Anda di halaman 1dari 12

JADWAL ACARA RAPAT KERJA

FORUM KERUKUNAN UMMAT BERAGAMA KABUPATEN MAJENE


TAHUN 2022

HARI /
WAKTU ACARA PELAKSANA
TGL
1 2 3 4

Jum at 07.30 – 08.00 Check in Peserta Panitia


26
November
2022 08.00 – 09.00 ACARA PEMBUKAAN :
1. Menyanyikan lagu Indonesia Raya
2. Laporan Ketua Panitia
3. Sambutan Ketua FKUB. Kab. Panitia
Majene
4. Sambutan Wakil Bupati Majene
selaku Ketua Dewan Pembina FKUB.
Majene sekaligus membuka Rapat
Kerja FKUB. Majene Tahun 2022
5. Pembacaan Do’a
6. Istirahat / penutup

09.00 –10.00 Materi : Peran dan Tugas Pemerintah


Daerah Dalam Memperkokoh
EksistensiFKUB. Di Daerah. Panitia
Oleh : Aris Munandar
( Wakil Bupati Majene / Ketua
Dewan Pembina FKUB. Majene )

10.00 - 11.00 Materi : Moderasi Beragama Sebagai


Perekat dan Pemersatu
Bangsa. Panitia
Oleh : H. Mustapa Tangngali, S. Ag., MA.
( Kepala Kantor Kemeng.
Kab. Majene )

11.00 - 12.00 Materi : Pelaksanaan Program, Tugas


dan Fungsi FKUB. Kabupaten Panitia
Majene.
Oleh : Drs. H. Mansur. S, M. Pd. I.
( Ketua FKUB. Majene )

12.00 - 13.30 ISOMA


14.00 - 16.00 Epaluasi Program dan Pembahasan Panitia
Program Kerja FKUB. Kab. Majene

16.00 - selesai ISTIRAHAT&PENUTUPAN

Panitia Pelaksana

Ketua Sekretaris

Drs. H. Hasri Hanafi, M. Pd. Drs. H. Zamzir Abu


Moderasi Beragama sebagai Perekat dan Pemersatu Bangsa
Oleh : H. Mustapa Tangngali, S. Ag, MA.
Kepala Kantor Kemenag. Kab. Majene

Mengapa moderasi beragama penting dalam konteks persatuan di Indonesia.


Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah.
Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation :
yang berarti : sikap tidak berlebih-lebihan.
Juga terdapat kata moderator, yang berarti ketua (of meeting), pelerai, penengah
(of dispute).
Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an
(tidak kelebihan dan tidak kekurangan).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” mempunyai arti :
berarti penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman.
Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”, menjadi
“moderasi beragama”, maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap
mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik
beragama. Gabungan kedua kata itu menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan
agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau
pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang
menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat,
bernegara, dan berbangsa Indonesia.
Sikap moderat dan moderasi adalah suatu sikap dewasa yang baik dan yang sangat
diperlukan. Radikalisasi dan radikalisme, kekerasan dan kejahatan, termasuk ujaran
kebencian/caci maki dan hoaks, terutama atas nama agama, adalah memecah
belah, merusak kehidupan, patologis, tidak baik dan tidak perlu.
Moderasi beragama merupakan usaha kreatif untuk mengembangkan suatu sikap
keberagamaan di tengah pelbagai desakan ketegangan (constrains), seperti antara
klaim kebenaran absolut dan subjektivitas, antara interpretasi literal dan penolakan
yang arogan atas ajaran agama, juga antara radikalisme dan sekularisme.
Komitmen utama moderasi beragama terhadap toleransi menjadikannya sebagai
cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang mengancam kehidupan
beragama itu sendiri dan, pada gilirannya, mengimbasi kehidupan persatuan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Memperhatikan sikap keberagamaan dalam dinamika berbangsa dan bernegara
akhir-akhir ini, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada berbagai
kesempatan mengajak tokoh-tokoh agama untuk menjadikan agama sebagai
sumber nilai-nilai yang merawat kebinekaan. Presiden mengajak tokoh-tokoh agama
dan umat beragama untuk memberikan wawasan keagamaan yang Iebih dalam dan
luas lagi kepada umat masing-masing, karena eksklusivisme, radikalisme, dan
sentimen-sentimen agama cenderung bertumpu pada ajaran-ajaran agama yang
terdistorsi. Tidak dapat disangkal bahwa agama menjadi roh utama bangsa ini
sehingga para tokoh agama berperan penting untuk menjaga kemajemukan sebagai
kekayaan dan modal sosial Indonesia.

