Anda di halaman 1dari 33

HUKUM SEBAGAI ALAT PEMBAHARUAN MASYARAKAT

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Suryaningsih, MH


Kelas: PPKN A 2019

Disusun oleh :
Asty Nur Uliany 1905056001
Armando Bima Sakti 1905056005
Fernanto Hafidz Faridzki 1905056007
Wahyu Tri Lesmana 1905056009
Novita Sari Sasmita 1905056013
Evelyn Widya Candra 1905056015
Miftahul Fadli Sudirman 1905056037

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERTIAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................i

BAB I................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................1

1.1. Latar Belakang...................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................2

BAB II..............................................................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................3

2.1. TEORI SEBAGAI SARANA PERUBAHAN..................................................3

2.2. KONSEP HUKUM ROSCOE POUND TENTANG LAW AS A TOOL OF


SOCIAL ENGINEERING..........................................................................................8

2.3 TEORI HUKUM PENDUKUNG ATAU PENUNJANG ATAS TEORI


HUKUM YANG MEREKAYASA MASYARAKAT...........................................11

BAB III PEMBAHASAN.............................................................................................18

3.1. PERGAULAN MANUSIA DAN HUKUMNYA ..........................................18

3.2. HUKUM DAN MASYARAKAT MODERN YANG KOMPLEKS..............20

3.3. HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL


DENGAN HUKUM...............................................................................................21

3.4. HUKUM SEBAGAI SARANA PEMBAHARUAN MASYARAKAT.........24

BAB IV PENUTUP.......................................................................................................29

4.1. KESIMPULAN................................................................................................29

4.2. SARAN............................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kita hidup, sejak lahir hingga mati selalu berurusan dengan hukum atau
tepatnya sistem hukum. Tidak ada waktu dan tempat yang terlewatkan oleh
sentuhan hukum. Ada begitu banyak aturan (rules) dan peraturan (regulations)
yang membelakukan syarat dan prosedur hukum.
Sementara itu kondisi hukum kita saat ini mengalami keterpurukan yang
sangat luar biasa. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum sangat rendah.
Masyarakat Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi transplacement
antara mereka yang reformis dengan mereka yang statusquo, antara mereka
yang kotor (dirty broom) dengan mereka yang bersih (clean broom). Kedua
kelompok tersebut sama kuatnya sehingga hukum sama sekali tidak dapat
berfungsi.1
Tidak dapat dibantah bahwa masyarakat Indonesia tengah mengalami
proses perubahan social yang mendasar dan mencakup berbagai bidang
kehidupan dengan pergeseran nilainya beserta dengan berbagai manifestasinya
dalam sikap dan perilaku kemasyarakatannya.
Dalam menjalani dan mengarahkan proses perubahan social untuk
memunculkan tatanan kemasyarakatan yang ideal, maka Pemerintah
mengemban peranan dan tanggungjawab yang besar dan penting. Untuk
Indonesia, hal tersebut sudah dengan jelas dirumuskan dalam Pembukaan UUD
1945. mewujudkan tujuan Negara tersebut, dalam situasi konkret di Indonesia
berarti melaksanakan pembangunan bangsa yang pada dasarnya berarti juga
mengarahkan perubahan social yang berintikan usaha untuk memodernkan
kehidupan bangsa Indonesia. Agar semua usaha tersebut dapat berlangsung
secara bertanggungjawab maka asfek hukum tidak dapat diabaikan.2
Menelaah pengaruh hukum pada perubahan social berarti
mempertanyakan apakah hukum dapat menggerakkan dan mengarahkan

1
Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, Hal. 1
2
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2000, Hal. 25
perubahan social? Artinya dapatkah asfek hukum befungsi sebagai alat atau
sarana dalam melakukan pembaharuan terhadap masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah.
Adapun yang menjadi permasalahan yang nantinya akan menjadi dasar
dari penulisan ini dilakukan adalah:
1.2.1.1. Seperti apa pergulatan manusia dan hukumnya?
1.2.1.2. Seperti apa hukum dan masyarakat modern yang kompleks?
1.2.1.3. Bagaimana hubungan antara perubahan-perubahan sosial dengan
hukum?
1.2.1.4. Bagaimana penjelasan mengenai fungsi hukum sebagai sarana
pembaharuan terhadap masyarakat?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori hukum sebagai sarana perubahan
Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama menganalisis
yurisprudensi serta metodologi ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat
yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah gagal dalam
menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir
semakin terabaikan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Langdell
serta para koleganya dari Jerman. Pound menyatakan bahwa hukum
adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol sosial. Hukum
secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai
instrumen penting untuk mencapai ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol
sosial diperlukan untuk melestarikan peradaban karena fungsi utamanya
adalah mengendalikan “aspek internal atau sifat manusia”, yang
dianggapnya sangat diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal atau
lingkungan fisikal.
Teori tentang perubahan sosial dalam hubungannya dengan sektor
hukum merupakan salah satu teori besar dalam ilmu hukum. Hubungan
antara perubahan sosial dengan sektor hukum tersebut merupakan
hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial
terhadap perubahan sektor hukum, sementara di pihak lain, perubahan
hukum juga berpengaruh terhadap suatu perubahan sosial. Perubahan
hukum yang dapat mempengaruhi perubahan sosial sejalan dengan salah
satu fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial,
atau sarana merekayasa masyarakat (social engineering). Jadi, hukum
merupakan sarana rekayasa masyarakat (a tool of social engineering),
suatu istilah yang pertama dicetuskan oleh ahli hukum Amerika yang
terkenal yaitu Roscou Pound.7
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological
Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan
Hukum” daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat.
Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak
sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological
Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum
tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian
hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan
terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan
orientasi hukum.8
Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk
menguatkan peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan
perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban
sosial. Hukum, sebagai mekanisme kontrol sosial, merupakan fungsi
utama dari negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang
dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk
melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Pound menambahkan bahwa hukum
saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga,
pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur
ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan
positivistik.
Pound pun mengakui bahwa fungsi lain dari hukum adalah
sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk
kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian
hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat
yang memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan
sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti
teorinya terletak pada konsep “kepentingan”. Ia mengatakan bahwa
sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui
kepentingan-kepentingan itu, dengan menentukan batasan-batasan
pengakuan atas kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum yang
dikembangkan serta diterapkan oleh proses peradilan memiliki dampak
positif serta dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga
berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas
yang diakui dan ditetapkan.
Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik
beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool
of social engineering” (Bahwa Hukum adalah alat untuk memperbaharui
atau merekayasa masyarakat).Untuk dapat memenuhi peranannya Roscoe
Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang
harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut:9
1. Kepentingan Umum (Public Interest)
a. Kepentingan negara sebagai Badan Hukum
b. Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2. Kepentingan Masyarakat (Social Interest)
a. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
b. Perlindungan lembaga-lembaga sosial
c. Pencegahan kemerosotan akhlak
d. Pencegahan pelanggaran hak
e. Kesejahteraan sosial.
3. Kepentingan Pribadi (Private Interest)
a. Kepentingan individu
b. Kepentingan keluarga
c. Kepentingan hak milik.

