Bab 3
Bab 3
(Proposal Desertasi)
OLEH :
HANDRIE KURNIAWAN
Halaman
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................
Pelaksanaan otonomi daerah pada zaman Orde Baru pada tataran pelaksanaan
ternyata tidak dapat berjalan secara baik. Hal ini disebabkan karena beberapa
alasan. Pertama, pengembangan otonomi daerah hanya diasaskan pada tafsir
politik pusat terhadap keadaan ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan
didaerah sehingga membuat rentan terhadap manipulasi kepentingan politik pusat.
Kedua, tidak ada pembagian otoritas karena daerah hanya diberi urusan
pemerintahan sesuai kebijakan pemerintah pusat. Ketiga, ciri kepemimpinan yang
dikembangkan Presiden Soeharto bersifat otokritik melalui pendekatan militeristik
sehingga tidak ada ruang dialog antara rakyat dengan negara dan antara pusat
dengan daerah (Wasistiono and Polyando, 2017 : 6).
Itulah sebabnya sejak era reformasi UUD 1945 yang pada era Orde Baru sangat
dikeramatkan dilakukan amandemen untuk mempertegas dan memperkuat
kedudukan otonomi daerah secara lebih jelas. Saat ini UUD 1945 telah mengalami
amandemen sebanyak 4 kali. Politik desentralisasi yang termuat dalam UUD 1945
(hasil amandemen) Nampak pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk republik”. Selain itu pada pasal
4 ayat (1) diatur ketentuan bahwa : “ Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Pengaturan lebih
3
Namun demikian, pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada jalan
yang mudah untuk mewujudkan hubungan ideal tersebut ( García-Guadilla, 2002;
Conyers 2003; Ryan 2004; Dufhues, Theesfeld and Buchenrieder, 2015a). Bahkan
Eaton (2001) berpendapat bahwa desentralisasi tidak menjamin terbentuknya
setting demokrasi. Schönwälder (1998:74) berpendapat bahwa demokrasi lokal
hanya akan berkembang jika devolusi kekuasaan dan sumberdaya kepada
pemerintahan yang lebih rendah dan partisipasi politik warga yang memadai eksis.
Di sisi lain Chema dan Rondinelli mengakui bahwa desentralisasi membuka ruang
bagi keterlibatan publik dalam perumusan, implementasi, dan pengawasan
terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lokal
(Cheema and Rondinelli, 1983)
. Desentralisasi juga memungkinkan proses pembelajaran dan pendidikan
politik kepada Pemerintah Daerah ditingkatkan melalui pengalihan otoritas dan
pertanggungjawaban pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah pusat. Pemerintah
Daerah dan masyarakat sama-sama akan belajar mengenai berbagai hal berkaitan
7
Dampak lain desentralisasi yang diyakini pula oleh para ahli kebijakan adalah
terbukanya ruang bagi partisipasi publik dalam pembangunan di tingkat lokal,
banyak studi yang sudah dilakukan menunjukkan kaitan antara desentralisasi
dengan partisipasi publik
(Kohl, 2003; Baral, and Heinen, 2007; Wever et al., 2012; Bebelleh, Nobabumah, and R
Di seluruh dunia, lebih dari tujuh puluh lima negara telah berusaha
mendesentralisasikan tanggung jawab kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah dalam seperempat abad terakhir (Ahmad et al., 2005) . Alasan yang
mendukung reformasi ini adalah bahwa pemerintah yang dilimpahkan, yang lebih
dekat dengan konstituennya, dapat lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.
Dengan demikian, proposisi yang dapat dibangun dari relasi antara konsep
desentralisasi dengan partisipasi (politik) adalah bahwa semakin terdesentralisasi
8
Desentralisasi jika dirancang dengan baik dapat mendorong tingkat partisipasi dan
legitimasi yang lebih tinggi akan menurunkan biaya dalam memelihara ketertiban,
menegakkan aturan hukum, dan mengurangi kebutuhan untuk keberlanjutan
kekuasaan. Kemampuan untuk memobilisasi sumber daya dan menyediakan
layanan dan biaya yang rendah bagi masyarakat kecil akan memperkuat legitimasi
praktik demokrasi. Terakhir, desentralisasi dapat meningkatkan pembelajaran
sosial, menghasilkan dinamika yang memperkuat negara dari akar rumput ke atas.
(Ashley and Pöschl, 2015)
. Desentralisasi suatu negara meningkatkan kekuatan
demokrasinya dengan membuatnya lebih fleksibel dalam meredam guncangan.
Dengan meningkatkan jumlah struktur pemerintahan dalam hal perwakilan lokal
terpilih akan berdampak positif dan meningkatkan akuntabilitas pada semua aspek
yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam sistem terdesentralisasi
masyarakat memiliki kekuatannya sendiri dan lebih leluasa untuk didengar.
Masyarakat juga lebih mungkin mendapatkan kepuasan dalam beberapa urusan
9
mereka Selain itu, dengan membawa pemerintah lebih dekat dengan rakyat akan
meningkatkan partisipasi dalam proses pembangunan negara dari bawah ke atas.
