Para petinggi pemenang dari Perang Dunia II, yaitu Perdana Menteri Inggris, Winston
Churchill; Presiden Amerika Serikat, Franklin Roosevelt; dan Perdana Menteri Uni Soviet,
Joseph Stalin merencanakan selama perang untuk sebuah sistem pascaperang. Walaupun Piagam
Atlantik 14 Agustus 1941, menyuarakan kolaborasi dalam masalah ekonomi dan mempersiapkan
sistem keamanan permanen. Rencana-rencana ini dirumuskan pada tahun 1943 dan 1944 dan
membuahkan hasil di PBB pada tahun 1945. Namun beberapa hasil lain dari Perang Dunia II
membantu menjelaskan munculnya apa yang sekarang kita sebut Perang Dingin.
Pada masa terjadinya Perang Dingin muncul sebuah konsep bipolaritas. Yaitu dimana konsep ini
merupakan pola distribusi kekuatan yang bertumpu kepada dua negara dengan kekuatan besar
yang menjadi kutub utama. Kedua kutub tersebut membawahi sejumlah negara lemah dan
berkekuatan menengah yang dapat bergabung dalam salah satu kutub tersebut. Dinamika politik
internasional dalam pola bipolar direfleksikan melalui perubahan keanggotaan masing-masing
kutub yang dinamis. Setelah Perang Dingin berakhir pola bipolarias berubah menjadi
unipolaritas. Pola ini merupakan sistem yang terpusat kepada satu kekuatan saja, dimana
kekuatan tersebut mampu menciptakan order bagi sebagian besar anggota sistem internasional.
Konsep ini berkaitan erat dengan Hegemonic Stability Theory dimana peran negara, terutama
negara yang kuat diutamakan demi tercapainya sebuah stabilitas di dalam sebuah sistem
internasional. Dalam mencapai stabilitas sebuah sistem, dibutuhkan sebuah kekuatan hegemon
yang mampu mengarahkan dan mendorong tercapainya sebuah nilai-nilai universal yang
dirumuskannya (Gilpin, 1987).
Diplomasi
Pola diplomasi pada masa perang dingin mengalami perkembangan. Seperti halnya diplomasi
nuklir pada era détente yang dimana kedua negara aktif terlibat dalam perundingan gencatan
senjata pembatasan persenjataan nuklir (Bargman, 1997). Terdapat juga pola shuttle diplomacy
yang diterapkan Amerika Serikat pada saat Perang Yom Kippur pada tahun 1973. Menteri Luar
Negeri AS pada saat itu Henry Kissinger berperan sebagai mediator antara negara-negara Timur
Tengah yang membuat Kissinger harus melakukan perjalanan bolak-balik saat proses
perundingan tersebut. Diplomasi ping pong pun tercipta ketika Amerika Serikat yang pada saat
itu berselisih dengan pemerintahan komunis Cina mulai meregang hubungannya ketika tim dari
kedua negara bertemu dalam turnamen tenis meja dunia di Jepang.
Keamanan