A. Keragaman dan Keberagamaan Indonesia


Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai kehendak Tuhan. Keragaman
tidak diminta, melainkan pemberian Tuhan Yang Mencipta, bukan untuk ditawar
melainkan untuk diterima (taken for granted). Indonesia adalah negara dengan
keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya
di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat, ada
ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal di
Indonesia.
Dengan kenyataan beragamnya masyarakat Indonesia itu, dapat dibayangkan
betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan, dan kepentingan masing-
masing warga bangsa, termasuk dalam beragama. Beruntung kita memiliki satu
bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sehingga berbagai keragaman keyakinan
tersebut masih dapat dikomunikasikan, dan karenanya antarwarga bisa saling
memahami satu sama lain. Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola
keragaman itu tak urung kadang terjadi.
Dari sudut pandang agama, keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan; jika
Tuhan menghendaki, tentu tidak sulit membuat hamba-hamba-Nya menjadi seragam
dan satu jenis saja. Tapi Tuhan memang Maha Menghendaki agar umat manusia
beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar kehidupan menjadi
dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu sama lain. Dengan begitu,
bukankah keragaman itu sangat indah? Kita harus bersyukur atas keragaman
bangsa Indonesia ini.
Selain agama dan kepercayaan yang beragam, dalam tiap-tiap agama pun terdapat
juga keragaman penafsiran atas ajaran agama, khususnya ketika berkaitan dengan
praktik dan ritual agama. Umumnya, masing-masing penafsiran ajaran agama itu
memiliki penganutnya yang meyakini kebenaran atas tafsir yang dipraktikkannya.
Pengetahuan atas keragaman itulah yang memungkinkan seorang pemeluk agama
akan bisa mengambil jalan tengah (moderat) jika satu pilihan kebenaran tafsir yang
tersedia tidak memungkinkan dijalankan. Sikap ekstrem biasanya akan muncul
manakala seorang pemeluk agama tidak mengetahui adanya alternatif kebenaran
tafsir lain yang bisa ia tempuh. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi
sangat penting untuk dijadikan sebagai sebuah cara pandang (perspektif) dalam
beragama.
Di Indonesia, dalam era demokrasi yang serba terbuka, perbedaaan pandangan dan
kepentingan di antara warga negara yang sangat beragam itu dikelola sedemikian
rupa, sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan sebagaimana mestinya. Demikian
halnya dalam beragama, konstitusi kita menjamin kemerdekaan umat beragama
dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan
keyakinannya masing-masing.
Ideologi negara kita, Pancasila, sangat menekankan terciptanya kerukunan
antarumat beragama. Indonesia bahkan menjadi contoh bagi bangsa-bangsa di
dunia dalam hal keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya., serta
dianggap berhasil dalam hal menyandingkan secara harmoni cara beragama
sekaligus bernegara. Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang kerap
terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik, dan kembali pada kesadaran
atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa besar, bangsa
yang dianugerahi keragaman oleh Sang Pencipta.
Namun demikian, kita harus tetap waspada. Salah satu ancaman terbesar yang
dapat memecah belah kita sebagai sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang
agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Mengapa? Karena
agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat
dengan muatan emosi, dan subjektivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan
ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan bagi pemeluk fanatiknya, agama
merupakan “ benda” suci yang sakral, angker, dan keramat. Alih-alih menuntun pada
kehidupan yang tenteram dan menenteramkan, fanatisme ekstrem terhadap
kebenaran tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di
antara mereka.
Konflik berlatar agama ini dapat menimpa berbagai kelompok atau mazhab dalam
satu agama yang sama (sektarian atau intraagama), atau terjadi pada beragam
kelompok dalam agama-agama yang berbeda ( komunal atau antaragama ).
Biasanya, awal terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh sikap saling
menyalahkan tafsir dan paham keagamaan, merasa benar sendiri, serta tidak
membuka diri pada tafsir dan pandangan keagamaan orang lain.
Untuk mengelola situasi keagamaan di Indonesia yang sangat beragam seperti
digambarkan di atas, kita membutuhkan visi dan solusi yang dapat menciptakan
kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan, yakni
dengan mengedepankan moderasi beragama, menghargai keragaman tafsir, serta
tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan tindak kekerasan.
Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem
dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama Tang ekstrem meyakini mutlak
kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya.
Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama
yang ekstrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau
mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada
tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal.
Keduanya perlu dimoderasi.