Pemerintah Daerah terpilih tidak selalu termotivasi untuk berkinerja lebih baik
daripada pemerintah pusat dalam desentralisasi sebelumnya (Treisman, 2007) .
Dalam beberapa kasus, Pemerintah Daerah mungkin sebenarnya lebih tunduk
pada kepentingan pribadi daripada kepentingan nasional setelah desentralisasi
(Bardhan and Mookherjee, 2006) ; (Lessmann, 2010). Bardhan dan Mookherjee
(2006) menjelaskan beberapa trade-off dasar yang terlibat dalam pendelegasian
pengambilan keputusan kepada Pemerintah Daerah: “Keputusan dibuat
berdasarkan informasi (lokal) yang lebih baik, tetapi dibuat oleh agen yang
insentif berbeda dari prinsipal sehingga menyebabkan hilangnya kontrol atau
penyalahgunaan kekuasaan”. Menggunakan analisis lintas negara, Treisman
menemukan bahwa negara-negara yang memiliki lebih banyak tingkatan
pemerintahan cenderung memiliki persepsi korupsi yang lebih tinggi dan kurang
efektif dalam memberikan pelayanan publik. Temuan ini didukung oleh studi
lintas negara lain yang menunjukkan bahwa layanan publik dapat menderita
akibat desentralisasi
(Litvack, Junaid, and Bird, 1998; Fan, Lin and Treisman, 2009)
.
Sampai saat ini beberapa penelitian yang berfokus pada hubungan antara
pembangunan daerah dan desentralisasi di Indonesia, sebagian besar studi fokus
pada aspek ekonomi, pemerintahan, atau politik misalnya:
(Dartanto and Brodjonegoro, 200
(Pepinsky and Wihardja, 2011; Holzhacker, Wittek and Woltjer, 2015; Mahi, 2016;
12
Sejalan dengan hasil studi di atas, Alagan (2008) misalnya menunjukkan bahwa
hubungan antara desentraliasi, khususnya desentralisasi politik dengan partisipasi
publik tidak selamanya berkorelasi positif. Hasil studi Alagan di empat provinsi,
masing-masing DKI Jakarta, Bali, Sumatera Utara dan Lampung. Dengan
menggunakan pendekatan legal formal dan empiris yang melibatkan komponen
stakeholders sebagai informannya, dalam kesimpulannya didapati bahwa didalam
implementasinya, desentralisasi politik ternyata tidak secara signifikan
memperkuat atau meningkatkan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan.
Selanjutnya Alagan menyimpulkan bahwa pertama partisipasi publik dalam
pembuatan kebijakan daerah (baca perda) memiliki dasar legalitas yang kuat.
Kedua, pemerintah tidak berupaya meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat
dalam perumusan kebijakan, kecenderungannya pemerintah justru menutup ruang
partisipasi tersebut. Ketiga, inisiatif masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan
13
100.00
Perkembangan Indeks Aspek IDI Lampung 2014-2021
83.66 81.96
81.82
77 77.29 79.22
78.46 79.95
75.00 74.12 76.64
72.06 71.99 72.35 71.64
67.2 68.55
63.69 63.19
62.74 64.31 63.7
60.49
59.32 59.53
50.00
25.00
0.00
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021
Penelitian ini juga menyoroti beberapa catatan untuk rencana penelitian yang akan
dilakukan. Pertama, sebagian besar studi yang mengaitkan desentralisasi politik
dengan demokrasi diambil dari negara-negara maju sedangkan di negara-negara
berkembang belum banyak dilakukan. Penelitian ini fokus pada pengaruh dan
hubungan desentralisasi politik dilihat dari faktor komitmen politik, sumber daya
dan budaya masyarakat dan organisasi pendukung terhadap kondisi demokrasi
lokal dalam sisi peran serta masyarakat dalam kebijakan pemerintah daerah.
Kedua, ada sedikit penelitian yang sejauh ini meneliti apakah desentralisasi politik
memiliki pengaruh terhadap kondisi demokrasi yang diukur dengan uji kuatitatif.
Sebagai bahan masukan kepada praktisi pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun
daerah untuk menerapkan desentralisasi politik dan mengevaluasi hal-hal apa yang
paling mempengaruhi peran serta dalam masyarakat dalam kebijakan dan
pembangunan yang akuntabel, partisipatif melalui pelibatan publik yang lebih luas
dalam proses demokrasi dan pembangunan daerah.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas beberapa konsep yang relevan yang dapat membantu
menggambarkan dan menjelaskan permasalahan sebagaimana perumusan masalah
dalam penelitian ini, yaitu hubungan yang terjadi pada implementasi desentralisasi
politik di Indonesia, dengan kondisi demokrasi di tingkat lokal khususnya peran
serta masyarakat dalam kebijakan yang terjadi pada level pemerintahan daerah di
Kota Bandar Lampung. Bagaimana variabel-variabel tersebut saling terkait dan
faktor-faktor apa yang mempengaruhi keterikatan diantaranya.
organisasi, badan, atau unit pemerintah yang lebih rendah, baik secara geografis
maupun struktural. Konsep tersebut dapat dicerminkan sebagai tahapan di
sepanjang kontinum yang dibedakan oleh jenis dan derajat otonomi yang dapat
dijalankan oleh lapisan otoritas yang lebih rendah dalam suatu negara.
