Anda di halaman 1dari 20

1

MAKALAH
PERJUANGAN MENGHADAPI AGRESI MILITER
KE 2

Disusun oleh:
1. DONNIE EVAN PERMANA(09)

SMK NEGERI 12 SURABAYA


2022-2023
Jl. Siwalankerto Permai No. 1 Surabaya 60236 Telp. (031) 8436667,
8436520 Fax. (031) 8491495 www.smkn12surabaya.sch.id emai
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya. Kami selaku penulis dapat menyelesaikan makalah sejarah ini
tentang perlawanan rakyat Bali menghadapi penjajahan Belanda.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Drajat


Wahyono, M.Pd. selaku guru pembimbing mata pelajaran sejarah. Semoga tugas yang
telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang kita
tekuni . Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini.

Pada isi makalah ini akan dijelaskan latar belakang sejarah perjuangan
menghadapi agresi militer belanda ke 2. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini.
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................1
KATA PENGANTAR.........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................................11
BAB II PEMBAHASAN
A. gambaran sejarah wilayah Desa Argomulyo pada tahun 1948.................11
B. terjadinya peristiwa serangan Belanda di Desa Argomulyo saat
Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta_________________________ 12

C. Latar belakang didirikannya Monumen Setu Legi di Desa Argomulyo. . .18


BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................19
B. Saran..........................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................20
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah diproklamasikannya kemerdekaan, Republik Indonesia

merintis hubungan dengan luar negeri. Secara formal hubungan itu menjadi

berkembang secara bilateral antara Republik Indonesia dan Belanda. Hubungan

itu menjadi berkembang sesudah Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut campur

tangan. Keterlibatannya untuk membahas Republik Indonesia dikarenakan

tentara Inggris yang bertugas di Indonesia telah menggunakan tentara Jepang

untuk menindas gerakan rakyat Indonesia. Hal ini merupakan suatu ancaman

terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan Internasional. Dewan

Keamanan dunia diminta untuk membentuk panitia penyelidik. Usul tersebut

belum diputuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun perang

kemerdekaan Indonesia telah membuka mata dunia dan membuat Peserikatan

Bangsa-Bangsa ikut campur tangan.

Belanda mengakui secara de facto terhadap Republik Indonesia atas

Jawa dan Sumatera dalam satu persetujuan yaitu Persetujuan Linggajati, tanggal

25 Maret 1947. Mulai saat itu, Indonesia mendapat perhatian dunia

Internasional.

Ketegangan-ketegangan baru, timbul karena perbedaan tafsir mengenai

isi Persetujuan Linggajati tersebut. Pihak Belanda tidak dapat menahan diri dan

melanjutkan agresinya dengan aksi militer pada tanggal 2 Juni 1947. Karena itu

timbul reaksi dari seluruh dunia. Masalah Indonesia dimasukkan ke dalam acara
5

sidang Dewan Keamanan pada tanggal 31 Juli 1947. Australia mengusulkan

bahwa atas dasar Pasal 39 Piagam PBB, Dewan Keamanan agar mengambil

tindakan terhadap suatu usaha yang mengancam perdamaian dunia.

Pada sidang dewan tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan suatu seruan

kepada kedua belah pihak yang sedang berselisih, antara Indonesia dengan

Belanda, untuk segera menghentikan tembak-menembak, menyelesaikan

pertikaianya dengan cara perwasitan(arbitrase) atau dengan cara damai dan

melaporkan tentang hasil penyelesaian itu kepada Dewan Keamanan. Pada

tanggal 4 Agustus 1947, berlaku gencatan senjata dan kemudian meningkat

kepada perundingan.

Dewan Keamanan kemudian menawarkan suatu komisi jasa-jasa baik

sebagai suatu kompromi yang kemudian terkenal dengan Komisi Tiga

Negara(KTN). Anggota Komisi Tiga Negara seorang dipimpin oleh Indonesia,

seorang dipilih oleh Belanda, sedangkan kedua anggota itu memilih anggota

ketiga. Pemerintah Republik Indonesia memilih Australia, pemerintah Belanda

memilih Belgia, sedangkan kedua negara tersebut memilih Amerika Serikat

sebagai anggota ketiga. Selanjutnya pemerintah Australia menujuk Richard

C.Kirby, Hakim Mahkamah Arbitrase dari Persemakmuran Australia sebagai

wakilnya untuk duduk dalam komisi itu. Pemerintah Belgia menunjuk Paul van

Zeeland(Mantan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri) sebagai wakilnya,

dan Pemerintah Amerika Serikat menujuk Dr.Frank B.Graham.