B. Mengapa Penting Moderasi Beragama?


Ini adalah sebuah pertanyaan yang sering diajukan: mengapa kita, bangsa
Indonesia khususnya, membutuhkan perspektif moderasi dalam beragama?
Secara umum, jawabannya adalah karena keragaman dalam beragama itu niscaya,
tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar moderasi adalah untuk mencari persamaan
dan bukan mempertajam perbedaan. Jika dielaborasi lebih lanjut, ada setidaknya
tiga alasan utama mengapa kita perlu moderasi beragama, yakni ::
1. Salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia
sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak
menghilangkan nyawanya. Itu mengapa setiap agama selalu membawa misi
damai dan keselamatan. Untuk mencapai itu, agama selalu menghadirkan
ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan; agama juga
mengajarkan bahwa menjaga nyawa manusia harus menjadi prioritas;
menghilangkan satu nyawa sama artinya dengan menghilangkan nyawa
keseluruhan umat manusia. Moderasi beragama menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan.
Orang yang ekstrem tidak jarang terjebak dalam praktik beragama atas nama
Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja seraya
mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini
rela merendahkan sesama manusia “atas nama Tuhan”, padahal menjaga
kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama.
Sebagian manusia sering mengeksploitasi ajaran agama untuk memenuhi
kepentingan hawa nafsunya, kepentingan hewaninya, dan tidak jarang juga
untuk melegitimasi hasrat politiknya. Aksi-aksi eksploitatif atas nama agama
ini yang menyebabkan kehidupan beragama menjadi tidak seimbang,
cenderung ekstrem dan berlebih-lebihan. Jadi, dalam hal ini, pentingnya
moderasi beragama adalah karena ia menjadi cara mengembalikan praktik
beragama agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benar-benar
berfungsi menjaga harkat dan martabat manusia, tidak sebaliknya.
2. Ribuan tahun setelah agama-agama lahir, manusia semakin bertambah dan
beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beraneka warna kulit, tersebar di
berbagai negeri dan wilayah. Seiring dengan perkembangan dan persebaran
umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar. Karya-karya
ulama terdahulu yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi memadai untuk
mewadahi seluruh kompleksitas persoalan kemanusiaan.
Teks-teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran menjadi beranak
pinak; sebagian pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada esensi dan
hakikat ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran
versi yang disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan kepentingan
politiknya. Maka, konflik pun tak terelakkan. Kompleksitas kehidupan manusia
dan agama seperti itu terjadi di berbagai belahan dunia, tidak saja di
Indonesia dan Asia, melainkan juga di berbagai belahan dunia lainnya.
Konteks ini yang menyebabkan pentingnya moderasi beragama, agar
peradaban manusia tidak musnah akibat konflik berlatar agama.
3. Khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai
strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa
yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil
mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni
Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata
berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya.
Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan
agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga,
dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum
agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin
berkelindan dengan rukun dan damai.
Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan
karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman.
Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendi-sendi
keindonesiaan kita jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi
beragama amat penting dijadikan cara pandang.
Selain dari tiga poin besar di atas, dapat juga dijelaskan bahwa moderasi beragama
sesungguhnya merupakan kebaikan moral bersama yang relevan tidak saja dengan