Peran hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat sebenarnya sudah


dikumandangkan oleh banyak sarjana, terutama oleh sarjana hukum yang
berhaluan sosiologis. Misalnya Roscou Pound dengan istilah populernya
“hukum sebagai alat perekayasa masyarakat”. Atau istilah-istilah lain
yang kada kala dipakai, seperti hukum sebagai agent of change atau
social planning. Bahkan dengan dipelopori oleh Mochtar Kusumaatmaja,
di masa pemerintahan Presiden Soeharto, di Indonesia pernah populer
istilah hukum sebagai alat pembangunan (a tool of development), karena
memang kala itu sektor hukum yang sangat di upayakan ikut
mensukseskan pembangunan, yang sayangnya karena rendahnya
kesadaran hukum dari para pembuat dan penegak hukum kala itu,
menyebabkan hukum sebagai alat pembangunan jadi berubah fungsi
menjadi hukum sebagai alat untuk mengamankan pembangunan, yang
mempunyai konsekuensinya munculnya banyak hukum yang sangat
represif dan melanggar hak-hak masyarakat, yang mengantarkan banyak
aktivis ke rumah penjara atau liang kubur.10
Pendapat yang diuraikan mengenai rumusan-rumusan dan
penggolongan-penggolongan dalam social engineering Roscoe Pound
dapat diibaratkan bahwa hukum dianggap sebagai insinyur dalam
mengungkapkan dasar-dasar pembaruan dalam masyarakat dan
menggerakkan kemana masyarakat akan diarahkan serta bagaimana
masyarakat seyogianya diatur. Jadi, hukum berfungsi sebagai alat untuk
mengatur dan mengelola masyarakat. Mengatur dan mengelola
masyarakat akan membawa kepada pembaharuan-pembaharuan,
perubahan-perubahan struktur masyarakat dan penentuan-penentuan pola
berpikir menurut hukum yang menuju ke arah pembangunan. Hal ini akan
menghasilkan kemajuan hukum, sehingga akan tercapai suatu suasana
yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang beradab.
Walaupun pengertian “beradab” mengandung unsur penilaian
yang sangat subyektif (karena tidak mutlak dan harus dilihat dalam
dimensi dan konteks kebudayaan dari masyarakat dan waktu tertentu),
namun sebagai suatu pedoman yang ditariknya secara statistik Roscoe
Pound (ditahun 1919) menggariskan bahwa “dalam suatu masyarakat
yang beradab” akan tergambar bahwa:11
1. Tiap orang dapat menguasai tujuan-tujuan yang berfaedah terhadap
apa yang mereka temukan, apa yang mereka ciptakan, apa yang
mereka peroleh dalam ketertiban kemasyarakatan dan ekonomi yang
pada waktu itu memegang keuasaan.
2. Tiap orang dapat mengharap bahwa orang lain tidak akan menyerang
dia.
3. Tiap orang dapat berharap bahwa orang-orang dengan siapa saja
mereka berurusan tentang hubungan-hubungan umum akan bertindak
dengan iktikad baik atau memenuhi janji yang mereka sanggupi;
akan menjalankan perusahaan-perusahaan berdasarkan kesusilaan
masyarakat; akan mengganti barang yang sama atas kekhilafan.
Akhirnya dapat di garis bawahi bahwa ajaran Roscoe Pound
bergerak dalam 3 (tiga) lingkup/ dimensi utama:12
1. Bahwa hukum benar-benar berfungsi sebagai alat untuk mengatur
dan mengelola masyarakat dengan
2. Diimbangi pemenuhan terhadap kebutuhan atau kepentingan-
kepentingan masyarakat, serta
3. Adanya pengawasan guna memelihara dan melanjutkan peradaban
manusia.

Adapun contoh dari penerapan teori tersebut banyak dijumpai


didalam suatu peraturan baik yang secara tertulis ataupun tidak tertulis
sekalipun. Berikut contoh penerapan dari teori law as a tool of social
engineering: Salah satu contoh ada di dalam Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004,
di dalam Pasal 5 mengenai (Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga)
yang menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara:
a. Kekerasan Fisik
b. Kekerasan Psikis
c. Kekerasan Seksual, atau
d. Kekerasan Penelantaran

Pasal 6: “Kekerasan fisik sebagaiman dimaksud dalam Pasal 5


huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,jatuh sakit, atau
luka berat”. Pasal 7: “Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak rasa tidak berdaya dan atau
penderitaan Psikis berat pada Seseorang”
Analisis dari pasal-pasal di atas: Dari ketentuan-ketentuan yang telah
termaktub dalam pasal-pasal undang-undang diatas kita dapat melihat
adanya paradigma: yaitu hukum sebagai rekayasa sosial. Di mana
sebelum adanya undang-undang pasal ini banyaknya kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga terutama kekerasan yang dilakukan seorang
lelaki terhadap istrinya maupun antara anggota yang dalam lingkup
rumah tangganya tersebut, baik kekerasan psikis maupun fisik yang
menyebabkan terancamnya kehidupan didalam rumah tangga tersebut,
contohnya: seorang suami yang tega memukul Istrinya sendiri hingga
babak belur ini merupakan kekerasan fisik yang harus dihilangkan agar
hidup seorang Istri tidak terancam, Jadi dari adanya berbagai kasus ini
maka hukum diadakan untuk rekayasa sosial dengan adanya undang-
undang ini maka tidak ada kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga
membentuk masyarakat yang saling menyayangi antara anggota
keluarganya dan tidak melakukan tindkan yang tidak baik dan merugikan
seperti memukul dan lain-lain, jadi rekayasa sosial ini bisa kita lihat
menciptakan orang khususnya kaum Perempuan agar hidup tentram dan
aman dari ancaman kekerasan dalam rumah tangga Dan hukum bisa
melindungi orang-orang dalam rumah tangga (suami, istri, pengasuh
anak, pembantu, dan semua yang ada dalam suatu keluarga) dan
merekayasa agar tidak adanya lagi kekerasan yang terlintas dalam suatu
keluaraga dan juga merekayasa agar tidak ada pemaksaan seksual contoh:
dalam kasus seorang majikan memaksa pembantu untuk bersetubuh, dan
juga agar orang-orang tidak menelantarkan seorang yang ada didalam
rumah tangga sehingga smua anggota keluarga tidk merasa takut dan
sengsara akan menjaga agar antara anggota keluarga tetap aman karena
dalam pernikahan dan hidupnya dirumah tangga tentunya akan ada
banyak masalah dan pertengkaran jadi dengan adanya pasal-pasal ini
seseorang akan jadi takut dan sadar akan hukum dan tidak akan berlaku
semena-semena antara anggota keluarganya dan akan merasa taat dan
tidak akan berfikir untuk bertindak kekerasan dengan anggota
keluarganya.

