Anda di halaman 1dari 83

ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI POLITIK

TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM


KEBIJAKAN
(STUDI PADA PEMERINTAHAN DAERAH KOTA
BANDAR LAMPUNG)

(Proposal Desertasi)

OLEH :

HANDRIE KURNIAWAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
20
DAFTAR ISI

Halaman

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................

1.1 LATAR BELAKANG DAN MASALAH..........................................................

1.2 RUMUSAN MASALAH..............................................................................

1.3 TUJUAN PENELITIAN...............................................................................

1.4 MANFAAT PENELITIAN............................................................................

1.4.1 Manfaat Teoritis.........................................................................

1.4.2 Manfaat Praktis...........................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................

2.1 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................

2.1.1 Konsep Desentralisasi Politik.....................................................

2.1.2 Faktor-faktor Keberhasilan Desentralisasi.................................

2.1.3 Konsep Demokrasi Lokal...........................................................

2.1.4 Konsep Partisipasi Masyarakat...................................................

2.2 PENGEMBANGAN HIPOTESIS...................................................................

2.2.1 Hubungan Desentralisasi dan Demokrasi...................................

2.2.2 Hubungan Desentralisasi Politik dan Partisipasi Masyarakat


48

2.3 KERANGKA PEMIKIRAN..........................................................................


iii

BAB 3 METODELOGI PENELITIAN..................................................................

3.1 JENIS PENELITIAN...................................................................................

3.2 PENDEKATAN PENELITIAN......................................................................

3.3 DATA DAN SUMBER DATA......................................................................

3.4 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN......................................................

3.5 TEHNIK PENGUMPULAN DATA................................................................

3.6 TEKHNIK ANALISA DATA.......................................................................

3.6.1 Uji Instrumen..............................................................................

3.6.2 Pengujian Model Regresi............................................................

3.6.3 Uji Asumsi Klasik......................................................................

3.6.4 Uji Hipotesis...............................................................................


BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Perubahan-perubahan tata aturan mengenai Pemerintah Daerah setelah terjadinya


reformasi menjadi bagian dari proses transisi demokrasi di Indonesia. Upaya
serius untuk melakukan perubahan salah satunya adalah berkaitan dengan struktur
pemerintahan. Pilihan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai
bertepatan dengan proses pergantian rezim yang sebelumnya otoriter terpusat.
Shiroyama dalam kajian perbandingannya di Indonesia, Thailand, dan Korea
menyatakan bahwa kasus desentrralisasi di Indonesia adalah eksperimen
desentralisasi yang paling radikal, sedangkan kasus Thailand adalah eksperimen
desentralisasi yang paling bertahap, dan kasus Korea berada di antaranya (The
case of Indonesia is the most radical experiment of decentralization, the case of
Thailand is the most incremental experiment of decentralization, and the case of
Korea is somewhere in between). ( Shiroyama, 2003)

Perubahan radikal dalam pengalaman desentralisasi di Indonesia sebagaimana


yang dicatatkan oleh Shiroyama tersebut terkait dengan kandungan Undang-
Undang otonomi daerah yang tidak saja memuat desentralisasi administratif,
tetapi juga mengandung desentralisasi politik dan desentralisasi keuangan. Kadar
desentralisasi tersebut berbeda dengan kadar desentralisasi pada masa sebelumnya
(masa ketika berlakunya UU No.5/1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan
Daerah) yang lebih kuat menekankan kepada azas dekonsentrasi saja. Berdasarkan
hasil amandemen pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 antara lain dikemukakan
Pemerintah Daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota berhak mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Eksperimen desentralisasi demokrasi tersebut diawali dengan
disahkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang mengubah secara drastis struktur pemerintahan di Indonesia.
2

Implementasi politik desentralisasi di Indonesia hakikatnya telah tertuang dalam


UUD 1945. Dari dasar konstitusi tersebut telah lahir berbagai Undang-Undang
yang berbeda bentuknya. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang
disusun berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen) yakni UU Nomor 1 tahun
1945 tentang Pengaturan Mengenai Pokok Pemerintahan Sendiri Di Daerah-
Daerah yang berhak mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri; UU No.
1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; Penetapan Presiden
Nomor 6 tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 19 Tahun
1965 tentang Desapraja; serta UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daearah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa.

Pelaksanaan otonomi daerah pada zaman Orde Baru pada tataran pelaksanaan
ternyata tidak dapat berjalan secara baik. Hal ini disebabkan karena beberapa
alasan. Pertama, pengembangan otonomi daerah hanya diasaskan pada tafsir
politik pusat terhadap keadaan ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan
didaerah sehingga membuat rentan terhadap manipulasi kepentingan politik pusat.
Kedua, tidak ada pembagian otoritas karena daerah hanya diberi urusan
pemerintahan sesuai kebijakan pemerintah pusat. Ketiga, ciri kepemimpinan yang
dikembangkan Presiden Soeharto bersifat otokritik melalui pendekatan militeristik
sehingga tidak ada ruang dialog antara rakyat dengan negara dan antara pusat
dengan daerah (Wasistiono and Polyando, 2017 : 6).

Itulah sebabnya sejak era reformasi UUD 1945 yang pada era Orde Baru sangat
dikeramatkan dilakukan amandemen untuk mempertegas dan memperkuat
kedudukan otonomi daerah secara lebih jelas. Saat ini UUD 1945 telah mengalami
amandemen sebanyak 4 kali. Politik desentralisasi yang termuat dalam UUD 1945
(hasil amandemen) Nampak pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk republik”. Selain itu pada pasal
4 ayat (1) diatur ketentuan bahwa : “ Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Pengaturan lebih
3

teknis mengenai desentraliasasi termuat pada Bab VI Pemerintahan Daerah, Pasal


18, Pasal 18A, dan Pasal 18B.
Memasuki 20 tahun setelah penerapan desentralisasi setelah era Orde Baru telah
terjadi penyesuaian-penyesuaian aturan dalam penerapannya. Terakhir pemerintah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
KeduaAtas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 menyatakan bahwa desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan republik Indonesaia. Dalam pasal 1
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 ditegaskan bahwa desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, dalam pasal 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan
Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan
asas otonomi (Djaenuri, 2019).

Kebijakan reformasi desentralisasi di Indonesia setelah era Orde Baru menurut


Talita dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Big Bang dan periode stabilisasi
(Talitha, Firman, and Hudalah, 2020) . Periode Big Bang mengacu pada lima
tahun pertama (1999-2004) mulai dari inisiasi sistem desentralisasi di Indonesia,
dengan trial and error dalam peraturan hingga amandemen pertama pada tahun
2004. Sementara itu, periode stabilisasi adalah bagian stabil dari desentralisasi
sejak 2004 sampai saat ini dengan beberapa penyesuaian dalam peraturan.

Salah satu yang mengalami penyesuaian adalah perubahan konsideran pada UU


Nomor 23 Tahun 2014 terhadap beberapa paradigma. Pertama, paradigma
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Kedua,
paradigma daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah. Ketiga, paradigma peningkatan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Keempat,
4

Paradigma keserasian hubungan Pemerintah Pusat dengan daerah dan antar


daerah. (Wasistiono and Polyando, 2017:442).
Selain itu pemerintah dan DPR juga menerbitkan regulasi khusus yang mengatur
tentang desa melalui UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Perkembangan dan
perubahan desa dan pemerintahan desa mengalami perkembangan seturut dengan
perubahan berbagai regulasi yang mengaturnya. Seiring dengan perubahan
tersebut, desa dan pemerintahan desa juga harus menyesuaikan diri dengan
perubahan konsep dalam kebijakan desentralisasi yang berlaku. Perubahan
regulasi membawa dampak yang cukup signifikan terhadap keberadaan desa
dalam konteks penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat daerah.

Pilihan konsep desentralisasi dalam bentuk devolusi bukan dekonsentrasi ataupun


delegasi oleh pemerintah Indonesia telah membawa dampak terhadap kehidupan
demokrasi masyarakat. Bentuk devolusi adalah bentuk terkuat dari konsep
desentralisasi. Hal itu dilakukan dengan pengalihan beberapa wewenang dalam
pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen. Dalam devolusi Pemerintah
Daerah dapat memilih pemimpin, meningkatkan pendapatan, dan membuat
keputusan investasi mereka sendiri (Olatona and Olomola, 2015). Dalam devolusi
terdapat tiga dimensi mendasar dari desentralisasi yaitu meliputi desentralisasi
administratif, desentralisasi politik, dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi
administratif menyiratkan transfer pegawai negeri dan fungsi publik ke tingkat
yang lebih rendah; desentralisasi fiskal melibatkan devolusi sumber daya fiskal
dan kekuasaan yang menghasilkan pendapatan; sedangkan desentralisasi politik
mengacu pada pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kepada Pemerintah
Daerah (Muriu, 2013); (Treismen, 2007)
(Cai and Treisman, 2009; Cinari, 2015; Mookherjee, 2015
.

Devolusi kadang-kadang juga disebut sebagai wujud demokratisasi karena


melibatkan transfer sumber daya dan kekuasaan ke tingkat otoritas yang lebih
rendah atau struktur non-pemerintah yang sebagian besar atau seluruhnya
independen dari pemerintah pusat (Hutchcroft, 2001). Devolusi atau desentralisasi
demokrasi negara pusat diasumsikan untuk meningkatkan demokrasi karena
5

pemerintahan dibuat lebih dekat dengan rakyat, lembaga masyarakat sipil


dimanfaatkan dalam pelaksanaan, dan kekuasaan negara diperiksa (Tendler
1997).
Secara umum paradigma desentralisasi dapat dikatakan memiliki korelasi
langsung dengan perkembangan demokratisasi sebuah negara. Desentralisasi
merupakan “anak kandung” demokrasi, artinya dalam proses demokratisasi akan
dapat memunculkan desentralisasi, karena desentralisasi memberikan peluang
bagi banyak pihak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada skala
setempat. Keberanian masyarakat dalam menuntut hak mereka terhadap pelayanan
oleh negara termasuk kesempatan untuk berperan serta dalam proses
pembangunan mengakibatkan diperlukannya susunan pemerintah lebih kecil yang
dianggap paling dekat dalam menjawab tuntutan mereka. Hal ini tentu berdampak
pada pengurangan posisi dan peran pemerintah nasional. Ketika masyarakat
menghendaki pelayanan publik yang cepat dan mudah dijangkau, maka
pemerintah lokal atau unit pemerintah tingkat bawah perlu diperkuat.

Demokratisasi maupun desentralisasi dapat dianggap sebagai aktivitas yang


sangat kontroversial dan diperebutkan yang menentukan lokus kekuasaan
pengambilan keputusan dan mengganggu hubungan kekuasaan yang sudah
mapan. Demikian pula (Scotttt, 2009) berpendapat bahwa desentralisasi bukanlah
kegiatan teknis yang berlangsung dalam ruang hampa politik. Dalam nada yang
sama, Rees dan Hossain (hal. 582) lebih jauh menyoroti bahwa desentralisasi
lebih dari sekadar proses yang terkait dengan reformasi Pemerintah Daerah.

Di antara potensi keuntungan yang bisa diperoleh, desentralisasi dipandang


sebagai strategi penting dalam rangka memperkuat demokratisasi. Misalnya,
(Reddy and Sabelo, 1997) dan (Hart, 1972) dengan tegas mengatakan bahwa
demokratisasi tidak akan efektif jika tidak disertai dengan desentralisasi
kekuasaan yang efektif. Lebih lanjut, Heller ( (Heller, 2001b) menekankan bahwa

...[D]ecentralization contributes to democratic deepening if and when it


expands the scope and depth of citizen participation in public decision
making. Expanding the depth means incorporating previously
6

marginalized or disadvantaged groups into public politics. Expanding the


scope means bringing a wider range of social and economic issues into the
authoritative domain of politics (shifting the boundary from the market to
the demos). Democratic decentralization in other words means
redistributing power (the authority to make binding decisions about the
allocation of public resources) both vertically (incorporating citizens) and
horizontally (expanding the domain of collective decision making).

Berdasarkan perspektif di atas, desentralisasi dipercaya mampu membawa “the


policy making unit closer to the people” dengan tujuan untuk membuka peluang
partisipasi warga yang lebih luas dalam proses-proses politik, dan sekaligus
memasukkan preferensi masyarakat yang lebih luas ke dalam proses perumusan
kebijakan ( Graglia, 2000: 165; Heller, 2001b: 140; Ducci, 2004: 121;
(Pratchett, 2004)
: 362). Dengan kata lain, desentralisasi mendorong partisipasi masyarakat di
luar pemilu. Peningkatan partisipasi masyarakat pada level lokal dapat
memperbaiki kinerja demokratik dari institusi politik, dan karenanya memiliki
dampak positif terhadap konsolidasi demokrasi negara secara keseluruhan.
(Benjamin Goldfrank, 2011)

Namun demikian, pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada jalan
yang mudah untuk mewujudkan hubungan ideal tersebut ( García-Guadilla, 2002;
Conyers 2003; Ryan 2004; Dufhues, Theesfeld and Buchenrieder, 2015a). Bahkan
Eaton (2001) berpendapat bahwa desentralisasi tidak menjamin terbentuknya
setting demokrasi. Schönwälder (1998:74) berpendapat bahwa demokrasi lokal
hanya akan berkembang jika devolusi kekuasaan dan sumberdaya kepada
pemerintahan yang lebih rendah dan partisipasi politik warga yang memadai eksis.

Di sisi lain Chema dan Rondinelli mengakui bahwa desentralisasi membuka ruang
bagi keterlibatan publik dalam perumusan, implementasi, dan pengawasan
terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lokal
(Cheema and Rondinelli, 1983)
. Desentralisasi juga memungkinkan proses pembelajaran dan pendidikan
politik kepada Pemerintah Daerah ditingkatkan melalui pengalihan otoritas dan
pertanggungjawaban pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah pusat. Pemerintah
Daerah dan masyarakat sama-sama akan belajar mengenai berbagai hal berkaitan
7

dengan masalah pembangunan di daerah. Desentralisasi juga dipandang oleh


banyak sarjana sebagai arena pengembangan demokrasi dalam sebuah negara
(Smith 1985, Mawhood 1985, Burns, Hambleton, and Hoggett, 1994) . Hal ini
karena pemerintahan yang desentralisasi membuka ruang bagi partisipasi rakyat
dalam proses-proses politik di tingkat lokal, seperti rakyat tempatan dapat turut
aktif dalam perencanaan kebijakan publik dan juga mempunyai peluang untuk
dipilih menduduki jabatan-jabatan politik di tingkat daerah (seperti kedudukan
sebagai anggota parlemen daerah atau jabatan-jabatan eksekutif lainnya).
Kesempatan yang ada ini menyebabkan masyarakat lokal akan mempersiapkan
diri mereka dengan meningkatkan kapasitas diri untuk bersaing bagi memperoleh
kedudukan pada jabatan-jabatan politik tertentu (Rasyid, 2003).

Dampak lain desentralisasi yang diyakini pula oleh para ahli kebijakan adalah
terbukanya ruang bagi partisipasi publik dalam pembangunan di tingkat lokal,
banyak studi yang sudah dilakukan menunjukkan kaitan antara desentralisasi
dengan partisipasi publik

(Kohl, 2003; Baral, and Heinen, 2007; Wever et al., 2012; Bebelleh, Nobabumah, and R

. Penelitian oleh (Mariana, 2007) menunjukkan bahwa terdapat


korelasi yang positif antara desentralisasi dengan demokratisasi yakni terjadinya
perimbangan dalam relasi hubungan antara pemerintah pusat dengan Pemerintah
Daerah, maupun antara suprastruktur politik dengan infrastruktur politik. Peluang
partisipasi masyarakat menjadi lebih besar, termasuk dalam mengontrol
kebijakan-kebijakan yang diambil dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Di seluruh dunia, lebih dari tujuh puluh lima negara telah berusaha
mendesentralisasikan tanggung jawab kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah dalam seperempat abad terakhir (Ahmad et al., 2005) . Alasan yang
mendukung reformasi ini adalah bahwa pemerintah yang dilimpahkan, yang lebih
dekat dengan konstituennya, dapat lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.
Dengan demikian, proposisi yang dapat dibangun dari relasi antara konsep
desentralisasi dengan partisipasi (politik) adalah bahwa semakin terdesentralisasi
8

pemerintahan akan semakin terbuka ruang bagi partisipasi publik dalam


pembangunan di tingkat lokal, begitu juga sebaliknya, dalam model pemerintahan
yang sentralistik, partisipasi cenderung lemah dan terbatas (Rasyid, 2002).
Para pendukung desentralisasi politik berpendapat bahwa mendekatkan warga
negara dengan pemerintah dan kesempatan meminta pertanggungjawaban pejabat
terpilih, merupakan landasan penting untuk mencapai Pemerintah Daerah dan
layanan publik yang lebih baik
(Grindle, 2005; Sujarwoto, 2012; Muriu, 2013; Olatona and Olomola
. Akorsu juga menyatakan bahwa desentralisasi
politik adalah seperangkat amandemen konstitusi dan reformasi pemilu yang
dirancang untuk membuka atau mengaktifkan representasi politik daerah yang
berjalan tidak aktif atau tidak efektif (Akorsu, 2002) . Hal ini bertujuan untuk
memberikan kewenangan lebih kepada warga negara dan wakil-wakil mereka
yang terpilih dalam pengambilan keputusan dan administrasi publik. Selain itu,
desentralisasi politik juga cenderung mendukung demokratisasi dengan
memberikan lebih banyak kesempatan kepada warga negara dan wakil-wakilnya
yang terpilih untuk mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
(Ozmen, 2014).

Desentralisasi jika dirancang dengan baik dapat mendorong tingkat partisipasi dan
legitimasi yang lebih tinggi akan menurunkan biaya dalam memelihara ketertiban,
menegakkan aturan hukum, dan mengurangi kebutuhan untuk keberlanjutan
kekuasaan. Kemampuan untuk memobilisasi sumber daya dan menyediakan
layanan dan biaya yang rendah bagi masyarakat kecil akan memperkuat legitimasi
praktik demokrasi. Terakhir, desentralisasi dapat meningkatkan pembelajaran
sosial, menghasilkan dinamika yang memperkuat negara dari akar rumput ke atas.
(Ashley and Pöschl, 2015)
. Desentralisasi suatu negara meningkatkan kekuatan
demokrasinya dengan membuatnya lebih fleksibel dalam meredam guncangan.
Dengan meningkatkan jumlah struktur pemerintahan dalam hal perwakilan lokal
terpilih akan berdampak positif dan meningkatkan akuntabilitas pada semua aspek
yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam sistem terdesentralisasi
masyarakat memiliki kekuatannya sendiri dan lebih leluasa untuk didengar.
Masyarakat juga lebih mungkin mendapatkan kepuasan dalam beberapa urusan
9

mereka Selain itu, dengan membawa pemerintah lebih dekat dengan rakyat akan
meningkatkan partisipasi dalam proses pembangunan negara dari bawah ke atas.