perilaku individu, melainkanjuga dengan komunitas atau lembaga.
Moderasi telah lama menjadi aspek yang menonjol dalam sejarah peradaban dan
tradisi semua agama di dunia. Masing-masing agama niscaya memiliki
kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang sama, yakni
bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan
merupakan sikap beragama yang paling ideal.
Kesamaan nilai moderasi ini pula yang kiranya menjadi energi pendorong terjadinya
pertemuan bersejarah dua tokoh agama besar dunia, Paus Fransiskus dengan
Imam Besar Al Azhar, Syekh Ahmad el-Tayyeb, pada 4 Februari 2019 lalu.
Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen persaudaraan kemanusiaan (human
fraternity document), yang di antara pesan utamanya menegaskan bahwa musuh
bersama kita saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme akut (fanatic extremism),
hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance),
serta rasa benci (hateful attitudes) di antara sesama umat manusia, yang semuanya
mengatasnamakan agama.
Sebagai negara yang plural dan multikultural, konflik berlatar agama sangat
potensial terjadi di Indonesia. Kita perlu moderasi beragama sebagai solusi, agar
dapat menjadi kunci penting untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun,
harmoni, damai, serta menekankan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat, maupun kehidupan secara keseluruhan.
Moderat sering disalahpahami dalam konteks beragama di Indonesia. Tidak sedikit
masyarakat yang beranggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam
beragama berarti-tidak teguh pendirian, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh
dalam mengamalkan ajaran agamanya. Moderat disalahpahami sebagai kompromi
keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain.
Seorang yang moderat seringkali dicap tidak paripurna dalam beragama, karena
dianggap tidak menjadikan keseluruhan ajaran agama sebagai jalan hidup, serta
tidak menjadikan laku pemimpin agamanya sebagai teladan dalam seluruh aspek
kehidupan. Umat beragama yang moderat juga sering dianggap tidak sensitif, tidak
memiliki kepedulian, atau tidak memberikan pembelaan ketika, misalnya, simbol-
simbol agamanya direndahkan.
Anggapan keliru lain yang lazim berkembang di kalangan masyarakat adalah bahwa
berpihak pada nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam beragama sama artinya
dengan bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas
tertulis dalam teks-teks keagamaan, sehingga dalam kehidupan keagamaan di
Indonesia, mereka yang beragama secara moderat sering dihadapkan secara
diametral dengan umat yang dianggap konservatif dan berpegang teguh pada ajaran
agamanya.
Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada
munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai
seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat.
Namun, benarkah pemahaman moderat seperti itu? Dan benarkah bahwa bersikap
moderat dalam beragama berarti menggadaikan keyakinan ajaran agama kita demi
untuk menghargai keyakinan pemeluk agama lain?
Jawabannya tentu saja tidak. Moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti
mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau ritual pokok agama demi untuk
menyenangkan orang lain yang berbeda paham keagamaannya, atau berbeda
agamanya. Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak
menjalankan ajaran agamanya secara serius. Sebaliknya, moderat dalam beragama
berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang
mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh
menyangkut tafsir agama.
C. Tantangan-Tantangan Persatuan Bangsa
Persoalan dan tantangan bangsa Indonesia tidaklah sedikit. Banyak dan kompleks.
Tidak mungkin terselesaikan tanpa kolaborasi dan tanpa hadirnya kesatuan dan
persatuan di antara segenap anak bangsa; tanpa hadirnya kesatuan hati anak
bangsa. Di bawah ini diuraikan sejumlah persoalan dan tantangan yang mengancam
persatuan bangsa.
1. Tantangan Beyond Post-Modern Era
Kita sedang berada di zaman peradaban baru yang didominasi oleh “perang urat
saraf”, yaitu melibatkan kekuatan teknologi terbarukan (updating technology). Tentu,