Komisi Tiga Negara bekerja secara efektif setelah anggota-anggotanya

datang di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947. Sejak dikeluarkannya


6

revolusi Dewan Keamanan pada tanggal 1 November 1947, maka tugas Komisi

Tiga Negara tidak hanya dibidang politik, tetapi juga dibidang militer. Amerika

Serikat menyediakan kapal angkatan pasukan Revillle sebagai tempat

perundingan netral.

Secara resmi perundingan dimulai tanggal 8 Desember 1947 di Kapal

Renville. Dengan melalui prosedur yang sulit, KTN berunding secra informal

dan melakukan desakan-desakan secara halus terhadap kedua belah pihak.

Akhirnya tanggal 17 Januari 1948, naskah persetujuan Renville ditandatangani,

yang antara lain berisi: “persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dan

Belanda; dan enam pokok prinsip tambahan untuk perdagangan guna mencapai

penyelesaian politik”.1

Setelah persetujuan Renville diadakan perundingan-perundingan untuk

mendapat kesepakatan politik. Republik Indonesia berpegangan pada soal pokok

yang berlandaskan Persetujuan Linggajati, yakni sebagai Repulik Indonesia de

facto dan pernyataan Komisi Jasa Baik (Komisi Tiga Negara) 2 yang dibentuk

atas keputusan Dewan Keamanan PBB. Pada perundingan-perundingan pasca-

Renville delegasi Indonesia yang dipimpin Mohamad Roem memperjuangkan

penghentian blokade, dan melakukan pengakuan kedaulatan. Belanda

Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah


1

Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Balai Pustaka, 1993, hlm. 137-138.
2
Komisi Jasa Baik berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan
penghentian tembak-menembak dan mencari penyelesaian secara damai, yang
kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara(KTN). Himawan
Soetanto,Yogyakarta 19 Desember 1948 Jendral Spoor versus Jenral
Sudirman.Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,2006,hlm.133.
7

memprotes keras kebijakan Republik Indonesia yang mengadakan perjanjian

persahabatan dengan Mesir, India, dan negara-negara Arab melalui Menteri

Luar Negeri Republik Indonesia H.Agus Salim. Sementara itu, Republik

Indonesia memprotes keras tindakan Belanda yang membentuk negara-negara

bagian, seperti negara Sumatera Timur pada 29 Januari 1948, negara Madura

pada tanggal 20 Februari 1948, dan negara Pasundan di Jawa Barat pada April

1948.

Melalui utusan daerah federal, Belanda mengadakan berbagai

persetujuan. Bentuk isi persetujuan itu menyerupai persetujuan “antara tuan

penguasa dan kuli kontrak”, dan sebagai lanjutan perundingan-perundingan itu

lahirlah Bewindvoering Indonesie in overgangstijd -kepemerintahan Indonesia

di masa peralihan- yaitu undang-undang yang menjamin kedaulatan Belanda

yang dibuat oleh Belanda tanpa menghiraukan keberadaan Republik Indonesia.

Pada perundingan yang membahas kesetaraan, delegasi Republik tetap bertahan

pada pendirian bahwa status TNI hanya berubah bila sudah terbentuk Angkatan

Perang Negara Indonesia Serikat yang berdaulat, di mana Tentara Nasional

Indonesia akan menjadi intinya. Pendirian itu sama sekali tidak diterima

Belanda. Dengan demikian, semakin jelas bahwa persetujuan yang tercapai

sebenarnya tidak berarti apa-apa. Kejelasan politik di meja perundingan muncul

pada akhir Mei 1948. Republik Indonesia tidak bersedia memenuhi tuntutan

Belanda untuk membubarkan Tentara Nasional Indonesia di masa peralihan dan

membiarkan anggotanya melalui proses screening untuk menjadi anggota

Angkatan Perang Negara Indonesia Serikat dengan KNIL(Koninklijk


8

Nederlands Indonesisch Leger) sebagai intinya. Disamping itu, Republik

Indonesia tidak bersedia mengakui Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda

