Anda di halaman 1dari 6

TERBATAS

RESOLUSI BARU DK PBB

TAK PENGARUHI HUBUNGAN RI-IRAN

Pemerintah Indonesia meyakinkan keputusan menerima keputusan DK PBB


dalam resolusi yang ditujukan terhadap Iran, tidak akan mengganggu hubungan
diplomatik dengan Iran. Menurut Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, keputusan
itu diambil dengan tujuan mencari solusi damai dalam kasus program nuklir Iran.
"Sejak tahun lalu ketika isu nuklir muncul pertama kalinya, kita sudah sangat
konsisten, jadi tidak ada yang berubah dari sikap kita terhadap Iran, mendukung hak
Iran untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai. Dan kita melihat memang
resolusi itu mengandung elemen sanksi, tetapi sanksi itu bukan tujuan akhir, tapi
proses persuasif kearah perundingan damai. Mudah-mudahan apresiasi itu yang juga
ada dengan pihak Iran, "katanya usai melantik pejabat eselon II di Gedung Pancasila,
Departemen Luar Negeri.

Menurutnya, Indonesia belum berencana untuk mengadakan pertemuan


dengan pihak Iran dalam hal ini Menteri Luar Negeri Iran, untuk membahas hasil
keputusan resolusi tersebut. Mengenai hak interpelasi yang akan diajukan DPR
terkait dengan keputusan Indonesia itu, Menlu menyatakan, pihaknya sudah
melakukan kontak-kontak dengan pihak DPR, namun pihaknya akan membuka diri
apabila DPR lebih dulu mengedepankan proses dialog.

Untuk menegaskan penguatan hubungan bilateral antara Indonesia dan Iran,


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berkunjung ke negara itu pada 10 Maret
2008 hingga 11 Maret 2008. Ia mengatakan, posisi Indonesia saat ini tetap
mendukung hak Iran guna membangun nuklir untuk tujuan damai. Dan, Indonesia
juga akan terus mendorong upaya melanjutkan dialog dalam permasalahan nuklir
Iran, agar tercapai resolusi yang damai serta bermartabat bagi semua pihak.
Meskipun DK PBB telah mensahkan resolusi yang memperberat sanksi untuk Iran

TERBATAS
TERBATAS
2

dalam masalah program pengayaan uranium dan pembangunan reaktor nuklir di


negara itu.

Sanksi yang didukung oleh seluruh anggota DK-PBB itu, kecuali Indonesia
yang memilih bersikap abstain, meliputi pembatasan bepergian dan larangan bagi
pejabat lain Iran, perluasan pembekuan aset, larangan barang yang lebih dari satu
manfaat, kredit ekspor, pemantauan keuangan, pemeriksaan barang atas pesawat
dan kapal. Lebih lanjut dijelaskan resolusi itu sama sekali tidak mengatur soal
pembatasan kunjungan suatu negara ke Iran, dan kunjungan Presiden Yudhoyono ke
Iran adalah hak Indonesia sebagai negara berdaulat guna menjaga hubungan dengan
Iran. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan Presiden Yudhoyono akan
membicarakan resolusi sanksi yang baru disahkan DK PBB itu dengan Presiden Iran,
Mahmud Ahmadinejad.

"Masalah resolusi DK PBB pasti akan dibahas dalam pertemuan kedua


pemimpin. Tapi saya belum bisa sampaikan apa yang akan disampaikan Presiden
kepada Presiden Ahmadinejad, " jelasnya. Selama di Iran, Presiden Yudhoyono
dijadwalkan mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Ahmadinejad untuk
membicarakan peningkatan kerjasama kedua negara di bidang energi dan
perdagangan. Presiden Yudhoyono juga akan menyaksikan penandatanganan
sejumlah nota kesepahaman dengan Iran, antara lain di bidang pertanian, pendidikan,
perdagangan, dan kepemudaan.

Dalam penulisan essay singkat ini akan mengulas permasalahan hubungan RI - Iran
dibawah bayang-bayang resolusi PBB. Untuk mensistematisasi pembahasan lebih
terfokus dan mengena, dibawah ini akan diajukan pertanyaan sebagai persoalan
penting, yakni ; Apakah sikap Indonesia dan Iran akan melewati masa-masa sulit
ke depan, terutama dalam hubungannya dengan AS ?.

TERBATAS
TERBATAS
3

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, akan dipakai kerangka analisis


sebagai pisau analisa. Penulis menggunakan pendekatan yuridis berupa hubungan
Indonesia dan Republik Islam Iran kembali menghangat setelah Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono melakukan kunjungan ke Teheran. Selama 58 tahun
berhubungan diplomatik, hubungan Jakarta-Teheran lebih banyak periode dinginnya.
Apalagi setelah Revolusi Iran 1979, ketika semangat Khomeini menjalar ke seluruh
dunia. Di lain pihak, politik pemerintah Orde Baru waktu itu masih mencurigai Islam.