teknologi yang terus terbarukan adalah anugerah Allah bagi manusia. Pada satu sisi,
dengan adanya temuan dan teknologi yang semakin canggih akan semakin
memanjakan dan memudahkan kita melakukan aktivitas dan pelayanan. Sebaliknya,
dengan hadirnya teknologi terbarukan tersebut dapat menciptakan persoalan-
persoalan baru yang menyeramkam. Inilah yang sedang mengemuka saat ini.
Pemanfaatan media sosial yang kuat akan menjadi pemenang, baik dari sisi positif
maupus sisi negatifnya. Penguasaan media cetak dan media elektronika yang
semakin canggih memberikan referensi bahwa tantangan kita tidaklak sedikit.
Teknologi dapat mengangkat derajat kehidupan manusia, tetapi pada saat yang
sama pula dapat memusnahkan manusia itu sendiri.
2. Tantangan Intoleransi
Intoleransi adalah tindakan yang tidak toleran atau tidak memiliki tenggang rasa.
Intoleransi ini sering dihubungkan dengan kepercayaan atau praktik agama lain.
Dalam beberapa sumber, fakta menyebutkan bahwa tindak intoleransi beragama di
Indonesia meningkat. Intoleransi ini sesungg merupakan buah dari kelalaian anak.
bangsa untuk menjaga nilai, menjaga panji, menjaga semangat Pancasila yang
merupakan buah dari kesepakatan bersama.
3. Persoalan Korupsi
Dalam berbagai kesempatan disebutkan bahwa korupsi adalah musuh bersama
bahkan disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes). Berbagai
upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah, memperberat hukuman,
memperkuat KPK, dsb. seakan-akan tidak mempan – tidak menjadi efek jera – bagi
para pelakunya. Undang-Undang KPK yang baru yang walaupun telah disahkan
oleh DPR/MPR RI tetapi masih meninggalkan persoalan yang perlu dipastikan lebih
jauh. Timbulnya protes dari elemen masyarakat dalam pasal-pasal tertentu tidak
terlepas dari semangat agar bangsa ini terbebaskan dari cengkeraman korupsi.
Hanya saja, dalam berbagai analisis bahwa persoalan kita adalah kompleks. Praktik
nepotisme, lemahnya penegakkan hukum, wibawa hukum yang merosot, rendahnya
komitmen moral, rendahnya peran hati nurani menjadi pemicu utama terjadinya
praktik-praktik korupsi ini. Tidak heran bila Binoto Nadapdap menulis buku dengan
judul “Korupsi Belum Ada Matinya”. Kapan matinya? Ini merupakan pertanyaan
untuk dijawab oleh seluruh anak bangsa.
4. Tantangan Radikalisme
Radikalisme pada umumnya diartikan sebagai paham yang menghendaki terjadinya
perubahan signifikan dalam bidang politik dan juga sosial. Pendekatan yang dipakai
dengan cara ekstrim/kekerasan yang berpotensi terjadinya konflik. Bentuk
perwujudan dan gerakan radikalisme bervariasi. Dalam tulisan Ahmad Jainuri
dikatakan bahwa radikalisme dari perspektif pemikiran didasarkan pada keyakinan
tentang nilai, ide, dan pandangan yang dimiliki oleh seseorang yang dinilainya
sebagai yang paling benar dan menganggap yang lain salah. Ia sangat tertutup,
biasanya sulit berinteraksi dan hanya saling berbicara dengan kelompoknya sendiri.
Orang yang memiliki pandangan seperti ini biasanya tidak menerima pemikiran
orang lain, selain pikiran dan kelompoknya sendiri. Otoritas pengetahuan yang
dimilikinya dikaitkan dan diperoleh dari figur tertentu yang dinilai tidak dimiliki oleh
orang lain. Karena itu, biasanya kaum radikal tidak menerima figur lain sebagai
sumber rujukan pengetahuannya. Dalam dialog biasanya ia tidak ingin memahami
keanekaragaman pendapat yang dimiliki orang lain, tetapi ingin menyatukan
pandangan yang berbeda itu dengan pandangan dan pendapat menurut standar diri
sendiri, bahkan dengan memaksakan kehendak. Pada sisi lain, radikalisme tindakan
dan gerakan ditandai oleh aksi ekstrem yang harus dilakukan untuk mengubah suatu
keadaan seperti yang diinginkan. Contoh dalam bidang politik seperti tindakan
makar, revolusi, demonstrasi, dan protes sosial yang anarkis.
5. Tantangan Terorisme
Achmad Jainuri menulis bahwa istilah teror dan terorisme telah menjadi idiom ilmu
sosial yang sangat populer pada dekade 1990-an dan awal 2000-an sebagai bentuk
kekerasan atas nama agama. Meskipun sesungguhnya terorisme bukanlah sebuah
istilah baru, tetapi teror dan terorisme telah muncul sepanjang sejarah kehidupan