Oleh karenanya konsepsi antara desentralisasi politik dan demokrasi ditingkat


lokal menjadi saling melengkapi. Morlino memberikan gagasan bahwa demokrasi
yang baik paling setidaknya harus memenuhi tiga kualitas. Pertama, kualitas hasil
bahwa pemerintahan harus memiliki legitimasi yang dapat memuaskan warga
negaranya. Kedua, kualitas isi atau substansi bahwa warga negara memiliki
kebebasan dan kesetaraan dalam pemerintahan. Ketiga, kualitas prosedur bahwa
warga negara memiliki kebebasan untuk memeriksa dan mengevaluasi bagaimana
pemerintahnya mencapai tujuan-tujuan kebebasan dan kesetaraan sesuai dengan
hukum yang berlaku (Diamond and Morlino, 2004).

Di sisi lain desentralisasi yang meletakkan proses pengambilan keputusan lebih


dekat dengan kelompok sasaran, sementara partisipasi menempatkan suara
masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan (Smith et al., 1995 , Rasyid,
2003). Program-program yang disusun dengan cara ini biasanya lebih tepat dalam
memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat bawah, sekaligus menanamkan
rasa memiliki dalam masyarakat. Hal ini menunjang semangat masyarakat dan
menciptakan dinamika pembangunan yang lebih efisien, transparan dan
berkelanjutan.

Kondisi demokrasi yang memberikan peran peningkatan masyarakat sipil baik


melalui partisipasi langsung atau dengan desentralisasi pemerintahan tidak secara
otomatis meningkatkan peran masyarakat dalam perencanaan pembangunan
(Lane, 2003). Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa diperlukan kejelasan
konseptual dan empiris untuk memahami dengan jelas hubungan antara
desentralisasi dan partisipasi warga negara (Kessy, 2013) . Desentralisasi juga
tidak dapat memaksakan tingkat partisipasi sesuai yang diinginkan jika kondisi
struktural yang menghambat keterlibatan dan pemberdayaan kelompok-kelompok
yang terpinggirkan tidak dilibatkan (Mohammed, 2016).
10

Pemerintah Daerah terpilih tidak selalu termotivasi untuk berkinerja lebih baik
daripada pemerintah pusat dalam desentralisasi sebelumnya (Treisman, 2007) .
Dalam beberapa kasus, Pemerintah Daerah mungkin sebenarnya lebih tunduk
pada kepentingan pribadi daripada kepentingan nasional setelah desentralisasi
(Bardhan and Mookherjee, 2006) ; (Lessmann, 2010). Bardhan dan Mookherjee
(2006) menjelaskan beberapa trade-off dasar yang terlibat dalam pendelegasian
pengambilan keputusan kepada Pemerintah Daerah: “Keputusan dibuat
berdasarkan informasi (lokal) yang lebih baik, tetapi dibuat oleh agen yang
insentif berbeda dari prinsipal sehingga menyebabkan hilangnya kontrol atau
penyalahgunaan kekuasaan”. Menggunakan analisis lintas negara, Treisman
menemukan bahwa negara-negara yang memiliki lebih banyak tingkatan
pemerintahan cenderung memiliki persepsi korupsi yang lebih tinggi dan kurang
efektif dalam memberikan pelayanan publik. Temuan ini didukung oleh studi
lintas negara lain yang menunjukkan bahwa layanan publik dapat menderita
akibat desentralisasi
(Litvack, Junaid, and Bird, 1998; Fan, Lin and Treisman, 2009)
.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa desentralisasi tidak secara


otomatis dapat memfasilitasi demokrasi pada level lokal. Banyak faktor yang
dapat mendistorsi potensi hubungan simbiotik keduanya. Kajian teoritik dan
empirik menunjukkan bahwa faktor-faktor ini akan berbeda untuk setiap negara
dan dari waktu ke waktu. Fakta tentang kebijakan desentralisasi politik dan
otonomi daerah di Indonesia tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 terkait UU
No. 32 Tahun 2004 terkait UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan keragaman masyarakat dalam menjaga
desentralisasi politik selain itu, pasal 18 UUD 1945 memuat landasan
konstitusional; pembagian daerah di Indonesia menurut daerah besar dan kecil
yang susunan pemerintahannya diatur dengan Undang-Undang, dengan melihat
dan mengingat kebijaksanaan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
nasional, dan hak asal usul khusus daerah. Pernyataan “Kebijakan Konsultasi
dalam Sistem Administrasi Negara” mengandung makna demokrasi kita, dengan
keyakinan bahwa dalam kondisi terbatas, desentralisasi demokratisasi tidak
11

diragukan lagi memiliki kualitas konteks-spesifik dan kelanjutan dari


desentralisasi demokrasi ditentukan oleh rakyat yang memperjuangkan
transformasi nasional. Kelanjutan proses desentralisasi demokratisasi tidak akan
mudah diserahkan kepada negara atau otoritas (Santoso, 2018).
Penelitian tentang desentralisasi dan perkembangannya selama dua dekade
desentralisasi di Indonesia terutama soal dampaknya terhadap pelayanan telah
banyak dilakukan. Gagasan bahwa desentralisasi politik menjadi instrumen yang
dapat membentuk pemerintahan yang efektif, efisien, bertanggung jawab, dan
akuntabel telah menjadi stimulan yang kuat bagi banyak negara untuk diadopsi.
Namun demikian, secara teoritis maupun empiris, desentralisasi politik masih
menjadi pro-kontra; apakah memiliki nilai positif atau negative terhadap kondisi
demokrasi ditingkat lokal. Juga, konsep desentralisasi itu sendiri seringkali
dipahami secara parsial dan bukannya secara holistik. Studi tentang desentralisasi
politik di Indonesia memerlukan evaluasi setelah diimplentasikan selama dua
dekade terutama setelah perubahan terakhir pada Undang-Undang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Desa. Studi ini secara khusus akan memberikan
tambahan temuan apakah perjalanan desentralisasi politik ini telah berhasil
menjadikan kondisi demokrasi di tingkat lokal semakin baik dan faktor-faktor apa
sajakah yang menyebabkan dia berkembang dan tidak berkembang.

Sampai saat ini beberapa penelitian yang berfokus pada hubungan antara
pembangunan daerah dan desentralisasi di Indonesia, sebagian besar studi fokus
pada aspek ekonomi, pemerintahan, atau politik misalnya:
(Dartanto and Brodjonegoro, 200

Beberapa penelitian sebagai evaluasi implementasi desentralisasi di Indonesia


juga telah dilakukan.

(Pepinsky and Wihardja, 2011; Holzhacker, Wittek and Woltjer, 2015; Mahi, 2016;
12

Apakah implementasi kebijakan desentralisasi politik yang telah diterapkan dapat


memfasilitasi proses demokratisasi di tingkat lokal? Studi yang dilakukan oleh
Hidayat (2007) di Banten dan Jambi, Agustino (2010) di Banten dan Jawa Barat
dan Halim (2014) di beberapa daerah di Sulawesi, Sumatera dan Jawa
menunjukkan bahwa desentralisasi (politik) tidak selamanya membawa nilai
positif bagi daerah, desentralisasi (politik) sepertinya sekedar memindahkan
lokasi kontestasi antar aktor formal dan antar aktor formal dengan non-formal
(politik dan ekonomi) yang selama masa Orde Baru berada di Pusat untuk
kemudian berpindah ke Daerah, hasil studi diatas menunjukkan bahwa
desentralisasi politik bukannya mendekatkan pengambilan keputusan ke publik di
tingkat lokal namun lebih berwujud mendekatkan pengambilan keputusan/
kebijakan kepada pemegang kekuasaan formal (kepala daerah dan legisatif
daerah) serta kekuasaan tersembunyi (hidden power) yang berlindung dibalik
pejabat daerah namun terkadang lebih berkuasa ketimbang pejabat daerah yang
dimaksud. Implikasi dari kondisi ini adalah proses-proses pembuatan/perumusan
kebijakan di tingkat lokal menjadi bersifat elitis dan tertutup sehingga sulit
mengharapkan partisipasi publik yang lebih besar dalam perumusan kebijakan
publik.

Sejalan dengan hasil studi di atas, Alagan (2008) misalnya menunjukkan bahwa
hubungan antara desentraliasi, khususnya desentralisasi politik dengan partisipasi
publik tidak selamanya berkorelasi positif. Hasil studi Alagan di empat provinsi,
masing-masing DKI Jakarta, Bali, Sumatera Utara dan Lampung. Dengan
menggunakan pendekatan legal formal dan empiris yang melibatkan komponen
stakeholders sebagai informannya, dalam kesimpulannya didapati bahwa didalam
implementasinya, desentralisasi politik ternyata tidak secara signifikan
memperkuat atau meningkatkan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan.
Selanjutnya Alagan menyimpulkan bahwa pertama partisipasi publik dalam
pembuatan kebijakan daerah (baca perda) memiliki dasar legalitas yang kuat.
Kedua, pemerintah tidak berupaya meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat
dalam perumusan kebijakan, kecenderungannya pemerintah justru menutup ruang
partisipasi tersebut. Ketiga, inisiatif masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan
13

kebijakan sebatas kebijakan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan dan


bersifat kontroversi. Keempat, publikasi ke masyarakat terhadap kebijakan yang
sedang dibahas tidak dilakukan secara efektif, publikasi terbatas kepada kalangan
tertentu saja. Kelima, partisipasi publik yang berjalan selama ini masih bersifat
tokenism, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan masih bersifat
semu. Keenam, pengawasan dalam proses pembuatan kebijakan dan
implementasinya dari masyarakat maupun dari lembaga negara belum berjalan
secara baik (Alagan. 2008: 3).

Dengan mengambil studi kepada perkembangan pelimpahan kewenangan kepada


daerah dan realita demokrasi di tingkat lokal terutama kondisi partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan di daerah, beberapa hasil kajian lapangan
mengkonfirmasi adanya beberapa temuan bahwa demokrasi ditingkat lokal masih
memunculkan beberapa persoalan
(Mahadi, 2011; Chaniago, 2016; Suyatno, 2016; Romli, 2018;
, begitu pula perencanaan
pembangunan di tingkat lokal masih didominasi oleh aktor-aktor dari kalangan
elit, baik elit Pemerintah Daerah maupun elit massa, kehadiran dari masyarakat di
dalam musyawarah perencanaan pembangunan sebatas formalitas, karena yang
sesungguhnya menyusun rencana pembangunan tersebut adalah dari kalangan
Pemerintah Daerah, partisipasi publik masih berbentuk partisipasi semu
(tokenism)
(Lukman Andi, Herni Sunarya, 2019; Santoso and Moenek, 2019;
Suroso, dkk, 2004; Sirajuddin, 2006, Milwan dan Ace Sriati, 2010).

Masih rendahnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan perencanaan


pembangunan di daerah sebagaimana hasil studi Suroso di Kabupaten Gresik
(2004) dan Sirajuddin (2006), serta Milwan dan Ace Sriati di Daerah Khusus
Istimewa (DKI) Jakarta sejalan dengan dengan data tentang menurunnya kualitas
demokrasi di tingkat lokal, khususnya kualitas partisipasi publik dalam perumusan
kebijakan daerah. Pada sisi implementasi ternyata desentralisasi di Indonesia
masih membutuhkan waktu yang banyak dalam mewujudkan sisi-sisi positifnya.
Sebagian daerah masih memililiki ketergantungan yang tinggi pada pemerintah
pusat, kesenjangan regional, jangkauan kekuatan kewenangan dalam menyerap
14

aspirasi masyarakat dan kapasitas Pemerintahan Daerah masih menjadi beberapa


pekerjaan kedepan untuk diperbaiki.

Permasalahan bekerja atau tidaknya konsep desentralisasi dalam implementasinya


selama dua dekade di Indonesia telah menjadi sorotan beberapa penulis.
(Mahi, 2016; Sujarwoto, 20
Namun
pembicaraan gagasan tentang implementasi desentralisasi politik berkaitan dengan
perkembangan demokrasi lokal perlu diteliti secara lebih khusus. Untuk
mewujudkan hal tersebut, penelitian perlu dilakukan sebagai bentuk evaluasi dan
masukan dalam mensukseskan keberhasilan desentralisasi.

Dilihat dari hasil indeks demokrasi setelah implementasi desentralisasi dibawah


ini menunjukkan bahwa kondisi demokrasi sejak perubahan terakhir UU
Pemerintahan Daerah tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi demokrasi
ditingkat lokal mengalami naik dan turun dan secara jangka panjang tidak
mengalami kenaikan yang berarti. Bahkan dalam beberapa sisi seperti aspek
lembaga demokrasi sempat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Data
BPS juga menunjukkan ada beberapa indikator yang masih dinilai buruk seperti
upaya penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah, dan rekomendasi
DPRD kepada eksekutif. Data yang lain juga menunjukan tahun 2022 ini
Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis
Economist Intilegence Unit (EIU) dengan skor 6.3. Ini merupakan angka terendah
yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
15

100.00
Perkembangan Indeks Aspek IDI Lampung 2014-2021
83.66 81.96
81.82
77 77.29 79.22
78.46 79.95
75.00 74.12 76.64
72.06 71.99 72.35 71.64
67.2 68.55
63.69 63.19
62.74 64.31 63.7
60.49
59.32 59.53
50.00

25.00

0.00
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

Kebebasan Sipil Hak-hak Politik Lembaga Demokrasi

Gambar 1. IDI Lampung 2014-2021.

Beberapa penelitian tentang kondisi demokrasi di Lampung juga menunjukkan


bahwa dalam sisi pengambilan kebijakan seperti pengambilan keputusan APBD
Provinsi Lampung masih lebih dimaknai sebagai proses politik dan sebagai media
transaksi maupun bargaining para elit sebagai aktor yang terlibat. Hal-hal yang
bersifat prosedural menjadi lebih penting dan utama, sementara aspek substansial
yang merujuk pada persoalan isi sebagai pengejawantahan kepentingan publik
belum menjadi prioritas. (Duadji, 2013)

Studi ini mencoba melengkapi studi-studi terdahulu tentang fenomena


implementasi desentralisasi dikaitkan dengan demokrasi. Studi ini akan mengkaji
perkembangan implementasi desentralisasi politik terhadap demokrasi di
perkotaan, bagaimana implementasi desentralisasi politik di lihat dari faktor
komitmen politik, kultur, Institusi dan sumber daya terhadap kondisi demokrasi
lokal dalam sisi peran serta masyarakat dalam kebijakan Pemerintah Daerah.
Bagaimana faktor-faktor dalam desentralisasi mempengaruhi situasi demokrasi
ditingkat lokal, faktor-faktor apakah yang paling berpengaruh terhadap sisi hasil
kualitas demokrasi khususnya peran serta masyarakat dalam kebijakan.
16

Penelitian ini juga menyoroti beberapa catatan untuk rencana penelitian yang akan
dilakukan. Pertama, sebagian besar studi yang mengaitkan desentralisasi politik
dengan demokrasi diambil dari negara-negara maju sedangkan di negara-negara
berkembang belum banyak dilakukan. Penelitian ini fokus pada pengaruh dan
hubungan desentralisasi politik dilihat dari faktor komitmen politik, sumber daya
dan budaya masyarakat dan organisasi pendukung terhadap kondisi demokrasi
lokal dalam sisi peran serta masyarakat dalam kebijakan pemerintah daerah.
Kedua, ada sedikit penelitian yang sejauh ini meneliti apakah desentralisasi politik
memiliki pengaruh terhadap kondisi demokrasi yang diukur dengan uji kuatitatif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka dapat dirumuskan masalah


dalam penelitian ini (problem research) bagaimana implementasi desentralisasi
politik saat ini diukur dari berapa besar faktor-faktor tersebut berdampak pada
peran serta masyarakat, faktor apa yang paling berpengaruh terhadap peran serta
masyarakat dalam kebijakan pemerintah daerah dan apakah saling mempengaruhi.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian (research
question) yang relevan dari penelitian ini adalah bagaimana implementasi dan
besaran pengaruh faktor-faktor dalam desentralisasi politik yang telah berjalan
saat ini di pemerintahan Kota Bandar Lampung mempengaruhi kondisi peran serta
masyarakat dalam kebijakan Pemerintah Daerah?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :


1. Bagi pemerintah akan mendapatkan evaluasi terhadap pengaruh komitmen
politik, organisasi pendukung, budaya masyarakat dan sumber daya dalam
penerapan desentralisasi politik terhadap kondisi peran serta masyarakat
dalam kebijakan saat ini secara khusus pada Pemerintahan Daerah Kota
Bandar Lampung.
17

2. Mendapatkan gambaran dan penjelasan tentang hubungan dan besaran


pengaruh faktor-faktor tersebut dalam penerapan desentralisasi politik
dengan perkembangan peran serta masyarakat dalam kebijakan pemerintah
daerah.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan kepada penguatan konseptual dan teoritik tentang berapa


besar dampak faktor-faktor dalam implementasi desentralisasi politik terhadap
kondisi peran serta masyarakat dalam kebijakan dan demokrasi ditingkat lokal
khususnya perkotaan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai bahan masukan kepada praktisi pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun
daerah untuk menerapkan desentralisasi politik dan mengevaluasi hal-hal apa yang
paling mempengaruhi peran serta dalam masyarakat dalam kebijakan dan
pembangunan yang akuntabel, partisipatif melalui pelibatan publik yang lebih luas
dalam proses demokrasi dan pembangunan daerah.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

Bentuk negara federal pada umumnya adalah menggunakan model pemerintahan


negara yang menjalankan desentralisasi, sementara pada negara dengan bentuk
kesatuan (unitary) umumnya menggunakan sistem pemerintahan yang bersifat
sentralistik (memusat). Secara konseptual terdapat hubungan yang sejalan antara
konsep federal dengan konsep desentralisasi, begitu pun antara konsep unitary
dengan konsep sentralisasi. Menurut Smith (1985: 12) federalisme adalah bentuk
pemerintahan yang sangat desentralistis itu karena otoritas yang dimiliki negara
bagian bukan karena pemberian pemerintah pusat melainkan oleh undang-undang.
Sementara pada negara kesatuan (unitary) otoritas pemerintah lokal berasal dari
pemerintah pusat. Dalam realitasnya di dalam negara yang menganuti sistem
federal telah terjadi pemencaran dan pembagian otoritas antara pemerintah pusat
dengan pemerintah lokal (daerah atau negara bagian), sumber otoritas berasal dari
negara bagian, artinya otoritas pemerintah pusat (federal) berasal dari otoritas
yang diberikan oleh masing-masing negara bagian. Sementara negara yang
menganut sistem kesatuan (unitary), otoritas yang dimiliki oleh pemerintah lokal
(daerah) adalah berasal dari penurunan wewenang pemerintah pusat, oleh itu pada
umumnya negara dengan sistem kesatuan (unitary) penurunan wewenang kepada
pemerintah lokal sangat bergantung kepada kemauan dan ‘kebaikan’ dari
pemerintah pusat.

