Anda di halaman 1dari 6

UJIAN TENGAH SEMESTER

Analisis Hubungan Diplomatik Iran atas Koersifnya Amerika


Serikat: Studi Kasus Kesepakatan Joint Comprehensive Plan of
Action (JCPOA)

NAMA: Akira Danella Hastanto


NIM: 14050121140067
MATA KULIAH: Diplomasi
KELAS: 17
DOSEN PENGAMPU: Dr. Dra. Rr. Hermini Sustiatiningsih, M.Si.

Departemen Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Diponegoro
2022
Sejarah
Iran dikenal sebagai negara yang terkenal akan kekuatan nuklirnya, agar kegiatan itu
diberhentikan maka diberikannya sanksi multilateral maupun unilateral pada tahun 1996 oleh
Amerika Serikat. Kemudian, Barack Obama sepakat untuk menerapkan perjanjian JCPOA yang
terbit pada 18 Oktober 2015 dengan tujuan upaya internasionalnya untuk mengatasi program
nuklir Iran tercapai dengan persetujuan dari negara P5+1 yaitu Jerman, Perancis, Inggris, AS,
Rusia, dan China. Kesepakatan ini digunakan untuk pemberhentian penggunaan uranium sampai
tahun 2030 sehingga terkontrolnya Iran dalam mengurangi penggunaan nuklir sebesar dua
pertiga dari total kapabilitas nuklirnya. Sehingga dengan adanya perjanjian ini, sanksi-sanksi
program nuklir yang telah diterapkan sebelumnya dihapus dan berhasil mendapatkan
kesepakatan Iran atas perjanjian JCPOA melalui negosiasi panjang dari tahun 2012 sampai 2015.
Kesepakatan disahkan oleh DK PBB melalui resolusi 2231 dan kepatuhan Iran atas peraturan-
peraturan di dalam kesepakatan itu disetujui oleh International Atomic Energy Agency (IAEA)
Akan tetapi, setelah menjabatnya Donald Trump di tahun 2016 ia mengeluarkan National
Security Presidential Memorandum 11 yang membuat AS mengimplementasikan kembali sanksi
yang telah dihapus dengan menerapkan sanksi baru yang menekan Iran secara besar-besaran,
tindakan ini secara resmi menyatakan bahwa AS telah keluar dari perjanjian JCPOA. Trump juga
mengancam Iran dengan ‘the toughest ever sanctions’ jika ia tidak menjalankan kemauan AS
sesuai dalam batas waktu yang telah ditentukan. Disini, dia menganggap bahwa kesepakatan ini
tidak membuat Iran membatasi penggunan nuklir dengan baik dan juga tidak memberikan
pengaruh keamanan Timur Tengah atas ancaman Iran. Padahal faktanya, perjanjian JCPOA ini
memiliki peran penting dalam menghadapi ancaman senjata nuklir dimana memberikan jaminan
pada dunia untuk membuat stabilitas keamaanan di Kawasan Timur Tengah bahkan dunia.
Ernest J. Moniz menyatakan bahwa maksud dibentuknya kesepakatan ini untuk mencabut
penggunaan plutonium dan uranium yang merupakan bahan baku nuklir Iran. Sehingga
hilangnya kesempatan AS untuk mengendalikan Iran dalam memperoleh kemampuan senjata
nuklir.
Pada tahun 2020, dengan tepilihnya Joe Biden dari Partai Demokrat sebagai Presiden AS. DI
Munich Security Conference tahun 2021, AS menyatakan mereka siap untuk bergabung kembali
bersama negara P5+1 dengan perjanjian JCPOA mengingat bahwasanya di dinamika politik
sebelumnya Iran berhasil membuat 5 kali pelanggaran perjanjian JCPOA setelah AS keluar dari
perjanjian tersebut. Oleh karena itu, keputusan Amerika Serikat ini sanagt menarik untuk
dianalisis karena dengan keluarnya AS dari JCPOA menghasilkan masalah bagi hubungan AS
dan Iran, karena AS menghiraukan konsekuensi yang berdampak fatal pada perjanjian
internasional maupun negosiasi. Dimana menurut verifikasi yang dilakukan oleh IAEA,
pasalnya Iran telah memenuhi peraturan dari isi perjanjian tersebut, sehingga dengan perlakuan
ini hilangnya kepercayaan Iran kepada AS yang keluar dari JCPOA secara sepihak.