Politik
• Political Accountability
• Civil Liberties • Political Transparency
• Political Rights • Political Representation
• Soft/hard Budget
• Democratic Pluralistic Constraint
System
• Increased Incomes
• Moral Hazard • Increased Productivity
Fiscal & Financial
• Sustainable Services • Increased Literacy
• Resource Mobilization
• Responsive Services • Decreased Mortality
• Fiscal Resources • Resource Allocation
• Effective Services • Growth of Civil Society
• Fiscal Autonomy • Fiscal Capacity
• Efficient Services
• Fiscal Decision-making
• Sub national Borrowing • Macroeconomic
• Subnational Indebtedness Instability
Administratif. • Administrative Capacity
• Admin. Accountability
• Admin. Transparency
• Administrative Structures
Istilah demokrasi berasal dari Bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat dan
cratein yang berarti pemerintahan atau memerintah, sehingga demokrasi berarti
pemerintahan rakyat. Maksud dari pemerintahan rakyat adalah pemegang
kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan dipenggang oleh rakyat. Demokrasi
adalah sebuah bentuk sistem pemerintahan dalam rangka mewujudkan kedaulatan
rakyat yang dijalankan oleh pemerintah. Oleh karena itu, salah satu Presiden
Amerika Serikat, Abraham Lincoln (1861-1865) mengistilahkan demokrasi adalah
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi salah satu indikator perkembangan sistem politik sebuah
negara. Prinsip Trias Politica dalam pemisahan kekuasaan yang diterapkan oleh
negara demokrasi menjadi sangat utama untuk memajukan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat, termasuk di Indonesia, kendati menjadi pembagian
kekuasaan.
Fakta sejarah juga memberi bukti bahwa kekuasaan yang dominan dan berlebih di
tangah eksekutif tidak dapat menjamin pembentukan masyarakat yang adil dan
beradab. Kendati dalam sejarah perkembangan negara Indonesia, demokrasi lebih
31
cenderung pada bergantinya kekuasaan dari tangan raja ke tangan rakyat. Pada
masa sebelum Indonesia lahir, wilayah Nusantara dikuasai oleh para raja,
sehingga kedaulan berada di tangan raya. Merekalah yang memiliki kekuasaan
penuh dalam pengelolaan pemerintahan. Dengan datangnya paham demokrasi,
kedaulan beralih kepada rakyat. Oleh karena itu, pendiri Republik Indonesia dan
Wakil Presiden Pertama di Indonesia Moh. Hatta menegaskan bahwa demokrasi
sebagai sebuah pergeseran dan pergantian kedaulatan raja menjadi kedaulatan
rakyat.
Robert A. Dahl (1998) menyodorkan enam kriteria bagi sebuah negara, sehingga
dapat disebut sebagai negara demokrasi, yakni, para pejabatnya dipilih oleh
rakyat, dilakukan Pemilu yang bebas, adil dan berkesinambungan, pemberian
kebebasan berekspresi bagi seluruh rakyat, akses informasi yang terbuka luas,
kebebasan berasosiasi/berkumpul, dan kewarganegaraan yang inklusif. Untuk
mengukur kualitas demokrasi, Morlino (2004) memberikan gagasan bahwa
demokrasi yang baik paling tidak harus memenuhi tigas kualitas. Pertama,
kualitas hasil bahwa pemerintahan harus memiliki legitimasi yang dapat
memuaskan warga negaranya. Kedua, kualitas isi/substansi bahwa warga negara
memiliki kebebasan dan kesetaraan dalam pemerintahan. Ketiga, Kualitas
prosedur bahwa warga negara memiliki kebebasan untuk memeriksa dan
mengevaluasi bagaimana pemerintahnya mencapai tujuan-tujuan kebebasan dan
kesetaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.
yang setara. Ulasan mengenai apa dan mengapa demokrasi delibelatif, antara
lain dikemukaan oleh Amy Gutmann dan Dennis Thompson.
4. Keempat menyetujui pentingnya nilai-nilai demokrasi seperti self
government, persamaan/kesetaraan politik, dan reasoned rule, tetapi
menekan pada partisipasi seluruh warga negara (yang sudah berhak
memilih) secara langsung dalam pengambilan keputusan. Walaupun
keterlibatan langsung dalam membuatan keputusan tidak pada semua
tingkatan atau pada semua isu publik, tetapi frekuensinya cukup sering,
terutama dalam pembuatan kebijakan penting, dan ketika kekuasaan secara
signifikan digunakan. Demokrasi partisipatoris menganggap demokrasi
minimal sebagai demokrasi berkadar tipis, menganggap demokrasi agregatif
sebagai tidak cukup mencerminkan prinsip self government (dan dalam
sejumlah hal UU dan kebijakan bisa saja sesuai dengan preferensi sebagian
besar warga negara, tetapi pemerintahannya tidak demokratik), dan
demokrasi deliberatif belum melibatkan semua warga negara. Dalam
demokrasi partisipatoris ini, para warga negara berinteraksi secara langsung
dalam membahas pemilihan UU atau kebijakan untuk mengatasi
permasalahan yang mereka hadapi bersama. Pandangan ini di kemukakan,
antara lain oleh Benyamin Barber (1984).