Desentralisasi dan otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia merupakan


pengakuan terhadap keberagaman suku (pluralisme) untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan (Bhineka Tunggal Ika), membentuk keserasian sosial dan
pemerataan pembangunan dalam rangka menjaga stabilitas nasional. Fakta tentang
kebijakan desentralisasi politik dan otonomi daerah yang tertuang dalam UU No.
22 Tahun 1999 terkait UU No. 32 dua Tahun 2004 terkait UU No. 23 Tahun 2014
19

tentang Pemerintahan Daerah, menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan


keragaman masyarakat dalam menjaga desentralisasi politik selain itu, pasal 18
UUD 1945 memuat landasan konstitusional; pembagian daerah di Indonesia
menurut daerah besar dan kecil yang susunan pemerintahannya diatur dengan
Undang-Undang, dengan melihat dan mengingat kebijaksanaan permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan nasional, dan hak asal usul khusus daerah.

Menurut Kirana (2010), kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang


dimulai tahun 1974 hingga 2010 menjadi fenomena laboratorium penelitian
ekonomi kelembagaan yang sangat dinamis, menarik, dan menantang
untuk diteliti. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya telah
mengubah aturan main yang sangat drastis (big bang changes), tetapi juga
mengubah organisasi, perilaku pelaku, dan sumberdaya manusia. Seiring dengan
pelaksanaan desentralisasi, beberapa isu yang menjadi perhatian adalah
desentralisasi yang asimetris dan disparitas daerah. Isu-isu ini harus dinilai dengan
sangat hati-hati karena dapat menghambat hasil kebijakan desentralisasi.

Tujuan yang diharapkan dari kebijakan desentralisasi, sebagaimana diyakini para


ahli seperti Shepard (1975); D.K.Hart (1872), Maas (1985); D.M.Hill (1974); Van
Putten (1971) yang dikutip oleh smith (2012) menyangkut aspek ekonomi, sosial,
dan politik di negara maju maupun berkembang yaitu secara ekonomis
desentralisasi dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi dengan tuntutan untuk
menyediakan pelayanan-pelayanan secara lokal dan barang publik. Desentralisasi
berguna untuk mengurangi biaya, memperbaiki output dan memanfaaatkan
sumber daya manusia secara lebih efektif. Secara politis desentralisasi diharapkan
dapat memperkuat akuntabilitas (tanggungjawab), keterampilan politis dan
integritas nasional. Desentralisasi membawa pemerintah lebih dekat dengan
masyarakatnya termasuk dalam pelayanan-pelayanan kepada masyarakat, selain
itu memberikan peranan kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam
politik lokal maupun nasional. (Wasistiono and Polyando, 2017:6).
20

Bab ini akan membahas beberapa konsep yang relevan yang dapat membantu
menggambarkan dan menjelaskan permasalahan sebagaimana perumusan masalah
dalam penelitian ini, yaitu hubungan yang terjadi pada implementasi desentralisasi
politik di Indonesia, dengan kondisi demokrasi di tingkat lokal khususnya peran
serta masyarakat dalam kebijakan yang terjadi pada level pemerintahan daerah di
Kota Bandar Lampung. Bagaimana variabel-variabel tersebut saling terkait dan
faktor-faktor apa yang mempengaruhi keterikatan diantaranya.

2.1.1 Konsep Desentralisasi Politik

Terminologi yang paling sering digunakan untuk membahas desentralisasi adalah


yang dikemukakan oleh (Rondinelli, 1981) , yang membedakan antara empat
kategori desentralisasi yang berbeda: (i) dekonsentrasi didefinisikan sebagai
penyerahan kekuasaan kepada kantor-kantor administrasi lokal dari pemerintah
pusat; (ii) delegasi adalah pengalihan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah
dan/atau parastatal, atau entitas pemerintah lainnya; (iii) devolusi adalah
pengalihan kekuasaan kepada entitas politik subnasional; dan (iv) privatisasi
adalah transfer kekuasaan ke sektor swasta.

Desentralisasi adalah sebuah proses, serangkaian reformasi negara. Hal tersebut


merupakan serangkaian reformasi politik yang bertujuan untuk mentransfer
tanggung jawab, sumber daya, dan wewenang dari tingkat yang lebih tinggi ke
tingkat negara yang lebih rendah. Desentralisasi tidak termasuk transfer
kewenangan antar aktor non-negara. Namun, reformasi desentralisasi dapat terjadi
baik di lingkungan otoriter maupun demokratis, karena desentralisasi dan
demokratisasi tidak memiliki arti yang sama (Falleti, 2005). Bahkan sistem politik
yang digambarkan sebagai sentralistik dan otoriter dapat menata ulang struktur
dan fungsinya dalam kerangka desentralisasi.

Anyanwu (1999) mendefinisikan desentralisasi sebagai pengaturan politik-


administrasi yang memerlukan pengalihan wewenang untuk merencanakan,
membuat keputusan, dan mengelola fungsi publik dari pemerintah federal kepada
21

organisasi, badan, atau unit pemerintah yang lebih rendah, baik secara geografis
maupun struktural. Konsep tersebut dapat dicerminkan sebagai tahapan di
sepanjang kontinum yang dibedakan oleh jenis dan derajat otonomi yang dapat
dijalankan oleh lapisan otoritas yang lebih rendah dalam suatu negara.

Sedangkan Parker (1995) mengemukakan ada tiga unsur utama desentralisasi,


yaitu: desentralisasi administratif, fiskal, dan politik. Parker menekankan bahwa
desentralisasi adalah proses multidimensi yang berlangsung dengan keberhasilan
dan kemunduran. Teorinya berpendapat seperti souffle yang membutuhkan
kombinasi susu, telur, dan panas yang tepat untuk mengembang (Parker, 1995).
Dengan demikian, program desentralisasi yang berhasil harus mencakup
kombinasi yang tepat dari elemen politik, fiskal, dan kelembagaan dalam
meningkatkan hasil pembangunan pedesaan (Farooq, Shamail and Awais, 2008) .
Oleh karena itu, inisiatif desentralisasi akan mengalami proses modifikasi yang
berkelanjutan yang mencerminkan perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi
(Laryea-Adjei, 2006).

Pada penelitiannya (Mahi, 2016) mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi di


Indonesia serta membahas mengenai evaluasi kebijakan desentralisasi di
Indonesia, khususnya di bidang kepemimpinan lokal dan pemilihan langsung ,
kesejahteraan dan disparitas daerah, dan kualitas anggaran. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal merupakan hasil
dari desentralisasi. Layanan publik, terutama infrastruktur publik, juga meningkat
dari waktu ke waktu, setelah desentralisasi. Selain itu, berdasarkan pengamatan
peneliti, masyarakat masih mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung.
Sistem ini membuat masyarakat dapat memilih pemimpin terbaik mereka untuk
menuju kemakmuran.

Penelitian (Ozmen, 2014) mengkaji definisi konseptual mengenai desentralisasi


dan informasi tentang aspek-aspeknya serta pengaruh desentralisasi politik dan
administratif terhadap struktur kesatuan. Adapun hasil penelitian menunjukkan
kemungkinan bahwa kondisi geografis, budaya dan sejarah di suatu negara yang
22

dibentuk oleh formula administratif akan menyebabkan kegagalan pada


desentralisasi. Hal ini menandaskan pentingnya penerapan teknik-teknik
manajemen yang dirumuskan dengan perspektif latar belakang sejarah dan budaya
bagi setiap masyarakat dari waktu ke waktu.

Sedangkan penelitian (Fan, Lin and Treisman, 2009) meneliti bagaimana


desentralisasi dapat mempengaruhi tingkat frekuensi dan biaya penyuapan oleh
pejabat yang korup. Di negara-negara dengan jumlah tingkat pemerintahan atau
administrasi yang lebih besar dan (mengingat pendapatan lokal) pegawai publik
lokal lebih banyak, penyuapan yang dilaporkan lebih sering terjadi. Ketika
Pemerintah Daerah—atau pusat—menerima bagian pendapatan yang lebih besar
dari PDB, penyuapan lebih jarang terjadi. Hal tersebut menunjukkan dampak
buruk akibat rent-seeking yang tidak terkoordinasi karena struktur pemerintah
yang lebih kompleks.

Desentralisasi juga menjanjikan pembangunan yang lebih efisien dan mendorong


pendekatan pembangunan dari bawah ke atas. Selain itu, mendorong persaingan
antar Pemerintah Daerah untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan
meningkatkan pelayanan publik di tingkat daerah
(Talitha, Firman, and Hudalah, 2020)
. Penelitian lainnya menemukan bahwa struktur insentif lembaga lokal tidak
selalu sejalan dengan tekanan untuk meningkatkan kinerja (Grindle, 2005).

Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penyerahan wewenang dan tanggung


jawab fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi
pemerintah yang subordinat atau semi-independen atau sektor swasta (Rondinelli,
1999). Dalam pengertian klasik, konsep yang mengacu pada penyerahan
wewenang, tanggung jawab, dan sumber daya dari pemerintah pusat kepada
Pemerintah Daerah ini memiliki peran yang menentukan dalam hubungan
Pemerintah Daerah dengan pemerintah pusat (Eryılmaz, 2011).

Parker (1995) menyarankan model konseptual, teori souffle, yang


menggabungkan unsur-unsur penting dari desentralisasi politik, fiskal, dan
23

administrasi. Ini karena mereka digabungkan untuk mewujudkan hasil yang


diinginkan. Desentralisasi politik mengalihkan kebijakan dan kekuasaan legislatif
dari pemerintah pusat kepada otoritas lokal yang dipilih (Azfar, 1999). Namun,
alokasi kekuasaan pengambilan keputusan kepada otoritas lokal tidak cukup untuk
menciptakan desentralisasi yang berhasil jika pejabat lokal tidak bertanggung
jawab kepada penduduk lokal (Elsageer dan Mbwambo, 2004). Akuntabilitas
lokal dapat dipromosikan melalui berbagai mekanisme seperti pemantauan pihak
ketiga oleh media dan LSM, partisipasi yang luas, dan pengawasan pemerintah
pusat terhadap Pemerintah Daerah (Godda, 2014). Secara keseluruhan, teori
souffle relevan karena memberikan pemahaman tentang variabel desentralisasi
politik yang dikaji dalam penelitian ini. Model Parker (1995) diilustrasikan pada
Gambar 2. di bawah ini:

Politik
• Political Accountability
• Civil Liberties • Political Transparency
• Political Rights • Political Representation
• Soft/hard Budget
• Democratic Pluralistic Constraint
System
• Increased Incomes
• Moral Hazard • Increased Productivity
Fiscal & Financial
• Sustainable Services • Increased Literacy
• Resource Mobilization
• Responsive Services • Decreased Mortality
• Fiscal Resources • Resource Allocation
• Effective Services • Growth of Civil Society
• Fiscal Autonomy • Fiscal Capacity
• Efficient Services
• Fiscal Decision-making
• Sub national Borrowing • Macroeconomic
• Subnational Indebtedness Instability
Administratif. • Administrative Capacity
• Admin. Accountability
• Admin. Transparency
• Administrative Structures

Gambar 2. Teori Souffle Desentralisasi (Parker, 1995).

Terlepas dari proposisi ahli teori Soufflé yang mendukung desentralisasi,


pemerintahan devolusi telah dikritik karena beberapa keterbatasan. Saito (2001)
berpendapat bahwa desentralisasi dapat mendorong lebih banyak lokal royalti
untuk identitas daerah daripada identitas nasional. Ini menempatkan integritas
nasional itu sendiri dalam bahaya. Kedua, desentralisasi dapat meningkatkan
korupsi di tingkat lokal dan dengan demikian hal ini tidak akan meningkatkan
24

akuntabilitas. Terakhir, peningkatan efisiensi dan efektivitas sumber daya publik


mungkin tidak terwujud, karena sumber daya (modal, manusia, dan bahkan sosial)
yang tersedia di tingkat lokal di negara-negara berpenghasilan rendah sangat
terbatas.

Desentralisasi politik bertujuan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar


kepada warga negara dan wakil-wakilnya yang dipilih dalam pengambilan
keputusan dan administrasi publik. Konsep ini biasanya diasosiasikan dengan
demokrasi pluralis dan pemerintahan perwakilan. Desentralisasi politik juga
cenderung mendukung demokratisasi dengan memberikan lebih banyak
kesempatan kepada warga negara dan wakil-wakil mereka yang terpilih untuk
mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan (Ozmen, 2014).
Heller (Heller, 2001a) menekankan bahwa …

Decentralization contributes to democratic deepening if and when it


expands the scope and depth of citizen participation in public decision
making. Expanding the depth means incorporating previously
marginalized or disadvantaged groups into public politics. Expanding the
scope means bringing a wider range of social and economic issues into
the authoritative domain of politics (shifting the boundary from the market
to the demos). Democratic decentralization in other words means
redistributing power (the authority to make binding decisions about the
allocation of public resources) both vertically (incorporating citizens) and
horizontally (expanding the domain of collective decision making).

Berdasarkan perspektif di atas, desentralisasi dipercaya mampu membawa “the


policy making unit closer to the people” dengan tujuan untuk membuka peluang
partisipasi warga yang lebih luas dalam proses-proses politik, dan sekaligus
memasukkan preferensi masyarakat yang lebih luas ke dalam proses perumusan
kebijakan.
25

Desentralisasi merupakan suatu penyerahan urusan-urusan pemerintahan menjadi


wewenang dan tanggung jawab daerah sepenuhnya (Marbun, 1982) . Dalam hal
ini, daerah memunyai prakarsa sepenuhnya untuk menentukan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan maupun menyangkut segi-segi pembiayaannya. Asas
desentralisasi itupun sendiri memiliki tiga bentuk yaitu (Soejito, 1990):
1. Desentralisasi teritorial, yaitu kewenangan yang diberikan pemerintah pada
badan umum (oppenbaar lichaam) seperti persekutuan yang
berpemerintahan sendiri (zelf regende gemmenchappen), yakni persekutuan
untuk membina keseluruhan kepentingan yang saling berkaitan dari
berbagai golongan penduduk, biasanya terbatas dalam satu wilayah yang
mereka tinggali.
2. Desentralisasi fungsional (termasuk juga yang menurut dinas/kepentingan),
yaitu desentralisasi kewenangan untuk menjalankan fungsi Pemerintahan
Daerah tertentu oleh suatu organ atau badan ahli khusus yang dibentuk
untuk itu.
3. Desentralisasi administratif (dikatakan juga sebagai dekonsentrasi atau
ambtelyk), yaitu desentralisasi kewenangan untuk menjalankan tugas
pemerintah pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah oleh
pejabat-pejabat daerah itu sendiri.

Secara konvensional, ada tiga jenis desentralisasi (IHDR, 2001), yaitu:


1. “Dekonsentrasi”, yaitu bentuk terlemah, hal tersebut berarti pengalihan
tanggung jawab kepada administrator lokal yang diawasi secara ketat oleh
pemerintah federal.
2. “Delegasi” melibatkan pemindahan pengambilan keputusan dan
administrasi ke organisasi semi-otonom (misalnya perusahaan publik).
3. "Devolusi" adalah bentuk terkuat dan memerlukan pengalihan beberapa
wewenang untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen.
Dalam hal ini, pemerintah negara bagian dapat memilih pemimpin mereka
sendiri, meningkatkan pendapatan mereka sendiri dan membuat keputusan
investasi mereka sendiri.
26

Urgensi desentralisasi politik dan otonomi daerah diharapkan dapat menciptakan


(Yakub, Abdul Ghani, and Anwar, 2018) :
1. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan yang mengarah
pada keharmonisan masyarakat.
2. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang bertanggung jawab dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat lokal.
3. Pemerintah Daerah yang tanggap terhadap berbagai persoalan yang dihadapi
masyarakat lokal.
4. Peningkatan peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan demokrasi
seperti terbukanya masyarakat untuk berpartisipasi di berbagai kegiatan
politik di tingkat lokal.

Meskipun desentralisasi berarti transfer otoritas kepada pemerintah lokal, kita


harus dengan cermat menganalisis hal-hal yang tidak baik dan menyimpang
(ekses) dari praktek-praktek desentralisasi itu sendiri. Tujuannya agar publik tidak
disuguhi dengan pemahaman yang keliru tentang desentralisasi, yang pada
akhirnya hanya menjadi sebuah retorika politik. Dalam perkembangannya,
desentralisasi sudah menjadi salah kaprah bagi masing-masing pihak yang
menonjolkan arogansi kekuasaan (Simanjuntak, 2015).

Ketika desentralisasi menjadi tren pada negara-negara berkembang di era tahun


90-an, berbagai kebijakan telah lahir mengikuti kebutuhan Pemerintah Daerah
untuk membangun, menata dengan aturan sendiri (Strumpf, 2002). Faktanya
banyak peraturan daerah yang bertentangan dengan konstitusi, serta peraturan
Undang-Undang yang lebih tinggi. Laporan Kementrian Dalam Negeri ada sekitar
3.143 peraturan yang dibatalkan, 1.765 Perda/Perkada yang dicabut/direvisi
Menteri Dalam Negeri, 111 Peraturan/Putusan Menteri Dalam Negeri dicabut/
direvisi Menteri Dalam Negeri, dan 1.267 Perda/ Perkada yang dicabut/direvisi
oleh Gubernur (Kemendagri, 2016). Fakta ini menjadi gambar buruknya kualitas
kebijakan yang dihasilkan, berimplikasi kepada kerugian terhadap masyarakat
maupun menghambat investasi dan pembangunan sosial, budaya dan ekonomi.
Oleh sebab itu maka diperlukan langkah yang modern dengan cara-cara baru
27

untuk menghasilkan berbagai kebijakan tingkat lokal yang berkualitas


(Andhika, 2018)
.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa ketidaksuksesan kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah disebabkan desain kelembagaan (institutions design) yang
dibangun tidak efisien. Inefisiensi kelembagaan ini disinyalir menjadi penyebab
mendasar terjadinya stagnasi ekonomi di beberapa negara berkembang dan negara
industri masa lalu. Sedangkan penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia telah menghasilkan sisi positif dan negatif. Di
samping meningkatkan transparansi informasi, kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah telah memunculkan peluang dominasi kontrol oleh elit lokal, yang
pada akhirnya menghasilkan informasi yang tidak utuh (asymmetric information).
Pada gilirannya, ini pun berdampak pada inefisiensi kelembagaan (institution
inefficiency) (Simanjuntak, 2015).

2.1.2 Faktor-faktor Keberhasilan Desentralisasi

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan desentralisasi. Pada


penelitian ini faktor-faktor yang akan menjadi variabel adalah apa yang
disampaikan oleh Rondinelli. Setidaknya ada 4 (empat) faktor yaitu (1) tingkat
komitmen politik dan dukungan administrasi; (2) kondisi tingkah laku, prilaku,
dan budaya yang kondusif bagi desentralisasi; (3) desain dan organisasi yang
efektif dari program-program desentalisasi; (4) sumber daya keuangan, manusia,
dan fisik yang memadai. Dari keempat faktor tersebut, komitmen politik dan
fungsi-fungsi administratif, kemampuan dan kemauan dari birokrat untuk
mendukung desentralisasi, serta kapasitas dari pejabat lapangan untuk
mengkoordinasi dan memfasilitasi pelaksaan desentralisasi dapat dikatagorikan
sebagai faktor utama. (Rondinelli, 1990).