sebagai Panglima Tertinggi tentara federal itu.3

Perjanjian Renvile yang diharapkan dapat menjadi awal membaiknya

hubungan Indonesia-Belanda, rupanya hanyalah taktik Belanda untuk menyusun

rencana menyerang Indonesia kembali. Kenekatan Belanda terlihat pada

peristiwa tanggal 19 Desember 1948 kira-kira jam 05.30 lapangan terbang

Maguwo dibom oleh pesawat-pesawat pembom Mitchell B-25 yang diikuti oleh

penerjunan satu batalayon pasukan Baret Hijau yang ditugaskan untuk merebut

lapangan terbang tersebut. Kompi AURI pengawal lapangan terbang dibawah

pimpinan Kadet Karsiman segera terpukul mundur, meskipun sudah berjuang

dengan heroik menjalankan tugasnya dimana ia dengan beberapa orang

temannya telah gugur sebagai bunga bangsa.4

Sementara pesawat-pesawat pemburu Mustang dan sembilan pesawat

Kittyhawk menghujani lapangan terbang Maguwo dengan bom dan metraliur.

Satu jam kemudian, sejumlah 15 pesawat Dakota menerjunkan payung untuk

mematahkan perlawanan di darat. Hingga pukul 08.30, Belanda bisa menguasai

lapangan terbang. Pesawat Dakota pertama bisa mendarat, disusul kemudian

dengan pesawat angkut C-47 yang mendaratkan pasukan. Mulai pukul 09.30

pasukan Belanda bisa melaksanakan konsolidasi guna memperkuat posisi

3
Ibid, hlm. 133-135.

Dinas Sejarah Militer TNI Angkatan Darat, Cuplikan Sejarah


4

Perjuangan TNI- Angkatan Darat,Jakarta: Offset Virgosari,1972,hlm.162.


9

pasukan untuk memperluas kedudukan di Maguwo, serta menunggu pasukan

tambahan. Setelah kekuatan lengkap, pada pukul 11.00 barulah mereka bergerak

menuju Yogyakarta dengan tujuan.

1. Menghancurkan TNI dan pejuang bersenjata Republik Indonesia.

2. Menghapus pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Membujuk Sri Sultan HB IX untuk memihak dan membantu Belanda. 5

Setelah Belanda menduduki kota Yogyakarta tanggal 19 Desember

1948, berhasil menguasai tempat-tempat penting, maka Belanda mulai berusaha

menjalankan roda pemerintahan pendudukan, dalam rangka memulihkan

ketertiban dan keamanan di kota Yogyakarta. Hal ini tidak dapat berjalan karena

pemerintah Republik Indonesia telah mempersiapkan baik pemerintah militer

maupun pemerintah sipil.

Kota Yogyakarta merupakan kota yang dikelilingi oleh bangunan-

bangunan industri gula. Serangan Belanda di arahkan terhadap daerah-daerah

strategis, daerah-daerah yang memiliki sumber-sumber hasil bumi yang

dibutuhkan untuk kepentingan Belanda, daerah-daerah yang memiliki

bangunan-bangunan penting, dan daerah-daerah yang dianggap membahayakan

pertahanan Belanda. Demikianlah setelah menduduki kota Yogyakarta, Belanda

segera mengarahkan seranganya terhadap daerah di sekitarnya, menuju Yogya

Barat di daerah Cebongan, Godean, Moyudan, Minggir.

Di sekitar daerah Moyudan Belanda menduduki Jembatan Bantar di

Klangon, bekas bangunan pabrik gula di Balangan, Bekas bangunan pabrik gula

5
Ibid, hlm.19-20.
10

Cebongan, dan bekas pabrik senjata Demakijo. Tempat-tempat dijadikan pos

penjagaan dari markas pertahanan Belanda. Kepentingan utama Belanda

menduduki daerah Klangon adalah untuk menjaga agar Jembatan Bantar jangan

sampai dirusak oleh pasukan gerilya Repubik Indonesia, karena jembatan

tersebut berfungsi sebagai penghubung antara kota Yogyakarta-Wates-

Purworejo. Letak Desa Argomulyo tidak jauh dari Jembatan Bantar di Klangon,

maka sering terjadi serangan gangguan Belanda di sekitar wilayah tersebut.