Partisipasi adalah konsep yang multitafsir tanpa makna yang pasti. Oleh
karenanya ada banyak definisi yang tertuang dalam masing-masing konsep.
Diantaranya Pertama, menurut UNESCO partisipasi mengacu pada aktivitas
berkelanjutan kolektif untuk tujuan mencapai beberapa tujuan bersama, terutama
distribusi manfaat pembangunan yang lebih adil' (UNESCO, 1979: 15). Kedua,
bagi Pearse dan Stifel, partisipasi adalah upaya terorganisir untuk meningkatkan
pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga pengatur dalam situasi sosial
tertentu, di pihak kelompok dan gerakan mereka yang sampai sekarang
dikecualikan dari kontrol tersebut (Pearse dan Stifel, 1979: 1) . Definisi ini
menekankan, dari perspektif pihak-pihak yang dikecualikan, bahwa unsur-unsur
kekuasaan dan kontrol atas keputusan-keputusan kunci tetap menjadi isu-isu inti
partisipasi. Ketiga, partisipasi tentu menimbulkan pertanyaan tentang pengaruh
timbal balik dan kontrol sumber daya dan keputusan. Inilah alasan mengapa Bank
Dunia mendefinisikan partisipasi sebagai suatu proses di mana pemangku
kepentingan mempengaruhi dan berbagi kendali atas inisiatif pembangunan,
keputusan dan sumber daya yang mempengaruhi mereka (dikutip dalam Ondrik,
2003: 1).
Dalam definisi yang lain Partisipasi adalah persoalan hubungan kekuasaaan, atau
hubungan ekonomi-politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi rakyat
berada dalam konteks hubungan antara negara (pemerintah) dan rakyat
(masyarakat). Negara adalah pusat kekuasaan, kedaulatan dan serangkaian hukum
yang mengatur peredaran barang-barang publik di masyarakat. Di dalam
masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan hal politik, kekuatan kelompok,
kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan
penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik
melahirkan kesejahteraan manusia (human well being) (Suyatno, 2011). Dalam
kamus bahasa Indonesia (1996:56), definisi partisipasi adalah: "Hal yang
berkenaan dengan turut serta dalam suatu kegiatan atau berperan serta dalam suatu
kegiatan. Jadi, dapat diartikan bahwa partisipasi adalah suatu bentuk kerjasama
39
yang diberikan apabila suatu pihak sedang melakukan suatu kegiatan". Dengan
keterlibatan dirinya, berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya. Misalnya
berpartisipasi/ikut serta (dapat anda rasakan sendiri), maka anda melakukan
kegiatan itu karena menurut pikiran anda perlu dan bahwa perasaan pun
menyetujui untuk melakukannya. Sastropoetro (2000: 12) mengemukakan
pengertian partisipasi adalah: "Keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai
kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai
tujuan bersama".
Gaung partisipasi dalam perencanaan pembangunan tata ruang saat kini telah
dileigitimasi antara lain oleh UU No. 4 tahun 1982 pada pasal 5,6, dan 19, UU
Tata Ruang No. 24 tahun 1992 pasal 4 dan 5 serta UU Otonomi No. 22 Tahun
1999, Peraturan Pemerintah (PP) No.25 tahun 2000. Undang-Undang tersebut
telah membuka berbagai peluang penerapan sistem desentralisasi dan otonomi
yang akan membuka ruang sekaligus mendorong partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
Menerapkan mekanisme partisipasi sipil yang efektif untuk mewujudkan tata
pemerintahan lokal yang baik berarti bahwa keterlibatan pemangku kepentingan
harus dipupuk secara inklusif dan transparan. Partisipasi yang efektif juga
menyiratkan untuk bergerak melampaui asumsi bahwa semua dapat berpartisipasi
dalam semua keadaan dan dalam semua fase pengambilan keputusan (Council of
Europe, 2020).
Menurut (Najib M.A., 2001) partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya
dalam mewujudkan desentralisasi yang demokratis, karena dapat mengurangi
berbagai hambatan yang memisahkan antar masyarakat dan pemerintahnya, atau
dengan kata lain mengubah hubungan dari politik oposisi ke dialog dan
pembagian kewenangan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Berbagai skala
dan lingkup perencanaan pembangunan akan sia-sia jika tanpa melibatkan
partisipasi masyarakat.
