigasih. (2012).


“Kebijakan Luar Negeri Iran Terhadap Amerika Serikat Mengenai Isu Nuklir pada
masa Hasan Rouhani”, Unej JurnaL, 1(1): 1-15.

Nainggolan, Poltak. (2020). “Pembunuhan Soleimani dan Eskalasi Konflik AS-Iran”,


Info Singkat Bidang Hubungan Internasional, 2(2): 7-12.

Paramasatya, Satwika., & Wiranto, Sigit. (2019). “Konfrontasi Amerika Serikat dan Iran
dalam Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)”, Jurnal Hubungan
Internasional, 7(2): 297-309.

Anda mungkin juga menyukai