Anda di halaman 1dari 7

PRAKTIK BAIK

PROYEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA


TENUN PAHIKUNG DALAM TEMA KEARIFAN LOKAL

DISUSUN OLEH
JAKOBIS DANIEL MBOEIK, S.Pd
KEPALA SMP NEGERI 1 UMALULU
SEKOLAH PENGGERAK ANGKATAN 2

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBA TIMUR


DINAS PENDIDIKAN KEPEMUDAAN DAN OLAHRAGA
SMP NEGERI 1 UMALULU
JL. PRAMUKA NO 1 MUTUNGGEDING MELOLO
KECAMATAN UMALULU KABUPATEN SUMBA TIMUR

2023

1
A. Pendahuluan

Tenun songket (tenun pahikung) adalah tenun dengan cara memberi pola / gambar terlebih
dahulu pada benang pahudu dengan menggunakan lidi. Dari beberapa lidi yang sudah
membentuk sebuah gambar yang diinginkan, dilanjutkan dengan proses tenun.
Tenun pahikung ini lebih banyak diperuntukan bagi busana perempuan yaitu sarung (lau ).
Dan pada era terakhir ini ditambah selendang sebagai pasangan sarung. Terdapat juga
beberapa ukuran selendang lainnya tergantung kebutuhan konsumen. Banyak dari mereka
yang menggunakan tenun songket sebagai syal, taplak meja, hiasan dinding, tas, sepatu,
topi,serta pakaian anak- anak dan orang dewasa.
Teknik menggambar pola motif (hikung) pada kain Sumba Timur, merupakan
pengembangan ide kreatif yang berkembang dari teknik ikat oleh penduduk setempat,
walaupun pada umumnya masyarakat Indonesia hampir seluruhnya mengetahui tentang
teknik ini. Namun pada kenyataannya masyarakat Sumba Timur yakin akan teknik
menggambar ini masih terbilang unik dan langka untuk saat ini.
Adapun motif – motif yang sering ditampakkan dalam lembaran kain songket Sumba
Timur merupakan lambang kehidupan itu sendiri, perjuangan hidup, dan juga termuatnya
sejarah peradaban orang Sumba, hingga kini adapula motif modifikasi sebagai bentuk
toleransi masyarakat Sumba Timur pada perkembangan kehidupan orang Sumba.
Tenun songket atau tinung hikung demikian masyarakat Sumba Timur menyebutnya,
merupakan warisan kearifan lokal masyarakat Sumba Timur dan perlu dipertahankan
keberadaannya. Oleh sebab itu pekerjaan tenun hikung adalah beban tanggung jawab
semua pihak yang bukan saja dilakukan perempuan Sumba Timur pada kebiasaannya.
Kain tenunan baik tenun ikat maupun tenun pahikung Sumba Timur sarat dengan
tanda/gambar yang membentuk corak, motif merupakan penuangan gagasan, ide,
pemikiran, yang sebelumnya telah tertuang dalam seni kata (seni verbal). Misalnya ada
realita, seorang raja penuh kuasa, sakti, sehingga dikramatkan, dan permaisuri yang
berwibawa, bijak bestari, bertajuk mahkota (kara wulang). Dalam dunia binatang (fauna)
buaya yang memiliki instink kuat ditakuti dan dikramatkan oleh masyarakat Sumba
umumnya (di Mesir dewa Sobek dilukis sebagai buaya). Buaya disandingkan dengan
penyu/kura-kura (ingat filsafat orang Sumba, serba dua atau dualisme). Maka lahirlah seni
kata dalam baitan ana wuya rara, ana karawulang, sang buaya merah sang penyu
bersisik.
Seni kata yang menyebutkan konsep itulah yang dilukiskan sebagai buaya dan penyu
dalam kain tenun Sumba Timur. Tentu saja dengan variasi gambar lain yang tidak
mengaburkan tema. Masyarakat Sumba Timur yang sifatnya komunalistik seperti
musyawarah bersama, mengerjakan sesuatu secara bersama, memecahkan masalah
bersama, itu ada kemiripannya dengan dunia fauna, kakatua dan nuri yang selalu
berkelompok. Kenyataan ini diungkapkan dalam seni kata kaka makanguhuru, pirihu
pa’oli, kakatua dan nuri yang senantiasa berkelompok. Dan lahirlah motif kakatua yang
melambangkan kehidupan masyarakat yang demikian.
Hampir semua gambar/motif yang tertera pada kain tenun Sumba Timur diambil dari
dunia fauna dan flora yang dikemas dalam seni kata, bahasa baitan yang kesemuanya
mengacuh pada kehidupan manusia. Di sini terjadi apa yang diistilahkan dispersonifikasi,
tidak memanusiakan manusia tapi memfaunakan dan memflorakan. Pemakaian kehidupan
dunia lain untuk melambangkan kehidupan manusia tentu saja melalui proses yang
dibangun oleh masyarakat atau individu-individu dengan memberikan arti tertentu yang
kurang lebih standar yang disepakati dan digunakan oleh masyarakat pendukungnya, dan
selanjutnya dianggap lambang konvensional.
Gambaran di atas tentunya tidak terlepas dari peradaban masyarakat sekitar SMP Negeri 1
Umalulu. Masyarakat di sekitar sekolah kami sebagian besar menopang kehidupan
ekonomi rumah tangga melalui tenun pahikung. Ketrampilan tenun pada masyarakat
sekitar didominasi oleh perempuan dewasa Hal ini diakibatkan remaja perempuan
beranggapan bahwa pekerjaan menenun adalah pekerjaan yang membosankan. Selain itu
juga bahwa pilihan pekerjaan sudah semakin banyak. Oleh karena itu, untuk menjaga
kelestarian budaya melalui tenun pahikung diperlukan peran beberapa pihak untuk
meningkatkan kebutuhan remaja perempuan untuk belajar bertenun.