Dalam artikel Aziz Turindra (2011), ada beberapa tahapan dari partisipasi
masyarakat, yaitu :
40
Ide sentral dari partisipasi adalah memberikan peran yang berarti kepada warga
negara dalam keputusan Pemerintah Daerah yang mempengaruhi mereka (Blair,
2000) Peran tersebut dimunculkan melalui desentralisasi yang menyerahkan
mekanisme pengambilan keputusan untuk memfasilitasi partisipasi aktif
masyarakat dalam mengartikulasikan prioritas lokal dan membantu memastikan
bahwa program sesuai dengan kebutuhan lokal (Francis dan James, 2003).
lebih luas dalam pemerintahan yang demokratis (Smoke, 1994). Salah satu
asumsi penting adalah bahwa dengan lebih dekat dengan masyarakat,
pemerintah daerah dapat lebih mudah mengidentifikasi kebutuhan masyarakat,
dan dengan demikian menyediakan bentuk dan tingkat pelayanan publik
yang sesuai (Oates, 1972).
Dalam kasus lain, penguasa tradisional seperti kepala suku atau pemuka
agama dapat secara formal atau informal, melakukan peran pemerintahan
lokal, seperti menyelesaikan konflik, menjaga ketertiban, mengumpulkan pajak
atau bertindak sebagai pemimpin lokal. Beberapa negara mengakui kenyataan ini
dengan memberi para pemimpin tradisional wadah yang diakui di bawah
konstitusi: hal ini menegaskan kekuasaan dan pengaruh para pemimpin
tradisional tersebut, juga menempatkan tanggung jawab tertentu kepada
mereka dan menempatkan kekuasaan mereka dalam batas-batas hukum yang
lebih tepat. Lembaga-lembaga yang dibuat ini dapat tunduk pada tingkat
pengaruh dan tanggung jawab publik (misalnya, di mana pemimpin suku
diharapkan untuk bertindak atas saran dari tetua suku atau di mana kepala
desa dipilih oleh penduduk desa) dan oleh karena itu dapat dianggap
sebagai bentuk demokrasi adat lokal (Bulmer, 2017).
Desentralisasi dan demokrasi bertemu dengan mudah karena demokrasi itu sendiri
adalah sistem pemerintahan di mana pengambilan keputusan berada di bawah
pengawasan pengaruh kontrol warga negara. Dalam pengamatan yang samar-
samar, demokrasi sering dipandang sebagai bentuk pemerintahan “perwakilan”;
namun demokrasi pada hakekatnya tidak hanya perlu representatif tetapi juga
partisipatif, inklusif, akuntabel dan transparan. Kesehatan demokrasi di suatu
negara dapat diukur dari sejauh mana warganya memiliki akses dan kendali atas
proses pengambilan keputusan.
dengan tidak terlibat pada kegiatan masyarakat pada wilayah adminisitrasi tempat
tinggal mereka dan memilih wilayah administrasi lain.
Participation Representation
Empowerment Voice
masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal; (ii) komitmen yang lebih
kuat dari pemerintah daerah terhadap pemberian layanan dan tekanan yang
signifikan dari masyarakat untuk meningkatkan kualitas layanan publik; dan
(iii) pemerintah daerah bekerja sama dan berbagi informasi untuk
memecahkan masalah bersama.
Partisipasi warga dapat menjadi tujuan dan sarana untuk desentralisasi yang
efektif (Kenya Institute of Public Policy Research and Analisis (KIPPRA), 2006).
Ini adalah tujuan, ketika desentralisasi menciptakan peluang partisipasi dengan
mendekatkan pemerintah kepada rakyat (Robinson, 2007). Di bahwa interaksi
warga dan negara diharapkan meningkat ketika ada kedekatan dengan institusi
pemerintah. Di sisi lain, itu adalah sarana untuk desentralisasi yang efektif di
mana warga negara melalui tindakan kolektif mereka memberikan tuntutan
masukan sisi preferensi layanan serta tekanan yang diperlukan untuk memastikan
bahwa mereka yang diberdayakan untuk memberikan layanan melakukan tugas
mereka sesuai dengan itu.
Partisipasi politik merupakan bagian penting dari kehidupan suatu negara. Khusus
bagi negara yang menamakan dirinya negara demokrasi, partisipasi politik
menjadi salah satu indikator penting. Artinya, suatu negara baru disebut sebagai
negara demokrasi jika pemerintahan yang berkuasa memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada warganya untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Sebaliknya, warga negara yang bersangkutan juga harus menunjukkan tingkat
partisipasi politik yang tinggi. Jika tidak, maka tingkat demokrasi negara tersebut
masih diragukan (Ngadisah, et.al., 2019).
Partisipasi warga, LSM, dan masyarakat sipil pada umumnya mewakili pemangku
kepentingan yang terlibat dengan organisasi Pemerintah Daerah. Mereka memiliki
kepentingan terhadap kegiatan organisasi Pemerintah Daerah dan terhadap
wilayah serta masyarakat di dalamnya karena mereka terpengaruh olehnya, atau
mampu mempengaruhinya, secara positif atau negatif.
Warga negara lebih mungkin untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik lokal
di mana Pemerintah Daerah dianggap cukup otonom dalam membuat keputusan
kebijakan politik yang mempengaruhi mereka (Cheema, 2007). Teori
menunjukkan bahwa manfaat dari partisipasi warga dioptimalkan ketika
mekanisme demokrasi dilembagakan dalam sistem desentralisasi (Azfar, et.al.,
1999). Rendah atau tingginya tingkat partisipasi merupakan sinyal dan indikator
penting jalannya proses demokrasi dan perwujudan kerakyatan dan kedaulatan.
