Untuk memahami kepatuhan dan ketidakpatuhan dalam hukum internasional, kita
perlu memahami beberapa sudut pandang yang ada. Yang pertama adalah menurut sudut pandang rasionalisme dan realisme dimana masyarakat penganut teori ini setuju dengan peryataan bahwa suatu negara akan melakukan apa yang mereka pikir perlu dan bijaksana untuk mencapai tujuan utama mereka. Tujuan utama tersebut adalah keamanan, walaupun begitu sektor ekonomi terkadang dapat didahulukan. Dikatakan juga bahwa suatu negara dapat mengejar "politik prestise" dari masa ke masa. Pengertian politik prestise disini adalah suatu manifestasi dasar perjuangan suatu negara untuk mencapai kekuasaan di kanca internasional. Salah satu faktor yang sangat penting yang dapat menjadi tolak ukur seberapa baik suatu negara adalah dengan melihat apa yang telah dilakukan suatu negara di masa lalu. Dalam hal tersebut, teori realisme berfokus pada kekuatan relatif negara dan kapasitas mereka untuk melindungi diri dari tekanan eksternal. Pada umumnya negara-negara yang sangat kuat lebih cenderung untuk “bergerak sendiri” sehubungan dengan hukum internasional. Sudut pandang yang kedua adalah sudut sosiologis. Sudut pandang ini memiliki pemahaman bahwa kepentingan tidak bersifat endogen, namun dapat muncul dari proses wacana dan argumen, yang dipengaruhi oleh keseluruhan tempat elit negara dalam komunitas internasional. Sudut pandang ini dapat dengan mudah memprediksi keruntuhan sistem hukum internasional seperti halnya ketahanannya, karena menurut sudut pandang ini komunitas internasional serta wilayah yang berada di dalamnya bangkit dan jatuh bersama. Sudut pandang yang ketiga adalah budaya dan institusi liberal. Sudut pandang ini menekankan pada pembatasan melalui kekuasaan pemerintahan serta memiliki keterkaitan dengan hukum, prosedur yang tepat, serta keramahan. Sudut pandang ini juga memisahkan negara dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam komitmen terhadap norma-norma internasional dari lembaga-lembaga yang harus melaksanakan komitmen tersebut. Chayes memilki pendapat bahwa hambatan utama dalam melaksanakan perjanjian internasional adalah tidak bisanya elit negara untuk mengeluarkan perintah yang efektif. Dalam pandangan ini, negara mencapai kepatuhan dengan norma melalui enam langkah: • IO dan negara memantau perilaku; • Menilai perilaku dalam kaitannya dengan norma; • Mengidentifikasi kekurangan dan kegagalan; • Menentukan kelayakan dan kepatuhan dalam hal kapasitas negara; • Memberikan bantuan untuk menjembatani kesenjangan antara kapasitas yang ada dan yang diperlukan; • Serta dalam beberapa kasus, mengubah aturan itu sendiri sehingga berada dalam kisaran yang dapat dilakukan negara secara realistis.