A. Kondisi politik dan administrasi yang menguntungkan meliputi:


1. Komitmen politik yang kuat dan dukungan dari pemerintah pusat untuk
transfer otoritas perencanaan, pengambilan keputusan dan manajerial ke
badan-badan lapangan dan tingkat administrasi yang lebih rendah.
28

2. Penerimaan oleh para pemimpin politik atas partisipasi dalam perencanaan


dan pengelolaan oleh organisasi-organisasi yang berada di luar kendali
langsung pemerintah pusat atau partai politik dominan;
3. Dukungan dan komitmen terhadap desentralisasi dalam jajaran lembaga
birokrasi pusat dan kesediaan pejabat pemerintah pusat untuk mengalihkan
fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh mereka ke unit administrasi lokal;
4. Kapasitas administratif dan teknis yang kuat di dalam lembaga dan
kementerian pemerintah pusat untuk melaksanakan dan mendukung fungsi
pembangunan nasional dengan sumber daya perencanaan, pemrograman,
logistik, personel dan anggaran yang memadai bagi lembaga lapangan dan
pemerintahan yang lebih rendah dalam melaksanakan fungsi
terdesentralisasi;
5. Saluran partisipasi dan perwakilan politik yang efektif untuk penduduk
pedesaan yang memperkuat dan mendukung perencanaan dan administrasi
yang terdesentralisasi dan yang memungkinkan penduduk pedesaan,
terutama yang paling miskin, untuk mengungkapkan kebutuhan dan
tuntutan mereka dan untuk menuntut klaim atas sumber daya
pembangunan nasional dan lokal.

B. Faktor organisasi yang mendukung desentralisasi meliputi:


1. Alokasi yang tepat dari fungsi perencanaan dan administrasi di antara
tingkat pemerintahan dengan setiap rangkaian fungsi yang sesuai dengan
kemampuan pengambilan keputusan, sumber daya yang ada atau potensial
dan kemampuan kinerja dari setiap tingkat organisasi;
2. Undang-undang desentralisasi yang ringkas dan definitif, peraturan dan
arahan yang dengan jelas menguraikan hubungan antara berbagai tingkat
pemerintahan dan administrasi, alokasi fungsi di antara unit-unit
organisasi, peran dan tugas pejabat di setiap tingkat dan keterbatasan dan
kendala mereka;
3. Pengaturan yang fleksibel berdasarkan kriteria kinerja untuk realokasi
fungsi karena sumber daya dan kemampuan pemerintah daerah berubah
dari waktu ke waktu;
29

4. Prosedur perencanaan dan pengelolaan yang didefinisikan dengan jelas


dan relatif tidak rumit untuk menarik partisipasi pemimpin dan warga
setempat dan untuk mendapatkan kerja sama atau persetujuan dari
penerima manfaat dalam perumusan, penilaian, pengorganisasian,
pelaksanaan dan evaluasi proyek dan program pembangunan;
5. Keterkaitan komunikasi di antara unit administrasi atau pemerintah lokal
dan di antara mereka dan tingkat yang lebih tinggi yang memfasilitasi
interaksi timbal balik, pertukaran informasi, aktivitas kerja sama, dan
penyelesaian konflik;
6. Beragam lembaga pendukung yang melengkapi pemerintah daerah dan
organisasi perencanaan dalam menjalankan fungsi pembangunan yang
terdesentralisasi.

C. Kondisi perilaku dan psikologis yang mendukung desentralisasi antara lain :


1. Perubahan sikap dan perilaku pejabat pemerintah tingkat pusat dan bawah
dari yang sentris, berorientasi pada kontrol dan paternalistik, menuju yang
mendukung dan memfasilitasi perencanaan dan administrasi yang
terdesentralisasi, dan kesediaan mereka untuk berbagi otoritas dengan
rakyat pedesaan dan menerima partisipasi mereka dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan pembangunan;
2. Sarana yang efektif untuk mengatasi penolakan, atau mendapatkan kerja
sama, dari elit lokal dan pemimpin tradisional dalam proses perencanaan
dan administrasi pembangunan yang terdesentralisasi;
3. Terciptanya tingkat kepercayaan dan rasa hormat yang minimal antara
warga negara dan pejabat pemerintah, dan saling pengakuan bahwa
masing-masing mampu menjalankan fungsi tertentu dan berpartisipasi
secara efektif dalam berbagai aspek perencanaan dan pengelolaan
pembangunan;
4. Pemeliharaan kepemimpinan yang kuat dalam unit pemerintah atau
administrasi lokal.

D. Kondisi sumber daya yang diperlukan untuk desentralisasi meliputi:


30

1. Pengalihan wewenang yang cukup kepada unit administrasi atau


pemerintah daerah untuk meningkatkan atau mendapatkan sumber daya
keuangan yang memadai untuk mendapatkan peralatan, perbekalan,
personel dan fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan tanggung
jawab yang didesentralisasikan;
2. Infrastruktur fisik yang memadai, dan hubungan transportasi dan
komunikasi, antar unit administrasi lokal untuk memfasilitasi mobilisasi
sumber daya dan penyampaian layanan publik; Dan
3. Sistem pemukiman yang cukup terartikulasi dan terintegrasi di dalam
wilayah untuk mendorong interaksi ekonomi, sosial, politik dan
administrasi di antara pemukiman pedesaan dan di antara mereka dan
kota-kota besar.

2.1.3 Konsep Demokrasi Lokal

Istilah demokrasi berasal dari Bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat dan
cratein yang berarti pemerintahan atau memerintah, sehingga demokrasi berarti
pemerintahan rakyat. Maksud dari pemerintahan rakyat adalah pemegang
kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan dipenggang oleh rakyat. Demokrasi
adalah sebuah bentuk sistem pemerintahan dalam rangka mewujudkan kedaulatan
rakyat yang dijalankan oleh pemerintah. Oleh karena itu, salah satu Presiden
Amerika Serikat, Abraham Lincoln (1861-1865) mengistilahkan demokrasi adalah
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi salah satu indikator perkembangan sistem politik sebuah
negara. Prinsip Trias Politica dalam pemisahan kekuasaan yang diterapkan oleh
negara demokrasi menjadi sangat utama untuk memajukan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat, termasuk di Indonesia, kendati menjadi pembagian
kekuasaan.

Fakta sejarah juga memberi bukti bahwa kekuasaan yang dominan dan berlebih di
tangah eksekutif tidak dapat menjamin pembentukan masyarakat yang adil dan
beradab. Kendati dalam sejarah perkembangan negara Indonesia, demokrasi lebih
31

cenderung pada bergantinya kekuasaan dari tangan raja ke tangan rakyat. Pada
masa sebelum Indonesia lahir, wilayah Nusantara dikuasai oleh para raja,
sehingga kedaulan berada di tangan raya. Merekalah yang memiliki kekuasaan
penuh dalam pengelolaan pemerintahan. Dengan datangnya paham demokrasi,
kedaulan beralih kepada rakyat. Oleh karena itu, pendiri Republik Indonesia dan
Wakil Presiden Pertama di Indonesia Moh. Hatta menegaskan bahwa demokrasi
sebagai sebuah pergeseran dan pergantian kedaulatan raja menjadi kedaulatan
rakyat.

Robert A. Dahl (1998) menyodorkan enam kriteria bagi sebuah negara, sehingga
dapat disebut sebagai negara demokrasi, yakni, para pejabatnya dipilih oleh
rakyat, dilakukan Pemilu yang bebas, adil dan berkesinambungan, pemberian
kebebasan berekspresi bagi seluruh rakyat, akses informasi yang terbuka luas,
kebebasan berasosiasi/berkumpul, dan kewarganegaraan yang inklusif. Untuk
mengukur kualitas demokrasi, Morlino (2004) memberikan gagasan bahwa
demokrasi yang baik paling tidak harus memenuhi tigas kualitas. Pertama,
kualitas hasil bahwa pemerintahan harus memiliki legitimasi yang dapat
memuaskan warga negaranya. Kedua, kualitas isi/substansi bahwa warga negara
memiliki kebebasan dan kesetaraan dalam pemerintahan. Ketiga, Kualitas
prosedur bahwa warga negara memiliki kebebasan untuk memeriksa dan
mengevaluasi bagaimana pemerintahnya mencapai tujuan-tujuan kebebasan dan
kesetaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Konstitusi Indonesia, UUD 1945, menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara


demokrasi sebagaimana diamanahkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil
amandemen ke-3 pada 9 November 2001, kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar. Pada era Presiden Soekarno
tahun 1956, Indonesia sempat menganut demokrasi terpimpin. Indonesia pun
pernah menggunakan demokrasi semu, pada era Presiden Soeharto hingga tahun
1998 ketika Presiden Soeharto “digulingkan” oleh gerakan mahasiswa pada 21
Mei 1998. Setelah era Seoharto berakhir, Indonesia kembali menjadi negara yang
benar-benar demokratis sampai saat ini. Sejumlah pasal dalam UUD 1945 pun
32

diamandemen untuk menguatkan eksistensi sistem pemerintahan demokratis.


Selain wakil rakyat yang duduk di MPR (DPR dan DPD), DPRD, Presiden dan
Wakil Presiden pun sebagai puncak pimpinan pemerintahan Indonesia dipilih
secara langsung melalui Pemilihan Umum, sehingga seluruh rakyat Indonesia
memiliki akses yang memadai dalam ikut menentukan penyelenggara
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Tahun 2004, untuk pertama kali
Bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum presiden.

Demokrasi dipilih menjadi pilar penyelenggaraan pemerintahan di Indoensia,


menurut Surbakti (2008), karena sepuluh pertimbangan. Pertama, demokrasi
mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik.
Kedua, demokrasi menjamin sejumlah hak asasi bagi warga negara, yang tidak
diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratik. Ketiga, demokrasi menjamin
kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warga negara dari pada alternatif lain yang
memungkinkan. Keempat, demokrasi membantu orang untuk melindungi
kepentingan pokok mereka. Kelima, hanya pemerintahan yang demokratik yang
dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi warga negara untuk
menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, yaitu hidup dibawah
hukum yang mereka pilih sendiri. Keenam, hanya pemerintahan demokratik yang
dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan
tanggungjawab moral, termasuk akuntabilitas pemegang kekuasaan kepada rakyat
yang menjadi konsituten. Ketujuh, demokrasi membantu perkembangan manusia
lebih total daripada alternatif lain yang memungkinkan. Kedelapan, hanya
pemerintah yang demokratik yang dapat membantu perkembangan kadar
persamaan politik yang relative tinggi. Kesembilan, negara-negara demokrasi
perwakilan modern tidak pernah berperang satu sama lain. Kesepuluh, negara-negara
dengan pemerintahan yang demokratik cenderung lebih makmur daripada negara-
negara dengan pemerintahan yang tidak demokratik.

Demokrasi lokal berawal dari teori Pemerintahan Daerah yang dikembangkan


berdasarkan teori politik,Hambleton, (1994). Model demokrasi lokal menurut
Stoker (2017) memiliki sejumlah nilai. Pertama, Pemerintahan Daerah yang
33

berdasarkan kepercayaan memiliki nilai dalam hal penyebaran kekuasaan dan


keterlibatan berbagai pengambil keputusan di tingkat daerah. Kedua,
pandangannya tentang kekuatan dalam keragaman adalah responsif terhadap
keragaman kepentingan. Ketiga, Pemerintah Daerah berbasis lokal yang
memfasilitasi akses dan responsif terhadap masyarakat lokal karena administrasi
yang dekat dengan masyarakat setempat. Keempat, penyebaran kekuasaan
merupakan nilai fundamental dan Pemerintahan Daerah yang terdiri dari lembaga
berbasis pemilu akan mampu merepresentasikan penyebaran (sentrifugal)
kekuasaan politik yang sah di kalangan masyarakat lokal.

Organisasi internasional tertentu telah mengembangkan standar dan pedoman


untuk pemerintah daerah yang mungkin perlu dikonsultasikan selama proses
pembuatan konstitusi. Misalnya, Persemakmuran Bangsa-Bangsa (PBB)
mengeluarkan Aberdeen Principles on Good Practice for Local Democracy and
Good Governance (Commonwealth Local Government Forum, 2005) untuk
memastikan bahwa pembangunan lokal bersifat partisipatif dan berfokus
pada warga negara, yang bermanfaat bagi masyarakat lokal dan bahwa
warga memiliki hak suara dalam pemerintahan dan pembangunan mereka.

Praktek demokrasi lokal sesuai dengan prinsip demokrasi yang telah


dikonsepsikan sejak zaman Yunani, bahwa demokrasi menjamin warga negaranya
menikmati kesetaraan politik sehingga mereka bebas memerintah dan diperintah
secara bergiliran. Dalam pandangan Held (2006), demokrasi klasik memiliki ciri-
ciri berikut ini: (1) Adanya partisipasi warga secara langsung dalam fungsi-fungsi
legilsatif dan yudikatif, (2) majelis rakyat adalah kekuasaan tertinggi, (3)
kekuasaan tertinggi menjangkau seluruh urusan umum, (4) tidak ada perbedaan
hak istimewa antara rakyat biasa dengan pejabat publik, dan (5) jabatan publik
tidak boleh dipegang lebih dari dua kali oleh orang yang sama (Held, 2006).

Desentralisasi secara teoretis, merupakan upaya untuk membawa negara lebih


dekat dengan masyarakat lokal serta mendorong tumbuhnya tata pemerintahan
lokal yang lebih demokratis. Dengan kata lain, tanpa diikuti dengan demokrasi
34

lokal, desentralisasi dan otonomi daerah tidak lebih hanya memindahkan


sentralisasi dan korupsi dari pusat ke daerah. Tata pemerintahan lokal yang
demokratis, mengedepankan prinsip pemerintahan “dari” masyarakat, dikelola
secara akuntabel dan transparan “oleh” masyarakat dan dimanfaatkan secara
responsive “untuk” kepentingan masyarakat luas (Usman, 2011).

Dalam penelitian (Usman, 2011) menunjukkan bahwa demokrasi lokal yang


berlangsung masih sebatas efouria, bukan sebagai proses konsolidasi menuju
demokrasi lokal yang kokoh, beradab dan terpercaya. Efouria demokrasi lokal
sangat bermasalah, dan tetap akan bermasalah sampai pasca pemilu 2009 karena
fondasi yang sangat rapuh. Praktik demokrasi lokal selama ini lebih banyak
diwarnai dengan sejumlah efouria yang masih sangat rapuh.

International IDEA memberikan analisa dan penjelasan tentang demokrasi lokal


yaitu dengan menekankan kepada konspesi penting sebagai berikut:
1. Kewarganegaraan dan masyarakat. Peran serta masyarakat lokal
sesungguhnya adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai
kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta
segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya
praktik demokrasi yang lebih langsung, dimana suara individu dapat
didengar dengan lebih mudah.
2. Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya
terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang
bermakna guna mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam
masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar
dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti
melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antar
kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan
terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggung
bersama-sama.
3. Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses
pendidikan politik. Peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap
35

individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di


masyarakat, yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para
profesional pemerintahan di kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan
memiliki informasi akan menciptakan demokrasi -yang berarti pengambilan
keputusan oleh rakyat- semakin mungkin dan efektif. Peran serta masyarakat
berarti mengurangi jurang pemisah antara para elite politik dan anggota
masyarakat.
4. Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para
pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat
bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan
mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung
tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung
meningkatkan hubungan yang baik antarwarga, membangun masyarakat
yang mandiri dan memiliki semangat sosial (Sisk et al., 2002).

Berdasarkan lingkup, intensitas, dan kualitas partisipasi warga negara dalam


pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, status demokrasi dapat dibedakan pada
pada empat tingkat, yaitu demokrasi prosedural, demokrasi agregatif, demokrasi
deliberatif, dan demokrasi partisipatoris.
1. Demokrasi prosedural adalah persaingan partai politik dan/atau para calon
pemimpin politik meyakinkan rakyat agar memilih mereka menduduki jabatan-
jabatan dalam pemerintahan (legislatif atau eksekutif) di pusat atau daerah.
Rumusan ini dikemukakan oleh Joseph Schumpeter dan Samuel P.
Hungtington. Menurut mereka, terdapat dua unsur penting dalam demokrasi:
kontestasi/persaingan secara adil antar partai dan/atau calon pemimpin, dan
partisipasi warga negara dalam menilai dan memberi keputusan atas persaingan
tersebut. Dengan demikian, demokrasi terbatas pada partisipasi warga negara
yang berhak memilih dalam menentukan wakil rakyat dan/atau kepala
pemerintah melalui pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil (LUBER DAN JURDIL), dan akuntabel, termasuk tidak
memilihnya lagi pada pemilu berikutnya bila dipandang tidak menepati janji.
Demokrasi cenderung dipahami sebagai hak partai politik atau calon yang
menang Pemilu untuk memerintah alias membuat dan melaksanakan UU dan
36

kebijakan publik lainnya. Inilah yang disebut demokrasi minimal atau


prosedural.
2. Kedua, demokrasi tidak hanya berupa keikutsertaan dalam pemilu yang luber,
jurdil dan akuntabel tetapi terutama cita cita, pendapat, referensi, dan penilaian
warga negara menentukan isi UU, kebijakan dan tindakan publik lainnya.
Pandangan ini berangkat dari asumsi yang mengatakan orang yang paling tahu
mengenai apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena itu
pandangannya ini menyakini perinsip self-government harus mendasari
pengambilan keputusan mengenai UU dan kebijakan publik lainnya.
Berdasarkan prinsip ini, UU dan kebijakan publik haruslah mengalir dari
pandangan para warga negara. Karena warga negara begitu banyak jumlahnya,
maka yang dianggap menjadi ukuran adalah preferensi sebagian besar atau
mayoritas pemilih. Inilah yang disebut demokrasi agregatif, yang antara lain di
kemukaan oleh Robert Dahl.
3. Ketiga, demokrasi agregatif dipandang tidak memandai. Demokrasi tidak
hanya diukur dari apakah UU dan kebijakan publik dirumuskan berdasarkan
preferensi dan pandangan para warga negara secara umum, tetapi terutama
apakah UU dan kebijakan tersebut sesuai dengan kehendak setiap warga
negara. Menurut pandangan ini, UU dan kebijakan publik haruslah
dirumuskan berdasarkan alasan dan pertimbangan yang dapat diterima oleh
semua warga negara. Pandangan ini berangkat dari nilai demokrasi berupa
kemampuan setiap warga negara mengatur diri sendiri (self-government)
yang berarti menolak tirani, tetapi menuntut akuntabilitas publik. Karena
pemerintahan berdasarkan alasan dan pertimbangan rasional berangkat dari
pandangan yang menilai otonomi individual sangat penting, maka
konsekuensinya persamaan dan kesetaraan politik di antara warga negara
juga menjadi penting. Pandangan ini disebut demokrasi deliberatif karena
pengambilan keputusan pada berbagai institusi, seperti partai politik, sipil
society, lembaga perwakilan rakyat, pengadilan, departemen dan dinas
pemerintahan, rembug desa, dan ruang publik lainnya dilakukan melalui
diskusi /musyawarah yang tidak hanya bersifat terbuka, tetapi berdasarkan
alasan dan pertimbangan rasional. Demokrasi deliberatif ini acap kali juga
disebut reasoned rule oleh para warga negara yang memiliki kedudukan
37

yang setara. Ulasan mengenai apa dan mengapa demokrasi delibelatif, antara
lain dikemukaan oleh Amy Gutmann dan Dennis Thompson.
4. Keempat menyetujui pentingnya nilai-nilai demokrasi seperti self
government, persamaan/kesetaraan politik, dan reasoned rule, tetapi
menekan pada partisipasi seluruh warga negara (yang sudah berhak
memilih) secara langsung dalam pengambilan keputusan. Walaupun
keterlibatan langsung dalam membuatan keputusan tidak pada semua
tingkatan atau pada semua isu publik, tetapi frekuensinya cukup sering,
terutama dalam pembuatan kebijakan penting, dan ketika kekuasaan secara
signifikan digunakan. Demokrasi partisipatoris menganggap demokrasi
minimal sebagai demokrasi berkadar tipis, menganggap demokrasi agregatif
sebagai tidak cukup mencerminkan prinsip self government (dan dalam
sejumlah hal UU dan kebijakan bisa saja sesuai dengan preferensi sebagian
besar warga negara, tetapi pemerintahannya tidak demokratik), dan
demokrasi deliberatif belum melibatkan semua warga negara. Dalam
demokrasi partisipatoris ini, para warga negara berinteraksi secara langsung
dalam membahas pemilihan UU atau kebijakan untuk mengatasi
permasalahan yang mereka hadapi bersama. Pandangan ini di kemukakan,
antara lain oleh Benyamin Barber (1984).