Untuk mengenang peristiwa tersebut maka didirikan beberapa monumen, salah

satunya yaitu Monumen Setu Legi sebagai saksi sejarah Agresi Militer Belanda

II di Yogyakarta.
11

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan dalam latar belakang di

atas, maka permasalahn yang akan dibahas adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran sejarah wilayah Desa Argomulyo pada tahun 1948?

2. Bagaimanakah terjadinya peristiwa serangan Belanda di Desa Argomulyo

saat Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta?

3. Apa yang melatarbelakangi didirikannya Monumen Setu Legi di Desa

Argomulyo?

C. Pembahasan

 DESKRIPSI KELURAHAN ARGOMULYO 1948 A. Sejarah Wilayah Desa

Argomulyo. Nama Argomulyo diambil dari kata argo artinya bukit, dan mulyo artinya

mulia. Nama itu tidak lepas dari kondisi tanahnya. Bagian utara jalan raya bertanah

subur, sedang bagian selatan berbukit. Nama Kalurahan Argomulyo sangat erat

hubungannya dengan Maklumat Gubernur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor 6 tahun 1946 tentang Otonomi dan Penggabungan Kalurahan. Bulan

Juni 1946 tiap Panewu membentuk Gabungan Dewan Kalurahan. Panewu sebagai

ketua, anggotanya adalah tokoh terkemuka tiap kalurahan. Asalnya empat kalurahan,

digabung menjadi satu dan diberi nama Kalurahan Argomulyo. Semula terdiri dari

beberapa kalurahan,yaitu. 1. Kalurahan Kemusuk mempunyai wilayah: Tempel,

Puluhan, Kemusuk Lor, Engkuk-engkukan (Tegalsari), Kemusuk Kidul, Karang

Montong, Srontakan, Kebondalem, Bobosan. 2. Kalurahan Watu mempunyai wilayah :

Samben, Tulusan, Gunung Asem, Sengonkarang, Sengon Madinan, Watu, Plawonan,

Sabrang. 3. Kalurahan Pedes mempunyai wilayah: Gejagan, Watugajah, Panggang,

Trukan (Tegalrejo), Sijajar, Karanglo, Pedes, Karangasem, Surobayan. 4. Kalurahan

Kaliberot mempunyai wilayah: Kaliurang dan Kaliberot.

Kondisi Geografi Desa Argomulyo. Kabupaten Bantul secara administratif terdiri dari

17 kecamatan, 75 desa dan 933 pedukuhan. Desa-desa di Kabupaten Bantul dibagi lagi

berdasarkan statusnya menjadi desa pedesaan (rural area) dan desa perkotaan (urban
12

area). Kecamatan berdasarkan RDTRK dan Perda mengenai batas wilayah kota, maka

status desa dapat dipisahkan sebagai desa perdesaan dan perkotaan. Secara umum

jumlah desa yang termasuk dalam wilayah perkotaan sebanyak 41 desa, sedangkan desa

yang termasuk dalam kawasan perdesaan sebanyak 34 desa.

Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat Desa Argomulyo. Jumlah penduduk Desa

Argomulyo tahun 1948 tidak lebih dari 3000 jiwa. Belum ada Kartu Tanda

Penduduk(KTP), yang ada surat keterangan Kartu Keluarga(KK). Tidak semua kepala

keluarga memiliki kartu keluarga karena beranggapan surat itu tidak berguna. Pada