2.2. Konsep Hukum Roscoe Pound tentang Law as a Tool of Social Engineering
Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh
Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan/merekayasa
dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan
merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan disesuaikan dengan
situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social
engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal
realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di
Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja13, konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan
ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya
oleh karena lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses
pembaharuan hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan
pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi tersebut yang
digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham
legisme yang banyak ditentang di Indonesia. Sifat mekanisme itu nampak
dengan digunakannya istilah “tool” oleh Roscoe Pound.14 Itulah sebabnya
mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung menggunakan istilah “sarana”
daripada alat. Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia
konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop15 dan
policy-oriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum yang digunakan sebagai
sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau
kombinasi keduanya, seperti telah dikemukakan dimuka, di Indonesia yang
paling menonjol adalah perundang-undangan, yurisprudensi juga berperan
namun tidak seberapa. Agar supaya dalam pelaksanaan perundang-undangan
yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya,
hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang
menjadi inti pemikiran aliran sociological Jurisprudence yaitu hukum yang
baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.16
Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat
dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan. Beberapa contoh
perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti
merubah sikap mental masyarakat tradisional kearah modern, misalnya
larangan penggunaan koteka di Irian Jaya, keharusan pembuatan sertifikat
tanah dan sebagainya.17
Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana
yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.18 Salah satu masalah yang
dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh
Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu dimana hukum-hukum tertentu
yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif.19 Gejala-gejala semacam
itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan.
Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum,
para pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat.
Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena suatu kelemahan
yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa
mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai
sarana saja tetapi pengetahuan yang mantap tentang sifat-sifat hukum juga
perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan hukum
sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga masyarakat.
Sebab sarana yang ada, membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan
menentukan sarana-sarana mana yang tepat untuk dipergunakan.
Hukum di dalam masyarakat modern saat ini mempunyai ciri menonjol
yaitu penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini
hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan
tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk
mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikendaki, menghapuskan
kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola
kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern
tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai
instrumen yaitu law as a tool social engineering.20
Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial
(Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan
menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi
kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah
lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam
mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk
kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh
penguasa negara.21
Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the
positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari
proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum (antitesis) dan Mazhab
Sejarah. Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada
hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa (law is a command of law
givers), sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan
berkembang bersama dengan masyarakat.22
Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih
mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap
keduanya sama pentingnya. Aliran sociological jurisprudence ini memiliki
pengaruh yang sangat luas dalam pembangunan hukum Indonesia. Singkatnya
yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar
memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik
tertulis maupun tidak tertulis.
Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang
sebagai hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis
disini adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya
sebagai kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku
dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal hukum
tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Untuk itu Hakim harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.

2.3. Teori Hukum Pendukung atau Penunjang atas Teori Hukum yang
Merekayasa masyarakat
Adapun yang menjadi pununjang atau pendukung atas teori hukum
yang dapat merekayasa masyarakat (law as a tool social engineering) yang
dikemukakan oleh Rouscou Pound adalah teori tentang efektivitas dan
validitas hukum dimana menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang
efektivitas hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum. Validitas
hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus
berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa
orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas
hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma
hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-
benar diterapkan dan dipatuhi.
Pernyataan bahwa suatu norma adalah valid dan pernyataan bahwa norma itu
efektif merupakan dua pernyataan yang berbeda. Tetapi walaupun validitas
dan efektifitas merupakan dua konsep yang sepenuhnya berbeda, walau
demikian terdapat suatu hubungan yang sangat penting diantara keduanya.
Suatu norma dainggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma tersebut
termasuk kedalam suatu sistem norma, ke dalam suatu tatanan yang
sepenuhnya efektif. Jadi, efektivitas adalah suatu kondisi dari validitas; suatu
kondisi, bukan alasan dari validitas. Suatu norma valid bukan karena norma
tersebut efektif; norma itu valid jika tatanan yang melingkupi norma itu
sepenuhnya efektif. Namun demikian, hubungan antara validitas dan
efektivitas ini dapat dipahami hanya dari sudut pandang teori hukum yang
dinamik yang membahas masalah penalaran tentang validitas dan konsep
tatanan hukum. Yang dibicarakan dari sudut pandang teori yang statis adalah
validitas hukum.25
Teori validitas hukum merupakan salah satu teori yang penting dalam
ilmu hukum. Teori validitas atau legitimasi dari hukum (legal validity) adalah
teori yang mengajarkan bagaimana dan apa syarat-syaratnya agar suatu kaidah
hukum menjadi legitimate dan sah (valid) berlakunya, sehingga dapat
diberlakukan kepada masyarakat, bila perlu dengan upaya paksa, yakni suatu
kaidah hukum yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:26
1. Kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan ke dalam berbagai bentuk
aturan formal, seperti dalam bentuk pasal-pasal dari Undang-Undang
Dasar, Undang-Undang, dan berbagai bentuk peraturan yang lainnya,
aturan-aturan internasional seperti dalam bentuk traktat, konvensi, atau
setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan;
2. Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam bentuk
undang-undang harus dibuat oleh parleman bersama dengan pemerintah;
3. Secara hukum aturan hukum tersebut tidak mungkin dibatalkan;
4. Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis lainnya.
Misalnya tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi;
5. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan penerap
hukum, seperti pengadilan, kepolisian, kejaksaaan.
6. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat;
7. Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang
bersangkutan.