Namun dalam penerapan demokrasi lokal terdapat beberapa kemungkinan


pertanyaan (Bulmer, 2017), seperti apakah permasalahan: (a) demokrasi
lokal tidak memiliki kekuatan, sumber daya, atau kapasitas yang cukup
untuk menjalankan fungsi yang dibutuhkan masyarakat demokratis yang
berkembang? Atau (b) bahwa kekuasaan yang dimiliki tidak digunakan
secara efektif atau efisien, karena korupsi, kepuasan diri dan
ketidakmampuan? Seringkali kedua masalah itu berjalan beriringan, dan
mungkin perlu bagi perancang konstitusi untuk mempertimbangkan
bagaimana mendelegasikan kekuasaan dan sumber daya yang lebih besar
kepada otoritas lokal, juga menjaga agar tidak menyalahgunakan kekuasaan
dan sumber daya tersebut.
38

2.1.4 Konsep Partisipasi Masyarakat

Partisipasi adalah konsep yang multitafsir tanpa makna yang pasti. Oleh
karenanya ada banyak definisi yang tertuang dalam masing-masing konsep.
Diantaranya Pertama, menurut UNESCO partisipasi mengacu pada aktivitas
berkelanjutan kolektif untuk tujuan mencapai beberapa tujuan bersama, terutama
distribusi manfaat pembangunan yang lebih adil' (UNESCO, 1979: 15). Kedua,
bagi Pearse dan Stifel, partisipasi adalah upaya terorganisir untuk meningkatkan
pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga pengatur dalam situasi sosial
tertentu, di pihak kelompok dan gerakan mereka yang sampai sekarang
dikecualikan dari kontrol tersebut (Pearse dan Stifel, 1979: 1) . Definisi ini
menekankan, dari perspektif pihak-pihak yang dikecualikan, bahwa unsur-unsur
kekuasaan dan kontrol atas keputusan-keputusan kunci tetap menjadi isu-isu inti
partisipasi. Ketiga, partisipasi tentu menimbulkan pertanyaan tentang pengaruh
timbal balik dan kontrol sumber daya dan keputusan. Inilah alasan mengapa Bank
Dunia mendefinisikan partisipasi sebagai suatu proses di mana pemangku
kepentingan mempengaruhi dan berbagi kendali atas inisiatif pembangunan,
keputusan dan sumber daya yang mempengaruhi mereka (dikutip dalam Ondrik,
2003: 1).

Dalam definisi yang lain Partisipasi adalah persoalan hubungan kekuasaaan, atau
hubungan ekonomi-politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi rakyat
berada dalam konteks hubungan antara negara (pemerintah) dan rakyat
(masyarakat). Negara adalah pusat kekuasaan, kedaulatan dan serangkaian hukum
yang mengatur peredaran barang-barang publik di masyarakat. Di dalam
masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan hal politik, kekuatan kelompok,
kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan
penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik
melahirkan kesejahteraan manusia (human well being) (Suyatno, 2011). Dalam
kamus bahasa Indonesia (1996:56), definisi partisipasi adalah: "Hal yang
berkenaan dengan turut serta dalam suatu kegiatan atau berperan serta dalam suatu
kegiatan. Jadi, dapat diartikan bahwa partisipasi adalah suatu bentuk kerjasama
39

yang diberikan apabila suatu pihak sedang melakukan suatu kegiatan". Dengan
keterlibatan dirinya, berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya. Misalnya
berpartisipasi/ikut serta (dapat anda rasakan sendiri), maka anda melakukan
kegiatan itu karena menurut pikiran anda perlu dan bahwa perasaan pun
menyetujui untuk melakukannya. Sastropoetro (2000: 12) mengemukakan
pengertian partisipasi adalah: "Keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai
kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai
tujuan bersama".
Gaung partisipasi dalam perencanaan pembangunan tata ruang saat kini telah
dileigitimasi antara lain oleh UU No. 4 tahun 1982 pada pasal 5,6, dan 19, UU
Tata Ruang No. 24 tahun 1992 pasal 4 dan 5 serta UU Otonomi No. 22 Tahun
1999, Peraturan Pemerintah (PP) No.25 tahun 2000. Undang-Undang tersebut
telah membuka berbagai peluang penerapan sistem desentralisasi dan otonomi
yang akan membuka ruang sekaligus mendorong partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
Menerapkan mekanisme partisipasi sipil yang efektif untuk mewujudkan tata
pemerintahan lokal yang baik berarti bahwa keterlibatan pemangku kepentingan
harus dipupuk secara inklusif dan transparan. Partisipasi yang efektif juga
menyiratkan untuk bergerak melampaui asumsi bahwa semua dapat berpartisipasi
dalam semua keadaan dan dalam semua fase pengambilan keputusan (Council of
Europe, 2020).

Menurut (Najib M.A., 2001) partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya
dalam mewujudkan desentralisasi yang demokratis, karena dapat mengurangi
berbagai hambatan yang memisahkan antar masyarakat dan pemerintahnya, atau
dengan kata lain mengubah hubungan dari politik oposisi ke dialog dan
pembagian kewenangan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Berbagai skala
dan lingkup perencanaan pembangunan akan sia-sia jika tanpa melibatkan
partisipasi masyarakat.

Dalam artikel Aziz Turindra (2011), ada beberapa tahapan dari partisipasi
masyarakat, yaitu :
40

1. Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan, Pada umumnya, setiap


program pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan sumber daya
lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah
pusat yang lebih banyak mencerminkan kebutuhan dari kelompok elit yang
berkuasa daripada keinginan masyarakat banyak. Dalam tahap ini,
partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan berupa forum diskusi ataupun
bentuk lain yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi langsung
di dalam proses pengambilan keputusan tentang program-program
pembangunan di tingkat lokal.
2. Tahap partisipasi dalam perencanaan pembangunan, Partisipasi dalam tahap
perencanaan merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya diukur dari
derajat keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, orang sekaligus diajak
untuk ikut membuat keputusan yang mencakup merumuskan tujuan, maksud
dan target.
3. Tahap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, Partisipasi masyarakat dalam
tahap pelaksanaan pembangunan diartikan sebagai pemerataan sumbangan
masyarakat dalam bentuk tenaga, kerja, uang tunai dan atau bentuk lainnya
yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh warga yang
bersangkutan.
4. Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan, Kegiatan
pemantauan dan evaluasi program dalam pembangunan sangat diperlukan.
Hal ini dimaksudkan bukan hanya untuk tercapainya tujuan, tetapi juga
diperlukan untuk mendapatkan umpan balik tentang masalah-masalah dan
kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan. Partisipasi
masyarakat dalam mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan
perkembangan kegiatan serta perilaku aparat pembangunan sangat
diperlukan.
5. Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan, Partisipasi dalam
pemanfaatan hasil pembangunan merupakan hal penting namun sering
terlupakan. Padahal tujuan dari pelaksanaan pembangunan adalah untuk
memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil
pembangunan merupakan tujuan utama. Selain itu, pemanfaatan hasil
41

pembangunan akan menumbuhkan kemauan dan kesukarelaan masyarakat


untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan
datang.

Dari berbagai gambaran historis dan pengalaman pelaksanaan partisipasi tersebut


di atas dapat dirumuskan bahwa peran partisipasi meliputi tujuh unsur sebagai
berikut (Sri Hidayati, 2002) :
1. Forum partisipasi masyarakat akan mempunyai pengaruh yang potensial
bagi para perencana untuk menciptakan berbagai kebijakan dan perencanaan
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat.
Perumusan keputusan pembangunan akan yang lebih akurat (terpercaya),
sah ( valid ) secara hukum, dan sesuai dengan kenyataan (reliable).
2. Partisipasi masyarakat pada akhirnya dapat berfungsi sebagai agen peubah
struktur pembangunan politik dan pembangunan ekonomi dengan
mengutamakan kepentingan kompok masyarakat banyak (grass root) dalam
suatu negara. Atau dengan kata lain partisipasi masyarakat akan membawa
pengaruh potensial bagi para perencana pembangunan untuk memicu
perubahan sosial masyarakat dan sebaliknya.
3. Partisipasi dapat meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat melalui
perubahan perilaku yang positif, seperti perubahan etos kerja dan perbaikan
moral yang sesuai dengan hukum, norma, dan religi .
4. Partisipasi dapat berperan untuk menciptakan perencanaan pembangunan
yang comprehensive. Semakin banyak macam interest di bidang partsipasi
yang disajikan, semakin banyak inovasi yang akan diajukan. Semakin deras
arus desentralisasi, semakin banyak inovasi yang dapat diangkat serta
semakin comprehensive perencanaan pembangunan yang diciptakan.
5. Partisipasi dapat berperan untuk menciptakan badan pembuat keputusan
yang obyektif. Perencanaan lokal akan lebih tergambar selaras dan sesuai
dengan keinginan masyarakat jika didiskusikan secara luas melalui
kelompok partisipasi.
42

6. Partisipasi dapat berperan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat


terhadap fungsi perencanaan pembangunan sebagai suatu kekuatan
demokrasi dan kekuatan komunitas lingkungan, dan
7. Partisipasi masyarakat dapat berperan untuk mengartikulasikan kritik model
pembangunan yang telah mapan.

Namun pelibatan aspirasi masyarakat di Indonesia yang selayaknya diawali oleh


adanya proses perencanaan sebagai awal dari alokasi dan distribusi pembangunan,
pengambilan keputusan, pelayanan publik, pengelolaan sumberdaya, pengawasan
serta pengendalian pembangunan, nampaknya masih belum terealisasi dengan
baik (Sri Hidayati, 2002) . Hal tersebut dikarenakan terdapat permasalahan
pemahaman partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang bersumber kepada
masalah perencanaan dan pengambilan keputusan yang ditinjau dari proses
maupun hasil pembangunan yang selama ini terjadi di era desentralisasi, yaitu:
1. Tidak adanya transparansi atas usulan masyarakat yang masuk atau yang
sedang didiskusikan, sehingga telah mematikan partisipasi masyarakat
dalam menjaga usulannya agar dapat diperhatikan. Pada akhirnya intervensi
sektoral tidak dapat dicegah, karena masing-masing instansi pemerintah dan
para penguasa ingin memperoleh keuntungan dari perencanaan yang tidak
terintegrasi. Mekanisme dialogis yang terbuka dan demokratis antar instansi
pemerintah, dan antar pemerintah dengan masyarakat (seluruh stake holder)
belum menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan.
2. Perumus/penyusun perencanaan pembangunan daerah terbatas hanya pada
instansi-instansi pemerintah saja. Proses perencanaan yang selama ini
berlaku, cenderung dilakukan secara tertutup tidak memberikan kesempatan
kepada pelaku pembangunan non pemerintah atau swasta untuk terlibat turut
berpartisipasi. Perencanaan dimaksud untuk mendistribusikan kebijakan,
program, maupun pelayanan yang berasal dari pemerintah saja dan tidak
diupayakan untuk memobilisasi potensi yang ada di masyarakat.Monopoli
pemerintah dalam proses perencanaan pembangunan telah menjadi alat
untuk memperluas dominasinya terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan
politik masyarakat.
43

3. Prioritas pembangunan daerah seringkali tidak mencakup rencana strategis


jangka panjang sebagaimana mestinya, tapi dapat berubah berdasarkan
prioritas yang ditetapkan oleh kepala daerah (atau bersama DPRD) tanpa
melibatkan partisipasi aparat daerah. Adanya ketertutupan dalam proses
perencanaan, telah membuat masyarakat tidak memiliki kesempatan terlibat
untuk berpartisipasi dalam mengimplementasikan agenda-agendanya.
4. Pendekatan perencanaan partisipatif di tingkat desa/kelurahan tidak
berkelanjutan dan tidak bersambung ke tingkat perencanaan pembangunan
diatasnya (kabupaten/kota). Meski ada beberapa upaya untuk memperbaiki
perencanaan partisipatif di tingkat desa/kelurahan seperti dengan metoda
P3MD, namum minimnya kemauan politik (political will) dan
ketiadapaduan yang jelas serta tidak transparannya cakupan kebijaksanaan
pemerintah, telah menyebabkan perencanaan di tingkat desa/kelurahan lebih
menghasilkan daftar keinginan (wish list) dibandingkan dengan daftar
kebutuhan (needs list). Masyarakat tidak berminat untuk berpartisipasi
dalam perencanaan. Hal ini telah mengakibatkan arena musyawarah
pembangunan desa (musbangdes) bukan arena yang dijadikan favorit bagi
masyarakat. Masyarakat tidak lagi percaya kepada proses tersebut, karena
realisasi dari upaya keterlibatan merekapun sangat berbeda dengan apa yang
mereka usulkan dan akhirnya para elit desa/kelurahan mendominasi
masukan untuk perencanaan pada tingkat yang lebih tinggi. Pada era
sentralisasi memang sangat sulit menghasilkan perencanaan pembangunan
daerah terintegrasi. Karena, selain tidak adanya keterlibatan masyarakat juga
karena dominasi sektoral pada tingkat pusat yang menetapkan dan
mengalokasikan program beserta penganggarannya sampai pada tingkat
daerah sangat kuat.

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan, bahwa


Pemerintahan Daerah diselenggarakan berdasarkan prinsip permusyawaratan atau
demokrasi, artinya secara administratif pelaksanaan pemerintahan dilakukan
dengan membuat kebijakan desentralisasi, maka lahir satuan Pemerintahan
Daerah yang bersifat otonom yatu Pemerintahan Daerah yang mengatur dan
44

mengurus berdasarkan aspirasri dan kepentingan masyarakat setempat


(Sukriono, 2013)
.

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah


melakukan kegiatan-kegiatan pengaturan. Kegiatan ini merupakan fungsi penting
yang pada hakikatnya merupakan fungsi untuk pembuatan kebijakan Pemerintah
Daerah yang dijadikan dasar atau arah dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Pemerintahan Daerah (local government) pada dasarnya hanya melaksanakan
fungsi legislatif dan fungsi eksekutif sedangkan fungsi yudikatif tetap ditangani
pemerintah pusat. Fungsi legislatif yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
hakikatnya merupakan fungsi pembuatan kebijakan Pemerintahan Daerah
(Djaenuri, 2019).

Kewenangan Pemerintah Daerah adalah sebagai alat dan fasilitator untuk


menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, maka segala kebijakan yang dibuat
oleh Pemerintah Daerah seharusnya tidak bertentangan dengan kepentingan
rakyat selama kepentingan tersebut tidak melanggar peraturan perUndang-
Undangan yang berlaku. Menurut (Abdullah, 2010) mengatakan partisipasi publik
harus diberikan tidak saja dalam arti prosedural, tetapi juga harus dilembagakan
sebagai hak-hak rakyat yang dijamin secara normatif. Dalam hal ini, pelibatan
peran serta masyarakat secara aktif sudah termaktub dalam UUD 1945, sehingga
pemerintah berkwajiban untuk melibatkan masyarakat dalam pembuatan
peraturan daerah secara lisan atau tertulis (Farida, 2005).

Menurut Ribot (1998), desentralisasi (politik) merupakan sarana penting untuk


meningkatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi, menurut Ribot, berarti
pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan, dan masyarakat dapat
merujuk pada desa atau penduduk di bawah unit terkecil Pemerintah Daerah.
Partisipasi masyarakat dengan demikian mengacu pada kontrol kolektif atas
sumber daya dan keputusan publik. Dengan kata lain, desentralisasi dapat
memberikan kesempatan untuk kontrol kolektif atas sumber daya dan keputusan
publik. Blair (2000) menganggap partisipasi sebagai komponen kunci yang
45

diperlukan untuk membuat pemerintahan lokal yang demokratis (DLG) lebih


demokratis. Partisipasi secara positif mempengaruhi kepentingan warga negara
dan keterlibatan mereka dalam proses politik, memungkinkan mereka untuk
memiliki suara dalam keputusan yang mempengaruhi mereka. Telah diamati
bahwa partisipasi (partisipasi) untuk pemilihan lokal secara komparatif lebih
tinggi daripada pemilihan nasional karena pengenalan DLG. Selain voting,
partisipasi politik dapat berbentuk lain, seperti berkampanye, berdemonstrasi,
melobi pengambil keputusan, dan sebagainya.

Ide sentral dari partisipasi adalah memberikan peran yang berarti kepada warga
negara dalam keputusan Pemerintah Daerah yang mempengaruhi mereka (Blair,
2000) Peran tersebut dimunculkan melalui desentralisasi yang menyerahkan
mekanisme pengambilan keputusan untuk memfasilitasi partisipasi aktif
masyarakat dalam mengartikulasikan prioritas lokal dan membantu memastikan
bahwa program sesuai dengan kebutuhan lokal (Francis dan James, 2003).

2.2 Pengembangan Hipotesis

2.2.1 Hubungan Desentralisasi dan Demokrasi

Desentralisasi adalah proses demokratisasi kekuasaan, layanan, dan sumber


daya yang sedang berlangsung. Desentralisasi bertujuan menciptakan ruang
politik untuk mengakomodasi otonomi lokal, memperluas demokrasi inklusif
dalam pengambilan keputusan, dan menyediakan sumber daya untuk
pelaksanaan desentralisasi yang efektif. Salah satu tujuan desentralisasi adalah
“untuk memastikan partisipasi demokratis dan kontrol pengambilan keputusan
oleh orang-orang yang bersangkutan”.