Kasus nuklir Iran menjadi hikmah terselubung. Ketika sejumlah negara dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengajukan rancangan Resolusi PBB No. 1803
tentang penambahan sanksi terhadap Iran yang dianggap membangkang tuntutan
internasional yang menghendaki perlucutan soal nuklir Iran. Mau tidak mau, Indonesia
yang kebetulan menjadi anggota Dewan Keamanan, harus mengambil sikap.
Akhirnya, Jakarta "abstain."

Beberapa hari kemudian, Yudhoyono terbang ke Teheran. Tentu saja


kedatangan SBY disambut dengan penuh hormat. Indonesia mendukung program
nuklir Iran sejauh digunakan untuk tujuan damai. Mengenai nuklir damai ini, Iran dan
RI menghadapi persoalan yang sama. Indonesia sedang berencana membangun
pusat listrik tenaga nuklir yang bisa menggantikan sumber listrik bertenaga minyak.
Selain itu, pembicaraan antara Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dengan Iran
menunjukkan kemajuan berarti, sehingga sangat tepat untuk tidak menyetujui
Resolusi 1803 itu. Selain karena sikap abstain tersebut, lawatan ini merupakan
balasan atas kunjungan Presiden Mahmud Ahmadinejad, Mei 2006. Terlebih lagi,
Yudhoyono datang membawa usulan penyelesaian soal Irak, yang tentu saja sejalan
dengan aspirasi dunia Islam, khususnya Iran. Tiga usulan Indonesia adalah
rekonsiliasi pihak-pihak yang bertikai, penarikan militer AS, dan menggantikannya
dengan tentara Negara-negara muslim, serta mengerahkan bantuan internasional
untuk membangun kembali Irak.

Mendukung nuklir damai dan usul soal Irak. Dua isu inilah yang tampaknya
pelik bagi Indonesia dan Iran di mata AS. AS tampaknya akan menjadikan isu ini

TERBATAS
TERBATAS
4

untuk menyerang Iran. Juga soal Irak, tampaknya sikap RI dan Iran ini akan mendapat
sandungan dari AS. Sebagian besar negara percaya bahwa tidaklah mungkin ada
penyelesaian soal Irak, tanpa melibatkan Iran dan Suriah. Washington memang
sempat mengakui peran penting Iran dalam masalah Irak ini. Namun, pandangan
positif ini buyar ketika lobi neokonservatif di AS berhasil membujuk Bush untuk
kembali bersikap keras terhadap Iran. Presiden Bush dan Wapresnya dikenal sangat
ingin menyerbu Iran.

Beberapa hari lalu, Komandan Cetcom, pusat komando operasi militer AS di


Timur Tengah, Laksamana William Fallon mengajukan pengunduran diri. Fallon
dikenal sebagai jenderal yang tidak menyetujui rencana serangan militer ke Irak. Ini
artinya, serangan militer masih menjadi opsi Presiden Bush, kendati sebagian
perwiranya menolak. Dengan latar belakang seperti ini, maka sikap Indonesia dan
Iran tentu saja akan melewati masa-masa sulit ke depan, terutama dalam
hubungannya dengan AS. Dengan akan berlangsungnya Organisasi Konferensi Islam
(OKI) di Dakkar, ada baiknya sikap kedua negara ini diadopsi menjadi sikap bersama
negara-negara Islam. Sehingga sikap politik negara Islam terhadap AS akan semakin
kuat lagi.

 Namun, tepat satu tahun berikutnya, Maret 2008, saat DK PBB mengesahkan
resolusi ketiga untuk program nuklir Iran (resolusi 1803), Pemerintah Indonesia justru
menjadi satu-satunya negara yang bersikap "abstain" dalam pemungutan suara.
Pemerintah Indonesia kali ini oleh publik dalam negeri, dan bahkan Pemerintah Iran
dinilai bersikap tepat . Kepada ANTARA News di Markas Besar PBB New York, pada
awal pekan ini lalu (3/3) Duta Besar Iran untuk PBB, Mohammad Khazaee,
mengatakan bahwa Pemerintah Iran mengungkapkan penghargaannya atas sikap
Indonesia yang menentang arus, dengan memilih tidak mendukung resolusi soal
penambahan sanksi bagi Iran yang akhirnya disahkan karena didukung oleh 14 dari
15 negara anggota DK PBB lainnya. Ketika ditanya apakah Iran cukup puas
dengan sikap "abstain" dan bukan menolak, yang dinyatakan Indonesia, Khazaee
menyiratkan hal tersebut bukan merupakan masalah besar bagi Iran. "Resolusi
tersebut tidak akan menghalangi Iran untuk mempertahankan hak. Sejauh Indonesia
TERBATAS
TERBATAS
5

tidak seperti negara-negara lainnya, kami menghargai posisi tersebut," katanya.