Dengan demikian, suatu kaidah hukum tidaklah valid jika kaidah hukum
tersebut misalnya tidak dapat diterima oleh masyarakat atau jika kaidah
hukum tersebut ternyata dalam praktik tidak dapat dilaksanakan, meskipun
aturan-aturan hukum tersebut telah dibuat melalui proses yang benar dan
dibuat oleh yang berwenang secara hukum. Karena itu, dapatlah dikatakan
bahwa suatu hukum yang tidak dibuat secara benar, atau hukum yang tidak
dibuat oelh pihak yang berwenang atau benar, atau hukum yang tidak diterima
oleh masyarakat, ataupun hukum yang tidak adil, hakikatnya bukanlah
hukum.
Sebaliknya, menurut teori validitasi hukum maka suatu kaidah hukum
tidak dapat ditakar dengan kaidah moral atau kaidah politik. Dalam hal ini
berarti bahwa validitas suatu aturan hukum tidak goyah hanya karena tidak
bersesuaian dengan kaidah moral, kaidah politik, atau kaidah ekonomi.
Karena masing-masing bidang tersebut mengatur hal yang berbeda-beda
meskipun dalam hal tertentu saling overlapping. Suatu kaidah hukum yang
dapat mengikuti kaidah moral, politik, atau ekonomi, sepanjang kaidah hukum
tersebut tidak mengorbankan norma dasar dalam hukum. Misalnya, suatu
kaidah moral, politik, ekonomi, atau agama, tidak dapat diberlakukan dalam
hukum jika kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan asas-asas keadilan,
kepastian hukum, prediktiabilitas, ketertiban umum, perlindungan hak dasar,
asas manfaat dan lain-lain.
Pendapat para ahli tentang hal validitas dari suatu aturan hukum adalah
bervariasi tergantung kepada penekanan dari masing-masing ahli tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa valid tidaknya suatu aturan hukum diukur dari
terpenuhi tidaknya suatu eleman-elemen sebagai berikut:27
1. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian (conformity) dengan aturan
tertentu yang tingkatnya lebih tinggi. Jadi, aturan hukum tersebut tidak
dalam keadaan “diluar jalur” (ultra vires);
2. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian yang konsisten
(subsistem) dengan bidang pengaturan yang sudah ada saat ini;
3. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian dengan kenyataan sosial
dalam masyarakat (aspek sosiologis), sehingga berlaku efektif dalam
masyarakat;
4. Apakah dalam aturan hukum tersebut terdapat kecendrungan internal
untuk dihormati (atas dasar moral dan politik);
5. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian dari kenyataan
normatif yang transendental (aspek ontologis).

Selanjutnya, tentang persyaratan kesesuaiannya dengan norma dasar dan


persyaratan diterimanya oleh masyarakat agar suatu aturan hukum menjadi
aturan hukum yang valid, maka Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu aturan
hukum telah valid sejak diundangkannya secara benar, meskipun saat-saat
awal dibuatnya aturan hukum, aturan hukum tersebut mungkin saja masih
belum diterima dengan baik oleh masyarakat. Akan tetapi menurut Hans
Kelsen, jika aturan hukum tersebut terus-menerus tidak diterima oleh
masyarakat, maka aturan hukum yang demikian hilang validitasnya sehingga
berubah menjadi aturan hukum yang tidak valid.
Jadi, agar hukum tersebut dapat menjadi valid, hukum tersebut
haruslah dapat diterima oleh masyarakat. Demikian juga sebaliknya, bahwa
agar dapat diberlakukan terhadap masyarakat, maka suatu kaidah hukum
haruslah merupakan hukum valid. Dari kaidah hukum yang valid tersebutlah
baru kemudian timbul konsep-konsep tentang “perintah (command), larangan
(forbidden), kewenangan (authorized), paksaan (force), hak (right), dan
kewajiban (obligation).
Namun demikian, suatu kaidah hukum yang valid belum tentu
merupakan suatu kaidah hukum yang “efektif”. Dalam hal ini, validitas suatu
norma merupakan hal yang tergolong ke dalam “yang seharusnya” ( das
sollen), sedangkan “efektivitas” suatu norma yang merupakan sesuatu dalam
kenyataannya (das sein).
Hans Kelsen mempersyaratkan hubungan timbal balik antara unsur
“validitas” dan “keefektifan” dari suatu kaidah hukum. Menurutnya, sebelum
berlaku secara efektif, suatu norma hukum harus terlebih dahulu valid, karena
jika suatu kaidah hukum tidak valid, maka hakim misalnya tidak akan
menerapkan hukum tersebut, sehingga kaidah hukum tersebut tidak pernah
efektif berlaku. Tetapi sebaliknya adalah benar juga bahwa keefektifan
merupakan syarat mutlak bagi sebuah kaidah hukum yang valid. Karenanya,
jika suatu masa karena perubahan masyarakat, suatu kaidah hukum yang
semulanya valid dan efektif berlaku, kemudian menjadi tidak efektif lagi,
maka kaidah hukum tersebut juga kemudian menjadi tidak lagi valid. Adapun
agar suatu kaidah hukum tersebut dapat efektif, haruslah memenuhi dua syarat
utama yaitu:
1. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan
2. Kaidah hukum tersebut harus bisa diterima oleh masyarakat.

Jadi menurut Han Kelsen, suatu aturan hukum harus dalam keadaan valid
terlebih dahulu baru diketahui apakah aturan hukum tersebut dapat menjadi
efektif. Jika setelah diterapkan ternyata peraturan yang sebenarnya sudah
valid tersebut ternayata tidak dapat diterapkan atau tidak dapat diterima oleh
masyarakat secara meluas dan atau secara terus menerus, maka ketentuan
hukum tersebut menjadi hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat dari
aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid.
Berikut ini salah satu contoh dari penerapan teori validitas dan
efektivitas hukum yang awalnya telah valid dan efektif namun didalam
perkembangannya peraturan tersebut kemudian menjadi tidak efektif dan
akhirnya menjadi tidak valid yang kasus ini terjadi di Indonesia tentang
adanya pembatalan Undang-Undang Koperasi Nomor 17 tahun 2012 tentang
Perkoperasian dimana peraturan tersebut yang awalnya valid dan didalam
perkembangannya peraturan tersebut dianggap tidak sesuai atau melanggar
peraturan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak sesuuai atau tidak sejalan
dengan prinsip awal koperasi yang berada dalam masyarakat. Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2012, dibatalkan dengan Keputusan Mahkamah
Konstitusi. Putusan Nomor 28/PUU-XI/2013 dalam amar putusannya antara
lain memutuskan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian tidak
mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat.
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian berlaku
untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya Undang-Undang
yang baru.
4. Putusan tersebut dibacakan pada tanggal 28 mei 2014.