Demokratisasi dan desentralisasi telah berkembang sebagai konsekuensi dari


banyak ketidakpuasan dengan hasil perencanaan ekonomi terpusat yang
kemudian membawa reformis ke desentralisasi untuk mengurangi kontrol
yang cukup besar dari pemerintah pusat dan mendorong partisipasi yang
46

lebih luas dalam pemerintahan yang demokratis (Smoke, 1994). Salah satu
asumsi penting adalah bahwa dengan lebih dekat dengan masyarakat,
pemerintah daerah dapat lebih mudah mengidentifikasi kebutuhan masyarakat,
dan dengan demikian menyediakan bentuk dan tingkat pelayanan publik
yang sesuai (Oates, 1972).
Dalam kasus lain, penguasa tradisional seperti kepala suku atau pemuka
agama dapat secara formal atau informal, melakukan peran pemerintahan
lokal, seperti menyelesaikan konflik, menjaga ketertiban, mengumpulkan pajak
atau bertindak sebagai pemimpin lokal. Beberapa negara mengakui kenyataan ini
dengan memberi para pemimpin tradisional wadah yang diakui di bawah
konstitusi: hal ini menegaskan kekuasaan dan pengaruh para pemimpin
tradisional tersebut, juga menempatkan tanggung jawab tertentu kepada
mereka dan menempatkan kekuasaan mereka dalam batas-batas hukum yang
lebih tepat. Lembaga-lembaga yang dibuat ini dapat tunduk pada tingkat
pengaruh dan tanggung jawab publik (misalnya, di mana pemimpin suku
diharapkan untuk bertindak atas saran dari tetua suku atau di mana kepala
desa dipilih oleh penduduk desa) dan oleh karena itu dapat dianggap
sebagai bentuk demokrasi adat lokal (Bulmer, 2017).

Mengingat ketidaksetaraan dalam demokrasi lokal sering terjadi, maka untuk


mencapai suara otentik dan bermakna oleh para pemimpin masyarakat mungkin
melibatkan konflik, serta kolaborasi. Sementara beberapa pendekatan terlalu
menekankan pembangunan konsensus dengan mengesampingkan konflik, di lain
pihak menunjukkan bahwa konflik dan kolaborasi seringkali harus berjalan
beriringan. Dalam studi mereka tentang contoh pemerintahan partisipatif yang
diberdayakan, misalnya, Fung dan Wright (2003) menunjukkan bahwa proses
deliberatif paling baik dicapai jika terdapat kesetaraan kekuasaan, untuk tujuan
pengambilan keputusan, di antara para masyarakat. Selain itu, mereka
melanjutkan untuk menunjukkan, kolaborasi yang meningkatkan demokrasi tidak
mungkin muncul dan dipertahankan tanpa adanya kekuatan penyeimbang yang
efektif di mana warga negara dapat meminta pertanggungjawaban.
47

Di hampir semua masyarakat, kebutuhan dan preferensi masyarakat mayoritas


dan berkuasa tercermin dengan baik dalam desentralisasi. Tapi hal ini jarang
terjadi pada masyarakat minoritas dan terpinggirkan, yang perlu berjuang lebih
agar suara mereka didengar. Padahal demokrasi pada umumnya, dan
desentralisasi pada khususnya, harus mengakomodasi kepentingan mayoritas
dan minoritas, yang miskin dan yang kaya, yang diistimewakan dan yang
kurang beruntung. Dalam konteks di atas, pemerintah yang mengabaikan
kebutuhan sebagian besar penduduk dalam menetapkan dan melaksanakan
kebijakan tidak dianggap sebagai pemerintah yang cakap. Proses penguatan
institusi, khususnya institusi yang meningkatkan tradisi demokrasi, harus
dimulai dengan mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Pada dasarnya, ini
berarti membawa suara rakyat ke dalam pembuatan kebijakan. Dalam
pengaturan yang tepat, ini juga berarti desentralisasi kekuasaan, otoritas, dan
sumber daya pusat yang lebih besar (Kinuthia, et.al., 2002).

Desentralisasi dan demokrasi bertemu dengan mudah karena demokrasi itu sendiri
adalah sistem pemerintahan di mana pengambilan keputusan berada di bawah
pengawasan pengaruh kontrol warga negara. Dalam pengamatan yang samar-
samar, demokrasi sering dipandang sebagai bentuk pemerintahan “perwakilan”;
namun demokrasi pada hakekatnya tidak hanya perlu representatif tetapi juga
partisipatif, inklusif, akuntabel dan transparan. Kesehatan demokrasi di suatu
negara dapat diukur dari sejauh mana warganya memiliki akses dan kendali atas
proses pengambilan keputusan.

Desentralisasi membawa pemerintah lebih dekat dengan rakyat sehingga lebih


bertanggung jawab kepada publik dan urusannya lebih transparan. Penyediaan
layanan dasar dan penyelesaian masalah tingkat lokal harus selalu diserahkan
kepada struktur pemerintah daerah yang paling dekat dengan realitas masalah,
bukan legislatif provinsi dan nasional yang tidak dapat diharapkan untuk
menyelesaikan setiap masalah di daerah pemilihan mereka mengingat sedikitnya
pemahaman mereka tentang masalah karena kesenjangan yang besar antara publik
dan legislator terutama di negara-negara berkembang. Penyampaian layanan
48

bukan satu-satunya bidang yang meningkat dari desentralisasi kekuasaan tetapi


struktur yang terdesentralisasi juga menjadi tempat berkembang biak bagi
kepemimpinan politik di masa depan serta lembaga perwakilan untuk kelompok
masyarakat yang kurang terwakili seperti perempuan, minoritas dan penduduk
pedesaan. Intinya, alat terbesar untuk memajukan kewarganegaraan demokratis
adalah mendekatkan kekuasaan dan struktur pemerintahan kepada publik
(Diamond, 2004).

Desentralisasi di Indonesia sebagian besar prakteknya masih memiliki


permasalahan karena pelaksanaannya yang tergesa-gesa (Sumarto, et.al.,
2014). Kurangnya persyaratan dalam lembaga terhadap proses manajemen
yang efektif yaitu tidak adanya ukuran kinerja dan kerangka kerja kendala
yang efektif; pembagian tanggung jawab yang tidak jelas antara berbagai
tingkat pemerintahan; kapasitas manusia dan kelembagaan pemerintah daerah
yang tidak memadai; insentif yang tidak tepat diberikan oleh struktur
keuangan publik yang terdesentralisasi.

2.2.2 Hubungan Desentralisasi Politik dan Partisipasi Masyarakat

Partisipasi dan desentralisasi memiliki hubungan simbiosis. Di satu sisi,


desentralisasi yang berhasil membutuhkan partisipasi lokal pada tingkat tertentu.
Kedekatan antara pemerintah daerah dengan konstituennya memungkinkan
pemerintah daerah menanggapi kebutuhan daerahnya secara lebih baik dan efisien
menyesuaikan pengeluaran publik dengan kebutuhan swasta hanya jika informasi
antara warga dan pemerintah daerah tersampaikan dengan baik. Di sisi lain, proses
desentralisasi dapat meningkatkan peluang partisipasi dengan menempatkan lebih
banyak kekuasaan dan sumber daya pada tingkat pemerintahan secara lebih dekat,
lebih akrab, dan lebih mudah dipengaruhi. Dalam lingkungan dengan tradisi
partisipasi warga yang buruk, desentralisasi dapat menjadi langkah awal dalam
menciptakan peluang untuk membentuk interaksi warga negara.
49

Hubungan simbiosis antara desentralisasi dan partisipasi dapat menyebabkan


pedoman kebijakan yang terkadang saling bertentangan. Mekanisme partisipasi
masyarakat dapat dianggap sebagai prasyarat yang membantu ketika menilai
kemungkinan keberhasilan desentralisasi. Oleh karena itu, rancangan
desentralisasi harus mempertimbangkan peluang dan keterbatasan yang
ditimbulkan oleh adanya partisipasi lokal. Namun, kurangnya mekanisme
partisipatif dapat dilihat sebagai motivasi untuk desentralisasi dan berkontribusi
dalam menciptakan permintaan lokal akan saluran yang lebih partisipatif dalam
mengekspreikan preferensi. (Seddon, 2010)

Desentralisasi merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan partisipasi


masyarakat (Ali Khan, 2013) . Partisipasi berarti membagi kekuasaan dalam
pengambilan keputusan dari pemerintah kepada masyarakat. Blair menganggap
partisipasi sebagai elemen kunci dalam demokratisasi pemerintah daerah
(Blair, 2000).
Menurut Blair, desentralisasi meningkatkan partisipasi demokratis dengan
mendorong masyarakat untuk terlibat dalam proses politik. Partisipasi dalam
politik dapat ditingkatkan dengan meningkatkan partisipasi kelompok masyarakat
seperti kaum minoritas, pemilik usaha kecil, pengrajin, petani kecil dan
masyarakat miskin melalui mekanisme yang sederhana.

Pakar ilmu administrasi publik telah menetapkan berbagai mekanisme untuk


melibatkan masyarakat dalam penyediaan barang dan jasa publik. Secara umum,
mekanisme ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu voice approach dan exit
approach (Khan, 2016) . Voice approach memungkinkan masyarakat untuk
menyampaikan secara langsung keinginan mereka mengenai jenis dan kualitas
layanan. Penyampaian usulan ini dapat dilakukan melalui pertemuan perencanaan
dan evaluasi kinerja. Pendekatan ini juga dilakukan dengan melakukan survei
kebutuhan masyarakat tentang bagaimana mengelola barang dan jasa publik. Exit
approach memberikan pendekatan yang berbeda yaitu masyarakat berpartisipasi
dengan tidak menggunakan barang dan jasa publik yang telah disediakan oleh
pemerintah (Khan, 2013). Pada pendekatan ini, kekecewaan juga ditunjukkan
50

dengan tidak terlibat pada kegiatan masyarakat pada wilayah adminisitrasi tempat
tinggal mereka dan memilih wilayah administrasi lain.

Diagram 1. Pelibatan Masyarakat dalam Model Desentralisasi, Khan (2016)

Participation Representation

Empowerment Voice

The Asia Foundation (2004) meluncurkan serangkaian studi untuk


mengevaluasi dampak desentralisasi di Indonesia. Temuannya menunjukkan
bahwa desentralisasi awal berhasil mendorong terciptanya tiga kondisi
penting: (i) peningkatan kesadaran dan penghargaan terhadap partisipasi
51

masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal; (ii) komitmen yang lebih
kuat dari pemerintah daerah terhadap pemberian layanan dan tekanan yang
signifikan dari masyarakat untuk meningkatkan kualitas layanan publik; dan
(iii) pemerintah daerah bekerja sama dan berbagi informasi untuk
memecahkan masalah bersama.

Desentralisasi dianggap sebagai sarana kondusif untuk mencapai prinsip-prinsip,


yang dijeaskan oleh Cheema (2007), yaitu membentuk kelembagaan di tingkat
sub-nasional melalui kelompok-kelompok dan peran warga negara dalam
mengatur diri mereka sendiri dan berpartisipasi dalam politik dan ekonomi untuk
membuat keputusan yang berpengaruh terhadap mereka. Robinson (2007)
mengemukakan bahwa hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa unit Pemerintah
Daerah akan 'lebih responsif terhadap' kebutuhan warga lokal dan
mempertimbangkan preferensi mereka dalam menentukan jenis layanan yang
akan diberikan, tingkat sumber daya yang dibutuhkan, dan mengoptimalkan
sarana untuk memastikan penyampaian yang efektif'. Hal ini membutuhkan unit
Pemerintah Daerah yang memiliki ruang politik dan kapasitas untuk membuat dan
mempengaruhi keputusan. Karena alasan inilah desentralisasi disukai dan
diaplikasikan di banyak negara (Blunt dan Turner, 2007).

Sumber daya dan keterampilan manajemen yang tidak memadai baik di


tingkat pemerintah pusat maupun daerah terus memperlambat upaya menuju
desentralisasi. Isu-isu penting tentang akuntabilitas dan manajemen
pengeluaran publik yang efisien, penganggaran partisipatif, transparansi yang
lebih besar dalam prosedur pengadaan dan kontrak publik masih perlu
dirampingkan untuk dampak pembangunan yang lebih tinggi.

Pemerintah daerah dianggap sebagai tingkat pemerintahan yang tepat dalam


mengatasi permasalahan pengurangan, kemiskinan, dan penciptaan kekayaan
melalui partisipasi masyarakat. Adanya pengalihan kekuasaan yang cukup,
maka pemerintah daerah memperoleh otonomi politik, keuangan, dan
administrasi untuk menangani kebutuhan masyarakat dengan lebih baik.
52

Semakin banyak wewenang, fungsi, dan tanggung jawab yang


terdesentralisasi, pemerintah daerah menjadi semakin inklusif dan akuntabel
(United City and Local Government, 2008).

Secara keseluruhan, pemerintahan daerah telah dipengaruhi secara negatif


oleh kapasitas kelembagaan yang lemah di pemerintah daerah, dan inilah
alasan yang digunakan pemerintah pusat sebagai alasan lambatnya
desentralisasi dan kecenderungan untuk membalikkan hasil desentralisasi
dengan menarik atau menghapuskan fungsi dan tanggung jawab yang telah
diserahkan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, otonomi pemerintah
daerah atas sumber daya manusia merupakan elemen penting dari proses
desentralisasi.

Partisipasi warga dapat menjadi tujuan dan sarana untuk desentralisasi yang
efektif (Kenya Institute of Public Policy Research and Analisis (KIPPRA), 2006).
Ini adalah tujuan, ketika desentralisasi menciptakan peluang partisipasi dengan
mendekatkan pemerintah kepada rakyat (Robinson, 2007). Di bahwa interaksi
warga dan negara diharapkan meningkat ketika ada kedekatan dengan institusi
pemerintah. Di sisi lain, itu adalah sarana untuk desentralisasi yang efektif di
mana warga negara melalui tindakan kolektif mereka memberikan tuntutan
masukan sisi preferensi layanan serta tekanan yang diperlukan untuk memastikan
bahwa mereka yang diberdayakan untuk memberikan layanan melakukan tugas
mereka sesuai dengan itu.

Keterlibatan masyarakat dapat mendukung pembagian perencanaan ekonomi


multi-tahun yang luas, yang umumnya mendefinisikan visi, strategi, dan
prioritasnya. Selain itu, pada perencanaan untuk pertumbuhan masa depan
suatu komunitas, partisipasi masyarakat memberikan informasi dalam
membantu memahami kebutuhan dan kekhawatiran dan, pada akhirnya, untuk
upaya memecahkan masalah yang muncul di masyarakat.
53

Secara keseluruhan, desentralisasi akan memberikan dampak baik ketika


tersedianya ruang untuk lembaga di daerah-daerah yang cukup cakap, personel
yang berkualitas, dan sumber daya yang memadai. Hal yang relevan bahwa
pengembangan kapasitas merupakan kompenan penting dalam desentralisasi guna
pembangunan (Fanany, et.al, 2009)

Banyak studi menunjukkan bahwa konsep partisipasi merupakan jantung dari


kebijakan desentralisasi di daerah. Partisipasi warga memiliki efek positif pada
wilayah lokal yang terdesentralisasi, ada faktor yang harus dipertimbangkan dan
dilembagakan. Dengan demikian, kerangka partisipasi warga negara yang efektif
memiliki syarat sebagai berikut (Muriu, 2013):
1. Tidak dikendalikan secara langsung oleh politisi;
2. Dibangun di atas kerangka hukum dan di mana warga negara memiliki
peluang dalam sumber hukum;
3. Mewajibkan aparat Pemerintah Daerah untuk melaksanakan apa yang
diusulkan warga selama memenuhi kriteria yang ditetapkan serta
memperhitungkan tindakan mereka di pengelolaan sumber daya publik;
4. Dipandu oleh arah strategis jangka panjang sehingga konsisten dan terfokus;
dan,
5. Dimaksudkan untuk mempengaruhi pemberian layanan dan alokasi sumber
daya dari keseluruhan Pemerintah Daerah dan bukan hanya sebagian saja.

Demokrasi lokal dimaksudkan untuk memastikan bahwa kebijakan lokal


mencerminkan kebutuhan dan preferensi masyarakat lokal. Demokrasi lokal
yang efektif dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat, meningkatkan
pemberian layanan, memperkuat masyarakat, dan meningkatkan hasil
pembangunan. Demokrasi lokal pada proses politik dan pembangunan yang
memungkinkan terjadinya fertilisasi silang gagasan, sumber daya, dan
keputusan untuk tata pemerintahan yang baik. Demokrasi lokal mencakup
partisipasi masyarakat sipil yang aktif, legislasi yang memungkinkan, sistem
pemilihan lokal yang adil, akses informasi yang bebas, dan struktur administratif
yang memfasilitasi proses ini (Kinuthia, et.al., 2002)
54

Demokrasi membutuhkan partisipasi publik dan keterlibatan masyarakat untuk


melahirkan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Pemerintah
daerah, menemukan esensi mereka dalam kemampuan untuk melibatkan
anggota komunitas mereka sendiri. Anggota komunitas berpartisipasi dalam
demokrasi lokal dengan cara yang kuat, konstan dan adil untuk secara efektif
melaksanakan fungsi-fungsi utama pemerintah, seperti membentuk dan
menerapkan Undang-Undang, anggaran, rencana, arahan, dan visi strategis.

Partisipasi politik masyarakat sebagai perwujudan kedaulatan rakyat merupakan


hal yang sangat mendasar dalam proses demokrasi. Ini memiliki arti yang sangat
penting dalam pergerakan roda dan sistem demokrasi. Jika masyarakat memiliki
tingkat partisipasi yang tinggi maka proses pembangunan politik akan berjalan
dengan baik, sehingga juga akan sangat berarti bagi pembangunan bangsa dan
negara ini. Sebaliknya partisipasi politik tidak akan berarti apa-apa dan tidak
berarti sama sekali jika tidak memenuhi syarat dari segi kualitatif maupun
kuantitatif.

Partisipasi semua kelompok masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan


di semua tingkat pemerintahan merupakan salah satu prasyarat bagi
masyarakat demokratis yang berfungsi dan untuk mendorong keamanan
demokratis. Ini memungkinkan dialog terbuka tentang isu-isu kritis,
mendukung keputusan yang lebih baik oleh pihak berwenang dan
berkontribusi untuk memperkuat pemerintahan. Partisipasi sipil melengkapi
dan mendukung demokrasi perwakilan warga yang merasa bahwa mereka
memiliki suara dalam debat kebijakan umum dan dalam keputusan sehari-
hari, lebih mungkin untuk menerima keputusan yang diambil dan, lebih
umum, untuk mempercayai perwakilan terpilih mereka. Oleh karena itu,
penting bahwa individu, organisasi non-pemerintah (LSM) dan masyarakat
sipil pada umumnya terlibat dalam pelaksanaan urusan publik dan merasa
diberdayakan untuk melakukannya (Council of Europe, 2017) .
55

Budiardjo, Miriam (1998) menyatakan bahwa partisipasi politik tidak terbatas


pada kegiatan seseorang dalam partai politik. Partisipasi politik mencakup semua
kegiatan sukarela melalui mana seseorang berpartisipasi dalam proses pemilihan
pemimpin politik dan berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung dalam
pembentukan kebijakan publik. Kecerdasan rakyat dalam keterlibatannya pada
demokrasi lokal akan mendorong pemerintahan yang baik sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan sosial.