B. Isi

Bedasarkan gambaran di atas, upaya kami sebagai lembaga yang diberi kepercayaan untuk
membentuk peserta didik untuk mencapai potensi dirinya melalui kegiatan kokurikuler
selain kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Kegiatan kokurikuler pada kurikulum
merdeka adalah kegiatan berbasis proyek yang lebih dikenal dengan Proyek Penguatan
Profil Pelajar Pancasila. Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila merupakan
pembelajaran lintas disiplin ilmu dalam mengamati dan memikirkan solusi terhadap
permasalahan di lingkungan sekitar. Proyek ini dilakukan untuk menguatkan berbagai

3
kompetensi dalam profil pelajar pancasila. Penerapan P5 ini didasarkan pada kebutuhan
masyarakat atau permasalahan di lingkungan satuan pendidikan. Artinya para pelajar
diajak untuk belajar dari lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, pelajar diberi
kesempatan untuk 'mengalami pengetahuan'. Sebagaimana ditegaskan oleh Ki Hajar
Dewantara bahwa anak-anak mesti didekatkan hidupnya kepada kehidupan rakyat agar
mereka tidak hanya memiliki pengetahuan saja, namun bisa mengalaminya sendiri.
Dalam pelaksanaan P5 khususnya tema kearifan lokal dengan topic tenun pahikung, kami
mengalami beberapa kendala sebagai factor penghambat diantaranya adalah
1. Jumlah fasilitator P5 tidak dapat menjangkau jumlah peserta didik kelas VII
sebanyak 305 orang.
2. Dalam pembelajaran P5, yang ditekankan adalah proses pembentukan dimensi profil
pelajar pancasila bukan produk menjadi target utama untuk itu gelar karya tidak
menjadi sebuah keharusan.
3. Minat peserta didik terhadap tenun pahikung rendah terutama peserta didik laki – laki.