Jati diri koperasi dan akan mendorong pada pengertian koperasi yang
salah. Koperasi itu sebagai sekumpulan orang dan pengertian koperasi
menurut UU No.17 tahun 2012 itu diterjemahkan dalam basis pengertian
sebagai asosiasi berbasis modal (capital base association) yang berarti tidak
ada bedanya dengan model perusahaan swasta kapitalistik.Jadi jelas, UU
tersebut memang melanggar jati diri koperasi dan secara filosofis tentu
menyimpang dari dasar alas an adanya koperasi dan cacat secara
epistemologis bahkan secara ontologis akan berpotensi menggeser bentuk
koperasi menjadi korporasi.
Dengan membatalkan UU tersebut,kita dapat mengetahui proses
pembuatan
yang memekan waktu kurang lebih 12 tahun dan menghabiskan ratusan
milyar,bahkan triliyunan uang rakyat itu ternyata memang syarat kepentingan
kolutif.Pertimbangan hakim menyatakan filosofi dalam Undang-Undang
perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian
sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang tercantum
dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945.Pada sisi lain,koperasi harus menjadi sama
dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas yang kehilangan roh
konstitusionalnya sebagai identitas pelaku ekonomi khas bagi bangsa yang
berfilosofi gotong royong.
Contoh di atas adalah merupakan contoh dari teori digunakannya
efektivitas dan juga validitas hukum. Tetapi penulis beranggapan bahwa
sebenarnya terkadang hukum atau peraturan telah valid tetapi terkadang para
pengguna atau masyarakat atau bahkan oknum penegak hukum sering
melanggar yang namanya peraturan tersebut, sehingga bukan berarti karena
tidak efektif maka secara otomatis juga tidak valid. Sebagai contoh di dalam
Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan dimana contohnya sudah mengatur mengenai standar helm SNI
(Standar Nasional Indonesia), peraturan menyalakan lampu kendaraan
bermotor, mengenai menerobos lampu merah bahkan secara jelas ada
sanksinya yaitu pidana kurungan ataupun denda, namun terkadang masyarakat
tidak mengindahkan hal tersebut justru malah melanggarnya dan bahkan
terkadang oknum petugas yang mendapi kejadian tersebut dalam hal
penindakan penilangan justru dibebaskan karena acapkali masyrakat yang
melanggar tersebut memberikan uang suap kepada oknum petugas sehingga
orang yang melanggar lalu lintas tersebut tidak dikenakan penilangan.
Contoh di atas jika dilihat dari teori hukum dimana peraturan tersebut dibuat
seyogyanya untuk merekayasa masyarakat dan sebagai kontrol sosial (Law as
a tool of social engineering and social controle) seperti yang diungkapkan
Rouscou Pound dengan tujuan agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang di
peraturan tersebut dan agar tertib dalam berlalu lintas. Tetapi terkadang
peraturan tersebut banyak yang dilanggar oleh pengendara dan oknum
penegak hukum sehingga peraturan tersebut jika dilihat dari teori efektivitas
adalah tidak terlalu efektif tetapi peraturan tersebut masih tetap berlaku atau
valid dari segi teori validitas hukum karena peraturan tersebut dibuat oleh
lembaga negara yang berwenang dan disahkan oleh presiden sehingga dari
segi teori validitas dan efektivitas hukum peraturan tersebut adalah valid dan
efektif, namun seiring perjalanan waktu banyak para pengendara yang
mengabaikan peraturan tersebut sehingga peraturan tersebut menjadi kurang
efektif. Dalam hal ini kita tinggal menunggu apakah nantinya peraturan
mengenai lalu lintas dan angkutan jalan akan diperbarui sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tekhnologi sehingga peraturan yang lama
menjadi tidak efektif dan tidak valid ataukah masih menggunakan peraturan
lalu lintas dan angkutan jalan yang ada karena dianggap masih sesuai dan
masih efektif dalam perkembangan masyarakat saat ini.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pergulatan Manusia dan Hukumnya


Sejak dicitrakan sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup
berada diluar jejaring tatanan, bagaimana dan apapun bentuknya. Sosialitas
menegaskan, bahwa manusia itu adalah makhluk berkelompok, seperti semut,
lebah dan lainnya. Tetapi apabila komunitas semut tersebut bersifat alami, maka
boleh dikatakan, bahwa jejaring tatanan manusia adalah buatan. Persoalan
segera muncul dari tatanan buatan itu. Hukum adalah tatanan yang sengaja
dibuat oleh manusia dan sengaja pula untuk dibebankan kepadanya.
Hukum adalah sesuatu yang tidak dapat untuk dipisahkan dari
kehidupan manusia. Hukumlah yang mengatur segala sesuatu yang ada dalam
masyarakat. Hukum dikatakan sebagai suatu proses dari masyarakat dengan
manusia sebagai subjeknya. Bekerjanya hukum didukung dengan pembuatan
hukum itu sendiri. Jika pembuatan hukum itu dilakukan dengan baik maka
hukum akan berjalan dengan baik, demikian sebaliknya.3
Manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada
waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan ikatan diri dari ikatan yang
dibuatnya sendiri itu. Ternyata tidak mudah untuk hidup dengan hukum
tersebut. Sejak hukum itu selesai dibuat, kehidupan tidak serta merta berjalan
dengan mulus, tetapi tetap penuh dengan gejolak dan patahan.
Kehidupan membutuhkan kaidah social dan dizaman sekarang, hukum
menjadi primadona. Melalui lembaga-lembaga yang diciptakannya, manusia
memproduksi hukum, tetapi uniknya, hukum itu disana-sini dirasakan
membelenggu dan manusia ingin lolos dari belenggu tersebut. Bahkan, orang
sempat mengatakan bahwa tanpa hukumpun hidup bisa berjalan.4
Sudah terlalu sering kita mendengar ujaran “ubi societas ibi ius”
(dimana ada masyarakat disitupun ada hukum), hal tersebut baru merupakan
pernyataan sederhana, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa
hidup diluar tatanan. Tetapi tidak membicarakan kerumitan yang ada antara
societas dan ius tersebut. Tidak sederhana untuk mengatakan bahwa hukum
3
Muhammad Nuh Lubis dan Zaini Munawir, Diktat Sosiologi Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, 2001, Hal. 111
4
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, Hal. 8
bertujuan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Alih-alih berbuat
demikian, hukum juga bisa menimbulkan persoalan. Kekurang hati-hatian
dalam membuat hukum memiliki resiko, bahwa hukum malah menyusahkan
atau menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Hukum juga memiliki potensi
untuk menjadi kriminogen, sungguh inilah tragedi manusia dan hukumnya.5
Hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk yang formal, dengan
prosedur-prosedur dan birokrasi penyelenggaraan hukum materi hukum
dirumuskan secara terukur dan formal dan diciptakan pula konsep-konsep baru
serta konstruksi khusus, juga tidak setiap orang bisa menjadi operator hukum,
melainkan mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan menjalani inisiasi
formal tertentu, hakim harus berijazah sarjana hukum, advokat harus
mempunyai lisensi kerja, dan seterusnya.
Akibatnya hukum berubah menjadi institusi artificial dan makin
menjauh dari masyarakat. Bagi masyarakat umum, hukum lalu menjadi dunia
yang esetorik, yaitu hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang telah menjalani
inisiasi atau pendidikan khusus. Sejak ketertiban diwakili oleh hukum yang
terstruktur dan diadministrasi secara rasional itu, maka orang tidak bisa lagi
bergerak secara aman dan selamat dimasyarakat, kecuali memperoleh panduan
dari pawing-paang hukum seperti advokat. Orang tidak lagi bisa
memperjuangkan kebenaran, hak-hak dan sebagainya, kecuali disalurkan
kedalam jalur hukum modern itu.6
Apa yang sesungguhnya terjadi sejak dunia dan manusia memasuki era
hukum modern dengan sekalian karakteristiknya itu? Kita melihat betapa proses
hukum itu makin menjadi proses peraturan. Hukum semakin menampilkan
dimensi peraturan daripada manusia. Berdasarkan hal tersebut bahwa
sesungguhnya hukum itu tidak bisa dipahami sebagai urusan atau masalah
peraturan semata. Hukum lebih merupakan masalah manusia daripada
peraturan. Peraturan itu tidak akan menimbulkan berbagai pergolakan dalam
hukum apabila tidak digerakkan oleh manusia.