1. PRENEGOSIASI
Tahapan:
 Identifikasi masalah
Dalam kasus ini keputusan politik luar negeri dapat terbentuk dari proses seseorang yang
membuat kebijakannya. Dengan kelabilan Amerika Serikat atas keputusan dinamika
politiknya yang terus berganti seiring pergantian kepemimpinan presiden, menyebabkan
hilangnya kepercayaan Iran karena fenomena AS yang mengundurkan diri secara sepihak
dari perjanjian JCPOA di masa jabatan Trump. Peran Kelompok negara P5+1 disini
sebagai negosiator agar rencana Trump tersebut resmi dibatalkan, sehingga tetap
terciptanya perdamaian dan keamanan dari senjata nuklir yang merupakan kepentingan di
dunia internasional. Sehingga, Trump ditengah 2 pilihan regulasi yang harus ditentukan,
maka harus dihadapkan dengan peran decision maker dimana harus mengambil keputusan
dengan bertindak secara rasional yang mempertimbangkan keuntungan lebih banyak
didapatkan daripada kerugian yang ditanggung.
-Isu primer
Isu pertama yang membahas langsung dari topik yang berkaitan dengan pihak penting,
dimana dalam hal ini Trump dihadapkan pada dua pilihan yaitu pilihan untuk tetap masuk
dalam negosiasi JCPOA atau menarik diri dari negosiasi tersebut. Sebagai aktor rasional,
ia harus mengambil satu keputusan dari dua pilihan yang ada. Keputusan tersebuat harus
ia pertimbangkan berdasarkan fakta-fakta yang ada, sehingga dapat ditentukan
keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan yang ia ambil.
 Keinginan bernegosiasi
Negara dewan keamanan PBB ikut menunjukkan keinginannya untuk bernegosiasi
kepada Iran, salah satunya adalah Kelompok negara P5+1 dengan tujuan untuk
mendapatkan kesepakatan bersama demi terciptanya perdamaian dunia dengan
menggunakan program nuklir, karena adanya kesepakatan multilateral yang disebut
sebagai ‘The Iran Deal 2015’ dimana dasar objek utama itu mencegah Iran
mengembangkan senjata nuklir
 Keinginan berkomunikasi & Isu Sekunder
Kelompok negara P5+1 juga tercatat telah melakukan komunikasi dengan pemerintahan
Trump perihal kesepakatan keputusan AS dari perjanjian tersebut. Bahkan dilakukannya
sebuah kunjungan demi terjalinnya diskusi dengan Trump pada 24 April 2018, hal ini
diketahui berasal dari keinginan Emmanuel Macron yang merupakan Presiden Prancis
kala itu. Diskusi yang dimaksud ini yaitu dengan memberikan penguatan dan keyakinan
kepada AS untuk tetap menjadi bagian dari kesepakatan JCPOA, Emmanuel justru lebih
memilih untuk menghindari pembicaraan yang mengarah pada wancana atas keputusan
AS yang mengajukan diri untuk keluar dari kesepakatan tersebut, memikirkan dampak
yang diberikan memberikan efek yang fatal bagi negara di dunia.
 Penataan batas negosiasi
Trump menyatakan batasan program nuklir milik Iran karena dikhawatirkan dapat
membuat nuklir dibeberapa hari setelahnya, oleh karena itu batasan pernyataan ini
sengaja dibuat tidak memiliki tenggat waktu disertai sebuah tuntutan, disebut sebagai
“Sunset Clause”. Hubungan antara AS dengan Jerman, Perancis, dan Inggris meski dinilai
dekat bahkan keran disebut sebagai sekutu AS di Eropa, tetapi pada dasarnya tidak
membuat suatu komitmen yang bergantung satu sama lain terutama terkait di perjanjian
JCPOA. Kedekatan ini semua dapat terjalin karena adanya hubungan baik dan kesamaan
dalam meraih tujuan sejak dahulu kala, apabila semua ini dilihat dari segi kedekatan
perjanjian JCPOAnya. Karena AS dalam menyesuaikan reolusi diplomatik tidak memiliki
ikatan apapun di ketiga negara Eropa itu .