Partisipasi politik merupakan bagian penting dari kehidupan suatu negara. Khusus
bagi negara yang menamakan dirinya negara demokrasi, partisipasi politik
menjadi salah satu indikator penting. Artinya, suatu negara baru disebut sebagai
negara demokrasi jika pemerintahan yang berkuasa memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada warganya untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Sebaliknya, warga negara yang bersangkutan juga harus menunjukkan tingkat
partisipasi politik yang tinggi. Jika tidak, maka tingkat demokrasi negara tersebut
masih diragukan (Ngadisah, et.al., 2019).

Partisipasi warga, LSM, dan masyarakat sipil pada umumnya mewakili pemangku
kepentingan yang terlibat dengan organisasi Pemerintah Daerah. Mereka memiliki
kepentingan terhadap kegiatan organisasi Pemerintah Daerah dan terhadap
wilayah serta masyarakat di dalamnya karena mereka terpengaruh olehnya, atau
mampu mempengaruhinya, secara positif atau negatif.

Warga negara lebih mungkin untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik lokal
di mana Pemerintah Daerah dianggap cukup otonom dalam membuat keputusan
kebijakan politik yang mempengaruhi mereka (Cheema, 2007). Teori
menunjukkan bahwa manfaat dari partisipasi warga dioptimalkan ketika
mekanisme demokrasi dilembagakan dalam sistem desentralisasi (Azfar, et.al.,
1999). Rendah atau tingginya tingkat partisipasi merupakan sinyal dan indikator
penting jalannya proses demokrasi dan perwujudan kerakyatan dan kedaulatan.
56

Purdue, et. al. (2000) menjelaskan bahwa partisipasi dalam demokrasi lokal
mungkin sangat menarik bagi masyarakat lokal yang memiliki keterampilan
dalam negosiasi birokrasi, tetapi hal ini mungkin tidak berlaku bagi masyarakat
dengan kemampuan kepemimpinan yang dinamis. Mereka melihat bahwa
demokrasi adalah proses perubahan, tetapi kepemimpinan mereka ditetapkan sejak
awal ketika perwakilan masyarakat tertentu menjadi tokoh politik. Terlepas dari
upaya peningkatan kapasitas, sulit bagi pemimpin baru untuk muncul. Hal ini
dapat disimpulkan dengan mengatakan bahwa bertindak sebagai pemimpin
masyarakat adalah peran yang sulit dan hanya beberapa anggota masyarakat lokal
yang mau mengambil komitmen ini.

Perwakilan masyarakat dalam demokrasi lokal terkadang memiliki pandangan


yang bertentangan dengan pandangan masyarakat di luar kelembagaan lokal dan
mendesak kebijakan yang, misalnya, bertentangan dengan kebijakan pemerintah
atau yang tidak dapat atau tidak mau didukung oleh masyarakat lainnya. Dalam
situasi seperti itu, masyarakat lokal mungkin mempertanyakan legitimasi
perwakilan masyarakat tersebut. Dimana kemampuan partisipasi masyarakat
dalam komunitas untuk mewakili komunitas dipertanyakan, hal ini dapat
memperkuat keraguan yang sudah ada (Purdue, et. al., 2000).

2.3 Kerangka Pemikiran

Pilihan desentralisasi adalah sebuah keniscayaan dalam mengelola pemerintahan


yang baik sebagaimana yang telah mulai berkembang dibanyak negara sejak tahun
80-an hingga saat ini. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga
mengadopsi kebijakan desentralisasi tersebut seiring dengan proses demokratisasi
yang mulai berlangsung ditingkat lokal pada masa pasca Orde Baru.

Kebijakan desentralisasi yang mulai digulirkan oleh pemerintah pada tahun 2001
diharapkan membawa perubahan mendasar kepada terjadinya keseimbangan
hubungan baru dalam tatanan kepemerintahan antara pemerintah (pusat) dengan
Pemerintah Daerah. Kebijakan desentralisasi yang digulirkan oleh pemerintah
57

tersebut mewujud kedalam tiga bentuk, masing-masing desentralisasi fiskal,


desentralisasi administratif dan desentralisasi politik. Melalui desentralisasi fiskal,
pemerintah memberikan wewenang kepada daerah otonom untuk mengelola dan
mempertanggungjawabkan segenap potensi ekonomi dan keuangan daerah sesuai
dengan kebutuhan dan objektif masing-masing daerah otonom. Aspek pelayanan
publik dan pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan daerah
juga didesentralisasikan dari pemerintah ke daerah otonom melalui desentralisasi
administratif dan desentralisasi politik. (Litvac & Seddon,1999).

Salah satu bentuk dari implementasi desentralisasi politik adalah wewenang


daerah dalam mengambil kebijakan. Wewenang yang dilimpahkan oleh
pemerintah pusat tersebut apakah telah memberikan dampak yang positif terhadap
partisipasi masyarakat dalam kebijakan pemerintah daerah dan seberapa besar
faktor-faktor penentu keberhasilan pelimpahan wewenang tersebut mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam kebijakan pemerintah daerah.

Chema dan Rondinelli misalnya mengakui bahwa desentralisasi membuka ruang


bagi keterlibatan publik dalam perumusan, implementasi, dan pengawasan
terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lokal
(Cheema and Rondinelli, 1983)
. Desentralisasi juga memungkinkan proses pembelajaran dan pendidikan
politik kepada Pemerintah Daerah ditingkatkan melalui pengalihan otoritas dan
pertanggungjawaban pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah pusat.

Kerangka konseptual dapat dilihat dalam penyajian diagram variabel, yang


menunjukkan hubungan antara variabel independen, variabel moderasi, dan
variabel dependen (Sugiyono, 2016) . Akibatnya, kerangka konseptual
menggambarkan hubungan yang dirasakan antara variabel independen
(desentralisasi politik) dan variabel dependen (partisipasi masyarakat). Kerangka
konseptual didasarkan pada tinjauan literatur, yang menggambarkan hubungan
simultan antara desentralisasi politik dan demokrasi lokal. Desentralisasi politik
meliputi komitmen politik, organisasi pendukung, perilaku, dan sumber daya.
Kualitas demorasi lokal dikonseptualisasi sebagai partisipasi masyarakat dalam
58

kebijakan pemerintah daerah. Partisipasi masyarakat dikonseptualisasikan sebagai


tingkat partisipasi, peran partisipasi dalam proses perencanaan, pengambilan
keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan paska program pembangunan. Namun,
model konseptual pada gambar menunjukkan hubungan antara desentralisasi
politik dan partisipasi masyarakat.

Komitmen Politik

PARTISIPASI
MASYARAKAT
Dalam Kebijakan
Masyarakat
DESENTRALISASI Organisasi Pendukung
POLITIK 1. pengambilan
keputusan,
2. pelaksanaan,
- Legislatif 3. evaluasi dan
- Eksekutif 4. paska program
pembangunan
Perilaku

Sumber Daya
59

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

BAB 3 METODELOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan
pada ciri-ciri keilmuan yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Berdasarkan
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara
ilmiah untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Darmadi,
2013).

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan melakukan pendekatan


kualitatif, dimana penulis dalam hal ini menggambarkan keadaangejala-gejala
tentang kegiatan atau program tertentu yang dilaksanakan terhadap fenomena-
60

fenomena yang terjadi di lapangan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta


yang tampak atau sebagaimana adanya.

Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada


filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
(sebagai lawannyaadalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai
instrumenkunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan
snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi, analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekan makna dari pada
generalisasi (Sugiyono, 2011).

Seperti dikemukakan Sugiyono bahwa metode penelitian kualitatif itu:


1. Dilakukan pada kondisi yang alamiah, langsung ke sumber data dan peneliti
adalah instrumen kunci.
2. Penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif., data yang terkumpul berbentuk
kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka.
3. Penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses daripada produk atau
outcome.
4. Penelitian kualitatif melakukan analisis data secara induktif.Penelitian
kualitatif lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati).

Penelitian deskriptif biasanya mempunyai dua tujuan, untuk mengetahui


perkembangan fisik tertentu dan mendeskripsikan secara terperinci fenomena
sosial tertentu. Menurut (Sugiono, 2013), mengenai jenis-jenis metode penelitian
dapat diklarifikasikan berdasar tujuan dan tingkat kealamiahan objek yang diteliti.

3.2 Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan mencari hubungan


assosiatif yang bersifat kausal. Menurut (Sugiyono, 2016: 36) “penelitian
assosiatif adalah penelitian yang bersifat menanyakan antara dua variabel atau
lebih”. Hubungan kausal adalah hubungan yang bersifat sebab akibat. Jadi disini
61

ada variabel independen (variabel yang mempengaruhi) dan dependen


(dipengaruhi).

Untuk menganalisis variabel independen (X) yang terdiri dari variabel-variabel


desentralisasi politik terhadap variabel dependen yaitu peran serta masyarakat (Y),
maka dalam penelitian akan menguji hipotesis yang telah dikembangkan. Dengan
teknik tersebut akan dapat di uji hipotesis yang menyatakan ada pengaruh antara
variabel-variabel independen yaitu Desentralisasi Politik (X), terhadap variabel
dependen (Y), yaitu Partisipasi Masyarakat.

3.3 Data dan Sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa data
dalam bentuk pengukuran ordinal dan interval. Data kuantitatif adalah jenis data
yang dapat diukur atau dihitung secara langsung, yang berupa informasi atau
penjelasan yang dinyatakan dengan bilangan atau berbentuk angka
(Sugiyono, 2003;15)
. Dalam penelitian ini data kuantitatif yang diperlukan adalah data yang
berasal dari angket dan wawancara dari responden.

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat
diperoleh (Arikunto, 2006;129). Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua
sumber data yaitu :
1. Sumber data primer, yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti (atau
petugas) dari sumber pertama. Adapun yang menjadi sumber data primer
dalam penelitian ini adalah masyarakat Bandar Lampung yang terpilih
selanjutnya disebut responden.
2. Sumber data sekunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti
sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga dikatakan data yang
tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen. Dalam penelitian ini, yang
menjadi sumber data sekunder adalah artikel, jurnal dan literature yang
terkait.
62

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

Menurut Arikunto (2017) populasi adalah keselurahan individu yang dijadikan


objek dari sebuah penelitian. Sedangkan menurut Sugiyono (2011) populasi
adalahwilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dankemudian ditarik kesimpulannya. Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2011). Dengan
demikian sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya hendak
diselidiki, dan bisa mewakili keseluruhan populasinya sehingga jumlahnya lebih
sedikit dari populasi.

Populasi penelitian ini adalah jumlah penduduk Bandar Lampung sebanyak 1,2
Juta sesuai hasil BPS 2020. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan
metode purposive sampling dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Dengan
menggunakan metode ini, peneliti mengharapkan mendapatkan informasi dari
kelompok sasaran spesifik (Sekaran, 2006) serta untuk memperoleh sampel yang
representatif sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Adapun kriteria yang
digunakan dalam penentuan sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. ……………………..
2. ……………………..

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam tradisi penelitian kualitatif adalah manusia/orang


yakni peneliti sendiri dengan menggunakan alat bantu berupa catatan, tape
recorder, dan tustel (camera). Sebagaimana yang disampaikan oleh Moleong
bahwa “Orang (peneliti) sebagai instrumen memiliki senjata yang secara luwes
dapat digunakannya.”

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan


penelitian terutama sebagai pengukuran dan pengumpulan data berupa angket,
63

seperangkat soal tes, lembar observasi, dsb. Pernyataan tersebut senada dengan
pengertian instrumen penelitian menurut (Sugiyono,2011) instrumen penelitian
adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang
diamati.

Sebagai instrumen penelitian, maka peneliti:


1. Telah mempersiapkan rancangan penelitian, menentukan lokasi penelitian,
menjajaki dan menilai fisik lapangan, menentukan informan, menyiapkan
perlengkapan penelitian dan menyiapkan diri untuk beradaptasi dengan
suasana kehidupan subjek penelitian. Inilah yang peneliti sebut dengan
tahap pra lapangan.
2. Terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data/informasi melalui
wawancara dan observasi serta studi dokumentasi dengan menggunakan
“senjata” yang telah disiapkan seperti catatan, rekaman (tape recorder) dan
bila perlu kamera untuk mengabadikan semua kegiatan yang dilakukan oleh
subjek penelitian.
3. Setelah data terkumpul peneliti melakukan editing, reduksi dan klasifikasi
data, sekaligus melakukan perumusan kategori, memberikan interpretasi dan
memberikan eksplanasi untuk menjawab masalah penelitian.

3.6 Tehnik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan tehnik pengumpulan data


sebagai berikut :
1. Kuisoner dilakukan kepada responden yang terpilih sebagai sampel setelah
dilakukan ferivikasi sesuai dengan kreteria yang sudah ditetapkan untuk
mendapat keterangan data dan informasi lainnya yang diperlukan.
2. Wawancara dilakukan dengan pemangku kepentingan di daerah untuk
mendapat keterangan data dan informasi lainnya yang diperlukan.
3. Studi Dokumentasi, yaitu mengumpulkan dan mempelajari data atau
dokumen yang mendukung penelitian
64

Item-item yang ada di kuesioner merupakan variabel-variabel yang akan diteliti


adalah sebagai berikut :
a. Desentralisasi Politik meliputi :
1. Komitmen politik
2. Organisasi pendukung
3. Perilaku
4. Sumber Daya
b. Kondisi Demokrasi Lokal meliputi Partisipasi Masyarakat dalam kebijakan
Pemerintah Daerah

Tabel 3.1 Klasifikasi Variabel Penelitian

Variabel Indikator Item Simbol


65

Desentralisasi
Politik
Komitmen Komitmen pelimpahan Pelimpahan wewenang perencanaan, X.1.1
Politik (X1) kewenangan pengambilan keputusan dan manajerial ke
tingkat administrasi yang lebih rendah

Respon terhadap partisipasi Perencanaan dan pengelolaan oleh X.1.2


organisasi-organisasi yang berada di luar
kendali langsung pemerintah atau partai
politik

Dukungan dan komitmen Kesediaan pejabat pemerintah untuk X.1.3


desentralisasi mengalihkan fungsi yang sebelumnya
dilakukan oleh mereka ke pemerintah
daerah

Saluran partisipasi dan Saluran partisipasi yang ada apakah X.1.4


perwakilan politik memperkuat dan mendukung perencanaan
dan administrasi yang terdesentralisasi

Organisasi Alokasi fungsi perencanaan Kemampuan pengambilan keputusan, X.2.1


Pendukung dan administrasi sumber daya yang ada atau potensial dan
(X2) kemampuan kinerja dari setiap tingkat
organisasi

Peraturan yang jelas, Menguraikan hubungan antara berbagai X.2.2


implementatif dan fleksibel tingkat pemerintahan dan administrasi

Prosedur perencanaan dan Partisipasi pemimpin dan warga setempat X.2.3


pengelolaan untuk mendapatkan kerja sama atau
persetujuan dari penerima manfaat dalam
perumusan, penilaian, pengorganisasian,
pelaksanaan dan evaluasi

Komunikasi Interaksi timbal balik, pertukaran X.2.4


informasi, aktivitas kerja sama, dan
penyelesaian konflik

Ragam Lembaga Pemerintah daerah dan organisasi


66

pendukung perencanaan dalam menjalankan fungsi X.2.5


pembangunan yang terdesentralisasi.

sikap dan perilaku pejabat Sikap mendukung dan memfasilitasi


Perilaku (X3) pemerintah perencanaan dan administrasi yang X.3.1
terdesentralisasi

Sarana yang efektif untuk Kondisi elit dan pemimpin lokal dalam
mengatasi penolakan proses perencanaan dan administrasi X.3.2
pembangunan yang terdesentralisasi

tingkat kepercayaan dan Mampu menjalankan fungsi tertentu dan


rasa hormat berpartisipasi secara efektif dalam berbagai X3.3
aspek perencanaan dan pengelolaan
pembangunan

kepemimpinan yang kuat Pemeliharaan dalam unit pemerintah atau


administrasi lokal X.3.4

Pengalihan wewenang yang Meningkatkan atau mendapatkan sumber


Sumber Daya cukup daya keuangan yang memadai X.4.1
(X4)
Infrastruktur fisik yang Memfasilitasi mobilisasi sumber daya dan
memadai penyampaian layanan public X.4.2

Sistem pemukiman yang Mendorong interaksi ekonomi, sosial,


cukup terartikulasi dan politik dan administrasi di antara X.4.3
terintegrasi pemukiman

Peran Serta Partisipasi dalam kebijakan Tahap Perencanaan Y


Masyarakat Tahap Keputusan
(Y1) Tahap pelaksanaan
Tahap evaluasi

3.7 Prosedur Penelitian

Berdasarkan kajian kepustakaan yang ada menurut (Moleong, 2014 : 126)


tahap-tahap penelitian kualitatif terdiri dari :
67

1) Tahap pra lapangan


Dalam kegiatan pra lapangan atau persiapan ini adalah beberapa tahapan
yaitu:
a. Merumuskan masalah yang ingin dibahas. Perumusan masalah dilakukan
pada waktu pengajuan usulan penelitian dan diulangi kembali pada waktu
penulisan laporan karena rumusan masalah merupakan salah satu unsur
yang tidak dapat dipindahkan.
b. Peneliti menentukan tempat untuk penelitan, dalam penelitian ini peneliti
mengambil lokasi penelitian di ……………….……………….
c. Penyusunan proposal adalah syarat dalam menyampaikan penelitian
kepada pihak terkait.
d. Melakukan pengurusan surat izin. Surat izin penelitian ini berfungsi
sebagai bukti bahwa peneliti dapat melakukan penelitian ditempat yang
menjadi tempat penelitian, yaitu di ……………….……………….
2) Tahap pelaksanaan/proses lapangan. Tahap ini merupakan tahap bekerja
dilapangan yang meliputi tahap pengumpulan data dan tahap penyusunan
data. Data dalam penelitian ini diambil melaui wawancara, dokumentasi, dan
observasi.
3) Tahap analisa data. Tahap ini merupakan tahap dari analisis data yang
diperoleh dari responden atau informan sesuai dengan rumusan masalah yang
telah disusun secara sistematis.
4) Tahap kesimpulan. Setelah tahap analisis data maka tahap selanjutnya yang
dilakukan adalah tahap kesimpulan. Tahap ini merupakan tahap untuk
menarik kesimpulan data yang sudah di analisis dari responden atau
informan.
68

Gambar 3.1 Tahap Penelitian Kualitatif


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. (2010) ‘Desentralisasi dan undang-undang Otonomi Daerah di Era Reformasi’,


Jurnal Hukum UII Yogyakarta. , Vol. 3 (1) pp. 25.

Agrawal, A. and Ribot, J.C. (1998) ANALYZING DECENTRALIZATION: A FRAMEWORK


WITH SOUTH ASIAN AND WEST AFRICAN ENVIRONMENTAL CASES.

Ahmad, Junaid. et al. (2005) ‘Decentralization and Service Delivery’, world bank, p. 27.