umat manusia. Lebih lanjut Jainuri menjelaskan bahwa terorisme bagian dari
gerakan radikalisme yang paling mutakhir di abad ini telah mencapai puncak
ancaman peradaban. Pada tahun 1980, CIA (Central Intelligence Agency)
mendefinisikan terorisme sama dengan ancaman atau penggunaan kekerasan untuk
tujuan politik yang dilakukan oleh individu atau kelompok atas nama atau menentang
pemerintah yang sah, dengan menakut-takuti masyarakat yang lebih luas dari pada
korban langsung teroris. Tulisan A.M. Hendropriyono tentang terorisme lebih
komprehensif. Dalam Bab IV bukunya yang berjudul Terosisme: Fundamentalis
Kristen. Yahudi, Islam menyuguhkan informasi dan penilaian terhadap terosisme itu
sendiri sebagai ancaman ketahanan di bidang ketahanan politik, pertahanan dan
keamanan, serta kemanusiaan. Persoalan terorisme merupakan persoalan yang
tidak gampang dipahami. Ada berbagai kisi yang tidak dapat dimengerti. Banyak
pakar menyatakan bahwa pemahaman radikalisme yang sebenarnya tidaklah
dibentuk oleh sebab yang tunggal tetapi banyak kisi lain yang belum dapat dipahami
secara tuntas.
6. Tantangan Kemiskinan
Kemiskinan terjadi bukan hanya karena kekurangan sumber daya alam, tetapi juga
karena faktor sumber daya manusia yang sangat terbatas dalam pengetahuan dan
ketrampilan mengelola sumber daya alam.
Hal ini, tentu menyangkut dimensi pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Karena
itu, memang persoalan keindonesiaan kita adalah persoalan kompleks. Dapat
dikatakan, kondisi ini telah menahun dan terbiarkan selama berpuluh-puluh tahun
lamanya. Indonesia dengan kekayaan alamnya yang luar biasa tetapi masih saja
berhadapan dengan kemiskinan. Karena itu, perlu introspeksi diri secara jujur
tentang keindonesiaan dan berbenah agar keluar dari petaka kemiskinan.
7. Tantangan Alzheimer Sejarah
Salah satu pidato kenegaraan Presiden Soekarno yang disampaikan dalam rangka
memperingati Ulang Tahun kemerdekaan RI ke-21 Tahun 1966 berjudul “Jangan
Sekali-kali Melupakan Sejarah” atau yang umumnya dikenal dengan
sebutan Jasmerah. Jasmerah ini bersi penuturan data dan fakta-fakta sejarah yang
diuraikan secara gamblang. Berisi gagasan dan semangat patriotisme.
Berisi wawasan dan sekaligus tindakan antisipatif. Berisi semangat juang tanpa
pamrih. Berisi ajakan untuk mengisi kemerdekaan tanpa pamrih. Telah 77 tahun
Indonesia merdeka ini merupakan momentum untuk mengingat kembali sejarah
bangsa yang tertorehkan dalam banyak catatan dan pengalaman.
Tentu, pengalaman selama 77 tahun adalah pengalaman yang penuh makna.
Selingan persoalan juga silih berganti yang menjadikannya semakin kuat dan
dewasa. Para pejuang dan pendiri bangsa telah rela memberikan segala-galanya.
Mereka memberi tanpa merasa berkekurangan. Mereka memberi tidak untuk
kepentingan golongan atau kepentingan sektarian. Mereka memberi dengan
kepentingan besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan rumah besar
kita bernama Indonesia.
D. Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Dalam konteks kompleks yang telah dipaparkan di atas, pertanyaan urgen yang
mesti kita jawab ialah, bagaimana kita merajut persatuan dan kesatuan bangsa yang
sehat, harmonis, dan langgeng? Sebagai sesama anak bangsa, ada beberapa
perspektif yang mesti dibangun sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Perlunya Kesadaran Kuat tentang Wawasan Kebangsaan
Seluruh komponen bangsa harus memiliki kesadaran ini, tidak terkecuali seluruh
pemeluk agama. Dalam agama Kristen, Alkitab memberi bukti bahwa betapa
pentingnya mendukung bangsa dan negara. Semangat kebangsaan ditunjukkan
secara terbuka bebera teks Alkitab
Para pendiri bangsa Indonesia (the founding fathers) semula telah menyadari bahwa
kenyataan pluralisme bangsa Indonesia dari segi suku, budaya, daerah, dan
terutama agama yang d berpotensi melahirkan konflik dan perpecahan yang
mengancam keutuhan bangsa. Sesungguhnya kemajemukan adalah kekayaan yang
patut disyukuri. Pilar-pilar kebangsaan semestinya dikedepankan karena sudah
merupakan konfesi/konsensus bersama dan bersifat final, yaitu: NKRI, UUD 1945,
Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.
2. Pendidikan yang Berkarakter