Berdasarkan kendala di atas, dapat kami jabarkan rencana aksi yang dilaksanakan untuk
menjawab tantangan serta memberi gambaran pelaksanaan P5 sesuai topik dan tema serta
dimensi sebagai berikut;

1. Dalam perencanaan P5 khusus pada kelas IV tema yang diusung adalah Kearifan
Lokal, Kewirausahaan dan Bhineka Tunggal Ika.

2. Proses pelaksanakan P5 dengan durasi 360 jam dalam satu tahun khusus kelas VII
disepakati tiap tema 120 jam.

3. Khusus tema Kearifan Lokal, fasilitator memberi gambaran umum kepada peserta
didik tentang sejumlah topic diantaranya Tenun Pahikung. Lebih dari 50% peserta
didik bersepakat untuk memilih Tenun Pahikung sebagai topic dalam pelaksanaan P5.

4. Dimensi yang diukur sesuai perencanaan Tim P5 adalah Kreatif, Mandiri dan Gotong
royong.

5. Dalam pelaksanaannya, fasilitator membentuk kelompok berdasarkan peserta didik


yang bisa menenun agar tercipta tutor sebaya dalam kelompok dengan mengikuti
langkah tenun mulai dari penyiapan alat dan bahan serta praktik menenun.

Adapun langkah – langkahnya dapat kami paparkan sebagai berikut;


1. Alat
a. Wanggi
Sepasang kayu atau bambu yang masing-masing ujung kayu atau bambu tersebut
dibuatkan lubang dan panjang kayu ini, menentukan panjang kain tenunan.
b. Ai au. Ai au (bambu) digunakan untuk menahan wunnang pada saat pembidangan
atau pamening. Bambu yang digunakan dipilih yang kecil dan halus.
Selain bambu, Penahan wunnang ini, dapat juga diganti dengan kayu bulat kecil
yang dihaluskan.
c. Tali ( menggunakan benang ). 2 tali yang dibentangkan didalam wanggi pada saat
pamening. Tali pertama digunakan untuk memisahkan benang dasar. Tali kedua
untuk benang motif (ruu pahudu).Palambang atau bilah bambu sedang yang
digunakan untuk songket dan memilah setiap helaian benang motif sebagai bagian
dari penggambaran motif.
d. Polu merupakan Alat yang berfungsi sebagai pengencang pada saat proses
pembuatan motif dan juga pada saat proses tenun berlangsung.
polu terdiri dari 2 macam yaitu, polu wawa / polu baba ( kayu penahan bagian
bawah ) dan polu dita ( kayu penahan bagian atas).
e. Liu atau alat yang digunakan untuk menahan bentangan tetap kencang, dan
dipasang dibagian belakang pinggang, yang dihubungkan dengan dua pasang tali
pada masing-masing ujung Polu wawa / polu baba.
f. Kalira atau Belira/ Pesa, adalah alat berbentuk panjang mirip tampilan parang,
karena salah satu ujungnya diruncing seperti parang dan berfungsi sebagai
pemadat lungsingan benang pada tenunan.
g. Wunnang. Terdiri dari 2 bagian yaitu, pertama: wunang besar sebagai li nguada
Kedua: wunang kecil (dibuat pada saat pababbat/ proses tenun pertama untuk
merapikan tenunan).
h. Nguada atau pembatas antara yang disongket (di hikung) dengan yang belum
disongket dan lebih difungsikan pada saat proses tenun.