2. AROUND THE TABLE


Bagian Utama:
 Formula Stage
Dalam kasus ini, politik luar negeri dilihat sebagai penyebab dari aksi yang dilakukan
oleh aktor rasional, terutama pemerintahan yang monolit, dimana tujuannya dilakukan
dengan segaja untuk mencapai perdamaian dunia yang dilakukan dengan sengaja untuk
mencapai suatu perdamaian dunia. Tujuan dari Donald Trump sendiri yaitu membuat
kebijakan penarikan diri dari JCPOA adalah sebagai upayanya untuk menindaklanjuti
janji kampanyenya. Dimana dari janji kampanye ini, Trump dapat memenangkan pemilu
karena banyaknya pendukung yang tertarik terhadap isu tersebut. Di dalam kampanye
dahulu ia telah mengatakan bahwa perjanjian ini adalah perjanjian yang tidak pantas dan
berencana untuk mengakhirinya karena menurutnya perjanjian ini sangat merugikan bagi
Amerika Serikat dan sekutu Timur Tengahnya. Selain itu, Trump berjanji kepada Perdana
Menteri Israel, dengan tidak membiarkan Iran melanjutkan program senjata nuklirnya.
 Detail Stage
Presiden Iran yaitu Rouhani mengupayakan kebebasan Iran dari embargo maupun sanksi-
sanksi yang diajukan oleh AS, dalam bernegosiasi dengan Barat inilah permasalahan
nuklir dianggap sebagai prioritas yang diutamakan. Alasan dibalik AS atas menerapkan
sanksi-sanksi ini adalah anggapan bahwa dengan adanya program pengembangan nuklir
di Iran menyebabkan terganggunya keamanan dan kestabilan di Kawasan Timur Tengah,
yang menjadikan sebuah ancaman bagi AS. Di lain sisi, dengan adanya embargo ini
memberikan keterbatasan dalam devisa negara dan aspek ekonomi. Hal ini menunjukkan
balance of power negara AS dalam kebijakannya. Sehingga, permasalahan dalam
pengembangan nuklir Iran dinilai sebagai esensi menghindari peperangan yang lebih luas.
Jadi, meski terbuktinya tidak ada senjata pemusnah massal pada dasarnya tujuan dari
pengembangan ini adalah untuk kebutuhan Iran sendiri. Akan tetapi, AS selalu
menganggap indikasi Iran merupakan sebuah ancaman, meski dari tujuan Irannya sudah
jelas. Sehingga, Iran tetap mendapat stigma yang buruk di kalangan internasional dengan
kuasa Amerika adalah negara yang memiliki pengaruh besar di lingkup dunia, sehingga
segala bentuk pernyataannya dapat dengan mudah dipercayai dan tersebar. Jika dilihat
dari segi kebijakan luar negeri oleh Rouhani terdapat perubahan dalam aktivitas
kesepakatannya, hal tersebut dikatakan sebagai sebuah bagaian dari proses perbaikan
konstelasi ekonomi Iran yang buruk dimana menyebabkan dicabutnya embargo Iran di
tahun 2016. Sehingga, tidak heran terjadinya benturan terutama dipersoalan nuklir dalam
kegiatan kerja sama yang terjalin antara Iran dan AS. Alhasil fenomenanya memberikan
dampak agar AS harus lebih wasdpada atas tindakan Iran yang dapat menjadikan AS
sebagai target nuklir.