Akorsu (2002) ‘An Evaluation of the Effectiveness of Revenue Mobilisation in the Public Sector
of Ghana’, International Journal of Economics, Commerce and Management, III(1), pp. 1–16.

Ali Khan, S. (2013) ‘Decentralization and poverty reduction: A theoretical framework for
exploring the linkages’, International Review of Public Administration, 18(2), pp. 145–172.
Available at: https://doi.org/10.1080/12294659.2013.10805256.

Andhika, L.R. (2018) ‘Difusi Kebijakan Upaya Fundamental Kebijakan Pemerintah Daerah’,
Matra Pembaruan, 2(1), pp. 15–25. Available at: https://doi.org/10.21787/mp.2.1.2018.15-25.

Ashley, M. and Pöschl, C. (2015) ‘Decentralizing for a deeper, more supple democracy’,
Journal of Democracy, 26(4). Available at: http://eprints.lse.ac.uk/63191/.

Baral, N. and Heinen, J.T. (2007) ‘Decentralization and people’s participation in conservation: A
comparative study from the Western Terai of Nepal’, International Journal of Sustainable
Development and World Ecology, 14(5), pp. 520–531. Available at:
https://doi.org/10.1080/13504500709469751.

Bardhan, P. and Mookherjee, D. (2006) ‘Decentralisation and accountability in infrastructure


delivery in developing countries’, Economic Journal, 116(508), pp. 101–127. Available at:
https://doi.org/10.1111/j.1468-0297.2006.01049.x.
Bebelleh, F. der, Nobabumah, A.S. and Region, U.W. (2013) ‘Political Decentralization and
Local Participation in Ghana : Perspectives from the Upper West Region’, Public Policy and
Administration Research, 3(11), pp. 12–26.

Benjamin Goldfrank (2011) Deepening Local Democracy in Latin America. Penn State
University Press.

Blair, H. (2000) Participation and Accountability at the Periphery: Democratic Local


Governance in Six Countries. Available at: www.elsevier.com/locate/worlddev.

Burns, D., Hambleton, R. and Hoggett, P. (1994) ‘Rethinking Local Democracy’, in D. Burns, R.
Hambleton, and P. Hoggett (eds) The Politics of Decentralisation: Revitalising Local
Democracy. London: Macmillan Education UK, pp. 30–51. Available at:
https://doi.org/10.1007/978-1-349-23397-7_2.

Cai, H. and Treisman, D. (2009) ‘Political decentralization and policy experimentation’,


Quarterly Journal of Political Science, 4(1), pp. 35–58. Available at:
https://doi.org/10.1561/100.00008039.

Chaniago, P.S. (2016) ‘Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015’, Politik
Indonesia: Indonesian Political Science Review, 1(2), p. 196. Available at:
https://doi.org/10.15294/jpi.v1i2.6585.

Cheema, G. Shabbir(ed); Rondinelli, D.A. (1983) ‘Decentralization and development : Policy


implementation in developing countries’, Sage Publications [Preprint].

Cinari, V. (2015) ‘POLITICAL DECENTRALIZATION AND LOCAL GOVERNMENT IN


ALBANIA by Voltisa Cinari Thesis submitted for the degree of Master of Science Department
of Political Science and International Relations Epoka University’, (September).

Dartanto, T. and Brodjonegoro, B.P.S. (2003) ‘Dampak Desentralisasi Fiskal di Indonesia


terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Antar Daerah: Analisa Model Makro
Ekonometrik Simultan’, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 4(1). Available at:
https://doi.org/10.21002/jepi.v4i1.131.
Diamond, L. and Morlino, L. (2004) ‘An overview’, Journal of Democracy, 15(4), pp. 20–31.
Available at: https://doi.org/10.1353/jod.2004.0060.

Djaenuri, A. (2019) Sistem Pemerintahan Daerah. 3rd edn. Universitas terbuka.

Duadji, N. (2013) PUBLIC PARTICIPATION IN DECISION MAKING AND SHOPPING


DISTRICT BUDGET REVENUES PROVINCE LAMPUNG, Juli.

Ducci, M.E. (2004) ‘Local government and democratization: the view from the Chilean border’,
in Decentralization, democratic governance, and civil society in comparative perspective’, eds P.
Oxhorn, J. S. Tulchin & A. A. Selee, Woodrow Wilson International Center Press & The Johns
Hopkins University Press, Washington, D.C & Baltimore and London, pp. 119-138.

Dufhues, T., Theesfeld, I. and Buchenrieder, G. (2015a) ‘The Political Economy of


Decentralization in Thailand: How Past and Present Decentralization Affects rural Actors’
Participation’, European Journal of Development Research, 27(5), pp. 793–810. Available at:
https://doi.org/10.1057/ejdr.2014.68.

Dufhues, T., Theesfeld, I. and Buchenrieder, G. (2015b) ‘The Political Economy of


Decentralization in Thailand: How Past and Present Decentralization Affects rural Actors’
Participation’, European Journal of Development Research, 27(5), pp. 793–810. Available at:
https://doi.org/10.1057/ejdr.2014.68.

Falleti, T.G. (2005) ‘A sequential theory of decentralization: Latin American cases in


comparative perspective’, American Political Science Review, 99(3), pp. 327–346. Available at:
https://doi.org/10.1017/S0003055405051695.

Fan, C.S., Lin, C. and Treisman, D. (2009) ‘Political decentralization and corruption: Evidence
from around the world’, Journal of Public Economics, 93(1–2), pp. 14–34. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2008.09.001.

Farida, M. (2005) ‘Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasca Amandemen


UUD 1945 ’, Majalah Hukum Nasional Jakarta.
Farooq, M.K., Shamail, S. and Awais, M.M. (2008) ‘Devolution in a virtual enterprise’, IFIP
International Federation for Information Processing, 283, pp. 433–440. Available at:
https://doi.org/10.1007/978-0-387-84837-2_45.

Firman, T. (2009) ‘Decentralization reform and local-government proliferation in indonesia:


Towards a fragmentation of regional development’, Review of Urban and Regional Development
Studies, 21(2–3), pp. 143–157. Available at: https://doi.org/10.1111/j.1467-940X.2010.00165.x.

García-Guadilla (2002) Democracy, Decentralization, and Clientelism New Relationships and


Old Practices.

Graglia, L.A. (2000) ‘Revitalizing democracy’, Harvard Journal of Law and Public Policy, 24,
no. 1, pp. 165-177.

GRINDLE, M.S. (2005) ‘ Alfred P. Montero and David J. Samuels (eds.), Decentralization and
Democracy in Latin America (Notre Dame, IN: The University of Notre Dame Press, 2004), pp.
ix+309, $47.50, $27.50 pb. ’, Journal of Latin American Studies, 37(1), pp. 191–192. Available
at: https://doi.org/10.1017/s0022216x04318948.

Hart, D.K. (1972) Theories of Government Related to Decentralization and Citizen


Participation, Source: Public Administration Review.

Held, D. (2006) Models of Democracy. Polity.

Heller, P. (2001a) ‘Moving the State : The Policts of Democratic Decentralization in Kerala,
South Africa and Porto Alegre’, Theory & Psychology [Preprint].

Heller, P. (2001b) ‘Moving the state: The politics of democratic decentralization in Kerala, South
Africa, and Porto Alegre’, Politics and Society. SAGE Publications Inc., pp. 131–163. Available
at: https://doi.org/10.1177/0032329201029001006.

Hill, H. and Vidyattama, Y. (2016) ‘Regional development dynamics in Indonesia before and
after the “Big Bang” decentralization’, Singapore Economic Review, 61(2). Available at:
https://doi.org/10.1142/S0217590816400270.
Holzhacker, R.L., Wittek, R. and Woltjer, J. (2015) ‘Decentralization and governance in
Indonesia’, Decentralization and Governance in Indonesia, pp. 1–292. Available at:
https://doi.org/10.1007/978-3-319-22434-3.

Hutchcroft, P.D. (2001) Colonial Masters, National Politicos, and Provincial Lords: Central
Authority and Local Autonomy in the American Philippines, 1900-1913.

Kessy, A.T. (2013) Decentralization and Citizens’ Participation: Some Theoretical and
Conceptual Perspectives PERFORM Project View project Empowerment and Accountability in
Rural Primary Health Care-Community Based Monitoring (CBM) View project. Available at:
https://www.researchgate.net/publication/332786590.

Kimura, E. (2010) ‘Proliferating provinces: Territorial politics in post-Suharto Indonesia’, South


East Asia Research, 18(3), pp. 415–449. Available at: https://doi.org/10.5367/sear.2010.0005.

Kohl, B. (2003) ‘Democratizing decentralization in Bolivia: The law of popular participation’,


Journal of Planning Education and Research, 23(2), pp. 153–164. Available at:
https://doi.org/10.1177/0739456X03258639.

Lane, M.B. (2003) ‘ARTICLE Lane Indigenous Rights and Democracy Participation,
Decentralization, and Civil Society Indigenous Rights and Democracy in Environmental
Planning’. Available at: https://doi.org/10.1177/0739456X03252684.

Litvack, J., Junaid, A. and Bird, R. (1998) Rethinking Decentralization in Developing Countries.
I. Washingthon USA: World bank.

Lukman Andi, Herni Sunarya, G. (2019) ‘Pengaruh Pengetahuan DPRD Tentang Anggaran,
Pengawasan dan Partisipasi Anggaran Terhadap Kinerja Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
di Kabupaten Sikka (Studi Kasus Pada Kantor DPRD Kabupaten Sikka)’, 6(3), pp. 46–62.

Lyon, A. (2015) ‘Political decentralization and the strengthening of consensual, participatory


local democracy in the Republic of Macedonia’, Gender, Place and Culture, 22(3), pp. 157–178.
Available at: https://doi.org/10.1080/13510347.2013.834331.
Mahadi, H. (2011) ‘Pragmatisme Politik : Studi Kasus Proses Rekrutmen Politik Pdi-P Pada
Pilkada , Kabupaten Sleman’, Journal of Government and Politics, 2(1), pp. 35–66. Available at:
https://doi.org/10.18196/jgp.2011.0004.

Mahi, B.R. (2016) ‘Indonesian Decentralization: Evaluation, Recent Movement and Future
Perspectives’, Journal of Indonesian Economy and Business, 31(1), p. 119. Available at:
https://doi.org/10.22146/jieb.23567.

Marbun, B.N.S. (no date) DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya,. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Mohammed, A.K. (2016) ‘Decentralization and Participation: Theory and Ghana’s Evidence’,
Japanese Journal of Political Science. Cambridge University Press, pp. 232–255. Available at:
https://doi.org/10.1017/S1468109916000050.

Mookherjee, D. (2015) ‘Political Decentralization’, Annual Review of Economics, 7(1), pp. 231–
249. Available at: https://doi.org/10.1146/annurev-economics-080614-115527.

Muriu, A.R. (2013) ‘Decentralization , citizen participation and local public service delivery’.

Najib M.A. (2001) ‘Pemikiran dalam era Transformasi’, in Seminar Nasional “Pemikiran dalam
era Transformasi”. Bandung: Departemen Planologi ITB.

Olatona, J.B. and Olomola, P.A. (2015) ‘Analysis of Fiscal Decentralization and Public Service
Delivery in Nigeria’, Journal of Economics and Sustainable Development, 6(9), pp. 107–120.
Available at: https://www.iiste.org/Journals/index.php/JEDS/article/download/22618/23288.

Ozmen, A. (2014) ‘Notes To the Concept of Decentralization’, European Scientific Journal,


10(10), pp. 415–425.

-Pakistan, I., Saud, A. and Khan, K.A. (2016) Decentralization and Local Government
Structures: Key to Strengthening Democracy in Pakistan, Journal of Political Studies.

Parker, A.N. (1995) ‘Decentralization : The Way Forword for Ruler Departement’. Word Bank.
Patsias, C., Latendresse, A. and Bherer, L. (2013) ‘Participatory democracy, decentralization and
local governance: The montreal participatory budget in the light of “empowered participatory
governance”’, International Journal of Urban and Regional Research, 37(6), pp. 2214–2230.
Available at: https://doi.org/10.1111/j.1468-2427.2012.01171.x.

Pepinsky, T.B. and Wihardja, M.M. (2011) ‘Decentralization and economic performance in
Indonesia’, Journal of East Asian Studies, 11(3), pp. 337–371. Available at:
https://doi.org/10.1017/S1598240800007372.

Pratchett, L. (2004) Local Autonomy, Local Democracy and the ‘New Localism’.

Prawitasari, I. and Erowati, D. (2021) ‘Efektivitas Pilkada Serentak Tahun 2020 di Tengah
Pandemi Covid-19 Indonesia’, Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS),
3(3), pp. 1176–1183. Available at: https://doi.org/10.34007/jehss.v3i3.517.

Rakmawati, T., Hinchcliff, R. and Pardosi, J.F. (2019) ‘District-level impacts of health system
decentralization in Indonesia: A systematic review’, International Journal of Health Planning
and Management, 34(2), pp. e1026–e1053. Available at: https://doi.org/10.1002/hpm.2768.

Rasyid, R. (2002) Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. X. Edited by D. Agus.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rasyid, R. (2003) ‘REGIONAL AUTONOMY AND LOCAL POLITICS IN INDONESIA


Decentralisation & Democratisation’, in E. Aspinall and G. Fealy (eds) Local Power & Politics
in Indonesia. ISEAS Publishing .

Reddy, P.S. and Sabelo, T. (1997) ‘Democratic decentralization and central/provincial/local


relations in South Africa’, International Journal of Public Sector Management, 10(6–7), pp.
572–588. Available at: https://doi.org/10.1108/09513559710193534.

Romli, L. (2018) ‘Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal’,
Jurnal Penelitian Politik, 15(2), p. 143. Available at: https://doi.org/10.14203/jpp.v15i2.757.
Rondinelli, D.A. (1981) ‘Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory and
Practice in Developing Countries’, International Review of Administrative Sciences, 47(2), pp.
133–145. Available at: https://doi.org/10.1177/002085238004700205.

Rondinelli, D.A. (1990) ‘Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response’,
Development and Change, 21(3), pp. 491–500. Available at: https://doi.org/10.1111/j.1467-
7660.1990.tb00385.x.

Rosenblatt, F. et al. (2015) ‘A Natural Experiment in Political Decentralization: Local


Institutions and Citizens’ Political Engagement in Uruguay’, Latin American Politics and
Society, 57(2), pp. 91–110. Available at: https://doi.org/10.1111/j.1548-2456.2015.00268.x.

Santoso, E.B. and Moenek, R. (2019) ‘Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di Kota
Balikpapan’, Jurnal Ilmiah Wahana Bhakti Praja, 8(2), p. 97. Available at:
https://doi.org/10.33701/jiwbp.v8i2.292.

Santoso, P. (2018) Rezim Lokal Indonesia : Memaknai Ulang demokrasi kita. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor.

Schönwälder, G. (1998) ‘Local Politics and the Peruvian Left: The Case of El Agustino’, Latin
American Research Review, 33(2), pp. 73–102. Available at:
https://doi.org/10.1017/S0023879100038243.

Scotttt, Z. (2009) Decentralisation, Local Development and Social Cohesion: An Analytical


Review. Available at: www.gsdrc.org.

Seddon, J. (2010) Decentralization Briefing Notes.

Shiroyama, H. (2003) ‘Regional governence in Asia : Comparative Analysis of Experiment of


Decentralization and Deconcentration in Indonesia, Thailand and Korea’, in. iseas.edu.sg.

Simanjuntak, K. (2015) ‘Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pemerintahan di Indonesia’,


Jurnal Bina Praja, 07(02), pp. 111–130. Available at: https://doi.org/10.21787/jbp.07.2015.111-
130.
Smith, J.F. et al. (1995) DECENTRALIZATION: A CASE STUDY IN STATE WASTEWATER
DISCHARGE PERMIT PROGRAMMING OF PHILOSOPHY in Environmental Design and
Planning.

Sri Hidayati (2002) ‘STRATEGI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN


PEMBANGUNAN DI INDONESIA Sri Hidayati Djoeffan *’, XVIII(1), pp. 54–77.

Sugiyono (2003) Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. ALFABETA.

Sugiyono (2016) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta.

Sujarwoto (2017) ‘Why decentralization works and does not works? A systematic literature
review’, Journal of Public Administration Studies, 1(3), pp. 1–10.

Sujarwoto, S. (2012) ‘Political decentralization and local public services performance in


Indonesia’, Journal of Public Administration and Governance, 2(3), p. 55. Available at:
https://doi.org/10.5296/jpag.v2i3.2156.

Sukriono, D. (2013) Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum tentang
Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi,. Setara Press, Malang.

Suyatno (2011) Dinamik Demokrasi Tempatan di Indonesia: Kajian Demokrasi Tempatan di


Kota Yogyakarta dan Kabupaten Jembrana, Bali (The Dynamic of Local Democracy in
Indonesia: A Study of Local Democracy in Yogyakarta City and Jembrana District, Bali). .

Suyatno (2016) Politik Indonesia Indonesian Political Science Review Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia. Available at:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI.

Talitha, T., Firman, T. and Hudalah, D. (2020) ‘Welcoming two decades of decentralization in
Indonesia: a regional development perspective’, Territory, Politics, Governance, 8(5), pp. 690–
708. Available at: https://doi.org/10.1080/21622671.2019.1601595.

Treisman, D. (2007) The Architecture of Government : Rethinking Political Decentralization.


Treismen, D. (2007) The Architecture of Government: Rethinking Political Decentralization.
New York: Cambridge University Press.

Tunio, F.H. and Nabi, A.A. (2021) ‘Political decentralization, fiscal centralization, and its
consequences in case of Pakistan’, Cogent Social Sciences, 7(1). Available at:
https://doi.org/10.1080/23311886.2021.1924949.

Usman, J. (2011) ‘Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah Dengan Semangat
Euforia Demokrasi Lokal’, Otoritas : Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(1), pp. 41–50. Available at:
https://doi.org/10.26618/ojip.v1i1.14.

Wardhana, D. (2019) ‘Decentralization, Democratization, And Social Protection In Indonesia: A


Systematic Review of the Literature’, Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian
Journal of Development Planning, 3(2), pp. 164–184. Available at:
https://doi.org/10.36574/jpp.v3i2.73.

Wasistiono, S. and Polyando, P. (2017) Politik Desentralisasi Di Indonesia. revisi. Sumedang:


IPDN Press.

Wever, L. et al. (2012) ‘Decentralization and participation in integrated coastal management:


Policy lessons from Brazil and Indonesia’, Ocean and Coastal Management, 66, pp. 63–72.
Available at: https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2012.05.001.

Yakub, A., Abdul Ghani, A.B. and Anwar, M.S. (2018a) ‘Urgency of Political Decentralization
and Regional Autonomy in Indonesia: Local Perspectives’, Journal International Studies, 14, pp.
141–150. Available at: https://doi.org/10.32890/jis2018.14.9.

Yakub, A., Abdul Ghani, A.B. and Anwar, M.S. (2018b) ‘Urgency of Political Decentralization
and Regional Autonomy in Indonesia: Local Perspectives’, Journal International Studies, 14, pp.
141–150. Available at: https://doi.org/10.32890/jis2018.14.9.

Anda mungkin juga menyukai