3.2. Hukum dan Masyarakat Modern Yang Kompleks

5
Ibid, Hal 10
6
Ibid, Hal 13
Indeks yang dibuat oleh Unesco untuk mengukur tingkat modernisasi
suatu desa mencakup antara lain faktor-faktor:
3.3. Jumlah tingkatan yang ada pada sekolah-sekolah (semakin banyak
tingkat semakin modern).
3.4. Pengangkutan sesuai dengan keadaan jalan.
3.5. Pengangkutan sesuai dengan jumlah pelayanan yang dilalui oleh bis
(semakin sering semakin modern).
3.6. Penggunaan radio.
3.7. Jumlah keragaman pekerjaan / profesi.7
Dari faktor-faktor yang dipakai untuk mengukur tingkat kemodernan
suatu masyarakat itu dapat diketahui kira-kira bagaimana wajah atau struktur
masyarakat yang demikian itu. Dengan demikian kiranya dapat ditunjukkan
bahwa masyarakat modern itu memperlihatkan ciri keterbukaan dan pemekaran
yang semakin jauh dalam bidang-bidang kehidupan sosialnya.
Kalau hukum boleh dilihat sebagai pembadanan nilai-nilai yang terdapat
dalam masyarakat, maka semakin padu susunan nilai-nilai itu semakin mudah
pula hukum mengaturnya. Kepaduan dalam nilai-nilai yang terdapat didalam
masyarakat itu akan memudahkan terjadinya kesepakatan mengenai norma-
norma yang berlaku didalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengaturan oleh hukum  dalam
masyarakat akan memperlihatkan karakteristiknya sebagai berikut :
1. Kemudahan untuk menentukan pilihan-pilihan.
2. Kesederhanaan dalam organisasi dan prosedur penetapan norma-norma.
3. Kurangnya beban permintaan / tuntutan yang terorganisasi maupun
tidak dari anggota masyarakat-masyarakat terhadap pembuat hukum.
4. Kemudahan untuk menyusun norma-norma yang berlaku umum dan
yang diikuti dengan efektivitas yang tinggi pula.8
Satu hal yang perlu untuk diketahui adalah bahwa semakin modern
suatu masyarakat itu maka semakin terbuka pula keadaannya dan semakin luas
pemekaran bidang-bidang kehidupan sosial yang ada disitu. Suatu faktor yang
sering dikutip sebagai pendorong utama  atau pendobrak kearah pemekaran itu

7
Satjipto Raharjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980, Hal. 19
8
Ibid, Hal. 20
adalah teknologi yang dipergunakan. Semakin maju teknologi yang digunakan,
maka semakin dibutuhkan dukungan organisasi-organisasi yang kompleks.
Salah satu pengaruh dari penggunaan teknologi sedemikian itu dibidang
sosial adalah terhadap bidang ekonomi. Oleh berbagai macam sebab, maka
masyarakat dengan teknologi sedemikian itu akan mengalami perbedaan-
perbedaan dalam tingkat kehidupan ekonomi yang menonjol diantara para
anggotanya. Keadaan yang demikian ini pada gilirannya akan memberikan
pengaruhnya terhadap bidang hukum pula.
Dari apa yang diuraikan diatas, bahwa pembuatan hukum di dalam
masyarakat modern atau yang sedang dalam proses modernisasi adalah tidak
sederhana. Kata-kata Von Savigny, bahwa hukum itu merupakan pencerminan
“volkgeist”, jiwa rakyat, tidak begitu mudah untuk diterjemahkan mlalui
pembuatan hukum dewasa ini. Ungkapan itu akan lebih sesuai dengan
masyarakat pedesaan, yang belum mengalami penguraian yang tajam dalam
bidang-bidang kehidupan sosialnya. Badan-badan pembuat hukum dalam
masyarakat modern lebih banyak berfungsi sebagai tempat untuk
mengendapkan konflik nilai-nilai atau memecahkan konflik-konflik itu.
3.3. Hubungan Antara Perubahan-Perubahan Sosial Dengan Hukum
Kehidupan sosial suatu masyarakat sangatlah dinamis dalam arti selalu
mengalami perubahan dan pergeseran sejalan dengan terjadinya perubahan dan
kemajuan kebudayaan (IPTEK). Perubahan tersebut ada yang berjalan
denganlambat dan ada pula yang berjalan dengan cepat serta ada yang
pengaruhnya kecil terhadap kehidupan manusia dan ada pula yang pengaruhnya
besar.
Perubahan sosial atau dalam bahasa Inggris disebut social change adalah
segala perubahan yang menyangkut dalam unsure-unsur atau isi dari
masyarakat. Untuk dapat lebih memahami pengertian perubahan sosial kita
dapat melihat pendapat Selo Soemardjan yang mengatakan:
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola
perilaku diantara kelompok masyarakat. Yang ditekankan adalah adanya
pengaruh besar dari unsure-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur
kebudayaan immaterial.9
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat terjadi
oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut sumbernya ada yang
terletak didalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya diluar masyarakat
itu. Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri antara lain
adalah :
1) Bertambah atau berkurangnya penduduk.
2) Penemuan-penemuan baru.
3) Pertentangan (conflict) dalam masyarakat.
4) Terjadinya pemberontakan atau revolusi didalam tubuh masyarakat itu
sendiri
Sedangkan yang bersumber dari luar masyarakat adalah:
a) Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada disekitar
manusia.
b) Pepeangan.
c) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain.10
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada
umumnya adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dibidang pemerintahan,
ekonomi, pendidikan, agama, dan lain-lain. Lembaga kemasyarakatan mana
yang merupakan titik tolak, tergantung pada penilaian tertinggi yang diberikan
oleh masyarakat terhadap masing-masing lembaga kemasyarakatan tersebut.
Didalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umunya
dikenal ada 3 (tiga) badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan
pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana
hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-
badan peradilan yang menegakkan hukum merupakan cirri-ciri yang terdapat
pada suatu Negara modern.
Keadaan semacam itu di Indonesia dapat membawa akibat bahwa
saluran-saluran untuk mengubah hukum dapat dilakukan melalui beberapa
badan. Artinya, apabila hukum harus berubah agar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, maka perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada
9
Haji Ngamehi Sembiring dkk, Sosiologi, CV. Budi, Medan, 2000, Hal. 21
10
Muhammad Abduh, Zainul Pelly, dan Jusmadi Sikumbang, Pengantar Sosiologi, Fakultas
Hukum USU, Medan, 1984, Hal. 147-151
suatu badan semata-mata. Apabila karena faktor-faktor prosedural suatu badan
mengalami kemacetan, maka badan-badan lainnya dapat melaksanakan
perubahan-perubahan tersebut. Hal ini sedikit banyaknya juga tergantung pada
pejabat-pejabat hukum dari badan-badan tersebut.11
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau
sebaliknya, perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan sosial) tidak
selalu berlangsung bersama-sama. Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu 
perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur
lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya, atau mungkin hal yang
sebaliknya yang terjadi,. Apabila terjadi hal yang demkian maka terjadilah
social lag, yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam
perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan
terjadinya kepincangan-kepincangan.
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya,
atau sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala
wajar didalam suatu masyarakat bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola
perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola
perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi
oleh karena hukum pada hakikatnya disusun atau disahkan oleh bahagian kecil
dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang.
Faktor tertinggalnya kaidah-kaidah hukum sudah menimbulkan pelbagai
persoalan, persoalan tersebut akan bertambah banyak apabila diusahakan untuk
menyoroti kemungkinan-kemungkinan bahwa unsur-unsur lain dalam
masyarakat tertinggal oleh hukum. Selanjutnya pengaruh hukum pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luas. Bahkan dapat dikatakan
bahwa hukum mempengaruhi hampir semua lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Kemungkinan, kesulitan-kesulitan diatas dapat diatasi dengan terlebih
dahulu menganalisa peranan hukum dalam mendorong terjadinya perubahan-
perubahan sosial dengan membedakan antara aspek-aspek hukum yang secara
tidak langsung. Hukum mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam
mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk
lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap
masyarakat, sebaliknya apabila hukum membentuk atau mengubah basic
11
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, Hal. 101
institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang langsung. Hal ini
akan membawa pembicaraan pada penggunaan hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat.12
3.4. Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat
Untuk dapat memastikan mengenai adanya hubungan antara hukum dan
perubahan masyarakat kiranya perlu diperhatikan tentang bagaimana hukum itu
berkait dengan masyarakatnya. Berikut ini kita akan melihat fungsi yang
dijalankan oleh hukum didalam masyarakat.
Dua macam fungsi yang berdampingan satu sama lain adalah :
1. Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial.
2. Sebagai sarana untuk melakukan social engineering.13
Kalau fungsi hukum dilihat sebagai sarana pengendalian sosial, maka
kita akan melihat hukum sebagai menjalankan tugas untuk mempertahankan
suatu tertib atau pola kehidupan yang telah ada. Hukum disini sekedar menjaga
agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana telah ditentukan atau
sebagaimana diharapkan daripadanya.
Sedangkan fungsi hukum sebagai social engineering lebih bersifat
dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan-
perubahan didalam masyarakat. Jadi dalam hal ini maka hukum tidak sekedar
meneguhkan pola-pola yang memang telah ada didalam masyarakat, melainkan
ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru.
Perubahan ini hendak dicapai dengan cara memanipulasi keputusan-keputusan
yang akan diambil oleh individu-individu dan mengarahkannya kepada tujuan-
tujuan yang dikehendaki. Manipulasi ini dapat digunakan dengan berbagai
macam cara, misalnya dengan memberikan ancaman pidana, insentip, dan
sebagainya. Hubungan antara hukum dengan perubahan masyarakat disini
sangat jelas sekali, oleh karena hukum disini justeru dipanggil untuk
mendatangkan perubahan-perubahan didalam masyarakat.14
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-
perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan

12
Ibid, Hal. 106
13
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum,
Alumni, Bandung, 1977, Hal. 143
14
Ibid, Hal. 145
(intended change atau planed change). Dengan perubahan-perubahan yang
dikehendaki dan yang direncanakan oleh warga-warga masyarakat yang
berperan sebagai pelopor masyarakat dan dalam masyarakat yang sudah
kompleks dimana birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan-
tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya.
Dalam hal ini maka hukum dapat merupakan alat yang ampuh untuk
mengadakan perubahan-perubahan sosial.15 Sehubungan dengan hal tersebut
Roscoe Pound mengatakan:
“Hukum itu pada dasarnya merupakan suatu bentuk dari teknik sosial
atau rekayasa sosial (social engineering) yang bertujuan untuk mengatur secara
harmonis kepentingan dan kebutuhan individu secara optimal, dalam
keseimbangan dengan kepentingan masyarakat. Keseimbangan yang harmonis
inilah yang dapat dikatakan merupakan hakikat dari keadilan yang harus
terdapat dalam hukum. Disamping itu hukum dapat berfungsi sebagai kekuatan
dari Negara atau masyarakat yang harus disorganisasi secara politis, sehingga
dapat dipergunakan sebagai alat paksa untuk menjamin dan menjaga
keselamatan atau keamana masyarakat.”16
Dengan didasari pemikiran hukum Roscoe Pound serta dengan
memperhatikan asfek nilai yang terdapat dalam filsafat Pancasila, Mochtar
Kusumaatmadja telah mengintrodusir paradigma teori hukum pembangunan,
dengan menyebutkan : “Jika kita artikan dalam artian yang luas, maka hukum
itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula
lembaga (institutions) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan”.17
Lebih lanjut menurut Mochtar, pengembangan konsepsional dari hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat di Indonesia lebih luas jangkauan dan
ruang lingkupnya daripada teori hukum Roscoe Pound, yaitu :
a. Lebih menonjolkan peundang-undangan dalam proses pembaharuan
hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi memegang peranan.
b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat
yang menolak aplikasi mekanistis dari konsepsi law as a tool of
social engineering.

15
Muhammad Nuh Lubis dan Zaini Munawir S, op cit, Hal. 30
16
Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 2, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara,
Medan, Februari 2002, Hal. 87
17
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, Binacipta, Bandung, 1970, Hal. 11
c. Apabila dalam pengertian hukum termasuk hukum internasional, di
Indonesia jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan sudah menjalankan
asas hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat.18
Di Indonesia, penggunaan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat
berhubungan erat dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Apabila orang berpendapat bahwa proses sosial ekonomi itu hanya
hendak dibiarkan berjalan menurut hukum kemasyarakatan sendiri, maka
hukum tidak akan digunakan sebagai sarana perubahan, sebaliknya apabila
konsepnya justeru merupakan kebalikan dari yang tersebut diatas, maka peranan
hukum sangat penting untuk membangun masyarakat. Oleh karena itu, peranan
hukum yang demikian berkaitan erat dengan konsep perkembangan masyarakat
yang didasarkan pada perencanaan. Perencanaan membuat pilihan-pilihan yang
dilakukan secara sadar tentang jalan yang mana dan cara yang bagaimana yang
akan ditempuh oleh masyarakat untuk mencapai tujuannya.
Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, hukum sebagai sarana
perubahan masyarakat haruslah didasarkan pada nilai-nilai yang berkembang
dalam masyarakat untuk dituangkan dalam garis politik dengan memperhatikan
berbagai kondisi dan potensi nasional serta direalisasikan dalam proyek-proyek
nasional.
Sebagai sarana social engineering, hukum juga merupakan sebagai suatu
sarana ynag ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat sesuai
dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah
yang dihadapi dalam bisang ini adalah, apabila terjadi apa yang dinamakan oleh
Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, dimana hukum-hukum tertentu
dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan
timbul apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor
tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, para pencari keadilan
(justitiabelen), maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-
faktor itulah yang harus didefenisikan oleh karena merupakan suatu kelemahan
yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa
mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka
prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja.