3. POST NEGOTIATION
Tahapan
 Packaging Agreement:
Dengan diterapkannya sanksi-sanksi itu kepada Iran, maka Rouhani berupaya untuk
menjalin hubungan dekat dengan negara-negara barat dalam menangani masalah
penyelesaian senjata nuklir dan agar dicabutnya sanksi-sanksi penyebab menurunnya
perekonomian di Irak, kebijakan dalam penyelesaian ini dilakukan pada 27 September
2013. Ia sengaja bertemu dengan kelompok P5+1 yaitu Jerman, China, AS, Rusia,
Prancis, Inggris di New York pada Sidang Umum PBB, untuk membahas penyelesaian
maupun perkembangan nuklirnya. Sudah jelas terlihat bahwa pada masa kepemimpinan
Rouhani ini sifat kebijakan Iran lebih kooperatif dan terbuka atas persoalan ini, berbeda
dengan pemerintahan sebelumnya yang amat anti dengan campur tangan Barat. Iran juga
melakukan sebuah pertemuan untuk melanjutkan kesepakatan oleh pemerintah bersama
negara P5+1 yang diselesaikan di meja perundingan pada tanggal 15-16 Oktober 2013 di
Swiss
 Follow Up:
Dengan begitu, perundingan kembali dilakukan pada tanggal 7-9 November 2013 dengan
pembahasan yang masih sama dari pertemuan sebelumnya yaitu untuk menindaklanjuti
diplomasi multilateral. Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwasanya Iran
memberikan usulan mengenai program nuklirnya asalkan sanksi-sanksi yang ditujukan
kepada Iran harus secara resmi dikurangi oleh Uni Eropa dan AS, dengan begitu Iran
menyatakan akan berjanji untuk membatasi produksi uranium sebanyak 20%. Akhirnya
tidak terbentuknya resolusi bersama selama masa perundinan berlangsung, karema negara
P5+1 sepakat untuk menerima waktu sebanyak 10 hari untuk menyatakan keputusannya
yang berakibat belum tercapainya resolusi permasalahan nuklir di Iran.
 Review Meetings:
Konstelasi hubungan antara Iran-AS mengalami pasang surut yang dinamis. Pasca
revolusi Islam Iran yang meletus pada tahun 1979 menjadikan negara tersebut memiliki
pengaruh yang besar terhadap kawasan Timur Tengah. Hal ini membuat AS menganggap
Iran sebagai rivalnya. Apalagi Iran sebagai negara di kawasan yang menentang dominasi
AS atas kawasan tersebut menjadikan hubungan antar kedua negara semakin rumit dan
rentan terjadi perselisihan. Selanjutnya, konflik yang menyebabkan ketidakharmonisan
antara Iran-AS yakni isu pengembangan nuklir. Persoalan ini menjadi semakin rumit
Ketika AS memutuskan keluar dari anggota perjanjian JCPOA pada tahun 2015.
Meskipun pada kenyataannya tidak ada indikasi bahwa Iran melanggar isi perjanjian
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara Iran-AS pada dasarnya
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor isu pengembangan nulkir saja. Namun, juga
dipengaruhi oleh faktor kepentingan AS.
4. HUBUNGAN DIPLOMASI TANPA HUBUNGAN DIPLOMATIK
Hasil akhir atas penyelesaian program persenjataan nuklir Iran adalah kepasrahan atas
konsekuensi yang didapat karena menimbulkan kontroversial di banyak pihak negara,
karena Iran tetap berfokus dalam perkembangan nuklirnya demi kepentingan negaranya
sendiri. Iran juga tetap menerima kesulitan di aspek ekonomi karena masih ditujukannya
sanksi maupun embargo dari AS yang secara otomatis sudah tidak memiliki hubungan
kerja sama. Keputusan serius dari AS dalam menekan Irak juga ditunjukkan dengan
pengunduran diri secara sepihak dari kesepakatan JCPOA, pergeseran diantara keduanya
semakin jelas setelah Irak menolak memberikan kesempatan kedua untuk AS dalam
melakukan kerja sama. Oleh karena itu, dengan pendirian dari masing-masing pihak
memberikan presentase yang kecil untuk melakukan diplomasi koersif.

Anda mungkin juga menyukai