umumnya seorang kepala keluarga akan mencari kartu keluarga apabila dia sudah

memisahkan diri dari kedua orang tuanya dan mendiami sebuah rumah. Warga Desa

Argomulyo pada waktu itu 80% buta huruf. Wilayah Kalurahan Argomulyo hanya ada

dua sekolah yaitu: 1. Sekolah Kasultanan Puluhan; tempat di Puluhan menumpang

rumah penduduk. Penyelenggaraan pendidikan hanya sampai kelas IV. Siswa yang

ingin melanjutkan dapat ke Sekolah Rakyat Tiwir (sekarang untuk Kapel), Sekolah

Rakyat Godean, Sekolah Rakyat Pedes (Sekarang untuk Kantor Cabang Dinas

Pendidikan Kecamatan Sedayudan Koramil Sedayu). 2. Sekolah Rakyat Negeri VI

tahun. Tempat di Pedes. Sekarang SD Pedes, semula hanya tiga ruang kelas. Kelas 1

dan 2 bergantian masuknya. Kelas 5

 Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak (bahasa Belanda: Operatie Kraai)

terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta,

ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir

dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya

Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin

Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di

Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibu kota RI di Yogyakarta.

Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa
13

pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara

(KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

Serangan ke Maguwo

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio Antara dari Jakarta

menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan

menyampaikan pidato yang penting.

Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana

pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan

Sumatra untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut

dinamakan "Operasi Kraai" .

Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh

parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul

3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar

udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan

inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah

pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama

tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui

Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu,

bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai

diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19

Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda

tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah
14

Republik di Jawa dan Sumatra, termasuk serangan terhadap Ibu kota RI,

Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai.

Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibu kota Republik, diawali dengan pengeboman atas lapangan

terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom

dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk.

Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan

pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan

dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak.

Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap.

Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas

Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul

7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak

Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun

jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo,

dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –

termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya

di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan

mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pengeboman serta

menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di

Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18

Desember malam hari.


15

Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya,

Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio

tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.

Pemerintahan Darurat

Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman

didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo,

dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena

merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu

di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat

terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibu

kota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil dalam sidang

kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden

berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak.

Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya.

Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal

tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu

dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir

seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam

kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis

pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatra, maka Presiden dan Wakil Presiden

membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri

Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden

mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat


16

sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.

Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat

Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak

berhasil membentuk pemerintahan di Sumatra, juga dibuat surat untuk Duta Besar

RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri

Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga

tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri

Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno,

dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang

Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr.

Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan

apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N.

Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya

disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil

dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri

yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.

Pengasingan Pimpinan Republik

Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen

memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara

Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan

dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak

satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka
17

surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para

pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul

Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru

mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan

Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus

diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatra Utara, untuk kemudian diasingkan ke

Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma

(Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG.

Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul

Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk

bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda,

Corps Speciale Troepen.

Gerilya

Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar

kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di

daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau

digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari

beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli

1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun

rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat

No 1 Salah satu pokok isinya ialah: Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari

daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan

membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi

medan gerilya yang luas.


18

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada

tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju

daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal

dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai,

mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya

serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat terpaksa pula menghadapi gerombolan

DI/TII.