18
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional,
Binacipta, Bandung, 1986, Hal. 9-11
Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu
diketahui adalah batas-batas didalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk
mengubah ataupun mengatur peri kelakuan warga masyarakat), sebab sarana
yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-
sarana apakah yang tepat untuk dipergunakan.19
Untuk lebih memahamkan terkaitnya peranan hukum sebagai sarana
dalam pembaharuan masyarakat, berikut ini akan diberikan beberapa perincian
mengenai apa yang secara teknis dilakukan oleh hukum:
1) Hukum memberikan prediktabilitas dalam hubungan-hubungan didalam
masyarakat. Semakin tinggi prediktabilitas yang diberikan oleh hukum,
semakin tinggi pula nilai kepastian hukum itu terselenggara didalam
masyarakat.
2) Hukum memberikan definisi sehingga mengurangi kesimpang-siuran
dan kesalah-pahaman yang mungkin terjadi disebabkan tidak adanya
pegangan yang dapat diketahui setiap orang. Termasuk kedalam
pemberian definisi ini pemberian kejelasan status seseorang.
3) Hukum memberikan jaminan keteraturan dalam cara-cara hubungan-
hubungan dijalankan didalam masyarakat, yaitu dengan menegaskan
prosedur yang harus dilalui.
4) Hukum mengkodifikasikan tujuan yang ditentukan atau dipilih. Didalam
masa pembangunan atau perubahan sosial ini kemampuan teknis hukum
untuk mengkodifikasikan tujuan ini menjadi semakin penting, oleh
karena pembangunan menghasilkan bermacam-macam tujuan yang
ingin dicapai dalam jangka waktu yang bersamaan atau hamper
bersamaan. Dengan melakukan kodifikasi tersebut maka tujuan yang
ingin dicapai itu juga menjadi jelas. Sebaliknya tujuan yang kabur atau
samara-samar pastilah tidak akan membantu kearah pencapaiannya
dengan memuaskan.
5) Hukum memberikan kemungkinan pada orang-orang untuk
menyesuaikan diri pada perubahan-perubahan. Tanpa fasilitas
akomodasi ini maka warga masyarakat dapat mengalami kerugian-

19
Muhammad Nuh Lubis dan Zaini Munawir S, op cit, Hal. 32
kerugian yang sesungguhnya dapat diatasi apabila hukum dibiarkan
menjalankan akomodasi itu.20
Dengan mengemukakan perincian tersebut diatas, maka dapat diketahui
2 (dua) hal, yaitu: pertama, bahwa hukum itu sesungguhnya memang
dipersiapkan sebagai suatu sarana untuk menangani proses-proses didalam
masyarakat, termasuk didalamnya proses perubahan. Hal tersebut adalah
merupakan bagian dari eksistensi hukum itu sendiri yang harus mampu untuk
menyalurkan proses-proses itu secara tertib dan teratur. Kedua, dengan
demikian sesungguhnya juga diketahui bahwa adanya potensi pada hukum
untuk mampu menangani proses-proses perubahan didalam masyarakat.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan

20
Satjipto Rahardjo, op cit, Hal. 147
Perubahan kehidupan yang dilalui manusia pada dasarnya disebabkan oleh

faktor internal dan faktor eksternal. Manusia sebagai homo socius, dalam

kehidupannya tidak terlepas dari interaksi dengan manusia lain. Dalam proses

interaksi tersebut, sering terjadi benturan kepentingan atau kebutuhan. Kelompok

masyarakat berkembang dari bentuk yang sederhana sampai dengan yang

kompleks. Bersamaan dengan itu, timbullah hukum dalam masyarakat, mulai dari

yang sederhana sampai pada saatnya menjadi semakin rumit. Corak kehidupan

masyarakat diikuti oleh corak hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut.

Dalam perkembangannya saling mempengaruhi. Setiap kelompok masyarakat

selalu ada permasalahan sebagai akibat perbedaan antara yang ideal dan aktual,

antara yang standar dan yang praktis. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam

masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku

individu.

Penyimpangan nilai yang ideal dalam masyarakat seperti pencurian,

pembunuhan, pemerkosaan menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Dalam

situasi demikian, kelompok berhadapan dengan problema untuk menjamin

ketertiban bila kelompok tersebut ingin mempertahankan eksistensinya. Sehingga

dalam bidang kehidupan yang lebih memerlukan ketentraman, hukum merupakan

sarana untuk mencapai atau mempertahankan stabilitas. Sebaliknya, hukum dapat

dipergunakan sebagai sarana untuk merubah masyarakat sepanjang hal tersebut

menyangkut bidang-bidang kehidupan yang lebih memerlukan ketertiban. Apabila

hukum hendak difungsikan sebagai sarana untuk merubah masyarakat, maka

hukum  tidak hanya sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada

didalam masyarakat, melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau

hubungan-hubungan yang baru.


4.2. Saran

Hukum adalah suatu roman yang dapat menembus dari kehidupan sosial

yang teramat dalam mempengaruhi kita. Hukum membentuk kehidupan kita mulai

sejak lahir hingga kematian. Hukum seyogyanya dihadapi, dipelajari, dikritik, dan

diubah oleh mereka yang menganutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2000.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1986.
Haji Ngamehi Sembiring dkk, Sosiologi, CV. Budi, Medan, 2000.
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka
Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1986.
-------, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
Binacipta, Bandung, 1970.
Muhammad Abduh, Zainul Pelly, dan Jusmadi Sikumbang, Pengantar
Sosiologi, Fakultas Hukum USU, Medan, 1984.
Muhammad Nuh Lubis dan Zaini Munawir, Diktat Sosiologi Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan,
2001.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007.
-------, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980.
-------, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum,
Alumni, Bandung, 1977.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
1994.
Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 2, Fakultas Hukum Universitas Islam
Sumatera Utara, Medan, Februari 2002.
Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Islam
Sumatera Utara, Medan, Oktober 2001.
Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002
Kusumaatmadja, Mochtar. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan,
Bandung: Binacipta, 2006.
Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (Terjemahan Dari
Buku Hans Kelsen, General Theory Of Law and State,
Bandung: Nusa Media, 2014.
Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2011.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Rasjidi, Lili Ira Thania Rasjidi. Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
____________.Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra
AdityaBakti, 2007.
Shidarta. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan,
Jakarta: CV Utomo, 2006.

Anda mungkin juga menyukai