i. Tukka atau pengencang hasil tenun. Masing-masing sisi dari bilah bambu ini
diruncingkan dan ditancapkan pada masng-masing sisi tenunan bagian akhir
sebelum kembali melalukan proses hikungu.
j. Piapang atau kumparan kecil, biasanya digunakan pada proses awal persiapan
benang jika dipindahkan dalam gulungan bulat.
5
k. Kindi atau alat yang digunakan khusus mempersiapkan benang yang dijadikan
benang motif. Karena benang motif lembarannya terdiri dari gulungan 2 atau 3
helai benang yang telah disatukan dengan kindi tersebut.
l. Hawulur atau alat panjang yang berbentuk bulat kecil dan mudah digunakan pada
proses penggulungan benang yang nantinya digunakan pada saat menenun.
Hawulur sangat berkaitan dengan pamawangu.
2. Bahan-bahan.
a. Benang yang diperoleh dari pengolahan bahan kapas yang dihasilkan sendiri
oleh masyarakat, lazimnya memproduksi dengan cara manual. Belum
berwarna.
b. Benang pabrik yang umumnya dapt dibeli di toko yang terbuat dari kapas dan
sutera. Benang pabrik ini Sudah berwarna dengan berbagai macam varian
warna.
3. Langkah – Langkah tenun
a. 3 atau 4 helai benang dipintal menjadi satu dengan menggunakan alat pintal
(kindi) kemudian benang digulung dalam bentuk bola untuk memudahkan
penataan dan pembidangan.
b. Persiapkan benang yang telah melewati proses penggulungan dalam
kumparan, yang telah melewati proses pemintalan dengan alat putar (kindi)
dan juga benang penambah warna.
c. Siapakan alat pembidangan atau alat wanggi pameningu, dan sudah
disesuaikan dengan ukuran yang dibutuhkan.
d. Setelah bentangan benang sudah sesuai ukuran, maka penenun akan
melakukan proses selanjutnya yang disebut pawunang atau pemasangan sisir
motif terlebih dahulu, dan pemasangan bambu polu, atau bambu bulat kecil
yang berfungsi memisahkan benang putih untuk motif dengan benang standar
atau tenunan.
e. Sesudah proses tersebut, penenun juga mulai memindahkan bentangan benang
dari alat pembidangan yang disebut wanggi pameningu kealat pengencang
selama proses pemberian motif dan tenun, alat ini terdiri dari dua batang
bambu bulat yang sama panjangnya (polu baba dan polu dita).
f. Juga dipasang alat yang disebut nguada sejenis alat bulat kecil dan biasa
terbuat dari bambu. Alat ini berfungsi membatasi tenunan dengan bentangan
yang belum ditenun.
g. Kemudian penenun mempersiapkan proses tenun pertama atau pababbat untuk
merapikan tenunan.
h. Setelah pababbat, penenun mulai Hikung atau pemberian motif pada kain,
dengan terlebih dahulu merapikan benang ruu pahudu.
i. Pemberian motif sudah bisa dilakukan sesuai patron atau pahudu yang telah
dipersiapkan oleh penenun.
j. Setelah proses 1 pahuda telah dilakukan,maka alat yang disebut palambang
mulai difungsikan oleh penenun.
k. Proses selanjutnya penggunaan tukka yang fungsinya adalah mengencangkan
batas tenunan dengan benang yang belum ditenun.
l. Penenun menggunakan pamawangu kecil disetiap jarak 1 cm pemasangan
pamawangu besar.
m.Dengan hikung yang berulang-ulang maka ruu pahudu akan menjadi kendor,
sehingga penenun mengencangkan benang dengan sebutan lakutti atau
lakunda (sebutan masyarakat setempat).
Dari proses pelaksanaan P5 di atas, dapat diperoleh dua keuntungan yaitu proses
untuk mengukur dimensi dan produk yang dihasilkan.

C. Penutup

Dampak positif yang kami peroleh melalui tahapan pelaksanaan P5 dalam tema
kearifan lokal dengan topic tenun pahikung dapat kami gambarkan sebagai berikut;

1. Peserta didik dapat mengetahui serta mengalami proses tenun pahikung yang
merupakan warisan budaya yang patut dilestarikan.

2. Dalam berproses, fasilitator dapat mengetahui pengetahuan dan dimensi yang


berkembang pada peserta didik.

3. Peserta didik dapat termotivasi saat produknya berhasil dan mengetahui


manfaatnya.

Demikian praktik baik ini kami tuangkan. Saran serta masukan yang kontruktif tetap
kami harapkan demi penyempurnaan.

Anda mungkin juga menyukai