Kendati hasil pemungutan suara di DK PBB sangat kuat menunjukkan persetujuan
terhadap pengesahan Resolusi 1803, Khazaee tetap melihat bahwa tidak tercapainya
konsensus di DK sebagai hal yang penting untuk membuka mata dunia dalam
memandang masalah program nuklir Iran. Hal senada juga dikemukakan oleh Jaksa
Agung Iran, Ayatollah Dorri Najaf Abadi, seusai pertemuan dengan Ketua Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hasyim Muzadi. Ia menyebut keputusan Indonesia
itu yang justru disayangkan sejumlah anggota lain di DK PBB-- sebagai hal yang
tidak ternilai harganya bagi bangsa Iran.

Suatu langkah bijak sebelum bertamu. Sekalipun hubungan dipihak antara


Indonesia dan Iran tidak terpengaruh oleh resolusi sanksi terhadap Iran sebagaimana
yang dikemukakan oleh Jurubicara Kepresidenan Dino Patti Djalal. "Hubungan
bilateral Indonesia tetap berjalan dengan Iran. Ini adalah esensi politik bebas aktif kita
dan kita jalankan kebijakan sesuai dengan pendirian kita sendiri," katanya seraya
menambahkan bahwa pembahasan mengenai topik itu tetap terbuka. Posisi
Indonesia saat ini tetap mendukung hak Iran guna membangun nuklir untuk tujuan
damai serta berkerjasama secara transparan dan kooperatif dengan Badan Tenaga
Atom Internasional (IAEA). Indonesia, akan terus mendorong upaya melanjutkan
dialog dalam permasalahan nuklir Iran agar tercapai resolusi yang damai serta
bermartabat bagi semua pihak.

Namun terlepas dari masalah resolusi 1803, fokus pertemuan antara Presiden
Yudhoyono dengan Presiden Iran mendatang lebih kepada upaya peningkatan
kerjasama kedua negara di bidang energi dan perdagangan. Menurut pengamat
Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hariyadi Wiryawan, banyak komitmen
kerjasama ekonomi antara Indonesia-Iran yang disepakati pada 2006 belum terwujud.
"Banyak kerjasama ekonomi yang belum terealisasi, saya kira kunjungan Presiden
Yudhoyono akan fokus pada masalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan kedua
belah pihak," ujarnya. Sejak dua tahun lalu, kedua negara memang memiliki
komitmen kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang energi dan
mendorong sektor perdagangan dwi-pihak. Pemerintah Iran pernah menyatakan

TERBATAS
TERBATAS
6

minatnya untuk berinvestasi di bidang energi sedangkan pemerintah Indonesia


berinvestasi di bidang pertanian. Kedua kepala negara juga dijadwalkan
menyaksikan penandatanganan sejumlah nota kesepahaman, antara lain di bidang
pertanian, pendidikan, perdagangan, dan kepemudaan.

Serasa "deja vu" dengan situasi dua tahun sebelumnya, saat Presiden
Ahmadinejad berkunjung ke Indonesia, hanya saja jika dulu yang diperdebatkan
adalah resolusi 1737 maka saat ini resolusi 1803. Sekalipun, kunjungan Presiden
Yudhoyono ke Iran sudah pasti tidak lagi berpengaruh banyak pada resolusi 1803
yang telah disahkan, namun di mata internasional kunjungan tersebut menegaskan
kedudukan Indonesia sebagai negara berdaulat yang bebas menjalin hubungan
dengan negara manapun. Apalagi, kunjungan itu dilakukan tepat setelah Indonesia
menentang arus di DK PBB dan tidak berapa lama setelah Presiden Ahmadinejad
mencatatkan diri sebagai pemimpin pertama Iran yang melakukan lawatan ke Irak
sejak kedua tetangga itu melakukan perang berlarut-larut pada 1980-an yang
menewaskan satu juta orang.

Dari uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap Indonesia di
sidang Dewan Keamanan Perserikatam Bangsa- Bangsa (DK-PBB), artinya secara
tidak langsung sikap Indonesia sebenarnya menolak sanksi yang akan dijatuhkan
untuk Iran. Mengenai sikap Presiden SBY yang mengadakan perjalanan ke Iran
merupakan juga suatu bukti bahwa Indonesia komitmen untuk terus menjalankan
hubungan baik, dan terbukti bahwa kedua negara ini masih harmonis dan saling
mendukung.

Demikian penulisan uraian essai singkat ini, semoga bermanfaat.

TERBATAS

Anda mungkin juga menyukai