 MONUMEN SETU LEGI SEBAGAI SAKSI SEJARAH AGRESI MILITER


BELANDA II (1948-1949) DI YOGYAKARTA KHUSUSNYA DI DESA
ARGOMULYO
Pada tanggal 19 Desember 1948 Kota Yogyakarta telah diduduki oleh pasukan Belanda.
Pemerintah Pusat segera mengambil tindakan. Lurah sebagai kepala pemerintahan paling
bawah, mendapat instruksi agar semua warga diberi penerangan untuk siap siaga apabila
terjadi serangan secara mendadak. Banyak koraban jiwa yang jatuh dalam peristiwa
tersebut. Monumen Setu Legi sebagai salah satu saksi sejarah kekejaman Belanda saat
melakukan operasi di Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul. Penulisan skripsi ini bertujuan
untuk: (1) mengetahui gambaran sejarah wilayah Desa Argomulyo pada tahun 1948, (2)
terjadinya peristiwa serangan Belanda di Desa Argomulyo saat Agresi Militer Belanda II
di Yogyakarta, dan (3) latar belakang didirikannya Monumen Setu Legi di Desa
Argomulyo. Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari lima
langkah, yakni: (1) Pemilihan Topik, yaitu kegiatan awal dalam sebuah penelitian untuk
menentukan permasalahan yang akan dikaji (2) Heuristik, yaitu kegiatan menghimpun
jejak-jejak masa lalu yang dikenal dengan sumber sejarah, (3) Kritik Sumber, kegiatan
meneliti jejak atau sumber sejarah yang telah dihimpun sehingga diperoleh fakta sejarah
yang dapat dipertanggungjawabkan; (4) Interpretasi, yaitu menetapkan makna yang
saling berhubungan dari fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh; (5) Historiografi, yaitu
kegiatan menyampaikan sintesa yang telah diperoleh ke dalam bentuk karya sejarah.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa, nama Argomulyo diambil dari kata argo artinya
bukit, dan mulyo artinya mulia. Nama itu tidak lepas dari kondisi tanahnya yang subur
dan berbukit. Nama Kalurahan Argomulyo sangat erat hubungannya dengan Maklumat
Gubernur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 tahun 1946
tentang Otonomi dan Penggabungan Kalurahan. Bulan Juni 1946 tiap Panewu
membentuk Gabungan Dewan Kalurahan. Panewu sebagai ketua, anggotanya adalah
tokoh terkemuka tiap kalurahan. Berasal dari empat kalurahan, Kalurahan Kemusuk,
Kalurahan Watu, Kalurahan Pedes, Kalurahan Kaliberot digabung menjadi satu, dan
diberi nama Kalurahan Argomulyo. Untuk mengenang perlawanan gerilya yang
dilancarkan oleh masyarakat Argomulyo terhadap Belanda, berupa pengacauan dan
perlawanan langsung, maka didirikan Monumen Setu Legi. Pendirian monumen ini
dilatarbelakangi oleh peristiwa pada hari Sabtu Legi, 7 Januari 1949, Belanda melakukan
opersi secara mendadak dan banyak korban yang berjatuhan. Beberapa perangkat desa
disandera agar mau menunjukkan markas TNI ataupun orang-orang yang berkhianat
kepada mereka. Jumlah korban jiwa ada 23 orang, dan rumah yang dibakar berjumlah
123 unit. Kata kunci : Agresi Militer Belanda II, Monumen Setu Legi, Desa Argomulyo.
19

KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
Perjanjian Renville sulit dilaksanakan kedua belah pihak. Keduanya bahkan saling menuduh
terjadi pelanggaran. Belanda menuduh Indonesia melakukan penyusupan, penyerangan, dan
penjarahan di wilayah dikuasai Belanda. Mereka menuduh pihak Indonesia tidak bisa mengurasi
tentara rakyat. Sementara itu, Indonesia menganggap Belanda tidak menghormati isi perjanjian
yang sudah disepakati bersama. Indonesia menganggap Belanda tetap melakukan politik adu
domba seperti pembentukan Negara Federal dan konferensi Federal Bandung. Belanda juga
dituduh sering melanggar garis demarkasi militer yang sudah disetujui. Dari latar belakang
tersebut menyebabkan Belanda akhirnya melakukan operasi militer yang dikenal sebagai Agresi
Militer Belanda II. Setidaknya ada tiga tujuan Agresi Militer Belanda 2, yaitu: Menghancurkan
status Indonesia sebagai negara kesatuan. Menguasai Yogyakarta yang pada saat itu ibu kota
negara. Menangkap pemimpin Indonesia.

B. SARAN
Reaksi masyarakat dunia terhadap agresi militer Belanda kedua adalah masyarakat dunia
mengecam dan mengutuk perlakuan Belanda yang dianggap telah melanggar perjanjian Renville.
Atas usulan Burma dan India, diadakan Konferensi Asia di New Delhi, India, yang
membicarakan resolusi permasalahan Indonesia yang akan disampaikan oleh PBB. Pada tanggal 4
Januari 1949, PBB mengeluarkan resolusi agar Indonesia dan Belanda menghadiri pertemuan-
pertemuan seperti Roem-Royen, Konferensi Inter-Indonesia, dan Konferensi Meja Bundar untuk
menghentikan permusuhan.
20

DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia.com

Kompas.com

Anda mungkin juga menyukai