Pendidikan yang berkarakter merupakan upaya sadar yang dilakuakan seseorang
atau sekelompok orang untuk menginternalisasikan nilai-nilai pada seseorang yang
lain sebagai pencerahan agar peserta didik mengetahui, berfikir, dan bertindak
secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi. Tujuan dari pendidikan yang
berkarakter adalah untu membentuk pribadi seseoranng menjadi manusia yang baik.
Dewasa ini, pendidikan karakter di Indonesia semakin menjadi pusat perhatian
dalam dunia pendidikan. Hal ini disebabkan karena penurunan moral para penerus
bangsa yang semakin mengkhawatirkan. Tidak sedikit kasus-kasus beredar tentang
turunnya moral anak bangsa, mulai dari perlakuan yang tidak sopan kepada
guru/dosennya, tawuran, dan tindak asusila. Berbagai masalah inilah yang membuat
perhatian pemerintah semakin tertuju pada pendidikan yang berkarakter. Namun
usaha yang dilakukan oleh pemerintah terhadap peserta didik sepertinya tidak
sejalan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar lingkungannya,
terutama di lingkungan sekolah atau kampus. Tidak sedikit tenaga pendidik yang
memberikan contoh yang tidak baik kepada peserta didik. Padahal karakter dari
seorang tenaga pendidik sangat berperan penting dalam pembentukan karakter
seorang anak.
Jadi tenaga pendidik tidak hanya memberikan pemahaman kepada peserta didik
tentang bagaimana karakter yang baik itu, bagaimana seharusnya kita sebagai
manusia itu berperilaku, tapi juga tenaga pendidik harus memberikan contoh yang
baik pula kepada peserta didik agar sosialisasi yang diberikan itu dapat berjalan
dengan sempurna dan agar pendidikan karakter itu dapat berjalan dengan sempurna
pula. Pun peserta didik seharusnya juga harus memiliki kemampuan dalam
memfilter mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang tidak baik.
Kesimpulannya, tenaga pendidik dan peserta didik harus bekerja sama agar
pendidikan karakter di Indonesia berhasil.
3. Pendidikan Berbasis Keluarga
Salah satu fungsi keluarga dalam perspektif pendidikan adalah sebagai tempat bagi
penanaman nilai-nilai positif bagi kehidupan, pengembangan, dan pemantapan
keterampilan, tingkah laku dan pengetahuan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi
lain. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam
kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin berperadaban atau
tidak mungkin berkebudayaan. Pengetahuan dapat bertambah karena melalui
proses pendidikan, baik pendidikan formal (resmi), informal (keluarga, lingkungan,
teladan), maupun non formal (kursus). Melalui pendidikan, manusia bisa
mengembankan kemampuan imajinasi menjadi kenyataan.
Mengingat begitu pentingnya pendidikan, melalui jabaran UUD 1945 tentang
pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang
menekankan tentang tujuan pendidikan. Pada pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Diharapkan melalui rumusan tujuan pendidikan nasional ini memberikan arah bagi
pendidikan yang baik dan relevan untuk menjawab kebutuhan konteks Indonesia.
Hanya saja, yang terlihat selama ini justru sangat jauh dari cita-cita ideal bangsa.
Di mana-mana ditemukan hal-hal yang kontras dengan tujuan pendidikan. Degradasi
mentalitas-moralitas-spiritualitas anak bangsa sangat terasa memilukan dan
memalukan. Perilaku koruptif di luar aturan main menjadi hal yang seakan-akan
dilegitimasi. Semua mengatasnamakan kebenaran dan hukum. Semua mencari
pembenaran. Semua mencari kambing hitam, dst.
4. Penanaman Nilai Pendidikan dalam Konteks Plural
Sebagai bangsa yang kaya raya dengan sumber daya alam tetapi juga kaya raya
dari sisi budaya, kesadaran terhadap nilai pendidikan dalam konteks plural perlu
digemakan. Dalam konteks penanaman nilai pendidikan dalam konteks plural perlu
ada penekanan :
1. Perlunya pemeliharaan (perawatan) secara berkesinambungan;
2. Perlunya semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai/emansipasi
ketika berhadapan dengan keragaman/kepelbagaian sebagai kekayaan;
3. Perlunya implementasi riil dalam konteks hidup bersama. Di luar kesadaran
terhadap nilai-nilai ini akan kacau. Di luar ini akan terganggu.

Anda mungkin juga menyukai