56
Purdue, et. al. (2000) menjelaskan bahwa partisipasi dalam demokrasi lokal
mungkin sangat menarik bagi masyarakat lokal yang memiliki keterampilan
dalam negosiasi birokrasi, tetapi hal ini mungkin tidak berlaku bagi masyarakat
dengan kemampuan kepemimpinan yang dinamis. Mereka melihat bahwa
demokrasi adalah proses perubahan, tetapi kepemimpinan mereka ditetapkan sejak
awal ketika perwakilan masyarakat tertentu menjadi tokoh politik. Terlepas dari
upaya peningkatan kapasitas, sulit bagi pemimpin baru untuk muncul. Hal ini
dapat disimpulkan dengan mengatakan bahwa bertindak sebagai pemimpin
masyarakat adalah peran yang sulit dan hanya beberapa anggota masyarakat lokal
yang mau mengambil komitmen ini.
Kebijakan desentralisasi yang mulai digulirkan oleh pemerintah pada tahun 2001
diharapkan membawa perubahan mendasar kepada terjadinya keseimbangan
hubungan baru dalam tatanan kepemerintahan antara pemerintah (pusat) dengan
Pemerintah Daerah. Kebijakan desentralisasi yang digulirkan oleh pemerintah
57
Komitmen Politik
PARTISIPASI
MASYARAKAT
Dalam Kebijakan
Masyarakat
DESENTRALISASI Organisasi Pendukung
POLITIK 1. pengambilan
keputusan,
2. pelaksanaan,
- Legislatif 3. evaluasi dan
- Eksekutif 4. paska program
pembangunan
Perilaku
Sumber Daya
59
Metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan
pada ciri-ciri keilmuan yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Berdasarkan
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara
ilmiah untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Darmadi,
2013).
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa data
dalam bentuk pengukuran ordinal dan interval. Data kuantitatif adalah jenis data
yang dapat diukur atau dihitung secara langsung, yang berupa informasi atau
penjelasan yang dinyatakan dengan bilangan atau berbentuk angka
(Sugiyono, 2003;15)
. Dalam penelitian ini data kuantitatif yang diperlukan adalah data yang
berasal dari angket dan wawancara dari responden.
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat
diperoleh (Arikunto, 2006;129). Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua
sumber data yaitu :
1. Sumber data primer, yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti (atau
petugas) dari sumber pertama. Adapun yang menjadi sumber data primer
dalam penelitian ini adalah masyarakat Bandar Lampung yang terpilih
selanjutnya disebut responden.
2. Sumber data sekunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti
sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga dikatakan data yang
tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen. Dalam penelitian ini, yang
menjadi sumber data sekunder adalah artikel, jurnal dan literature yang
terkait.
62
Populasi penelitian ini adalah jumlah penduduk Bandar Lampung sebanyak 1,2
Juta sesuai hasil BPS 2020. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan
metode purposive sampling dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Dengan
menggunakan metode ini, peneliti mengharapkan mendapatkan informasi dari
kelompok sasaran spesifik (Sekaran, 2006) serta untuk memperoleh sampel yang
representatif sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Adapun kriteria yang
digunakan dalam penentuan sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. ……………………..
2. ……………………..
seperangkat soal tes, lembar observasi, dsb. Pernyataan tersebut senada dengan
pengertian instrumen penelitian menurut (Sugiyono,2011) instrumen penelitian
adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang
diamati.
Desentralisasi
Politik
Komitmen Komitmen pelimpahan Pelimpahan wewenang perencanaan, X.1.1
Politik (X1) kewenangan pengambilan keputusan dan manajerial ke
tingkat administrasi yang lebih rendah
Sarana yang efektif untuk Kondisi elit dan pemimpin lokal dalam
mengatasi penolakan proses perencanaan dan administrasi X.3.2
pembangunan yang terdesentralisasi
Ahmad, Junaid. et al. (2005) ‘Decentralization and Service Delivery’, world bank, p. 27.
Akorsu (2002) ‘An Evaluation of the Effectiveness of Revenue Mobilisation in the Public Sector
of Ghana’, International Journal of Economics, Commerce and Management, III(1), pp. 1–16.
Ali Khan, S. (2013) ‘Decentralization and poverty reduction: A theoretical framework for
exploring the linkages’, International Review of Public Administration, 18(2), pp. 145–172.
Available at: https://doi.org/10.1080/12294659.2013.10805256.
Andhika, L.R. (2018) ‘Difusi Kebijakan Upaya Fundamental Kebijakan Pemerintah Daerah’,
Matra Pembaruan, 2(1), pp. 15–25. Available at: https://doi.org/10.21787/mp.2.1.2018.15-25.
Ashley, M. and Pöschl, C. (2015) ‘Decentralizing for a deeper, more supple democracy’,
Journal of Democracy, 26(4). Available at: http://eprints.lse.ac.uk/63191/.
Baral, N. and Heinen, J.T. (2007) ‘Decentralization and people’s participation in conservation: A
comparative study from the Western Terai of Nepal’, International Journal of Sustainable
Development and World Ecology, 14(5), pp. 520–531. Available at:
https://doi.org/10.1080/13504500709469751.
Benjamin Goldfrank (2011) Deepening Local Democracy in Latin America. Penn State
University Press.
Burns, D., Hambleton, R. and Hoggett, P. (1994) ‘Rethinking Local Democracy’, in D. Burns, R.
Hambleton, and P. Hoggett (eds) The Politics of Decentralisation: Revitalising Local
Democracy. London: Macmillan Education UK, pp. 30–51. Available at:
https://doi.org/10.1007/978-1-349-23397-7_2.
Chaniago, P.S. (2016) ‘Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015’, Politik
Indonesia: Indonesian Political Science Review, 1(2), p. 196. Available at:
https://doi.org/10.15294/jpi.v1i2.6585.
Ducci, M.E. (2004) ‘Local government and democratization: the view from the Chilean border’,
in Decentralization, democratic governance, and civil society in comparative perspective’, eds P.
Oxhorn, J. S. Tulchin & A. A. Selee, Woodrow Wilson International Center Press & The Johns
Hopkins University Press, Washington, D.C & Baltimore and London, pp. 119-138.
Fan, C.S., Lin, C. and Treisman, D. (2009) ‘Political decentralization and corruption: Evidence
from around the world’, Journal of Public Economics, 93(1–2), pp. 14–34. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2008.09.001.
Graglia, L.A. (2000) ‘Revitalizing democracy’, Harvard Journal of Law and Public Policy, 24,
no. 1, pp. 165-177.
GRINDLE, M.S. (2005) ‘ Alfred P. Montero and David J. Samuels (eds.), Decentralization and
Democracy in Latin America (Notre Dame, IN: The University of Notre Dame Press, 2004), pp.
ix+309, $47.50, $27.50 pb. ’, Journal of Latin American Studies, 37(1), pp. 191–192. Available
at: https://doi.org/10.1017/s0022216x04318948.
Heller, P. (2001a) ‘Moving the State : The Policts of Democratic Decentralization in Kerala,
South Africa and Porto Alegre’, Theory & Psychology [Preprint].
Heller, P. (2001b) ‘Moving the state: The politics of democratic decentralization in Kerala, South
Africa, and Porto Alegre’, Politics and Society. SAGE Publications Inc., pp. 131–163. Available
at: https://doi.org/10.1177/0032329201029001006.
Hill, H. and Vidyattama, Y. (2016) ‘Regional development dynamics in Indonesia before and
after the “Big Bang” decentralization’, Singapore Economic Review, 61(2). Available at:
https://doi.org/10.1142/S0217590816400270.
Holzhacker, R.L., Wittek, R. and Woltjer, J. (2015) ‘Decentralization and governance in
Indonesia’, Decentralization and Governance in Indonesia, pp. 1–292. Available at:
https://doi.org/10.1007/978-3-319-22434-3.
Hutchcroft, P.D. (2001) Colonial Masters, National Politicos, and Provincial Lords: Central
Authority and Local Autonomy in the American Philippines, 1900-1913.
Kessy, A.T. (2013) Decentralization and Citizens’ Participation: Some Theoretical and
Conceptual Perspectives PERFORM Project View project Empowerment and Accountability in
Rural Primary Health Care-Community Based Monitoring (CBM) View project. Available at:
https://www.researchgate.net/publication/332786590.
Lane, M.B. (2003) ‘ARTICLE Lane Indigenous Rights and Democracy Participation,
Decentralization, and Civil Society Indigenous Rights and Democracy in Environmental
Planning’. Available at: https://doi.org/10.1177/0739456X03252684.
Litvack, J., Junaid, A. and Bird, R. (1998) Rethinking Decentralization in Developing Countries.
I. Washingthon USA: World bank.
Lukman Andi, Herni Sunarya, G. (2019) ‘Pengaruh Pengetahuan DPRD Tentang Anggaran,
Pengawasan dan Partisipasi Anggaran Terhadap Kinerja Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
di Kabupaten Sikka (Studi Kasus Pada Kantor DPRD Kabupaten Sikka)’, 6(3), pp. 46–62.
Mahi, B.R. (2016) ‘Indonesian Decentralization: Evaluation, Recent Movement and Future
Perspectives’, Journal of Indonesian Economy and Business, 31(1), p. 119. Available at:
https://doi.org/10.22146/jieb.23567.
Marbun, B.N.S. (no date) DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya,. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Mohammed, A.K. (2016) ‘Decentralization and Participation: Theory and Ghana’s Evidence’,
Japanese Journal of Political Science. Cambridge University Press, pp. 232–255. Available at:
https://doi.org/10.1017/S1468109916000050.
Mookherjee, D. (2015) ‘Political Decentralization’, Annual Review of Economics, 7(1), pp. 231–
249. Available at: https://doi.org/10.1146/annurev-economics-080614-115527.
Muriu, A.R. (2013) ‘Decentralization , citizen participation and local public service delivery’.
Najib M.A. (2001) ‘Pemikiran dalam era Transformasi’, in Seminar Nasional “Pemikiran dalam
era Transformasi”. Bandung: Departemen Planologi ITB.
Olatona, J.B. and Olomola, P.A. (2015) ‘Analysis of Fiscal Decentralization and Public Service
Delivery in Nigeria’, Journal of Economics and Sustainable Development, 6(9), pp. 107–120.
Available at: https://www.iiste.org/Journals/index.php/JEDS/article/download/22618/23288.
-Pakistan, I., Saud, A. and Khan, K.A. (2016) Decentralization and Local Government
Structures: Key to Strengthening Democracy in Pakistan, Journal of Political Studies.
Parker, A.N. (1995) ‘Decentralization : The Way Forword for Ruler Departement’. Word Bank.
Patsias, C., Latendresse, A. and Bherer, L. (2013) ‘Participatory democracy, decentralization and
local governance: The montreal participatory budget in the light of “empowered participatory
governance”’, International Journal of Urban and Regional Research, 37(6), pp. 2214–2230.
Available at: https://doi.org/10.1111/j.1468-2427.2012.01171.x.
Pepinsky, T.B. and Wihardja, M.M. (2011) ‘Decentralization and economic performance in
Indonesia’, Journal of East Asian Studies, 11(3), pp. 337–371. Available at:
https://doi.org/10.1017/S1598240800007372.
Pratchett, L. (2004) Local Autonomy, Local Democracy and the ‘New Localism’.
Prawitasari, I. and Erowati, D. (2021) ‘Efektivitas Pilkada Serentak Tahun 2020 di Tengah
Pandemi Covid-19 Indonesia’, Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS),
3(3), pp. 1176–1183. Available at: https://doi.org/10.34007/jehss.v3i3.517.
Rakmawati, T., Hinchcliff, R. and Pardosi, J.F. (2019) ‘District-level impacts of health system
decentralization in Indonesia: A systematic review’, International Journal of Health Planning
and Management, 34(2), pp. e1026–e1053. Available at: https://doi.org/10.1002/hpm.2768.
Romli, L. (2018) ‘Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal’,
Jurnal Penelitian Politik, 15(2), p. 143. Available at: https://doi.org/10.14203/jpp.v15i2.757.
Rondinelli, D.A. (1981) ‘Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory and
Practice in Developing Countries’, International Review of Administrative Sciences, 47(2), pp.
133–145. Available at: https://doi.org/10.1177/002085238004700205.
Rondinelli, D.A. (1990) ‘Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response’,
Development and Change, 21(3), pp. 491–500. Available at: https://doi.org/10.1111/j.1467-
7660.1990.tb00385.x.
Santoso, E.B. and Moenek, R. (2019) ‘Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di Kota
Balikpapan’, Jurnal Ilmiah Wahana Bhakti Praja, 8(2), p. 97. Available at:
https://doi.org/10.33701/jiwbp.v8i2.292.
Santoso, P. (2018) Rezim Lokal Indonesia : Memaknai Ulang demokrasi kita. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor.
Schönwälder, G. (1998) ‘Local Politics and the Peruvian Left: The Case of El Agustino’, Latin
American Research Review, 33(2), pp. 73–102. Available at:
https://doi.org/10.1017/S0023879100038243.
Sujarwoto (2017) ‘Why decentralization works and does not works? A systematic literature
review’, Journal of Public Administration Studies, 1(3), pp. 1–10.
Sukriono, D. (2013) Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum tentang
Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi,. Setara Press, Malang.
Suyatno (2016) Politik Indonesia Indonesian Political Science Review Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia. Available at:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI.
Talitha, T., Firman, T. and Hudalah, D. (2020) ‘Welcoming two decades of decentralization in
Indonesia: a regional development perspective’, Territory, Politics, Governance, 8(5), pp. 690–
708. Available at: https://doi.org/10.1080/21622671.2019.1601595.
Tunio, F.H. and Nabi, A.A. (2021) ‘Political decentralization, fiscal centralization, and its
consequences in case of Pakistan’, Cogent Social Sciences, 7(1). Available at:
https://doi.org/10.1080/23311886.2021.1924949.
Usman, J. (2011) ‘Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah Dengan Semangat
Euforia Demokrasi Lokal’, Otoritas : Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(1), pp. 41–50. Available at:
https://doi.org/10.26618/ojip.v1i1.14.
Yakub, A., Abdul Ghani, A.B. and Anwar, M.S. (2018a) ‘Urgency of Political Decentralization
and Regional Autonomy in Indonesia: Local Perspectives’, Journal International Studies, 14, pp.
141–150. Available at: https://doi.org/10.32890/jis2018.14.9.
Yakub, A., Abdul Ghani, A.B. and Anwar, M.S. (2018b) ‘Urgency of Political Decentralization
and Regional Autonomy in Indonesia: Local Perspectives’, Journal International Studies, 14, pp.
141–150. Available at: https://doi.org/10.32890/jis2018.14.9.